Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan salah satu isu paling kritis dalam industri konstruksi, khususnya pada proyek jalan raya yang melibatkan risiko tinggi seperti pekerjaan di ruang terbuka, alat berat, dan kondisi cuaca ekstrem. Studi “Assessment of Construction Safety and Health Practice in Addis Ababa City Road Authority Road Projects” oleh Bersabeh Debebe (2023) menyoroti bahwa praktik keselamatan di proyek jalan Addis Ababa masih jauh dari ideal. Meski ada peraturan yang mengharuskan penerapan sistem K3, pelaksanaannya sering kali terbatas pada formalitas administratif.
Temuan ini sangat relevan bagi Indonesia. Sama seperti Ethiopia, Indonesia tengah menggenjot pembangunan jalan nasional dan infrastruktur strategis di bawah program pembangunan jangka panjang. Namun, data menunjukkan bahwa sektor konstruksi tetap menjadi penyumbang terbesar kasus kecelakaan kerja. Hal ini menandakan adanya kesenjangan antara kebijakan dan praktik di lapangan.
Artikel Mencegah Kecelakaan Kerja Melalui SDM Kompeten Dalam Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi menegaskan bahwa keberhasilan sistem keselamatan konstruksi sangat bergantung pada kompetensi manusia yang mengoperasikannya, bukan hanya pada dokumen atau regulasi. Tanpa perubahan budaya keselamatan, setiap kebijakan hanya menjadi slogan tanpa hasil nyata.
Selain itu, studi Bersabeh juga menemukan bahwa banyak pekerja di proyek jalan tidak mendapatkan pelatihan K3 yang memadai, tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) secara konsisten, dan kurang memahami prosedur darurat. Kondisi ini mencerminkan pentingnya kebijakan publik yang mengaitkan pelatihan keselamatan langsung dengan proses sertifikasi tenaga kerja konstruksi.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Implementasi kebijakan keselamatan di proyek jalan di Addis Ababa menunjukkan dua sisi berbeda. Di satu sisi, kesadaran terhadap pentingnya K3 meningkat setelah diterapkannya kebijakan nasional dan dukungan dari otoritas kota. Namun di sisi lain, lemahnya pengawasan dan keterbatasan sumber daya membuat pelaksanaannya tidak efektif.
Banyak kontraktor kecil tidak memiliki petugas K3 tetap dan hanya menugaskan pekerja tanpa pelatihan khusus untuk mengelola keselamatan proyek. Pekerja sering bekerja lebih dari jam kerja normal tanpa istirahat yang cukup, sementara fasilitas seperti rambu keselamatan, ruang istirahat, dan sistem evakuasi darurat sering diabaikan.
Hambatan lain yang disebutkan Bersabeh (2023) termasuk rendahnya pengawasan pemerintah, minimnya alokasi anggaran untuk K3, serta lemahnya sanksi bagi pelanggaran keselamatan. Banyak kontraktor memilih menanggung risiko daripada berinvestasi dalam pelatihan dan peralatan keselamatan.
Meski demikian, peluang transformasi tetap terbuka lebar. Integrasi teknologi digital, sistem pelatihan daring, dan audit keselamatan berbasis data dapat menjadi game changer.
Rekomendasi Kebijakan Praktis
Berdasarkan hasil penelitian dan perbandingan dengan konteks Indonesia, ada beberapa langkah kebijakan strategis yang dapat diterapkan:
-
Digitalisasi Sistem Pemantauan Keselamatan
Proyek harus diwajibkan memiliki sistem pemantauan digital untuk mendeteksi pelanggaran keselamatan secara real-time, termasuk penggunaan APD dan area berisiko tinggi. -
Peningkatan Sanksi dan Audit Independen
Lembaga pengawas K3 perlu diperkuat dengan audit eksternal tahunan agar kepatuhan tidak hanya bersifat administratif. Pemerintah juga perlu memberlakukan sanksi tegas bagi kontraktor yang lalai menjalankan prosedur keselamatan. -
Insentif bagi Kontraktor Patuh
Pemerintah bisa memberikan insentif fiskal atau poin tambahan dalam tender bagi kontraktor yang memiliki tingkat kecelakaan rendah dan sertifikasi K3 aktif. -
Kolaborasi Lintas Sektor dan Pendidikan Berkelanjutan
Dunia pendidikan vokasi, lembaga sertifikasi, dan sektor swasta perlu bekerja sama dalam memperbarui kurikulum pelatihan berbasis risiko dan teknologi.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Meskipun kebijakan di atas memiliki potensi besar, ada risiko kegagalan jika tidak didukung oleh implementasi yang kuat. Pertama, resistensi budaya kerja masih tinggi, terutama di sektor informal yang lebih mengutamakan kecepatan daripada keselamatan. Kedua, kurangnya pendanaan untuk digitalisasi sistem keselamatan dapat membuat program berhenti di tengah jalan.
Ketiga, lemahnya koordinasi antar-lembaga menyebabkan kebijakan berjalan terfragmentasi.
Terakhir, belum adanya sistem evaluasi berbasis indikator kinerja keselamatan (Safety Performance Indicators) membuat efektivitas kebijakan sulit diukur secara objektif. Tanpa indikator ini, kebijakan cenderung berfokus pada angka pelatihan, bukan pada perubahan perilaku atau penurunan kecelakaan.
Penutup
Studi Bersabeh Debebe (2023) memberikan gambaran jelas bahwa keselamatan kerja dalam proyek konstruksi bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan strategi pembangunan berkelanjutan. Dari Addis Ababa hingga Indonesia, tantangan serupa dihadapi: lemahnya penerapan, minimnya pengawasan, dan rendahnya kesadaran pekerja.
Namun, dengan kombinasi pelatihan adaptif, digitalisasi sistem keselamatan, serta kolaborasi antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan seperti Diklatkerja, transformasi budaya keselamatan dapat terwujud. Keselamatan bukan sekadar angka, melainkan investasi dalam kehidupan dan masa depan industri konstruksi yang lebih manusiawi, produktif, dan berkelanjutan.
Sumber
Bersabeh, D. (2023). Assessment of Construction Safety and Health Practice in Addis Ababa City Road Authority Road Projects.