Teknologi Pertanian

Strategi Adaptif Hadapi Banjir Sawah: Inovasi Pertanian Padi Menuju Ketahanan Iklim

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 September 2025


Pendahuluan: Saat Banjir Tak Lagi Musiman, tapi Sistemik

Banjir di lahan pertanian, khususnya sawah padi, bukan lagi sekedar masalah musiman. Di wilayah seperti Subang, Karawang, Sragen, dan Demak, banjir telah berubah menjadi ancaman tahunan terhadap sistem. Tak hanya menghambat pertumbuhan tanaman, banjir juga memutus rantai produksi pangan, memicu kerugian ekonomi masif, dan memperparah ketimpangan petani.

Dalam konteks inilah, kajian yang dilakukan Abdul Karim Makarim dan Ikhwani mengambil posisi penting. Menggabungkan pendekatan ilmiah, simulasi matematik, serta pengalaman lapangan, penelitian ini menyuguhkan strategi dan inovasi konkret untuk mengurangi kerugian usahatani padi akibat banjir.

Dampak Banjir: Dari Hasil Menurun hingga Pendapatan Terpangkas

Kehilangan Data Produksi

Banjir selama periode 2006–2010 menurunkan hasil padi sebesar:

  • 2,5 ton/ha di Jawa Barat
  • 3,0 ton/ha di Jawa Tengah

Pendapatan petani pun diperkirakan hingga Rp6,5–7 juta per hektar. Total kerugian produksi diperkirakan mencapai:

  • 10–46 ribu ton gabah kering panen (GKP)
  • Senilai Rp24–112 miliar/tahun

Tanpa tindakan adaptasi, kerugian ini diproyeksi meningkat menjadi:

  • 12–58 ribu ton GKP
  • Senilai Rp30–140 miliar pada 2015

Faktor Penyebab: Iklim, Hidrologi, dan Agronomi

Penelitian ini mengidentifikasi tiga penyebab utama banjir di sawah:

1. Iklim

Fenomena seperti El Niño, La Niña, IOD, dan MJO membuat curah hujan menjadi ekstrem dan tak menentu. Tren pemanasan global—yang dalam seratus tahun terakhir mencatat kenaikan suhu rata-rata 0,74°C—kian memperkuat ketidakstabilan ini.

2. Hidrologi

Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sistem drainase menyebabkan udara tidak bisa mengalir dengan lancar. Endapan di saluran irigasi, pertumbuhan eceng gondok, serta jembatan sempit memperparah banjir.

3. Agronomi

Kebutuhan udara tanaman yang tidak seimbang dengan ketersediaannya menyebabkan stres udara. Jika pasokan air melampaui kebutuhan, banjir merusak tanaman; sebaliknya, bila pasokan lebih rendah, kekeringan terjadi. Dalam kedua kondisi, produktivitas padi terancam.

Studi Kasus Jawa Barat & Jawa Tengah: Dampak Langsung dan Strategi Petani

Wilayah Jawa Barat: Karawang, Subang, dan Indramayu

Saluran pembuangan udara yang menyempit karena pengendapan lumpur merupakan salah satu penyebab utama banjir dimana sistem drainase tidak mampu mengatasi limpasan dari desa-desa di hulu. Saat musim hujan (Januari–Februari), banjir sering terjadi.

Petani biasanya menanam dua kali:

  • Musim I (Des–Jan): selalu terkena banjir.
  • Musim II (Mei–Juni): relatif aman namun rawan kekeringan.

Hama seperti keong mas semakin ganas saat banjir. Dalam rendaman udara, mereka bergerak cepat dan memangsa padi muda.

Wilayah Jawa Tengah: Sragen, Demak, dan Pati

Banjir menyebabkan puso (gagal panen) hingga 20 hari. Luapan sungai, tanggul jebol, dan saluran irigasi lebih tinggi dari lahan sawah memperparah kondisi.

Petani mencoba berbagai strategi:

  • Menggeser waktu tanam lebih awal.
  • Menggunakan bibit tua agar lebih tahan rendaman.
  • Membangun saluran pembuangan sendiri secara swadaya, meski belum permanen.

Solusi Adaptif: Inovasi Teknologi dan Budaya Bertani

1. Penggunaan Varietas Tahan Rendaman

Varietas seperti Inpara 3, 4 (Swarna Sub-1), dan Inpara 5 (IR64 Sub-1) mampu bertahan 10–14 hari dalam rendaman. Ini jauh lebih baik dibandingkan varietas biasa yang hanya tahan 4–7 hari.

2. Perbaikan Teknik Pemupukan

Penggunaan pupuk slow release atau briket nitrogen terbukti menekan kehilangan unsur hara akibat banjir. Waktu pemupukan yang tepat juga berkontribusi pada pemulihan tanaman.

3. Penataan Pola Tanah

  • Evaluasi rotasi tanaman satu musim.
  • Pengaturan jarak tanam dan populasi agar tanaman lebih cepat pulih pasca banjir.
  • Menunda tanam jika prakiraan cuaca menunjukkan potensi banjir.

4. Penanganan Hama Adaptif

Strategi pengendalian keong mas disesuaikan kondisi:

  • Banjir : manual atau pestisida di saluran ditampilkan.
  • Normal : pembersihan rutin dan pengelolaan ekosistem udara.

Model Simulasi: RENDAMAN.CSM

Model ini dikembangkan untuk menyiarkan dampak rendaman banjir pada hasil padi. Hasil simulasi menunjukkan:

  • VUB (varietas unggul biasa) hasil panen turun drastis setelah 6 hari rendaman (dari 5,77 ton/ha menjadi 3,13 ton/ha).
  • VTR (varietas tahan rendaman) mampu mempertahankan hasil meski direndam hingga 14 hari.

Simulasi ini mendukung kebijakan perencanaan berbasis data, khususnya dalam menentukan jadwal tanam dan distribusi varietas tahan.

Proyeksi Kerugian: 2020 Menjadi Titik Krisis

Menurut model, jika tidak ada kondisi:

  • Luas sawah yang terkena banjir meningkat hingga 1,3× pada tahun 2020.
  • Produksi yang hilang di tiga kabupaten (Subang, Karawang, Indramayu) mencapai >138 ribu ton GKP.
  • Total kerugian yang diprediksi mencapai >Rp354 miliar hanya dalam satu tahun.

Strategi Kebijakan: Prioritas, Keterpaduan, dan Partisipasi

Studi ini merekomendasikan tiga pilar strategi kebijakan:

a. Prioritas Wilayah

Area identifikasi dengan kerusakan DAS berat, drainase buruk, dan pusat produksi padi.

b. Langkah Sistematis

  • Jadwal tanam berbasis prakiraan iklim.
  • Penyesuaian komoditas sesuai debit udara.
  • Perbaikan mikro tata air dan infrastruktur saluran.

c. Sinergi Lintas Sektor

Pemerintah daerah, kelompok tani, dinas pertanian, dan pengairan perlu duduk bersama menyusun protokol darurat banjir dan kekeringan.

Opini dan Perbandingan: Dari Strategi Lokal ke Agenda Nasional

Studi ini layak diapresiasi karena menyatukan dimensi teknis, sosial, dan ekologi. Dibandingkan penelitian serupa di Vietnam dan Bangladesh, Indonesia relatif tertinggal dalam penerapan varietas tahan banjir dalam skala luas. Padahal, menurut IRRI, varietas seperti Swarna Sub-1 dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional secara signifikan.

Indonesia juga perlu mencontohkan India, yang berhasil membangun pusat prediksi banjir berbasis satelit untuk menjadwalkan tanam dan mendistribusikan benih.

Kesimpulan: Banjir Tak Bisa Dihindari, Tapi Bisa Diantisipasi

Penelitian ini menegaskan bahwa banjir memang akan terus datang. Namun, dengan strategi adaptif, teknologi inovatif, dan kolaborasi lintas sektor, dampaknya dapat ditekan secara signifikan.

Usahatani padi bukan hanya tentang tanam dan panen, tetapi juga tentang memahami iklim, mengelola risiko, dan bersiap menghadapi masa depan yang semakin tak pasti.

Sumber:

Makarim, AK, & Ikhwani. (2011). Inovasi dan Strategi untuk Mengurangi Pengaruh Banjir pada Usahatani Padi . Jurnal Tanah dan Lingkungan, 13(1), 35–41.

Selengkapnya
Strategi Adaptif Hadapi Banjir Sawah: Inovasi Pertanian Padi Menuju Ketahanan Iklim

Banjir Semarang

Mengukur Efektivitas Polder di Semarang: Studi Kinerja Drainase Kota dengan Balanced Scorecard

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 September 2025


Pendahuluan: Antara Perluasan Kota dan Ancaman Air

Sebagai kota pesisir sekaligus ibu kota Provinsi Jawa Tengah, Semarang menghadapi tekanan ganda: pesatnya urbanisasi di satu sisi, dan ancaman banjir serta rob di sisi lain. Di kawasan seperti Tambakmulyo, Tanjung Mas, dan Bandarharjo tercatat penurunan muka tanah mencapai rata-rata 40 cm per tahun. Pemerintah merespons kondisi ini melalui pembangunan sistem polder sebagai solusi struktural utama.

Namun, sejauh mana efektivitas sistem polder yang kini terdapat empat (Polder Tanah Mas, Banger, Kali Semarang, dan Tawang) dalam mengendalikan banjir dan rob?

Untuk menjawabnya, Nugroho dkk. mencakup kinerja keempat polder dengan pendekatan strategi manajemen populer, Balanced Scorecard (BSC),sebuah alat ukur komprehensif yang tidak hanya menilai aspek teknis, tetapi juga menimbang kepuasan pengguna, kapasitas keuangan, hingga pembelajaran dan pengembangan sistem.

Apa Itu Sistem Polder dan Mengapa Penting?

Sistem polder adalah sistem pengelolaan tata udara terpadu di dataran rendah. Komponennya meliputi:

  • Kolam retensi
  • Drainase
  • Tanggul
  • Pompa air
  • Pintu air

Sistem ini memungkinkan kawasan di bawah permukaan laut tetap kering melalui manajemen udara aktif. Di kota-kota seperti Rotterdam, Belanda, sistem ini telah terbukti menyelamatkan jutaan meter persegi dari penampungan udara.

Semarang pun meniru strategi ini, dan mulai mengembangkan polder sejak dua dekade terakhir. Tetapi seiring berjalannya waktu, muncul masalah: beberapa polder tidak terpelihara, kolam dipenuhi sampah, masyarakat tidak merasa memiliki, bahkan sebagian, seperti Polder Tawang, beralih fungsi menjadi arena prostitusi dan perdagangan informal.

Metodologi: Mengukur Kinerja dengan Balanced Scorecard

Balanced Scorecard (Kaplan & Norton, 1992) mengukur kinerja organisasi dari empat perspektif:

  1. Keuangan
  2. Kepuasan pengguna
  3. Proses internal
  4. Pembelajaran dan pengembangan

Penelitian ini menambahkan perspektif kelima: kinerja badan pengelola, dengan pendekatan kuantitatif menggunakan bobot Analytic Hierarchy Process (AHP) dan kuisioner lapangan.

Nilai akhir dihitung dari skor setiap indikator di lima bidang kinerja, lalu ditotal untuk menentukan polder mana yang paling ideal dari sisi manajemen, teknis, dan sosial.

Hasil Penilaian: Siapa yang Unggul?

1. Polder Tanah Mas – Skor: 73,81

✅ Nilai tertinggi secara keseluruhan. Dikelola oleh paguyuban masyarakat (P5L), menunjukkan kemandirian finansial dan pengelolaan demokratis.
❌ Nilai “pembelajaran dan pengembangan” masih lemah.

2. Polder Banger – Skor: 67,21

✅ Terencana sejak awal. Nilai tinggi dalam proses internal dan badan pengelola.
❌ Namun, kepuasan pengguna masih rendah karena belum berfungsi sempurna.

3. Polder Kali Semarang – Skor: 58,70

✅ Memiliki sistem operasional yang cukup stabil.
❌ Nilai keuangan dan partisipasi masyarakat rendah.

4. Polder Tawang – Skor: 58,65

✅ Nilai pengguna cukup tinggi.
❌ Kondisi kolam retensi memprihatinkan—tidak higienis, tidak aman, dan minim fungsi edukatif maupun estetika.

Analisis Tambahan: Apa yang Menentukan Kinerja?

Faktor Penentu Kinerja Tinggi:

  • Badan pengelola yang legal, aktif, dan inklusif.
  • Partisipasi masyarakat dalam operasional dan dana.
  • Pemeliharaan rutin dan SOP pengendalian udara yang jelas.
  • Sistem pengarsapan, pemantauan kualitas udara, dan tanggapan terhadap keluhan.

Masalah Umum:

  • Keterbatasan dana operasional. Banyak polder yang masih tergantung APBD.
  • Kurangnya edukasi dan peran serta warga.
  • Tidak semua polder punya rencana jangka panjang.

Opini dan Perbandingan: Belajar dari Model Luar Negeri

Semarang bisa belajar dari:

  • Rotterdam : kolaborasi antara warga, pemerintah, dan sektor swasta menjadi dasar sistem drainase adaptif dan cerdas.
  • Tokyo : memiliki sistem monitoring rob otomatis dan tanggul bawah tanah raksasa.
  • Jakarta : proyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) yang menggabungkan polder, tanggul laut, dan reklamasi.

Namun kunci keberhasilannya tetap satu: keterlibatan masyarakat secara aktif.

Saran untuk Semarang: Menuju Pengelolaan Polder Berbasis Komunitas

  1. Legalitas dan profesionalisasi badan pengelola harus menjadi syarat mutlak setiap pembangunan polder baru.
  2. Transparansi dana dan partisipasi warga dalam operasional menjamin kepunahan.
  3. Fungsi edukatif dan rekreatif kolam retensi perlu diaktifkan untuk mencegah perubahan fungsi sosial negatif.
  4. Insentif untuk warga yang berpartisipasi aktif dalam pemeliharaan, misalnya lewat diskon iuran atau program padat karya.

Kesimpulan: Infrastruktur Tak Cukup, Manajemen Adalah Kunci

Polder sebagai teknologi bisa dibangun dengan cepat. Namun pengelolaannya—baik dari aspek keuangan, teknis, maupun sosial—menentukan apakah sistem ini berhasil atau gagal. Studi Nugroho dkk. menunjukkan bahwa model berbasis masyarakat seperti di Tanah Mas adalah yang paling ideal.

Pengendalian perampokan dan banjir bukan hanya urusan teknokrat, tetapi juga partisipasi warga, visi jangka panjang, dan keberanian mengadopsi manajemen modern seperti Balanced Scorecard.

Sumber:

Nugroho, H., Kurniani, D., Asiska, M., & Nuraini. (2016). Kajian Kinerja Sistem Polder sebagai Model Pengembangan Drainase Kota Semarang Bagian Bawah dengan Balanced Scorecard . Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil, 22(1), 43–50.

Selengkapnya
Mengukur Efektivitas Polder di Semarang: Studi Kinerja Drainase Kota dengan Balanced Scorecard

Inovasi Teknologi

Resensi Konseptual dan Reflektif: Investigating the Nexus between Green Transformational Leadership, Green Innovation, and Environmental Performance

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 08 September 2025


Pendahuluan

Artikel “Investigating the Nexus between Green Transformational Leadership, Green Innovation, and Environmental Performance” (Ibrahim A. Elshaer, Hazem Rasheed, et al., 2022) diterbitkan dalam jurnal Sustainability. Penelitian ini menguji hubungan antara kepemimpinan transformasional hijau (Green Transformational Leadership, GTL), inovasi hijau, dan kinerja lingkungan dalam konteks sektor pariwisata di Pakistan. Dengan data dari 439 manajer hotel dan analisis berbasis Partial Least Squares-Structural Equation Modeling (PLS-SEM), studi ini berupaya menjawab bagaimana gaya kepemimpinan pro-lingkungan dapat mendorong inovasi dan hasil lingkungan yang lebih baik.

Resensi ini menafsirkan ulang seluruh isi paper dengan pendekatan konseptual dan reflektif, menyoroti kontribusi ilmiah, kerangka teori, narasi argumentatif, serta mengkritisi metodologi yang digunakan.

Kerangka Teori: Kepemimpinan dan Keberlanjutan

Transformational Leadership dan Variannya

Dasar teoritis penelitian adalah teori transformational leadership yang dipopulerkan oleh Bass. Kepemimpinan ini menekankan pengaruh karismatik, inspirasi, stimulasi intelektual, dan perhatian individual. Artikel ini mengembangkan varian green transformational leadership (GTL), yaitu gaya kepemimpinan yang mengarahkan visi dan nilai-nilai karyawan ke arah keberlanjutan.

Refleksi: pendekatan ini menunjukkan evolusi teori kepemimpinan—dari orientasi kinerja menuju keberlanjutan lingkungan. Namun, tantangannya ialah mendefinisikan dengan tepat sejauh mana “green” berbeda dari kepemimpinan transformasional biasa.

Green Innovation

Konsep inovasi hijau merujuk pada adopsi produk, proses, atau praktik baru yang mengurangi dampak lingkungan. Penulis menekankan dua jenis:

  • Green product innovation (misalnya desain ramah lingkungan).

  • Green process innovation (misalnya teknologi hemat energi).

Interpretasi saya: inovasi hijau diposisikan sebagai jembatan antara kepemimpinan hijau dan hasil lingkungan. Ini konsisten dengan literatur inovasi yang menempatkan proses kreatif sebagai mediator utama.

Environmental Performance

Kinerja lingkungan diukur melalui indikator seperti pengurangan limbah, efisiensi energi, dan kepatuhan terhadap regulasi. Penulis melihatnya sebagai hasil akhir dari interaksi antara GTL dan inovasi hijau.

Metodologi

Desain dan Sampel

Penelitian menggunakan desain kuantitatif survei. Data dikumpulkan dari 439 manajer hotel di Pakistan, dengan tingkat respons 73%. Jumlah ini memadai untuk model PLS-SEM.

Analisis Statistik

  • PLS-SEM dipilih karena cocok untuk model prediktif dan variabel laten.

  • Validitas konvergen dan diskriminan diuji.

  • Reliabilitas konstruk dikonfirmasi (Cronbach’s alpha > 0,70).

Refleksi metodologis: PLS-SEM tepat digunakan untuk menjelaskan hubungan kausal dalam model kompleks. Namun, pendekatan cross-sectional membatasi inferensi temporal.

Hasil Empiris

Hubungan Antarvariabel

  • GTL → Green Innovation: hubungan positif signifikan (β = 0,621, p < 0,001).

  • Green Innovation → Environmental Performance: hubungan positif signifikan (β = 0,544, p < 0,001).

  • GTL → Environmental Performance: hubungan positif signifikan (β = 0,327, p < 0,001).

Interpretasi: GTL tidak hanya berpengaruh langsung terhadap kinerja lingkungan, tetapi juga secara tidak langsung melalui inovasi hijau. Artinya, inovasi bertindak sebagai mediator.

Uji Mediasi

Analisis mediasi menunjukkan bahwa green innovation memediasi sebagian hubungan GTL dan kinerja lingkungan. Dengan kata lain, tanpa inovasi, pengaruh GTL tetap ada tetapi lebih lemah.

R² Model

  • Green Innovation: R² = 0,386 (cukup kuat).

  • Environmental Performance: R² = 0,417 (cukup kuat).

Refleksi teoritis: angka ini menegaskan kontribusi signifikan GTL dan inovasi dalam menjelaskan variasi kinerja lingkungan.

Diskusi Reflektif

Kontribusi Ilmiah

  1. Pengembangan konsep GTL: memperluas teori kepemimpinan transformasional ke ranah keberlanjutan.

  2. Peran inovasi hijau: dibuktikan secara empiris sebagai mekanisme kunci.

  3. Konteks pariwisata Pakistan: memberikan data dari kawasan yang jarang diteliti dalam literatur keberlanjutan.

Kritik Metodologi

  • Cross-sectional: sulit menangkap dinamika perubahan jangka panjang.

  • Self-reported data: potensi bias sosial-desirabilitas, karena manajer cenderung melaporkan perilaku pro-lingkungan.

  • Konteks terbatas: hanya industri hotel di Pakistan, sehingga generalisasi terbatas.

Narasi Argumentatif

Penulis membangun argumen dengan runtut: GTL membentuk visi hijau → karyawan berinovasi → organisasi meningkatkan kinerja lingkungan. Logika ini konsisten, meskipun cenderung linier. Refleksi saya: hubungan bisa lebih kompleks, misalnya dipengaruhi faktor eksternal (regulasi, pasar global).

Implikasi Ilmiah dan Praktis

Implikasi Ilmiah

  • Menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan dapat diposisikan sebagai variabel kunci dalam studi keberlanjutan.

  • Memvalidasi pentingnya inovasi sebagai mediator, mendukung teori difusi inovasi dalam konteks hijau.

  • Memberi dasar bagi penelitian komparatif lintas sektor dan negara.

Implikasi Praktis

  • Manajer hotel perlu menginternalisasi nilai-nilai hijau dalam kepemimpinan sehari-hari.

  • Kebijakan pariwisata dapat dirancang dengan mendorong program kepemimpinan hijau.

  • Investasi inovasi (produk dan proses) harus diprioritaskan untuk hasil lingkungan yang optimal.

Kesimpulan

Artikel ini membuktikan bahwa kepemimpinan transformasional hijau berkontribusi signifikan terhadap kinerja lingkungan, baik secara langsung maupun melalui inovasi hijau. Dengan data empiris dari sektor perhotelan Pakistan, studi ini memperluas cakrawala teori kepemimpinan dan inovasi hijau.

Secara reflektif, kontribusinya terletak pada penggabungan aspek kepemimpinan, inovasi, dan keberlanjutan dalam satu kerangka. Meski terbatas dalam konteks dan desain, penelitian ini tetap membuka jalan bagi kajian lintas disiplin tentang peran manusia dalam agenda keberlanjutan global.

DOI resmi: https://doi.org/10.3390/su141911917

Selengkapnya
Resensi Konseptual dan Reflektif: Investigating the Nexus between Green Transformational Leadership, Green Innovation, and Environmental Performance

Energi Terbarukan & Pemeliharaan AI

Artificial Intelligence Based Prognostic Maintenance of Renewable Energy Systems

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 08 September 2025


Artificial Intelligence Based Prognostic Maintenance of Renewable Energy Systems

Paper “Artificial Intelligence Based Prognostic Maintenance of Renewable Energy Systems: A Review of Techniques, Challenges, and Future Research Directions” karya Yasir Saleem Afridi, Kashif Ahmad, dan Laiq Hassan (2021) adalah salah satu tulisan penting yang membedah bagaimana Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning (ML) berperan besar dalam meningkatkan Prognostic Maintenance (pemeliharaan prediktif) pada sistem energi terbarukan, khususnya tenaga hidro, angin, dan surya. Paper ini tidak hanya membahas teori, tetapi juga menyoroti implementasi nyata, tantangan besar di lapangan, serta peluang masa depan yang bisa dimanfaatkan industri energi. Dalam resensi panjang ini, gue akan membahas isi paper dengan gaya yang aplikatif, menyoroti relevansi terhadap kebutuhan dunia nyata, dan sekaligus memberi opini kritis tentang kelebihan maupun kelemahan dari pendekatan yang dipaparkan.

Kenapa Prognostic Maintenance Jadi Isu Penting?

Di era transisi energi sekarang, dunia bergerak cepat dari ketergantungan bahan bakar fosil menuju energi terbarukan. Energi terbarukan di sini mencakup hydropower (pembangkit listrik tenaga air), wind power (pembangkit listrik tenaga angin), dan solar power (pembangkit listrik tenaga surya). Tantangan utama dari energi terbarukan bukan hanya soal produksi, tapi juga keandalan operasi. Sebab, ketika satu unit turbin angin besar gagal beroperasi, kerugian finansial bisa mencapai ratusan ribu dolar akibat downtime, biaya teknisi, hingga kehilangan energi yang seharusnya masuk ke jaringan listrik.

Tradisionalnya, ada dua jenis metode pemeliharaan mesin:

  1. Run-to-Failure (reaktif) → tunggu sampai rusak, baru diperbaiki.
  2. Preventive Maintenance (berbasis jadwal) → cek rutin sesuai kalender, tanpa lihat kondisi nyata mesin.

Keduanya dinilai tidak efisien di sistem modern yang kompleks. Misalnya, preventive maintenance bisa terlalu sering dilakukan walaupun mesin masih sehat, sedangkan run-to-failure bisa bikin downtime panjang. Maka, muncullah konsep Condition-Based Monitoring (CBM) yang memanfaatkan sensor untuk membaca kondisi real-time mesin, serta Prognostic Health Management (PHM) yang bahkan bisa memprediksi kerusakan sebelum terjadi.

Prognostic Maintenance ini memanfaatkan data sensor, analitik, dan algoritma AI untuk memperkirakan Remaining Useful Life (RUL) dari komponen. Konsep RUL ini penting karena menentukan kapan idealnya suatu komponen diganti agar efisien dan tidak menunggu rusak total. Dengan kata lain, AI di sini berperan sebagai “dokter” mesin, yang bisa memantau kondisi kesehatan dan kasih peringatan dini.

Evolusi Condition-Based Monitoring (CBM)

Dalam paper, penulis menjelaskan bagaimana CBM berevolusi dari sekadar System Health Monitoring (SHM) yang sifatnya observatif menjadi sistem prognostik yang prediktif. Ada tiga langkah utama dalam CBM modern:

  1. Data Collection (pengumpulan data) → sensor mencatat variabel penting seperti getaran, suhu, tekanan, arus listrik.
  2. Data Pre-processing (pembersihan data) → data dinormalisasi, outlier dihapus, sehingga lebih siap dipakai.
  3. Decision Making (keputusan berbasis AI/ML) → algoritma machine learning menganalisis data untuk menentukan apakah maintenance harus dilakukan.

Menariknya, paper juga menyoroti perbedaan antara diagnostics dan prognostics. Diagnostics adalah analisis pasca-kerusakan, sedangkan prognostics adalah prediksi sebelum kerusakan. Dalam praktiknya, prognostics lebih unggul untuk mengurangi downtime, tapi diagnostics tetap penting untuk identifikasi cepat jika prediksi gagal.

Penerapan pada Energi Terbarukan

1. Pembangkit Listrik Tenaga Air (Hydropower)

Hydropower adalah energi terbarukan tertua yang masih diandalkan banyak negara. Tantangan utama di sini adalah menjaga availability (ketersediaan operasi) karena turbin air harus bekerja 24/7 untuk pasokan base load.

  • Studi kasus Francis Turbine → dipantau dengan Wavelet Analysis yang bisa mendeteksi getaran abnormal, kavitasi, dan penurunan efisiensi.
  • Support Vector Machine (SVM) dipakai untuk klasifikasi fault. SVM terbukti akurat, tapi kekurangannya adalah waktu komputasi yang tinggi.
  • Fog Computing & Docker Container → diimplementasikan di PLTA Zhen Touba (China), yang mempercepat pemrosesan data real-time tanpa bottleneck cloud computing.

🔎 Analisis Praktis:
Keunggulan AI di hydropower adalah mengurangi risiko kerusakan turbin besar, yang biaya perbaikannya bisa sangat mahal. Namun, masalah utamanya adalah data real-life jarang tersedia. Kebanyakan model dilatih dengan data simulasi, sehingga saat masuk ke dunia nyata, adaptasinya sulit. Ini bikin perusahaan kadang ragu menginvestasikan AI kalau hasil prediksi belum terbukti robust.

2. Pembangkit Listrik Tenaga Angin (Wind Power)

Wind power adalah sektor yang paling banyak diteliti karena turbin angin punya tingkat kegagalan tinggi. Beberapa poin penting dari paper:

  • Gearbox adalah komponen paling kritis, menyumbang sekitar 13% dari biaya total turbin 5MW.
  • SCADA (Supervisory Control and Data Acquisition) data sering dipakai, tapi sistem alarm bawaan sering tidak optimal.
  • Teknik Empirical Mode Decomposition (EMD) dan Continuous Wavelet Transform (CWT) efektif mendeteksi fault pada generator & gearbox.
  • Studi terhadap 67 turbin menemukan rata-rata turbin berhenti 13 hari sebelum kerusakan besar, sehingga prediksi RUL sangat membantu.

🔎 Analisis Praktis:
Untuk turbin lepas pantai, akses teknisi mahal (pakai kapal atau helikopter). Kalau prediksi AI bisa akurat, downtime bisa ditekan dan biaya O&M jauh lebih efisien. Namun, tantangannya adalah kondisi ekstrem seperti badai atau variasi beban yang bikin akurasi prediksi masih rendah.

3. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (Solar Power)

Sistem PV (photovoltaic) relatif lebih jarang rusak karena tidak ada bagian mekanik. Tapi ada isu lain seperti shading, degradasi modul, hingga inverter failure.

  • ANN-based monitoring berhasil mendeteksi degradasi akibat Potential Induced Degradation (PID).
  • Thermographic Imaging via Drone → cara cepat mendeteksi panel rusak tanpa perlu turun tangan manual.
  • PCA-SVM model dipakai untuk prediksi Performance Ratio (PR) panel surya → hasilnya lebih akurat dibanding regresi linear.

🔎 Analisis Praktis:
Di ladang surya besar yang terdiri dari ribuan panel, maintenance manual jelas mahal. Dengan AI + drone, perusahaan bisa hemat biaya tenaga kerja sekaligus mempercepat inspeksi. Tapi kelemahannya tetap sama: butuh data cuaca dan radiasi matahari historis yang lengkap agar prediksi PR benar-benar akurat.

Teknik AI dan Machine Learning dalam Prognostic Maintenance

Penulis mengklasifikasi empat pendekatan utama:

  1. Classical ML (SVM, Decision Tree, Random Forest)
    • Cocok untuk dataset kecil.
    • Interpretasi mudah.
    • Kekurangan: butuh feature engineering manual.
  2. Fuzzy Logic
    • Sangat interpretatif.
    • Bisa dipahami oleh operator non-teknis.
    • Kekurangan: tidak bisa belajar sendiri, butuh aturan dari pakar.
  3. Hidden Markov Models (HMMs)
    • Bagus untuk sistem dengan multi-failure mode.
    • Mampu memodelkan data temporal.
    • Kekurangan: komputasi mahal, butuh data besar.
  4. Neural Networks (NNs: ANN, CNN, RNN, LSTM)
    • Kuat untuk data non-linear dan big data.
    • CNN cocok untuk gambar (misalnya deteksi visual turbin).
    • LSTM unggul dalam prediksi deret waktu.
    • Kekurangan: black-box, interpretasi susah, data training besar.

🔎 Insight Industri:
Perusahaan kecil-menengah bisa mulai dari SVM atau fuzzy logic karena murah dan lebih mudah dijelaskan. Sedangkan perusahaan besar dengan akses big data bisa memanfaatkan LSTM atau CNN untuk sistem yang lebih kompleks.

Dataset Publik yang Tersedia

Paper ini juga membahas beberapa dataset penting untuk pelatihan model AI:

  • Wind Turbine Vibration Data → 16.384 sinyal getaran dari 6 turbin.
  • IMS Bearing Dataset → data getaran untuk eksperimen kerusakan bearing.
  • Endoscopic Images of Gearbox Bearings → 2.301 gambar komponen turbin.
  • SCADA Wind Generator Dataset → 101 fitur yang mencakup kecepatan angin, RPM, arus, tegangan.

🔎 Opini: Dataset ini bagus untuk akademik, tapi dalam dunia nyata, data kegagalan jarang dibuka ke publik karena alasan komersial. Ini salah satu penghambat riset prediktif.

Tantangan dan Kritik

Beberapa tantangan yang diangkat penulis:

  1. Ketersediaan Data → data asli terbatas.
    • Kritik: paper kurang membahas opsi federated learning atau synthetic data sebagai solusi.
  2. Interpretabilitas AI → model deep learning sulit dijelaskan.
    • Kritik: perlu bahasan tentang Explainable AI (XAI) biar hasil prediksi lebih dipercaya operator.
  3. Security & Adversarial Attacks → sistem IoT rawan diretas.
    • Kritik: paper hanya menyentuh permukaan, padahal isu ini krusial di industri energi.
  4. Biaya Implementasi → sistem AI canggih mahal untuk skala kecil.
    • Kritik: paper tidak banyak membahas model bisnis atau ROI bagi perusahaan kecil-menengah.

Arah Masa Depan

Penulis menegaskan bahwa masa depan ada di:

  • Cloud & Edge/Fog Computing untuk real-time monitoring.
  • Integrasi dengan Smart Grid biar sistem prediktif bisa terhubung langsung dengan jaringan energi.
  • Kolaborasi riset-industri untuk berbagi data lebih terbuka.

Kesimpulan

Paper ini layak jadi landasan literatur utama untuk topik prognostic maintenance di energi terbarukan. Kelebihannya ada pada cakupan komprehensif, membahas hidro, angin, dan surya sekaligus. Namun ada beberapa kelemahan: solusi data terbatas belum jelas, keamanan dibahas dangkal, dan business case kurang kuat.

Meski begitu, kontribusinya besar: industri energi bisa mulai mengadopsi AI sederhana sembari menunggu solusi deep learning matang. Dengan tren global menuju net zero emission, sistem prediktif berbasis AI akan jadi fondasi penting untuk menjaga keandalan infrastruktur energi hijau.

📖 Sumber: https://doi.org/10.48550/arXiv.2104.12561

Selengkapnya
Artificial Intelligence Based Prognostic Maintenance of Renewable Energy Systems

Sistem Informasi Akademik

Resensi Konseptual dan Reflektif: The Effects of TQM Practices on Performance of Organizations: A Case of Selected Manufacturing Industries in Saudi Arabia

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 08 September 2025


Pendahuluan

Artikel “The Effects of TQM Practices on Performance of Organizations: A Case of Selected Manufacturing Industries in Saudi Arabia” (Harith Yasa, Alanoud Bandar Alsaud, Hajar Ahmed Almaghrabi, Amani Ahmed Almaghrabi, dan Bestoon Othman, 2021) diterbitkan dalam Management Science Letters. Studi ini menelaah bagaimana Total Quality Management (TQM) dan praktik pemasaran berkontribusi terhadap kinerja organisasi, khususnya di sektor manufaktur Saudi Arabia. Dengan data dari 289 responden dan analisis menggunakan SPSS serta korelasi Pearson, penulis menyajikan temuan empiris yang memperkuat pentingnya TQM dalam meningkatkan daya saing global.

Resensi ini memparafrasekan isi artikel, menyoroti kerangka teori yang digunakan, menguraikan hasil numerik, dan memberikan refleksi kritis atas metodologi serta narasi argumentatif yang ditawarkan.

Kerangka Teoretis

Teori Kontinjensi

Studi ini berlandaskan pada teori kontinjensi struktural (Donaldson, 1996). Inti dari teori ini adalah bahwa tidak ada satu struktur organisasi yang ideal untuk semua situasi. Sebaliknya, organisasi harus menyesuaikan diri dengan faktor-faktor kontinjensi seperti teknologi, ukuran perusahaan, tingkat ketidakpastian, dan akuntabilitas.

Penulis mengadopsi model SARFIT (Structural Adaptation to Regain Fit) dengan lima tahap:

  1. Organisasi berada dalam kondisi fit dengan lingkungannya.

  2. Terjadi perubahan faktor kontinjensi.

  3. Organisasi masuk ke kondisi misfit, kinerja menurun.

  4. Organisasi menyesuaikan struktur untuk mengatasi misfit.

  5. Tercapai fit baru, kinerja meningkat kembali.

Refleksi saya: teori ini relevan dengan konteks manufaktur Saudi, yang menghadapi tekanan globalisasi. TQM diinterpretasikan sebagai mekanisme adaptasi struktural untuk mempertahankan fit.

Konsep TQM dan Pemasaran

TQM dipahami sebagai seperangkat praktik manajerial: keterlibatan karyawan, fokus pada pelanggan, dan peningkatan berkelanjutan. Pemasaran ditempatkan sebagai pendukung TQM, karena kualitas produk harus dikomunikasikan kepada pasar. Secara konseptual, penulis menyatukan dua ranah: proses internal (TQM) dan orientasi eksternal (pemasaran) sebagai determinan kinerja.

Metodologi

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif dengan survei online (SurveyMonkey). 289 karyawan dari berbagai industri manufaktur di Saudi dipilih secara acak. Ukuran sampel dihitung dengan formula Kish, menghasilkan jumlah tepat 289.

Teknik Analisis

  • Deskriptif statistik: menggambarkan profil responden.

  • Korelasi Pearson: menilai hubungan antara TQM, pemasaran, dan kinerja.

  • Hipotesis diuji: keterlibatan karyawan, fokus pelanggan, pemasaran → kinerja organisasi.

Refleksi metodologis: pendekatan ini cukup standar untuk riset manajemen. Namun, penggunaan korelasi saja membatasi inferensi kausalitas; hasil hanya menunjukkan asosiasi.

Hasil Empiris

Profil Responden

  • Usia dominan: 26–34 tahun (48,9%).

  • Mayoritas pria: 71,1%.

  • Jabatan: 52% manajer, 48% pemilik.

  • Skala usaha bervariasi: karyawan <5 hingga >75 orang; omzet <500 ribu hingga >1 juta riyal.

Interpretasi: sampel merepresentasikan spektrum luas industri manufaktur Saudi, namun dengan bias gender signifikan (maskulin).

Analisis TQM

  • Keterlibatan karyawan: 48% responden sangat setuju bahwa keterlibatan karyawan berpengaruh positif; hanya 7% ragu.

  • Fokus pelanggan: 43% sangat setuju bahwa fokus pada pelanggan meningkatkan kinerja; 11% ragu.

  • Pemasaran: 91% sangat setuju bahwa strategi pemasaran memengaruhi kinerja, tanpa ada yang menolak.

Korelasi Statistik

  • Keterlibatan karyawan ↔ kinerja: r = 0,247; p = 0,011.

  • Fokus pelanggan ↔ kinerja: r = 0,214; p = 0,025.

  • Pemasaran ↔ kinerja: r = 0,431; p = 0,021.

Interpretasi: pemasaran ternyata memiliki kekuatan hubungan lebih tinggi dibanding dimensi TQM lainnya. Hal ini menyoroti pentingnya aspek eksternal dalam performa.

Diskusi Reflektif

Kekuatan Studi

  • Mengintegrasikan teori kontinjensi dengan praktik TQM.

  • Menyediakan bukti empiris dari konteks Saudi yang relatif jarang diteliti.

  • Menampilkan hasil numerik yang jelas (r, p-value) sebagai basis analisis.

Kritik Metodologi

  1. Keterbatasan korelasi: asosiasi tidak sama dengan kausalitas.

  2. Variabel terbatas: hanya menyoroti keterlibatan, pelanggan, pemasaran. Dimensi TQM lain (misalnya proses, sistem terintegrasi) diabaikan.

  3. Bias responden: dominasi pria dan manajer dapat membentuk persepsi positif yang tidak mencerminkan realitas karyawan operasional.

  4. Reduksi kompleksitas: pemasaran diperlakukan homogen, padahal strategi bisa beragam (digital, konvensional, relasi pelanggan).

Refleksi Teoretis

Narasi artikel menegaskan bahwa kualitas internal harus dipadukan dengan komunikasi eksternal. Dalam kerangka kontinjensi, TQM memberi fit internal, sementara pemasaran menjaga fit eksternal dengan lingkungan pasar. Hubungan positif yang ditemukan memperkuat argumen bahwa keberhasilan organisasi adalah hasil dari interaksi keduanya.

Implikasi Ilmiah dan Praktis

Implikasi Ilmiah

  • Konfirmasi relevansi teori kontinjensi dalam konteks manufaktur Saudi.

  • Memberikan bukti empiris bahwa pemasaran tidak boleh dipisahkan dari TQM.

  • Menawarkan model sederhana keterkaitan antara keterlibatan, pelanggan, pemasaran, dan kinerja.

Implikasi Praktis

  • Manajer manufaktur perlu memperkuat program keterlibatan karyawan (pelatihan, partisipasi keputusan).

  • Fokus pelanggan harus berbasis riset pasar dinamis.

  • Pemasaran strategis terbukti sebagai pengungkit utama performa.

Kesimpulan

Artikel ini menyimpulkan bahwa TQM dan pemasaran memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi manufaktur di Saudi Arabia. Keterlibatan karyawan dan fokus pelanggan penting, tetapi strategi pemasaran terbukti paling kuat. Secara konseptual, karya ini menekankan pentingnya menyesuaikan struktur organisasi dengan faktor internal dan eksternal (kontinjensi) agar tercapai kinerja optimal.

Meski terbatas dalam lingkup variabel dan metodologi, kontribusinya nyata: menunjukkan sinergi TQM dan pemasaran sebagai fondasi keberhasilan organisasi dalam era globalisasi.

DOI resmi: https://doi.org/10.5267/j.msl.2020.9.017

Selengkapnya
Resensi Konseptual dan Reflektif: The Effects of TQM Practices on Performance of Organizations: A Case of Selected Manufacturing Industries in Saudi Arabia

Risiko Bencana

Strategi Pengurangan Risiko Bencana di Wilayah Konflik: Membaca Tantangan dan Peluang dari Studi Global

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 September 2025


Saat Bencana dan Konflik Bertabrakan

Dalam konteks global yang semakin kompleks, strategi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction / DRR) tidak bisa lagi dipisahkan dari dinamika sosial-politik, terutama konflik bersenjata. Paper berjudul “Disaster Risk Reduction Strategies: Navigating Conflict Contexts” yang ditulis oleh Katie Peters, Laura E.R. Peters, John Twigg, dan Colin Walch (2019) menyoroti pentingnya penyelarasan strategi DRR dengan konteks konflik yang masih jarang diperhatikan secara sistematis.

Laporan ini merupakan hasil kolaborasi antara Overseas Development Institute (ODI), GIZ (Jerman), dan BMZ, serta merupakan bagian dari proyek When disasters and conflict collide. Dengan meninjau strategi internasional, regional, dan nasional serta alat teknis DRR, paper ini memperlihatkan celah besar dalam pendekatan DRR terhadap wilayah konflik. Lebih jauh, laporan ini memberikan arahan strategis yang sangat relevan untuk konteks negara-negara seperti Indonesia, Myanmar, atau Afghanistan.

H2: Target E Sendai Framework dan Relevansi Konteks Konflik

Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030 menjadi kerangka kerja utama dalam kebijakan DRR global. Di antara tujuh target globalnya, Target E memiliki tenggat waktu paling mendesak, yakni meningkatkan jumlah negara yang memiliki strategi DRR nasional dan lokal pada tahun 2020. Namun, implementasi Target E cenderung mengabaikan aspek konflik bersenjata yang justru sangat krusial di negara-negara rawan bencana.

Dalam praktiknya, wilayah yang tergolong sebagai conflict-affected, post-conflict, atau fragile states justru memiliki kemungkinan paling rendah untuk memiliki strategi DRR yang memadai. Contoh negara dalam kategori ini meliputi Afghanistan, Chad, Haiti, Liberia, dan Kolombia.

H2: Studi Kasus Negara: Tantangan Merancang DRR di Wilayah Konflik

H3: Afghanistan – Antara Bencana dan Ketidakstabilan Politik

Afghanistan merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko bencana dan konflik tertinggi di dunia. Dengan lebih dari 2,5 juta pengungsi dan 1,3 juta pengungsi internal, interaksi antara kekeringan, banjir, dan konflik menjadi sangat kompleks.

Dokumen DRR seperti Afghanistan Strategic National Action Plan (SNAP) menyebutkan bahwa perbedaan antara bencana alam dan buatan manusia semakin kabur. Strategi ini juga mengakui bahwa konflik menghancurkan kapasitas coping masyarakat dan pemerintah, dan bahwa DRR dapat berperan dalam membangun perdamaian.

Namun, meskipun ambisi tersebut ada, strategi nasional DRR Afghanistan belum menjabarkan secara rinci bagaimana DRR dapat digunakan sebagai alat perdamaian. Masih belum tersedia kerangka kerja implementatif yang jelas tentang Do No Harm atau conflict-sensitive DRR.

H2: Analisis Kerangka Internasional dan Regional

H3: Minimnya Dimensi Konflik dalam Framework Global

Dua kerangka kerja global utama, yakni Hyogo Framework (2005–2015) dan Sendai Framework (2015–2030), hampir tidak memuat referensi eksplisit terhadap konflik atau istilah seperti violence, fragility, peace, atau Do No Harm. Meski negara-negara dengan konflik menandatangani kerangka ini, tidak ada dorongan kuat agar strategi DRR disesuaikan dengan kondisi konflik mereka.

Saat penyusunan Sendai Framework, sejumlah negara anggota keberatan terhadap penyebutan eksplisit “armed conflict” atau “foreign occupation” karena alasan politis. Akibatnya, aspek konflik tersingkir dari kerangka kerja final.

H3: Afrika – Pengakuan Terbatas terhadap Hubungan Konflik dan Bencana

Strategi DRR regional Afrika cukup eksplisit dalam mengakui hubungan antara konflik dan bencana. Misalnya:

  • African Strategy for Disaster Risk Reduction menyebut bahwa konflik bisa meningkatkan risiko bencana dan sebaliknya.
  • Programme of Action 2015–2030 menyatakan perlunya penguatan sinergi antara DRR, adaptasi iklim, dan fragility.
  • Wilayah seperti East Africa bahkan menyatakan konflik sebagai bencana buatan manusia.

Namun, dokumen tersebut tidak menjabarkan mekanisme atau panduan untuk melaksanakan strategi DRR di wilayah konflik.

H3: Asia dan Timur Tengah – Banyak PR yang Tertinggal

Di Asia, walaupun memiliki struktur DRR yang maju, sebagian besar strategi DRR tidak membahas keterkaitan antara bencana dan konflik. Fokus lebih diberikan pada isu keamanan pangan atau kekerasan berbasis gender. Misalnya:

  • ASEAN Vision 2025 on Disaster Management menyebut ancaman keamanan non-tradisional, namun tidak menjabarkan konflik sebagai faktor utama risiko.
  • Arab Strategy for DRR hanya menyebut konflik sebagai risiko sekunder tanpa strategi spesifik.

Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan besar antara pengakuan terhadap konflik sebagai risiko dan penerapannya dalam kebijakan DRR.

H2: Alat Teknis dan Kerangka Evaluasi: Apakah Lebih Baik?

H3: Disaster Recovery Framework (DRF)

DRF dikembangkan oleh GFDRR dan digunakan untuk merancang strategi pemulihan pascabencana. Namun, meskipun disebut komprehensif, DRF jarang sekali memasukkan dinamika konflik sebagai variabel dalam perencanaan pemulihan.

H3: Vulnerability and Capacity Assessment (VCA)

VCA banyak digunakan oleh NGO seperti IFRC, namun hanya sedikit yang mengadaptasikan alat ini untuk konteks wilayah konflik. Sebagian besar hanya mengevaluasi kerentanan fisik dan sosial tanpa mempertimbangkan potensi konflik sebagai penghambat implementasi DRR.

H2: Rekomendasi Strategis: Menjahit Ulang Strategi DRR untuk Wilayah Konflik

Penulis mengajukan sejumlah rekomendasi penting untuk menjembatani celah antara DRR dan konteks konflik:

  • Minimalis: Do No Harm
    • DRR harus dirancang agar tidak memperburuk konflik yang ada.
  • Konflik sebagai Pemicu Bencana
    • Akui bahwa konflik menciptakan kerentanan dan memperbesar dampak bencana.
  • Konflik sebagai Risiko yang Harus Dikelola
    • DRR harus mengintegrasikan pemahaman konflik dalam penilaian risiko.
  • DRR sebagai Alat Perdamaian
    • Dalam konteks tertentu, DRR bisa digunakan untuk membangun kepercayaan dan mendorong kolaborasi antarkelompok.

H2: Kesenjangan Praktik dan Tantangan Global

Paper ini juga mengungkap bahwa:

  • Tidak ada “one-size-fits-all” dalam strategi DRR. Strategi harus disesuaikan dengan konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya lokal.
  • Negara-negara yang masuk dalam indeks risiko tertinggi (seperti Afghanistan, Chad, Haiti) justru paling sedikit memiliki DRR yang mempertimbangkan konflik.
  • Konflik dapat menjadi blind spot dalam kebijakan DRR jika tidak disadari secara eksplisit.

Kesimpulan: Waktunya DRR Bertransformasi Menjadi Strategi Responsif Konflik

Paper ini menggarisbawahi bahwa strategi DRR konvensional tidak cukup untuk menjawab tantangan wilayah konflik. Ketika konflik dan bencana bersinggungan, strategi DRR perlu melangkah lebih jauh dari sekadar respons terhadap risiko alam. Ia harus mampu beradaptasi dengan kondisi konflik, menyesuaikan pendekatan teknis, serta membuka peluang untuk perdamaian dan rekonsiliasi.

Dengan menerapkan conflict-sensitive DRR, pengambil kebijakan dapat merancang intervensi yang tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial-politik masyarakat di wilayah paling rentan di dunia.

Sumber asli:
Katie Peters, Laura E.R. Peters, John Twigg, dan Colin Walch. (2019). Disaster Risk Reduction Strategies: Navigating Conflict Contexts. Working Paper 555, Overseas Development Institute (ODI).

Selengkapnya
Strategi Pengurangan Risiko Bencana di Wilayah Konflik: Membaca Tantangan dan Peluang dari Studi Global
« First Previous page 122 of 1.243 Next Last »