Teknologi Pertanian
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 September 2025
Pendahuluan: Saat Banjir Tak Lagi Musiman, tapi Sistemik
Banjir di lahan pertanian, khususnya sawah padi, bukan lagi sekedar masalah musiman. Di wilayah seperti Subang, Karawang, Sragen, dan Demak, banjir telah berubah menjadi ancaman tahunan terhadap sistem. Tak hanya menghambat pertumbuhan tanaman, banjir juga memutus rantai produksi pangan, memicu kerugian ekonomi masif, dan memperparah ketimpangan petani.
Dalam konteks inilah, kajian yang dilakukan Abdul Karim Makarim dan Ikhwani mengambil posisi penting. Menggabungkan pendekatan ilmiah, simulasi matematik, serta pengalaman lapangan, penelitian ini menyuguhkan strategi dan inovasi konkret untuk mengurangi kerugian usahatani padi akibat banjir.
Dampak Banjir: Dari Hasil Menurun hingga Pendapatan Terpangkas
Kehilangan Data Produksi
Banjir selama periode 2006–2010 menurunkan hasil padi sebesar:
Pendapatan petani pun diperkirakan hingga Rp6,5–7 juta per hektar. Total kerugian produksi diperkirakan mencapai:
Tanpa tindakan adaptasi, kerugian ini diproyeksi meningkat menjadi:
Faktor Penyebab: Iklim, Hidrologi, dan Agronomi
Penelitian ini mengidentifikasi tiga penyebab utama banjir di sawah:
1. Iklim
Fenomena seperti El Niño, La Niña, IOD, dan MJO membuat curah hujan menjadi ekstrem dan tak menentu. Tren pemanasan global—yang dalam seratus tahun terakhir mencatat kenaikan suhu rata-rata 0,74°C—kian memperkuat ketidakstabilan ini.
2. Hidrologi
Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sistem drainase menyebabkan udara tidak bisa mengalir dengan lancar. Endapan di saluran irigasi, pertumbuhan eceng gondok, serta jembatan sempit memperparah banjir.
3. Agronomi
Kebutuhan udara tanaman yang tidak seimbang dengan ketersediaannya menyebabkan stres udara. Jika pasokan air melampaui kebutuhan, banjir merusak tanaman; sebaliknya, bila pasokan lebih rendah, kekeringan terjadi. Dalam kedua kondisi, produktivitas padi terancam.
Studi Kasus Jawa Barat & Jawa Tengah: Dampak Langsung dan Strategi Petani
Wilayah Jawa Barat: Karawang, Subang, dan Indramayu
Saluran pembuangan udara yang menyempit karena pengendapan lumpur merupakan salah satu penyebab utama banjir dimana sistem drainase tidak mampu mengatasi limpasan dari desa-desa di hulu. Saat musim hujan (Januari–Februari), banjir sering terjadi.
Petani biasanya menanam dua kali:
Hama seperti keong mas semakin ganas saat banjir. Dalam rendaman udara, mereka bergerak cepat dan memangsa padi muda.
Wilayah Jawa Tengah: Sragen, Demak, dan Pati
Banjir menyebabkan puso (gagal panen) hingga 20 hari. Luapan sungai, tanggul jebol, dan saluran irigasi lebih tinggi dari lahan sawah memperparah kondisi.
Petani mencoba berbagai strategi:
Solusi Adaptif: Inovasi Teknologi dan Budaya Bertani
1. Penggunaan Varietas Tahan Rendaman
Varietas seperti Inpara 3, 4 (Swarna Sub-1), dan Inpara 5 (IR64 Sub-1) mampu bertahan 10–14 hari dalam rendaman. Ini jauh lebih baik dibandingkan varietas biasa yang hanya tahan 4–7 hari.
2. Perbaikan Teknik Pemupukan
Penggunaan pupuk slow release atau briket nitrogen terbukti menekan kehilangan unsur hara akibat banjir. Waktu pemupukan yang tepat juga berkontribusi pada pemulihan tanaman.
3. Penataan Pola Tanah
4. Penanganan Hama Adaptif
Strategi pengendalian keong mas disesuaikan kondisi:
Model Simulasi: RENDAMAN.CSM
Model ini dikembangkan untuk menyiarkan dampak rendaman banjir pada hasil padi. Hasil simulasi menunjukkan:
Simulasi ini mendukung kebijakan perencanaan berbasis data, khususnya dalam menentukan jadwal tanam dan distribusi varietas tahan.
Proyeksi Kerugian: 2020 Menjadi Titik Krisis
Menurut model, jika tidak ada kondisi:
Strategi Kebijakan: Prioritas, Keterpaduan, dan Partisipasi
Studi ini merekomendasikan tiga pilar strategi kebijakan:
a. Prioritas Wilayah
Area identifikasi dengan kerusakan DAS berat, drainase buruk, dan pusat produksi padi.
b. Langkah Sistematis
c. Sinergi Lintas Sektor
Pemerintah daerah, kelompok tani, dinas pertanian, dan pengairan perlu duduk bersama menyusun protokol darurat banjir dan kekeringan.
Opini dan Perbandingan: Dari Strategi Lokal ke Agenda Nasional
Studi ini layak diapresiasi karena menyatukan dimensi teknis, sosial, dan ekologi. Dibandingkan penelitian serupa di Vietnam dan Bangladesh, Indonesia relatif tertinggal dalam penerapan varietas tahan banjir dalam skala luas. Padahal, menurut IRRI, varietas seperti Swarna Sub-1 dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional secara signifikan.
Indonesia juga perlu mencontohkan India, yang berhasil membangun pusat prediksi banjir berbasis satelit untuk menjadwalkan tanam dan mendistribusikan benih.
Kesimpulan: Banjir Tak Bisa Dihindari, Tapi Bisa Diantisipasi
Penelitian ini menegaskan bahwa banjir memang akan terus datang. Namun, dengan strategi adaptif, teknologi inovatif, dan kolaborasi lintas sektor, dampaknya dapat ditekan secara signifikan.
Usahatani padi bukan hanya tentang tanam dan panen, tetapi juga tentang memahami iklim, mengelola risiko, dan bersiap menghadapi masa depan yang semakin tak pasti.
Sumber:
Makarim, AK, & Ikhwani. (2011). Inovasi dan Strategi untuk Mengurangi Pengaruh Banjir pada Usahatani Padi . Jurnal Tanah dan Lingkungan, 13(1), 35–41.
Banjir Semarang
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 September 2025
Pendahuluan: Antara Perluasan Kota dan Ancaman Air
Sebagai kota pesisir sekaligus ibu kota Provinsi Jawa Tengah, Semarang menghadapi tekanan ganda: pesatnya urbanisasi di satu sisi, dan ancaman banjir serta rob di sisi lain. Di kawasan seperti Tambakmulyo, Tanjung Mas, dan Bandarharjo tercatat penurunan muka tanah mencapai rata-rata 40 cm per tahun. Pemerintah merespons kondisi ini melalui pembangunan sistem polder sebagai solusi struktural utama.
Namun, sejauh mana efektivitas sistem polder yang kini terdapat empat (Polder Tanah Mas, Banger, Kali Semarang, dan Tawang) dalam mengendalikan banjir dan rob?
Untuk menjawabnya, Nugroho dkk. mencakup kinerja keempat polder dengan pendekatan strategi manajemen populer, Balanced Scorecard (BSC),sebuah alat ukur komprehensif yang tidak hanya menilai aspek teknis, tetapi juga menimbang kepuasan pengguna, kapasitas keuangan, hingga pembelajaran dan pengembangan sistem.
Apa Itu Sistem Polder dan Mengapa Penting?
Sistem polder adalah sistem pengelolaan tata udara terpadu di dataran rendah. Komponennya meliputi:
Sistem ini memungkinkan kawasan di bawah permukaan laut tetap kering melalui manajemen udara aktif. Di kota-kota seperti Rotterdam, Belanda, sistem ini telah terbukti menyelamatkan jutaan meter persegi dari penampungan udara.
Semarang pun meniru strategi ini, dan mulai mengembangkan polder sejak dua dekade terakhir. Tetapi seiring berjalannya waktu, muncul masalah: beberapa polder tidak terpelihara, kolam dipenuhi sampah, masyarakat tidak merasa memiliki, bahkan sebagian, seperti Polder Tawang, beralih fungsi menjadi arena prostitusi dan perdagangan informal.
Metodologi: Mengukur Kinerja dengan Balanced Scorecard
Balanced Scorecard (Kaplan & Norton, 1992) mengukur kinerja organisasi dari empat perspektif:
Penelitian ini menambahkan perspektif kelima: kinerja badan pengelola, dengan pendekatan kuantitatif menggunakan bobot Analytic Hierarchy Process (AHP) dan kuisioner lapangan.
Nilai akhir dihitung dari skor setiap indikator di lima bidang kinerja, lalu ditotal untuk menentukan polder mana yang paling ideal dari sisi manajemen, teknis, dan sosial.
Hasil Penilaian: Siapa yang Unggul?
1. Polder Tanah Mas – Skor: 73,81
✅ Nilai tertinggi secara keseluruhan. Dikelola oleh paguyuban masyarakat (P5L), menunjukkan kemandirian finansial dan pengelolaan demokratis.
❌ Nilai “pembelajaran dan pengembangan” masih lemah.
2. Polder Banger – Skor: 67,21
✅ Terencana sejak awal. Nilai tinggi dalam proses internal dan badan pengelola.
❌ Namun, kepuasan pengguna masih rendah karena belum berfungsi sempurna.
3. Polder Kali Semarang – Skor: 58,70
✅ Memiliki sistem operasional yang cukup stabil.
❌ Nilai keuangan dan partisipasi masyarakat rendah.
4. Polder Tawang – Skor: 58,65
✅ Nilai pengguna cukup tinggi.
❌ Kondisi kolam retensi memprihatinkan—tidak higienis, tidak aman, dan minim fungsi edukatif maupun estetika.
Analisis Tambahan: Apa yang Menentukan Kinerja?
Faktor Penentu Kinerja Tinggi:
Masalah Umum:
Opini dan Perbandingan: Belajar dari Model Luar Negeri
Semarang bisa belajar dari:
Namun kunci keberhasilannya tetap satu: keterlibatan masyarakat secara aktif.
Saran untuk Semarang: Menuju Pengelolaan Polder Berbasis Komunitas
Kesimpulan: Infrastruktur Tak Cukup, Manajemen Adalah Kunci
Polder sebagai teknologi bisa dibangun dengan cepat. Namun pengelolaannya—baik dari aspek keuangan, teknis, maupun sosial—menentukan apakah sistem ini berhasil atau gagal. Studi Nugroho dkk. menunjukkan bahwa model berbasis masyarakat seperti di Tanah Mas adalah yang paling ideal.
Pengendalian perampokan dan banjir bukan hanya urusan teknokrat, tetapi juga partisipasi warga, visi jangka panjang, dan keberanian mengadopsi manajemen modern seperti Balanced Scorecard.
Sumber:
Nugroho, H., Kurniani, D., Asiska, M., & Nuraini. (2016). Kajian Kinerja Sistem Polder sebagai Model Pengembangan Drainase Kota Semarang Bagian Bawah dengan Balanced Scorecard . Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil, 22(1), 43–50.
Inovasi Teknologi
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 08 September 2025
Pendahuluan
Artikel “Investigating the Nexus between Green Transformational Leadership, Green Innovation, and Environmental Performance” (Ibrahim A. Elshaer, Hazem Rasheed, et al., 2022) diterbitkan dalam jurnal Sustainability. Penelitian ini menguji hubungan antara kepemimpinan transformasional hijau (Green Transformational Leadership, GTL), inovasi hijau, dan kinerja lingkungan dalam konteks sektor pariwisata di Pakistan. Dengan data dari 439 manajer hotel dan analisis berbasis Partial Least Squares-Structural Equation Modeling (PLS-SEM), studi ini berupaya menjawab bagaimana gaya kepemimpinan pro-lingkungan dapat mendorong inovasi dan hasil lingkungan yang lebih baik.
Resensi ini menafsirkan ulang seluruh isi paper dengan pendekatan konseptual dan reflektif, menyoroti kontribusi ilmiah, kerangka teori, narasi argumentatif, serta mengkritisi metodologi yang digunakan.
Kerangka Teori: Kepemimpinan dan Keberlanjutan
Transformational Leadership dan Variannya
Dasar teoritis penelitian adalah teori transformational leadership yang dipopulerkan oleh Bass. Kepemimpinan ini menekankan pengaruh karismatik, inspirasi, stimulasi intelektual, dan perhatian individual. Artikel ini mengembangkan varian green transformational leadership (GTL), yaitu gaya kepemimpinan yang mengarahkan visi dan nilai-nilai karyawan ke arah keberlanjutan.
Refleksi: pendekatan ini menunjukkan evolusi teori kepemimpinan—dari orientasi kinerja menuju keberlanjutan lingkungan. Namun, tantangannya ialah mendefinisikan dengan tepat sejauh mana “green” berbeda dari kepemimpinan transformasional biasa.
Green Innovation
Konsep inovasi hijau merujuk pada adopsi produk, proses, atau praktik baru yang mengurangi dampak lingkungan. Penulis menekankan dua jenis:
Green product innovation (misalnya desain ramah lingkungan).
Green process innovation (misalnya teknologi hemat energi).
Interpretasi saya: inovasi hijau diposisikan sebagai jembatan antara kepemimpinan hijau dan hasil lingkungan. Ini konsisten dengan literatur inovasi yang menempatkan proses kreatif sebagai mediator utama.
Environmental Performance
Kinerja lingkungan diukur melalui indikator seperti pengurangan limbah, efisiensi energi, dan kepatuhan terhadap regulasi. Penulis melihatnya sebagai hasil akhir dari interaksi antara GTL dan inovasi hijau.
Metodologi
Desain dan Sampel
Penelitian menggunakan desain kuantitatif survei. Data dikumpulkan dari 439 manajer hotel di Pakistan, dengan tingkat respons 73%. Jumlah ini memadai untuk model PLS-SEM.
Analisis Statistik
PLS-SEM dipilih karena cocok untuk model prediktif dan variabel laten.
Validitas konvergen dan diskriminan diuji.
Reliabilitas konstruk dikonfirmasi (Cronbach’s alpha > 0,70).
Refleksi metodologis: PLS-SEM tepat digunakan untuk menjelaskan hubungan kausal dalam model kompleks. Namun, pendekatan cross-sectional membatasi inferensi temporal.
Hasil Empiris
Hubungan Antarvariabel
GTL → Green Innovation: hubungan positif signifikan (β = 0,621, p < 0,001).
Green Innovation → Environmental Performance: hubungan positif signifikan (β = 0,544, p < 0,001).
GTL → Environmental Performance: hubungan positif signifikan (β = 0,327, p < 0,001).
Interpretasi: GTL tidak hanya berpengaruh langsung terhadap kinerja lingkungan, tetapi juga secara tidak langsung melalui inovasi hijau. Artinya, inovasi bertindak sebagai mediator.
Uji Mediasi
Analisis mediasi menunjukkan bahwa green innovation memediasi sebagian hubungan GTL dan kinerja lingkungan. Dengan kata lain, tanpa inovasi, pengaruh GTL tetap ada tetapi lebih lemah.
R² Model
Green Innovation: R² = 0,386 (cukup kuat).
Environmental Performance: R² = 0,417 (cukup kuat).
Refleksi teoritis: angka ini menegaskan kontribusi signifikan GTL dan inovasi dalam menjelaskan variasi kinerja lingkungan.
Diskusi Reflektif
Kontribusi Ilmiah
Pengembangan konsep GTL: memperluas teori kepemimpinan transformasional ke ranah keberlanjutan.
Peran inovasi hijau: dibuktikan secara empiris sebagai mekanisme kunci.
Konteks pariwisata Pakistan: memberikan data dari kawasan yang jarang diteliti dalam literatur keberlanjutan.
Kritik Metodologi
Cross-sectional: sulit menangkap dinamika perubahan jangka panjang.
Self-reported data: potensi bias sosial-desirabilitas, karena manajer cenderung melaporkan perilaku pro-lingkungan.
Konteks terbatas: hanya industri hotel di Pakistan, sehingga generalisasi terbatas.
Narasi Argumentatif
Penulis membangun argumen dengan runtut: GTL membentuk visi hijau → karyawan berinovasi → organisasi meningkatkan kinerja lingkungan. Logika ini konsisten, meskipun cenderung linier. Refleksi saya: hubungan bisa lebih kompleks, misalnya dipengaruhi faktor eksternal (regulasi, pasar global).
Implikasi Ilmiah dan Praktis
Implikasi Ilmiah
Menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan dapat diposisikan sebagai variabel kunci dalam studi keberlanjutan.
Memvalidasi pentingnya inovasi sebagai mediator, mendukung teori difusi inovasi dalam konteks hijau.
Memberi dasar bagi penelitian komparatif lintas sektor dan negara.
Implikasi Praktis
Manajer hotel perlu menginternalisasi nilai-nilai hijau dalam kepemimpinan sehari-hari.
Kebijakan pariwisata dapat dirancang dengan mendorong program kepemimpinan hijau.
Investasi inovasi (produk dan proses) harus diprioritaskan untuk hasil lingkungan yang optimal.
Kesimpulan
Artikel ini membuktikan bahwa kepemimpinan transformasional hijau berkontribusi signifikan terhadap kinerja lingkungan, baik secara langsung maupun melalui inovasi hijau. Dengan data empiris dari sektor perhotelan Pakistan, studi ini memperluas cakrawala teori kepemimpinan dan inovasi hijau.
Secara reflektif, kontribusinya terletak pada penggabungan aspek kepemimpinan, inovasi, dan keberlanjutan dalam satu kerangka. Meski terbatas dalam konteks dan desain, penelitian ini tetap membuka jalan bagi kajian lintas disiplin tentang peran manusia dalam agenda keberlanjutan global.
DOI resmi: https://doi.org/10.3390/su141911917
Energi Terbarukan & Pemeliharaan AI
Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 08 September 2025
Artificial Intelligence Based Prognostic Maintenance of Renewable Energy Systems
Paper “Artificial Intelligence Based Prognostic Maintenance of Renewable Energy Systems: A Review of Techniques, Challenges, and Future Research Directions” karya Yasir Saleem Afridi, Kashif Ahmad, dan Laiq Hassan (2021) adalah salah satu tulisan penting yang membedah bagaimana Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning (ML) berperan besar dalam meningkatkan Prognostic Maintenance (pemeliharaan prediktif) pada sistem energi terbarukan, khususnya tenaga hidro, angin, dan surya. Paper ini tidak hanya membahas teori, tetapi juga menyoroti implementasi nyata, tantangan besar di lapangan, serta peluang masa depan yang bisa dimanfaatkan industri energi. Dalam resensi panjang ini, gue akan membahas isi paper dengan gaya yang aplikatif, menyoroti relevansi terhadap kebutuhan dunia nyata, dan sekaligus memberi opini kritis tentang kelebihan maupun kelemahan dari pendekatan yang dipaparkan.
Kenapa Prognostic Maintenance Jadi Isu Penting?
Di era transisi energi sekarang, dunia bergerak cepat dari ketergantungan bahan bakar fosil menuju energi terbarukan. Energi terbarukan di sini mencakup hydropower (pembangkit listrik tenaga air), wind power (pembangkit listrik tenaga angin), dan solar power (pembangkit listrik tenaga surya). Tantangan utama dari energi terbarukan bukan hanya soal produksi, tapi juga keandalan operasi. Sebab, ketika satu unit turbin angin besar gagal beroperasi, kerugian finansial bisa mencapai ratusan ribu dolar akibat downtime, biaya teknisi, hingga kehilangan energi yang seharusnya masuk ke jaringan listrik.
Tradisionalnya, ada dua jenis metode pemeliharaan mesin:
Keduanya dinilai tidak efisien di sistem modern yang kompleks. Misalnya, preventive maintenance bisa terlalu sering dilakukan walaupun mesin masih sehat, sedangkan run-to-failure bisa bikin downtime panjang. Maka, muncullah konsep Condition-Based Monitoring (CBM) yang memanfaatkan sensor untuk membaca kondisi real-time mesin, serta Prognostic Health Management (PHM) yang bahkan bisa memprediksi kerusakan sebelum terjadi.
Prognostic Maintenance ini memanfaatkan data sensor, analitik, dan algoritma AI untuk memperkirakan Remaining Useful Life (RUL) dari komponen. Konsep RUL ini penting karena menentukan kapan idealnya suatu komponen diganti agar efisien dan tidak menunggu rusak total. Dengan kata lain, AI di sini berperan sebagai “dokter” mesin, yang bisa memantau kondisi kesehatan dan kasih peringatan dini.
Evolusi Condition-Based Monitoring (CBM)
Dalam paper, penulis menjelaskan bagaimana CBM berevolusi dari sekadar System Health Monitoring (SHM) yang sifatnya observatif menjadi sistem prognostik yang prediktif. Ada tiga langkah utama dalam CBM modern:
Menariknya, paper juga menyoroti perbedaan antara diagnostics dan prognostics. Diagnostics adalah analisis pasca-kerusakan, sedangkan prognostics adalah prediksi sebelum kerusakan. Dalam praktiknya, prognostics lebih unggul untuk mengurangi downtime, tapi diagnostics tetap penting untuk identifikasi cepat jika prediksi gagal.
Penerapan pada Energi Terbarukan
1. Pembangkit Listrik Tenaga Air (Hydropower)
Hydropower adalah energi terbarukan tertua yang masih diandalkan banyak negara. Tantangan utama di sini adalah menjaga availability (ketersediaan operasi) karena turbin air harus bekerja 24/7 untuk pasokan base load.
🔎 Analisis Praktis:
Keunggulan AI di hydropower adalah mengurangi risiko kerusakan turbin besar, yang biaya perbaikannya bisa sangat mahal. Namun, masalah utamanya adalah data real-life jarang tersedia. Kebanyakan model dilatih dengan data simulasi, sehingga saat masuk ke dunia nyata, adaptasinya sulit. Ini bikin perusahaan kadang ragu menginvestasikan AI kalau hasil prediksi belum terbukti robust.
2. Pembangkit Listrik Tenaga Angin (Wind Power)
Wind power adalah sektor yang paling banyak diteliti karena turbin angin punya tingkat kegagalan tinggi. Beberapa poin penting dari paper:
🔎 Analisis Praktis:
Untuk turbin lepas pantai, akses teknisi mahal (pakai kapal atau helikopter). Kalau prediksi AI bisa akurat, downtime bisa ditekan dan biaya O&M jauh lebih efisien. Namun, tantangannya adalah kondisi ekstrem seperti badai atau variasi beban yang bikin akurasi prediksi masih rendah.
3. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (Solar Power)
Sistem PV (photovoltaic) relatif lebih jarang rusak karena tidak ada bagian mekanik. Tapi ada isu lain seperti shading, degradasi modul, hingga inverter failure.
🔎 Analisis Praktis:
Di ladang surya besar yang terdiri dari ribuan panel, maintenance manual jelas mahal. Dengan AI + drone, perusahaan bisa hemat biaya tenaga kerja sekaligus mempercepat inspeksi. Tapi kelemahannya tetap sama: butuh data cuaca dan radiasi matahari historis yang lengkap agar prediksi PR benar-benar akurat.
Teknik AI dan Machine Learning dalam Prognostic Maintenance
Penulis mengklasifikasi empat pendekatan utama:
🔎 Insight Industri:
Perusahaan kecil-menengah bisa mulai dari SVM atau fuzzy logic karena murah dan lebih mudah dijelaskan. Sedangkan perusahaan besar dengan akses big data bisa memanfaatkan LSTM atau CNN untuk sistem yang lebih kompleks.
Dataset Publik yang Tersedia
Paper ini juga membahas beberapa dataset penting untuk pelatihan model AI:
🔎 Opini: Dataset ini bagus untuk akademik, tapi dalam dunia nyata, data kegagalan jarang dibuka ke publik karena alasan komersial. Ini salah satu penghambat riset prediktif.
Tantangan dan Kritik
Beberapa tantangan yang diangkat penulis:
Arah Masa Depan
Penulis menegaskan bahwa masa depan ada di:
Kesimpulan
Paper ini layak jadi landasan literatur utama untuk topik prognostic maintenance di energi terbarukan. Kelebihannya ada pada cakupan komprehensif, membahas hidro, angin, dan surya sekaligus. Namun ada beberapa kelemahan: solusi data terbatas belum jelas, keamanan dibahas dangkal, dan business case kurang kuat.
Meski begitu, kontribusinya besar: industri energi bisa mulai mengadopsi AI sederhana sembari menunggu solusi deep learning matang. Dengan tren global menuju net zero emission, sistem prediktif berbasis AI akan jadi fondasi penting untuk menjaga keandalan infrastruktur energi hijau.
Sistem Informasi Akademik
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 08 September 2025
Pendahuluan
Artikel “The Effects of TQM Practices on Performance of Organizations: A Case of Selected Manufacturing Industries in Saudi Arabia” (Harith Yasa, Alanoud Bandar Alsaud, Hajar Ahmed Almaghrabi, Amani Ahmed Almaghrabi, dan Bestoon Othman, 2021) diterbitkan dalam Management Science Letters. Studi ini menelaah bagaimana Total Quality Management (TQM) dan praktik pemasaran berkontribusi terhadap kinerja organisasi, khususnya di sektor manufaktur Saudi Arabia. Dengan data dari 289 responden dan analisis menggunakan SPSS serta korelasi Pearson, penulis menyajikan temuan empiris yang memperkuat pentingnya TQM dalam meningkatkan daya saing global.
Resensi ini memparafrasekan isi artikel, menyoroti kerangka teori yang digunakan, menguraikan hasil numerik, dan memberikan refleksi kritis atas metodologi serta narasi argumentatif yang ditawarkan.
Kerangka Teoretis
Teori Kontinjensi
Studi ini berlandaskan pada teori kontinjensi struktural (Donaldson, 1996). Inti dari teori ini adalah bahwa tidak ada satu struktur organisasi yang ideal untuk semua situasi. Sebaliknya, organisasi harus menyesuaikan diri dengan faktor-faktor kontinjensi seperti teknologi, ukuran perusahaan, tingkat ketidakpastian, dan akuntabilitas.
Penulis mengadopsi model SARFIT (Structural Adaptation to Regain Fit) dengan lima tahap:
Organisasi berada dalam kondisi fit dengan lingkungannya.
Terjadi perubahan faktor kontinjensi.
Organisasi masuk ke kondisi misfit, kinerja menurun.
Organisasi menyesuaikan struktur untuk mengatasi misfit.
Tercapai fit baru, kinerja meningkat kembali.
Refleksi saya: teori ini relevan dengan konteks manufaktur Saudi, yang menghadapi tekanan globalisasi. TQM diinterpretasikan sebagai mekanisme adaptasi struktural untuk mempertahankan fit.
Konsep TQM dan Pemasaran
TQM dipahami sebagai seperangkat praktik manajerial: keterlibatan karyawan, fokus pada pelanggan, dan peningkatan berkelanjutan. Pemasaran ditempatkan sebagai pendukung TQM, karena kualitas produk harus dikomunikasikan kepada pasar. Secara konseptual, penulis menyatukan dua ranah: proses internal (TQM) dan orientasi eksternal (pemasaran) sebagai determinan kinerja.
Metodologi
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif dengan survei online (SurveyMonkey). 289 karyawan dari berbagai industri manufaktur di Saudi dipilih secara acak. Ukuran sampel dihitung dengan formula Kish, menghasilkan jumlah tepat 289.
Teknik Analisis
Deskriptif statistik: menggambarkan profil responden.
Korelasi Pearson: menilai hubungan antara TQM, pemasaran, dan kinerja.
Hipotesis diuji: keterlibatan karyawan, fokus pelanggan, pemasaran → kinerja organisasi.
Refleksi metodologis: pendekatan ini cukup standar untuk riset manajemen. Namun, penggunaan korelasi saja membatasi inferensi kausalitas; hasil hanya menunjukkan asosiasi.
Hasil Empiris
Profil Responden
Usia dominan: 26–34 tahun (48,9%).
Mayoritas pria: 71,1%.
Jabatan: 52% manajer, 48% pemilik.
Skala usaha bervariasi: karyawan <5 hingga >75 orang; omzet <500 ribu hingga >1 juta riyal.
Interpretasi: sampel merepresentasikan spektrum luas industri manufaktur Saudi, namun dengan bias gender signifikan (maskulin).
Analisis TQM
Keterlibatan karyawan: 48% responden sangat setuju bahwa keterlibatan karyawan berpengaruh positif; hanya 7% ragu.
Fokus pelanggan: 43% sangat setuju bahwa fokus pada pelanggan meningkatkan kinerja; 11% ragu.
Pemasaran: 91% sangat setuju bahwa strategi pemasaran memengaruhi kinerja, tanpa ada yang menolak.
Korelasi Statistik
Keterlibatan karyawan ↔ kinerja: r = 0,247; p = 0,011.
Fokus pelanggan ↔ kinerja: r = 0,214; p = 0,025.
Pemasaran ↔ kinerja: r = 0,431; p = 0,021.
Interpretasi: pemasaran ternyata memiliki kekuatan hubungan lebih tinggi dibanding dimensi TQM lainnya. Hal ini menyoroti pentingnya aspek eksternal dalam performa.
Diskusi Reflektif
Kekuatan Studi
Mengintegrasikan teori kontinjensi dengan praktik TQM.
Menyediakan bukti empiris dari konteks Saudi yang relatif jarang diteliti.
Menampilkan hasil numerik yang jelas (r, p-value) sebagai basis analisis.
Kritik Metodologi
Keterbatasan korelasi: asosiasi tidak sama dengan kausalitas.
Variabel terbatas: hanya menyoroti keterlibatan, pelanggan, pemasaran. Dimensi TQM lain (misalnya proses, sistem terintegrasi) diabaikan.
Bias responden: dominasi pria dan manajer dapat membentuk persepsi positif yang tidak mencerminkan realitas karyawan operasional.
Reduksi kompleksitas: pemasaran diperlakukan homogen, padahal strategi bisa beragam (digital, konvensional, relasi pelanggan).
Refleksi Teoretis
Narasi artikel menegaskan bahwa kualitas internal harus dipadukan dengan komunikasi eksternal. Dalam kerangka kontinjensi, TQM memberi fit internal, sementara pemasaran menjaga fit eksternal dengan lingkungan pasar. Hubungan positif yang ditemukan memperkuat argumen bahwa keberhasilan organisasi adalah hasil dari interaksi keduanya.
Implikasi Ilmiah dan Praktis
Implikasi Ilmiah
Konfirmasi relevansi teori kontinjensi dalam konteks manufaktur Saudi.
Memberikan bukti empiris bahwa pemasaran tidak boleh dipisahkan dari TQM.
Menawarkan model sederhana keterkaitan antara keterlibatan, pelanggan, pemasaran, dan kinerja.
Implikasi Praktis
Manajer manufaktur perlu memperkuat program keterlibatan karyawan (pelatihan, partisipasi keputusan).
Fokus pelanggan harus berbasis riset pasar dinamis.
Pemasaran strategis terbukti sebagai pengungkit utama performa.
Kesimpulan
Artikel ini menyimpulkan bahwa TQM dan pemasaran memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi manufaktur di Saudi Arabia. Keterlibatan karyawan dan fokus pelanggan penting, tetapi strategi pemasaran terbukti paling kuat. Secara konseptual, karya ini menekankan pentingnya menyesuaikan struktur organisasi dengan faktor internal dan eksternal (kontinjensi) agar tercapai kinerja optimal.
Meski terbatas dalam lingkup variabel dan metodologi, kontribusinya nyata: menunjukkan sinergi TQM dan pemasaran sebagai fondasi keberhasilan organisasi dalam era globalisasi.
DOI resmi: https://doi.org/10.5267/j.msl.2020.9.017
Risiko Bencana
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 September 2025
Saat Bencana dan Konflik Bertabrakan
Dalam konteks global yang semakin kompleks, strategi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction / DRR) tidak bisa lagi dipisahkan dari dinamika sosial-politik, terutama konflik bersenjata. Paper berjudul “Disaster Risk Reduction Strategies: Navigating Conflict Contexts” yang ditulis oleh Katie Peters, Laura E.R. Peters, John Twigg, dan Colin Walch (2019) menyoroti pentingnya penyelarasan strategi DRR dengan konteks konflik yang masih jarang diperhatikan secara sistematis.
Laporan ini merupakan hasil kolaborasi antara Overseas Development Institute (ODI), GIZ (Jerman), dan BMZ, serta merupakan bagian dari proyek When disasters and conflict collide. Dengan meninjau strategi internasional, regional, dan nasional serta alat teknis DRR, paper ini memperlihatkan celah besar dalam pendekatan DRR terhadap wilayah konflik. Lebih jauh, laporan ini memberikan arahan strategis yang sangat relevan untuk konteks negara-negara seperti Indonesia, Myanmar, atau Afghanistan.
H2: Target E Sendai Framework dan Relevansi Konteks Konflik
Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030 menjadi kerangka kerja utama dalam kebijakan DRR global. Di antara tujuh target globalnya, Target E memiliki tenggat waktu paling mendesak, yakni meningkatkan jumlah negara yang memiliki strategi DRR nasional dan lokal pada tahun 2020. Namun, implementasi Target E cenderung mengabaikan aspek konflik bersenjata yang justru sangat krusial di negara-negara rawan bencana.
Dalam praktiknya, wilayah yang tergolong sebagai conflict-affected, post-conflict, atau fragile states justru memiliki kemungkinan paling rendah untuk memiliki strategi DRR yang memadai. Contoh negara dalam kategori ini meliputi Afghanistan, Chad, Haiti, Liberia, dan Kolombia.
H2: Studi Kasus Negara: Tantangan Merancang DRR di Wilayah Konflik
H3: Afghanistan – Antara Bencana dan Ketidakstabilan Politik
Afghanistan merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko bencana dan konflik tertinggi di dunia. Dengan lebih dari 2,5 juta pengungsi dan 1,3 juta pengungsi internal, interaksi antara kekeringan, banjir, dan konflik menjadi sangat kompleks.
Dokumen DRR seperti Afghanistan Strategic National Action Plan (SNAP) menyebutkan bahwa perbedaan antara bencana alam dan buatan manusia semakin kabur. Strategi ini juga mengakui bahwa konflik menghancurkan kapasitas coping masyarakat dan pemerintah, dan bahwa DRR dapat berperan dalam membangun perdamaian.
Namun, meskipun ambisi tersebut ada, strategi nasional DRR Afghanistan belum menjabarkan secara rinci bagaimana DRR dapat digunakan sebagai alat perdamaian. Masih belum tersedia kerangka kerja implementatif yang jelas tentang Do No Harm atau conflict-sensitive DRR.
H2: Analisis Kerangka Internasional dan Regional
H3: Minimnya Dimensi Konflik dalam Framework Global
Dua kerangka kerja global utama, yakni Hyogo Framework (2005–2015) dan Sendai Framework (2015–2030), hampir tidak memuat referensi eksplisit terhadap konflik atau istilah seperti violence, fragility, peace, atau Do No Harm. Meski negara-negara dengan konflik menandatangani kerangka ini, tidak ada dorongan kuat agar strategi DRR disesuaikan dengan kondisi konflik mereka.
Saat penyusunan Sendai Framework, sejumlah negara anggota keberatan terhadap penyebutan eksplisit “armed conflict” atau “foreign occupation” karena alasan politis. Akibatnya, aspek konflik tersingkir dari kerangka kerja final.
H3: Afrika – Pengakuan Terbatas terhadap Hubungan Konflik dan Bencana
Strategi DRR regional Afrika cukup eksplisit dalam mengakui hubungan antara konflik dan bencana. Misalnya:
Namun, dokumen tersebut tidak menjabarkan mekanisme atau panduan untuk melaksanakan strategi DRR di wilayah konflik.
H3: Asia dan Timur Tengah – Banyak PR yang Tertinggal
Di Asia, walaupun memiliki struktur DRR yang maju, sebagian besar strategi DRR tidak membahas keterkaitan antara bencana dan konflik. Fokus lebih diberikan pada isu keamanan pangan atau kekerasan berbasis gender. Misalnya:
Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan besar antara pengakuan terhadap konflik sebagai risiko dan penerapannya dalam kebijakan DRR.
H2: Alat Teknis dan Kerangka Evaluasi: Apakah Lebih Baik?
H3: Disaster Recovery Framework (DRF)
DRF dikembangkan oleh GFDRR dan digunakan untuk merancang strategi pemulihan pascabencana. Namun, meskipun disebut komprehensif, DRF jarang sekali memasukkan dinamika konflik sebagai variabel dalam perencanaan pemulihan.
H3: Vulnerability and Capacity Assessment (VCA)
VCA banyak digunakan oleh NGO seperti IFRC, namun hanya sedikit yang mengadaptasikan alat ini untuk konteks wilayah konflik. Sebagian besar hanya mengevaluasi kerentanan fisik dan sosial tanpa mempertimbangkan potensi konflik sebagai penghambat implementasi DRR.
H2: Rekomendasi Strategis: Menjahit Ulang Strategi DRR untuk Wilayah Konflik
Penulis mengajukan sejumlah rekomendasi penting untuk menjembatani celah antara DRR dan konteks konflik:
H2: Kesenjangan Praktik dan Tantangan Global
Paper ini juga mengungkap bahwa:
Kesimpulan: Waktunya DRR Bertransformasi Menjadi Strategi Responsif Konflik
Paper ini menggarisbawahi bahwa strategi DRR konvensional tidak cukup untuk menjawab tantangan wilayah konflik. Ketika konflik dan bencana bersinggungan, strategi DRR perlu melangkah lebih jauh dari sekadar respons terhadap risiko alam. Ia harus mampu beradaptasi dengan kondisi konflik, menyesuaikan pendekatan teknis, serta membuka peluang untuk perdamaian dan rekonsiliasi.
Dengan menerapkan conflict-sensitive DRR, pengambil kebijakan dapat merancang intervensi yang tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial-politik masyarakat di wilayah paling rentan di dunia.
Sumber asli:
Katie Peters, Laura E.R. Peters, John Twigg, dan Colin Walch. (2019). Disaster Risk Reduction Strategies: Navigating Conflict Contexts. Working Paper 555, Overseas Development Institute (ODI).