Manajemen Risiko

Meningkatkan Kinerja Proyek Konstruksi di Libya melalui Praktik Manajemen Risiko yang Efektif

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025


Dalam lanskap pembangunan infrastruktur yang penuh ketidakpastian, manajemen risiko telah menjadi salah satu alat penting untuk memastikan keberhasilan proyek. Artikel ilmiah berjudul “The Effect of Risk Management Practices on Project Performance: A Case Study of the Libyan Construction Industry” karya Nasreddine Ali Algremazy, Zakaria Ideris, Muhammad Abdullah Alferjany, dan Alshammakh Akram menawarkan kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang bagaimana praktik manajemen risiko dapat meningkatkan kinerja proyek konstruksi, terutama di negara-negara berkembang seperti Libya.

Konteks dan Relevansi Penelitian

Penelitian ini lahir dari kegelisahan terhadap buruknya kinerja proyek konstruksi di Libya pascaperang saudara. Negara tersebut tengah berupaya membangun kembali infrastruktur vital dengan investasi besar, tetapi menghadapi masalah klasik seperti keterlambatan, pembengkakan biaya, dan kegagalan mutu. Para penulis mengidentifikasi bahwa akar masalah tersebut terletak pada lemahnya penerapan manajemen risiko di sepanjang siklus hidup proyek. Dalam konteks ini, penelitian ini sangat relevan karena tidak hanya memaparkan korelasi tetapi juga membangun model kausal antara manajemen risiko dan kinerja proyek.

Metodologi dan Desain Studi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner kepada 312 perusahaan konstruksi di Tripoli dan Benghazi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 250 tanggapan yang valid diperoleh. Pengolahan data dilakukan menggunakan teknik Structural Equation Modelling (SEM) berbasis Smart-PLS, yang memungkinkan analisis hubungan antar variabel secara mendalam. Tiga dimensi utama manajemen risiko yang diteliti meliputi identifikasi risiko (RMP-RI), penilaian risiko (RMP-RA), dan respons serta pemantauan risiko (RMP-RMR).

Studi ini juga menyempurnakan instrumen pengukuran dengan mengadopsi skala lima poin Likert dan validasi reliabilitas melalui nilai Composite Reliability (CR) dan Average Variance Extracted (AVE), yang seluruhnya memenuhi ambang batas yang direkomendasikan (CR > 0.7 dan AVE > 0.5).

Temuan Kunci dan Data Numerik

Salah satu kontribusi utama artikel ini adalah bukti empiris bahwa semua aspek manajemen risiko berdampak signifikan dan positif terhadap kinerja proyek konstruksi di Libya. Secara statistik, model struktural menjelaskan bahwa ketiga variabel manajemen risiko mampu menjelaskan hingga 83% variabilitas dalam kinerja proyek. Ini merupakan angka yang sangat tinggi dan menunjukkan kekuatan prediktif model yang dibangun.

Detail hasil dari pengujian hipotesis sebagai berikut:

  • H1 (Identifikasi Risiko): Koefisien jalur β = 0.251, t = 4.891, p < 0.001. Artinya, identifikasi risiko berkontribusi terhadap peningkatan kinerja proyek sebesar 25%.
  • H2 (Penilaian Risiko): Koefisien β = 0.517, t = 8.021, p < 0.001. Ini menunjukkan bahwa penilaian risiko berkontribusi hingga 52%, menjadikannya variabel paling berpengaruh dalam studi ini.
  • H3 (Respons dan Pemantauan Risiko): β = 0.210, t = 3.312, p < 0.001. Artinya, variabel ini berkontribusi sebesar 21% terhadap kinerja proyek.

Secara umum, praktik manajemen risiko berada pada tingkat “moderat” di perusahaan konstruksi Libya dengan skor rata-rata antara 3.08 dan 3.45 pada skala 1–5.

Studi Kasus dan Profil Responden

Dalam studi ini, responden mayoritas adalah direktur perusahaan (90.4%), dengan latar belakang pendidikan yang cukup baik (73.2% memiliki gelar sarjana). Sebagian besar perusahaan telah beroperasi lebih dari 10 tahun dan melibatkan proyek-proyek seperti perumahan (22.4%), hotel (4.8%), kantor (9.2%), dan pusat perbelanjaan (11.6%).

Sebanyak 57.2% perusahaan menyatakan bahwa mereka menerapkan manajemen risiko secara informal, sedangkan sisanya menggunakan pendekatan formal. Lebih menarik lagi, 44.4% perusahaan mengaku memiliki strategi manajemen risiko proyek konstruksi namun masih membutuhkan perbaikan, sementara 18.8% baru berencana mengembangkannya.

Analisis Kritis dan Perbandingan Literatur

Penelitian ini tidak berdiri sendiri. Temuan ini konsisten dengan berbagai studi sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Nguyen dan Watanabe (2017) yang menunjukkan bahwa praktik manajemen risiko dapat meningkatkan daya saing organisasi. Studi oleh Tahir et al. (2019) di Pakistan dan Sabiel (2020) di Qatar juga menemukan pengaruh signifikan dari penerapan formal manajemen risiko terhadap kesuksesan proyek.

Namun, ada satu hal yang menarik: identifikasi risiko mendapat perhatian paling tinggi dari manajer proyek di Libya, tetapi penilaian risiko justru memiliki dampak paling besar terhadap kinerja proyek. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kesadaran dan dampak aktual dari praktik manajemen risiko, yang dapat dijadikan landasan kebijakan peningkatan kapasitas di sektor ini.

Relevansi Terhadap Tren Global

Dalam era di mana proyek konstruksi semakin kompleks dan dipengaruhi oleh dinamika global seperti pandemi COVID-19, fluktuasi harga bahan bangunan, dan ketidakstabilan politik, peran manajemen risiko menjadi semakin vital. Hasil studi ini menggarisbawahi pentingnya formalitas dan sistematisasi proses risiko—sesuatu yang dapat diterapkan tidak hanya di Libya, tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya dengan tantangan serupa.

Sebagai contoh, praktik terbaik dari sektor konstruksi di Eropa seperti yang dilakukan di Jerman atau Inggris menekankan pentingnya penggunaan alat analitik berbasis teknologi seperti BIM dan software prediktif lainnya dalam mengelola risiko proyek. Adopsi semacam ini masih minim di Libya, membuka peluang kolaborasi lintas negara dan lintas sektor.

Keterbatasan Studi dan Implikasi Praktis

Penulis dengan jujur menyampaikan keterbatasan riset mereka, seperti cakupan geografis yang terbatas hanya di Tripoli dan Benghazi, serta desain penelitian yang bersifat cross-sectional. Oleh karena itu, penelitian lanjutan yang bersifat longitudinal dan mencakup wilayah Libya lainnya dapat memberikan gambaran lebih utuh mengenai dinamika manajemen risiko dalam industri ini.

Dari sisi praktis, studi ini menyarankan agar perusahaan konstruksi mulai menerapkan pendekatan formal dan strategis terhadap manajemen risiko, termasuk menyusun dokumen Construction Projects Risk Management Strategy (CPRMS) yang komprehensif dan dapat diintegrasikan ke dalam proses manajemen proyek sejak awal.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Secara keseluruhan, artikel ini memberikan bukti kuat bahwa manajemen risiko bukan sekadar alat pendukung, melainkan pilar utama dalam mencapai keberhasilan proyek konstruksi. Dengan implementasi yang sistematis dan terukur, praktik-praktik seperti identifikasi risiko, penilaian, serta respons dan pemantauan risiko terbukti dapat meningkatkan kinerja proyek hingga 83%.

Bagi negara-negara berkembang yang tengah membangun infrastruktur secara besar-besaran, seperti Indonesia, Nigeria, atau bahkan Afghanistan, studi ini menjadi cermin penting. Risiko adalah keniscayaan dalam proyek konstruksi, tetapi bagaimana risiko tersebut diidentifikasi dan ditangani akan menentukan apakah proyek akan menjadi kisah sukses atau kegagalan monumental.

Adopsi pendekatan berbasis data, penggunaan teknologi seperti Smart-PLS atau BIM, serta pelatihan formal bagi manajer proyek harus menjadi agenda prioritas dalam reformasi sektor konstruksi. Dengan demikian, risiko bukan lagi musuh, melainkan mitra dalam membangun masa depan.

Sumber asli artikel:
Algremazy, N. A., Ideris, Z., Alferjany, M. A., & Akram, A. (2023). The Effect of Risk Management Practices on Project Performance: A Case Study of the Libyan Construction Industry. International Journal of Professional Business Review, 8(6), e01420.

 

Selengkapnya
Meningkatkan Kinerja Proyek Konstruksi di Libya melalui Praktik Manajemen Risiko yang Efektif

Kualitas

Menerapkan Statistical Process Control (SPC) untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing Industri Modern

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Menjawab Tantangan Kualitas dan Efisiensi di Era Industri 4.0

Di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat, perusahaan manufaktur dihadapkan pada dua tuntutan utama: kualitas produk yang konsisten dan efisiensi biaya produksi. Tidak hanya mengandalkan kualitas teknis, perusahaan juga harus memahami bahwa pelanggan semakin menuntut keandalan dan layanan cepat. Dalam konteks inilah, Statistical Process Control (SPC) menjadi alat strategis yang tidak hanya menjamin kualitas, tetapi juga menciptakan keunggulan kompetitif.

Penelitian Martin A. Moser menggambarkan secara praktis bagaimana SPC diimplementasikan dalam industri pengemasan fleksibel. Melalui pendekatan kualitatif berbasis wawancara, penelitian ini memberikan peta jalan yang dapat diikuti oleh organisasi untuk mengintegrasikan SPC ke dalam sistem manajemen kualitas mereka.

Memahami SPC: Lebih dari Sekadar Alat Pengendalian Kualitas

Definisi dan Esensi SPC

SPC adalah metode statistik yang digunakan untuk memonitor dan mengendalikan proses produksi. Dengan menganalisis variasi proses secara statistik, SPC membantu mengidentifikasi potensi masalah sebelum produk cacat dihasilkan. Hal ini menjadikan SPC sebagai bagian integral dari Total Quality Management (TQM).

Menurut Moser, SPC bukan hanya teknik, tetapi mindset organisasi. Ini selaras dengan filosofi continuous improvement (Kaizen), di mana setiap proses dipantau, dianalisis, dan dioptimalkan untuk mencapai efisiensi biaya dan kualitas secara simultan.

 

SPC Sebagai Senjata Strategis untuk Keunggulan Kompetitif

Mengapa SPC Penting di Era Globalisasi?

  1. Peningkatan Tuntutan Pelanggan
    Pelanggan kini tidak hanya menilai produk berdasarkan harga, tetapi juga reliabilitas dan keandalan proses produksi.
  2. Persaingan Pasar yang Ketat
    Dalam industri yang sangat kompetitif, kualitas menjadi diferensiasi utama. SPC memberikan keunggulan dengan meminimalkan variasi dan memaksimalkan konsistensi.
  3. Efisiensi Biaya
    SPC mencegah cacat produksi sedini mungkin. Hal ini menurunkan biaya inspeksi, pengulangan produksi, dan pengembalian produk.

 

Langkah-Langkah Implementasi SPC: Panduan Praktis dari Penelitian Moser

Moser menekankan bahwa implementasi SPC tidak bisa instan, melainkan melalui tahapan sistematis berikut:

1. Identifikasi Karakteristik Kritis Kualitas (Critical Quality Characteristics / CQC)

  • Setiap produk memiliki fitur yang menentukan kualitas. Misalnya, ketebalan film plastik dalam industri pengemasan fleksibel.
  • Studi kasus: Di perusahaan pengemasan fleksibel yang diteliti, pengukuran konsistensi ketebalan menjadi prioritas utama.

2. Pemilihan Alat Ukur dan Teknologi Pengujian

  • Akurasi alat ukur menjadi kunci keberhasilan SPC.
  • Peralatan yang digunakan harus terkalibrasi dan mampu mendeteksi variasi kecil.

3. Pelaksanaan Uji Kapabilitas Proses (Process Capability Study)

  • Indeks kapabilitas proses seperti Cp dan Cpk digunakan untuk mengukur kemampuan proses memenuhi spesifikasi.
  • Moser menekankan bahwa studi kapabilitas jangka panjang (minimal 20 hari produksi) penting untuk validitas data.

4. Penerapan Quality Control Charts

  • Grafik peta kendali (control charts) menjadi media visualisasi performa proses secara real-time.
  • Control charts tanpa memory (Shewhart) dan dengan memory (CUSUM dan EWMA) digunakan tergantung kebutuhan.

Manfaat Nyata SPC dalam Pengendalian Produksi

  1. Pengurangan Variasi Proses
    SPC membantu menjaga proses tetap dalam batas kendali statistik, memastikan stabilitas produksi.
  2. Peningkatan Kualitas Produk
    Dengan deteksi dini atas potensi penyimpangan, kualitas produk meningkat dan keluhan pelanggan berkurang.
  3. Efisiensi Produksi dan Pengurangan Limbah
    Mengurangi rework dan scrap yang tidak hanya membuang biaya, tetapi juga waktu.
  4. Mendorong Continuous Improvement
    SPC menciptakan budaya perbaikan berkelanjutan melalui analisis data historis dan feedback dari shop floor.

 

Studi Kasus: Implementasi SPC di Industri Pengemasan Fleksibel

Penelitian Moser mengambil studi kasus di perusahaan internasional produsen pengemasan fleksibel. Temuan utama mencakup:

  • Sebelum Implementasi SPC
    • Pengisian data masih manual menggunakan spreadsheet, rentan terhadap human error.
    • Proses inspeksi bersifat reaktif, baru bertindak setelah produk cacat ditemukan.
  • Setelah Implementasi SPC
    • Sistem terkomputerisasi memungkinkan pengumpulan data otomatis.
    • Peta kendali mempermudah deteksi out-of-control situations secara real-time.
    • Efisiensi proses meningkat, waktu respons lebih cepat, serta tingkat reject menurun signifikan.

 

 

Tantangan dan Kendala dalam Implementasi SPC

1. Ketergantungan pada Keterampilan Karyawan

  • SPC bukan solusi otomatis; efektivitasnya tergantung pada kompetensi operator dan pemahaman statistik dasar.

2. Investasi Awal yang Besar

  • Perlu investasi pada peralatan pengukuran presisi tinggi dan sistem perangkat lunak SPC.
  • Perusahaan kecil sering merasa biaya tidak sebanding dengan manfaat awal, meskipun ROI jangka panjang signifikan.

3. Resistensi terhadap Perubahan

  • Budaya organisasi yang enggan berubah dapat menghambat keberhasilan implementasi.

 

SPC dan Revolusi Industri 4.0: Sinergi Tak Terelakkan

Moser juga mengulas potensi integrasi SPC dengan Industri 4.0, seperti:

  • Computer-Aided Quality (CAQ)
    Sistem otomatis yang mengumpulkan, menganalisis, dan menampilkan data SPC secara real-time.
  • Internet of Things (IoT)
    Sensor IoT mengirimkan data langsung ke sistem SPC, memungkinkan predictive maintenance.
  • Artificial Intelligence (AI)
    Pemanfaatan AI untuk prediksi tren kualitas dan peningkatan kecepatan analisis.

 

Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Jika dibandingkan dengan teori dari Oakland (2018) tentang SPC, Moser lebih menekankan pada praktik industri nyata. Namun, kajian ini belum banyak membahas integrasi dengan machine learning, yang saat ini banyak digunakan dalam Advanced Quality Control.

Beberapa kritik yang mungkin muncul adalah:

  • Kurangnya eksplorasi biaya investasi teknologi SPC berbasis IT.
  • Minimnya analisis risiko implementasi, khususnya bagi UKM.

 

Rekomendasi Praktis dari Penelitian Moser untuk Industri Manufaktur

  1. Bangun Komitmen Manajemen Puncak
    Tanpa dukungan manajemen, inisiatif SPC cenderung gagal.
  2. Fokus pada Pelatihan SDM
    SPC adalah alat berbasis statistik yang membutuhkan pemahaman mendalam.
  3. Gunakan Sistem IT Terintegrasi
    Adopsi software SPC berbasis CAQ yang mampu memproses data besar secara real-time.
  4. Lakukan Studi Kapabilitas Secara Berkala
    Untuk menjamin proses tetap dalam kendali seiring waktu.

 

Kesimpulan: SPC Bukan Lagi Pilihan, Tapi Kebutuhan

Paper ini dengan jelas menunjukkan bahwa SPC adalah investasi strategis untuk keunggulan kompetitif jangka panjang. Tidak hanya meningkatkan kualitas produk, SPC juga mendorong efisiensi produksi dan budaya perbaikan berkelanjutan.

Keunggulan Utama:

  • Meningkatkan kualitas dan konsistensi produk.
  • Mengurangi biaya produksi dan risiko kualitas.
  • Mendukung transformasi digital di era Industri 4.0.

Tantangan:

  • Biaya awal tinggi.
  • Kebutuhan keterampilan statistik di level operasional.

sumber:

Gazdaság & Társadalom / Journal of Economy & Society (2018/2)

Selengkapnya
Menerapkan Statistical Process Control (SPC) untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing Industri Modern

Banjir Semarang

Mengukur Efektivitas Polder di Semarang: Studi Kinerja Drainase Kota dengan Balanced Scorecard

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Antara Perluasan Kota dan Ancaman Air

Semarang, sebagai kota pesisir sekaligus ibu kota Provinsi Jawa Tengah, menghadapi tekanan ganda: pesatnya urbanisasi di satu sisi, dan ancaman banjir serta rob di sisi lain. Kawasan seperti Tambakmulyo, Tanjung Mas, dan Bandarharjo tercatat mengalami akumulasi tahunan hingga 40 cm. Tanggapan pemerintah berupa pembangunan sistem polder menjadi salah satu solusi struktural utama.

Namun, sejauh mana efektivitas sistem polder yang kini terdapat empat (Polder Tanah Mas, Banger, Kali Semarang, dan Tawang) dalam mengendalikan banjir dan rob?

Untuk menjawabnya, Nugroho dkk. mencakup kinerja keempat polder dengan pendekatan strategi manajemen populer, Balanced Scorecard (BSC) —sebuah alat ukur komprehensif yang tidak hanya menilai aspek teknis, tetapi juga kepuasan pengguna, kapasitas keuangan, hingga pembelajaran dan pengembangan sistem.

Apa Itu Sistem Polder dan Mengapa Penting?

Sistem polder adalah sistem pengelolaan tata udara terpadu di dataran rendah. Komponennya meliputi:

  • Kolam retensi
  • Drainase
  • Tanggul
  • Pompa air
  • Pintu air

Sistem ini memungkinkan kawasan di bawah permukaan laut tetap kering melalui manajemen udara aktif. Di kota-kota seperti Rotterdam, Belanda, sistem ini telah terbukti menyelamatkan jutaan meter persegi dari penampungan udara.

Semarang pun meniru strategi ini, dan mulai mengembangkan polder sejak dua dekade terakhir. Tetapi seiring berjalannya waktu, muncul masalah: beberapa polder tidak terpelihara, kolam dipenuhi sampah, masyarakat tidak merasa memiliki, bahkan ada yang berubah fungsi menjadi tempat praktik prostitusi dan perdagangan informal seperti di Polder Tawang.

Metodologi: Mengukur Kinerja dengan Balanced Scorecard

Balanced Scorecard (Kaplan & Norton, 1992) mengukur kinerja organisasi dari empat perspektif:

  1. Keuangan
  2. Kepuasan pengguna
  3. Proses internal
  4. Pembelajaran dan pengembangan

Penelitian ini menambahkan perspektif kelima: kinerja badan pengelola , dengan pendekatan kuantitatif menggunakan bobot AHP (Analytic Hierarchy Process) dan kuisioner lapangan.

Nilai akhir dihitung dari skor setiap indikator di lima bidang kinerja, lalu ditotal untuk menentukan polder mana yang paling ideal dari sisi manajemen, teknis, dan sosial.

Hasil Penilaian: Siapa yang Unggul?

1. Polder Tanah Mas – Skor: 73,81

✅ Nilai tertinggi secara keseluruhan. Dikelola oleh paguyuban masyarakat (P5L), menunjukkan kemandirian finansial dan pengelolaan demokratis.
❌ Nilai “pembelajaran dan pengembangan” masih lemah.

2. Polder Banger – Skor: 67,21

✅ Terencana sejak awal. Nilai tinggi dalam proses internal dan badan pengelola.
❌ Namun, kepuasan pengguna masih rendah karena belum berfungsi sempurna.

3. Polder Kali Semarang – Skor: 58,70

✅ Memiliki sistem operasional yang cukup stabil.
❌ Nilai keuangan dan partisipasi masyarakat rendah.

4. Polder Tawang – Skor: 58,65

✅ Nilai pengguna cukup tinggi.
❌ Kondisi kolam retensi memprihatinkan—tidak higienis, tidak aman, dan minim fungsi edukatif maupun estetika.

Analisis Tambahan: Apa yang Menentukan Kinerja?

Faktor Penentu Kinerja Tinggi:

  • Badan pengelola yang legal, aktif, dan inklusif.
  • Partisipasi masyarakat dalam operasional dan dana.
  • Pemeliharaan rutin dan SOP pengendalian udara yang jelas.
  • Sistem pengarsapan, pemantauan kualitas udara, dan tanggapan terhadap keluhan.

Masalah Umum:

  • Keterbatasan dana operasional. Banyak polder yang masih tergantung APBD.
  • Kurangnya edukasi dan peran serta warga.
  • Tidak semua polder punya rencana jangka panjang.

Opini dan Perbandingan: Belajar dari Model Luar Negeri

Semarang bisa belajar dari:

  • Rotterdam : kolaborasi antara warga, pemerintah, dan sektor swasta menjadi dasar sistem drainase adaptif dan cerdas.
  • Tokyo : memiliki sistem monitoring rob otomatis dan tanggul bawah tanah raksasa.
  • Jakarta : proyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) yang menggabungkan polder, tanggul laut, dan reklamasi.

Namun kunci keberhasilannya tetap satu: keterlibatan masyarakat secara aktif.

Saran untuk Semarang: Menuju Pengelolaan Polder Berbasis Komunitas

  1. Legalitas dan profesionalisasi badan pengelola harus menjadi syarat mutlak setiap pembangunan polder baru.
  2. Transparansi dana dan partisipasi warga dalam operasional menjamin kepunahan.
  3. Fungsi edukatif dan rekreatif kolam retensi perlu diaktifkan untuk mencegah perubahan fungsi sosial negatif.
  4. Insentif untuk warga yang berpartisipasi aktif dalam pemeliharaan, misalnya lewat diskon iuran atau program padat karya.

Kesimpulan: Infrastruktur Tak Cukup, Manajemen Adalah Kunci

Polder sebagai teknologi bisa dibangun dengan cepat. Namun pengelolaannya—baik dari aspek keuangan, teknis, maupun sosial—menentukan apakah sistem ini berhasil atau gagal. Studi Nugroho dkk. menunjukkan bahwa model berbasis masyarakat seperti di Tanah Mas adalah yang paling ideal.

Pengendalian perampokan dan banjir bukan hanya urusan teknokrat, tetapi juga partisipasi warga, visi jangka panjang, dan keberanian mengadopsi manajemen modern seperti Balanced Scorecard.

Sumber:

Nugroho, H., Kurniani, D., Asiska, M., & Nuraini. (2016). Kajian Kinerja Sistem Polder sebagai Model Pengembangan Drainase Kota Semarang Bagian Bawah dengan Balanced Scorecard . Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil, 22(1), 43–50.

Selengkapnya
Mengukur Efektivitas Polder di Semarang: Studi Kinerja Drainase Kota dengan Balanced Scorecard

Teknologi Pertanian

Strategi Adaptif Hadapi Banjir Sawah: Inovasi Pertanian Padi Menuju Ketahanan Iklim

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Saat Banjir Tak Lagi Musiman, tapi Sistemik

Banjir di lahan pertanian, khususnya sawah padi, bukan lagi sekedar masalah musiman. Di wilayah seperti Subang, Karawang, Sragen, dan Demak, banjir telah berubah menjadi ancaman tahunan terhadap sistem. Tak hanya menghambat pertumbuhan tanaman, banjir juga memutus rantai produksi pangan, memicu kerugian ekonomi masif, dan memperparah ketimpangan petani.

Dalam konteks inilah, kajian yang dilakukan Abdul Karim Makarim dan Ikhwani mengambil posisi penting. Menggabungkan pendekatan ilmiah, simulasi matematik, serta pengalaman lapangan, penelitian ini menyuguhkan strategi dan inovasi konkret untuk mengurangi kerugian usahatani padi akibat banjir.

Dampak Banjir: Dari Hasil Menurun hingga Pendapatan Terpangkas

Kehilangan Data Produksi

Banjir selama periode 2006–2010 menurunkan hasil padi sebesar:

  • 2,5 ton/ha di Jawa Barat
  • 3,0 ton/ha di Jawa Tengah

Pendapatan petani pun diperkirakan hingga Rp6,5–7 juta per hektar. Total kerugian produksi diperkirakan mencapai:

  • 10–46 ribu ton gabah kering panen (GKP)
  • Senilai Rp24–112 miliar/tahun

Tanpa tindakan adaptasi, kerugian ini diproyeksi meningkat menjadi:

  • 12–58 ribu ton GKP
  • Senilai Rp30–140 miliar pada 2015

Faktor Penyebab: Iklim, Hidrologi, dan Agronomi

Penelitian ini mengidentifikasi tiga penyebab utama banjir di sawah:

1. Iklim

Fenomena seperti El Niño, La Niña, IOD, dan MJO membuat curah hujan menjadi ekstrem dan tak menentu. Peningkatan suhu global sebesar 0,74°C selama 100 tahun terakhir membantu situasi.

2. Hidrologi

Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sistem drainase menyebabkan udara tidak bisa mengalir dengan lancar. Endapan di saluran, eceng gondok, serta jembatan sempit memperparah banjir.

3. Agronomi

Kebutuhan udara tanaman yang tidak seimbang dengan ketersediaannya menyebabkan stres udara. Kekeringan atau banjir terjadi tergantung selisih antara pasokan dan kebutuhan udara.

Studi Kasus Jawa Barat & Jawa Tengah: Dampak Langsung dan Strategi Petani

Wilayah Jawa Barat: Karawang, Subang, dan Indramayu

Saluran pembuangan udara yang menyempit karena pengendapan lumpur menyebabkan utama banjir. Sistem drainase tidak mampu mengatasi limpasan dari desa-desa di hulu. Saat musim hujan (Januari–Februari), banjir sering terjadi.

Petani biasanya menanam dua kali:

  • Musim I (Des–Jan): selalu terkena banjir.
  • Musim II (Mei–Juni): relatif aman namun rawan kekeringan.

Hama seperti keong mas semakin ganas saat banjir. Dalam rendaman udara, mereka bergerak cepat dan memangsa padi muda.

Wilayah Jawa Tengah: Sragen, Demak, dan Pati

Banjir menyebabkan puso (gagal panen) hingga 20 hari. Luapan sungai, tanggul jebol, dan saluran irigasi lebih tinggi dari lahan sawah memperparah kondisi.

Petani mencoba berbagai strategi:

  • Menggeser waktu tanam lebih awal.
  • Menggunakan bibit tua agar lebih tahan rendaman.
  • Membangun saluran pembuangan sendiri secara swadaya, meski belum permanen.

Solusi Adaptif: Inovasi Teknologi dan Budaya Bertani

1. Penggunaan Varietas Tahan Rendaman

Varietas seperti Inpara 3, 4 (Swarna Sub-1), dan Inpara 5 (IR64 Sub-1) mampu bertahan 10–14 hari dalam rendaman. Ini jauh lebih baik dibandingkan varietas biasa yang hanya tahan 4–7 hari.

2. Perbaikan Teknik Pemupukan

Penggunaan pupuk slow release atau briket nitrogen terbukti menekan kehilangan unsur hara akibat banjir. Waktu pemupukan yang tepat juga berkontribusi pada pemulihan tanaman.

3. Penataan Pola Tanah

  • Evaluasi rotasi tanaman satu musim.
  • Pengaturan jarak tanam dan populasi agar tanaman lebih cepat pulih pasca banjir.
  • Menunda tanam jika prakiraan cuaca menunjukkan potensi banjir.

4. Penanganan Hama Adaptif

Strategi pengendalian keong mas disesuaikan kondisi:

  • Banjir : manual atau pestisida di saluran ditampilkan.
  • Normal : pembersihan rutin dan pengelolaan ekosistem udara.

Model Simulasi: RENDAMAN.CSM

Model ini dikembangkan untuk menyiarkan dampak rendaman banjir pada hasil padi. Hasil simulasi menunjukkan:

  • VUB (varietas unggul biasa) hasil panen turun drastis setelah 6 hari rendaman (dari 5,77 ton/ha menjadi 3,13 ton/ha).
  • VTR (varietas tahan rendaman) mampu mempertahankan hasil meski direndam hingga 14 hari.

Simulasi ini mendukung kebijakan perencanaan berbasis data, khususnya dalam menentukan jadwal tanam dan distribusi varietas tahan.

Proyeksi Kerugian: 2020 Menjadi Titik Krisis

Menurut model, jika tidak ada kondisi:

  • Luas sawah yang terkena banjir meningkat hingga 1,3× pada tahun 2020.
  • Produksi yang hilang di tiga kabupaten (Subang, Karawang, Indramayu) mencapai >138 ribu ton GKP.
  • Total kerugian yang diprediksi mencapai >Rp354 miliar hanya dalam satu tahun.

Strategi Kebijakan: Prioritas, Keterpaduan, dan Partisipasi

Studi ini merekomendasikan tiga pilar strategi kebijakan:

a. Prioritas Wilayah

Area identifikasi dengan kerusakan DAS berat, drainase buruk, dan pusat produksi padi.

b. Langkah Sistematis

  • Jadwal tanam berbasis prakiraan iklim.
  • Penyesuaian komoditas sesuai debit udara.
  • Perbaikan mikro tata air dan infrastruktur saluran.

c. Sinergi Lintas Sektor

Pemerintah daerah, kelompok tani, dinas pertanian, dan pengairan perlu duduk bersama menyusun protokol darurat banjir dan kekeringan.

Opini dan Perbandingan: Dari Strategi Lokal ke Agenda Nasional

Studi ini layak diapresiasi karena menyatukan dimensi teknis, sosial, dan ekologi. Dibandingkan penelitian serupa di Vietnam dan Bangladesh, Indonesia relatif tertinggal dalam penerapan varietas tahan banjir dalam skala luas. Padahal, menurut IRRI, varietas seperti Swarna Sub-1 dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional secara signifikan.

Indonesia juga perlu mencontohkan India, yang berhasil membangun pusat prediksi banjir berbasis satelit untuk menjadwalkan tanam dan mendistribusikan benih.

Kesimpulan: Banjir Tak Bisa Dihindari, Tapi Bisa Diantisipasi

Penelitian ini menegaskan bahwa banjir memang akan terus datang. Namun, dengan strategi adaptif, teknologi inovatif, dan kolaborasi lintas sektor, dampaknya dapat ditekan secara signifikan.

Usahatani padi bukan hanya tentang tanam dan panen, tetapi juga tentang memahami iklim, mengelola risiko, dan bersiap menghadapi masa depan yang semakin tak pasti.

Sumber:

Makarim, AK, & Ikhwani. (2011). Inovasi dan Strategi untuk Mengurangi Pengaruh Banjir pada Usahatani Padi . Jurnal Tanah dan Lingkungan, 13(1), 35–41.

Selengkapnya
Strategi Adaptif Hadapi Banjir Sawah: Inovasi Pertanian Padi Menuju Ketahanan Iklim

Proyek Kontruksi

Menakar Keunggulan Metode Design and Build dalam Meningkatkan Kepuasan Klien Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Anisa pada 28 Mei 2025


Mengapa Kepuasan Klien Menjadi Isu Penting dalam Proyek Konstruksi?

Dalam era percepatan pembangunan infrastruktur, metode design and build (D&B) mulai dilirik sebagai pendekatan alternatif yang menjanjikan efisiensi waktu dan biaya. Namun, masih ada keraguan di kalangan klien — baik dari sektor swasta maupun pemerintah — terkait efektivitas metode ini dalam menjamin hasil yang memuaskan.

Tesis karya Fitry Triyani Agustin hadir sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Melalui pendekatan kuantitatif dan studi lapangan di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta, penulis menganalisis secara sistematis bagaimana performa metode D&B berdampak terhadap tingkat kepuasan klien dalam proyek gedung.

Design and Build: Efisien, Tapi Masih Diragukan?

Apa Itu Metode D&B?

Metode design and build adalah pendekatan pengadaan di mana satu kontraktor bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan konstruksi. Artinya, pemilik proyek hanya membuat satu kontrak untuk dua pekerjaan utama sekaligus: desain dan pembangunan fisik.

Kelebihan Metode D&B:

  • Mengurangi waktu tender

  • Menyederhanakan manajemen kontrak

  • Menurunkan potensi konflik antara konsultan perencana dan pelaksana

  • Mempercepat waktu penyelesaian
     

Namun demikian, persepsi negatif masih sering muncul, terutama dalam aspek transparansi, kontrol mutu, dan kejelasan tanggung jawab pada tahap awal proyek.

Metodologi Penelitian: Kombinasi Statistik dan Persepsi Klien

Data dan Teknik Analisis

Penelitian ini melibatkan:

  • 100+ responden dari proyek konstruksi di Jawa Barat dan DKI Jakarta

  • Responden terdiri dari klien (owner), konsultan manajemen konstruksi (MK), dan penyedia jasa

  • Analisis dilakukan dengan:
     

    • Uji validitas dan reliabilitas kuesioner

    • Regresi linear berganda (menggunakan SPSS)

    • Perhitungan sumbangan efektif (SE)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Klien

Temuan Penting:

  • Nilai R² = 0,791 → Artinya, performa metode D&B menjelaskan 79,1% variasi tingkat kepuasan klien.

  • Faktor hukum menjadi aspek paling dominan, menandakan pentingnya kejelasan kontraktual dalam sistem D&B.

  • Tim pelaksana justru menjadi faktor dengan kontribusi terendah, mengindikasikan bahwa klien lebih menilai proses dan sistem ketimbang kualitas implementasi semata.

Studi Kasus Lapangan: Proyek Pemerintah vs Swasta

Perbandingan Respon:

Klien swasta cenderung lebih puas karena proses pengambilan keputusan lebih fleksibel, alur komunikasi lebih singkat, dan kontrol kualitas lebih langsung. Sebaliknya, proyek pemerintah terikat birokrasi dan regulasi yang memperlambat proses, serta menimbulkan risiko multitafsir dalam kontrak.

Kaitan dengan Tren Industri: Menuju IPD?

Temuan ini relevan dalam diskusi global mengenai transformasi metode pengadaan proyek. D&B sering disebut sebagai langkah awal menuju Integrated Project Delivery (IPD), di mana kolaborasi antarpihak jauh lebih dalam dan bersifat strategis.

Dalam studi oleh Asmar et al. (2013), IPD berhasil menurunkan biaya hingga 14% dan meningkatkan efisiensi waktu sebesar 15%. D&B dapat menjadi batu loncatan, asal kekurangan seperti minimnya komunikasi dua arah dan ketidakjelasan regulasi bisa diatasi lebih awal.

Nilai Tambah dan Opini Kritis

Kekuatan Tesis:

  • Menyediakan bukti empiris tentang faktor-faktor dominan kepuasan klien

  • Menggunakan pendekatan statistik yang kuat dan komprehensif

  • Menyoroti perbedaan antara sektor swasta dan pemerintah secara jelas

Ruang Perbaikan:

  • Belum membahas secara mendalam aspek teknologi (seperti BIM) dalam pelaksanaan D&B

  • Tidak menjelaskan lebih lanjut tentang manajemen risiko dalam sistem terintegrasi

  • Terbatas pada proyek gedung, belum menyentuh proyek infrastruktur besar (jalan, jembatan)

Rekomendasi Praktis

Bagi Pemerintah:

  • Perjelas regulasi kontrak D&B, khususnya mengenai tanggung jawab desain

  • Sederhanakan mekanisme e-procurement agar tidak mematikan fleksibilitas metode D&B

Bagi Penyedia Jasa:

  • Fokus pada penguatan komunikasi antar tim desain dan konstruksi

  • Tingkatkan akuntabilitas dan dokumentasi hukum sejak fase perencanaan

Bagi Akademisi:

  • Lanjutkan studi komparatif antara D&B dan metode lain seperti DBB dan EPC

  • Kembangkan model prediksi kepuasan klien berbasis machine learning

Kesimpulan: Apakah D&B Layak Diandalkan?

Tesis ini secara tegas menunjukkan bahwa metode design and build memiliki performa yang signifikan dalam meningkatkan kepuasan klien. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada aspek non-teknis, seperti kepastian hukum, efisiensi tender, dan keterlibatan klien.

Dengan pendekatan manajerial yang tepat dan adaptasi terhadap kebutuhan spesifik proyek, D&B bukan hanya efisien secara teknis, tetapi juga mampu membangun kepercayaan jangka panjang antara klien dan penyedia jasa.

Sumber

Agustin, F. T. (2020). Pengaruh Performa Metode Design and Build terhadap Kepuasan Klien pada Proyek Konstruksi. Tesis Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Akses resmi: https://doi.org/10.34021/tesis.fitry.dnb.2020 (tautan fiktif untuk ilustrasi; gunakan link resmi jika tersedia)

Selengkapnya
Menakar Keunggulan Metode Design and Build dalam Meningkatkan Kepuasan Klien Proyek Konstruksi

Teknik Sipil

Menjawab Tantangan Pembelajaran Teknik Sipil: Meningkatkan Kompetensi Konstruksi Balok Sederhana melalui PBL dan Drill

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025


Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan vokasional, khususnya Teknik Sipil di tingkat SMK, penguasaan materi dasar seperti konstruksi balok sederhana merupakan fondasi penting bagi siswa. Penelitian Windri Eka Candri (2021) yang dilakukan di SMK Negeri 1 Cibinong hadir sebagai respons terhadap rendahnya nilai siswa dalam mata pelajaran Mekanika Teknik, khususnya pada kompetensi menghitung konstruksi balok sederhana. Dengan mengombinasikan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan metode Drill, penelitian ini memberikan pendekatan baru yang terbukti mampu meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan.

Latar Belakang dan Permasalahan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lebih dari 65% siswa tidak memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada materi konstruksi balok sederhana. Penyebab utama rendahnya hasil belajar ini di antaranya:

  • Rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep dasar.

  • Kurangnya latihan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.

  • Metode ceramah yang monoton dan minim interaksi.
     

Masalah-masalah ini memunculkan kebutuhan mendesak akan strategi pengajaran yang lebih partisipatif dan kontekstual.

Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan dengan pendekatan tindakan kelas (Classroom Action Research) dalam dua siklus yang masing-masing terdiri dari dua pertemuan. Subjek penelitian adalah 34 siswa kelas X BKP 2 SMKN 1 Cibinong yang terdiri dari 18 laki-laki dan 16 perempuan. Penelitian dilaksanakan selama Agustus hingga Desember 2019.

Data dikumpulkan melalui:

  • Lembar observasi aktivitas siswa dan guru

  • Pre-test dan post-test (siklus I dan II) untuk menilai pengetahuan siswa

  • Refleksi dan evaluasi siklus untuk menentukan efektivitas tindakan
     

Hasil Penelitian

Peningkatan Kompetensi Siswa

  • Pre-test menunjukkan hanya 13 dari 34 siswa (38,2%) yang mencapai nilai di atas KKM (76).

  • Setelah siklus I dengan penerapan PBL + Drill, jumlah siswa kompeten meningkat menjadi 21 siswa (58,8%).

  • Pada akhir siklus II, terjadi peningkatan drastis: 29 dari 34 siswa (85,3%) mencapai nilai kompeten.
     

Aktivitas Siswa dan Guru

  • Aktivitas siswa meningkat dari 79% (cukup aktif) di siklus I menjadi 87% (aktif) di siklus II.

  • Aktivitas guru meningkat dari 84% (baik) menjadi 90% (sangat baik).
     

Grafik peningkatan skor siswa dan keaktifan baik siswa maupun guru menunjukkan bahwa strategi pembelajaran ini mendorong keterlibatan dan pemahaman siswa secara menyeluruh.

Studi Kasus: Dampak Langsung di Lapangan

Sebagai contoh nyata, salah satu siswa bernama R, yang sebelumnya hanya mendapatkan nilai 65 pada pre-test, menunjukkan peningkatan hingga 83 setelah siklus II. Melalui diskusi kelompok berbasis masalah dan penguatan soal dengan drill, R menjadi lebih percaya diri dalam memahami perhitungan beban dan gaya pada balok sederhana.

Analisis dan Nilai Tambah

A. Kekuatan Pendekatan

  • PBL mendorong keterlibatan aktif siswa, bukan sekadar pasif mendengarkan ceramah.

  • Metode Drill memperkuat penguasaan teknis dan rutinitas perhitungan.

  • Kombinasi keduanya menciptakan keseimbangan antara pemahaman konsep dan kemampuan menyelesaikan soal.
     

B. Kelemahan dan Catatan

  • Penelitian hanya mencakup satu kelas dalam satu tahun ajaran, sehingga diperlukan replikasi lebih luas untuk generalisasi.

  • Tidak disebutkan keberlanjutan pemahaman siswa dalam jangka panjang.
     

C. Perbandingan dengan Penelitian Lain

Studi ini sejalan dengan penelitian Priyasudana (2016) dan Mardiah et al. (2016) yang juga menunjukkan bahwa PBL meningkatkan hasil belajar siswa Teknik Sipil. Namun, nilai tambah Candri terletak pada integrasi Drill, yang menjembatani antara pemahaman konseptual dan keterampilan teknis harian.

Implikasi Praktis untuk Pendidikan Teknik

  • Guru Teknik Sipil dapat mengadopsi model ini untuk topik lain seperti struktur rangka atau analisis beban.

  • Sekolah dapat memfasilitasi pelatihan PBL bagi guru, mengingat metode ini mendorong pembelajaran aktif.

  • Kebijakan pendidikan vokasi perlu mendorong riset tindakan kelas sebagai alat peningkatan mutu.
     

Kesimpulan

Penelitian Windri Eka Candri menunjukkan bahwa integrasi Problem Based Learning dan Drill merupakan strategi efektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam menghitung konstruksi balok sederhana. Peningkatan signifikan baik dari aspek nilai maupun keterlibatan siswa menegaskan pentingnya model pembelajaran aktif dan kontekstual dalam pendidikan kejuruan.

Sebagai penutup, studi ini tidak hanya menyumbang pengetahuan empiris, tetapi juga memberikan inspirasi praktik nyata yang aplikatif bagi guru dan pembuat kebijakan pendidikan vokasional.


Sumber: Windri Eka Candri. (2021). Peningkatan Kompetensi Konstruksi Balok Sederhana melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dipadukan dengan Metode Drill. Jurnal Pensil: Pendidikan Teknik Sipil, 10(1), 34–39. DOI: 10.21009/jpensil.v10i1.18505

Selengkapnya
Menjawab Tantangan Pembelajaran Teknik Sipil: Meningkatkan Kompetensi Konstruksi Balok Sederhana melalui PBL dan Drill
« First Previous page 122 of 1.119 Next Last »