Transportasi Material Berbahaya
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025
Transportasi material berbahaya (hazmat) merupakan salah satu aspek paling krusial dalam industri logistik global. Bahan kimia berbahaya seperti cairan mudah terbakar, gas beracun, dan material radioaktif memerlukan prosedur khusus dalam pengiriman karena dapat menyebabkan dampak lingkungan yang besar dan risiko keselamatan bagi masyarakat. Paper ini menyajikan tinjauan literatur yang luas mengenai metode mitigasi risiko, pemilihan rute terbaik, tanggap darurat, serta desain jaringan transportasi hazmat. Dengan mengulas 88 artikel yang diterbitkan sejak 2005, penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang tantangan serta solusi dalam transportasi hazmat di berbagai negara.
Risiko Kecelakaan dalam Transportasi Hazmat
Berdasarkan data dari U.S. Department of Transportation, pada tahun 2013 terjadi lebih dari 15.900 insiden terkait transportasi hazmat di Amerika Serikat. Insiden ini mengakibatkan 28 korban luka berat, 132 korban luka ringan, serta 12 kematian. Selain itu, total kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan transportasi hazmat mencapai lebih dari 81 juta dolar AS.
Mayoritas kecelakaan melibatkan cairan mudah terbakar, yang menyumbang lebih dari setengah dari total insiden. Sementara itu, bahan korosif dan gas mudah terbakar juga menjadi penyebab utama kecelakaan dalam transportasi hazmat. Hal ini menunjukkan perlunya strategi mitigasi risiko yang lebih efektif, termasuk pemilihan rute yang lebih aman dan penerapan sistem tanggap darurat yang lebih baik.
Klasifikasi Material Berbahaya
Menurut United Nations Economic Commission for Europe (UNECE), material berbahaya dikategorikan ke dalam sembilan kelas berdasarkan sifatnya. Kategori ini meliputi bahan peledak, gas berbahaya, cairan dan padatan mudah terbakar, bahan pengoksidasi, zat beracun, material radioaktif, serta bahan korosif. Setiap jenis bahan ini memiliki tantangan tersendiri dalam hal pengemasan, penyimpanan, serta prosedur penanganan saat terjadi kecelakaan.
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa sebagian besar insiden transportasi hazmat melibatkan kelas bahan mudah terbakar dan bahan korosif. Hal ini mengindikasikan bahwa prosedur keselamatan dalam transportasi kedua jenis bahan ini perlu lebih diperketat untuk mengurangi dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan.
Tiga faktor utama yang paling mempengaruhi risiko dalam transportasi hazmat, yaitu penilaian risiko, pemilihan rute, dan respons darurat.
1. Penilaian Risiko (Risk Assessment)
Banyak penelitian telah mengembangkan model penilaian risiko untuk transportasi hazmat. Salah satu model yang sering digunakan adalah US DOT Risk Model, yang menghitung risiko dengan mempertimbangkan probabilitas kecelakaan dan dampak yang ditimbulkan. Selain itu, metode Quantitative Risk Assessment (QRA) juga banyak digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi bahaya, menganalisis frekuensi kecelakaan, serta melakukan pemodelan konsekuensi dari insiden yang terjadi. Selain pendekatan kuantitatif, beberapa studi juga menekankan pentingnya faktor manusia dalam risiko kecelakaan hazmat. Kesalahan manusia dalam proses transportasi sering kali menjadi penyebab utama insiden, baik karena kelalaian operator maupun kurangnya pelatihan dalam menangani bahan berbahaya.
2. Pemilihan Rute (Routing)
Memilih rute yang optimal adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi risiko dalam transportasi hazmat. Faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan rute termasuk panjang rute, waktu tempuh, kepadatan penduduk di sekitar jalan, serta kondisi jalan dan cuaca. Riset menunjukkan bahwa semakin panjang jarak transportasi, semakin besar risiko kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu, beberapa negara telah menerapkan regulasi ketat yang membatasi rute transportasi hazmat melalui daerah padat penduduk. Dengan menggunakan teknologi pemetaan dan pemantauan berbasis GPS, perusahaan logistik dapat memilih rute dengan tingkat risiko terendah dan memastikan transportasi bahan berbahaya dilakukan dengan aman.
3. Respons Darurat (Emergency Response)
Tanggap darurat menjadi aspek kritis dalam transportasi hazmat, terutama dalam insiden yang melibatkan kebocoran bahan beracun atau ledakan. Paper ini menemukan bahwa hanya sedikit negara yang memiliki sistem tanggap darurat yang khusus dirancang untuk menangani kecelakaan hazmat. Beberapa langkah yang direkomendasikan dalam penelitian ini termasuk:
Dampak Ekonomi Kecelakaan Hazmat
Kecelakaan hazmat tidak hanya berdampak pada keselamatan publik, tetapi juga membawa kerugian ekonomi yang besar. Dalam periode tujuh tahun antara 2007 hingga 2013, total kerugian yang ditimbulkan oleh kecelakaan transportasi hazmat di Amerika Serikat mencapai lebih dari 548 juta dolar AS. Mayoritas dari kerugian ini berasal dari kecelakaan yang terjadi di jalur transportasi darat, yang menyumbang hampir 80 persen dari total kerugian finansial. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya peningkatan regulasi dan infrastruktur keselamatan dalam transportasi hazmat di jalan raya, termasuk penerapan sistem pemantauan berbasis teknologi untuk mengurangi risiko kecelakaan.
Tren Penelitian Transportasi Hazmat
Sejak tahun 1980-an, penelitian mengenai transportasi hazmat terus berkembang. Paper ini mengklasifikasikan 88 artikel yang diterbitkan antara tahun 2005 hingga 2014 ke dalam beberapa kategori utama, yaitu penilaian risiko, optimasi rute, respons darurat, desain jaringan transportasi, serta analisis kecelakaan.
Dari tren yang diamati, penelitian mengenai tanggap darurat dan analisis kecelakaan mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini mencerminkan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesiapan dalam menghadapi insiden hazmat serta perlunya sistem mitigasi yang lebih kuat untuk mengurangi dampak negatifnya.
Transportasi hazmat merupakan tantangan besar dalam industri logistik global yang membutuhkan pendekatan multidisiplin untuk mengelola risiko. Beberapa rekomendasi utama yang disarankan dalam penelitian ini meliputi:
Dengan implementasi strategi ini, risiko kecelakaan dalam transportasi hazmat dapat diminimalkan, sehingga melindungi manusia, lingkungan, dan ekonomi.
Sumber Asli Paper
Yilmaz, Z., Erol, S., & Aplak, H. S. (2016). Transportation of hazardous materials (hazmat): A literature survey. Pamukkale University Journal of Engineering Sciences, 22(1), 39-53.
Keselamatan Kerja
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025
Keselamatan kerja di laboratorium pendidikan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan, terutama dalam penggunaan bahan biologis dan kimia berbahaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional dengan pendekatan kualitatif. Sembilan laboratorium yang diteliti mencakup bidang bioteknologi, ekologi, mikrobiologi, zoologi, kedokteran molekuler, dan farmasi. Variabel yang diamati meliputi SOP penggunaan bahan biologis (7 komponen) dan bahan kimia berbahaya (8 komponen). Data diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara dengan asisten laboratorium.
Dari tujuh komponen SOP yang diamati, laboratorium mikrobiologi, biologi molekuler dan bioteknologi, serta kedokteran molekuler menerapkan 6 dari 7 komponen. Beberapa komponen utama yang telah diterapkan meliputi:
Namun, ditemukan bahwa beberapa laboratorium belum optimal dalam mengurangi pembentukan aerosol dan bekerja dengan benda tajam.
Dalam aspek bahan kimia, laboratorium biologi molekuler dan bioteknologi serta laboratorium kedokteran molekuler menunjukkan penerapan SOP yang cukup baik, dengan 6 dari 8 komponen telah dijalankan. Beberapa komponen penting yang telah diterapkan meliputi:
Namun, masih ditemukan laboratorium yang belum optimal dalam memahami sifat bahan kimia yang digunakan serta penerapan Material Safety Data Sheet (MSDS).
Dari hasil analisis, tingkat risiko di laboratorium dikategorikan sebagai berikut:
Faktor yang menyebabkan masih adanya risiko di laboratorium meliputi kurangnya pelatihan tenaga laboratorium serta keterbatasan fasilitas untuk pengelolaan limbah.
Untuk meningkatkan keselamatan kerja di laboratorium, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan antara lain:
Sebagian besar laboratorium di Universitas Jember telah menerapkan standar keselamatan kerja dalam penggunaan bahan biologis dan kimia, meskipun masih terdapat beberapa aspek yang perlu ditingkatkan. Dengan menerapkan rekomendasi yang diberikan, diharapkan keselamatan kerja di laboratorium dapat lebih terjamin dan risiko kecelakaan dapat diminimalkan.
Sumber Artikel: Hanif Murnia Atma, Anita Dewi Prahastuti Sujoso, Ari Satia Nugraha, "Risk Identification of Hazardous Biological and Chemical Substances in Work Safety Efforts", Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol. 23(2), 2024, pp. 191-199.
Pengukuran Kinerja dan Optimasi dalam Rantai Pasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025
Pendahuluan
Dalam industri manufaktur, Supply Chain Performance Measurement (SCPM) berperan penting dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas rantai pasok. Pengukuran kinerja ini membantu perusahaan dalam mengidentifikasi bottleneck, mengoptimalkan sumber daya, serta meningkatkan daya saing di pasar global.
Penelitian yang dilakukan oleh Ilkka Sillanpää dan Pekka Kess dari University of Vaasa dan University of Oulu ini mengkaji berbagai pendekatan dalam SCPM, termasuk metode strategis, operasional, dan taktis, serta menyoroti framework yang dapat digunakan oleh perusahaan manufaktur.
Metodologi Penelitian
Studi ini merupakan literature review yang mengumpulkan dan menganalisis penelitian sebelumnya terkait SCPM. Fokus utama penelitian ini adalah:
Tujuannya adalah mengembangkan kerangka kerja pengukuran kinerja rantai pasok yang dapat diterapkan secara praktis dalam industri.
Temuan Utama
1. Pendekatan Manajerial dalam SCPM
Gunasekaran et al. (2001) mengelompokkan metrik SCPM menjadi tiga level:
2. Model Pengukuran Kinerja Supply Chain
Beberapa model SCPM utama yang dianalisis dalam penelitian ini:
✅ Balanced Scorecard (BSC) → Mengukur aspek keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran organisasi.
✅ SCOR Model (Supply Chain Operations Reference) → Fokus pada reliability, responsiveness, flexibility, cost, dan asset management.
✅ Economic Value Added (EVA) → Mengukur nilai tambah finansial yang dihasilkan oleh rantai pasok.
✅ Activity-Based Costing (ABC) → Menghitung biaya berdasarkan aktivitas yang memberikan nilai tambah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi antara SCOR dan Balanced Scorecard memberikan hasil yang lebih optimal dalam pengukuran kinerja supply chain manufaktur.
3. Studi Kasus: Implementasi SCPM dalam Industri Manufaktur
Penelitian ini mengkaji implementasi SCPM di berbagai industri manufaktur. Beberapa contoh kasus:
📌 Industri Otomotif
📌 Industri Elektronik
📌 Industri Farmasi
Tantangan dalam Implementasi SCPM
⚠ Kurangnya Standarisasi dalam Pengukuran
➡ Banyak perusahaan memiliki framework SCPM yang berbeda, menyebabkan ketidaksesuaian dalam benchmarking.
⚠ Tingginya Biaya Implementasi Teknologi
➡ Digitalisasi supply chain memerlukan investasi besar dalam sistem ERP, IoT, dan AI.
⚠ Kurangnya Keterampilan dalam Analisis Data
➡ Sebagian besar perusahaan manufaktur masih bergantung pada metode manual, menyebabkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan berbasis data.
Strategi Optimal untuk Meningkatkan SCPM
✅ Integrasi Digital dalam SCPM
✅ Kolaborasi dengan Pemasok dan Mitra Logistik
✅ Menggunakan Framework Hybrid
Kesimpulan
Studi ini menegaskan bahwa Supply Chain Performance Measurement (SCPM) merupakan elemen kunci dalam meningkatkan daya saing industri manufaktur. Dengan mengadopsi framework yang tepat, perusahaan dapat:
✅ Meningkatkan efisiensi rantai pasok.
✅ Mengoptimalkan biaya operasional.
✅ Mengurangi lead-time dan meningkatkan customer satisfaction.
Dalam era Industri 4.0, implementasi teknologi digital dalam SCPM menjadi faktor kritis yang harus diterapkan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
Sumber : Ilkka Sillanpää, Pekka Kess (2012). The Literature Review of Supply Chain Performance Measurement in the Manufacturing Industry. Management and Production Engineering Review, Vol. 3, No. 2, pp. 79–88.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan aspek krusial dalam industri manufaktur, terutama di sektor yang melibatkan bahan kimia berbahaya seperti industri pelarut. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana kesadaran akan keselamatan dan praktik kerja yang diterapkan di industri pelarut mempengaruhi tingkat cedera pekerja. Dengan pendekatan survei silang, penelitian ini mengumpulkan data dari 286 pekerja selama periode Desember 2021 hingga Oktober 2022.
Karakteristik demografi responden meliputi:
Instrumen dan Analisis Data
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 88.1% pekerja memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang K3, 9.8% memiliki pengetahuan sedang, dan hanya 2.1% yang memiliki pengetahuan rendah.
Untuk praktik K3:
Perusahaan secara rutin mengadakan pelatihan bulanan mengenai K3, termasuk penanganan bahan kimia, operasi forklift, serta pelatihan tentang limbah berbahaya dan ruang terbatas. Selain itu, pertemuan safety toolbox diadakan setiap minggu untuk mengingatkan pekerja tentang prosedur keselamatan.
Selama periode penelitian, terdapat tiga insiden cedera yang dilaporkan:
Sebagai perbandingan, data nasional Malaysia mencatat bahwa pada tahun 2021, sektor manufaktur mengalami 7.994 kasus cedera kerja, tertinggi dibandingkan sektor jasa (4.299 kasus), konstruksi (2.297 kasus), dan perdagangan ritel (1.979 kasus).
Hubungan antara Faktor Sosiodemografi dan K3
Kelebihan
✅ Menggunakan data empiris yang valid dan ukuran sampel yang besar.
✅ Menyediakan analisis mendalam tentang hubungan antara demografi dan praktik K3.
✅ Menyoroti pentingnya pelatihan keselamatan dalam meningkatkan kesadaran pekerja.
Kekurangan
❌ Tidak membahas faktor psikososial yang dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap prosedur K3.
❌ Tidak ada perbandingan langsung dengan industri lain di sektor manufaktur.
❌ Tidak membahas dampak ekonomi dari kecelakaan kerja di perusahaan yang diteliti.
Rekomendasi untuk Implementasi Lebih Lanjut
Pekerja di industri pelarut memiliki kesadaran tinggi terhadap K3, yang didukung oleh pelatihan rutin dan kebijakan perusahaan. Meskipun demikian, masih ada tantangan dalam kepatuhan terhadap prosedur K3 dan pemakaian APD yang perlu ditingkatkan.
Studi ini memberikan wawasan penting bagi perusahaan dalam meningkatkan kebijakan K3 dan menekan angka kecelakaan kerja. Dengan pendekatan yang lebih ketat terhadap kepatuhan K3 dan implementasi teknologi keselamatan, diharapkan angka kecelakaan di tempat kerja dapat diminimalkan secara signifikan.
Sumber Artikel
Ali, N. F., & Zulkaple, R. (2023). Occupational Safety and Health (OSH) Knowledge, Practices and Injury Patterns among Solvent Manufacturing Workers: A Cross-sectional Study. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences, 19(SUPP14), 47-55.
Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 06 Maret 2025
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki potensi risiko bencana alam, non-alam, sosial, dan akibat dari kurangnya teknologi yang tinggi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadinya 4.650 bencana alam pada tahun 2020, dengan bencana alam hidrometeorologi menjadi yang paling dominan. Untuk mengurangi kerentanan dan potensi risiko bencana, diperlukan upaya peningkatan kapasitas melalui program penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi dalam bidang kebencanaan.
Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai lembaga penyelenggara ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, aktif dalam pengembangan teknologi kebencanaan. Ini terwujud melalui pengenalan Sistem Deteksi Dini Tsunami Terpadu (InaTEWS), teknologi modifikasi cuaca, dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam penanggulangan tsunami serta kebakaran hutan dan lahan (Kalhuttra).
Hammam Riza, Kepala BPPT, menegaskan komitmennya dalam mendorong inovasi dan mengawal penerapan teknologi kebencanaan di Indonesia. Ia menyatakan bahwa BPPT akan terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memperkaya ekosistem inovasi. Menurutnya, Indonesia harus siap dan mampu menunjukkan kepada dunia bahwa negara ini dapat bertahan dari bencana.
Dalam sebuah webinar bertema "Kebijakan dan Strategi Penelitian dan Inovasi Teknologi Kebencanaan", Hammam mengemukakan bahwa ekosistem inovasi bencana perlu mempertimbangkan isu-isu kunci dalam pengembangan teknologi. Hal ini mencakup sistem peringatan dini multi-ancaman berbasis komunitas, peramalan dampak, peringatan berbasis risiko, dan sistem peringatan multi-bahaya global.
Daftar 12 Inovasi Teknologi Kebencanaan yang Siap Diterapkan oleh Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB) di BPPT meliputi:
Kerugian Akibat Bencana
Peningkatan frekuensi bencana di Indonesia menyebabkan kerugian ekonomi, dengan rata-rata kerugian mencapai Rp 22,8 triliun tiap tahun. Menyadari hal tersebut, pemerintah saat ini fokus pada pemulihan ekonomi di semua sektor, terutama di masa pandemi ini. Hammam, seorang ahli, menilai bahwa kerugian akibat bencana dapat diminimalisir dengan kajian mendalam untuk setiap jenis bencana dan wilayah tertentu. BPPT telah memulai langkah-langkah untuk mengantisipasi hal ini melalui program-program seperti PEKA Tsunami dan PEKA Karhutla. Selain itu, paradigma penanggulangan bencana juga mengalami perubahan global, dengan adanya fokus pada isu-isu seperti SDGs, DRR, perubahan iklim, emisi nol, dan pelestarian lingkungan. Indonesia, sebagai tuan rumah pertemuan Global Platform for DRR di Bali pada tahun 2020, dihadapkan dengan tantangan baru untuk aktif berperan dalam mengurangi risiko bencana, baik secara nasional maupun global.
Infografis Waspada Bencana Alam Akibat La Nina
Sumber: liputan6.com
Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 06 Maret 2025
Program Doktor Berbasis Riset: Meningkatkan Mutu Penelitian di Indonesia
Pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat doktoral menjadi semakin menarik bagi mahasiswa sarjana yang ingin mengembangkan karier akademik mereka. Salah satu opsi yang semakin populer adalah program doktor berbasis riset, yang menawarkan pelatihan doktoral yang lebih fleksibel dan kesempatan untuk melakukan penelitian mendalam di berbagai bidang ilmu.
Program doktor berbasis riset memungkinkan siswa untuk menggabungkan penelitian akademis mereka dengan penelitian berorientasi penelitian yang lebih mendalam. Dengan demikian, mereka dapat mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka di bidang tertentu secara lebih mendalam.
Beberapa universitas terkemuka telah meluncurkan program doktoral berbasis riset, seperti yang baru-baru ini diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Sosialisasi gelar S3 riset yang diadakan di Gedung BJ Habibie 720 KST pada Rabu (11/8) merupakan salah satu langkah untuk memperkenalkan program ini kepada masyarakat.
Menyampaikan dukungannya terhadap program ini, Direktur Pusat Penelitian Teknologi Transportasi Aam Muharam menyatakan harapannya bahwa kerja sama antara ilmu pengetahuan dan industri melalui penelitian dapat membawa dampak positif bagi kemajuan bangsa. Demikian pula, Ketua Program Penelitian Doktor Teknik Mesin UNS, Triyono, menekankan pentingnya kerja sama antara perguruan tinggi dan lembaga pemerintah dalam memajukan penelitian di Indonesia.
Program doktor berbasis riset menawarkan pendekatan penelitian yang mendalam, memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi ilmu dan penelitian pada tingkat yang lebih maju. Diharapkan, kehadiran program ini dapat melahirkan inovasi-inovasi baru yang berdampak positif bagi kemajuan bangsa, khususnya dalam pengembangan riset dan inovasi berkelanjutan bagi Indonesia.
Dengan adanya program doktor berbasis riset, diharapkan dapat tercipta lingkungan penelitian yang lebih berkualitas dan memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan mutu penelitian di Indonesia.
Sumber: www.brin.go.id