Transportasi Material Berbahaya

Transportasi Material Berbahaya (Hazmat): Tantangan dan Solusi dalam Logistik Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Transportasi material berbahaya (hazmat) merupakan salah satu aspek paling krusial dalam industri logistik global. Bahan kimia berbahaya seperti cairan mudah terbakar, gas beracun, dan material radioaktif memerlukan prosedur khusus dalam pengiriman karena dapat menyebabkan dampak lingkungan yang besar dan risiko keselamatan bagi masyarakat. Paper ini menyajikan tinjauan literatur yang luas mengenai metode mitigasi risiko, pemilihan rute terbaik, tanggap darurat, serta desain jaringan transportasi hazmat. Dengan mengulas 88 artikel yang diterbitkan sejak 2005, penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang tantangan serta solusi dalam transportasi hazmat di berbagai negara.

Risiko Kecelakaan dalam Transportasi Hazmat

Berdasarkan data dari U.S. Department of Transportation, pada tahun 2013 terjadi lebih dari 15.900 insiden terkait transportasi hazmat di Amerika Serikat. Insiden ini mengakibatkan 28 korban luka berat, 132 korban luka ringan, serta 12 kematian. Selain itu, total kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan transportasi hazmat mencapai lebih dari 81 juta dolar AS.

Mayoritas kecelakaan melibatkan cairan mudah terbakar, yang menyumbang lebih dari setengah dari total insiden. Sementara itu, bahan korosif dan gas mudah terbakar juga menjadi penyebab utama kecelakaan dalam transportasi hazmat. Hal ini menunjukkan perlunya strategi mitigasi risiko yang lebih efektif, termasuk pemilihan rute yang lebih aman dan penerapan sistem tanggap darurat yang lebih baik.

Klasifikasi Material Berbahaya

Menurut United Nations Economic Commission for Europe (UNECE), material berbahaya dikategorikan ke dalam sembilan kelas berdasarkan sifatnya. Kategori ini meliputi bahan peledak, gas berbahaya, cairan dan padatan mudah terbakar, bahan pengoksidasi, zat beracun, material radioaktif, serta bahan korosif. Setiap jenis bahan ini memiliki tantangan tersendiri dalam hal pengemasan, penyimpanan, serta prosedur penanganan saat terjadi kecelakaan.

Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa sebagian besar insiden transportasi hazmat melibatkan kelas bahan mudah terbakar dan bahan korosif. Hal ini mengindikasikan bahwa prosedur keselamatan dalam transportasi kedua jenis bahan ini perlu lebih diperketat untuk mengurangi dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan.

Tiga faktor utama yang paling mempengaruhi risiko dalam transportasi hazmat, yaitu penilaian risiko, pemilihan rute, dan respons darurat.

1. Penilaian Risiko (Risk Assessment)

Banyak penelitian telah mengembangkan model penilaian risiko untuk transportasi hazmat. Salah satu model yang sering digunakan adalah US DOT Risk Model, yang menghitung risiko dengan mempertimbangkan probabilitas kecelakaan dan dampak yang ditimbulkan. Selain itu, metode Quantitative Risk Assessment (QRA) juga banyak digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi bahaya, menganalisis frekuensi kecelakaan, serta melakukan pemodelan konsekuensi dari insiden yang terjadi. Selain pendekatan kuantitatif, beberapa studi juga menekankan pentingnya faktor manusia dalam risiko kecelakaan hazmat. Kesalahan manusia dalam proses transportasi sering kali menjadi penyebab utama insiden, baik karena kelalaian operator maupun kurangnya pelatihan dalam menangani bahan berbahaya.

2. Pemilihan Rute (Routing)

Memilih rute yang optimal adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi risiko dalam transportasi hazmat. Faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan rute termasuk panjang rute, waktu tempuh, kepadatan penduduk di sekitar jalan, serta kondisi jalan dan cuaca. Riset menunjukkan bahwa semakin panjang jarak transportasi, semakin besar risiko kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu, beberapa negara telah menerapkan regulasi ketat yang membatasi rute transportasi hazmat melalui daerah padat penduduk. Dengan menggunakan teknologi pemetaan dan pemantauan berbasis GPS, perusahaan logistik dapat memilih rute dengan tingkat risiko terendah dan memastikan transportasi bahan berbahaya dilakukan dengan aman.

3. Respons Darurat (Emergency Response)

Tanggap darurat menjadi aspek kritis dalam transportasi hazmat, terutama dalam insiden yang melibatkan kebocoran bahan beracun atau ledakan. Paper ini menemukan bahwa hanya sedikit negara yang memiliki sistem tanggap darurat yang khusus dirancang untuk menangani kecelakaan hazmat. Beberapa langkah yang direkomendasikan dalam penelitian ini termasuk:

  • Pelatihan bagi tim tanggap darurat untuk menangani kebocoran bahan berbahaya.
  • Penggunaan sistem deteksi dini untuk mengidentifikasi kebocoran bahan kimia sebelum insiden semakin memburuk.
  • Implementasi prosedur evakuasi yang lebih cepat dan efisien untuk melindungi masyarakat dari paparan bahan beracun.

Dampak Ekonomi Kecelakaan Hazmat

Kecelakaan hazmat tidak hanya berdampak pada keselamatan publik, tetapi juga membawa kerugian ekonomi yang besar. Dalam periode tujuh tahun antara 2007 hingga 2013, total kerugian yang ditimbulkan oleh kecelakaan transportasi hazmat di Amerika Serikat mencapai lebih dari 548 juta dolar AS. Mayoritas dari kerugian ini berasal dari kecelakaan yang terjadi di jalur transportasi darat, yang menyumbang hampir 80 persen dari total kerugian finansial. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya peningkatan regulasi dan infrastruktur keselamatan dalam transportasi hazmat di jalan raya, termasuk penerapan sistem pemantauan berbasis teknologi untuk mengurangi risiko kecelakaan.

Tren Penelitian Transportasi Hazmat

Sejak tahun 1980-an, penelitian mengenai transportasi hazmat terus berkembang. Paper ini mengklasifikasikan 88 artikel yang diterbitkan antara tahun 2005 hingga 2014 ke dalam beberapa kategori utama, yaitu penilaian risiko, optimasi rute, respons darurat, desain jaringan transportasi, serta analisis kecelakaan.

Dari tren yang diamati, penelitian mengenai tanggap darurat dan analisis kecelakaan mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini mencerminkan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesiapan dalam menghadapi insiden hazmat serta perlunya sistem mitigasi yang lebih kuat untuk mengurangi dampak negatifnya.

Transportasi hazmat merupakan tantangan besar dalam industri logistik global yang membutuhkan pendekatan multidisiplin untuk mengelola risiko. Beberapa rekomendasi utama yang disarankan dalam penelitian ini meliputi:

  • Peningkatan regulasi global untuk standar transportasi hazmat, seperti penerapan ADR (European Agreement concerning the International Carriage of Dangerous Goods by Road) di lebih banyak negara.
  • Penggunaan teknologi canggih seperti sensor deteksi kebocoran dan sistem pemantauan berbasis AI untuk mengurangi risiko kecelakaan.
  • Pendidikan dan pelatihan bagi pengemudi serta personel logistik agar lebih memahami prosedur keselamatan dalam menangani bahan berbahaya.

Dengan implementasi strategi ini, risiko kecelakaan dalam transportasi hazmat dapat diminimalkan, sehingga melindungi manusia, lingkungan, dan ekonomi.

Sumber Asli Paper

Yilmaz, Z., Erol, S., & Aplak, H. S. (2016). Transportation of hazardous materials (hazmat): A literature survey. Pamukkale University Journal of Engineering Sciences, 22(1), 39-53.

Selengkapnya
Transportasi Material Berbahaya (Hazmat): Tantangan dan Solusi dalam Logistik Global

Keselamatan Kerja

Risk Identification of Hazardous Biological and Chemical Substances in Work Safety Efforts

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Keselamatan kerja di laboratorium pendidikan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan, terutama dalam penggunaan bahan biologis dan kimia berbahaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional dengan pendekatan kualitatif. Sembilan laboratorium yang diteliti mencakup bidang bioteknologi, ekologi, mikrobiologi, zoologi, kedokteran molekuler, dan farmasi. Variabel yang diamati meliputi SOP penggunaan bahan biologis (7 komponen) dan bahan kimia berbahaya (8 komponen). Data diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara dengan asisten laboratorium.

Dari tujuh komponen SOP yang diamati, laboratorium mikrobiologi, biologi molekuler dan bioteknologi, serta kedokteran molekuler menerapkan 6 dari 7 komponen. Beberapa komponen utama yang telah diterapkan meliputi:

Namun, ditemukan bahwa beberapa laboratorium belum optimal dalam mengurangi pembentukan aerosol dan bekerja dengan benda tajam.

Dalam aspek bahan kimia, laboratorium biologi molekuler dan bioteknologi serta laboratorium kedokteran molekuler menunjukkan penerapan SOP yang cukup baik, dengan 6 dari 8 komponen telah dijalankan. Beberapa komponen penting yang telah diterapkan meliputi:

  • Penyimpanan bahan kimia sesuai standar
  • Penyediaan alat pemadam kebakaran yang sesuai
  • Penggunaan APD saat menangani bahan kimia berbahaya
  • Dekontaminasi limbah sebelum dibuang

Namun, masih ditemukan laboratorium yang belum optimal dalam memahami sifat bahan kimia yang digunakan serta penerapan Material Safety Data Sheet (MSDS).

Dari hasil analisis, tingkat risiko di laboratorium dikategorikan sebagai berikut:

  • Risiko rendah: 8 dari 9 laboratorium
  • Risiko sedang: Laboratorium zoologi karena kurangnya penerapan SOP dalam penggunaan bahan kimia berbahaya.

Faktor yang menyebabkan masih adanya risiko di laboratorium meliputi kurangnya pelatihan tenaga laboratorium serta keterbatasan fasilitas untuk pengelolaan limbah.

Untuk meningkatkan keselamatan kerja di laboratorium, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan antara lain:

  1. Meningkatkan pelatihan dan edukasi tenaga laboratorium tentang standar keamanan bahan biologis dan kimia.
  2. Memastikan kepatuhan terhadap SOP dengan pengawasan ketat dan audit rutin.
  3. Mengoptimalkan sistem pengelolaan limbah untuk mengurangi dampak lingkungan dan risiko kontaminasi.
  4. Melengkapi laboratorium dengan fasilitas keamanan yang lebih baik, seperti alat pemadam kebakaran, ventilasi yang memadai, serta peralatan dekontaminasi yang lebih efektif.

Sebagian besar laboratorium di Universitas Jember telah menerapkan standar keselamatan kerja dalam penggunaan bahan biologis dan kimia, meskipun masih terdapat beberapa aspek yang perlu ditingkatkan. Dengan menerapkan rekomendasi yang diberikan, diharapkan keselamatan kerja di laboratorium dapat lebih terjamin dan risiko kecelakaan dapat diminimalkan.

Sumber Artikel: Hanif Murnia Atma, Anita Dewi Prahastuti Sujoso, Ari Satia Nugraha, "Risk Identification of Hazardous Biological and Chemical Substances in Work Safety Efforts", Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol. 23(2), 2024, pp. 191-199.

Selengkapnya
Risk Identification of Hazardous Biological and Chemical Substances in Work Safety Efforts

Pengukuran Kinerja dan Optimasi dalam Rantai Pasok

Supply Chain Performance Measurement dalam Industri Manufaktur: Framework, Tantangan, dan Metrik Evaluasi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025


Pendahuluan

Dalam industri manufaktur, Supply Chain Performance Measurement (SCPM) berperan penting dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas rantai pasok. Pengukuran kinerja ini membantu perusahaan dalam mengidentifikasi bottleneck, mengoptimalkan sumber daya, serta meningkatkan daya saing di pasar global.

Penelitian yang dilakukan oleh Ilkka Sillanpää dan Pekka Kess dari University of Vaasa dan University of Oulu ini mengkaji berbagai pendekatan dalam SCPM, termasuk metode strategis, operasional, dan taktis, serta menyoroti framework yang dapat digunakan oleh perusahaan manufaktur.

Metodologi Penelitian

Studi ini merupakan literature review yang mengumpulkan dan menganalisis penelitian sebelumnya terkait SCPM. Fokus utama penelitian ini adalah:

  • Pendekatan manajerial dalam SCPM.
  • Metode pengukuran berbasis waktu dan kinerja operasional.
  • Model evaluasi SCPM dalam konteks manufaktur.

Tujuannya adalah mengembangkan kerangka kerja pengukuran kinerja rantai pasok yang dapat diterapkan secara praktis dalam industri.

Temuan Utama

1. Pendekatan Manajerial dalam SCPM

Gunasekaran et al. (2001) mengelompokkan metrik SCPM menjadi tiga level:

  • Strategic Level → Metrik untuk keputusan top management seperti cash flow time, ROI, dan customer perceived value.
  • Tactical Level → Digunakan oleh middle management untuk mengoptimalkan sumber daya dan perencanaan produksi.
  • Operational Level → Metrik berbasis data real-time seperti lead-time, tingkat fleksibilitas, dan delivery performance.

2. Model Pengukuran Kinerja Supply Chain

Beberapa model SCPM utama yang dianalisis dalam penelitian ini:

Balanced Scorecard (BSC) → Mengukur aspek keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran organisasi.
SCOR Model (Supply Chain Operations Reference) → Fokus pada reliability, responsiveness, flexibility, cost, dan asset management.
Economic Value Added (EVA) → Mengukur nilai tambah finansial yang dihasilkan oleh rantai pasok.
Activity-Based Costing (ABC) → Menghitung biaya berdasarkan aktivitas yang memberikan nilai tambah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi antara SCOR dan Balanced Scorecard memberikan hasil yang lebih optimal dalam pengukuran kinerja supply chain manufaktur.

3. Studi Kasus: Implementasi SCPM dalam Industri Manufaktur

Penelitian ini mengkaji implementasi SCPM di berbagai industri manufaktur. Beberapa contoh kasus:

📌 Industri Otomotif

  • Mengadopsi SCOR Model, yang meningkatkan akurasi prediksi permintaan hingga 25%.
  • Lead-time produksi berkurang 30%, meningkatkan efisiensi distribusi.

📌 Industri Elektronik

  • Implementasi Balanced Scorecard menghasilkan peningkatan efisiensi rantai pasok sebesar 18% dalam dua tahun.
  • SC visibility meningkat hingga 40% dengan penggunaan teknologi digital.

📌 Industri Farmasi

  • Penggunaan EVA dalam pengukuran kinerja supply chain meningkatkan keuntungan operasional sebesar 12%.
  • Optimasi inventory management mengurangi biaya stok hingga 20%.

Tantangan dalam Implementasi SCPM

Kurangnya Standarisasi dalam Pengukuran
➡ Banyak perusahaan memiliki framework SCPM yang berbeda, menyebabkan ketidaksesuaian dalam benchmarking.

Tingginya Biaya Implementasi Teknologi
Digitalisasi supply chain memerlukan investasi besar dalam sistem ERP, IoT, dan AI.

Kurangnya Keterampilan dalam Analisis Data
Sebagian besar perusahaan manufaktur masih bergantung pada metode manual, menyebabkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan berbasis data.

Strategi Optimal untuk Meningkatkan SCPM

Integrasi Digital dalam SCPM

  • Menggunakan Big Data dan AI untuk meningkatkan akurasi forecasting.
  • Implementasi Blockchain untuk meningkatkan transparansi rantai pasok.

Kolaborasi dengan Pemasok dan Mitra Logistik

  • Mengembangkan kontrak berbasis performa untuk meningkatkan keandalan rantai pasok.
  • Platform berbasis cloud untuk berbagi informasi secara real-time.

Menggunakan Framework Hybrid

  • Kombinasi SCOR dan Balanced Scorecard untuk hasil optimal.
  • Menyesuaikan metrik dengan kebutuhan spesifik industri manufaktur.

Kesimpulan

Studi ini menegaskan bahwa Supply Chain Performance Measurement (SCPM) merupakan elemen kunci dalam meningkatkan daya saing industri manufaktur. Dengan mengadopsi framework yang tepat, perusahaan dapat:
Meningkatkan efisiensi rantai pasok.
Mengoptimalkan biaya operasional.
Mengurangi lead-time dan meningkatkan customer satisfaction.

Dalam era Industri 4.0, implementasi teknologi digital dalam SCPM menjadi faktor kritis yang harus diterapkan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

Sumber : Ilkka Sillanpää, Pekka Kess (2012). The Literature Review of Supply Chain Performance Measurement in the Manufacturing Industry. Management and Production Engineering Review, Vol. 3, No. 2, pp. 79–88.

 

Selengkapnya
Supply Chain Performance Measurement dalam Industri Manufaktur: Framework, Tantangan, dan Metrik Evaluasi

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pengetahuan, Praktik, dan Pola Cedera Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Pekerja Industri Pelarut

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan aspek krusial dalam industri manufaktur, terutama di sektor yang melibatkan bahan kimia berbahaya seperti industri pelarut. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana kesadaran akan keselamatan dan praktik kerja yang diterapkan di industri pelarut mempengaruhi tingkat cedera pekerja. Dengan pendekatan survei silang, penelitian ini mengumpulkan data dari 286 pekerja selama periode Desember 2021 hingga Oktober 2022.

Karakteristik demografi responden meliputi:

  • 72.4% laki-laki dan 27.6% perempuan
  • 33.9% berusia 31-40 tahun (kelompok usia terbesar)
  • 36% memiliki pengalaman kerja 6-10 tahun
  • 40.6% memiliki kualifikasi pra-universitas, sementara 33.9% memiliki gelar sarjana
  • 70.3% bekerja di divisi produksi, dengan sisanya tersebar di divisi teknis, pemasaran, logistik, dan QA/QC

Instrumen dan Analisis Data

  • Kuesioner dibagi menjadi tiga bagian: data sosiodemografi, pengetahuan K3, dan praktik K3.
  • Tingkat pengetahuan dan praktik dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.
  • Data dianalisis menggunakan SPSS versi 27 dengan uji Chi-Square untuk menentukan hubungan antara variabel.
  • Data kecelakaan dikumpulkan dari laporan klinik atau rumah sakit yang dikunjungi pekerja selama 11 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 88.1% pekerja memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang K3, 9.8% memiliki pengetahuan sedang, dan hanya 2.1% yang memiliki pengetahuan rendah.

Untuk praktik K3:

  • 68.9% pekerja menunjukkan tingkat praktik yang baik
  • 31.1% memiliki praktik sedang
  • Tidak ada pekerja dengan praktik rendah

Perusahaan secara rutin mengadakan pelatihan bulanan mengenai K3, termasuk penanganan bahan kimia, operasi forklift, serta pelatihan tentang limbah berbahaya dan ruang terbatas. Selain itu, pertemuan safety toolbox diadakan setiap minggu untuk mengingatkan pekerja tentang prosedur keselamatan.

Selama periode penelitian, terdapat tiga insiden cedera yang dilaporkan:

  1. Cedera mata akibat kebocoran bahan kimia, menyebabkan pekerja absen selama 3 hari.
  2. Luka pada tangan akibat kawat baja yang putus, memerlukan operasi dan rawat inap dengan total 2 hari absen.
  3. Fraktur lengan kanan akibat jatuhnya palet, yang mengakibatkan 15 hari absen dari pekerjaan.

Sebagai perbandingan, data nasional Malaysia mencatat bahwa pada tahun 2021, sektor manufaktur mengalami 7.994 kasus cedera kerja, tertinggi dibandingkan sektor jasa (4.299 kasus), konstruksi (2.297 kasus), dan perdagangan ritel (1.979 kasus).

Hubungan antara Faktor Sosiodemografi dan K3

  • Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan dengan faktor usia, gender, pengalaman kerja, atau pendidikan.
  • Ada hubungan signifikan antara praktik K3 dengan usia dan gender (p < 0.001), di mana pekerja muda dan laki-laki lebih cenderung memiliki praktik keselamatan yang lebih baik.
  • Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan dan cedera, maupun antara praktik K3 dan cedera.

Kelebihan 

✅ Menggunakan data empiris yang valid dan ukuran sampel yang besar.
✅ Menyediakan analisis mendalam tentang hubungan antara demografi dan praktik K3.
✅ Menyoroti pentingnya pelatihan keselamatan dalam meningkatkan kesadaran pekerja.

Kekurangan 

❌ Tidak membahas faktor psikososial yang dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap prosedur K3.
❌ Tidak ada perbandingan langsung dengan industri lain di sektor manufaktur.
❌ Tidak membahas dampak ekonomi dari kecelakaan kerja di perusahaan yang diteliti.

Rekomendasi untuk Implementasi Lebih Lanjut

  1. Peningkatan Kepatuhan terhadap APD
    • Beberapa pekerja hanya mengenakan APD saat ada inspeksi.
    • Perusahaan harus memperketat pengawasan dan menerapkan sanksi bagi yang melanggar.
  2. Peningkatan Ergonomi di Tempat Kerja
    • Pekerja melaporkan ketidaknyamanan akibat duduk dalam waktu lama.
    • Diperlukan evaluasi ergonomi untuk memastikan lingkungan kerja yang lebih nyaman.
  3. Penguatan Kesadaran Keselamatan
    • Beberapa pekerja tidak menghadiri pertemuan keselamatan mingguan.
    • Supervisor harus mencatat kehadiran dan memastikan seluruh pekerja menerima informasi keselamatan.
  4. Penggunaan Teknologi untuk Keselamatan
    • Implementasi sistem deteksi otomatis menggunakan AI untuk memastikan pekerja menggunakan APD.
    • Pemantauan real-time terhadap risiko lingkungan kerja.

Pekerja di industri pelarut memiliki kesadaran tinggi terhadap K3, yang didukung oleh pelatihan rutin dan kebijakan perusahaan. Meskipun demikian, masih ada tantangan dalam kepatuhan terhadap prosedur K3 dan pemakaian APD yang perlu ditingkatkan.

Studi ini memberikan wawasan penting bagi perusahaan dalam meningkatkan kebijakan K3 dan menekan angka kecelakaan kerja. Dengan pendekatan yang lebih ketat terhadap kepatuhan K3 dan implementasi teknologi keselamatan, diharapkan angka kecelakaan di tempat kerja dapat diminimalkan secara signifikan.

Sumber Artikel

Ali, N. F., & Zulkaple, R. (2023). Occupational Safety and Health (OSH) Knowledge, Practices and Injury Patterns among Solvent Manufacturing Workers: A Cross-sectional Study. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences, 19(SUPP14), 47-55.

Selengkapnya
Pengetahuan, Praktik, dan Pola Cedera Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Pekerja Industri Pelarut

Riset dan Inovasi

12 Terobosan Teknologi dari BPPT untuk Mengurangi Risiko Bencana

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 06 Maret 2025


Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki potensi risiko bencana alam, non-alam, sosial, dan akibat dari kurangnya teknologi yang tinggi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadinya 4.650 bencana alam pada tahun 2020, dengan bencana alam hidrometeorologi menjadi yang paling dominan. Untuk mengurangi kerentanan dan potensi risiko bencana, diperlukan upaya peningkatan kapasitas melalui program penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi dalam bidang kebencanaan.

Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai lembaga penyelenggara ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, aktif dalam pengembangan teknologi kebencanaan. Ini terwujud melalui pengenalan Sistem Deteksi Dini Tsunami Terpadu (InaTEWS), teknologi modifikasi cuaca, dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam penanggulangan tsunami serta kebakaran hutan dan lahan (Kalhuttra).

Hammam Riza, Kepala BPPT, menegaskan komitmennya dalam mendorong inovasi dan mengawal penerapan teknologi kebencanaan di Indonesia. Ia menyatakan bahwa BPPT akan terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memperkaya ekosistem inovasi. Menurutnya, Indonesia harus siap dan mampu menunjukkan kepada dunia bahwa negara ini dapat bertahan dari bencana.

Dalam sebuah webinar bertema "Kebijakan dan Strategi Penelitian dan Inovasi Teknologi Kebencanaan", Hammam mengemukakan bahwa ekosistem inovasi bencana perlu mempertimbangkan isu-isu kunci dalam pengembangan teknologi. Hal ini mencakup sistem peringatan dini multi-ancaman berbasis komunitas, peramalan dampak, peringatan berbasis risiko, dan sistem peringatan multi-bahaya global.

Daftar 12 Inovasi Teknologi Kebencanaan yang Siap Diterapkan oleh Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB) di BPPT meliputi:

  1. Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina TEWS) untuk Sistem Peringatan Dini Bencana Tsunami;
  2. Flood Early Warning System (FEWS) untuk Sistem Peringatan Dini Bencana Banjir;
  3. Landslide Early Warning System (LEWS) untuk Sistem Peringatan Dini Bencana Longsor;
  4. SIJAGAT untuk Sistem Kaji Kerentanan Struktur Gedung Bertingkat;
  5. SIKUAT untuk Sistem Informasi Kesehatan Struktur Gedung Bertingkat;
  6. Simulan untuk Sistem Simulasi Perubahan Guna Lahan dalam Konteks Bencana Tsunami;
  7. Sistem Deteksi Dini Kebakaran Lahan dan Hutan;
  8. PEKA Tsunami untuk Penanganan Kebencanaan Menggunakan Kecerdasan Buatan dalam Sistem Prediksi Kejadian Tsunami;
  9. Karhutla untuk Kecerdasan Buatan dalam Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan;
  10. INDI untuk Indonesia Network for Disaster Information;
  11. Kajian Bencana Gagal Teknologi Sektor Industri;
  12. Biotextile untuk Perlindungan Tanah dan Erosi Tanah.

Kerugian Akibat Bencana

Peningkatan frekuensi bencana di Indonesia menyebabkan kerugian ekonomi, dengan rata-rata kerugian mencapai Rp 22,8 triliun tiap tahun. Menyadari hal tersebut, pemerintah saat ini fokus pada pemulihan ekonomi di semua sektor, terutama di masa pandemi ini. Hammam, seorang ahli, menilai bahwa kerugian akibat bencana dapat diminimalisir dengan kajian mendalam untuk setiap jenis bencana dan wilayah tertentu. BPPT telah memulai langkah-langkah untuk mengantisipasi hal ini melalui program-program seperti PEKA Tsunami dan PEKA Karhutla. Selain itu, paradigma penanggulangan bencana juga mengalami perubahan global, dengan adanya fokus pada isu-isu seperti SDGs, DRR, perubahan iklim, emisi nol, dan pelestarian lingkungan. Indonesia, sebagai tuan rumah pertemuan Global Platform for DRR di Bali pada tahun 2020, dihadapkan dengan tantangan baru untuk aktif berperan dalam mengurangi risiko bencana, baik secara nasional maupun global.

Infografis Waspada Bencana Alam Akibat La Nina

Infografis Waspada Bencana Alam Akibat La Nina. (Liputan6.com/Trieyasni)
 

Sumber: liputan6.com

Selengkapnya
12 Terobosan Teknologi dari BPPT untuk Mengurangi Risiko Bencana

Riset dan Inovasi

Upaya Meningkatkan Kualitas Riset Di Indonesia Melalui Program S3 Berorientasi Pada Riset

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 06 Maret 2025


Program Doktor Berbasis Riset: Meningkatkan Mutu Penelitian di Indonesia

Pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat doktoral menjadi semakin menarik bagi mahasiswa sarjana yang ingin mengembangkan karier akademik mereka. Salah satu opsi yang semakin populer adalah program doktor berbasis riset, yang menawarkan pelatihan doktoral yang lebih fleksibel dan kesempatan untuk melakukan penelitian mendalam di berbagai bidang ilmu.

Program doktor berbasis riset memungkinkan siswa untuk menggabungkan penelitian akademis mereka dengan penelitian berorientasi penelitian yang lebih mendalam. Dengan demikian, mereka dapat mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka di bidang tertentu secara lebih mendalam.

Beberapa universitas terkemuka telah meluncurkan program doktoral berbasis riset, seperti yang baru-baru ini diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Sosialisasi gelar S3 riset yang diadakan di Gedung BJ Habibie 720 KST pada Rabu (11/8) merupakan salah satu langkah untuk memperkenalkan program ini kepada masyarakat.

Menyampaikan dukungannya terhadap program ini, Direktur Pusat Penelitian Teknologi Transportasi Aam Muharam menyatakan harapannya bahwa kerja sama antara ilmu pengetahuan dan industri melalui penelitian dapat membawa dampak positif bagi kemajuan bangsa. Demikian pula, Ketua Program Penelitian Doktor Teknik Mesin UNS, Triyono, menekankan pentingnya kerja sama antara perguruan tinggi dan lembaga pemerintah dalam memajukan penelitian di Indonesia.

Program doktor berbasis riset menawarkan pendekatan penelitian yang mendalam, memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi ilmu dan penelitian pada tingkat yang lebih maju. Diharapkan, kehadiran program ini dapat melahirkan inovasi-inovasi baru yang berdampak positif bagi kemajuan bangsa, khususnya dalam pengembangan riset dan inovasi berkelanjutan bagi Indonesia.

Dengan adanya program doktor berbasis riset, diharapkan dapat tercipta lingkungan penelitian yang lebih berkualitas dan memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan mutu penelitian di Indonesia.


Sumber: www.brin.go.id

Selengkapnya
Upaya Meningkatkan Kualitas Riset Di Indonesia Melalui Program S3 Berorientasi Pada Riset
« First Previous page 123 of 865 Next Last »