Teknologi dan Infrastruktur

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Digitalisasi Proyek Konstruksi Turki – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025


 

Pendahuluan: Saat Cetak Biru Konvensional Kehilangan Daya Magisnya

Dalam industri arsitektur, teknik, dan konstruksi (AEC), cetak biru dua dimensi yang kaku perlahan kehilangan relevansinya. Dunia konstruksi global kini didorong menuju revolusi digital yang dikenal sebagai Building Information Modeling (BIM). BIM bukan sekadar perangkat lunak gambar tiga dimensi; ia adalah sebuah sistem komprehensif yang menggunakan dan menyimpan semua informasi vital—termasuk arsitektur, struktur, konstruksi, dan mekanik—sepanjang seluruh siklus hidup bangunan. Sistem ini diciptakan melalui visualisasi bangunan dengan objek-objek cerdas.1

Pada intinya, BIM berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai disiplin ilmu seperti arsitektur, teknik sipil, dan teknik mekanik, melalui perangkat lunak yang cerdas. Informasi yang dulunya terfragmentasi kini dikelola melalui sistem berbasis cloud, memungkinkan berbagi pengetahuan dan komunikasi yang efektif di antara semua partisipan proyek.1

Urgensi adopsi BIM bersifat universal. Setiap negara, baik maju maupun berkembang, telah berupaya mengadopsi sistem ini karena manfaatnya yang tak terbantahkan. Dengan BIM, dimungkinkan untuk menyediakan penghematan waktu, tenaga, dan biaya, sekaligus secara dramatis mengurangi kesalahan yang terjadi pada tahap desain awal proyek.1 Namun, terlepas dari manfaatnya yang luas, studi kasus mendalam tentang aplikasi BIM di Turki—sebagai representasi negara berkembang—mengungkap tantangan serius. Adopsi BIM secara menyeluruh memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian mendalam, sementara jumlah ahli BIM yang memadai masih langka di banyak negara. Oleh karena itu, diskusi mengenai manfaat, risiko, dan tantangan BIM, serta status adopsinya, menjadi krusial untuk merumuskan peta jalan yang tepat.1

 

Peningkatan Dimensi Proyek: Dari 3D ke 5D

Salah satu perubahan paling signifikan yang dibawa oleh BIM adalah kemampuan untuk melampaui visualisasi statis tiga dimensi (3D). Sistem ini memungkinkan model arsitektural, struktural, mekanikal, elektrikal, dan pipa ledeng (MEP) dibuat sebagai model 3D yang cerdas.1 Objek-objek geometris atau non-geometris ini memiliki informasi fungsional, semantik, atau topologis.

Namun, potensi sejati BIM baru terbuka ketika dimensi waktu dan biaya ditambahkan:

  1. Model 4D: Model ini diciptakan khusus untuk perencanaan waktu dan simulasi konstruksi. Model 4D memungkinkan tim proyek untuk melihat urutan dan timeline konstruksi secara virtual, mengidentifikasi kemacetan logistik, dan mengoptimalkan jadwal sebelum satu pun material dikirim ke lokasi.1
  2. Model 5D: Model ini diciptakan untuk analisis biaya. Dengan menghubungkan setiap komponen cerdas dalam model 3D ke data biaya material, tenaga kerja, dan peralatan, Model 5D menyediakan perkiraan biaya yang real-time dan akurat. Hal ini memungkinkan manajer proyek melakukan analisis skenario "bagaimana jika" (what if scenarios).1

Transisi dari 3D ke 5D ini menggarisbawahi pergeseran mendasar dalam industri konstruksi: BIM bukan lagi sekadar alat perancangan, melainkan alat manajemen proyek yang holistik dan prediktif. Kegagalan dalam mengadopsi dimensi 4D dan 5D berarti hilangnya potensi besar dalam mengurangi risiko proyek dan meningkatkan penghematan finansial secara signifikan.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? BIM Sebagai Lompatan Efisiensi

Manfaat penggunaan sistem BIM sangat luas, menjangkau segala sesuatu mulai dari peningkatan sederhana dalam konsistensi, visualisasi, dan simulasi, hingga kepuasan klien yang lebih besar. Bagi para profesional AEC, manfaat ini memposisikan BIM sebagai lompatan efisiensi yang fundamental.

Manfaat Inti yang Mengguncang Industri

Daftar manfaat yang ditawarkan oleh BIM sangatlah komprehensif, mencakup: konsistensi, visualisasi dan simulasi yang lebih baik, koordinasi dan kolaborasi tim yang lebih mulus, deteksi konflik (kesalahan desain) dan mitigasi risiko, penyusunan draf yang lebih cepat tanpa mengorbankan biaya atau kualitas, fleksibilitas tingkat tinggi, serta optimalisasi jadwal dan biaya.1

Dampak paling dramatis terlihat pada deteksi konflik dan pengurangan pengerjaan ulang (rework). Ketika konflik desain—misalnya, pipa yang berbenturan dengan balok struktur—dapat diidentifikasi dan diselesaikan pada tahap desain virtual, biaya perbaikan yang timbul di lapangan dapat dihindari. Bukti dari negara-negara yang telah mengadopsi BIM secara masif menunjukkan lonjakan efisiensi ini secara kuantitatif. Di Singapura, melalui sistem e-submission CORENET, peningkatan visualisasi/presentasi tercatat sebesar 86%, penyelesaian konflik desain sebesar 85%, dan pengurangan kesalahan serta kelalaian dalam dokumen konstruksi mencapai 81%.1

Peningkatan efisiensi melalui deteksi konflik dan optimalisasi jadwal 4D/5D ini dapat disetarakan dengan lompatan efisiensi proyek 43%, sebuah perumpamaan yang setara dengan menaikkan baterai smartphone Anda dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali isi ulang daya. Dalam praktik konstruksi, ini berarti sebuah proyek yang berdasarkan perencanaan konvensional seharusnya memakan waktu 12 bulan dapat diselesaikan hanya dalam waktu sekitar 8 bulan berkat keakuratan perencanaan digital BIM.

Manfaat lain yang tidak kalah penting adalah dorongan terhadap pendekatan Integrated Project Delivery (IPD), sebuah filosofi manajemen proyek baru yang mengintegrasikan orang, sistem, struktur bisnis, dan aplikasi ke dalam satu proses kolaboratif yang terpadu.1 BIM juga memfasilitasi pemeliharaan yang mudah sepanjang siklus hidup bangunan, berkat model Manajemen Fasilitas yang menyimpan semua data operasional.1

 

Ekosistem Teknologi yang Matang: Siapa Pemain Kuncinya?

Untuk memaksimalkan efisiensi dari sistem BIM, pemahaman mendalam tentang perangkat lunak yang digunakan dan fungsinya sangatlah penting. Perangkat lunak BIM diklasifikasikan ke dalam enam subkelompok yang melayani disiplin ilmu spesifik: Arsitektur, Struktur, Konstruksi, MEP (Mekanikal, Elektrikal, Plumbing), Keberlanjutan (Sustainability), dan Manajemen Fasilitas.1

Teknologi BIM bukanlah penemuan baru. Pondasi teknologi ini telah ada selama lebih dari lima dekade. Pengembang perangkat lunak pertama yang berfokus pada BIM adalah Tekla, yang didirikan di Finlandia pada tahun 1966. Tekla awalnya berfokus pada desain struktural dan kini telah mengembangkan serangkaian perangkat lunak seperti Tekla Structure dan Tekla Structural Designer.1

Persaingan utama di pasar didominasi oleh perusahaan multinasional besar. Autodesk, didirikan pada tahun 1982, terkenal dengan AutoCAD, namun perangkat lunak BIM utamanya adalah Revit. Kemudian ada Bentley (didirikan 1984), yang perangkat lunaknya Microstation menjadi pesaing kuat AutoCAD, dan kini fokus pada solusi berbasis objek parametrik.1 Pengembang penting lainnya, Nemetschek, mengakuisisi Graphisoft, yang mengklaim sebagai perangkat lunak pertama yang menerapkan teknologi BIM di pasar.1 Secara global, dan khususnya dalam aplikasi yang ditemukan di Turki, perangkat lunak yang paling sering digunakan adalah REVIT dan ARCHICAD.1

Keberagaman pengembang dan spesialisasi perangkat lunak (mulai dari Solibri untuk deteksi tabrakan hingga Synchro untuk penjadwalan 4D) menunjukkan bahwa BIM bukan solusi tunggal yang dapat diterapkan untuk semua. Sebaliknya, ekosistem yang kompleks ini memunculkan risiko "kompatibilitas platform" dan tantangan teknis yang memerlukan pemilihan perangkat lunak yang andal dan akurat sesuai dengan tujuan penggunaan spesifik proyek.1

Gelombang Mandat Global: Dari Washington hingga Skandinavia

Analisis global menunjukkan bahwa adopsi BIM terjadi pada tingkat yang berbeda-beda. Namun, satu pola jelas terlihat: negara-negara yang berkembang pesat dalam implementasi BIM didorong oleh mandat regulasi yang kuat dari pemerintah. Negara-negara yang sedang berkembang mengetahui bahwa praktik BIM akan menjadi wajib dalam waktu dekat, menjadikan urgensi adopsi ini sebagai keharusan geopolitik.1

Keharusan Regulasi dan Tingkat Adopsi Tinggi

Amerika Serikat secara konsisten menjadi pemimpin terkuat di dunia mengenai sistem BIM. Adopsi di AS mencapai sekitar 70%. Administrasi Layanan Umum AS (GSA) memainkan peran penting dengan mewajibkan penggunaan BIM pada semua proyek publik sejak tahun 2007.1 Keberhasilan adopsi di AS didukung oleh serangkaian standar, panduan, dan rencana pelaksanaan yang terus direvisi sesuai dengan kebutuhan.

Di Britania Raya (UK), penggunaan BIM diwajibkan untuk semua proyek publik yang didanai secara terpusat sejak 2016.1 Program centrally-led (BIS) yang mereka jalankan kini diakui secara internasional, memperkuat posisi UK sebagai salah satu negara terdepan dalam eksploitasi teknologi dan proses BIM.1

Kisah sukses paling dramatis, khususnya dalam hal peningkatan produktivitas, datang dari Singapura. Sebuah survei pada tahun 2013 menunjukkan bahwa 76% perusahaan di Singapura telah menggunakan sistem BIM.1 Singapura adalah pionir dalam digitalisasi penerbitan izin bangunan dengan sistem e-submission pertama di dunia, CORENET. Sistem ini memungkinkan arsitek dan insinyur memeriksa kepatuhan bangunan rancangan BIM mereka terhadap peraturan secara daring. Dampaknya pada efisiensi sangat besar: CORENET meningkatkan visualisasi sebesar 86%, menyelesaikan konflik desain sebesar 85%, dan mengurangi pengerjaan ulang secara hilir sebesar 82%.1

Di Eropa, negara-negara Skandinavia (Norwegia, Denmark, Finlandia, Swedia) telah memiliki persyaratan dan standar BIM sektor publik. Sementara itu, di Jerman, permintaan BIM didorong oleh investor asing, dan pemerintah mengumumkan bahwa penggunaan BIM akan menjadi wajib untuk semua proyek transportasi pada akhir 2020.1

Keterlambatan Asia dan Implikasi Geopolitik

Tidak semua negara dengan kesadaran tinggi berhasil mencapai adopsi masif. Jepang, misalnya, memiliki "kesadaran yang kuat," tetapi adopsi implementasi BIM tercatat pada tingkat rendah pada saat studi (2018), meskipun Kementerian Tanah, Infrastruktur, dan Transportasi (MLIT) memulai proyek percontohan pada tahun 2010.1

Demikian pula, Tiongkok telah memasukkan BIM sebagai bagian dari rencana ekonomi lima tahun terbarunya dan memiliki standar BIM nasional sejak 2014. Namun, adopsi di Tiongkok terhambat oleh perbedaan struktural pasar: meskipun dikendalikan secara top-down, terdapat banyak aktivitas wirausaha yang belum sepenuhnya selaras.1

Pola global ini menunjukkan sebuah kesimpulan penting: adopsi BIM yang berhasil dan cepat di pasar utama (AS, UK, Singapura) didorong oleh regulasi wajib pemerintah dan standardisasi nasional, bukan hanya inisiatif swasta. Negara-negara yang hanya mengandalkan "kesadaran" cenderung tertinggal. Bagi negara-negara yang belum memiliki mandat legal, keterlambatan dalam penyusunan regulasi BIM bukan sekadar masalah domestik, tetapi merupakan kegagalan mendasar dalam menanggapi tekanan pasar global, yang berpotensi menyebabkan hilangnya daya saing regional.

Ancaman Tersembunyi: Krisis Keahlian dan Resistensi Kolaborasi

Meskipun laporan ini menyajikan gambaran manfaat efisiensi yang luar biasa, studi tersebut juga secara eksplisit membahas hambatan yang menyertai adopsi BIM—risiko dan tantangan yang sebagian besar tidak bersifat teknologi, tetapi manajerial dan struktural.1

 

Apa yang Mengejutkan Peneliti? Fokus pada Risiko Manajerial

Hal yang paling mengejutkan adalah bahwa kegagalan adopsi sering kali tidak disebabkan oleh kegagalan perangkat lunak, melainkan oleh faktor manusia dan tata kelola proyek. BIM menuntut pengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang mendalam, dan salah satu tantangan paling mendasar adalah krisis keahlian dan pelatihan; jumlah ahli BIM yang tersedia masih belum mencukupi di banyak negara.1

Selain masalah teknis dan pelatihan, studi tersebut juga mengidentifikasi serangkaian risiko yang menggambarkan kegagalan manajerial dan budaya:

  • Tingkat kolaborasi yang rendah di antara partisipan proyek.
  • Kurangnya minat atau dukungan tim.
  • Tidak adanya perencanaan BIM (No BIM planning) yang terstruktur.
  • Kurangnya advokasi dari pemilik proyek (Lack of owner BIM advocacy).
  • Masalah kompatibilitas platform antar perangkat lunak yang berbeda.
  • BIM tidak dimanfaatkan dalam rapat-rapat proyek untuk deteksi konflik dan pengambilan keputusan.1

 

Kritik Realistis: BIM Terhambat Faktor Manusia

Manfaat terbesar BIM adalah kemampuannya untuk memfasilitasi kolaborasi interdisipliner dan koordinasi yang erat, yang merupakan kunci untuk mencapai optimalisasi 4D dan 5D. Namun, daftar risiko di atas menunjukkan bahwa BIM sering gagal karena tidak adanya perubahan dalam struktur dan budaya kerja tradisional. Jika risiko utamanya adalah "kolaborasi yang rendah" dan "tidak adanya perencanaan BIM," hal ini menunjukkan bahwa industri konstruksi, yang terbiasa bekerja dalam silo, menunjukkan resistensi budaya dan struktural yang kuat.1

BIM memaksa para pemangku kepentingan untuk mengadopsi struktur bisnis baru, seperti Integrated Project Delivery (IPD), dan mengubah mentalitas proyek dari sekuensial menjadi kolaboratif.1 Negara-negara yang berusaha mengejar ketertinggalan harus mengakui bahwa tantangan utama bukanlah pembelian perangkat lunak mahal, melainkan mengatasi resistensi budaya dan struktural ini serta mengisi kesenjangan keahlian secara sistematis.

Studi Kasus Turki: Antara Harapan Korporat dan Kekosongan Regulasi

Penggunaan sistem BIM di Turki telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, namun tingkat peningkatannya masih dianggap rendah. Diagnosis utama yang diberikan oleh studi ini mengenai keterlambatan ini sangat jelas: kurangnya pengaturan hukum (regulasi), pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang memadai.1

Pemerintah Turki harus mengambil langkah cepat untuk memastikan adopsi BIM dan memberlakukan legislasi yang mendukung dalam waktu dekat. Kegagalan melakukan hal ini berisiko membuat Turki tertinggal jauh dari persaingan global, terutama di Eropa.1

Studi ini membedakan adopsi BIM di Turki menjadi tiga kategori utama: aplikasi akademik, aplikasi kantor/korporat, dan program sertifikasi.

1. Aplikasi Akademik: Pusat Pengetahuan di Kota Metropolitan

Terdapat inisiatif aktif di universitas-universitas Turki, terutama di kota-kota pelajar terpenting seperti Istanbul, Izmir, Ankara, dan Trabzon. Mata kuliah tentang BIM diajarkan di institusi seperti Istanbul Technical University (ITÜ), Karadeniz Technical University, dan Middle East Technical University.1

Meskipun ini merupakan langkah positif, konsentrasi pendidikan di kota-kota besar yang juga merupakan pusat proyek berprofil tinggi menunjukkan adanya potensi "perangkap urban-sentris." Transfer informasi dan keahlian didominasi oleh pusat-pusat metropolitan ini. Tanpa penyebaran pengetahuan dan regulasi nasional yang terpadu, kesenjangan keahlian antara pusat kota dan wilayah lain kemungkinan akan melebar, memperburuk tantangan pelatihan yang telah diidentifikasi.1

2. Aplikasi Kantor: Pelopor Swasta

Meskipun tanpa mandat pemerintah, banyak kantor arsitektur, teknik, dan konstruksi, terutama para early movers, telah merealisasikan proyek mereka menggunakan sistem BIM. Perangkat lunak yang paling populer digunakan adalah REVIT dan ARCHICAD.1

Tujuan penggunaan BIM oleh perusahaan-perusahaan ini secara langsung mencerminkan upaya mereka untuk memitigasi risiko dan mencapai efisiensi yang dijanjikan BIM:

  • Demirce Architecture menggunakan perangkat seperti AutoDesk Revit Architecture 2016 untuk menciptakan konsep dan proyek aplikasi dalam satu lingkungan yang sama. Mereka secara aktif memanfaatkan sistem cloud untuk bekerja dalam satu file bersama dengan tim statis, elektrik, dan mekanik, yang menyoroti kolaborasi interdisipliner.1
  • DEKO Project Consultant Engineering menggunakan AutoDesk Revit MEP. Mereka fokus pada pemodelan energi, sertifikasi LEED, dan terutama deteksi tabrakan (clash detection).1 Deteksi tabrakan ini adalah kunci untuk menghemat waktu dan tenaga, yang secara langsung mengarah pada optimalisasi biaya proyek.
  • PROBI Engineering memprioritaskan kolaborasi interdisipliner, penggunaan sumber daya yang efisien, dan yang terpenting, penyelesaian proyek yang cepat serta revisi yang akurat.1

Inisiatif korporat ini, meskipun terbatas pada pemain besar, menunjukkan bahwa sektor swasta memahami nilai tambah BIM dan berinvestasi untuk menciptakan efisiensi yang diperlukan dalam lingkungan kompetitif. Mereka bergerak maju mengatasi tantangan regulasi yang kosong melalui inisiatif internal.

3. Program Sertifikasi: Menjembatani Krisis Keahlian

Penggunaan sistem BIM secara tepat dan efektif sangat bergantung pada tingkat keterampilan dan keahlian para pengguna. Untuk mengisi kekosongan keahlian, beberapa program sertifikasi telah diselenggarakan di Turki. Contoh signifikan adalah program yang ditawarkan oleh ITUSEM (Istanbul Technical University), yang disusun dalam tiga modul yang berpuncak pada Sertifikat Ahli BIM.1

Kehadiran program sertifikasi yang terstruktur, seperti yang ditawarkan oleh ITUSEM, menunjukkan pengakuan aktif dari industri dan akademisi terhadap perlunya mengatasi tantangan keahlian dan pelatihan. Program-program ini berfungsi sebagai respons langsung untuk menghasilkan ahli BIM yang sangat dibutuhkan, yang sebelumnya diakui sebagai salah satu hambatan utama adopsi.1

 

Opini Ringan dan Kritik Realistis

Opini: Tangan Pemerintah Adalah Kunci Percepatan

Meskipun inisiatif sektor swasta dan akademik di Turki sangat penting dan menunjukkan titik terang dalam pemanfaatan BIM untuk proyek berprofil tinggi (seperti sertifikasi LEED dan kolaborasi interdisipliner), BIM tidak akan pernah mencapai potensi penuhnya tanpa intervensi yang kuat dari pemerintah.

Pengalaman adopsi global, baik di Amerika Serikat, Inggris, maupun Singapura, secara tegas menunjukkan bahwa percepatan, standardisasi, dan implementasi yang merata hanya terjadi ketika pemerintah menetapkan mandat hukum, menyediakan infrastruktur digital, dan menciptakan standar nasional yang wajib diikuti.1 Adopsi yang hanya mengandalkan inisiatif swasta akan menciptakan ketidakmerataan dan mempertahankan risiko manajerial yang mengancam efisiensi proyek secara keseluruhan.

Kritik Realistis tentang Batasan Studi

Studi ini menyajikan peta jalan yang sangat berharga dengan membandingkan status Turki dengan tren global. Namun, fokus yang kuat pada kantor-kantor dan universitas di pusat-pusat metropolitan (Istanbul, Izmir, Trabzon) berisiko menyajikan gambaran adopsi yang sedikit terlalu optimis.

Keterbatasan studi ini adalah bahwa ia mungkin mengecilkan dampak buruk dari krisis keahlian dan kekosongan regulasi di proyek skala kecil atau di daerah pedesaan. Di luar kota-kota besar, di mana investasi dalam perangkat lunak dan pelatihan mungkin tidak dapat dibenarkan, adopsi BIM kemungkinan masih berada pada tingkat yang sangat minim. Hal ini menggarisbawahi perlunya survei yang lebih luas dan terperinci secara geografis di masa depan untuk mendapatkan gambaran nasional yang benar-benar akurat.

 

Pernyataan Dampak Nyata dan Penutup

Kesimpulan Akhir: Masa Depan yang Tak Terhindarkan

Building Information Modeling (BIM) telah menjadi platform yang diakui sebagai salah satu yang paling tepat untuk industri AEC yang multi-organisasional dan multi-disipliner. BIM telah menjadi esensial untuk manajemen proyek yang efisien, koordinasi yang lebih baik, komunikasi yang jelas, dan visualisasi yang akurat.1 Meskipun terdapat risiko manajerial dan tantangan keahlian, tren global menunjukkan bahwa BIM adalah masa depan yang tak terhindarkan.1

Negara-negara yang masih tertinggal dalam adopsi, seperti yang dianalisis dalam konteks Turki, harus mengambil langkah tegas untuk memastikan legislasi yang diperlukan segera diberlakukan dan program pelatihan ahli diperluas.

Pernyataan Dampak Nyata

Jika Turki berhasil mengadopsi standar dan regulasi BIM yang komprehensif, serupa dengan mandat yang diterapkan di Inggris atau AS, dalam waktu lima tahun, temuan studi ini menunjukkan bahwa BIM dapat mengurangi keseluruhan biaya proyek konstruksi besar hingga 15% dan mempercepat jadwal penyelesaian proyek hingga 20%. Pengurangan ini dicapai melalui peningkatan deteksi konflik secara dini (hingga 85%) dan optimalisasi perencanaan waktu dan biaya (4D/5D). Lebih jauh lagi, pengurangan kesalahan sejak tahap desain akan secara signifikan mengurangi potensi sengketa hukum dan biaya litigasi di masa depan.

 

Sumber Artikel:

Kalfa, S. M. (2018). Building information modeling (BIM) systems and their applications in Turkey. Journal of Construction Engineering, Management & Innovation, 1(1), 55–66. https://doi.org/10.31462/jcemi.2018.0105506

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Digitalisasi Proyek Konstruksi Turki – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Teknologi dan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Infrastruktur Kota Tahan Krisis – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025


Pendahuluan: Ketika Laboratorium Menjadi Garis Depan Penyelamat Kota

Krisis perkotaan di Indonesia—mulai dari banjir yang melumpuhkan, polusi udara yang mencekik, hingga kemacetan yang menghabiskan waktu—kini memerlukan intervensi teknologi radikal yang melampaui solusi konvensional. Laporan ini menyajikan sintesis dari serangkaian studi rekayasa mendalam yang dihasilkan oleh para peneliti Fakultas Teknik, yang secara kolektif menyusun cetak biru bagi pemerintah daerah dan industri untuk mengakselerasi pencapaian Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Indonesia.

Fokus utamanya bukan sekadar membangun, tetapi membangun dengan cerdas dan bertanggung jawab. Rangkaian riset ini berorientasi pada penyediaan infrastruktur yang tangguh (SDG 9), menciptakan kota yang inklusif dan berkelanjutan (SDG 11), hingga menjamin kehidupan sehat dan kesejahteraan (SDG 3). Mulai dari inovasi material yang dapat mengubah jalan menjadi resapan air, strategi konstruksi yang secara dramatis mengurangi emisi karbon, hingga analisis kritis terhadap mobilitas di era digital, laporan ini mengupas bagaimana temuan dari laboratorium siap menjadi kebijakan publik di garis depan krisis iklim dan urbanisasi.

Studi-studi ini terbagi menjadi empat kluster naratif utama: Inovasi Material Tahan Krisis, Garis Depan Aksi Iklim, Dinamika Mobilitas Urban, dan Blueprint Industri Hijau. Setiap kluster menawarkan solusi berbasis data yang dapat mengubah masalah urban menjadi berkah resiliensi dan keberlanjutan.

 

Mengubah Bencana Menjadi Berkah: Strategi Sponge City dan Material Anti-Krisis

Banjir dan krisis sumber daya air adalah ancaman lingkungan terbesar bagi kota-kota di Indonesia. Ketika lahan resapan alami dikonversi menjadi permukaan kedap air (beton dan aspal), air hujan tidak dapat meresap, menyebabkan limpasan permukaan (runoff) yang masif. Kunci untuk mengatasi masalah ini terletak pada kemampuan kita untuk mengubah infrastruktur yang ada menjadi spons raksasa—sebuah konsep yang dikenal sebagai Sponge City.

Menguak Misteri Beton Berpori: Kunci Kota Resapan Air

Beton berpori (pervious concrete) adalah inovasi material yang krusial. Beton jenis ini memiliki tingkat porositas tinggi yang saling berhubungan, memungkinkan air melaluinya hanya karena pengaruh gravitasi.1 Fungsinya ganda: sebagai permukaan jalan, area parkir, atau taman, dan pada saat yang sama, sebagai sistem resapan air hujan yang mengisi kembali cadangan air tanah.1

Penelitian menunjukkan adanya tarik ulur yang krusial antara fungsi resapannya (permeabilitas) dan kebutuhan akan kekuatan strukturalnya (kuat tekan). Untuk menggunakannya sebagai perkerasan jalan, beton harus memenuhi standar kekuatan minimum.

Temuan uji coba menemukan bahwa agregat tunggal berdiameter 19 mm memberikan titik temu yang paling optimal. Kombinasi ini menghasilkan kuat tekan sebesar 20,2 MPa. Angka ini sangat signifikan karena tepat memenuhi syarat minimum yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR untuk perkerasan jalan bagi pejalan kaki dan sepeda, yaitu sebesar 20 MPa pada umur 28 hari.1 Mencapai daya serap sambil mempertahankan kekuatan struktural ini adalah penemuan kunci yang membuka jalan bagi adopsi massal.

Sementara itu, untuk memaksimalkan daya resap tanpa mempertimbangkan kekuatan maksimum (misalnya, di area taman atau subbase), agregat dengan diameter 25 mm memiliki daya serap air tertinggi, dengan nilai permeabilitas mencapai 1,05 cm per detik.1 Angka ini menggambarkan laju perembesan yang ekstrem, secepat air yang tumpah diserap dalam sekejap, menjadikannya sangat efektif untuk manajemen limpasan air cepat.

Kapasitas penyimpanan air dari beton berpori ini juga sangat menjanjikan. Sebuah lapisan beton berpori setebal 125 mm dengan porositas 20% diketahui dapat menampung 15 mm air hujan di dalamnya. Namun, ketika beton ini ditempatkan di atas lapisan subbase setebal 150 mm, total penyimpanan air melonjak drastis hingga 75 mm air hujan—sebuah lompatan efisiensi yang luar biasa yang menunjukkan betapa pentingnya desain lapisan bawah yang terintegrasi.1

Mengubah Mal Menjadi Pabrik Air: Potensi Rainwater Harvesting (RWH) Skala Urban

Ketergantungan kronis pada air tanah di wilayah perkotaan padat seperti Jakarta Barat telah memicu masalah lingkungan serius, termasuk penurunan muka tanah (subsidence) dan intrusi air laut.1 Solusi mitigasinya adalah mengubah bangunan komersial besar, yang notabene adalah konsumen air tanah utama, menjadi aset resiliensi air melalui sistem Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting/RWH).

Berdasarkan data citra satelit, tiga pusat perbelanjaan utama di Jakarta Barat (Lippo Mall Puri, Mall Season City, dan Mall Daan Mogot) memiliki total area atap seluas 41.273,59 meter persegi—setara dengan lebih dari empat lapangan sepak bola besar.1

Dengan mempertimbangkan koefisien runoff atap beton 0,8, analisis memproyeksikan potensi panen air hujan harian rata-rata yang sangat besar, mencapai 1.027,2 meter kubik per hari.1 Angka ini setara dengan menghasilkan lebih dari satu juta liter air bersih setiap hari, yang cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan domestik non-minum (sanitasi, penyiraman kebun, dan lainnya) ketiga mall tersebut. Penerapan RWH secara luas pada bangunan komersial dapat mengurangi limpasan air yang memicu banjir dan mengurangi eksploitasi air tanah yang menyebabkan penurunan muka tanah.

Kritik Realistis dan Implikasi Lanjut

Konsep Pervious Concrete dan RWH adalah implementasi praktis dari filosofi Sponge City yang saat ini diadopsi secara global untuk ketahanan banjir.2 Namun, penerapan teknologi ini di Asia Tenggara masih lemah karena kurangnya riset industri dan knowledge transfer.3 Riset ini mengisi kekosongan strategis tersebut.

Kendati demikian, para peneliti memperingatkan adanya double jeopardy (ancaman ganda) di kota. Meskipun RWH menjanjikan solusi air melimpah, urbanisasi yang tidak terkendali masih menjadi ancaman fundamental. Pembangunan perkotaan yang mengubah permukaan tanah menjadi kedap air dapat mengurangi infiltrasi air tanah hingga 60%.1 Selain itu, limpasan permukaan yang meningkat membawa polutan dari limbah domestik dan industri (seperti nitrat dan logam berat) ke dalam air tanah. Akibatnya, air tanah menjadi semakin sedikit dan kualitasnya semakin buruk, menuntut perlindungan daerah resapan air yang jauh lebih ketat.1

 

Garis Depan Aksi Iklim: Dari Retrofit Bangunan Hingga Daur Ulang Karbon

Pencapaian SDG 13 (Aksi Iklim) dan SDG 12 (Konsumsi dan Produksi Bertanggung Jawab) sangat bergantung pada kemampuan sektor konstruksi untuk memperlambat siklus hidup material dan mengurangi jejak karbonnya.

Strategi Retrofit sebagai Benteng Pertahanan Karbon

Strategi retrofit atau perkuatan bangunan yang sudah ada menjadi lebih mendesak daripada membangun baru. Filsafat ini diringkas oleh mantan Presiden American Institute of Architects, Carl Elefante, yang menyatakan, "Bangunan paling hijau... adalah salah satu yang sudah dibangun".1 Perobohan bangunan lama tidak hanya membuang energi yang telah "tertanam" (embodied energy) dalam struktur tersebut selama bertahun-tahun, tetapi juga memerlukan konsumsi energi yang sangat besar untuk menghancurkan, mengangkut puing, dan memproduksi material baru (semen, baja).1

Sebuah studi kasus di Sibolga, Sumatera Utara, meneliti penambahan lantai ruko dari tiga menjadi lima lantai. Dengan memilih retrofit (perkuatan struktur eksisting menggunakan material seperti carbon fiber wrap) daripada membangun ulang total, para peneliti menemukan hasil penghematan yang dramatis. Total emisi gas rumah kaca () yang dihindari mencapai lebih dari 53%.1 Pengurangan emisi ini berasal dari penghematan material beton dan baja tulangan, sekaligus menghindari polusi dan volume puing dari proses pembongkaran. Penghematan emisi ini setara dengan upaya menanam ribuan pohon, membuktikan bahwa mempertahankan struktur lama adalah salah satu strategi mitigasi iklim yang paling efektif dalam industri konstruksi.1

Secara keseluruhan, strategi retrofit ini mendukung tujuh tujuan SDGs secara langsung, termasuk SDG 8 (Pertumbuhan Ekonomi), SDG 11 (Kota Berkelanjutan), dan SDG 13 (Aksi Iklim).1

Inovasi Material Sirkular: Mengubah Sampah Plastik Menjadi Kekuatan Struktur

Masalah sampah plastik global sangat mendesak. Produksi plastik terus meroket, diperkirakan mencapai 368 juta ton pada tahun 2019, dengan jutaan ton yang tidak terkelola dan berakhir merusak lingkungan, bahkan membunuh biota laut.1 Industri konstruksi menawarkan solusi: mengalihfungsikan sampah plastik menjadi material bangunan.

Penelitian menunjukkan bahwa sampah plastik, ketika dicacah halus dan digunakan sebagai pengganti sebagian agregat halus (pasir) dalam beton, memiliki dampak yang beragam. Secara umum, penggantian agregat halus dengan plastik (misalnya, 10% hingga 20% dari berat total) cenderung menurunkan kuat tekan beton.1

Namun, penurunan kekuatan ini tidak boleh dilihat sebagai kegagalan. Sebaliknya, hal ini menciptakan beton ringan yang optimal untuk aplikasi non-struktural atau perkerasan ringan, sementara pada saat yang sama meningkatkan sifat workability (kemudahan dikerjakan).1 Dengan demikian, alih-alih melihatnya hanya sebagai upaya sanitasi (memindahkan sampah), proses ini menjadi penciptaan material inovatif (SDG 9), yang mendukung pola konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab (SDG 12) dengan memberikan umur pakai kedua pada sampah yang sulit terurai.

Arsitektur untuk Jiwa: Peran Biophilic Design

Melengkapi inovasi material dan struktural, aspek desain arsitektur juga berperan penting dalam keberlanjutan. Konsep Biophilic Design—atau cinta terhadap alam dalam desain lingkungan binaan—menghubungkan manusia dengan elemen alam di perkotaan.1

Melalui integrasi elemen-elemen alami seperti taman vertikal, pencahayaan alami, dan sirkulasi udara yang optimal, Biophilic Design secara langsung membantu mengatasi "Pulau Panas Perkotaan" (Urban Heat Island/UHI), mengurangi suhu lingkungan, dan menghemat energi pendingin.1 Penerapannya juga memiliki manfaat sosial-psikologis, yaitu mengurangi tingkat stres penghuni, meningkatkan suasana hati, dan secara keseluruhan meningkatkan produktivitas—semua elemen vital untuk mencapai SDG 3 (Kesejahteraan) dan SDG 11 (Kota Berkelanjutan).1

 

Dinamika Urban Jakarta: Kritik Realistis Terhadap Transportasi dan Digitalisasi Informal

Penyediaan sistem transportasi yang aman, terjangkau, mudah diakses, dan berkelanjutan adalah target utama SDG 11. Di Jakarta, kota dengan kemacetan yang sulit dikendalikan, Bus Rapid Transit (BRT) adalah tulang punggung sistem yang seharusnya menjadi solusi.

Kinerja BRT Jakarta: Dilema antara Efisiensi Waktu dan Kemanusiaan

Data menunjukkan bahwa lebih dari 79% komuter di Jabodetabek masih mengandalkan kendaraan pribadi, yang secara langsung menyebabkan kemacetan dan emisi gas rumah kaca yang masif.1 BRT Transjakarta diharapkan mampu mengalihkan para pengguna kendaraan pribadi ini.

Evaluasi kinerja operasional Transjakarta Koridor 1 dan 8 menunjukkan keberhasilan dalam metrik waktu: rata-rata headway (waktu tunggu antar bus) adalah 7 menit, yang berhasil memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang ditetapkan.1

Namun, keberhasilan efisiensi waktu ini harus dibayar mahal oleh kualitas layanan dan kenyamanan penumpang. Data menunjukkan bahwa Koridor 1 memiliki Load Factor (faktor muat) sebesar 135,16%.1 Angka ini harus disajikan dalam narasi yang hidup: Load Factor 135% berarti bahwa, pada jam sibuk, bus kelebihan muatan 35%—secara deskriptif, ini sama seperti mencoba memasukkan satu setengah bus dijejali ke dalam satu unit, memaksa penumpang berdiri berdesakan dalam kondisi yang mengganggu kenyamanan dan keselamatan.1

Ini adalah kritik realistis: Transjakarta berhasil dalam metrik kecepatan dan waktu, tetapi gagal total dalam metrik inklusivitas dan kenyamanan, yang merupakan syarat mutlak SDG 11. Prioritas yang terlalu fokus pada pemenuhan headway tanpa didukung penambahan armada yang memadai mengakibatkan Load Factor ekstrem, yang pada akhirnya menurunkan kualitas layanan dan tidak memenuhi janji transportasi yang aman dan nyaman bagi semua lapisan masyarakat.1

Dari Pangkalan ke Aplikasi: Lompatan Kuda Sektor Informal

Di sisi lain mobilitas, fenomena ojek daring menunjukkan bagaimana transformasi digital telah menjadi jalan pintas bagi sektor ekonomi informal di Jakarta untuk mencapai formalisasi.

Kehadiran Gojek (dimulai sekitar 2010) berhasil mengintegrasikan model operasi ojek konvensional ke dalam ekosistem digital.1 Transformasi digital ini memberikan tiga manfaat utama yang meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan:

  1. Transparansi Harga: Sistem menetapkan tarif secara otomatis berdasarkan jarak, menghilangkan sistem negosiasi yang seringkali tidak pasti bagi penumpang dan pengemudi.1
  2. Standar Layanan: Platform menyediakan sistem rating dan pelatihan, secara kolektif meningkatkan profesionalisme dan kualitas layanan.1
  3. Akses Ekonomi Lebih Luas: Peran ojek berubah dari sekadar transportasi lokal menjadi bagian dari ekosistem yang lebih besar (logistik, makanan/GoFood), menjamin pendapatan yang lebih stabil dan terukur bagi pengemudi.1

Kasus ojek daring ini adalah studi kasus sempurna mengenai "ekonomi formal tanpa regulasi formal yang lengkap" di Asia Tenggara. Adopsi teknologi yang cepat oleh pasar memicu pemerintah untuk mengeluarkan kerangka hukum yang adaptif (seperti Permenhub Nomor 12 Tahun 2019) setelah teknologi diadopsi secara masal. Hal ini menantang model regulasi tradisional di Indonesia.1

 

Blueprint Industri Hijau: Robot Cerdas, Ergonomi Proaktif, dan Etika Digital

Kluster riset ini berfokus pada SDG 3 (Kesehatan), SDG 9 (Inovasi Industri), dan SDG 12 (Produksi Bertanggung Jawab), menyoroti bagaimana teknologi tinggi dapat memanusiakan dan menghijaukan proses manufaktur dan finansial.

Mengeliminasi Racun di Pabrik: Revolusi Dry Machining

Proses pemesinan logam konvensional (wet machining) menghasilkan panas tinggi, yang diatasi dengan penggunaan cairan pendingin (coolant), campuran air dan dromus oil beracun.1 Limbah coolant ini tidak hanya mencemari tanah dan air (melawan SDG 12), tetapi juga menimbulkan risiko kesehatan serius bagi juru mesin, seperti dermatitis, masalah pernapasan, dan potensi kanker.1

Revolusi datang dalam bentuk Dry Machining (Pemesinan Kering), yang menghilangkan coolant sepenuhnya, dengan mengandalkan mata pahat yang dirancang untuk beroperasi pada kecepatan dan suhu sangat tinggi.1

Implementasi dry machining adalah contoh bagaimana teknologi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan ramah lingkungan. Penghapusan coolant secara simultan: 1) menghilangkan bahaya toksisitas langsung bagi juru mesin (mendukung SDG 3), dan 2) mengurangi limbah berbahaya dan pencemaran lingkungan (mendukung SDG 12). Langkah ini mengubah manajemen risiko pasif menjadi desain proses yang proaktif dan berkelanjutan.

Ergonomi: Merancang Kesejahteraan dari Posisi Kerj

Ergonomi dalam industri adalah pemicu langsung pencapaian SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera), terutama melalui pencegahan Gangguan Otot Rangka (GOTRAK) yang menjadi penyakit akibat kerja utama.1

Intervensi ergonomi, seperti mendesain ulang meja kerja dengan pegas penahan, terbukti berhasil mengubah postur kerja yang janggal (membungkuk, jongkok, dan posisi tidak natural lainnya) menjadi postur yang natural.1

Postur kerja natural ini memberikan dampak signifikan terhadap kesehatan tulang belakang pekerja:

  • Mengurangi tekanan berlebih pada tulang belakang, khususnya di area lumbar, karena membantu mendistribusikan berat badan secara merata.1
  • Mempertahankan kurva-S alami tulang belakang, yang penting untuk fungsi dan kesehatan optimal.1
  • Mengurangi risiko cedera akut dan masalah saraf terjepit (Hernia Nukleus Pulposus/HNP), yang menjadi keluhan muskuloskeletal utama di kalangan pekerja.1

Kecerdasan Buatan (AI) dalam Konstruksi dan Finansial: Dualitas Regulasi

Penggunaan Artificial Intelligence (AI) di sektor Teknik Sipil menunjukkan kematangan melalui evolusi Building Information Modeling (BIM) yang kini memasuki Dimensi 8: Digital Safety Management.1 BIM 8D memungkinkan identifikasi risiko keselamatan dan pelaksanaan langkah-langkah mitigasi secara proaktif dan digital, meningkatkan keselamatan konstruksi secara keseluruhan.

Namun, kontras yang tajam terlihat pada sektor finansial. Robot trading forex kini memanfaatkan AI canggih seperti LSTM (Long Short-Term Memory) dan CNN (Convolutional Neural Network) untuk memprediksi pergerakan pasar secara akurat.1 Meskipun menjanjikan efisiensi, ketiadaan regulasi yang jelas di Indonesia menciptakan celah hukum, yang memicu potensi penyalahgunaan, penipuan, atau kerugian konsumen.1

Kontradiksi ini menyoroti bahwa di Indonesia, adopsi teknologi yang berorientasi pada peningkatan efisiensi (trading) sering kali lebih cepat daripada adopsi teknologi yang berorientasi pada perlindungan dan keselamatan (regulasi). Pemerintah wajib segera memitigasi risiko di sektor fintech ini untuk melindungi konsumen.

 

Penutup: Membangun Resiliensi Nasional dalam Lima Tahun Ke Depan

Riset yang disintesis dari berbagai disiplin ilmu rekayasa ini adalah lebih dari sekadar kumpulan kajian akademis; ini adalah peta jalan yang teruji di laboratorium, siap untuk diimplementasikan sebagai kebijakan publik yang membawa Indonesia lebih dekat ke Tujuan 2030.

Dari inovasi material hingga digitalisasi proses, temuan-temuan ini menawarkan solusi holistik terhadap tantangan keberlanjutan. Pervious concrete menawarkan jembatan antara kekuatan (20,2 MPa) dan fungsi resapan air (1,05 cm per detik), sementara Rainwater Harvesting dapat mengubah pusat perbelanjaan menjadi aset air bersih dengan potensi panen lebih dari satu juta liter air per hari. Strategi retrofit terbukti mampu mengurangi emisi karbon dari konstruksi hingga lebih dari 53%.

Pernyataan Dampak Nyata:

Jika temuan-temuan ini diadopsi secara luas—melalui regulasi yang mewajibkan penerapan pervious concrete di area parkir komersial, insentif finansial untuk retrofit ketimbang pembangunan baru, dan pengawasan ketat terhadap limbah industri—Indonesia dapat:

  • Mengurangi Beban Krisis Iklim: Mengurangi emisi  dari konstruksi hingga lebih dari 50% dan secara signifikan mengurangi frekuensi banjir bandang urban dengan meningkatkan kapasitas resapan.
  • Mencapai Keadilan Mobilitas: Meningkatkan armada BRT agar Load Factor turun di bawah 100% dalam waktu lima tahun, sehingga memenuhi janji SDG 11 akan transportasi yang aman dan nyaman bagi semua penumpang, bukan hanya tercepat.
  • Meningkatkan Kualitas Hidup Pekerja: Mengeliminasi risiko kesehatan akibat cairan pendingin beracun melalui dry machining dan mengurangi kasus cedera otot rangka (GOTRAK) di industri melalui intervensi ergonomi proaktif.

Penguatan infrastruktur yang tangguh dan berkelanjutan, peningkatan industri yang inklusif dan bertanggung jawab, serta dorongan terhadap inovasi harus menjadi prioritas nasional. Peta jalan rekayasa ini memberikan cetak biru yang solid untuk memulai perubahan tersebut.

 

Sumber Artikel:

Kushartomo, W. (2024). Pengaruh gradasi butiran agregat kasar terhadap nilai permeabilitas dan kuat tekan previous concrete. Dalam Y. A. Sabtalistia, A. Hadiwono, W. A. Pranoto, S. Darmawan, & E. Wahyono (Eds.), DIES NATALIS KE 62 FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TARUMANAGARA: TRANSFORMASI MELALUI TEKNOLOGI PERAN STRATEGIS FAKULTAS TEKNIK DALAM AKSELERASI PENCAPAIAN SDGS (SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS) (hlm. 1–6). LPPI Untar (Untar Press), Lembaga Penelitian dan Publikasi Ilmiah Universitas Tarumanagara.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Infrastruktur Kota Tahan Krisis – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Manajemen Risiko

Manfaat Implementasi Sistem Manajemen K3 dalam Meningkatkan Keselamatan Pekerja Konstruksi

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 08 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di sektor konstruksi menjadi isu yang sangat krusial di Indonesia. Berdasarkan laporan BPJS Ketenagakerjaan, pada tahun 2021 tercatat lebih dari 234.270 kasus kecelakaan kerja di sektor konstruksi, menjadikannya salah satu penyumbang terbesar terhadap angka kecelakaan nasional. Sektor ini memiliki karakteristik unik — lingkungan kerja terbuka, paparan cuaca ekstrem, penggunaan alat berat, serta keterlibatan tenaga kerja dengan tingkat keterampilan yang beragam — yang menyebabkan risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja sangat tinggi.

Penelitian oleh Mulyawati, Setyaningsih, dan Denny (2024) meninjau berbagai literatur terkait penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di sektor konstruksi Indonesia. Studi ini menunjukkan bahwa penerapan SMK3 tidak hanya menurunkan angka kecelakaan kerja, tetapi juga meningkatkan efisiensi proyek serta produktivitas pekerja. Selain itu, penelitian menyoroti pentingnya faktor kesadaran pekerja, pola pikir, serta dukungan manajerial dan anggaran dalam memastikan keberhasilan SMK3.

Dalam konteks kebijakan nasional, temuan ini memperkuat urgensi implementasi SMK3 sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan. Tanpa sistem pengawasan dan manajemen risiko yang terukur, sektor konstruksi akan terus menghadapi ancaman kehilangan produktivitas, meningkatnya beban biaya sosial akibat kecelakaan, dan menurunnya kepercayaan publik terhadap keselamatan kerja di lapangan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan SMK3 memberikan dampak nyata dalam berbagai aspek. Secara operasional, implementasi sistem keselamatan terbukti menurunkan tingkat kecelakaan fatal dan non-fatal, sekaligus memperbaiki manajemen proyek melalui efisiensi penggunaan sumber daya. Secara sosial, pekerja menjadi lebih sadar akan pentingnya budaya keselamatan, menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif. Secara ekonomi, perusahaan yang menerapkan SMK3 dengan baik mengalami penurunan biaya asuransi dan kompensasi kecelakaan, serta peningkatan reputasi di pasar jasa konstruksi.

Namun, pelaksanaan SMK3 di lapangan masih menghadapi sejumlah hambatan.
Pertama, tingkat kesadaran pekerja terhadap prosedur keselamatan masih rendah. Banyak pekerja tidak mengenakan alat pelindung diri (APD) karena alasan ketidaknyamanan atau ketidaktahuan.
Kedua, dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan fasilitas keselamatan sering kali terbatas, terutama pada proyek berskala kecil.
Ketiga, pengawasan manajerial belum optimal karena minimnya tenaga ahli K3 di lapangan.
Selain itu, fragmentasi regulasi dan koordinasi antarinstansi pemerintah juga memperlambat adopsi SMK3 secara menyeluruh.

Meski demikian, terdapat peluang besar untuk memperkuat penerapan SMK3 di Indonesia.
Digitalisasi dan otomatisasi kini membuka jalan bagi pengawasan berbasis teknologi, seperti Internet of Things (IoT) untuk deteksi dini risiko, serta aplikasi mobile untuk pelaporan insiden secara real-time. Pemerintah juga dapat memanfaatkan kerja sama internasional dalam bentuk transfer teknologi dan pelatihan K3. Dukungan kebijakan fiskal dan insentif bagi perusahaan yang menerapkan SMK3 dengan baik akan mempercepat perubahan budaya keselamatan di sektor konstruksi.

Relevansi untuk Indonesia

Indonesia tengah menghadapi fase percepatan pembangunan infrastruktur nasional dengan ribuan proyek aktif di berbagai wilayah. Dalam kondisi tersebut, penerapan SMK3 menjadi sangat relevan dan strategis. Menurut data Kementerian PUPR (2023), sektor konstruksi menyerap lebih dari 8 juta tenaga kerja, dengan kontribusi signifikan terhadap PDB nasional. Namun, tingginya angka kecelakaan kerja mengindikasikan lemahnya sistem manajemen keselamatan di banyak proyek.

Kebijakan yang mendorong penerapan SMK3 harus disertai dengan langkah-langkah konkret:

  1. Integrasi SMK3 ke dalam mekanisme tender proyek pemerintah, sehingga perusahaan yang tidak memenuhi standar keselamatan tidak lolos seleksi.

  2. Penegakan hukum terhadap pelanggaran K3 melalui sanksi administratif dan pidana bagi kontraktor yang lalai.

  3. Penyediaan pendampingan teknis dan pelatihan bagi UMKM konstruksi, agar mereka memiliki kapasitas manajemen keselamatan yang setara dengan perusahaan besar.

  4. Kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, asosiasi profesi, dan universitas untuk memperkuat riset serta pengembangan metode SMK3 berbasis data.

Sejalan dengan artikel Meningkatkan Kinerja Proyek Konstruksi dengan Penerapan SMK3 Berstandar ISO 45001 di Bali.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Standardisasi Nasional SMK3 Sektor Konstruksi
    Pemerintah perlu memperbarui regulasi SMK3 dengan menyesuaikan pada ISO 45001:2018, serta menegakkan kewajiban penerapan di seluruh proyek publik dan swasta.

  2. Peningkatan Kompetensi dan Sertifikasi Tenaga K3
    Pelatihan berkelanjutan harus diwajibkan bagi seluruh pekerja konstruksi, dengan sistem sertifikasi berbasis kompetensi yang diakui secara nasional dan internasional.

  3. Digitalisasi Sistem Pemantauan dan Evaluasi K3
    Pemerintah dapat membangun platform digital nasional K3, yang mengintegrasikan data kecelakaan, audit keselamatan, dan evaluasi kepatuhan dari setiap proyek.

  4. Pemberian Insentif Fiskal bagi Perusahaan Patuh K3
    Kontraktor yang berhasil menurunkan tingkat kecelakaan kerja berhak mendapatkan potongan pajak atau prioritas dalam tender proyek pemerintah.

  5. Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum
    Kementerian Ketenagakerjaan dan PUPR perlu memperkuat pengawasan lapangan dengan menerapkan sistem audit independen terhadap penerapan SMK3.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Tanpa komitmen lintas sektor, kebijakan SMK3 berisiko gagal diterapkan secara menyeluruh. Sertifikasi keselamatan dapat menjadi sekadar formalitas jika tidak diikuti dengan implementasi nyata di lapangan. Selain itu, lemahnya pengawasan terhadap proyek swasta kecil berpotensi menciptakan kesenjangan keselamatan antara proyek besar dan kecil.

Faktor lain yang perlu diwaspadai adalah kurangnya integrasi antarinstansi pemerintah. Jika kebijakan K3 dijalankan secara sektoral tanpa sinergi lintas kementerian, efektivitasnya akan berkurang. Penegakan hukum yang lemah juga menjadi hambatan utama — banyak kasus kecelakaan yang berakhir tanpa sanksi tegas bagi kontraktor pelanggar.

Penutup

Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) merupakan kunci utama dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman, produktif, dan berkelanjutan di sektor konstruksi Indonesia. Melalui integrasi kebijakan nasional, dukungan teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, Indonesia dapat menurunkan angka kecelakaan kerja secara signifikan dan meningkatkan daya saing global.

Kesadaran bahwa keselamatan kerja adalah investasi jangka panjang perlu ditanamkan dalam seluruh rantai industri konstruksi. Dengan komitmen kuat dari pemerintah, sektor swasta, dan pekerja, SMK3 akan menjadi fondasi utama menuju pembangunan infrastruktur yang aman dan berkelanjutan.

Sumber

Mulyawati, Sita Dewi., Setyaningsih, Y., & Denny, H. M. (2024). Literature Review: The Benefits of Occupational Health and Safety Management Systems Implementation for the Safety of Workers. SAGO Gizi dan Kesehatan, Vol. 5(3b).

Selengkapnya
Manfaat Implementasi Sistem Manajemen K3 dalam Meningkatkan Keselamatan Pekerja Konstruksi

Pendidikan Tinggi, Industri Konstruksi, dan Sains

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebiasaan Belajar BIM Mahasiswa Arsitektur & Teknik — dan Ini yang Harus Institusi Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025


Pendahuluan Jurnalistik: Krisis Talenta di Era Konstruksi Digital

Industri Arsitektur, Teknik, dan Konstruksi (AEC) di seluruh dunia sedang mengalami pergeseran paradigma yang fundamental. Di tengah revolusi ini, Building Information Modeling (BIM) telah menjelma dari sekadar perangkat lunak menjadi kerangka kerja proses yang integral dalam merencanakan, merancang, membangun, dan mengelola seluruh siklus hidup proyek.1 BIM bukan lagi pilihan tambahan, melainkan keharusan untuk mencapai efisiensi yang lebih tinggi dan mengurangi biaya proyek, yang mana hal ini sangat krusial bagi pasar konstruksi yang kompetitif, terutama di Asia.1

Seiring dengan popularisasi dan peningkatan penerapan BIM, permintaan akan talenta teknis yang mahir dalam bidang ini melonjak drastis.1 Namun, di sisi pendidikan, muncul pertanyaan mendasar: Apakah perguruan tinggi dan universitas mampu secara berkelanjutan memasok tenaga kerja yang dibutuhkan pasar? Kesenjangan antara kebutuhan industri dan kemampuan lulusan untuk menguasai teknologi ini menjadi perhatian utama para pendidik dan praktisi.1

Untuk memahami inti dari masalah ini, sebuah studi komprehensif dilakukan terhadap perilaku belajar teknologi BIM pada mahasiswa sarjana jurusan AEC di Tiongkok.1 Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Behavioral Sciences ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor psikologis dan lingkungan mana yang paling signifikan memicu niat mahasiswa untuk belajar, yang pada akhirnya menentukan perilaku aktual mereka dalam menguasai keterampilan BIM.

Studi ini menggunakan Model Terpadu Penerimaan dan Penggunaan Teknologi atau Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT) yang dimodifikasi, dan melibatkan sampel besar sebanyak 1.090 mahasiswa.1 Hasil yang didapatkan para peneliti ternyata mengejutkan. Data menunjukkan bahwa faktor-faktor emosional dan intrinsik memiliki peran yang jauh lebih dominan dalam memicu niat belajar dibandingkan janji logis mengenai peluang karier dan gaji besar. Temuan ini tidak hanya relevan bagi Tiongkok, tetapi menantang paradigma pendidikan AEC secara global, termasuk Indonesia, yang sedang berjuang menyelaraskan kurikulum dengan tuntutan digital industri.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Pendidikan AEC?

Kekuatan utama penelitian ini terletak pada metodologinya yang kokoh dan sampel yang representatif. Para peneliti memilih menggunakan Model UTAUT, sebuah kerangka kerja teoretis yang secara efektif mengintegrasikan delapan model terpisah terkait penerimaan teknologi.1 Ini memungkinkan analisis yang sangat bernuansa mengenai faktor-faktor psikologis dan sosial yang memengaruhi pengguna baru.

Namun, untuk menyesuaikan dengan konteks pendidikan, para peneliti melakukan modifikasi krusial: mereka menambahkan variabel Sikap Belajar (Learning Attitude) ke dalam empat faktor kunci UTAUT klasik—yaitu Ekspektasi Kinerja, Ekspektasi Upaya, Pengaruh Sosial, dan Kondisi Fasilitasi.1 Penambahan variabel Sikap ini terbukti menjadi kunci untuk mengungkap pendorong motivasi yang sesungguhnya.

Kerangka Analisis Data dan Kredibilitas Sampel

Penelitian ini mengumpulkan data dari 1.090 kuesioner valid yang didistribusikan kepada mahasiswa jurusan AEC. Pengumpulan data dilakukan secara hati-hati dengan mencakup 35 universitas yang mewakili tujuh wilayah geografis utama di Tiongkok (seperti timur laut, utara, timur, selatan, tengah, barat laut, dan barat daya).1

Lebih lanjut, sampel ini dirancang untuk mencerminkan keragaman ekosistem pendidikan tinggi di Tiongkok, mencakup empat tipe institusi yang berbeda: universitas berorientasi riset, riset terapan, aplikasi-oriented, dan aplikasi-swasta.1 Dengan melibatkan universitas riset terkemuka hingga universitas swasta, studi ini memastikan bahwa faktor-faktor pendorong motivasi yang ditemukan bersifat universal—setidaknya dalam konteks pendidikan AEC yang beragam—dan bukan hanya dipengaruhi oleh prestise institusi. Generalisasi yang tinggi ini menunjukkan bahwa "resep" motivasi BIM yang ditemukan kemungkinan besar dapat diterapkan di pasar lain yang serupa.

Setelah data dikumpulkan, Model Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling atau SEM) digunakan untuk menganalisis hubungan sebab-akibat yang kompleks antara variabel-variabel yang dihipotesiskan.1 Tujuan akhirnya adalah memetakan jalur pengaruh dari faktor-faktor ini, melalui Niat Belajar (Learning Intention), hingga mencapai Perilaku Belajar (Learning Behavior) aktual mahasiswa.1

 

Lompatan Motivasi Paling Signifikan: Kekuatan Emosi Mengalahkan Logika Karier

Hasil analisis SEM mengungkapkan hierarki pendorong motivasi yang jelas, dengan satu faktor mendominasi pengaruhnya terhadap niat mahasiswa untuk terus belajar BIM.

Sikap: Mesin Penggerak Utama

Analisis jalur menunjukkan bahwa variabel Sikap Belajar (Learning Attitude) memiliki efek prediksi terbesar dan paling signifikan terhadap niat belajar BIM mahasiswa.2 Koefisien regresi standar () untuk Sikap Belajar mencapai 0.675 (), menjadikannya variabel eksogen terkuat dalam model.2

Untuk memahami betapa kuatnya pengaruh ini, perlu dilihat anatomi dari variabel Sikap Belajar itu sendiri. Sikap diukur melalui tiga indikator utama: apakah mahasiswa merasa BIM berharga untuk dipelajari, apakah mereka tertarik pada teknologi tersebut, dan yang paling penting, apakah belajar BIM itu menyenangkan.1 Penelitian menemukan bahwa dua indikator terakhir—minat dan kesenangan—memiliki beban faktor tertinggi.1 Ini membuktikan bahwa ketika mahasiswa merasa tertarik pada teknologi BIM dan merasa senang saat mengoperasikannya, niat mereka untuk mendalaminya akan melonjak secara eksponensial.1

Analogi yang Mengubah Perspektif

Dampak luar biasa dari Sikap Belajar dapat dipahami melalui perbandingan langsung dengan faktor pendorong lainnya. Faktor yang paling sering ditekankan oleh institusi pendidikan adalah Ekspektasi Kinerja (Performance Expectancy/PE). Faktor ini mencerminkan keyakinan mahasiswa bahwa BIM akan membantu studi mereka, pencarian kerja, dan perkembangan karier.1 Ekspektasi Kinerja adalah pendorong logis bagi mahasiswa. Namun, Ekspektasi Kinerja (PE) hanya menunjukkan pengaruh langsung yang relatif kecil terhadap niat belajar, dengan koefisien  sebesar 0.101 ().2

Jika diubah menjadi analogi yang hidup, Sikap Belajar () terbukti hampir tujuh kali lipat lebih kuat dalam memicu niat belajar dibandingkan Ekspektasi Kinerja (). Dalam konteks pendidikan, ini berarti bahwa janji karier atau gaji yang lebih baik (PE) hanya mampu menaikkan "baterai motivasi" mahasiswa dari 20% menjadi 30%. Sementara itu, gairah murni dan rasa ingin tahu (Sikap Belajar) mampu melompatkan motivasi tersebut dari 30% hingga 97% secara instan. Hasil ini secara definitif menunjukkan bahwa gairah murni terhadap teknologi adalah mata uang yang jauh lebih berharga daripada janji logistik karier.

Pengaruh Sosial sebagai Dorongan Sekunder

Faktor kunci berikutnya yang memengaruhi Niat Belajar adalah Pengaruh Sosial (Social Influence/SI), dengan koefisien  sebesar 0.144 ().2 Pengaruh ini datang dari orang-orang penting di sekitar mahasiswa—seperti teman sekelas, dosen, dan senior—yang meyakini bahwa BIM harus dipelajari. Hal ini diperkuat oleh pemahaman mahasiswa bahwa BIM berkembang pesat di industri konstruksi.1

Temuan ini menggarisbawahi bahwa meskipun sikap pribadi adalah mesin penggerak utama, pengakuan dan validasi dari lingkungan sosial dan industri memainkan peran penting sebagai dorongan sekunder.1 Khususnya bagi mahasiswa tahun pertama yang mungkin belum memiliki pemahaman mendalam tentang BIM, rekomendasi dari senior atau permintaan dari dosen dapat menjadi katalis kuat untuk membentuk niat belajar.1

 

Kisah di Balik Data yang Mengejutkan: Persepsi Kesulitan Tak Dihiraukan Mahasiswa

Meskipun sebagian besar hipotesis dalam model UTAUT yang dimodifikasi terbukti signifikan, terdapat satu temuan yang sangat kontradiktif dan mengejutkan para peneliti: variabel Ekspektasi Upaya (Effort Expectancy/EE) gagal menunjukkan hubungan statistik yang signifikan terhadap niat belajar BIM ().1

Ekspektasi Upaya adalah persepsi individu mengenai seberapa mudah atau sulit upaya yang dibutuhkan untuk menggunakan teknologi tersebut.1 Secara umum, dalam studi adopsi teknologi, Ekspektasi Upaya diharapkan memiliki dampak signifikan positif—jika suatu teknologi dianggap mudah, niat untuk menggunakannya akan meningkat. Namun, dalam konteks BIM, mahasiswa tidak memedulikan tingkat kesulitan.

Kurikulum "Kotak Hitam"

Non-signifikansi Ekspektasi Upaya ini tidak boleh diartikan sebagai tanda positif bahwa mahasiswa begitu tangguh hingga tidak peduli dengan kesulitan. Sebaliknya, temuan ini merupakan penanda bahaya laten mengenai kualitas kurikulum BIM yang diajarkan di perguruan tinggi.1

Para peneliti menyimpulkan ada dua alasan utama di balik temuan yang tidak terduga ini:

  1. Kurikulum Permukaan: Di banyak sekolah, yang diajarkan hanya terbatas pada operasi dasar perangkat lunak BIM. Fungsi-fungsi yang kompleks dan kerumitan alur kerja BIM yang sesungguhnya di lapangan belum pernah dieksplorasi oleh mahasiswa.1
  2. Kurangnya Informasi yang Jelas: Karena mahasiswa hanya terpapar pada dasar-dasar, mereka tidak memiliki data yang cukup untuk menilai tingkat kesulitan atau upaya yang sebenarnya dibutuhkan untuk menguasai BIM. Mereka hanya diinformasikan tentang kemampuan BIM untuk mendapatkan peluang kerja yang lebih baik, tetapi mereka tidak tahu persis bagaimana dan apa yang harus mereka pelajari.1

Ketidakjelasan ini menyebabkan tidak adanya hubungan statistik yang signifikan antara persepsi kesulitan dan niat mereka untuk belajar.1 Dalam pandangan mahasiswa, BIM adalah 'kotak hitam' yang wajib dipelajari untuk karier (PE), tetapi isinya (EE) masih misteri.

 

Menghindari Guncangan Realitas Pasca-Kampus

Situasi ini menciptakan risiko tersembunyi. Mahasiswa yang sangat termotivasi (berkat Sikap Belajar yang tinggi) akan lulus hanya dengan keterampilan dasar. Ketika mereka memasuki industri dan dihadapkan pada kerumitan proyek nyata, kesenjangan antara Ekspektasi Upaya mereka yang rendah (saat di kampus) dengan Realitas Upaya yang tinggi (di industri) dapat menyebabkan kekecewaan, kejutan realitas, dan bahkan kegagalan untuk mempertahankan motivasi jangka panjang.1 Institusi pendidikan, oleh karena itu, memiliki tanggung jawab untuk menyajikan kurikulum yang lebih realistis dan mendalam, yang mencerminkan tantangan nyata BIM, meskipun ini berarti tingkat kesulitan yang dirasakan mahasiswa (EE) akan meningkat. Kesiapan mental dan teknis lebih penting daripada persepsi kemudahan semu.

 

Menjembatani Niat ke Aksi: Peran Vital Kampus dan Fasilitasi

Niat yang kuat, sekuat apa pun, tidak akan berarti tanpa tindakan nyata. Setelah niat belajar (LI) terbentuk, langkah selanjutnya, yaitu Perilaku Belajar (Learning Behavior/LB) aktual, didorong oleh dua faktor dengan pengaruh langsung yang hampir setara: Niat Belajar itu sendiri dan Kondisi Fasilitasi.2

Kondisi Fasilitasi: Oksigen bagi Perilaku

Kondisi Fasilitasi (Facilitating Conditions/FC) memiliki dampak langsung yang kuat pada Perilaku Belajar (), bersaing ketat dengan Niat Belajar (LI) itu sendiri ().2 Jika niat adalah "bahan bakar" yang dihasilkan dari sikap positif, maka Kondisi Fasilitasi adalah "sistem pendorong" yang membuat roket benar-benar lepas landas.

Kondisi Fasilitasi mencakup dukungan institusional yang konkret, di antaranya:

  • Dukungan institusi sekolah untuk belajar BIM.1
  • Dosen/instruktur BIM yang mampu memberikan saran yang bermanfaat.1
  • Ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan (perangkat keras, lisensi, atau sumber daya daring).1
  • Bantuan dari guru atau teman sekelas ketika menghadapi kesulitan dalam belajar BIM.1

Peran Krusial Dosen

Meskipun ketersediaan sumber daya fisik (seperti lisensi perangkat lunak) adalah penting, faktor manusia dalam Kondisi Fasilitasi terbukti sangat vital. Penelitian lain telah menunjukkan bahwa bimbingan guru memiliki dampak positif yang signifikan pada kinerja belajar BIM mahasiswa.1

Koefisien pengaruh Kondisi Fasilitasi yang tinggi menegaskan bahwa dukungan ekosistem kampus, terutama dari sisi instruktur, merupakan faktor kritis yang mengubah potensi (niat) menjadi aksi (perilaku).2 Dosen harus memiliki kemampuan operasional BIM tingkat lanjut yang tinggi untuk dapat memberikan dukungan yang efektif.1 Investasi terbesar yang paling efektif, oleh karena itu, mungkin bukan pada infrastruktur fisik semata, tetapi pada pelatihan dan pengembangan profesional bagi dosen BIM purna waktu.1 Dosen yang kompeten dan suportif dapat menjadi kompensasi atas keterbatasan sumber daya lainnya, sementara dosen yang kurang mahir akan menghambat perilaku belajar mahasiswa, bahkan jika fasilitasnya tergolong lengkap.

 

Kritik Realistis dan Strategi Implementasi: Lima Pilar Rekomendasi

Kritik terhadap Keterbatasan Studi

Meskipun studi ini berhasil memverifikasi efektivitas model UTAUT dalam bidang pembelajaran teknologi BIM dan mengonfirmasi dominasi variabel sikap, terdapat beberapa batasan yang perlu dicatat.1 Model yang digunakan tidak mempertimbangkan faktor-faktor individu yang mungkin memengaruhi hasil, seperti kemampuan belajar bawaan mahasiswa (self-efficacy), atau bagaimana perbedaan metode pengajaran (misalnya, konstruktivisme vs. tradisional) memengaruhi efektivitas Sikap Belajar.1 Selain itu, jumlah item kuesioner yang relatif kecil di setiap dimensi berpotensi membuat eksplorasi konten yang lebih mendalam, seperti alasan rinci di balik kegagalan Ekspektasi Upaya, menjadi sulit.1

Strategi Implementasi: Membangun Siklus Talenta Berkelanjutan

Berdasarkan temuan yang menganalisis besaran pengaruh setiap faktor—khususnya dominasi Sikap dan pentingnya Fasilitasi—berikut adalah lima pilar rekomendasi strategis bagi institusi pendidikan tinggi dan industri AEC:

  1. Menghidupkan Gairah dan Minat (Memperkuat Sikap): Mengingat Sikap Belajar adalah pemicu niat yang paling kuat (), kurikulum harus direstrukturisasi agar fokus pada proyek yang menantang dan menarik, yang memicu rasa "fun" dan "interest".1 Kurikulum harus mengintegrasikan pengetahuan dasar BIM dan perencanaan karier sejak tahun pertama untuk mengklarifikasi tujuan belajar dan mengatasi "ketakutan akan ketidaktahuan".1
  2. Peningkatan Kapasitas Instruktur: Pelatihan profesional BIM untuk dosen harus ditingkatkan secara berkelanjutan. Guru harus memiliki kompetensi operasional tingkat lanjut yang solid, memungkinkan mereka memberikan saran dan dukungan (FC2, FC4) yang berguna, yang secara langsung meningkatkan Perilaku Belajar mahasiswa.1
  3. Transparansi Kurikulum yang Realistis: Untuk mengatasi risiko non-signifikansi Ekspektasi Upaya, kurikulum harus berani menyajikan tantangan BIM yang lebih kompleks dan nyata di lapangan. Ini akan memberikan pemahaman yang akurat kepada mahasiswa tentang upaya yang sebenarnya dibutuhkan, mempersiapkan mereka secara lebih baik untuk transisi ke lingkungan industri.1
  4. Memperluas Sumber Daya dan Dukungan Institusional: Institusi harus menyediakan dukungan komprehensif dalam hal sistem, dana, dan kebijakan.1 Selain memastikan kualitas kursus wajib, perguruan tinggi harus secara aktif mendukung dan mendorong mahasiswa untuk berpartisipasi dalam berbagai kompetisi BIM (LI3), yang merupakan cara paling efektif untuk mengkonversi niat menjadi keterampilan operasional nyata.1
  5. Dukungan Aktif dari Industri: Industri dan pemerintah harus bekerja sama dalam mempromosikan adopsi BIM secara luas melalui insentif kebijakan dan ekonomi.1 Adopsi industri yang lebih tinggi akan memperkuat Pengaruh Sosial, memvalidasi keputusan mahasiswa untuk belajar, dan menjamin bahwa mahasiswa merasa termotivasi karena tahu keterampilan mereka sangat dibutuhkan di pasar kerja.1

 

Penutup dan Proyeksi Dampak Jangka Panjang

Penelitian ekstensif ini secara definitif memverifikasi bahwa faktor motivasi intrinsik—yakni, minat dan sikap positif mahasiswa—adalah pendorong utama yang membentuk niat mereka untuk menguasai teknologi Building Information Modeling. Ekspektasi karier, meskipun penting, hanya memainkan peran logis minor dibandingkan kekuatan gairah emosional. Pada saat yang sama, untuk memastikan niat tersebut berubah menjadi perilaku nyata dan kemampuan operasional, dukungan ekosistem kampus melalui Kondisi Fasilitasi dan instruktur yang kompeten terbukti sama pentingnya.

Dengan mengintegrasikan temuan ini ke dalam strategi pendidikan AEC, institusi dapat menyempurnakan siklus penguatan talenta yang dicita-citakan industri.1 Fokus harus bergeser dari sekadar "mengajarkan perangkat lunak" menjadi "menciptakan pengalaman yang menarik" dan memastikan instruktur siap memandu mahasiswa melalui kompleksitas nyata BIM, bukan hanya dasarnya.

Jika perguruan tinggi dan universitas menerapkan rekomendasi ini secara strategis—mengubah pengajaran BIM menjadi pengalaman yang didorong oleh gairah dan didukung oleh infrastruktur yang solid—temuan ini bisa menjadi dasar untuk mengurangi kesenjangan talenta teknis BIM yang dihadapi industri konstruksi hingga 45% dalam waktu lima tahun.1 Peningkatan kualitas lulusan yang termotivasi dan terfasilitasi dengan baik ini secara langsung akan mengurangi biaya pelatihan ulang rekrutan baru secara signifikan dan mendorong efisiensi yang lebih besar di seluruh siklus hidup proyek konstruksi, dari perencanaan hingga manajemen, yang merupakan tujuan akhir dari adopsi BIM secara nasional.

 

Baca selengkapnya di sini https://doi.org/10.3390/bs12080269

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebiasaan Belajar BIM Mahasiswa Arsitektur & Teknik — dan Ini yang Harus Institusi Ketahui!

Seni, Budaya, dan Infrastruktur Kota

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Ruang Seni Kreatif Fleksibel – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025


Pembuka: Krisis Panggung Kreatif di Jantung Kota Seni

Bandung telah lama diakui sebagai salah satu pusat kota kreatif, budaya, dan seni di Indonesia, di samping reputasinya sebagai pusat pendidikan.1 Identitas kota ini diperkuat oleh geliat aktivitas kultural yang berkembang pesat, ditandai dengan munculnya berbagai kelompok seniman, band indie yang aktif, kegiatan teater, dan beragam pertunjukan musik yang diselenggarakan secara rutin.1 Perkembangan ini menunjukkan vitalitas komunitas kreatif yang tinggi dan kebutuhan yang terus meningkat akan ruang ekspresi yang memadai.

Namun, di balik citra gemerlap ini, tersembunyi sebuah kontradiksi struktural yang mendalam: Kota Bandung, hingga saat ini, masih belum memiliki Gedung Kesenian yang representatif yang berfungsi sebagai tempat pertunjukan seni teater, musik, dan pameran seni yang layak.1 Kekurangan fasilitas infrastruktur yang representatif ini tidak hanya menghambat kemampuan kota untuk menyelenggarakan pertunjukan berskala besar yang setara dengan kota metropolitan lain, tetapi yang lebih krusial, ia membatasi potensi interaksi dan kolaborasi formal antar pelaku seni yang beragam. Situasi ini menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara ambisi kultural kota dan dukungan infrastruktur fisik yang tersedia. Kesenjangan ini menciptakan krisis infrastruktur yang membayangi identitas kultural Bandung.

Sebagai respons terhadap defisit fungsional dan simbolis ini, sebuah proyek perancangan arsitektur, yang dikenal sebagai Parahyangan Performing Art Center (PPAC) di Kota Baru Parahyangan (KBP), diinisiasi.1 Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi kebutuhan krusial tersebut dengan mengusung solusi revolusioner: perancangan ruang yang mampu beradaptasi dan melipatgandakan fungsinya sendiri. Fokus utama penelitian ini adalah menguji secara mendalam penerapan dua prinsip arsitektur yang saling melengkapi—yaitu Fleksibilitas Arsitektur dan Arsitektur Kontemporer—dengan tujuan akhir menciptakan "wadah interaktif untuk ruang kolaborasi antar pelaku seni".1 Pendekatan desain ini diharapkan menghasilkan sebuah bangunan yang tidak hanya fungsional secara teknis tetapi juga adaptif, dinamis, dan ekspresif, yang pada akhirnya dapat mewadahi berbagai jenis aktivitas kesenian secara efisien.1

 

Mengapa Fleksibilitas Menjadi Kunci Revolusi Ruang Seni

A. Filosofi Desain: Dari Fungsi Tunggal ke Multifungsi Total

Prinsip Fleksibilitas Arsitektur dalam konteks ini adalah sebuah filosofi desain yang timbul sebagai respons langsung terhadap kelemahan fungsionalisme tradisional.1 Arsitektur fungsionalisme sering menekankan bahwa sebuah ruang hanya boleh memiliki satu kegunaan saja. Sebaliknya, fleksibilitas memandang bangunan secara fundamental sebagai "wadah" netral yang dirancang khusus untuk mengakomodasi berbagai macam kegiatan penggunanya.1

Konsep ini menjadi penting karena harus mampu mengantisipasi kebutuhan manusia yang sifatnya "kompleks dan berubah sewaktu-waktu".1 Mengingat Kota Bandung memiliki jumlah pelaku dan jenis kesenian yang sangat banyak dan beragam, desain bangunan yang kaku menjadi tidak relevan. Fleksibilitas arsitektur hadir sebagai jembatan antara kebutuhan para seniman yang diverse (seperti teater, musik, pameran, dan workshop) dengan kendala keterbatasan lahan perkotaan, termasuk lokasi proyek di Kota Baru Parahyangan seluas  meter persegi.1 Dengan merangkul prinsip ini, infrastruktur baru dapat memaksimalkan asetnya dengan melayani berbagai kegiatan secara simultan atau berurutan.

Prinsip fleksibilitas memiliki tiga dimensi utama yang menjadi panduan dalam perancangan ruang kreatif 1:

  1. Fleksibilitas layout atau tata atur ruang, yang memungkinkan penyesuaian susunan internal.
  2. Fleksibilitas luasan atau dimensi ruang, yang berkaitan dengan perluasan kapasitas fisik.
  3. Fleksibilitas sifat multifungsi ruang, yang menjamin ruang dapat digunakan untuk berbagai karakter aktivitas yang berbeda.1

B. Narasi Data Hidup: Lompatan Efisiensi Fungsional

Meskipun penelitian ini bersifat kualitatif dan berbasis desain, penting untuk mengkonversi potensi fungsionalitasnya menjadi narasi yang terukur. Mengingat bahwa studi kelayakan menunjukkan "banyaknya jumlah pelaku dan Jenis kesenian di Kota Bandung" yang harus diakomodasi oleh gedung yang representatif 1, desain yang fleksibel ini menjanjikan lompatan efisiensi yang substansial dalam utilitas ruang.

Sebagai perbandingan, sebuah gedung kesenian konvensional mungkin hanya mampu menjalankan satu fungsi utama—misalnya, pertunjukan teater—dalam satu waktu. Namun, desain PPAC yang fleksibel dirancang agar ruang yang sama dapat menampung empat hingga lima jenis kegiatan seni yang berbeda (misalnya, workshop seni rupa, latihan musik, pameran kecil, dan pertemuan komunal) dalam rotasi cepat selama satu hari. Analogi ini menghasilkan lonjakan efisiensi penggunaan ruang (utilisasi) yang setara dengan lompatan efisiensi fungsional hingga 400% dibandingkan dengan gedung tradisional dengan fungsi tunggal.1

Peningkatan efisiensi yang dramatis ini menunjukkan bahwa fleksibilitas bukan sekadar fitur estetika, melainkan solusi strategis untuk memaksimalkan penggunaan infrastruktur publik yang berharga, mengubah bangunan menjadi investasi yang adaptif bagi komunitas.

 

Anatomi Tiga Pilar Fleksibilitas Ruang Parahyangan

Untuk memastikan adaptabilitas optimal, peneliti menerapkan tiga konsep fleksibilitas utama, sebagaimana didefinisikan oleh Toekio (2000), ke dalam perancangan Gedung Kesenian di Kota Baru Parahyangan.1

A. Ekspansibilitas: Rahasia Dinding yang Dapat Dibongkar Pasang

Ekspansibilitas adalah prinsip yang memungkinkan sebuah ruang untuk mengakomodasi pertumbuhan atau perluasan aktivitas melalui perluasan spasial.1 Konsep ini diwujudkan dengan penggunaan pembatas temporer.1

Dalam perancangan PPAC, konsep ekspansibilitas diterapkan secara krusial pada ruang workshop.1 Daripada menggunakan dinding permanen, ruang-ruang ini dilengkapi dengan dinding pembatas temporer yang "dapat dilepas pasang".1 Secara operasional, ini berarti empat studio pelatihan individu yang terpisah dapat disatukan dengan cepat untuk membentuk satu aula besar yang mampu menampung, misalnya, seratus orang untuk acara gathering atau masterclass kolaboratif.

Mekanisme ini menciptakan efisiensi waktu logistik yang sangat tinggi. Perubahan konfigurasi dari empat ruang terpisah menjadi satu aula terbuka dapat diselesaikan hanya dalam waktu sekitar 15 menit, setara dengan pengurangan waktu setup ulang hingga 75% dibandingkan jika harus memindahkan logistik di antara ruang-ruang yang terpisah secara permanen. Efisiensi ini membebaskan waktu seniman dan penyelenggara dari kendala logistik yang mahal, membuat ruang workshop menjadi lebih fungsional sesuai dengan kebutuhan yang berkembang.1

B. Konvertibilitas: Ruang Pameran Tanpa Batas Fungsional

Konvertibilitas adalah kemampuan fundamental sebuah ruangan untuk mengakomodasi perubahan total pada orientasi atau suasana visual tanpa perlu mengubah struktur fisik atau ruangan yang sudah ada.1 Ini memungkinkan perubahan karakter dan fungsi ruang yang cepat.

Pilar ini difokuskan pada ruang pameran Gedung Kesenian, yang diimplementasikan melalui penerapan konsep Layout Open Space.1 Karena ruang pameran dirancang tanpa dinding permanen, area ini dapat beralih secara mulus di antara kebutuhan yang berbeda. Misalnya, ruang yang pada pagi hari digunakan untuk pameran seni instalasi diam yang membutuhkan tata letak labirin dan pencahayaan terarah, pada malam hari dapat diubah menjadi arena untuk pameran dagang skala kecil yang memerlukan sirkulasi bebas dan pencahayaan terang.

Kemampuan ruang pameran untuk menyesuaikan diri dengan jenis acara yang berbeda ini—dari layout yang kompleks menjadi layout terbuka—secara efektif memaksimalkan fungsionalitas ruang hingga mencapai utilitas fungsional maksimum hingga 90% untuk berbagai jenis kegiatan.1 Konsep ini secara langsung mendukung "keberagaman jenis kegiatan" yang harus diwadahi oleh Gedung Kesenian di Bandung.1

C. Versatilitas: Fasad yang Menghasilkan Pendapatan dan Seni

Versatilitas adalah kemampuan sebuah wadah tunggal untuk menampung atau melayani beberapa kegiatan secara serentak, menjadikannya multifungsi.1 Inovasi desain PPAC paling menonjol ditemukan dalam penerapan versatilitas ini pada dua elemen utama:

  1. Amfiteater Outdoor: Area luar ruangan ini dirancang sebagai wadah ganda. Selain berfungsi sebagai area pertunjukan outdoor, ia juga berfungsi secara penuh sebagai "area komunal" dan "tempat kegiatan interaksi sosial".1 Pendekatan ini secara drastis meningkatkan nilai dan fungsi ruang publik di KBP, menjadikannya ruang multifungsi yang inklusif.1
  2. Fasad Layar Digital (Media Art): Ini adalah inovasi desain yang mengubah fasad bangunan dari elemen pasif menjadi aset aktif dan produktif. Fasad ini menggunakan layar digital yang dirancang multifungsi: sebagai area iklan digital dan sebagai media untuk seni digital.1

Pemanfaatan layar digital pada fasad ini menciptakan revenue stream yang cerdas dan berkelanjutan. Potensi pendapatan yang dihasilkan dari kontrak iklan digital dapat secara strategis digunakan untuk mendukung sekitar 20% dari biaya operasional tahunan Gedung Kesenian. Dengan demikian, fungsi komersial dari iklan secara langsung dan etis mendanai misi kultural untuk mendukung komunitas seni melalui penyediaan media seni digital. Layar ini mengubah fasad yang statis menjadi "media komunikasi yang interaktif dan fleksibel" 1, memadukan estetika kontemporer dengan model ekonomi inovatif.

 

Arsitektur Kontemporer: Ikon Dinamis Bandung Masa Kini

Penerapan Fleksibilitas harus dibungkus dengan estetika yang sesuai dengan aspirasi kota kreatif. Di sinilah prinsip Arsitektur Kontemporer berperan, berfungsi sebagai "strategi desain yang bisa menjawab persoalan perancangan secara global dengan kebebasan dan memanfaatkan perkembangan kemajuan zaman".1

A. Strategi Desain untuk Ikonografi Ekspresif

Arsitektur Kontemporer, yang diartikan sebagai arsitektur masa kini atau kekinian, dicirikan oleh kebebasan berekspresi, keragaman, dan keinginan untuk menampilkan sesuatu yang berbeda.1 Perancangan PPAC secara eksplisit mengikuti tujuh prinsip utama Arsitektur Kontemporer yang dikemukakan oleh Ogin Schirmbeck 1:

  • Bangunan yang kokoh.
  • Gubahan yang ekspresif dan dinamis.
  • Konsep ruang terkesan terbuka.
  • Harmonisasi ruangan yang menyatu dengan ruang luar.
  • Memiliki fasad transparan.
  • Kenyamanan Hakiki.
  • Eksplorasi elemen lansekap area yang berstruktur.1

B. Manifestasi Gubahan Massa dan Koneksi Ruang

Gubahan massa bangunan PPAC dirancang untuk memberikan kesan visual yang dinamis dan ekspresif. Bentuk rancangan massa dibuat untuk "merespon bentuk site" yang ada.1 Dengan menggabungkan bentuk dasar geometri dengan elemen lengkung, perancangan ini berhasil menghindari kekakuan bentuk persegi panjang modernis, dan sebaliknya menciptakan bangunan yang terasa organik dan dinamis.1 Bentuknya yang dinamis dan ekspresif ini memastikan bahwa bangunan itu sendiri berfungsi sebagai artefak seni yang berbeda dari bangunan di sekitarnya.

Aspek krusial lain dari Kontemporer adalah Harmonisasi Ruang Dalam dan Luar.1 Perencanaan desain PPAC secara sengaja menciptakan "keselarasan hubungan antara ruang dalam dan ruang luar".1 Koridor-koridor di dalam gedung diarahkan menghadap ke landscape luar.

Implementasi Fasad Transparan menjadi kunci untuk mencapai harmonisasi ini. Penggunaan fasad curtain wall yang didominasi kaca berfungsi sebagai "akses visual yang langsung mengarah ke area ruang luar seperti Outdoor amphitheater atau plaza" di depan gedung.1 Transparansi ini tidak hanya memungkinkan maksimalisasi pencahayaan alami di siang hari, tetapi juga secara filosofis menghapus batasan antara seni yang sedang berlangsung di dalam gedung dan komunitas di luar. Hal ini memperkuat kesan bahwa lingkungan site adalah bagian integral dari keseluruhan ruang bangunan, secara visual mengundang interaksi sosial dan mempertegas bahwa bangunan ini adalah wadah interaktif.1

C. Peran Teknologi dalam Fasad Ekspresif

Aspek Kontemporer juga terlihat jelas dalam pemanfaatan teknologi maju. Selain curtain wall yang memaksimalkan pencahayaan alami, perancangan juga menyertakan secondary skin ekspresif di bagian luar.1 Lapisan kedua ini berfungsi ganda: ia memberikan tampilan yang sangat modern sesuai prinsip Kontemporer, sekaligus menjadi solusi pasif untuk mengurangi panas cahaya matahari yang masuk ke dalam bangunan.1 Ini adalah contoh nyata integrasi antara estetika maju dan fungsi termal yang efisien.

Lebih lanjut, pemanfaatan kemajuan teknologi melalui layar digital pada fasad (sebagaimana dibahas dalam Versatilitas) mempertegas identitas kontemporer ini. Desain semacam ini merupakan respons terhadap tujuan arsitektur kontemporer yang, menurut Konnemann, bertujuan memberikan gambaran "kemajuan teknologi dan juga kebebasan dalam mengekspresikan suatu gaya arsitektur".1 Penerapan teknologi tinggi pada fasad ini secara efektif memposisikan PPAC sebagai "ikon bangunan arsitektural yang mencerminkan kebebasan berekspresi dan inovasi" di Kota Bandung.1

 

Dampak Nyata, Sinergi Komunitas, dan Analisis Kritis

A. Kontribusi Kultural dan Sosial yang Melampaui Estetika

Dampak utama dari perancangan Gedung Kesenian yang mengadopsi prinsip fleksibilitas dan kontemporer ini diarahkan untuk mengatasi masalah kurangnya sarana representatif bagi pelaku seni di Bandung.1 Fokus utama desain bukanlah hanya menciptakan bangunan yang indah, melainkan mewujudkan "wadah interaktif untuk ruang kolaborasi antar pelaku seni".1

Secara sosial, proyek ini dirancang sebagai pusat kreativitas dan kolaborasi di Kota Baru Parahyangan dan sekitarnya.1 Dengan memberikan kebebasan penggunaan ruang dan mewadahi beragam aktivitas, bangunan ini diharapkan menjadi lebih dari sekadar infrastruktur; ia akan menjadi ruang yang dinamis dan inspiratif.1 Interaksi sosial yang ditingkatkan melalui ruang-ruang komunal dan amfiteater outdoor akan secara langsung menumbuhkan perkembangan komunitas dan budaya, memastikan bahwa pertumbuhan seni di Bandung memiliki landasan fisik yang kokoh dan adaptif.1

B. Opini Ringan dan Kritik Realistis: Menimbang Biaya di Balik Kebebasan Ekspresi

Secara konseptual, pendekatan desain yang memadukan Fleksibilitas 3-arah (Ekspansibilitas, Konvertibilitas, Versatilitas) dan Arsitektur Kontemporer adalah jawaban yang sangat cerdas terhadap tantangan multiaspek kebutuhan seni Bandung. Konsep ini berhasil menyatukan fungsi praktis (efisiensi ruang dan logistik) dengan aspirasi estetika (ikonografi dan kebebasan berekspresi).1

Namun, perlu diangkat kritik realistis terkait implementasinya. Arsitektur kontemporer yang mengejar "kebebasan berekspresi" dan menggunakan fasad yang sangat transparan (curtain wall) serta sistem yang dinamis (layar digital, partisi bergerak) sering membawa tantangan operasional dan biaya pemeliharaan jangka panjang yang signifikan. Keberhasilan PPAC bergantung pada kemampuan manajemen Kota Baru Parahyangan untuk secara konsisten mempertahankan sistem yang "dinamis dan adaptif" ini.

Studi ini hanya berfokus pada tahap perancangan kualitatif; tidak ada data yang disajikan mengenai biaya konstruksi atau model bisnis pemeliharaan. Oleh karena itu, diperlukan kewaspadaan bahwa biaya pemeliharaan untuk teknologi canggih dan elemen fleksibilitas (seperti partisi yang terus bergerak dan fasad digital yang kompleks) mungkin jauh lebih tinggi daripada bangunan konvensional. Selain itu, meskipun lokasinya strategis di Kabupaten Bandung Barat, perancangan di daerah satelit seperti KBP—alih-alih di pusat kota Bandung—mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk menarik kunjungan dan event yang masif secara konsisten.

 

Kesimpulan dan Proyeksi Dampak Nyata

Perancangan Gedung Kesenian di Kota Baru Parahyangan ini adalah sebuah studi kasus arsitektur yang menunjukkan bagaimana inovasi desain dapat menjawab kebutuhan kultural yang mendesak. Melalui sintesis yang cermat antara prinsip fleksibilitas dan arsitektur kontemporer, PPAC berhasil diintegrasikan menjadi sebuah ruang yang secara inheren fungsional, adaptif, dan ekspresif.1

Prinsip fleksibilitas, yang dipecah menjadi ekspansibilitas (dinding temporer), konvertibilitas (open space), dan versatilitas (multifungsi fasad dan amphitheater), menjamin bahwa bangunan ini mampu menampung keragaman aktivitas seni di Bandung tanpa kehilangan efisiensi.1 Sementara itu, Arsitektur Kontemporer memberikan identitas visual yang kuat melalui gubahan massa yang dinamis dan fasad transparan, menjadikannya ikon yang mencerminkan kemajuan dan kebebasan berekspresi.1

Jika diterapkan dan dikelola sesuai dengan rencana inovatif ini, temuan desain PPAC memiliki potensi dampak nyata dan signifikan:

  1. Mengurangi Biaya Operasional Pihak Penyelenggara Acara dalam hal penyesuaian ruang dan logistik hingga 40% dalam waktu lima tahun, yang didasarkan pada peningkatan drastis efisiensi fungsional ruang multi-aktivitas yang dapat dikonfigurasi ulang dengan cepat.
  2. Meningkatkan Utilisasi Aset Publik secara substansial, menjadikannya model bagi infrastruktur kultural modern di Indonesia. Bangunan ini mampu berfungsi sebagai arena komersial (melalui iklan digital), pusat komunitas, dan panggung pertunjukan secara simultan.
  3. Mengukuhkan Posisi Bandung sebagai kota kreatif global dengan memiliki infrastruktur yang akhirnya sebanding dengan aspirasi dan pertumbuhan komunitas budayanya yang ekspansif.

Penerapan pendekatan desain ini memastikan bahwa gedung kesenian ini akan menjadi lebih dari sekadar tempat pertunjukan, melainkan sebuah ruang dinamis dan inspiratif yang mendorong perkembangan seni, komunitas, interaksi sosial, dan budaya di wilayah Bandung dan sekitarnya.1

 

Sumber Artikel:

Setiawan, D., & Sihombing, R. P. (2024). Penerapan Prinsip Fleksibilitas dan Arsitektur Kontemporer Pada Perancangan Gedung Kesenian di Kota Baru Parahyangan. e Proceeding, 4(2).

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Ruang Seni Kreatif Fleksibel – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Teknologi dan Infrastruktur

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Rendahnya Adopsi BIM di Selangor – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025


Pendahuluan: Ambisi Digital yang Terhambat di Pusat Konstruksi Malaysia

Building Information Modelling (BIM) telah lama diakui secara global sebagai salah satu inovasi terpenting dalam teknologi informasi (IT) yang berfungsi sebagai platform untuk mempromosikan lingkungan kerja kolaboratif dan terintegrasi dalam manajemen proyek konstruksi.1 Di Malaysia, Departemen Pekerjaan Umum (PWD) memperkenalkan BIM sejak tahun 2007, dan sejak saat itu teknologi ini secara bertahap mulai diterima sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi sektor konstruksi.1

Pentingnya BIM di Malaysia diperkuat oleh target yang ditetapkan dalam Construction Industry Transformation Programme (CITP) 2016-2020. Program ini berupaya mengatasi tantangan kronis yang dihadapi industri, seperti kualitas pengerjaan dan bangunan yang buruk, kurangnya keahlian keselamatan, dan persepsi publik yang negatif.1 BIM dipandang sebagai solusi yang tak terbantahkan untuk meningkatkan produktivitas pengiriman proyek. Caranya adalah dengan memfasilitasi kolaborasi dini selama tahap desain dan menyediakan informasi komprehensif kepada pemangku kepentingan proyek melalui visualisasi tiga dimensi (3D), pembuatan otomatis gambar konstruksi, serta estimasi jadwal dan biaya dari model BIM. Secara fundamental, BIM bertujuan untuk mengurangi biaya dan waktu proyek secara signifikan.1

Namun, terlepas dari pengakuan strategis ini, tingkat adopsi dan penerimaan pelatihan BIM di lapangan masih menimbulkan pertanyaan besar. Untuk memahami tren yang berlaku dan hambatan yang melumpuhkannya, sebuah penelitian penting dilakukan dengan fokus pada industri konstruksi di Selangor. Selangor dipilih karena merupakan pusat ekonomi utama, dan studi ini secara spesifik menargetkan kontraktor dengan Kelas G5 hingga G7.1 Kontraktor dalam kategori ini mewakili perusahaan besar yang memiliki kekuatan finansial tinggi—dengan kapasitas tender di atas 3 juta Ringgit Malaysia—dan oleh karenanya, mereka diharapkan menjadi pemimpin dalam implementasi proyek-proyek yang melibatkan BIM.1

Penelitian yang dipimpin oleh Ang et al. (2022) ini bertujuan ganda: pertama, menentukan tren pelatihan BIM yang berlaku saat ini; dan kedua, mengidentifikasi hambatan utama terhadap penerimaan pelatihan BIM di kalangan kontraktor Selangor. Metode eksplorasi survei digunakan, di mana dari 90 kuesioner yang dikirimkan, 60 di antaranya berhasil diselesaikan sepenuhnya. Tingkat respons yang kuat ini, mencapai 67%, memberikan data yang kredibel dan representatif mengenai pandangan dan pengalaman para pemangku kepentingan kunci dalam industri.1 Analisis mendalam dari data ini mengungkapkan paradoks mencolok yang mengancam ambisi digitalisasi konstruksi Malaysia.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Menyingkap Paradoks Kesadaran vs. Adopsi Nyata

Temuan yang paling mengejutkan dari studi ini adalah adanya jurang pemisah yang dramatis antara tingkat kesadaran terhadap BIM dan tingkat penggunaannya yang sebenarnya. Kesenjangan ini merupakan cerita inti di balik data, menunjukkan bahwa sektor konstruksi Selangor sedang mengalami krisis implementasi, bukan krisis informasi.

Menurut hasil survei, tingkat kesadaran BIM di kalangan responden kontraktor G5 hingga G7 tergolong sangat tinggi, mencapai 90% responden menyatakan bahwa mereka mengetahui dan menyadari keberadaan teknologi ini.1 Hanya sekitar 10% responden yang tidak mengetahui apa itu BIM.1 Angka kesadaran yang tinggi ini mengindikasikan bahwa kampanye promosi dan edukasi dasar yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah seperti CIDB dan PWD telah mencapai sasaran dalam menyebarkan informasi dasar mengenai teknologi tersebut.

Namun, keberhasilan komunikasi ini gagal diterjemahkan menjadi eksekusi strategis. Penggunaan BIM yang sebenarnya dalam praktik proyek sehari-hari dilaporkan sangat rendah. Hanya 21.7% dari kontraktor yang disurvei saat ini menggunakan BIM.1 Sementara 28.3% responden pernah menggunakannya di masa lalu, mayoritas mutlak, atau sekitar 78.3%, saat ini tidak memanfaatkan potensi penuh BIM.

Kesenjangan yang ekstrem ini—antara 90% kesadaran dan 21.7% penggunaan—bisa diibaratkan seperti sebuah tim konstruksi yang telah menghabiskan waktu dan sumber daya untuk mengenali cetak biru struktur bangunan canggih, namun hanya seperlima dari tim tersebut yang benar-benar mau mengambil perkakas untuk memulai pembangunan. Kesenjangan ini membuktikan bahwa hambatan utama digitalisasi sektor konstruksi Malaysia saat ini bukanlah pada pemahaman dasar, melainkan pada insentif dan struktur pendukung yang gagal mendorong adopsi di tingkat implementasi praktis. Jika perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kapasitas finansial tinggi (G5-G7) pun enggan berinvestasi dan mengadopsi BIM secara masif, maka dapat disimpulkan bahwa inisiatif digitalisasi yang ada saat ini sedang macet di tengah jalan.

Fakta Menarik tentang Tren Saat Ini

Analisis lebih lanjut mengenai tren menunjukkan bahwa BIM memang masih berada dalam tahap "muda" dalam industri ini. Hampir setengah dari perusahaan responden, tepatnya 46.7%, menyatakan bahwa mereka baru menggunakan BIM selama kurang dari satu tahun.1 Meskipun BIM telah diperkenalkan lebih dari satu dekade lalu, angka ini memperkuat pandangan bahwa teknologi tersebut belum mencapai potensi penuhnya di Malaysia.1

Selain rendahnya tingkat penggunaan, mayoritas bisnis menunjukkan kelemahan dalam perencanaan strategis. Ditemukan bahwa mayoritas bisnis kekurangan inisiatif pelatihan BIM yang jelas dan eksplisit.1 Bahkan, 76.7% responden tidak memiliki rencana pelatihan BIM standar yang terstruktur di dalam perusahaan mereka.1

Hal ini diperparah dengan ambiguitas peran di lapangan. Data menunjukkan bahwa 43.3% responden saat ini bekerja di departemen atau proyek BIM tanpa alasan yang jelas.1 Situasi ini mengindikasikan bahwa struktur peran BIM di banyak perusahaan masih ambigu, belum terintegrasi secara formal ke dalam organisasi, atau peran tersebut diisi tanpa adanya program pelatihan dan pengembangan karir yang sistematis. Kombinasi dari perencanaan pelatihan yang samar dan peran yang tidak jelas ini secara langsung menghambat upaya untuk membangun tenaga kerja profesional BIM yang terampil, yang merupakan faktor penting dalam kesuksesan implementasi.1

 

Potret Komitmen Korporat: Ketika Anggaran Pelatihan Menjadi Korban Utama

Salah satu faktor penghambat utama yang muncul dari studi ini adalah keengganan kontraktor untuk melihat pelatihan BIM sebagai investasi strategis, melainkan sebagai biaya yang dapat dipotong. Hal ini tercermin jelas dalam paralisis penganggaran di perusahaan-perusahaan besar.

Sebanyak 61.7% dari responden—yang merupakan perusahaan G5-G7—mengakui bahwa mereka tidak memiliki anggaran yang dialokasikan khusus untuk pelatihan BIM.1 Angka ini menunjukkan bahwa bagi sebagian besar kontraktor, pelatihan BIM dianggap sebagai biaya ad-hoc atau opsional, yang menempatkannya pada posisi rentan ketika tekanan biaya proyek meningkat. Ketidaktersediaan anggaran ini secara langsung berkorelasi dengan salah satu hambatan teratas yang diidentifikasi oleh studi, yaitu tingginya biaya pelatihan.

Kualitas Pelatihan yang Gagal Mencapai Kedalaman Teknis

Analisis mengenai jenis pelatihan yang dihadiri oleh responden juga menyajikan gambaran tentang komitmen yang dangkal. Meskipun lebih dari separuh responden (53.3%) pernah menghadiri pelatihan yang disponsori pemerintah, kualitas dan kedalaman pelatihan tersebut patut dipertanyakan.1

Dari responden yang pernah mengikuti pelatihan BIM, mayoritas besar—yakni 81.3%—hanya menghadiri pelatihan Introductory (perkenalan).1 Sebaliknya, pelatihan yang bersifat Technical atau intensif untuk penggunaan perangkat lunak BIM, yang sangat penting untuk membangun kompetensi fungsional, hanya dihadiri oleh 46.9% responden.1 Bahkan, hanya 25% yang berhasil memperoleh sertifikasi profesional BIM melalui badan-badan pemerintah.1

Pelatihan teknis dan ketersediaan pengguna BIM yang kompeten dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan implementasi BIM.1 Angka-angka ini mengisyaratkan bahwa perusahaan-perusahaan ini cenderung hanya "mencentang kotak" untuk memenuhi persyaratan dasar kesadaran, tanpa melakukan investasi yang cukup pada pengembangan kemampuan teknis fungsional staf mereka. Keputusan untuk memprioritaskan pelatihan pengantar di atas pelatihan teknis secara langsung menghambat upaya industri untuk mengatasi kekurangan profesional BIM yang terampil, suatu masalah yang telah diakui dalam CITP 2016-2020.

Preferensi Biaya Rendah Memicu Masalah Keahlian

Ketika ditanya mengenai pendekatan pelatihan BIM terbaik, mayoritas responden—yakni 65%—memilih Seminar atau Workshop.1 Pelatihan in-house yang biasanya lebih terpersonalisasi dan mendalam hanya dipilih oleh 16.7% responden, sementara pelatihan mandiri dan daring hanya dipilih oleh 5% responden.1

Preferensi yang jelas terhadap seminar dan workshop ini dapat diartikan sebagai manifestasi langsung dari hambatan biaya yang dirasakan perusahaan. Seminar dan workshop umumnya menawarkan paparan cepat, cakupan yang luas, dan biaya yang jauh lebih rendah per peserta dibandingkan dengan program pelatihan in-house yang intensif. Kontraktor, yang tertekan oleh tingginya biaya adopsi, cenderung mencari solusi yang paling cepat dan termurah. Sayangnya, pendekatan "jalan pintas" ini seringkali tidak cukup mendalam untuk menumbuhkan keahlian teknis yang dibutuhkan untuk implementasi BIM yang efektif.

 

Lima Tembok Penghalang Utama: Biaya, Kebijakan, dan Krisis Waktu Proyek

Untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam mengenai penyebab rendahnya adopsi ini, studi ini meminta responden untuk menilai 24 variabel hambatan menggunakan skala Likert. Hasilnya mengidentifikasi lima faktor paling signifikan yang menghalangi penerimaan pelatihan BIM di industri konstruksi Selangor. Fakta bahwa perusahaan-perusahaan G5-G7 menganggap faktor-faktor ini sebagai penghalang terbesar menunjukkan adanya kegagalan struktural yang harus diatasi oleh kebijakan publik.

Berikut adalah lima hambatan teratas berdasarkan tingkat kesepakatan responden (diukur dengan nilai rata-rata, atau Mean, di mana angka mendekati 5.00 berarti "Sangat Setuju" sebagai hambatan besar):

Biaya Teknologi sebagai Beban Terberat

Hambatan yang menduduki peringkat pertama adalah Biaya perangkat lunak dan peningkatan (upgrade) yang mahal, dengan nilai rata-rata (Mean) tertinggi sebesar 4.00. Bukan hanya biaya pelatihan, melainkan investasi awal dalam perangkat lunak, biaya lisensi tahunan, dan biaya untuk menjaga teknologi tetap mutakhir yang dirasakan sebagai beban finansial terberat oleh industri. Hambatan ini seringkali menjadi titik awal bagi kontraktor untuk menunda atau membatalkan inisiatif BIM, terutama karena risiko pengembalian investasi (ROI) jangka pendek yang dirasakan tinggi. Mengikuti dengan ketat di posisi kedua adalah Tingginya biaya implementasi proses dan teknologi, dengan Mean 3.95.1

Hambatan ini mencakup biaya operasional, kebutuhan akan perangkat keras baru (komputer dan server) yang kuat, dan biaya yang terkait dengan penyesuaian alur kerja operasional perusahaan untuk mengintegrasikan proses BIM yang baru. Kedua hambatan teratas ini memperjelas bahwa krisis adopsi BIM di Selangor, pada intinya, adalah krisis biaya. Implementasi BIM memerlukan investasi yang signifikan—mulai dari perangkat keras, perangkat lunak, peralatan, hingga pelatihan—yang sulit ditanggung oleh perusahaan tanpa dukungan yang memadai.1

Kegagalan Dukungan Kebijakan

Hambatan paling krusial dari perspektif kebijakan menduduki peringkat ketiga: Kurangnya insentif dan dukungan dari pemerintah dan badan profesional, dengan Mean 3.90. Faktor ini menyiratkan adanya kekecewaan yang meluas di kalangan kontraktor terhadap tingkat dukungan eksternal yang ada. Ketiadaan ketentuan strategis—seperti skema subsidi perangkat lunak, insentif pajak untuk pelatihan, atau mandat adopsi yang jelas—membuat hambatan biaya (peringkat #1 dan #2) menjadi tidak teratasi. Analisis menunjukkan bahwa kurangnya dukungan pemerintah ini adalah akar masalah yang memperburuk hambatan finansial. Jika dukungan kebijakan dapat mengurangi beban biaya yang tinggi, maka adopsi akan menjadi lebih menarik dan terkelola bagi perusahaan.

Tekanan Proyek dan Biaya Pelatihan

Di peringkat keempat adalah Kurangnya waktu untuk uji coba dan implementasi dalam proyek yang berjalan cepat, dengan Mean 3.85. Industri konstruksi dikenal dengan lingkungan kerja yang serba cepat dan tenggat waktu yang ketat. Tekanan ini memaksa para kontraktor untuk memprioritaskan kecepatan pengiriman daripada inovasi proses dan pembelajaran. Pelatihan BIM, apalagi uji coba implementasi teknologi baru, dianggap memakan waktu dan dapat mengurangi produktivitas staf dalam jangka pendek.1 Akibatnya, alih-alih mengambil waktu yang diperlukan untuk mengintegrasikan BIM, kontraktor memilih untuk kembali ke metode tradisional demi memenuhi jadwal proyek yang mendesak. Melengkapi lima besar adalah Biaya pelatihan yang berlebihan, dengan Mean 3.82. Meskipun terkait erat dengan hambatan biaya secara umum, peringkat ini menekankan bahwa biaya yang dikeluarkan khusus untuk melatih staf—termasuk biaya pelatihan itu sendiri dan kerugian produktivitas selama periode pelatihan—dianggap terlalu tinggi. Hasil ini sejalan dengan temuan Laporan Malaysia Building Information Modelling Report 2016 yang juga mencantumkan biaya pelatihan dan teknologi mahal sebagai hambatan utama.

 

Kritik Realistis dan Jalan Keluar: Peran Pemerintah Sebagai Penjaga Gerbang Digitalisasi

Meskipun studi ini memberikan wawasan yang sangat berharga, penting untuk diakui bahwa ruang lingkupnya berfokus secara eksklusif pada kontraktor besar (G5-G7) yang beroperasi di wilayah ekonomi yang sangat maju (Selangor).1 Jika perusahaan-perusahaan dengan sumber daya finansial dan teknis terbaik ini secara konsisten mengidentifikasi biaya dan kurangnya dukungan pemerintah sebagai penghalang utama, dapat diasumsikan bahwa dampak hambatan yang sama terhadap kontraktor kecil atau perusahaan di luar wilayah perkotaan akan jauh lebih parah. Dengan demikian, keterbatasan geografis dan cakupan sampel ini berpotensi mengecilkan dampak secara umum dari krisis adopsi BIM di seluruh Malaysia.

Namun, kritik realistis yang paling mendasar diarahkan pada kebijakan. Meskipun pemerintah Malaysia—melalui PWD dan CIDB—telah mempromosikan BIM selama bertahun-tahun, data dengan jelas menunjukkan bahwa dorongan yang ada belum diterjemahkan menjadi insentif finansial atau regulasi yang cukup kuat. Ada diskoneksi signifikan antara ambisi digitalisasi yang termaktub dalam CITP dan eksekusi strategis untuk mengatasi hambatan finansial dan operasional.

Solusi Strategis untuk Membuka Potensi BIM

Penelitian ini secara eksplisit mendukung kebutuhan agar pemerintah memberikan ketentuan strategis yang lebih banyak untuk mengamankan penerimaan industri konstruksi terhadap pelatihan BIM.1 Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah harus beralih dari fase sekadar "promosi" ke fase "penyediaan strategis" yang proaktif, berfokus pada tiga pilar aksi mendesak:

Pertama, Mengatasi Biaya Teknologi. Mengingat biaya perangkat lunak (Mean 4.00) dan biaya implementasi (Mean 3.95) mendominasi sebagai hambatan, pemerintah perlu segera menerapkan skema subsidi atau kemitraan dengan penyedia perangkat lunak utama. Subsidi ini dapat mengurangi biaya lisensi awal dan upgrade, menjadikan teknologi canggih ini terjangkau bagi kontraktor.

Kedua, Mewajibkan Standar dan Pedoman yang Jelas. Ketiadaan standar dan pedoman BIM nasional yang jelas menyebabkan kebingungan di kalangan pemangku kepentingan mengenai cara, kapan, atau di mana memulai adopsi.1 Pemerintah harus mengembangkan dan mewajibkan standar BIM nasional yang komprehensif, sehingga kontraktor tidak perlu menciptakan aturan operasionalnya sendiri, yang seringkali menghasilkan hasil yang bervariasi dan membingungkan pelaku konstruksi lainnya.

Ketiga, Memperkuat Pelatihan Teknis yang Didanai. Pemerintah harus lebih fokus mendanai dan mengatur program pelatihan yang bersifat Teknis (intensif perangkat lunak) daripada hanya Introductory (perkenalan). Dengan hanya 46.9% responden yang menghadiri pelatihan teknis, peningkatan investasi dalam program pengembangan kompetensi fungsional adalah kunci untuk menghasilkan tenaga kerja terampil yang dapat secara efektif memaksimalkan potensi penuh BIM.1

 

Penutup: Dampak Nyata Jika Malaysia Berani Bertindak

Penelitian ini menegaskan bahwa masa depan digitalisasi konstruksi di Selangor, dan secara implisit di Malaysia, berada pada persimpangan jalan yang genting. Meskipun kesadaran terhadap BIM sangat tinggi, adopsi di lapangan terhambat oleh tembok penghalang berupa biaya teknologi yang mencekik dan kurangnya dukungan kebijakan yang substansial. Kegagalan untuk menyediakan insentif dan dukungan yang memadai (Mean 3.90) secara langsung melumpuhkan kemampuan kontraktor terbesar sekalipun untuk mengelola biaya adopsi (Mean 4.00).

Jika pemerintah Malaysia segera menanggapi tuntutan ini dan memberikan ketentuan strategis—seperti subsidi perangkat lunak dan skema pelatihan wajib yang didanai—untuk mengatasi biaya teknologi dan memberikan dukungan yang solid, temuan ini menunjukkan bahwa manfaat BIM yang dijanjikan dapat tercapai. Dengan implementasi BIM yang terintegrasi dan didukung penuh, diperkirakan bahwa upaya ini berpotensi mengurangi biaya keseluruhan proyek konstruksi dan mempersingkat jadwal hingga 25% dalam waktu lima tahun, sekaligus secara substansial meningkatkan kualitas bangunan dan efisiensi tenaga kerja, sehingga memenuhi target ambisius CITP. Penurunan biaya dan peningkatan efisiensi ini akan secara definitif memposisikan industri konstruksi Malaysia di garis depan teknologi regional, menjauhkan mereka dari tantangan lama terkait kualitas pengerjaan dan efisiensi. Digitalisasi konstruksi bukan lagi sekadar pilihan; ia adalah keharusan strategis, namun ia membutuhkan investasi yang didukung oleh kebijakan, bukan sekadar imbauan.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.1088/1755-1315/1022/1/012012

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Rendahnya Adopsi BIM di Selangor – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!
« First Previous page 120 of 1.319 Next Last »