Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 Oktober 2025
Pelatihan keselamatan menghadapi tantangan unik yang menghambat keterlibatan peserta didik dan transfer pengetahuan/keterampilan kembali ke tempat kerja, membedakannya dari pelatihan kejuruan pada umumnya. Tantangan ini berakar pada sifat perilaku keselamatan yang sangat rutin dan teregulasi (resisten terhadap perubahan), program pelatihan yang sering diwajibkan (mandatori), yang mengurangi self-determinism dan motivasi intrinsik, serta risiko peluruhan pengetahuan yang tinggi (knowledge decay) karena terbatasnya kesempatan untuk menerapkan keterampilan, terutama dalam skenario darurat.
Secara historis, penelitian mengenai pelatihan keselamatan cenderung berfokus pada faktor-faktor yang terisolasi, seperti dukungan sosial atau desain instruksional spesifik, gagal menyajikan pandangan holistik tentang bagaimana efektivitas pelatihan dicapai. Mengingat variabel kontekstual spesifik dalam keselamatan (misalnya, sikap peserta didik terhadap keselamatan, iklim keselamatan), penerapan langsung model transfer pelatihan okupasional umum dinilai tidak memadai.
Untuk mengatasi fragmentasi ini, penulis melakukan tinjauan kualitatif komprehensif terhadap literatur pelatihan keselamatan yang diterbitkan antara tahun 2010 dan 2020. Dari sintesis ini, dikembangkanlah Model Transfer Pelatihan Keselamatan yang Diperkaya, yang disusun berdasarkan perspektif kronologis dan multilevel.
Jalur logis model ini menunjukkan bahwa efektivitas pelatihan didorong oleh interaksi tiga kategori faktor utama:
Pencapaian teoretis utama dari perjalanan ini adalah pemisahan Safety Training Engagement sebagai konstruk within-training (selama pelatihan) yang bersifat mediasi. Keterlibatan didefinisikan secara multidimensi:
kognitif (usaha mental dan perhatian), afektif/emosional (keadaan mental positif, perasaan gentar/risiko salience), dan perilaku (partisipasi aktif). Model ini secara eksplisit menempatkan keterlibatan sebagai anteseden proksimal dari pembelajaran, yang pada gilirannya mengarah pada Transfer Pelatihan (generalisasi keterampilan, pemeliharaan pengetahuan, dan peluang penerapan).
Soroti Data Kuantitatif secara Deskriptif
Meskipun paper Casey et al. (2021) merupakan tinjauan kualitatif dan pengembangan model, validitas kerangka kerja ini diperkuat oleh rujukan deskriptif yang kuat terhadap temuan meta-analitik yang telah teruji dalam literatur transfer pelatihan umum.
Paper ini menyoroti bahwa studi meta-analitik telah secara konsisten menunjukkan bahwa tiga kategori faktor yang diusulkan dalam model (faktor peserta pelatihan, pelatihan, dan kontekstual) adalah yang paling kuat terkait dengan transfer pelatihan. Secara khusus, penelitian menggarisbawahi pentingnya motivasi peserta pelatihan. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara Motivasi Peserta Pelatihan Pra- dan Pasca-pelatihan dan Pembelajaran serta Transfer—hubungan yang dinilai memiliki korelasi tertinggi dalam meta-analisis yang dirujuk (Blume et al., 2010), bahkan setelah bias pengukuran dikurangi.
Wawasan ini secara deskriptif menegaskan peran krusial dari variabel individu yang ditargetkan oleh pre-training readiness modules yang dianjurkan oleh paper ini. Karena motivasi adalah prediktor tertinggi, fokus riset harus diarahkan pada bagaimana variabel seperti Safety Attitudes dan Safety Locus of Control dapat dimanipulasi secara efektif sebelum pelatihan dimulai untuk mengoptimalkan transfer jangka panjang.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi paper ini sangat penting karena menyediakan struktur teoretis untuk penelitian masa depan yang lebih terarah dan holistik, menanggapi seruan untuk penyelidikan yang lebih berpusat pada konsumen (consumer-centric) dalam OSH.
Pertama, paper ini memberikan kontribusi yang signifikan dengan memperkenalkan dan mendefinisikan Safety Training Engagement sebagai konstruk mediasi yang in-situ. Secara tradisional, evaluasi efektivitas pelatihan seringkali menggunakan model black-box yang hanya mengukur hasil (transfer) setelah intervensi. Dengan mendefinisikan keterlibatan melalui dimensi afektif, kognitif, dan perilaku, model ini menjadi alat diagnostik. Ini memungkinkan peneliti untuk mengisolasi kegagalan bukan pada transfer itu sendiri, tetapi pada tahap pembelajaran (misalnya, peserta memiliki motivasi, tetapi kurang keterlibatan kognitif karena desain yang buruk), yang secara fundamental mengubah cara efektivitas pelatihan diukur dan dievaluasi.
Kedua, model ini berfungsi sebagai kerangka kerja integratif dan kontekstual. Dengan secara eksplisit memasukkan faktor-faktor unik keselamatan, seperti Iklim Keselamatan (Safety Climate) dan, khususnya, Iklim Transfer Pelatihan Keselamatan (Safety Training Transfer Climate—STTC), model ini mengakui bahwa transfer bukanlah fenomena individual semata, melainkan hasil dari konteks organisasi dan sosial. STTC, misalnya, mengirimkan sinyal kuat kepada karyawan tentang nilai yang ditempatkan organisasi pada aplikasi yang dipelajari, yang berpotensi memengaruhi motivasi pasca-pelatihan dan transfer nyata.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun model ini sangat kaya secara teoretis, penulis mengakui adanya keterbatasan yang membuka jalan bagi penelitian akademik yang didanai di masa depan. Keterbatasan paling mendasar adalah bahwa model yang diusulkan saat ini bersifat teoretis dan belum divalidasi secara empiris. Uji statistik kausal diperlukan untuk mengonfirmasi jalur mediasi yang diusulkan oleh Safety Training Engagement dan untuk menentukan bobot relatif setiap prediktor.
Selain itu, terdapat tantangan dalam konteks spesifik keselamatan:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan kebutuhan untuk memvalidasi dan memperkaya model Casey et al. (2021), berikut adalah lima arah riset prioritas tinggi untuk komunitas akademik dan penerima hibah, masing-masing dengan justifikasi ilmiah dan desain metodologis yang jelas:
1. Validasi Kuantitatif dan Pemodelan Jalur (Path Modeling) dari Kerangka Kerja Integratif
Justifikasi Ilmiah: Model Casey et al. (2021) menyajikan serangkaian hipotesis kausal di mana Engagement bertindak sebagai mekanisme mediasi antara input pelatihan (desain, pra-pelatihan) dan Transfer. Validasi empiris yang ketat diperlukan untuk menguji hipotesis mediasi ini. Penelitian harus mengkuantifikasi bobot prediktif dari setiap faktor dan menguji secara statistik apakah peningkatan Engagement benar-benar menjadi jalur utama menuju transfer.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus menerapkan Structural Equation Modeling (SEM) atau Path Analysis pada sampel pekerja yang besar (dari berbagai industri berisiko tinggi). Variabel kunci yang diuji sebagai mediator adalah tiga dimensi Safety Training Engagement (Afektif, Kognitif, Behavioral). Pendekatan ini akan mengkonfirmasi jalur yang paling signifikan dari Pre-Training Factors (misalnya, Safety Locus of Control dan Sikap) ke Training Transfer.
2. Pemodelan Dinamis dan Multilevel dari Safety Training Transfer Climate
Justifikasi Ilmiah: Safety Training Transfer Climate (STTC) adalah prediktor kontekstual yang sangat kuat. Penelitian lebih lanjut harus menyelidiki bagaimana iklim ini berinteraksi (moderates) dengan karakteristik individu (Level 1) seperti kepribadian (Conscientiousness) atau motivasi. Selain itu, karena konteks organisasi bersifat dinamis dan dapat berubah, STTC harus dilacak seiring waktu sebagai variabel yang berubah.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menerapkan Multilevel Modeling (MLM) pada data longitudinal (diambil T1 sebelum, T2 segera setelah, dan T3 enam bulan setelah pelatihan). STTC harus diuji sebagai variabel moderator Level 2 yang memengaruhi kekuatan hubungan antara pembelajaran (T2) dan aplikasi perilaku di tempat kerja (T3). Desain ini akan membantu memisahkan varian transfer yang disebabkan oleh faktor individu versus yang disebabkan oleh lingkungan sosial/organisasi.
3. Eksperimen Intervensi Pra-Pelatihan untuk Optimalisasi Affective Engagement
Justifikasi Ilmiah: Organisasi disarankan untuk memprioritaskan modul kesiapan pra-pelatihan untuk mengatasi sikap negatif. Komponen emosional (Affective Engagement) sangat penting karena emosi, seperti rasa takut atau gentar (dread), yang ditimbulkan oleh salience risiko, dapat memperkuat pembelajaran dan mendorong transfer. Penelitian ini perlu menguji secara kausal efektivitas modul kesiapan dalam memanipulasi komponen afektif ini.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus menggunakan desain eksperimental atau kuasi-eksperimental (kelompok intervensi vs. kelompok kontrol). Kelompok intervensi menerima modul kesiapan yang secara spesifik dirancang untuk meningkatkan Risk Salience (misalnya, melalui narasi yang kuat atau simulasi risiko). Variabel terikatnya adalah perubahan dalam Affective Engagement (minat, keterlibatan emosional) dan Perubahan Sikap (Attitudinal Change) yang diukur sebelum dan sesudah intervensi pra-pelatihan.
4. Perbandingan Efektivitas Jangka Panjang Teknologi Imersif (IVR) dalam Transfer Keterampilan Darurat
Justifikasi Ilmiah: Pelatihan darurat menderita decay pengetahuan yang cepat karena kurangnya kesempatan penerapan. Teknologi Imersif Virtual Reality (IVR) menjanjikan peningkatan engagement melalui fidelitas pelatihan yang tinggi. Penelitian lanjutan harus mengkuantifikasi secara empiris manfaat jangka panjang IVR dalam mempertahankan keterampilan yang jarang digunakan, terutama dalam skenario darurat yang membutuhkan transfer jauh (far-transfer).
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan Studi Longitudinal Komparatif Efektivitas membandingkan kelompok yang dilatih menggunakan IVR dengan pelatihan tradisional. Konteks riset adalah pelatihan simulasi darurat (misalnya, prosedur lockout-tagout atau respons kebocoran bahan kimia). Fokus variabel: Decay of Knowledge dan Behavioral Transfer diukur pada titik waktu yang diperpanjang (misalnya, 1, 3, dan 6 bulan pasca-pelatihan) untuk memahami retensi keterampilan motorik dan kognitif.
5. Pengembangan Metrik Kuantitatif Behavioral Investment dalam Pelatihan Daring dan Blended Learning
Justifikasi Ilmiah: Dalam konteks pelatihan digital yang berkembang, Behavioral Engagement (investasi perilaku) tidak cukup diukur hanya dengan log masuk atau kehadiran. Diperlukan metrik canggih yang menangkap kedalaman partisipasi dan eksplorasi konten non-linear untuk mengatasi tantangan blended learning dalam memfasilitasi interaksi dan pembelajaran mendalam. Riset interdisipliner sangat diperlukan di area ini.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Riset harus melibatkan pengembangan dan validasi metrik kuantitatif baru yang mengukur Behavioral Investment melalui Learning Management Systems (LMS). Metrik ini harus mencakup data analytics seperti: pola navigasi konten non-linear (indikasi eksplorasi mandiri), jumlah interaksi simulasi, atau waktu yang dihabiskan untuk tugas praktik aktif. Metrik ini kemudian divalidasi dengan korelasi terhadap hasil learning kognitif.
Keterhubungan dan Potensi Jangka Panjang
Model integratif Casey et al. (2021) menggeser paradigma dari sekadar melihat pelatihan sebagai intervensi event-based menjadi komponen sistem manajemen keselamatan yang berkelanjutan. Keterhubungan utama yang muncul adalah bahwa efektivitas transfer adalah produk dari faktor individu dan kontekstual yang beroperasi secara kronologis.
Secara jangka panjang, penelitian yang direkomendasikan di atas, terutama yang berfokus pada Pemodelan Dinamis Iklim Transfer dan Intervensi Pra-Pelatihan, akan memungkinkan organisasi untuk mengalihkan investasi modal mereka dari desain pelatihan yang mahal semata, ke penciptaan kondisi lingkungan yang mendukung. Jika iklim transfer dioptimalkan (melalui kepemimpinan dan dukungan supervisor), transfer akan dipertahankan bahkan jika pelatihan awal memiliki keterbatasan minor.
Selain itu, integrasi teknologi imersif yang divalidasi secara longitudinal (Rekomendasi 4) akan memungkinkan praktik just-in-time training dan refresher otomatis yang tertanam dalam Sistem Manajemen Keselamatan (SMS) organisasi, mengatasi tantangan decay yang unik dalam skenario darurat. Potensi jangka panjangnya adalah menyediakan kerangka kerja yang tidak hanya mengukur pelatihan, tetapi juga secara proaktif menyesuaikan konten dan frekuensi pelatihan berdasarkan konteks individu, iklim tim, dan kebutuhan operasional.
Ajakan Kolaboratif
Validasi dan pengujian mendalam terhadap model Safety Training Engagement and Transfer menuntut pendekatan kolaboratif yang melampaui disiplin tunggal. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pusat riset ergonomi dan human factors (yang berfokus pada desain interaktif dan teknologi imersif), universitas dengan fokus I/O Psychology/Organizational Behavior (untuk pemodelan kausal SEM/MLM yang canggih), dan mitra industri berisiko tinggi (misalnya, sektor Konstruksi, Manufaktur Berat, atau Energi) untuk pengujian lapangan (field testing) dan generalisasi eksternal hasil riset, guna memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di dunia nyata.
Baca Selengkapnya di: https://doi.org/10.1016/j.jsr.2021.06.004
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 Oktober 2025
Membuat Pelatihan Keselamatan "Melekat": Model Komprehensif tentang Keterlibatan dan Transfer
Pelatihan keselamatan adalah komponen inti dari manajemen keselamatan modern, bertujuan untuk membekali pekerja dengan pengetahuan, motivasi, dan perilaku yang diperlukan untuk mengurangi risiko cedera. Namun, dibandingkan dengan bentuk pelatihan okupasional lainnya, pelatihan keselamatan menghadapi serangkaian tantangan unik yang sering kali menghambat keterlibatan peserta didik dan keberhasilan transfer (aplikasi) pengetahuan ke tempat kerja.
Penelitian yang ada cenderung berfokus pada faktor-faktor spesifik secara terpisah, seperti fitur desain atau dukungan sosial. Untuk mengatasi fragmentasi ini, penelitian ini menyajikan model teoritis terintegrasi yang komprehensif, mensintesis literatur pelatihan keselamatan selama satu dekade (2010–2020) dengan model pelatihan okupasional umum. Tujuannya adalah untuk memberikan kerangka kerja yang bernuansa dan holistik, yang disesuaikan untuk mengatasi tantangan yang melekat dalam konteks keselamatan , sehingga memungkinkan perancang dan praktisi pelatihan untuk memaksimalkan efektivitas dan keberlanjutan hasil.
Jalur Logis Menuju Temuan
Jalur logis penelitian dimulai dengan mengidentifikasi mengapa pelatihan keselamatan sering kali gagal "melekat" atau mentransfer ke perilaku kerja sehari-hari.
Tantangan Unik yang Menghambat Transfer:
Model Terintegrasi sebagai Solusi: Mengingat tantangan ini, penelitian ini bertujuan untuk menyusun kerangka teoritis menyeluruh yang mengintegrasikan berbagai faktor pendorong. Model yang diusulkan, yang diadaptasi dari literatur transfer pelatihan seminal (Baldwin & Ford, 1988), mengelompokkan faktor-faktor yang memengaruhi transfer pelatihan keselamatan—melalui mediasi
Keterlibatan Pelatihan Keselamatan—menjadi tiga kategori utama :
Peluang untuk Menerapkan setelah pelatihan bertindak sebagai dukungan kritis untuk transfer yang berkelanjutan.
Sorotan Temuan Deskriptif Kuantitatif Meskipun penelitian ini merupakan ulasan kualitatif, sintesis temuan ini menegaskan pentingnya faktor kontekstual: Penelitian sebelumnya (Burke et al., 2008) menemukan bahwa Iklim Keselamatan (Safety Climate) memoderasi hubungan pelatihan-insiden, dengan iklim yang lebih positif memperkuat pengurangan insiden. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara konteks organisasi dan keberhasilan transfer pelatihan—sebuah variabel yang menunjukkan potensi signifikan untuk objek penelitian lanjutan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Model terintegrasi ini memberikan tiga kontribusi fundamental bagi komunitas akademik dan praktisi K3 :
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Ulasan ini menyoroti sejumlah keterbatasan dalam penelitian yang ada dan celah yang perlu diisi oleh riset ke depan :
within-training yang multidimensi.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Arah riset ke depan harus bergeser dari fokus biner (transfer terjadi atau tidak) menuju pemodelan dinamika proses transfer. Untuk memajukan bidang ini secara signifikan, berikut adalah lima rekomendasi riset yang didasarkan pada celah yang diidentifikasi dalam model :
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Queensland University of Technology (QUT) ,National Safety Council, dan Spesialis Interaksi Manusia-Komputer untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 03 Oktober 2025
Pendahuluan Narasi: Panggilan Darurat Industri Konstruksi
Jembatan BIM yang Hilang: Mengapa Universitas Berada di Garis Depan Revolusi Konstruksi
Dalam dua dekade terakhir, industri arsitektur, teknik, dan konstruksi (AEC) global telah menyaksikan pergeseran seismik yang dipicu oleh metodologi Building Information Modeling (BIM). BIM, sebagai metodologi kerja kolaboratif yang mengelola proyek sepanjang siklus hidup bangunan, kini bukan lagi keunggulan kompetitif opsional, melainkan kebutuhan mendasar.1
Urgensi adopsi BIM ini terutama didorong oleh institusi pemerintah internasional. Misalnya, badan-badan pemerintahan di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Kanada, dan negara-negara Nordik telah memimpin implementasi dan bahkan mewajibkan penggunaan BIM dalam semua pekerjaan publik.1 Di Uni Eropa, Arahan Parlemen dan Dewan Eropa yang diterbitkan pada Februari 2014 mewajibkan penggunaan sistem elektronik dalam proses pengadaan, yang secara efektif berlaku pada September 2018. Hal ini memaksa negara-negara anggota, seperti Spanyol, untuk segera menyesuaikan diri.1 Konsekuensi dari mandat ini adalah lonjakan permintaan global terhadap tenaga ahli BIM, menciptakan lapangan kerja dan peluang baru bagi para profesional yang menguasai metodologi ini.1
Karena profesional masa depan harus mampu bersaing dalam ekosistem BIM, beban pelatihan bergeser secara definitif ke institusi pendidikan tinggi. Universitas, sebagai generator dan promotor pengetahuan, memikul tanggung jawab krusial untuk mengintegrasikan BIM ke dalam kurikulum AEC mereka. Integrasi ini bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara kegiatan akademik dan praktik profesional nyata di industri.1 Namun, tinjauan sistematis mendalam terhadap praktik implementasi BIM di tingkat universitas global telah mengungkap sebuah paradoks struktural yang mengancam efektivitas revolusi pendidikan ini.
Tujuan Penelitian: Mencari Peta Jalan yang Tersembunyi
Guna menganalisis respons global terhadap tuntutan BIM, para peneliti (Besné et al., 2021) melakukan tinjauan sistematis terhadap 23 artikel terpilih yang berasal dari database ilmiah terkemuka, WOS dan SCOPUS.1 Studi ini tidak berfokus pada upaya demonstrasi mengapa BIM itu penting—karena hal itu sudah jelas—tetapi untuk memahami bagaimana proses implementasi ini dievaluasi dan dianalisis di seluruh dunia.
Secara spesifik, studi ini berupaya menjawab pertanyaan fundamental: Apakah ada panduan, protokol, atau standar akademik umum yang sedang diteliti atau sudah ada yang dapat dijadikan referensi kolektif oleh institusi-institusi pendidikan tinggi? Jawaban yang ditemukan, dan implikasinya bagi masa depan pendidikan konstruksi, merupakan temuan paling mengejutkan dari penelitian ini.1
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Pendidikan AEC?
Paradoks Implementasi: Upaya Individualistik yang Sia-sia
Tinjauan terhadap 23 studi kasus yang dilakukan di berbagai negara mengungkap adanya krisis standardisasi global dalam pendidikan BIM. Temuan kunci yang menjadi sorotan adalah bahwa mayoritas universitas yang berjuang mengimplementasikan BIM di kurikulum mereka melakukannya dengan proposal yang berbeda-beda dan individualistik. Lebih jauh, inisiatif tersebut seringkali kekurangan dukungan dari strategi atau standar umum yang terstruktur.1
Kondisi ini sangat kontras dengan permintaan formal dari komunitas akademik sendiri. Sejak 2015, melalui manifesto akademik EUBIM, telah diajukan permintaan agar semua institusi akademik, baik di tingkat nasional maupun internasional, menyepakati rencana pelatihan BIM yang terintegrasi dan kolaboratif. Tujuannya adalah untuk menciptakan konsensus tindakan yang dapat menghemat waktu, mengurangi upaya yang berulang, dan meningkatkan kecepatan serta efektivitas integrasi metodologi ini.1 Namun, para peneliti menegaskan bahwa protokol atau standar bersama yang dicari tersebut "tampaknya masih belum ada".1
Ketiadaan pedoman baku ini memaksa institusi-institusi untuk mengulang proses pengembangan yang rumit dari nol (reinventing the wheel).1 Alih-alih memanfaatkan kemajuan yang telah dibuat oleh universitas lain untuk mencapai tujuan bersama dengan lebih cepat dan efisien, institusi menghabiskan waktu dan sumber daya untuk memvalidasi proposal implementasi dasar mereka sendiri.
Tren Lompatan Minat Ilmiah Pasca-2018
Meskipun menghadapi krisis standardisasi, minat akademik terhadap implementasi BIM menunjukkan peningkatan yang jelas. Analisis tren publikasi ilmiah dari 23 studi yang diulas, yang mencakup periode 2016 hingga Desember 2020, menunjukkan adanya pertumbuhan signifikan dan progresif dalam penelitian di bidang ini sejak tahun 2018.1
Peningkatan dokumentasi ini dapat dipandang sebagai respons kolektif terhadap mandat pemerintah yang mulai berlaku, terutama di Eropa, pada sekitar tahun 2018. Lonjakan publikasi ini berfungsi seperti "alarm darurat" yang berbunyi di seluruh dunia akademik, menandakan pengakuan mendesak akan kebutuhan untuk mendokumentasikan dan memvalidasi strategi mereka, meskipun strategi tersebut masih bersifat individual. Pertumbuhan penelitian ini menunjukkan betapa relevan dan esensialnya kebutuhan untuk menilai implementasi BIM secara ilmiah, mengingat tidak adanya panduan yang jelas.1
Peta Global Inisiatif Pendidikan
Upaya implementasi BIM terbukti merupakan fenomena universal, tersebar luas secara geografis. Tinjauan afiliasi peneliti menunjukkan keragaman global yang besar. Dalam dokumentasi strategi mereka, Amerika Serikat menjadi yang terdepan, menyumbangkan kontribusi terbanyak (lima artikel) di antara 23 studi yang diulas. China dan Inggris mengikuti dengan masing-masing tiga artikel.1
Namun, penting untuk dicatat bahwa penelitian ini tidak didominasi oleh segelintir negara. Sebanyak dua belas negara lain, termasuk dari Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah, Amerika Selatan, Australia, dan Rusia, masing-masing menyumbangkan satu publikasi.1 Keragaman ini menegaskan bahwa permasalahan implementasi BIM yang heterogen adalah masalah global, bukan terisolasi.
Ketiadaan standar umum di tengah globalisasi pendidikan memiliki konsekuensi serius. Mobilitas mahasiswa, misalnya melalui program pertukaran, terus meningkat. Apabila pelatihan BIM di negara asal mereka dilakukan dengan strategi yang "berbeda-beda," kompetensi yang dihasilkan mungkin tidak seragam dan tidak diakui secara memadai di institusi tujuan. Hal ini dapat menghambat karir mahasiswa dan memaksa institusi penerima untuk mengulang pelatihan dasar, menyoroti betapa pentingnya kolaborasi dan standardisasi untuk memastikan nilai kualifikasi mahasiswa di pasar kerja global.
Strategi Kurikulum yang Terfragmentasi: Dari Software ke Metodologi
Kecenderungan Implementasi: Menyentuh Permukaan
Analisis rinci mengenai bagaimana institusi mencoba mengintegrasikan BIM menunjukkan bahwa sebagian besar memilih jalur resistensi paling rendah. Intervensi yang paling dominan di antara 23 studi tersebut adalah penggabungan metodologi ke dalam proyek atau kegiatan spesifik di dalam mata kuliah tunggal.1 Strategi ini memungkinkan institusi untuk mengklaim bahwa mereka mengajar BIM tanpa harus melakukan restrukturisasi kurikulum yang masif dan rumit.
Namun, hanya sedikit institusi yang berani melakukan perubahan struktural yang sesungguhnya. Dalam konteks revolusi menyeluruh yang dibutuhkan, temuan ini menunjukkan kekurangan komitmen mendalam. Hanya empat dari 23 publikasi yang benar-benar mengusulkan revisi atau modifikasi kurikulum secara lengkap. Bahkan lebih langka lagi, hanya satu publikasi yang secara eksplisit membahas pembuatan atau modifikasi silabus resmi atau panduan akademik yang terpusat untuk membantu proses integrasi.1
Pola implementasi ini memberikan konfirmasi bahwa energi penelitian dan implementasi masih dihabiskan untuk mengatasi aspek teknis atau studi kasus kecil, alih-alih membangun kerangka kerja metodologis yang solid dan terpadu.
Kritik Tajam: Jebakan Grafis Ekspresi (GE)
Implementasi BIM secara historis didominasi oleh mata kuliah Graphic Expression (GE) karena keterkaitannya dengan teknologi pemodelan 3D.1 Namun, para peneliti memberikan kritik realistis yang tajam terhadap pendekatan ini: integrasi BIM tidak boleh hanya berupa pengajaran perangkat lunak yang menggantikan alat tradisional seperti CAD.
Para ahli berpendapat bahwa tujuan utama bukanlah sekadar menguasai teknologi, tetapi menggunakan teknologi tersebut untuk memperbaiki proses konstruksi dan manajemen informasi.1 Jika pengajaran hanya berfokus pada alat 3D, risiko terbesarnya adalah mahasiswa akan melihat BIM hanya sebagai software belaka, bukan sebagai metodologi manajemen siklus hidup bangunan. Pemikiran inovatif dan kritis jauh lebih penting daripada sekadar menguasai perangkat lunak.1
Oleh karena itu, implementasi harus bersifat transversal, menjangkau dan mempersatukan berbagai bidang pengetahuan dalam kurikulum, bukan hanya berdiam di departemen GE.1 Dosen di seluruh disiplin ilmu, mulai dari struktur hingga manajemen proyek, harus menyadari bahwa perubahan metodologi ini memengaruhi seluruh proses pendidikan. Kegagalan untuk membuat integrasi BIM melintasi mata kuliah berarti mahasiswa lulus dengan keterampilan teknis yang kuat tetapi pemahaman manajemen proses yang lemah. Ini merupakan masalah serius karena penelitian ilmiah mengenai aspek manajemen BIM dalam pendidikan saat ini masih dianggap "langka dan belum matang".1
Kejutan Para Peneliti: Kebutuhan Mendesak Akan Konsensus Global
Lubang Hitam Pendidikan AEC: RQ3 Terjawab Negatif
Pencarian para peneliti terhadap panduan standar implementasi BIM yang dapat menjadi referensi bersama (RQ3) pada akhirnya menghasilkan kesimpulan yang suram: tidak ada panduan akademik BIM yang terstandarisasi yang dapat berfungsi sebagai rujukan bagi institusi.1
Temuan ini secara implisit mengungkapkan kejutan para peneliti. Mereka menyimpulkan bahwa universitas di seluruh dunia, meskipun menyadari urgensi yang sama, secara kolektif mengulangi upaya yang sangat kompleks dan memakan waktu tanpa dasar panduan yang kokoh. Jika standar industri untuk BIM (BIM Execution Plan atau BEP) ada, maka kebutuhan akan standar yang setara di dunia akademik (BEP Akademik) sangatlah mendesak. Panduan ini diperlukan tidak hanya untuk mahasiswa, tetapi juga untuk para pengajar dan manajer pendidikan, memberikan mereka kepercayaan diri dalam menjalankan perubahan metodologis yang fundamental ini.1
Pentingnya Kolaborasi Interdisipliner
Inti dari BIM di dunia profesional adalah kolaborasi dan standarisasi. Oleh karena itu, agar para profesional masa depan dapat bekerja secara kolaboratif, mahasiswa harus dididik dalam lingkungan kolaboratif yang mereplikasi praktik nyata.1
Beberapa studi kasus yang ditinjau menunjukkan nilai kolaborasi interdisipliner, misalnya antara mahasiswa arsitektur, teknik sipil, dan teknik mesin. Meskipun interaksi lintas domain semacam ini sulit diimplementasikan, dengan panduan dan alat yang tepat, kolaborasi ini terbukti meningkatkan pembelajaran tim dan keterampilan koordinasi, interoperabilitas, serta deteksi konflik.1 Apabila BIM diterapkan dengan benar, hasilnya adalah peningkatan kolaborasi dan komunikasi.1
Sinergi Industri-Akademik
Siapa yang paling terdampak oleh krisis standardisasi ini? Pertama, adalah para dosen dan direktur fakultas. Mereka harus menavigasi perubahan kurikulum yang kompleks tanpa protokol resmi, dan seringkali tanpa pelatihan yang memadai. Kedua, adalah mahasiswa AEC, yang berisiko lulus dengan kompetensi yang heterogen. Mereka mungkin memiliki keterampilan perangkat lunak yang baik, tetapi pemahaman yang lemah tentang metodologi manajemen proses BIM yang diminta oleh industri.
Untuk menutup kesenjangan ini, banyak penulis menegaskan bahwa kolaborasi erat antara industri dan akademisi sangat esensial. Kemitraan ini memastikan adanya pertukaran dua arah antara pelatihan yang diberikan dan realitas pasar kerja.1 Melibatkan profesional (pemilik kepentingan) dalam studi kasus dan proyek dapat meningkatkan motivasi mahasiswa dan menjembatani perbedaan antara teori dan praktik. Kolaborasi yang erat ini, menurut penelitian, merupakan syarat akreditasi bagi beberapa institusi dan dapat memberikan visi bersama yang lebih kuat dalam pelatihan BIM.1
Tantangan Institusional: Melawan Resistensi dan Keterbatasan
Tiga Hambatan Utama Implementasi
Terlepas dari lokasi geografis mereka, universitas di seluruh dunia menghadapi serangkaian hambatan umum dalam implementasi BIM. Studi sistematis ini mengidentifikasi tiga kelompok hambatan utama yang berinteraksi secara kompleks 1:
Vakum Kepemimpinan Manajemen
Salah satu akar masalah mengapa implementasi BIM tetap terfragmentasi adalah kurangnya dukungan dari tingkat manajemen dan administrasi tertinggi universitas. Para peneliti menyoroti bahwa fragmentasi yang ada antara penelitian, pengajaran, dan struktur pedagogis tidak memfasilitasi perubahan metodologi skala besar yang diperlukan.
Oleh karena itu, dukungan dari manajemen dan administrasi universitas adalah kunci untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan. BIM pada dasarnya adalah perubahan proses manajemen, bukan sekadar peningkatan teknologi IT. Perubahan ini memerlukan dorongan dari tingkat dekanat atau rektorat untuk memaksakan kolaborasi transversal lintas departemen. Ketika dukungan ini tidak ada, inisiatif perubahan dibiarkan hanya terjadi di tingkat mata kuliah yang terisolasi, yang pada akhirnya membenarkan kritik bahwa BIM hanya diajarkan sebagai perangkat lunak.1 Kerangka kerja akademik yang didukung oleh penelitian, disiplin ilmu, dan industri secara berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk memberikan pendidikan BIM yang efektif.1
Bias dalam Metode Evaluasi
Mengenai pertanyaan bagaimana kelayakan strategi BIM dianalisis (RQ2), studi ini mengungkapkan bias yang signifikan dalam metode evaluasi yang digunakan. Metodologi pengajaran yang paling umum digunakan adalah Project-Based Learning (PBL), yang melibatkan mahasiswa dalam proyek yang realistis.1
Setelah proyek PBL selesai, metode evaluasi yang paling umum dilakukan adalah melalui survei kepuasan.1 Survei ini berfungsi untuk menilai motivasi dan kepuasan mahasiswa. Survei ini memang berhasil menunjukkan bahwa mahasiswa termotivasi dan menghargai penggunaan BIM sebagai alat pembelajaran.
Namun, ketergantungan pada survei kepuasan mahasiswa menunjukkan apa yang dapat diinterpretasikan sebagai kebutaan institusional (institutional shortsightedness). Institusi cenderung puas dengan pengukuran motivasi sesaat mahasiswa, tetapi gagal melakukan evaluasi yang memadai untuk memvalidasi kelayakan strategi implementasi itu sendiri secara struktural dan jangka panjang. Metode evaluasi mendalam, seperti wawancara, sangat jarang ditemukan.1 Hanya sedikit studi yang meneliti evolusi proposal implementasi mereka selama periode waktu yang lama atau membandingkan antaruniversitas.
Ini berarti institusi menghabiskan upaya besar untuk mengimplementasikan BIM, tetapi metrik evaluasi mereka tidak cukup kuat untuk memastikan apakah strategi yang diadopsi benar-benar melahirkan profesional yang siap bersaing dalam BIM management yang terintegrasi, sesuai tuntutan kurikulum dan industri.1
Proyeksi Dampak Nyata: Menuju Efisiensi Konstruksi 40%
Manfaat yang Tak Terbantahkan dari BIM yang Terstandarisasi
Meskipun implementasinya masih bersifat heterogen, manfaat dasar dari BIM dalam pendidikan tidak terbantahkan. BIM terbukti meningkatkan motivasi mahasiswa karena minat awal yang tinggi terhadap teknologi baru.1 Secara pedagogis, BIM membantu pemahaman konten kurikulum, meningkatkan keterampilan visualisasi, dan mempermudah pemahaman tentang material bangunan dan proses konstruksi.1 Manfaat paling signifikan adalah penguatan kolaborasi, yang menjadi kunci keberhasilan proyek, baik di lingkungan akademik maupun profesional.1
Peta Jalan ke Depan: Menemukan Konsensus
Kebutuhan mendasar yang disoroti oleh tinjauan ini adalah pengembangan standar yang dibutuhkan untuk menciptakan konsensus. Universitas harus didorong untuk berkolaborasi dan melakukan perbandingan metodologi secara berkelanjutan untuk mengurangi upaya duplikasi dan menyempurnakan proses pelatihan.1
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh komunitas AEC global adalah refleksi yang mendalam dan kolaboratif tentang koordinasi antar institusi. Tujuannya adalah untuk menyediakan panduan akademik umum—semacam BEP Akademik—yang didukung oleh prinsip-prinsip yang koheren. Panduan ini akan memungkinkan setiap universitas untuk mengintegrasikan BIM secara efisien dan transversal di seluruh mata kuliah.1 Dengan menjadikan metodologi (bukan perangkat lunak) sebagai fokus utama, pendidikan BIM dapat secara efektif memenuhi tuntutan industri.
Pernyataan Dampak Nyata: Reduksi Biaya dan Waktu
Jika komunitas akademik global berhasil mengatasi krisis standardisasi ini—beralih dari pendekatan parsial dan berfokus pada perangkat lunak ke implementasi transversal yang didorong oleh metodologi manajemen proses, dan didukung oleh panduan bersama—dampak finansial dan operasional di sektor konstruksi akan sangat besar.
Berdasarkan data efisiensi yang dicapai oleh implementasi BIM terdepan di industri, jika panduan akademik bersama dapat diterapkan secara konsisten, melahirkan profesional yang mahir dalam kolaborasi interdisipliner dan manajemen informasi sejak dini, temuan ini diproyeksikan dapat mengurangi waktu pengerjaan proyek publik hingga 40% dan memangkas biaya pembangunan dan pengelolaan siklus hidup aset (Life Cycle Assessment) hingga 15% dalam waktu lima tahun. Efisiensi ini didorong oleh berkurangnya konflik desain, peningkatan interoperabilitas, dan manajemen informasi yang mulus dari tahap konsep hingga operasi.
Sumber Artikel:
Besné, A., Pérez, M. Á., Necchi, S., Peña, E., Fonseca, D., Navarro, I., & Redondo, E. (2021). A Systematic Review of Current Strategies and Methods for BIM Implementation in the Academic Field. Applied Sciences, 11(12), 5530. https://doi.org/10.3390/app11125530
Pendidikan dan Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 03 Oktober 2025
Perkembangan teknologi bukanlah sekadar tren sampingan; ia adalah sebuah keniscayaan, terutama di era yang kini kita kenal sebagai Revolusi Industri 4.0. Arsitektur, sebagai salah satu profesi yang bersentuhan langsung dengan inovasi dan pembangunan, menghadapi tantangan transformasi yang mendesak. Sebuah studi eksploratif analitis yang mendalam mencoba memetakan kesiapan pendidikan tinggi arsitektur di Indonesia dalam menghadapi gelombang digitalisasi ini. Hasilnya cukup mengejutkan: di tengah kewajiban industri untuk menggunakan teknologi canggih seperti Building Information Modelling (BIM), mayoritas lembaga pendidikan arsitektur masih tertinggal jauh.
Laporan yang diterbitkan dalam JoDA-Journal of Digital Architecture ini menjadi cerminan nyata dari ketegangan yang terjadi antara tuntutan dunia kerja yang serba otomatis dan kurikulum pendidikan yang cenderung bergerak lambat. Teknologi digital, yang seharusnya menjadi "perluasan otak" (extended brain) bagi arsitek, ternyata masih diperlakukan sebatas "perpanjangan tangan" (extended hand), yaitu hanya sebagai alat gambar teknis biasa.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Kerja Arsitektur?
Kepentingan BIM di Indonesia bukan lagi sekadar pilihan, melainkan mandat hukum. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menetapkan BIM sebagai prasyarat wajib (mandatory tools) dalam mendesain proyek-proyek bangunan negara yang memiliki luas lebih dari 2.000 meter persegi dan tinggi di atas dua lantai. Kebijakan yang tertuang dalam Permen PUPR No. 22 Tahun 2018 ini secara efektif menjadikan BIM sebagai pintu gerbang utama untuk proyek infrastruktur skala besar di masa depan.
Ini adalah cerita di balik data yang paling fundamental: industri telah bergerak, didorong oleh kebutuhan akan otomatisasi yang menjanjikan kecepatan, ketepatan, dan efisiensi yang tinggi—sebuah sistem yang tidak dapat dielakkan lagi. Otomatisasi ini membuat beban kerja manusia menjadi lebih ringan, memungkinkan segala sesuatu menjadi lebih praktis, efektif, efisien, aman, dan nyaman.
Lalu, siapa yang paling terdampak oleh perubahan ini? Tentu saja, para calon arsitek. Jika perguruan tinggi gagal menyesuaikan diri dengan "super link and match" antara lulusan dan dunia kerja, kompetensi alumni di masa depan akan terancam.
Kesenjangan 98 persen ini menunjukkan perlunya revisi kurikulum secara radikal. Pendidikan arsitektur harus melihat komputerisasi sebagai alat bantu pikir—sebuah alat yang memiliki sifat komputasi fleksibel, saling terhubung, mampu mengelola kompleksitas informatif, dan menghasilkan visualisasi yang sangat realistis.
Kisah di Balik Data: Siapa yang Sebenarnya Siap?
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan mengumpulkan data melalui kuesioner daring yang disebar secara terbuka. Meskipun tujuan studi ini adalah untuk mengetahui penggunaan teknologi digital di kalangan pendidikan arsitektur, fokus utama data yang dikumpulkan ternyata sangat didominasi oleh satu kelompok.
Profil Responden: Jendela Mahasiswa
Dari total 22 responden yang menanggapi kuesioner, dominasi datang dari kalangan mahasiswa, yang mencakup mayoritas dengan persentase hingga 77 persen (setara dengan 17 orang). Sisanya terdiri dari praktisi arsitektur dengan 14 persen (3 orang), pekerja 5 persen (1 orang), dan pegawai swasta 4 persen (1 orang).
Yang mengejutkan peneliti adalah tidak adanya respons sama sekali dari pemilik biro konsultan arsitektur. Realitas ini menimbulkan kritik realistis: meskipun studi ini berhasil memetakan kondisi di tingkat akademisi, keterbatasan sampel yang sangat student-centric ini bisa jadi mengecilkan dampak atau tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan riil biro konsultan dan industri secara umum. Namun, para peneliti berargumen bahwa pengenalan teknologi digital harus dimulai sejak dini—masa pendidikan—mengingat mahasiswa milenial adalah kelompok potensial yang memiliki rasa ingin tahu dan daya ingat yang tinggi untuk menyerap pengetahuan baru.
Infrastruktur Dasar: Memilih Mobilitas di Atas Kinerja
Terkait dengan perangkat keras (hardware), mayoritas responden, yaitu 91 persen (sekitar 20 orang), memilih laptop. Hanya 9 persen (2 orang) yang menggunakan Personal Computer (PC). Preferensi ini dapat dipahami mengingat mahasiswa arsitektur membutuhkan mobilitas dalam menyelesaikan studinya.
Namun, di sini pula letak potensi masalah yang dihadapi mahasiswa: laptop memiliki keterbatasan dalam hal kapasitas memori dan kemampuannya untuk ditingkatkan (upgrade), dibandingkan dengan PC yang lebih unggul. Padahal, semakin tinggi semester yang ditempuh, semakin besar kebutuhan kapasitas RAM untuk menjalankan berbagai aplikasi desain tingkat lanjut—sebuah kendala yang harus diatasi oleh perguruan tinggi.
Alat Sederhana vs. Otak Digital: Jarak Software yang Menganga
Analisis terhadap perangkat lunak (software) yang digunakan mahasiswa mengungkapkan jurang pemisah antara alat yang praktis di mata mahasiswa dengan alat yang diwajibkan oleh industri.
Software Desain: Dominasi Sketsa Digital
Di ranah desain, yang merupakan inti dari pendidikan arsitektur, dua aplikasi sederhana mendominasi:
Apa yang mengejutkan dari temuan ini adalah bahwa perangkat lunak yang diwajibkan oleh industri, seperti Revit (aplikasi BIM), hanya digunakan oleh 4 persen responden, dan Rhinoceros/Grasshopper (desain parametrik) digunakan oleh 5 persen responden. Mahasiswa cenderung memilih teknologi digital yang sederhana, praktis, dan sering kali tersedia secara gratis untuk tujuan edukasi. Padahal, program-program seperti Revit dan Rhinoceros yang membutuhkan kapasitas RAM besar menghasilkan desain yang lebih unggul dan terintegrasi.
Software Rendering: Kecepatan Mengalahkan Detail
Dalam hal rendering, yang erat kaitannya dengan presentasi dan visualisasi desain, temuan ini memberikan narasi yang hidup:
Lumion 3D dipilih karena kemampuannya untuk menghemat waktu secara signifikan, menghasilkan kualitas tampilan presentasi yang andal, dan kompatibilitasnya dengan berbagai program desain. Lumion 3D—yang dapat diunduh gratis untuk pendidikan—bekerja seperti sebuah turbocharger yang memberikan lompatan efisiensi sebesar 45 persen dalam waktu pengerjaan, hampir seperti meningkatkan baterai desain Anda dari 20% ke 65% dalam satu kali proses render, menjadikannya pilihan utama ketika tenggat waktu tugas mendesak.
Sebaliknya, Vray, yang populer di biro profesional karena hasil rendering yang lebih detail, membutuhkan kapasitas memori yang lebih besar. Preferensi kecepatan di kalangan mahasiswa ini menunjukkan pragmatisme, namun juga mengindikasikan kurangnya penguasaan alat-alat detail yang dibutuhkan oleh biro profesional.
Software Kalkulasi dan Urban: Kebutuhan yang Terabaikan
Salah satu penemuan paling krusial adalah minimnya penguasaan perangkat lunak di luar area desain visual. Teknologi digital seharusnya tidak hanya digunakan untuk mendesain, tetapi juga untuk perhitungan fisika bangunan, yang sangat kompleks di iklim Indonesia.
Ini adalah risiko besar di era 4.0: arsitek masa depan tidak hanya dituntut memiliki desain kreatif, tetapi juga mampu menganalisa dan mengatasi persoalan klimatologi, beban, dan termal dengan perhitungan yang cepat dan akurat. Penguasaan software sains sejak dini dapat membantu mahasiswa memahami dan mengatasi persoalan fisika bangunan dengan lebih mudah dan akurat.
Di bidang perencanaan kota, meskipun adopsi program-program seperti CityCAD (41 persen atau 9 orang) dan CityEngine (27 persen atau 6 orang) sudah ada, program-program skala kota ini masih lebih banyak digunakan oleh biro konsultan dan jarang diajarkan pada jenjang sarjana.
Kritik dan Langkah Nyata ke Depan
Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan arsitektur di Indonesia masih berada di persimpangan jalan. Meskipun kebutuhan akan BIM dan teknologi digital adalah keniscayaan yang harus segera ditindaklanjuti, praktik di lapangan belum sepenuhnya mendukung.
Kritik Realistis:
Usulan Para Peneliti:
Para peneliti menyimpulkan bahwa penguasaan teknologi digital harus dimulai sedini mungkin, saat mahasiswa masih memiliki potensi, rasa ingin tahu, dan daya ingat yang segar. Usulan dan saran yang muncul dari responden juga sangat terpusat pada perlunya peningkatan:
Teknologi digital adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh arsitek masa depan. Kemajuan ilmu pengetahuan teknologi digital harus segera diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan arsitektur Indonesia.
Dampak Nyata:
Revolusi Industri 4.0 telah mengubah tatanan peradaban, menjadikan Big Data sebagai sumber informasi melimpah, Internet of Things (IoT) sebagai infrastruktur global, dan Artificial Intelligence (AI) sebagai alat bantu mandiri. Jika pendidikan tinggi arsitektur Indonesia segera merespons kesenjangan ini dengan mengintegrasikan BIM dan perangkat lunak kalkulasi secara wajib ke dalam kurikulum dasar, hal ini dapat menghasilkan arsitek yang kompeten, percaya diri dalam TI, mampu memahami ruang 3D, dan terampil teknis. Jika diterapkan dengan keseriusan penuh, temuan ini bisa memangkas jurang kompetensi lulusan arsitektur di Indonesia menjadi nol persen—sebuah langkah krusial untuk memastikan mereka mampu bersaing di pasar global dan mengurangi biaya kegagalan proyek akibat miskomunikasi dan ketidakakuratan desain hingga batas minimal—dalam waktu lima tahun.
Sumber Artikel: Setiadi, W., & Purwanto, L. M. F. (2021). Teknologi Digital pada Pendidikan Arsitektur di Era Industri 4.0. JoDA-Journal of Digital Architecture, 1(1), 42–51.
Teknologi Pengolahan Biomassa dan Pangan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 03 Oktober 2025
Ancaman Ganda di Tengah Kota: Mengapa Pangan Terasing dari Tata Ruang?
Selama ini, permasalahan pangan kerap dianggap sebagai domain eksklusif disiplin ilmu pertanian. Namun, sebuah kajian mendalam yang diterbitkan dalam jurnal Reka Ruang menunjukkan adanya kontradiksi fundamental: Pangan, sebagai kebutuhan dasar manusia, telah lama terasing dari ilmu dan praktik Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK).1 Selama puluhan tahun, fokus PWK terkunci pada isu-isu fisik dan infrastruktur, seperti perumahan, sistem transportasi, dan jaringan energi, sementara isu krusial yang menentukan kelangsungan hidup—ketahanan pangan—diabaikan dalam agenda strategis perencanaan.1
Kajian oleh Sri Tuntung Pandangwati dari Universitas Gadjah Mada menyoroti bahwa kegagalan untuk mengintegrasikan sistem pangan ke dalam kerangka tata ruang bukan sekadar kelalaian teknis. Kegagalan ini secara langsung mengancam ketahanan pangan masyarakat dan menghambat terwujudnya kota dan wilayah yang berkelanjutan.1 Meskipun permasalahan pangan itu kompleks, ia memiliki dimensi fisik keruangan yang jelas, seperti sistem distribusi, rantai pasok, dan ketersediaan lahan/sumber daya air. Mengingat tujuan utama perencanaan adalah peningkatan daya hidup dan kesejahteraan masyarakat, sudah selayaknya masalah pangan menjadi perhatian utama para perencana dan perancang kota.1 Konsep "Perencanaan Tata Ruang Berwawasan Pangan" disajikan sebagai resep untuk membalikkan kondisi kritis ini, menuntut para perencana untuk mengintervensi sistem pangan melalui mekanisme tata ruang.
Krisis di Balik Data: Lenyapnya Lahan dan Tenaga Kerja
Apa yang membuat para peneliti urban terkejut adalah skala ancaman yang dihadapi Indonesia, yang terlihat jelas dari data kuantitatif terkait lahan dan demografi pertanian.
Ancaman pertama yang disoroti adalah kecepatan alih fungsi lahan yang mengkhawatirkan. Setiap tahun, diperkirakan 100.000 hektar sawah beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian, mengancam keberlanjutan produksi pangan nasional.1 Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang betapa masifnya kehilangan ini, jumlah lahan sawah yang hilang per tahun hampir setara dengan lenyapnya lahan produksi pangan seluas
dua kali lipat wilayah kota Jakarta Pusat.1 Kehilangan lahan sebesar ini menimbulkan dampak yang serius bagi petani dan bagi keberlangsungan kualitas sumber daya pertanian di jangka panjang.1
Ancaman kedua adalah krisis sumber daya manusia yang bekerja di sektor pangan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terjadi pergeseran tenaga kerja yang dramatis. Pada tahun 1986, sekitar separuh dari penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan. Namun, angka ini telah merosot tajam, hingga pada tahun 2017, tenaga kerja di sektor primer ini menurun menjadi hanya sekitar tiga puluh persen.1 Artinya, hanya dalam waktu tiga dekade, Indonesia telah kehilangan dua dari setiap lima pekerja di sektor pangan. Penurunan drastis ini, ditambah dengan panjangnya rantai pasok yang merugikan petani, telah menciptakan masyarakat kota yang teralienasi, kurang peduli terhadap asal muasal makanan dan jerih payah para petani.1
Kacamata Kuda PWK: Kritik Terhadap Pendekatan Lama
Keterbatasan kritis dalam praktik PWK di Indonesia yang disoroti oleh kajian ini adalah sempitnya fokus pada isu pangan. Diskusi mengenai pangan dalam konteks tata ruang selama ini hampir secara eksklusif terbatas pada upaya pelestarian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009.1
Walaupun LP2B merupakan upaya vital untuk melindungi lahan produktif, para perencana menghadapi tantangan implementasi yang besar. Pelaksanaan di daerah seringkali kurang efektif karena adanya konflik antara kebutuhan pengembangan daerah—yang membutuhkan konversi lahan—dengan upaya mempertahankan lahan pertanian, diperparah oleh kurangnya koordinasi antar pemerintah daerah.1
Kritik yang lebih mendasar adalah bahwa fokus pada LP2B hanya menyentuh aspek ketersediaan lahan (produksi). Pendekatan ini mengabaikan dimensi kritis lain, seperti aksesibilitas, pemanfaatan, dan terutama pengelolaan limbah, padahal "permasalahan pangan itu kompleks dan memiliki dimensi fisik keruangan juga".1 Keterbatasan pembahasan irisan PWK dan pangan dalam konteks Indonesia (dibandingkan dengan literatur internasional) mengharuskan adanya terjemahan konsep global agar sesuai dengan karakter, kondisi, dan kebutuhan domestik.1
Resep Lima Dimensi: Membangun Sistem Pangan dari Ruang Kota
Perencanaan berwawasan pangan (FSP, Food Sensitive Planning) bertujuan memberikan dampak positif terhadap permasalahan ketahanan pangan melalui intervensi tata ruang. Kajian ini merangkum lima kelompok topik intervensi utama, yang harus diintegrasikan oleh para perencana untuk mencapai keberlanjutan kota.1
Dimensi 1: Ketersediaan – Menyelamatkan Lahan dan Mengaktifkan Pekarangan
Intervensi PWK dalam ketersediaan pangan harus melangkah melampaui regulasi LP2B menuju fasilitasi proaktif produksi pangan di dalam kota.
Transformasi Lahan Marginal melalui Pertanian Perkotaan
Solusi utama yang ditawarkan adalah akomodasi kegiatan Pertanian Perkotaan (Urban Agriculture—UA). UA dapat memanfaatkan lahan-lahan marginal di perkotaan, seperti lorong-lorong gang di permukiman, kolong jalan layang, teras, atap, dan dinding bangunan, mengubahnya menjadi ruang produktif.1 Meskipun UA sudah lama dikenal di Indonesia—termasuk melalui program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)—integrasi formalnya dalam rencana tata ruang masih minim.1
Peran perencana adalah mengidentifikasi lahan kosong yang potensial dan menjembatani komunitas petani kota dengan pemilik lahan (pemerintah atau swasta). Model ini, seperti yang sukses dilakukan gerakan 3000acres di Melbourne, Australia, menunjukkan bahwa pemetaan lahan kosong yang potensial dapat dilakukan melalui crowdsourcing dan kemudian diubah menjadi kebun pangan komunitas (community garden).1
Selain itu, perencanaan tata ruang lingkungan (RTBL) harus mengadopsi konsep productive landscape. Ini berarti tanaman yang bisa dikonsumsi (edible), seperti sayur, buah, dan herbal, harus menjadi elemen desain RTH dan bukan hanya tanaman dekoratif.1 Intervensi ini tidak hanya menambah ruang hijau, tetapi juga meningkatkan sense of place dan memperkuat modal sosial melalui pengelolaan komunal.1 Fasilitasi bank benih komunitas juga harus diintegrasikan untuk menjamin ketersediaan benih yang beragam dalam jangka panjang dan melestarikan varietas tanaman lokal.1
Dimensi 2: Aksesibilitas – Memutus Rantai Panjang dan Membasmi ‘Food Desert’
Aksesibilitas pangan sangat penting. Pengembangan pertanian di kawasan permukiman dapat mendekatkan penduduk dengan sumber pangan, menghemat waktu, dan memangkas biaya.1
Melawan Food Desert dan Ketidakadilan Spasial
Di negara maju, masalah food desert (daerah dengan akses rendah terhadap makanan segar dan sehat) telah menjadi masalah signifikan, yang menyebabkan ketergantungan pada makanan cepat saji dan memicu masalah kesehatan seperti obesitas.1 Meskipun tidak seekstrem di negara maju, fenomena ini mulai terasa di kota-kota besar di Indonesia. Fenomena ini merupakan manifestasi dari ketidakadilan spasial yang harus diatasi PWK.1
Perencana harus mengidentifikasi area-area permukiman yang memiliki aksesibilitas rendah terhadap sumber pangan sehat yang terjangkau. Intervensi tata ruang yang diperlukan meliputi:
Dimensi 3: Pemanfaatan – Gizi, Budaya, dan Legitimasi Kearifan Lokal
Dimensi pemanfaatan pangan terkait erat dengan keragaman pangan, status gizi, dan aspek kultural masyarakat.
Intervensi Gizi dan Stunting
PWK dapat berkontribusi dalam perbaikan gizi masyarakat melalui pemetaan spasial. Pemetaan daerah-daerah rawan stunting atau yang memiliki tingkat obesitas tinggi penting dilakukan untuk mengidentifikasi faktor keruangan yang berperan dan merumuskan intervensi yang relevan.1
Selain itu, desain kawasan harus mengakomodasi promosi pentingnya keanekaragaman pangan. Pemasangan papan-papan informasi di taman kota atau kebun komunitas mengenai manfaat dan nutrisi tanaman edible (seperti yang dilakukan di Melbourne, Australia) dapat mengedukasi masyarakat dan meningkatkan konsumsi sayur dan buah.1
Melegitimasi Food Foraging (Ramban)
Secara kultural, konsep food foraging (mencari makanan liar), yang baru-baru ini populer di Barat, memiliki padanan tradisional yang kuat di Indonesia, dikenal sebagai ramban di Jawa.1 Kegiatan mencari bahan makanan dari tanaman liar ini merupakan alternatif tradisional yang memperkuat kedaulatan pangan non-komersial. Perencana harus mengidentifikasi lokasi-lokasi ramban dan mengintegrasikannya dalam pengelolaan RTH perkotaan, tidak hanya untuk memperkaya sumber pangan, tetapi juga untuk melestarikan kearifan lokal.1
Dimensi 4: Pengelolaan Sampah Pangan – Siklus Ekonomi Sirkular
Sampah organik, terutama sampah dapur dan limbah pasar, harus diredefinisi dari masalah lingkungan menjadi sumber daya.
Merancang Jaringan Pengomposan Terpadu
PWK harus merencanakan jaringan pengelolaan sampah organik secara terpadu. Sampah harus dipilah dan dikomposkan, yang memberikan manfaat triple bottom line: meningkatkan ketersediaan pupuk organik (ekonomi), memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan (lingkungan), dan mendukung pertanian kota.1
Peran perencana mencakup pemetaan sumber sampah organik (permukiman, pasar, rumah makan), penentuan lokasi stasiun pengomposan komunal yang mudah diakses, dan penentuan jalur penyaluran kompos. Contohnya, model pengelolaan di South Melbourne Market yang mengolah limbah sayur dan buah menjadi kompos dengan bantuan cacing (worm composting), menunjukkan bahwa inovasi ini baik secara lingkungan maupun ekonomi.1
Selain itu, PWK perlu menyediakan alokasi ruang yang tepat untuk pemanfaatan limbah pangan, seperti peternakan maggot dan integrasi sistem aquaponics (mengombinasikan perikanan dan hidroponik), yang sesuai untuk lingkungan perkotaan.1
Dimensi 5: Lintas Dimensi – Sinergi Desa-Kota dan Teknologi Cerdas
Kelompok kelima ini mencakup isu-isu yang mengintegrasikan semua dimensi sistem pangan.
Keterkaitan Desa-Kota (Rural-Urban Linkages)
Perencanaan sistem pangan harus menjamin keterkaitan desa-kota secara adil. Fokus harus ditempatkan pada bagaimana petani desa dapat memanfaatkan pasar kota, dan bagaimana kota dapat memperoleh pasokan stabil tanpa merusak lingkungan perdesaan. Isu ini juga menyangkut aspek keadilan, kedaulatan, dan kesetaraan pangan (food equity, sovereignty, and justice) di seluruh wilayah.1
Urban Food Governance dan Smart Food City
Pengelolaan pangan perkotaan (urban food governance) membutuhkan kerangka kebijakan yang terpadu. Meskipun beberapa daerah, seperti DKI Jakarta, telah memiliki Desain Besar Pertanian Perkotaan, koordinasi ini perlu diperkuat agar intervensi PWK tidak berjalan sendiri-sendiri.1
Akhirnya, integrasi teknologi cerdas (smart technology) sangat diperlukan. Konsep Smart Food City menuntut perencana untuk menggabungkan perencanaan kota cerdas dengan inovasi sistem pangan. Teknologi dapat digunakan untuk mendukung produksi (misalnya, smart dairy farming), mengoptimalkan rantai pasok, dan memfasilitasi pemasaran digital. Dalam konteks modern, infrastruktur digital kini menjadi lapisan penting dari perencanaan tata ruang untuk menjamin efisiensi dan keadilan pangan di masa depan.
Kritik Realistis dan Jalan ke Depan: Menanggalkan Kacamata Kuda PWK
Kajian ini, meskipun menyajikan kerangka konseptual yang kuat, menghadapi keterbatasan realistis, yaitu penerjemahan konsep global ke konteks domestik. Keterbatasan studi ini adalah bahwa kerangka yang disajikan bersifat sintesis dari literatur internasional dan perlu disesuaikan dengan kondisi lokal yang unik.1
Opini dan Kritik Realistis: Keterbatasan utama dalam praktik PWK di Indonesia adalah kecenderungan untuk terlalu fokus pada aspek legalistik lahan (LP2B). Padahal, masalah pangan jauh melampaui produksi di desa; masalahnya kini berada pada distribusi, konsumsi, dan pengelolaan limbah di perkotaan.1 Implementasi yang efektif dari perencanaan berwawasan pangan ini sangat bergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berbeda-beda di setiap daerah. Oleh karena itu, kreativitas dan inovasi para perencana di daerah sangat diperlukan untuk menerjemahkan kerangka lima dimensi ini agar sesuai dengan karakteristik dan isu strategis domestik.1
Perencanaan tata ruang harus kembali pada tujuan intinya: meningkatkan daya hidup dan kesejahteraan. Pangan harus dianggap sebagai infrastruktur keberlanjutan. Sudah saatnya PWK Indonesia bergerak dari sekadar kontrol regulasi lahan menjadi fasilitator proaktif yang membangun ketahanan pangan melalui intervensi spasial yang cerdas.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika konsep perencanaan tata ruang berwawasan pangan ini diterapkan secara komprehensif—melibatkan legalisasi lahan pertanian perkotaan, perancangan pasar tani, hingga pengembangan jaringan daur ulang limbah—Indonesia dapat membangun kota yang jauh lebih tangguh terhadap gejolak ekonomi dan lingkungan.
Implementasi yang terstruktur dan terpadu dari konsep ini berpotensi mengurangi biaya pengelolaan limbah organik perkotaan hingga 15% dan secara signifikan meningkatkan pendapatan petani lokal melalui efisiensi rantai pasok yang lebih pendek, dalam waktu lima tahun ke depan. Dampak jangka panjangnya adalah kota yang tidak hanya mandiri dalam memenuhi sebagian kebutuhan pangan segar warganya, tetapi juga memiliki kualitas lingkungan yang lebih baik dan masyarakat yang lebih berkesadaran terhadap sistem pangan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Pandangwati, S. T. (2022). Perencanaan Tata Ruang Berwawasan Pangan: Sebuah Resep untuk Kota Berkelanjutan. Reka Ruang, 5(2), 100–116.
Sensor Banjir
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 03 Oktober 2025
Sensor Tinggi Air Sungai: Inovasi Lokal untuk Peringatan Dini Banjir yang Efektif
Membangun Sistem Peringatan Murah, Cepat, dan Andal dari Komunitas untuk Komunitas
Banjir telah lama menjadi mimpi buruk tahunan di banyak negara tropis, termasuk Filipina. Tak hanya memporak-porandakan rumah dan infrastruktur, tapi juga merenggut ribuan nyawa setiap dekade. Di tengah keterbatasan teknologi mahal dan akses sistem peringatan dini berbasis radar atau satelit, sekelompok peneliti dari Cebu Normal University menggagas sesuatu yang sederhana, murah, dan tepat guna: sistem sensor tinggi air sungai berbasis konduktivitas udara.
Penelitian ini bukan hanya contoh sains terapan berbasis komunitas, tetapi juga bukti bahwa teknologi tidak harus rumit untuk menyelamatkan nyawa. Artikel ini mengupas secara kritis ide, metode, hasil, dan potensi dari penelitian tersebut dengan membandingkannya dengan pendekatan global serta kebutuhan nyata di lapangan.
Latar Belakang: Krisis Banjir dan Kekosongan Sistem Peringatan
Filipina, seperti Indonesia, berada di jalur topan dan memiliki ratusan DAS (daerah aliran sungai) aktif. Data tahun 1990–2014 menunjukkan bahwa hampir 32% bencana alam di negara ini disebabkan oleh banjir, dengan tingkat kematian sebesar 5,9%. Meskipun ada badan seperti PAGASA yang menyediakan informasi cuaca dan peta bahaya, masih banyak wilayah yang tidak memiliki sistem real-time untuk memperingatkan warga sebelum air sungai meluap.
Sebagian besar pendekatan masih bersifat struktural, seperti bendungan atau drainase. Namun, seperti saran Bank Dunia, solusi informasi teknologi berbasis non-struktural justru lebih fleksibel dan murah untuk diterapkan di daerah padat penduduk.
Ide Dasar: Sensor Air Sungai Berbasis Konduktivitas
Konsep alat yang dikembangkan peneliti cukup sederhana namun cerdas: air sungai mengandung ion-ion yang membuatnya lebih konduktif dibandingkan air bersih (air keran). Saat udara menyentuh kabel terbuka pada alat, arus listrik mengalir dan membunyikan alarm dengan tingkat kekuatan yang berbeda sesuai ketinggian udara.
Tiga tingkat peringatan disusun berdasarkan tinggi udara terhadap permukaan sungai:
Setiap level mengaktifkan buzzer berbeda yang membunyikan suara dengan volume meningkat. Sistem ini tidak bergantung pada internet atau daya listrik permanen, cukup baterai dan komponen dasar kelistrikan.
Eksperimen: Mungkinkah Efektif Alat Ini?
Peneliti menguji alat di miniatur lingkungan yang meniru komunitas nyata dan mengisi aliran air dari tiga sungai utama di Cebu: Butuanon, Cubacub, dan Cansaga. Air keran digunakan sebagai pembanding (kontrol).
Beberapa parameter utama yang diuji:
Hasil Menarik:
Hasil statistik menunjukkan bahwa alat bekerja lebih baik di air sungai karena ion dan konduktivitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan air bersih biasa.
Nilai Tambah: Inovasi Murah dengan Potensi Luas
Keunggulan:
Tantangan:
Studi Banding: Apakah Konsep Serupa Pernah Diterapkan?
Di negara-negara maju, sistem peringatan banjir perlu mengandalkan radar hujan, satelit, dan sensor otomatis berbasis IoT. Contohnya:
Namun, semua itu relatif mahal dan membutuhkan jaringan. Alat yang dikembangkan dari tim Cebu memiliki keunggulan: sistem lokal, offline, murah, dan langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar.
Dampak Sosial dan Potensi Replikasi
Dengan alat ini, masyarakat tak lagi hanya menjadi korban pasif. Mereka bisa membangun, menginstal, dan merespons peringatan dari lingkungan mereka sendiri.
Lebih dari itu, alat ini bisa menjadi sarana edukasi STEM (Science, Technology, Engineering, and Math) bagi pelajar dan komunitas. Penelitian ini bahkan menyarankan agar alat seperti ini dimasukkan ke dalam program bencana pelatihan atau kurikulum sains sekolah.
Rekomendasi untuk Implementasi Nyata
Kesimpulan: Teknologi Rendah, Dampak Tinggi
Penelitian ini menunjukkan bahwa inovasi tidak selalu datang dari laboratorium mahal atau institusi besar. Kadang-kadang, solusi yang paling berdampak justru lahir dari eksploitasi lokal dan kreativitas komunitas. Alat deteksi banjir berbasis sensor air sungai ini layak mendapat perhatian lebih besar karena menawarkan:
Jika dikembangkan lebih lanjut, bukan tidak mungkin alat ini menjadi standar baru peringatan banjir di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Referensi (Gaya APA)
Callanga, C., Alegrado, CA, Hurano, K., Tenio, GS, Velarde, P., & Galon, CMV (2020). Sensor ketinggian air sungai sebagai sistem peringatan banjir sungai. Jurnal Internasional Ilmu Fisika, 15 (4), 138–150.