Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Studi oleh Baral & Koirala (2022) menyoroti bahwa proyek jalan di Pokhara, Nepal, masih jauh dari standar keselamatan kerja International Labour Organization (ILO). Meskipun sektor konstruksi menjadi pendorong utama ekonomi, hasil survei menunjukkan bahwa pekerja dan pengawas di lapangan belum sepenuhnya menerapkan praktik keselamatan yang memadai.
Temuan ini penting karena mencerminkan tantangan global yang dihadapi negara berkembang dalam menegakkan Occupational Safety and Health (OSH) di proyek infrastruktur publik. Kebijakan yang lemah, minimnya pelatihan, serta rendahnya kesadaran pekerja menjadi faktor utama yang menghambat penerapan keselamatan kerja secara efektif.
Masalah serupa juga terjadi di banyak negara Asia, termasuk Indonesia, di mana pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih belum sepenuhnya menjadi budaya organisasi. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel “K3 di Sektor Konstruksi: Panduan Lengkap untuk Mencegah Kecelakaan Kerja Berdasarkan Standar ILO”, keselamatan kerja seharusnya tidak hanya dipandang sebagai kewajiban hukum, tetapi juga investasi jangka panjang dalam efisiensi proyek dan kesejahteraan tenaga kerja.
Selain itu, kursus seperti “Pelatihan K3 dan Manajemen Risiko Konstruksi” di Diklatkerja menekankan pentingnya mengintegrasikan manajemen risiko ke dalam seluruh fase proyek — mulai dari desain hingga pemeliharaan. Dengan demikian, perlindungan pekerja bukan hanya tanggung jawab perusahaan, tetapi juga bagian integral dari pembangunan ekonomi berkelanjutan yang berorientasi manusia.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Temuan penelitian memperlihatkan bahwa tingkat kepuasan pekerja terhadap penerapan K3 masih rendah, dengan nilai rata-rata hanya 2,78 dari 5 untuk aspek keselamatan di tempat kerja. Beberapa komponen penting seperti perawatan scaffolding, penyediaan alat pelindung diri (APD), serta layanan kesehatan dan pertolongan pertama bahkan memiliki skor lebih buruk.
Hambatan utama yang ditemukan:
-
Ketiadaan standar operasional (SOP) yang konsisten dengan kode praktik ILO.
-
Kurangnya pelatihan rutin, termasuk minimnya toolbox meeting dan sosialisasi keselamatan di lokasi proyek.
-
Fokus proyek yang berorientasi waktu dan biaya, bukan pada kesejahteraan serta keselamatan tenaga kerja.
Namun, hasil riset ini juga menunjukkan peluang besar untuk perbaikan kebijakan. Pemerintah dan industri dapat memperkuat implementasi melalui sistem manajemen keselamatan terpadu, training of trainers untuk pengawas lapangan, dan integrasi aspek K3 sejak tahap perencanaan tender proyek.
Pendekatan ini sejalan dengan praktik yang dibahas dalam “Pengantar dan Praktik Audit Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK)”, di mana pelaksanaan audit berkala dapat membantu mengidentifikasi celah keselamatan serta mengukur efektivitas penerapan regulasi di lapangan.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
-
Mewajibkan Audit K3 Independen di Proyek Publik
Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa setiap proyek jalan menjalani audit keselamatan tahunan untuk menilai kepatuhan terhadap standar ILO. Audit ini dapat mengacu pada panduan dari “Rencana Biaya Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK)” agar anggaran keselamatan tidak terabaikan. -
Membentuk Unit Kesehatan dan Keselamatan di Setiap Instansi Proyek
Setiap cabang pemerintahan atau badan proyek harus memiliki divisi khusus yang bertanggung jawab atas pelatihan, konsultasi, dan inspeksi K3 secara berkala. -
Integrasi K3 dalam Tahap Perencanaan Proyek
Aspek keselamatan wajib dimasukkan dalam dokumen tender, lengkap dengan anggaran pelatihan dan penyediaan APD. Langkah ini membantu memastikan bahwa keselamatan menjadi indikator performa utama proyek. -
Pelatihan dan Sertifikasi Wajib untuk Pengawas dan Kontraktor
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan reguler dapat meningkatkan skor keselamatan rata-rata menjadi 3,62. -
Pemberian Insentif Kinerja Keselamatan
Pemerintah dapat mengadopsi sistem penghargaan berbasis pencapaian nol kecelakaan (zero accident), mirip Safety Award Program di beberapa negara Asia. Insentif ini tidak hanya meningkatkan motivasi pekerja, tetapi juga memperkuat reputasi kontraktor dalam proyek publik.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan keselamatan kerja sering gagal karena terlalu menekankan compliance (kepatuhan administratif) ketimbang commitment (komitmen moral dan budaya kerja). Jika tidak dibarengi perubahan budaya organisasi dan keteladanan pimpinan proyek, maka aturan hanya menjadi formalitas.
Selain itu, kurangnya transparansi data kecelakaan dan lemahnya pengawasan independen dapat mengakibatkan kebijakan kehilangan arah. Tanpa basis data digital dan riset yang diperbarui secara berkala, efektivitas program K3 sulit diukur secara objektif.
Penutup
Keselamatan kerja di proyek jalan bukan sekadar urusan teknis, tetapi juga refleksi dari komitmen pembangunan manusia yang berkelanjutan. Studi Baral dan Koirala menegaskan bahwa memperkuat sistem keselamatan berarti memperkuat keberlanjutan pembangunan nasional.
Pemerintah, kontraktor, dan lembaga pendidikan harus bekerja sama membangun budaya keselamatan berbasis pendidikan (education-based safety culture) agar setiap pekerja tidak hanya patuh pada aturan, tetapi juga sadar bahwa keselamatan adalah hak dan tanggung jawab bersama.
Sumber
Baral, P., & Koirala, M. P. (2022). Assessment of Safety and Health Practices in Road Construction. Open Journal of Safety Science and Technology, 12, 85–95. https://doi.org/10.4236/ojsst.2022.124008