Manajemen Pemasaran
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Ketika Marketing Bertemu Matematika
Dunia pemasaran telah mengalami transformasi besar. Dulu dipandang sebagai disiplin “lunak” yang mengandalkan intuisi dan kreativitas, kini marketing bergerak ke arah berbasis data dan analitik. Namun, pertanyaan penting muncul: bagaimana data mentah pelanggan bisa diubah menjadi wawasan bisnis yang nyata?
Tesis Esa-Matti Korpioja hadir menjawab tantangan ini dengan membawa pendekatan tak lazim dalam dunia pemasaran: simulasi Monte Carlo. Sebuah metode statistik yang selama ini populer di dunia fisika nuklir dan keuangan, kini digunakan untuk menilai nilai pelanggan dan memprediksi penjualan dengan pendekatan yang dapat langsung digunakan oleh manajer pemasaran non-teknis.
Konsep Utama: Dari CRM Menuju Prediksi Bisnis
CRM sebagai Sumber Wawasan
Customer Relationship Management (CRM) menjadi jantung dari sistem intelijen pemasaran modern. Ia tidak hanya menyimpan data pelanggan, tapi juga memungkinkan analisis perilaku, segmentasi, hingga prediksi masa depan.
Korpioja menunjukkan bahwa CRM bukanlah sekadar sistem penyimpanan data, tetapi dapat dimanfaatkan untuk membangun model prediksi. Di sinilah Monte Carlo Simulation (MCS) masuk—mengubah keragaman data pelanggan menjadi simulasi berbasis probabilitas.
Metode: Menerjemahkan Ketidakpastian Menjadi Keputusan
Apa itu Monte Carlo Simulation?
MCS adalah teknik simulasi yang melakukan ribuan hingga jutaan perulangan untuk menghasilkan gambaran probabilistik dari suatu skenario. Misalnya, dalam konteks pemasaran, MCS dapat digunakan untuk memodelkan bagaimana perilaku pembelian pelanggan berkembang dari waktu ke waktu atau memprediksi fluktuasi penjualan.
Korpioja merancang dua model:
Studi Kasus 1: Simulasi Nilai Kehidupan Pelanggan (CLV)
Data yang Digunakan
Model CLV Korpioja menggunakan dataset CDNOW, yang sudah banyak digunakan dalam studi loyalitas pelanggan. Dataset ini mencerminkan perilaku pembelian nyata pelanggan selama beberapa periode.
Homogen vs Heterogen
Salah satu eksperimen penting dalam model ini adalah membandingkan dua pendekatan:
Temuan menarik dari model ini adalah bahwa pendekatan homogen memberikan hasil yang lebih akurat untuk proyeksi nilai pelanggan secara agregat. Ini agak mengejutkan, mengingat asumsi heterogen dianggap lebih realistis. Namun, dalam konteks operasional, model yang lebih sederhana justru memberi hasil prediktif yang lebih stabil.
Studi Kasus 2: Prediksi Penjualan Berdasarkan Data CRM Nyata
Model Belajar Penjualan (Sales Learning Model)
Dalam model kedua, data historis penjualan dari organisasi menengah digunakan untuk mensimulasikan prediksi satu tahun ke depan. Korpioja menambahkan variabel penting yang sering diabaikan: learning effect—yakni peningkatan kinerja penjual seiring waktu.
Dengan menggunakan regresi linier sederhana dan pengukuran akurasi seperti MAPE dan RMSE, hasil simulasi menunjukkan akurasi tinggi. Artinya, model mampu menangkap dinamika penjualan secara realistis.
Analisis Nilai Tambah: Apa yang Membuat Tesis Ini Unik
Kritik Konstruktif & Perbandingan
Kelebihan
Kekurangan
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Studi ini selaras dengan temuan Liu et al. (2014) yang menggunakan MCS untuk mengalokasikan bujet iklan lintas media. Namun, Korpioja melangkah lebih jauh dengan pendekatan praktis berbasis CRM dan Excel—menjembatani dunia akademis dan praktisi secara langsung.
Implikasi Industri: Mengubah Cara Kita Mengambil Keputusan Marketing
Dalam dunia yang serba data, pemahaman statistik menjadi aset penting. Namun, tidak semua pemasar memiliki latar belakang analitik. Di sinilah nilai tambah dari pendekatan Korpioja:
Tren Masa Depan: Menuju Demokratisasi Analitik Pemasaran
Tesis ini merepresentasikan pergeseran penting dalam dunia bisnis:
Kesimpulan: Dari Data Mentah ke Keputusan Cerdas
Korpioja berhasil mengubah metode statistik yang kompleks menjadi alat pengambilan keputusan yang mudah dipahami dan diterapkan oleh pelaku bisnis. Dengan hanya menggunakan Excel dan dataset CRM, ia membuktikan bahwa simulasi Monte Carlo dapat menjadi jembatan antara kompleksitas data dan kebutuhan praktis pemasaran.
Pesan penting dari studi ini adalah bahwa masa depan pengambilan keputusan pemasaran bukan hanya soal mengumpulkan data, tetapi bagaimana kita mensimulasikan skenario, memahami risiko, dan memprediksi peluang secara cerdas dan terukur.
Sumber
Korpioja, Esa-Matti. From Data to Insight: Monte Carlo Simulation as a Marketing Intelligence Tool. Master’s Thesis, Aalto University School of Business, 2022.
Tersedia di: https://aaltodoc.aalto.fi/handle/123456789/11444
Transparansi Pemerintahan
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Transparansi sebagai Pilar Pemerintahan Modern
Di era digital dan demokrasi partisipatif, keterbukaan informasi publik menjadi indikator utama dari tata kelola pemerintahan yang baik. Pemerintah Kabupaten Buleleng menyadari hal ini dan menyusun berbagai upaya strategis untuk mewujudkan transparansi melalui mekanisme informasi publik berkala. Paper yang dimuat dalam Jurnal Kelitbangan Kabupaten Buleleng, Saraswati Volume 1 ini memberikan landasan konseptual dan implementatif tentang bagaimana informasi publik dikelola, disusun, serta dipublikasikan secara berkelanjutan untuk mendorong akuntabilitas pemerintah daerah.
Konsep Dasar Informasi Publik Berkala (H2)
Definisi dan Aspek Regulasi (H3)
Informasi publik berkala didefinisikan sebagai informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara rutin tanpa harus diminta oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan:
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010.
Kategori informasi publik berkala meliputi:
Profil organisasi.
Program dan kegiatan pemerintah.
Laporan keuangan dan perencanaan.
Hasil evaluasi kinerja instansi.
Tujuan Strategis (H3)
Tujuan utama penyusunan informasi berkala ini adalah:
Meningkatkan kepercayaan publik terhadap instansi pemerintah.
Mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Mengurangi potensi korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Mekanisme Penyusunan dan Penyediaan Informasi (H2)
Tahapan dan Alur Proses (H3)
Pemerintah Kabupaten Buleleng menerapkan sistem penyusunan informasi publik melalui alur berikut:
Identifikasi Informasi: Menentukan informasi apa yang wajib diumumkan.
Verifikasi dan Validasi: Dilakukan oleh PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi).
Publikasi dan Distribusi: Melalui website resmi, papan pengumuman, dan media cetak/elektronik.
Peran PPID dan SOP Terkait (H3)
PPID utama dan pembantu menjadi tulang punggung pelaksanaan keterbukaan ini. Dalam praktiknya, mereka dibekali dengan:
Standar Operasional Prosedur (SOP) penyusunan informasi.
Bimbingan teknis dan pelatihan keterbukaan informasi.
Panduan integrasi sistem informasi berbasis digital.
Inovasi Digital dan Efektivitas Implementasi (H2)
Portal Informasi Daerah (H3)
Kabupaten Buleleng telah mengembangkan portal layanan informasi publik yang memungkinkan warga:
Mengakses dokumen perencanaan, laporan realisasi anggaran, dan laporan keuangan secara langsung.
Mengajukan permohonan informasi tambahan melalui formulir digital.
Evaluasi Efektivitas (H3)
Melalui survei dan monitoring internal, hasil menunjukkan:
Peningkatan akses masyarakat terhadap dokumen publik sebesar 38% sejak 2021.
Penurunan jumlah sengketa informasi melalui Komisi Informasi Daerah.
Tantangan Pelaksanaan dan Solusi Strategis (H2)
Tantangan:
Kurangnya SDM terlatih di desa dan OPD.
Rendahnya literasi digital masyarakat di wilayah pedesaan.
Ketidakterpaduan antar sistem data lintas instansi.
Solusi yang Didorong:
Digitalisasi berbasis mobile dan aplikasi sederhana.
Integrasi sistem informasi antar-OPD.
Kolaborasi dengan lembaga pendidikan untuk edukasi publik.
Perbandingan dengan Daerah Lain (H2)
Studi Banding dengan Kabupaten Badung dan Gianyar (H3)
Buleleng dinilai progresif dibanding kabupaten lain karena:
Memiliki PPID yang aktif dan terdokumentasi dengan baik.
Menerapkan SOP yang dipatuhi secara konsisten.
Menyediakan data yang lebih mudah dipahami masyarakat awam.
Namun, ada ruang perbaikan dalam:
Penyajian informasi dalam format grafis.
Interaktivitas platform online.
Kesimpulan: Menuju Tata Kelola yang Terbuka dan Partisipatif (H2)
Upaya Pemerintah Kabupaten Buleleng dalam menyusun informasi publik berkala mencerminkan keseriusan dalam mewujudkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Meski menghadapi berbagai tantangan, langkah-langkah yang diambil—baik melalui regulasi, pelatihan SDM, maupun inovasi digital—menjadi model yang patut dicontoh oleh daerah lain. Keterbukaan informasi publik bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi merupakan fondasi demokrasi partisipatif yang sehat.
Sumber
Pemerintah Kabupaten Buleleng. (2023). Informasi Publik Berkala. Jurnal Kelitbangan Saraswati Vol. 1. [https://bulelengkab.go.id/saraswati-v1]
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025
Dalam dunia pembangunan infrastruktur publik, istilah “manajemen risiko” telah menjelma menjadi mantra modern yang dipercaya dapat menekan biaya, mengendalikan waktu, dan menjamin kesuksesan proyek. Namun, seiring masifnya penggunaan praktik ini di proyek-proyek skala besar (mega-projects), muncul pertanyaan fundamental: apakah manajemen risiko benar-benar berfungsi sebagaimana yang dijanjikan? Tim Neerup Themsen, melalui disertasinya di Copenhagen Business School, menghadirkan jawaban mendalam dan kritis terhadap pertanyaan tersebut. Studi yang berjudul Risk Management in Large Danish Public Capital Investment Programmes ini merupakan hasil observasi dan penelitian selama lebih dari tiga tahun terhadap dua proyek mega di sektor publik Denmark—Signalling Programme dan Hospital Programme.
Manajemen Risiko: Antara Idealisme dan Realitas Praktis
Themsen memulai dengan menyoroti pertumbuhan eksponensial penggunaan manajemen risiko dalam sektor publik, khususnya dalam proyek infrastruktur bernilai miliaran dolar. Pemerintah Denmark, seperti banyak negara lain, mengadopsi praktik ini dengan keyakinan bahwa pendekatan sistematis terhadap risiko akan mencegah terulangnya skandal biaya seperti pada pembangunan gedung radio nasional. Salah satu proyek paling ambisius dalam konteks ini adalah Signalling Programme, sebuah proyek modernisasi sistem sinyal perkeretaapian senilai DKK 23,7 miliar (sekitar €3,2 miliar) yang dijadikan proyek percontohan oleh pemerintah.
Namun, alih-alih menunjukkan keberhasilan mutlak dari implementasi manajemen risiko, Themsen justru menemukan bahwa hanya jenis-jenis ketidakpastian tertentu yang diakui sebagai "risiko". Dalam istilahnya, ia membedakan antara pure risks—risiko-risiko yang sesuai dengan model perhitungan teknis dan dapat didaftarkan dalam sistem—dan impure risks, yaitu risiko-risiko sosial, politik, atau strategis yang secara sistematis dikesampingkan meskipun dianggap relevan oleh pelaku proyek.
Kasus Signalling Programme: Saat Risiko Menjadi Konsepsi Politis
Signalling Programme tidak hanya menjadi arena implementasi teknologi sinyal baru berbasis European Rail Traffic Management System (ERTMS), melainkan juga eksperimen besar terhadap sistem manajemen risiko publik. Melalui analisis mendalam terhadap dokumen, wawancara semi-struktural dengan berbagai aktor seperti manajer proyek, konsultan eksternal, serta pengamatannya dalam lebih dari 50 pertemuan risiko, Themsen mengungkap bagaimana model risiko yang digunakan menghasilkan apa yang disebutnya sebagai “realitas risiko buatan”.
Misalnya, pada fase awal proyek, ditemukan bahwa perangkat manajemen risiko seperti risk matrices dan traffic light systems (yang digunakan untuk menunjukkan status risiko—merah, kuning, hijau) lebih menekankan pada aspek teknis seperti keterlambatan pengadaan perangkat lunak. Sementara itu, potensi resistensi organisasi, tekanan politik, atau pengaruh pergantian kebijakan pemerintahan tidak dimasukkan dalam sistem karena dianggap terlalu subjektif atau sulit diukur.
Akibatnya, proyek justru menciptakan blind spots terhadap sumber risiko utama yang sangat mungkin berdampak pada kelangsungan proyek. Dalam satu contoh penting, adanya konflik antara persyaratan teknis dari vendor internasional dan regulasi perkeretaapian nasional menghasilkan keterlambatan signifikan yang sebenarnya telah diidentifikasi secara informal, namun tidak dicatat sebagai risiko resmi karena tidak sesuai dengan kategori yang sudah ditetapkan dalam kerangka kerja.
Hospital Programme: Ketika Ketidakpastian Meledak di Luar Sistem
Jika Signalling Programme memberikan gambaran bagaimana sistem risiko “menciptakan” realitasnya sendiri, Hospital Programme menunjukkan sisi lain dari dilema ini: munculnya ketidakpastian baru yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka manajemen risiko konvensional.
Hospital Programme, yang mencakup pembangunan dan renovasi 16 rumah sakit besar dengan anggaran DKK 41,4 miliar, memperlihatkan bagaimana proyek yang sangat kompleks justru menjadi medan lahirnya “ketidakpastian baru” (emerging uncertainties). Dalam proses pelaksanaannya, berbagai isu seperti perubahan peraturan tata ruang, kekurangan tenaga kerja spesialis, hingga inflasi biaya material akibat krisis global, tidak dapat dengan cepat diterjemahkan menjadi risiko kuantitatif. Akibatnya, risiko-risiko tersebut “meluap” dari sistem—fenomena yang disebut Themsen sebagai risk overflowing.
Lebih parah lagi, manajer proyek seringkali harus memilih antara mempertahankan angka risiko yang “terlihat baik” di dashboard kementerian atau melaporkan masalah sebenarnya yang justru akan menunjukkan kegagalan sistem. Ini memperlihatkan bahwa sistem manajemen risiko juga memiliki efek performatif—ia menciptakan tekanan agar proyek terlihat seolah terkendali, meskipun kenyataannya sebaliknya.
Membongkar Ilusi Objektivitas dan Netralitas
Salah satu kontribusi utama disertasi ini adalah pembongkaran mitos bahwa manajemen risiko adalah praktik netral dan obyektif. Melalui pendekatan actor-network theory (ANT), Themsen menunjukkan bahwa risiko bukanlah entitas yang “ada di luar sana” dan tinggal diidentifikasi, melainkan dikonstruksi melalui interaksi antara aktor manusia dan non-manusia (seperti software, model kuantitatif, template laporan, dan dokumen regulasi).
Dengan kata lain, keputusan tentang apa yang dianggap sebagai risiko—dan bagaimana seharusnya dikelola—sangat tergantung pada relasi kekuasaan, tujuan politik, serta keterbatasan teknologi yang digunakan. Sistem tersebut tidak hanya mendefinisikan risiko, tetapi juga menentukan siapa yang berwenang untuk mendefinisikannya dan bagaimana risiko itu akan berdampak pada keputusan-keputusan besar.
Kritik dan Implikasi: Saat Sistem Mengabaikan Realitas Lapangan
Resensi ini tidak lengkap tanpa menyinggung implikasi kebijakan dan manajerial dari temuan Themsen. Pertama, penerapan sistem manajemen risiko yang terlalu kaku dapat menjadi kontra-produktif. Alih-alih membantu pengambilan keputusan, sistem ini bisa mendorong organisasi untuk memanipulasi data demi menciptakan ilusi kontrol.
Kedua, Themsen secara halus mengkritik penggunaan model seperti reference class forecasting ala Flyvbjerg, yang hanya melihat data historis sebagai referensi untuk memproyeksikan biaya dan waktu. Dalam kenyataannya, banyak aspek proyek bersifat non-repetitif dan sangat kontekstual. Dengan kata lain, pendekatan statistik tidak cukup untuk menangkap kompleksitas sosial-politik dari proyek infrastruktur publik.
Ketiga, temuan dari proyek ini menunjukkan perlunya redefinisi terhadap praktik manajemen risiko. Sistem tidak bisa hanya berorientasi pada angka dan matriks; ia harus adaptif terhadap dinamika sosial dan politik yang berubah-ubah. Selain itu, pemerintah dan pemangku kebijakan perlu memahami bahwa risiko tidak akan hilang dengan membuat sistem pelaporan lebih rumit; justru pendekatan fleksibel dan partisipatif lebih diperlukan.
Kesimpulan: Dari Keyakinan ke Kewaspadaan
Themsen berhasil membalik narasi dominan tentang manajemen risiko. Ia menunjukkan bahwa praktik ini bukanlah jaminan sukses proyek, melainkan sistem yang bisa menciptakan efek samping berupa penyempitan fokus dan pengabaian terhadap ketidakpastian penting. Resensinya menjadi alarm bagi pemerintah dan pengelola proyek di seluruh dunia: jangan terbuai dengan dashboard berwarna hijau jika kenyataan di lapangan berkata lain.
Studi ini sangat relevan dalam konteks global saat ini, di mana banyak negara sedang membangun infrastruktur dalam skala besar untuk mendorong pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Kajian ini menyarankan bahwa ketimbang mengejar sistem risiko yang sempurna, lebih penting membangun sistem manajemen yang reflektif, terbuka terhadap perubahan, dan peka terhadap dinamika sosial-politik yang tak bisa dikuantifikasi.
Sumber Asli Artikel
Neerup Themsen, Tim. Risk Management in Large Danish Public Capital Investment Programmes. PhD Series 41.2014, Copenhagen Business School.
Simulasi
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Ketika Evaluasi Keandalan Menjadi Tantangan Ekonomi dan Waktu
Di era teknologi tinggi saat ini, perangkat seperti GNSS (Global Navigation Satellite System) receiver digunakan secara luas di berbagai sektor—dari navigasi kendaraan hingga sistem pertahanan. Namun, memastikan keandalan perangkat semacam itu bukanlah hal mudah. Metode pengujian konvensional seperti uji umur atau burn-in test seringkali memerlukan biaya besar dan waktu yang panjang.
Menjawab persoalan ini, sebuah studi oleh Ningbo Liu dan tim dari Space Star Technology Co., Ltd., China, memperkenalkan pendekatan alternatif berbasis simulasi numerik. Dalam artikel ilmiah mereka yang diterbitkan di Journal of Physics: Conference Series (2021), mereka menunjukkan bagaimana metode Monte Carlo dapat digunakan untuk mengevaluasi keandalan GNSS receiver dengan cara yang hemat biaya namun tetap akurat.
Apa Itu Simulasi Monte Carlo dalam Konteks Keandalan Sistem Elektronik?
Metode Monte Carlo merupakan teknik statistik berbasis pengambilan sampel acak yang digunakan untuk memperkirakan kemungkinan keluaran dari suatu sistem kompleks. Ketika diterapkan pada keandalan sistem elektronik, pendekatan ini mensimulasikan kegagalan komponen secara berulang berdasarkan distribusi probabilitasnya. Dari hasil simulasi tersebut, diperoleh estimasi probabilistik tentang seberapa andal sistem secara keseluruhan selama masa operasionalnya.
Karakteristik utama metode ini adalah kesesuaiannya dengan sifat stokastik sistem elektronik, di mana setiap komponen memiliki peluang berbeda untuk gagal dalam suatu rentang waktu tertentu.
Mengapa GNSS Receiver Jadi Studi Kasus yang Ideal?
GNSS receiver merupakan sistem elektronik yang terdiri dari berbagai unit—seperti pemroses sinyal, antena, catu daya, dan sirkuit kontrol. Setiap unit tersebut memiliki fungsi vital dan kemungkinan kegagalan masing-masing. Karena receiver harus bekerja terus-menerus dalam berbagai kondisi lingkungan, tingkat keandalannya harus sangat tinggi.
Dalam studi ini, sistem GNSS receiver terdiri dari 13 unit utama yang dikombinasikan dalam konfigurasi seri dan paralel. Setiap unit memiliki laju kegagalan yang berbeda. Misalnya, beberapa unit memiliki risiko kegagalan sangat rendah, sementara unit lain seperti modul penguat daya memiliki laju kegagalan yang jauh lebih tinggi. Seluruh sistem dirancang untuk beroperasi selama delapan tahun.
Langkah-Langkah Simulasi: Dari Pemodelan hingga Perhitungan Keandalan
1. Membangun Model Sistem
Pertama, para peneliti menyusun model blok keandalan (reliability block diagram) dari receiver. Diagram ini menggambarkan bagaimana unit-unit saling terhubung dan berkontribusi terhadap kelangsungan operasi sistem.
2. Distribusi Waktu Kegagalan
Asumsi dasar dalam simulasi ini adalah bahwa umur pakai komponen mengikuti distribusi eksponensial—di mana kemungkinan kegagalan meningkat seiring waktu. Dengan pendekatan ini, waktu kegagalan setiap unit dihasilkan secara acak berdasarkan distribusi tersebut.
3. Sampling Langsung (Direct Sampling)
Metode sampling digunakan untuk menghasilkan ribuan skenario simulasi. Dalam setiap siklus simulasi, sistem diperiksa apakah masih berfungsi berdasarkan status acak masing-masing unit.
4. Penghitungan Keandalan
Hasil simulasi dikumpulkan dan dihitung berapa banyak skenario di mana sistem masih berfungsi hingga akhir masa pakai yang direncanakan (8 tahun). Dari data ini, didapatkan nilai probabilitas atau estimasi keandalan sistem.
Hasil dan Validasi: Seberapa Akurat Metode Ini?
Setelah melakukan simulasi berdasarkan parameter desain GNSS receiver, peneliti memperoleh nilai keandalan akhir sebesar 0.99168. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan evaluasi empiris melalui pengujian aktual yang menghasilkan nilai keandalan sebesar 0.99234. Selisih antara keduanya sangat kecil—hanya sekitar 0.066 persen.
Artinya, metode simulasi Monte Carlo terbukti sangat akurat, dan mampu menggantikan pengujian fisik yang jauh lebih mahal dan memakan waktu.
Manfaat Nyata dalam Industri
1. Efisiensi Biaya
Pengujian keandalan dengan cara konvensional memerlukan peralatan mahal, waktu lama, dan bahkan bisa mengorbankan prototipe. Dengan simulasi Monte Carlo, seluruh proses bisa dilakukan di lingkungan digital—cepat dan murah.
2. Fleksibilitas dalam Desain
Simulasi ini memungkinkan desainer untuk membandingkan berbagai konfigurasi sistem sebelum memproduksi perangkat nyata. Jika salah satu unit diketahui menjadi titik lemah, perancang bisa menyesuaikan desain sejak dini.
3. Presisi Tinggi dalam Perencanaan
Ketika diterapkan secara luas, pendekatan ini mampu meningkatkan presisi dalam estimasi masa pakai dan pengelolaan risiko kegagalan di lapangan.
Kritik dan Perspektif Tambahan
Walaupun metode ini sangat menjanjikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Namun demikian, sebagai pendekatan generik, metode ini memberikan pondasi kuat untuk pengembangan evaluasi keandalan berbasis simulasi di berbagai sektor industri.
Relevansi dengan Tren Industri Saat Ini
Tren industri manufaktur tengah bergerak menuju adopsi sistem digital twin, reliability-centered design, dan predictive maintenance. Simulasi keandalan berbasis Monte Carlo sangat sejalan dengan arah ini. Industri seperti otomotif, pertahanan, dirgantara, bahkan perangkat medis bisa menghemat banyak sumber daya dengan mengadopsi pendekatan serupa.
Misalnya, perusahaan otomotif dapat menguji keandalan ECU (Electronic Control Unit) di kendaraan listrik tanpa harus menjalani ribuan kilometer uji jalan. Perusahaan perangkat medis dapat memastikan alat pacu jantung atau defibrillator memiliki umur pakai yang konsisten tanpa harus menunggu kegagalan aktual terjadi.
Kesimpulan: Waktu Beralih ke Simulasi untuk Evaluasi Keandalan
Penelitian oleh Ningbo Liu dan tim membuka jalan bagi pendekatan yang lebih modern, efisien, dan akurat dalam mengevaluasi keandalan sistem elektronik. Metode Monte Carlo yang mereka gunakan terbukti mampu memberikan hasil yang sangat mendekati pengujian nyata, namun dengan waktu dan biaya yang jauh lebih rendah.
Pesan penting bagi pelaku industri adalah ini: saatnya memanfaatkan kekuatan komputasi dan simulasi untuk mengambil keputusan desain yang lebih bijak dan strategis. Dengan alat yang tepat, keandalan tak harus datang dengan harga mahal.
Sumber
Liu, Ningbo, et al. Application of Reliability Simulation Based on Monte Carlo Method in GNSS Receiver. Journal of Physics: Conference Series, Vol. 1952, 2021, 042137.
Tersedia di: https://doi.org/10.1088/1742-6596/1952/4/04213
Ekonomi Daerah & Ketimpangan
Dipublikasikan oleh pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Ketimpangan Bukan Hanya Soal Angka
Ketimpangan pendapatan sering dibahas dalam laporan tahunan pemerintah, tapi apa yang sebenarnya terjadi di lapangan? Mengapa ada daerah yang selalu tertinggal meski pertumbuhan ekonomi nasional meningkat?
Studi yang dilakukan oleh Chusnul Chotimah dari ITS ini mengajak kita melihat lebih dalam ketimpangan di Jawa Timur dari sisi spasial dan temporal, memanfaatkan data panel dan metode inovatif Geographically Weighted Panel Regression (GWPR). Pendekatan ini memberikan gambaran dinamis dan spesifik lokasi atas perbedaan distribusi pendapatan di 38 kabupaten/kota Jawa Timur selama periode 2010–2014.
Latar Belakang: Ketimpangan yang Kian Meningkat
Jawa Timur adalah kontributor utama ekonomi nasional—menyumbang lebih dari 14% PDB Indonesia. Namun, di balik angka tersebut, terdapat ketimpangan antar wilayah yang mengkhawatirkan. Gini rasio provinsi ini naik dari 0,34 (2010) ke 0,37 (2014)—naik cukup signifikan meskipun masih di bawah rata-rata nasional yang mencapai 0,41 di tahun yang sama.
Ketimpangan ini bukan hanya memicu kecemburuan sosial, tetapi juga menghambat efisiensi ekonomi secara keseluruhan. Beberapa wilayah seperti Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik menunjukkan dominasi industri dan perdagangan, sementara wilayah-wilayah seperti Sampang atau Bondowoso tetap bergantung pada sektor pertanian tradisional yang kontribusinya terhadap PDRB rendah meski menyerap banyak tenaga kerja.
Metodologi: Gabungan Kekuatan Spasial dan Temporal
Apa itu GWPR?
Geographically Weighted Panel Regression (GWPR) adalah penggabungan antara:
Geographically Weighted Regression (GWR) – yang mengakomodasi perbedaan antar wilayah.
Panel Regression – yang memanfaatkan data lintas waktu dan unit pengamatan.
Model ini memperhitungkan aspek geografis serta dinamika waktu, menjadikannya cocok untuk menganalisis fenomena kompleks seperti ketimpangan pendapatan.
Data & Variabel
Unit analisis: 38 kabupaten/kota di Jawa Timur
Periode waktu: 2010–2014
Variabel respon: Gini rasio
Variabel prediktor:
PDRB sektor pertanian
PDRB industri pengolahan
PDRB perdagangan & reparasi
PDRB informasi dan komunikasi
PDRB pembentukan modal tetap bruto (PMTB)
Hasil Utama: Apa yang Menyebabkan Ketimpangan?
1. Kontribusi Sektor Ekonomi Tidak Seimbang
PDRB pertanian tinggi di wilayah pedesaan, namun kontribusinya ke PDRB rendah.
PDRB industri dan perdagangan tinggi di wilayah perkotaan dan industrial.
Ini mengindikasikan konflik struktural dalam perekonomian: sektor padat karya tidak sejalan dengan sektor pencetak nilai tambah.
2. Model GWPR Lebih Akurat
Dibandingkan dengan model Fixed Effect biasa (FEM), model GWPR menghasilkan:
R² = 91,02%
MSE = 0,0004
🔍 Artinya: model ini mampu menjelaskan 91% variasi ketimpangan pendapatan di Jawa Timur—sangat tinggi untuk data sosial ekonomi.
3. Setiap Daerah Unik
Model menunjukkan bahwa pengaruh variabel prediktor terhadap ketimpangan berbeda-beda di setiap kabupaten/kota. Misalnya:
Di Jombang, sektor informasi dan komunikasi lebih signifikan.
Di Probolinggo, sektor perdagangan menjadi penentu utama.
Studi Kasus: Ketimpangan Nyata di Lapangan
Kabupaten Bangkalan dan Sampang memiliki gini rasio tinggi meski bergantung pada sektor pertanian.
Kota Surabaya dan Kota Malang, dengan dominasi sektor tersier, justru menunjukkan gini rasio yang relatif rendah.
✍️ Catatan penting: Ketimpangan tidak selalu terjadi karena kemiskinan absolut, tapi karena distribusi pendapatan yang timpang antar golongan.
Kelebihan dan Kritik terhadap Studi
Kelebihan:
Menggabungkan aspek spasial dan temporal secara simultan.
Memanfaatkan model statistik tingkat lanjut yang masih jarang digunakan di Indonesia.
Menyediakan informasi detail berbasis lokasi untuk perumusan kebijakan.
Kritik:
Periode data terbatas hanya lima tahun (2010–2014).
Tidak mempertimbangkan variabel seperti pendidikan, infrastruktur, atau tingkat upah minimum kabupaten (UMK).
Validasi eksternal atau uji robust tidak dilakukan.
Relevansi Industri dan Kebijakan Publik
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai:
Dasar penentuan wilayah prioritas pembangunan – misalnya untuk distribusi dana transfer daerah.
Input untuk perencanaan spasial – seperti pengembangan kawasan industri baru di daerah tertinggal.
Alat evaluasi program pengentasan kemiskinan dan pemerataan – apakah benar menyasar daerah yang butuh?
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Beberapa studi sejenis menunjukkan hasil serupa:
Sylviarani (2017): menunjukkan bahwa PDRB dan pengangguran mempengaruhi ketimpangan di Pulau Jawa.
Jannah et al. (2017): menggunakan GWR untuk ketimpangan di Jawa Tengah, hasilnya menunjukkan variasi antar lokasi.
Namun, studi oleh Chotimah lebih unggul karena menggunakan pendekatan panel time-series, bukan hanya cross-section, dan menghasilkan pemodelan yang lebih stabil dan prediktif.
Kesimpulan: Saatnya Kebijakan Berbasis Data Spasial
Ketimpangan pendapatan di Jawa Timur bukan masalah tunggal yang bisa diselesaikan dengan kebijakan makroekonomi nasional. Ia memerlukan intervensi lokal spesifik yang berbasis data.
Model GWPR terbukti menjadi alat yang powerful untuk:
Mengidentifikasi penyebab ketimpangan berbasis lokasi.
Membantu perencanaan pembangunan yang lebih adil dan merata.
Mendorong integrasi data spasial dalam pengambilan kebijakan di tingkat daerah.
Sumber:
Chotimah, C. (2019). Pemodelan Ketimpangan Pendapatan di Jawa Timur Menggunakan Geographically Weighted Panel Regression. Tesis Magister Statistika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Akses lengkap: Perpustakaan ITS
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Saatnya Meninggalkan Fragmentasi dalam Proyek Konstruksi
Industri konstruksi Indonesia terus berkembang, namun masih terperangkap dalam kontradiksi sistemik antara tujuan proyek jangka panjang dan model kerja jangka pendek yang kompetitif. Salah satu akar masalahnya terletak pada sistem pengadaan proyek yang masih didominasi oleh model design-bid-build (DBB). Dalam paper ini, Sari dkk. (2024) memaparkan secara kritis bagaimana pendekatan DBB yang terfragmentasi telah menjadi batu sandungan kolaborasi, serta menawarkan strategi konkret untuk meningkatkan tingkat partnering menuju Integrated Project Delivery (IPD) yang lebih sinergis dan berkelanjutan.
Apa yang Salah dengan DBB?
Struktur DBB: Praktis, Tapi Terlalu Kompetitif
Model DBB, yang memisahkan entitas perancang dan pelaksana, memang memberikan kejelasan peran dan tahapan. Namun struktur ini justru menciptakan silo antarpihak. Setiap tahapan — dari tender perancang, pelaksanaan desain, tender kontraktor, hingga pelaksanaan konstruksi — berlangsung dalam iklim persaingan (kompetisi) yang kaku. Dalam analisis partnering oleh Thompson et al. (1998), DBB umumnya berada pada level “kompetisi”, level terendah dari skala kedalaman kolaborasi.
Dampak Nyata: Proyek Molor dan Boros
Berdasarkan studi tiga proyek gedung di Indonesia dengan nilai di atas 10 miliar rupiah, ditemukan bahwa ketiganya mengalami keterlambatan signifikan. Faktor penyebabnya mencakup:
Perubahan desain mendadak
Keterbatasan tenaga kerja terampil
Keterlambatan pengadaan material
Lambannya pengambilan keputusan
Efek pandemi COVID-19
Hasil analisis statistik menunjukkan deviasi standar yang besar pada grafik kemajuan proyek, menandakan ketidaksesuaian antara target dan realisasi.
Partnering: Dari Kompetisi Menuju Koalisi
Empat Tingkatan Partnering
Berdasarkan teori Larsson dan Thompson, partnering terbagi dalam empat tingkatan:
Kompetisi: Relasi transaksional dan jangka pendek, tidak ada pembagian risiko.
Kooperasi: Mulai ada komunikasi dan saling percaya.
Kolaborasi: Fokus strategis jangka panjang, pengukuran kinerja bersama.
Koalisi (Coalescence): Transparansi total, integrasi budaya kerja, pembagian risiko penuh.
Sayangnya, mayoritas proyek DBB di Indonesia masih berada pada tahap kompetisi, jauh dari kedalaman koalisi seperti yang ditemukan pada sistem IPD.
Mengenal IPD: Proyek Kolaboratif Sejak Hari Pertama
Integrated Project Delivery adalah sistem pengadaan yang menyatukan semua aktor utama (owner, desainer, kontraktor, vendor) sejak tahap nol persen desain. Dibandingkan DBB, IPD memiliki karakter:
Kontrak multipihak tunggal
Pembagian risiko dan keuntungan
Komitmen pada transparansi dan tujuan bersama
Fokus jangka panjang dan peningkatan berkelanjutan
Studi Kasus Internasional
Menurut Asmar et al. (2013), proyek dengan pendekatan IPD menunjukkan performa superior dalam aspek waktu, biaya, dan kualitas dibandingkan DBB dan DB. Bahkan, IPD mampu mengurangi pengulangan pekerjaan hingga 50% dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sebesar 10%.
Strategi Transformasi: DBB yang Lebih Kolaboratif
Apakah DBB Bisa Diubah Tanpa Mengganti Sistemnya?
Jawabannya: bisa. Paper ini menawarkan pendekatan transisional — mengubah praktik partnering dalam proyek DBB agar meniru kedalaman kolaborasi IPD, meski tanpa mengubah format kontraknya.
Rekomendasi Praktis
Pemilihan Perancang Tanpa Tender Kompetitif
Owner sebaiknya menunjuk perancang berdasar pengalaman dan visi sejalan, bukan sekadar harga termurah.
Keterlibatan Kontraktor Sejak Awal
Mengundang kontraktor dalam tahap desain untuk meminimalkan miskomunikasi dan variasi teknis.
Kemitraan Jangka Panjang dengan Vendor
Tidak lagi memilih pemasok berdasar tender harga, tetapi melalui kerja sama jangka panjang yang saling menguntungkan.
Visualisasi Model Perubahan
Transformasi DBB yang semula penuh persaingan dapat diarahkan menjadi kerja sama berbasis koalisi, sebagaimana digambarkan dalam skema model partnering (Gambar 8 dalam paper).
Tantangan Implementasi di Indonesia
Meskipun IPD menjanjikan banyak manfaat, implementasinya di proyek pemerintah di Indonesia masih terkendala oleh:
Kurangnya standar hukum dan kontrak multipihak
Ketidakpercayaan antar-pemangku kepentingan
Praktik tender yang masih berorientasi biaya
Namun, seperti disarankan penulis, peningkatan kualitas relasi dan keterlibatan sejak awal sudah cukup untuk menciptakan dampak besar — bahkan dalam sistem DBB.
Perspektif Industri: Relevansi dan Tren Terkini
Dengan meningkatnya tekanan terhadap efisiensi dan keberlanjutan, pendekatan seperti IPD menjadi relevan, apalagi di era pascapandemi di mana risiko proyek semakin kompleks. Model kerja berbasis kolaborasi juga sejalan dengan prinsip lean construction dan pendekatan agile yang kini mulai diadopsi oleh perusahaan besar seperti PT PP dan Wijaya Karya dalam beberapa proyek EPC.
Opini dan Komentar Tambahan
Paper ini sangat relevan karena tidak hanya menawarkan teori, tetapi juga strategi pragmatis yang bisa diadopsi tanpa harus merevolusi sistem. Kelebihannya terletak pada pendekatan lokal — menggunakan data proyek di Indonesia dan konsultasi dengan 14 pakar konstruksi — menjadikannya lebih aplikatif.
Namun, penelitian ini bisa lebih kuat jika ditambah:
Simulasi dampak finansial dari perubahan model partnering
Studi longitudinal proyek DBB yang berhasil mengadopsi prinsip IPD
Analisis hukum atas kemungkinan legalisasi kontrak multipihak di sektor publik
Kesimpulan: Jalan Menuju Proyek Konstruksi yang Lebih Baik
Transformasi dari DBB ke IPD bukan hanya soal mengganti sistem, tapi soal mengubah pola pikir dan perilaku para pelaku proyek. Pendekatan partnering yang lebih dalam, saling percaya, dan terbuka bisa dicapai bahkan tanpa merombak format kontrak. Paper ini menjadi panduan praktis menuju industri konstruksi Indonesia yang lebih kolaboratif, berkelanjutan, dan resilien menghadapi krisis.
Sumber
Sari, E.M., Irawan, A.P., Wibowo, M.A., et al. (2024). Design-Bid-Build to Integrated Project Delivery: Strategic Formulation to Increase Partnering. Journal of Infrastructure, Policy and Development, 8(1), 2242. https://doi.org/10.24294/jipd.v8i1.2242