Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Permasalahan air bersih di Indonesia masih menjadi isu krusial, terutama di kawasan perkotaan yang padat penduduk. Data WHO menunjukkan lebih dari 1,1 miliar orang di dunia kekurangan akses air minum layak, dan 2,6 miliar tidak memiliki akses sanitasi dasar. Dampaknya sangat terasa, terutama bagi anak-anak yang rentan terhadap penyakit akibat sanitasi buruk. Di Indonesia sendiri, alokasi anggaran untuk air bersih masih minim. Dari kebutuhan Rp36,1 triliun, pemerintah hanya mengalokasikan 10%, jauh dari angka ideal 30%1.
Jagabaya III di Bandar Lampung menjadi contoh nyata kawasan padat dengan beragam jenis bangunan—mulai dari rumah tinggal, pertokoan, rumah makan, hingga fasilitas umum—yang menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan air hujan dan banjir. Di tengah minimnya daerah resapan dan saluran drainase yang belum memadai, banjir dan kekurangan air bersih menjadi masalah berulang setiap tahunnya1.
Mengapa Air Hujan Penting untuk Permukiman Padat?
Air hujan adalah sumber air yang mudah diakses dan gratis, namun seringkali tidak dimanfaatkan secara optimal. Jika dikelola dengan baik, air hujan dapat dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga seperti mandi, mencuci, hingga sebagai cadangan air bersih di musim kemarau. Sayangnya, banyak masyarakat masih menganggap air hujan sebagai peristiwa alam biasa, bukan sebagai solusi potensial untuk krisis air bersih maupun banjir1.
Studi Kasus: Penyuluhan dan Implementasi di Jagabaya III
Analisis Situasi dan Permasalahan
Jagabaya III merupakan kelurahan dengan kepadatan penduduk tinggi. Bangunan yang rapat dan minimnya ruang terbuka membuat air hujan sulit meresap ke tanah. Akibatnya, saat hujan deras, drainase yang ada tidak mampu menampung debit air sehingga sering terjadi luapan air dan banjir. Selain itu, masyarakat belum sepenuhnya sadar akan pentingnya pengelolaan air hujan1.
Metode Pengabdian dan Edukasi
Tim dari Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung melakukan serangkaian kegiatan pengabdian masyarakat, meliputi:
Solusi yang Diterapkan
Solusi yang diusulkan dan disosialisasikan kepada warga adalah sistem jaringan air hujan yang ditampung dalam tangki air melalui proses filtrasi sederhana. Setelah itu, air dialirkan ke sumur resapan. Kelebihan air yang tidak tertampung akan disalurkan ke saluran pembuangan umum. Sistem ini tidak hanya membantu mengurangi risiko banjir, tetapi juga menyediakan air bersih untuk kebutuhan mandi, cuci, dan kakus (MCK)1.
Dampak dan Manfaat Implementasi di Lapangan
Manfaat Lingkungan dan Sosial
Tantangan Implementasi
Studi Kasus Lapangan: Detail Angka dan Fakta
Dalam kegiatan pengabdian di Jagabaya III, tim melakukan pengukuran luas atap rumah warga sebagai dasar perhitungan kapasitas penampungan air hujan. Misalnya, sebuah rumah dengan luas atap 100 m² dan curah hujan harian rata-rata 100 mm dapat menampung hingga 10.000 liter air hujan per hari—tentu dengan asumsi efisiensi penampungan maksimal sebelum dikurangi faktor kehilangan akibat rembesan atau penguapan.
Selain itu, penyuluhan diikuti oleh pegawai kelurahan, lurah, dan masyarakat sekitar. Materi yang diberikan mencakup perhitungan dan perancangan bangunan pemanenan air hujan, serta diskusi interaktif agar warga dapat memahami dan menerapkan sistem ini secara mandiri1.
Kritik dan Opini: Meningkatkan Efektivitas Program
Kritik
Saran
Relevansi dengan Tren Nasional dan Industri
Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air alternatif mulai banyak diadopsi di kota-kota besar di Indonesia. Beberapa kota telah mengeluarkan regulasi yang mewajibkan pembangunan sumur resapan di setiap bangunan baru. Program serupa di Yogyakarta dan Surabaya menunjukkan bahwa sistem penampungan air hujan dapat memenuhi hingga 60% kebutuhan air non-minum rumah tangga selama musim hujan, serta secara signifikan menurunkan risiko banjir.
Di sektor properti, tren green building juga menekankan pentingnya sistem penampungan air hujan sebagai bagian dari desain ramah lingkungan. Industri teknologi filtrasi air pun berkembang, menawarkan solusi filter air hujan yang semakin terjangkau dan mudah diaplikasikan.
Kesimpulan: Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Masalah Kompleks
Studi kasus di Kelurahan Jagabaya III membuktikan bahwa pemanfaatan air hujan adalah solusi efektif dan ekonomis untuk mengatasi masalah banjir dan kekurangan air bersih di kawasan padat penduduk. Keberhasilan program ini sangat bergantung pada edukasi masyarakat, desain sistem yang tepat, serta dukungan kebijakan pemerintah.
Dengan laju urbanisasi yang terus meningkat, pemanfaatan air hujan harus menjadi bagian dari strategi pengelolaan air perkotaan yang berkelanjutan. Inovasi sederhana seperti penampungan air hujan dan sumur resapan, jika diterapkan secara luas dan konsisten, dapat membawa perubahan besar bagi kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Sumber Artikel (Bahasa Asli):
Yuda Romdania, Ahmad Herison, Ofik Taufik Purwadi, Endro Prasetyo Wahono, Sumiharni. "Penyuluhan Pemanfaatan Air Hujan Kelurahan Jagabaya III Kecamatan Way Halim Kota Bandar Lampung." SAKAI SAMBAYAN – Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, Vol 4 No 2 Juli 2020.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Urbanisasi cepat di wilayah pinggiran Yogyakarta, seperti Kecamatan Depok di Kabupaten Sleman, menciptakan tantangan baru dalam tata kelola air. Dengan 71,45% dari luas wilayahnya sudah tertutup bangunan, fungsi ekologis kawasan ini untuk menyerap air hujan menjadi sangat terbatas. Alih fungsi lahan menjadi bangunan beton berdampak langsung pada berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah, meningkatnya limpasan permukaan, dan terjadinya genangan serta banjir lokal.
Namun, ada satu potensi yang selama ini sering diabaikan: air hujan. Melalui pendekatan "city as a catchment area"—kota sebagai daerah tangkapan air—air hujan tidak hanya bisa dikelola, tetapi juga dimanfaatkan sebagai sumber air bersih alternatif dan alat mitigasi genangan perkotaan.
Tujuan Penelitian: Menjawab Dua Masalah Sekaligus
Penelitian ini bertujuan mengukur potensi air hujan yang bisa dimanfaatkan dari atap-atap bangunan di Kecamatan Depok serta menghitung seberapa besar kontribusinya dalam mengurangi genangan air. Pendekatannya bersandar pada regulasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11 Tahun 2014 tentang pengelolaan air hujan.
Dengan perhitungan teknis dan data curah hujan selama 2017–2020 dari sistem satelit NASA POWER, tim peneliti menggunakan pendekatan volume wajib kelola air hujan (Vwk) dan volume tertampung dari atap bangunan (Vtadah). Hasilnya memperlihatkan potensi besar yang selama ini terabaikan di ruang urban.
Gambaran Umum Wilayah Studi: Depok, Sleman
Kecamatan Depok memiliki luas 35,55 km² yang terdiri dari tiga desa dan 58 dusun. Dari luasan ini, sekitar 25,40 km² sudah tertutup bangunan. Jumlah penduduk mencapai 131.005 jiwa. Aktivitas pendidikan, perdagangan, dan jasa yang sangat tinggi memperbesar kebutuhan air bersih dan memperparah risiko genangan saat musim hujan.
Data curah hujan harian dari tahun 2017 hingga 2020 menunjukkan bahwa wilayah ini mengalami hujan dengan intensitas cukup tinggi, dengan curah hujan pada persentil 95 mencapai 34,48 mm. Data inilah yang digunakan sebagai dasar simulasi volume air hujan potensial yang bisa ditampung dan dimanfaatkan.
Estimasi Potensi Pemanenan Air Hujan
Menggunakan luas atap bangunan yang mencapai 25,4 juta m² dan koefisien limpasan (runoff coefficient) sebesar 0,85, hasil penghitungan menunjukkan bahwa volume air hujan yang dapat ditampung dengan teknik PAH (pemanenan air hujan) di Kecamatan Depok mencapai 636.481,84 m³ per hari hujan intensitas tinggi.
Volume ini dihitung dari skenario hujan persentil 95—yakni curah hujan harian sebesar 34,48 mm yang hanya terjadi pada 5% hari-hari terbasah. Artinya, dalam kondisi hujan ekstrem pun, sistem ini memiliki kapasitas untuk memanen air dalam jumlah besar secara efisien.
Kebutuhan Air Bersih Penduduk: Apakah Air Hujan Cukup?
Dengan asumsi standar kebutuhan air sebesar 150 liter per orang per hari (0,15 m³), maka total kebutuhan air harian bagi 131.005 jiwa adalah sekitar 19.650,75 m³ per hari. Ini berarti air hujan yang tertampung dari atap bangunan saat hujan besar bisa mencukupi kebutuhan seluruh penduduk selama lebih dari 32 hari, jika dikelola dan disimpan dengan baik.
Dengan kata lain, air hujan dapat menggantikan air tanah atau PDAM dalam jangka waktu tertentu, terutama pada musim penghujan. Manfaat lainnya adalah pengurangan konsumsi air tanah yang berisiko menurunkan permukaan tanah dan menyebabkan kerusakan ekosistem lokal.
Kontribusi Terhadap Pengurangan Genangan
Salah satu temuan paling signifikan dari penelitian ini adalah bahwa penerapan teknologi pemanenan air hujan pada seluruh bangunan di Kecamatan Depok dapat mengurangi volume limpasan permukaan yang menjadi andil banjir hingga 51,93%.
Artinya, separuh dari potensi genangan saat hujan deras dapat dicegah hanya dengan menampung air hujan dari atap bangunan. Strategi ini sangat selaras dengan prinsip drainase ramah lingkungan, yang dikenal dengan slogan TRAP (Tampung, Resapkan, Alirkan, Pelihara).
Implementasi Sistem PAH: Bagaimana Seharusnya?
Agar hasil penelitian ini tidak berhenti pada angka-angka teoritis, diperlukan panduan implementasi yang dapat diterapkan secara praktis. Sistem pemanenan air hujan ideal untuk bangunan perkotaan mencakup:
Untuk rumah tangga biasa, kapasitas tangki minimal 1–3 m³ sudah cukup untuk menampung air hujan selama 2–5 hari. Sedangkan untuk gedung besar seperti kampus atau kantor, kapasitas tangki bisa mencapai puluhan hingga ratusan meter kubik.
Perbandingan dan Komparasi Penelitian Lain
Penelitian ini memperkuat hasil studi sebelumnya yang dilakukan di wilayah perkotaan lain di Indonesia:
Namun, kelebihan penelitian oleh Nugroho dan Hardiyanti ini adalah kuantifikasi simultan dua manfaat sekaligus: konservasi air bersih dan pengurangan genangan. Pendekatan ini sangat relevan untuk perencanaan kota yang berkelanjutan.
Kritik dan Catatan Tambahan
Walaupun hasil penelitian sangat menjanjikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ke depannya:
Rekomendasi Kebijakan dan Tindak Lanjut
Hasil penelitian ini layak dijadikan dasar kebijakan pemerintah daerah, khususnya dalam menyusun regulasi dan perencanaan tata kota. Beberapa rekomendasi praktis:
Kesimpulan: Air Hujan, Harapan yang Turun dari Langit
Penelitian ini secara meyakinkan menunjukkan bahwa air hujan adalah sumber daya yang belum dimanfaatkan secara optimal di kawasan urban. Dengan luas atap bangunan yang dominan dan curah hujan yang tinggi, Kecamatan Depok menyimpan potensi luar biasa untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan air bersih penduduknya sekaligus mengurangi genangan hingga lebih dari separuh.
Lebih dari sekadar solusi teknis, pemanenan air hujan adalah manifestasi dari pembangunan berkelanjutan. Ia menggabungkan konservasi lingkungan, efisiensi energi, adaptasi perubahan iklim, dan kemandirian air untuk masyarakat. Maka sudah saatnya, kota-kota di Indonesia mulai menengadah bukan hanya untuk berlindung dari hujan, tetapi untuk menyambut solusi dari langit.
Sumber Asli Artikel:
Andri Prasetyo Nugroho & Ratih Hardiyanti. Potensi Pemanfaatan Air Hujan untuk Memenuhi Kebutuhan Air dan Mengurangi Genangan di Kecamatan Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta. Jurnal Daur Lingkungan, 5(1), Februari 2022, hlm. 19–22. Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Batanghari Jambi. DOI: 10.33087/daurling.v5i1.91
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Kebutuhan air bersih di kota-kota besar seperti Bandung terus meningkat seiring pesatnya pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi. Namun, ironisnya, pasokan air tanah semakin menipis dan PDAM pun tidak selalu mampu memenuhi seluruh permintaan. Sebagian besar air digunakan bukan hanya untuk konsumsi, tapi juga untuk kebutuhan sekunder seperti sanitasi dan penyiraman taman.
Dalam konteks ini, air hujan—yang biasanya hanya dianggap sebagai penyebab banjir atau genangan—justru dapat menjadi jawaban atas krisis air urban. Melalui sistem pemanenan air hujan yang tepat, sumber daya gratis ini bisa diubah menjadi solusi nyata, hemat, dan ramah lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh Moch. Hikmat Ramadhan Arifin membuktikan hal tersebut secara konkret di Kompleks Gedung Pemerintahan Kota Bandung.
Tujuan dan Konteks Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah menghitung berapa besar potensi air hujan yang dapat ditampung dari atap-atap gedung pemerintahan di Kota Bandung, dan merancang sistem tangki penampungan yang optimal untuk memenuhi kebutuhan air non-konsumtif, yakni sanitasi (toilet, wastafel) dan pertamanan.
Kompleks Gedung Pemerintahan Kota Bandung, sebagai lokasi studi, merupakan kawasan dengan luas atap cukup besar dan aktivitas harian tinggi. Sejauh ini, air bersih di kawasan tersebut disuplai dari dua sumber utama: air tanah dan air PDAM. Namun, tidak semua kebutuhan harus dipenuhi oleh air berstandar minum. Untuk aktivitas seperti flushing toilet dan penyiraman taman, air hujan sebenarnya sudah sangat mencukupi.
Metodologi dan Komponen Sistem PAH
Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data curah hujan tahunan Kota Bandung, luas atap bangunan, jumlah pegawai dan tamu, serta luas taman. Kemudian dilakukan:
Sistem PAH yang dirancang terdiri dari lima komponen utama:
Analisis Kebutuhan Air: Berapa Banyak yang Diperlukan?
Peneliti menghitung kebutuhan air berdasarkan dua variabel utama: jumlah pegawai dan luas taman.
Setelah dihitung secara agregat per bulan, rata-rata kebutuhan air total di kompleks pemerintahan ini mencapai 392,3 m³ per bulan. Nilai ini mencakup aktivitas toilet dari pegawai dan tamu, serta penyiraman taman yang cukup luas.
Estimasi Ketersediaan Air Hujan: Potensi Besar yang Selama Ini Terbuang
Dengan luas total atap 5.526 m² dan data curah hujan andalan Kota Bandung selama setahun, volume air hujan yang dapat dipanen mencapai 6.092,41 m³ per tahun. Ini setara dengan lebih dari 500 m³ per bulan pada bulan-bulan basah seperti November dan April.
Koefisien aliran (runoff coefficient) ditetapkan 0,9, karena atap beton memiliki daya tangkap air tinggi. Artinya, 90% dari air hujan yang jatuh di atap dapat dimanfaatkan, sisanya hilang akibat penguapan atau cipratan.
Perbandingan Volume Tangki dan Efektivitasnya
Peneliti merancang tiga alternatif kapasitas tangki penampungan untuk mengakomodasi kebutuhan air:
Dari sini terlihat bahwa dengan kapasitas tangki yang cukup besar, air hujan mampu mencukupi seluruh kebutuhan sanitasi dan taman di kompleks pemerintahan ini, bahkan tanpa perlu campur tangan PDAM.
Neraca Air Bulanan: Strategi Penyimpanan untuk Menghadapi Musim Kering
Salah satu kekhawatiran umum terhadap PAH adalah fluktuasi cuaca. Musim kemarau bisa menyebabkan kekosongan tangki jika tidak ada sistem penyimpanan yang memadai.
Namun, neraca air yang dihitung dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penampungan yang cukup (1.500 m³), kebutuhan air tetap dapat terpenuhi bahkan di bulan-bulan kering seperti Juli dan Agustus, yang hanya menerima curah hujan 1–2 mm.
Sebaliknya, pada bulan-bulan basah seperti November, volume air yang tersedia jauh melampaui kebutuhan. Maka dari itu, sistem harus dilengkapi dengan overflow yang dialirkan ke sumur resapan agar kelebihan air tetap memberi manfaat lingkungan.
Kelebihan Sistem PAH yang Dirancang
Tantangan dan Solusi Implementasi di Gedung Pemerintah
Tantangan:
Solusi:
Opini dan Komparasi dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sangat komprehensif dan praktis. Dalam hal perhitungan dan desain, riset ini melampaui banyak studi PAH lain di Indonesia yang hanya berhenti pada estimasi volume. Riset oleh Tri Yayuk Susana (2012) di BI, misalnya, tidak menyertakan neraca air bulanan. Di sisi lain, studi PAH di Universitas Indonesia oleh Ahmad Zaki hanya merancang tangki 3 m³ untuk kampus skala kecil.
Keunggulan dari studi Arifin adalah cakupan data yang lengkap, simulasi realistis, dan hasil langsung dapat diterapkan di kompleks perkantoran mana pun di Indonesia.
Rekomendasi Kebijakan dan Replikasi
Hasil penelitian ini sangat potensial dijadikan pedoman teknis untuk:
Kesimpulan: Saatnya Gedung Pemerintahan Menjadi Contoh Pemanfaatan Air Hujan
Air hujan bukan lagi sekadar fenomena alam yang ditunggu atau dihindari, melainkan sumber daya potensial yang selama ini terbuang percuma. Penelitian ini membuktikan bahwa pemanenan air hujan, dengan perencanaan volume dan kebutuhan yang matang, bisa mengubah wajah manajemen air di gedung-gedung pemerintah.
Dalam konteks Kota Bandung—yang padat, berpolusi, dan rawan kekurangan air—sistem PAH bukan sekadar solusi teknis, melainkan kebijakan moral dan strategi berkelanjutan. Kota yang modern seharusnya juga bijak dalam memanen berkah dari langit.
Sumber Asli Artikel:
Arifin, Moch. Hikmat Ramadhan. Analisis Pemanfaatan Air Hujan sebagai Alternatif Penyediaan Air Sanitasi dan Pertamanan pada Kompleks Gedung Pemerintahan Kota Bandung. FTSP Series: Seminar Nasional dan Diseminasi Tugas Akhir 2021, Universitas Sangga Buana
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Desa Kawahang di Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Sulawesi Utara, merupakan salah satu contoh wilayah yang mengalami krisis air bersih meskipun terletak di kawasan dengan curah hujan tinggi. Permasalahan utama di desa ini bukanlah kekeringan, tetapi ketidaktersediaan sumber air tanah yang layak dikonsumsi akibat kondisi geologis daerah yang tersusun dari batuan vulkanik dan kontur pegunungan yang tidak mampu menyimpan air dengan baik.
Sebagai akibatnya, masyarakat hanya mengandalkan sumur atau air hujan untuk mandi, mencuci, dan bahkan minum. Sayangnya, tanpa sistem penampungan yang layak, air hujan lebih sering terbuang percuma. Karena itulah, penelitian ini penting sebagai landasan teknis dalam membangun sistem PAH yang sederhana, efektif, dan bisa diterapkan di rumah-rumah warga.
Tujuan dan Cakupan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merancang sistem PAH rumah tangga yang sesuai dengan kondisi geografis dan sosial masyarakat Desa Kawahang. Tujuannya tidak hanya menyajikan data teoretis, tetapi juga menghasilkan desain volume bak penampung air hujan yang mampu memenuhi kebutuhan air bersih selama hari-hari tanpa hujan.
Fokus utama meliputi:
Desa Kawahang: Potret Krisis Air di Pegunungan
Desa Kawahang berada di Kecamatan Siau Barat Utara dan dihuni oleh lebih dari 4.000 penduduk. Lokasinya yang jauh dari pantai membuat desa ini tidak bisa memanfaatkan air payau, sementara tidak tersedia mata air alami di sekitarnya. Sumur-sumur warga seringkali menghasilkan air dengan kualitas rendah, sehingga satu-satunya pilihan adalah memanfaatkan air hujan.
Sayangnya, sistem penampungan air hujan yang dimiliki warga saat ini belum optimal. Beberapa menggunakan ember atau bak terbuka tanpa penutup dan tanpa sistem penyaringan awal, sehingga kualitas air yang terkumpul tidak memenuhi standar. Penelitian ini hadir untuk menjawab kebutuhan akan sistem yang lebih efisien dan layak pakai.
Perhitungan Kebutuhan Air Bersih Harian
Berdasarkan survei dan data statistik, rata-rata jumlah penghuni tiap rumah di Desa Kawahang adalah 4,16 orang. Namun, untuk perencanaan sistem, angka pembulatan 4 orang digunakan sebagai dasar.
Mengacu pada standar nasional, kebutuhan air minimum adalah 60 liter per orang per hari. Maka, untuk satu rumah dengan empat penghuni, total kebutuhan air harian adalah:
4 orang × 60 liter = 240 liter per hari
Atau dalam satuan meter kubik: 0,24 m³ per hari
Jumlah ini menjadi dasar dalam merancang kapasitas sistem penampungan air hujan yang mampu menjamin ketersediaan air bersih setidaknya selama 7 hari kering berturut-turut.
Estimasi Ketersediaan Air Hujan dari Luas Atap
Luas atap rumah di Desa Kawahang bervariasi antara 71 hingga 340 meter persegi. Rata-rata luas atap berdasarkan sampel rumah adalah sekitar 144,13 m². Dengan memperhitungkan curah hujan harian rata-rata dan efisiensi tangkapan (diperhitungkan dari slope atap, bahan, dan sistem talang), potensi tampungan air dari satu rumah dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga selama beberapa hari.
Untuk waktu kering 7 hari, kebutuhan total air per rumah adalah:
0,25 m³ × 7 hari = 1,75 m³
Sehingga, sistem penampungan perlu dirancang agar mampu menampung setidaknya 1,75 m³ air atau lebih untuk cadangan, dengan volume bak disarankan minimal 3 m³ untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan dan variabilitas hujan.
Analisis Hari Kering dan Curah Hujan
Untuk menguji keandalan sistem PAH, peneliti menggunakan data curah hujan selama lima tahun (2017–2021). Hasilnya menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya hari tanpa hujan selama tujuh hari berturut-turut berada pada tingkat probabilitas 94,82%. Ini berarti bahwa dalam hampir setiap siklus musim, masyarakat menghadapi risiko 7 hari berturut-turut tanpa hujan.
Dengan demikian, sistem PAH harus dirancang untuk mampu menopang kebutuhan air selama 7 hari. Peneliti merekomendasikan sistem tangki berkapasitas 3 m³ sebagai solusi ideal, karena volume ini melebihi kebutuhan minimum (1,75 m³), namun tetap realistis untuk dibangun secara swadaya oleh masyarakat dengan keterbatasan lahan.
Desain Sistem Pemanenan Air Hujan yang Diusulkan
Desain sistem PAH yang diajukan menyesuaikan dengan kondisi rumah di Desa Kawahang. Beberapa komponen utama dalam desain tersebut meliputi:
Desain ini mempertimbangkan kesederhanaan struktur, biaya murah, dan kemudahan replikasi di berbagai rumah. Dapat dibangun dari bahan lokal seperti beton bertulang atau polietilena daur ulang.
Efisiensi Sistem dan Potensi Pengembangan
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa efisiensi sistem pemanenan air hujan yang dirancang mencapai 85% terhadap kebutuhan air bersih harian rumah tangga. Angka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan sistem konvensional tanpa desain khusus.
Efisiensi ini bisa lebih ditingkatkan apabila:
Studi Banding: Pengalaman Serupa di Daerah Lain
Beberapa penelitian serupa menunjukkan hasil yang mendukung pendekatan PAH skala rumah tangga:
Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan di Kawahang memiliki dasar empiris yang kuat dan dapat dikembangkan sebagai model nasional untuk daerah terpencil.
Rekomendasi dan Dampak Sosial
Hasil penelitian ini mengarah pada beberapa rekomendasi praktis:
Dari sisi sosial, pemanfaatan air hujan meningkatkan ketahanan air rumah tangga, mengurangi beban ekonomi warga, dan mendorong kemandirian komunitas dalam mengelola sumber daya.
Kesimpulan: Air Langit untuk Masa Depan Kawahang
Penelitian oleh Salindeho dkk. membuktikan bahwa pemanenan air hujan adalah solusi rasional, ekonomis, dan berkelanjutan bagi daerah dengan kondisi geologi menantang seperti Desa Kawahang. Dengan desain sistem yang tepat, air hujan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan harian, bahkan saat musim kering.
Di tengah perubahan iklim dan ketidakpastian pasokan air tanah, air hujan menjadi harapan baru. Melalui pendekatan ilmiah dan partisipatif, masyarakat bisa belajar menengadah ke langit bukan hanya untuk berdoa, tapi juga untuk mengisi bak air bersih yang menyelamatkan kehidupan mereka.
Sumber Asli Artikel:
Salindeho, V. J., Mangangka, I. R., & Legrans, R. R. I. (2023). Perencanaan Sistem Pemanenan Air Hujan sebagai Alternatif Penyediaan Air Bersih di Desa Kawahang Kabupaten Siau Tagulandang Biaro. TEKNO, Volume 21, No. 84, Universitas Sam Ratulangi.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Wilayah pesisir Indonesia adalah kawasan padat penduduk yang sangat bergantung pada sumber daya alam. Namun, justru di kawasan ini akses terhadap air bersih kerap menjadi persoalan besar. Air tanah di pesisir sering kali tercemar akibat intrusi air laut dan limbah domestik, sementara jaringan air perpipaan belum sepenuhnya menjangkau masyarakat. Anehnya, di tengah curah hujan yang tinggi, masyarakat pesisir masih mengandalkan air kemasan atau air sumur yang tidak selalu aman.
Berangkat dari kenyataan tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Joleha dan tim peneliti dari Universitas Riau berupaya mengevaluasi kelayakan air hujan sebagai sumber air bersih rumah tangga. Penelitian ini berfokus pada wilayah pesisir Riau, yaitu Indragiri Hilir, Rokan Hilir, dan Kepulauan Meranti. Tujuan utamanya adalah menguji kualitas kimia air hujan dan membandingkannya dengan standar baku mutu air bersih nasional.
Metodologi: Mengukur Air Langit dengan Standar Bumi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif melalui pengambilan sampel air hujan di tiga lokasi pesisir berbeda. Sampel kemudian diuji di laboratorium untuk mengetahui berbagai parameter kimia yang penting, seperti kadar pH, logam berat (besi, mangan, seng), zat anorganik (nitrat, nitrit, fluorida), zat organik terlarut, dan tingkat kesadahan.
Standar acuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum dan Air Bersih. Dengan membandingkan data aktual dari lapangan dengan standar baku mutu tersebut, peneliti dapat menentukan apakah air hujan aman digunakan untuk keperluan domestik.
Selain itu, untuk memperkaya perspektif, penelitian ini juga membandingkan kualitas air hujan di pesisir dengan kualitas air hujan dari wilayah perkotaan seperti Malang dan Lampung, yang memiliki kepadatan penduduk dan aktivitas industri lebih tinggi.
Hasil Penelitian: Potensi Air Hujan di Tiga Titik Pesisir Riau
Di Indragiri Hilir, sampel air hujan menunjukkan tingkat pH sekitar 6,5, yang tergolong netral. Kandungan zat-zat berbahaya seperti besi, mangan, dan nitrit berada jauh di bawah batas maksimum yang diizinkan. Bahkan, tingkat kesadahan air hujan di wilayah ini hanya sekitar 2 mg/L, jauh lebih rendah dari ambang batas 500 mg/L yang ditetapkan.
Bagan Siapi-api, salah satu kota pelabuhan di Rokan Hilir, menunjukkan hasil serupa. Air hujan di wilayah ini memiliki pH 8—sedikit basa namun masih dalam rentang aman. Kandungan zat organik sedikit lebih tinggi dibanding lokasi lain, diduga akibat keberadaan sarang burung walet di sekitar tempat penampungan air hujan, yang menyebabkan masuknya kotoran ke dalam sistem.
Sementara itu, di Pulau Merbau, Kepulauan Meranti, air hujan memiliki pH sekitar 6,14. Walaupun sedikit lebih asam dibanding lokasi lain, angka ini masih berada dalam batas aman. Kandungan logam berat seperti seng dan fluorida juga tidak melebihi ambang batas. Secara umum, semua parameter kimia air hujan dari ketiga lokasi ini menunjukkan bahwa air hujan dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga, bahkan berpotensi sebagai air minum dengan sedikit pengolahan tambahan.
Perbandingan dengan Wilayah Perkotaan: Air Langit di Kota Lebih Rentan Polusi
Penelitian ini juga menyinggung kualitas air hujan di beberapa wilayah perkotaan seperti Malang dan Lampung. Di Malang, air hujan memiliki pH sekitar 7,4 dan kandungan kesadahan sebesar 39,6 mg/L. Angka ini masih tergolong aman, namun tidak sebersih air hujan dari wilayah pesisir.
Kondisi berbeda terlihat di Lampung, terutama di daerah perumahan dan industri. Kandungan mangan di air hujan mencapai lebih dari 10 mg/L, jauh melampaui batas aman yang hanya 0,5 mg/L. Ini menandakan bahwa aktivitas manusia, terutama transportasi dan industri, memberikan kontribusi signifikan terhadap pencemaran air hujan di daerah urban.
Perbandingan ini memperkuat temuan utama: kualitas air hujan di wilayah pesisir cenderung lebih baik daripada di wilayah perkotaan yang padat aktivitas industri.
Analisis Parameter: Apa yang Menjadikan Air Hujan Aman atau Berisiko?
Pertama, derajat keasaman atau pH adalah indikator utama. Jika terlalu rendah (asam), air bisa merusak jaringan pipa dan berpotensi menyebabkan iritasi kulit. Namun, hasil dari semua lokasi pesisir menunjukkan nilai pH dalam rentang aman, antara 6 hingga 8.
Kedua, logam berat seperti besi, mangan, dan seng adalah parameter toksik yang paling dikhawatirkan. Air hujan dari lokasi pesisir menunjukkan kandungan logam berat yang sangat rendah, bahkan sering kali tidak terdeteksi.
Ketiga, zat anorganik seperti nitrat dan nitrit berbahaya bagi bayi dan ibu hamil karena dapat mengganggu sistem pernapasan. Namun, kandungan zat ini juga sangat rendah di semua sampel pesisir.
Terakhir, tingkat kesadahan air, yang menentukan kecocokan air untuk keperluan mencuci dan memasak, juga menunjukkan hasil sangat baik. Semua sampel menunjukkan air hujan sebagai air lunak, artinya aman digunakan untuk berbagai keperluan tanpa menyebabkan kerak pada alat rumah tangga.
Rekomendasi: Bagaimana Memanfaatkan Air Hujan Secara Aman dan Efektif?
Hasil penelitian ini memberikan pijakan kuat bagi rumah tangga di wilayah pesisir untuk mulai memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih. Namun, ada beberapa catatan penting agar air hujan aman digunakan:
Dengan langkah-langkah ini, air hujan bisa menjadi sumber air andalan rumah tangga, terutama di daerah dengan sumber air tanah yang tidak layak atau sulit diakses.
Kritik dan Opini Tambahan terhadap Penelitian
Penelitian ini sangat kuat dari segi validitas data dan relevansi lokasi. Tiga wilayah pesisir yang dijadikan sampel mewakili kondisi pesisir secara umum di Indonesia. Metodologi yang digunakan juga sesuai dengan standar pengujian laboratorium nasional.
Namun, ada beberapa aspek yang bisa ditingkatkan:
Pertama, penelitian ini belum menyertakan uji mikrobiologis. Padahal, kontaminasi mikroorganisme seperti E. coli atau coliform adalah salah satu risiko terbesar dalam air hujan, terutama jika disimpan terlalu lama.
Kedua, studi ini tidak menggali persepsi masyarakat lokal terhadap air hujan. Padahal, tingkat penerimaan masyarakat sangat penting dalam keberhasilan pemanfaatan air hujan. Banyak orang masih menganggap air hujan sebagai "air mentah" yang tidak aman diminum, padahal faktanya bisa jadi lebih bersih daripada air sumur di wilayah mereka.
Ketiga, aspek teknis desain sistem pemanenan air hujan tidak dijelaskan secara detail. Informasi seperti kapasitas tangki ideal, bahan terbaik untuk atap dan talang, serta tata letak sistem sangat dibutuhkan agar hasil penelitian ini dapat diimplementasikan secara nyata oleh masyarakat.
Implikasi Kebijakan dan Peluang Implementasi
Berdasarkan hasil penelitian ini, pemerintah daerah di wilayah pesisir seharusnya mulai mengembangkan program air bersih berbasis air hujan. Beberapa langkah strategis yang bisa diambil meliputi:
Selain itu, LSM, sekolah, dan kelompok masyarakat seperti PKK atau karang taruna dapat berperan dalam sosialisasi dan edukasi.
Kesimpulan: Air Hujan Adalah Solusi Nyata, Bukan Alternatif Sementara
Penelitian oleh Joleha dan rekan-rekannya membuktikan bahwa air hujan yang jatuh di wilayah pesisir Indonesia memiliki kualitas kimia yang sangat baik, bahkan lebih baik dibandingkan air hujan di wilayah perkotaan. Dengan pengelolaan yang tepat, air hujan dapat digunakan sebagai sumber air bersih rumah tangga, tidak hanya untuk mencuci dan mandi, tetapi juga untuk minum setelah pengolahan sederhana.
Dalam konteks perubahan iklim, urbanisasi, dan meningkatnya beban sumber daya air, air hujan bukan lagi alternatif darurat. Ia adalah bagian dari solusi berkelanjutan untuk ketahanan air, terutama bagi masyarakat pesisir yang selama ini kekurangan layanan air bersih dari negara. Kini saatnya menengadah, bukan hanya untuk berdoa, tapi juga untuk memanen air kehidupan yang turun dari langit.
Sumber Asli Artikel:
Joleha, Aras Mulyadi, Wawan, Imam Suprayogi. Penilaian Kualitas Air Hujan di Wilayah Pesisir untuk Pasokan Air Bersih Rumah Tangga. Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil ke-13 (KoNTekS-13), Banda Aceh, 2019.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Indonesia adalah negeri tropis dengan curah hujan melimpah, tetapi ironi justru terjadi saat banjir dan kekeringan datang silih berganti. Di sisi lain, minyak jelantah—produk sisa dari kegiatan dapur rumah tangga—masih banyak dibuang sembarangan ke selokan, mencemari tanah dan air. Masalahnya bukan pada ketiadaan teknologi, tapi pada rendahnya kesadaran masyarakat.
Artikel ini merefleksikan bagaimana program pengabdian kepada masyarakat di Desa Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, berhasil mengubah paradigma ibu rumah tangga tentang pentingnya mengelola air hujan dan minyak jelantah. Program ini diinisiasi oleh tim dosen dari Universitas Asahan dan Universitas Al-Azhar Medan, dengan pendekatan ceramah, pelatihan, dan praktik langsung.
Tujuan Penelitian dan Konteks Sosial
Tujuan utama kegiatan ini adalah edukasi lingkungan berbasis rumah tangga. Dua hal yang disoroti:
Mitra kegiatan adalah Ikatan Keluarga Besar Istri (IKBI) karyawan PTPN-III Sei Mangkei, terdiri dari 25 ibu rumah tangga dengan mayoritas berusia 28–37 tahun (36%) dan tingkat pendidikan terbanyak SMA (48%).
Air Hujan: Sumber Daya yang Terbuang
Masalah Umum
Meskipun air hujan melimpah di Indonesia, justru sering kali dianggap masalah karena:
Referensi dari Lestari et al. (2021) menyebutkan bahwa pemanenan air hujan (PAH) belum menjadi praktik umum padahal potensinya besar, terutama untuk kebutuhan non-potable (tidak untuk dikonsumsi langsung).
Teknologi PAH yang Diterapkan
Metode pemanenan air hujan dalam kegiatan ini menggunakan pendekatan sederhana yang bisa diaplikasikan di lingkungan rumah tangga:
➡️ Total kapasitas sistem ini mampu menampung lebih dari 10.000 liter air bersih dari satu atap rumah.
Minyak Jelantah: Limbah yang Bisa Jadi Berkah
Risiko Minyak Jelantah
Minyak goreng bekas yang digunakan berulang dapat menghasilkan senyawa karsinogenik akibat:
Megawati & Muhartono (2019) menyebutkan bahwa penggunaan minyak lebih dari empat kali dengan suhu di atas 100°C dapat memicu terbentuknya radikal bebas pemicu kanker dan gangguan jantung.
Potensi Minyak Jelantah sebagai Produk Baru
Program ini mengenalkan ibu-ibu IKBI PTPN-III pada dua aplikasi minyak jelantah:
Menurut Suryatini & Milati (2022), potensi minyak jelantah skala rumah tangga di Indonesia mencapai 1,638 juta liter biodiesel/tahun, jika dikelola dengan baik.
Implementasi Program dan Hasil Kegiatan
Rangkaian Kegiatan
Studi Kasus: Ibu-Ibu IKBI PTPN-III Sei Mangkei
Jumlah peserta: 25 orang
Rentang usia terbanyak: 28–37 tahun (36%)
Pendidikan terbanyak: SMA (48%)
Tingkat antusiasme: Tinggi (partisipatif aktif dalam pelatihan dan diskusi)
Analisis Kuantitatif: Perubahan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Kegiatan
Evaluasi dilakukan dengan menyebarkan kuesioner pada awal dan akhir kegiatan, dengan hasil sebagai berikut:
Indikator 1 – Pengetahuan tentang air hujan
Indikator 2 – Pengetahuan tentang sistem PAH
Indikator 3 – Pengetahuan tentang minyak jelantah
➡️ Terjadi transformasi paradigma signifikan, terutama dalam hal kesadaran dampak limbah dan pemanfaatan air.
Opini dan Analisis Kritis: Apa yang Bisa Ditingkatkan?
✔ Pendekatan Sosial Berbasis Komunitas Efektif
Kunci keberhasilan kegiatan ini bukan hanya teknologi yang sederhana, tapi juga pendekatan sosial yang tepat. Dengan menyasar kelompok ibu rumah tangga, dampak edukatifnya menyebar ke seluruh keluarga.
✔ Desain Sistem Mudah Direplikasi
Sistem PAH berbasis pipa, pasir, dan kerikil bisa dibangun dengan biaya rendah. Ini menjadikannya cocok untuk kawasan pedesaan maupun kota pinggiran.
❗ Tantangan Lanjutan
Komparasi dengan Program Serupa
➡️ Program di Sei Mangkei lebih holistik karena menggabungkan dua isu besar sekaligus: air bersih dan limbah dapur.
Rekomendasi Strategis dan Replikasi Program
Kesimpulan: Perubahan Paradigma Dimulai dari Kesadaran
Pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Zufri Hasrudy Siregar dan timnya bukan hanya mengubah perilaku harian, tapi juga membuka mata tentang potensi besar dari sumber daya yang selama ini dianggap limbah. Air hujan bisa menggantikan air PAM dalam banyak fungsi rumah tangga. Minyak jelantah yang semula merusak, bisa menjadi sabun atau energi terbarukan.
Di tengah krisis iklim dan polusi yang semakin nyata, program seperti ini menjadi angin segar. Terbukti, perubahan tidak selalu butuh teknologi tinggi. Kadang cukup dimulai dari ember di bawah talang dan minyak di dapur yang tidak dibuang sembarangan.
Sumber Asli Artikel:
Zufri Hasrudy Siregar, Mawardi, Riana Puspita, Muhammad Fazri, Refiza, Muhammad Irwansyah, dan Simon Petrus Simorangkir. Pemanfaatan Air Hujan dan Minyak Jelantah sebagai Kepedulian Lingkungan di Ikatan Keluarga Besar Istri (IKBI) PTPN-III Desa Sei Mangkei. Vol. 3, No. 2, Juli 2023. DOI: 10.54123/deputi.v3i2.276.