Ketenagakerjaan

Produktivitas Tenaga Kerja Mekanikal dan Elektrikal: Studi Kasus Proyek BNI Kelapa Gading dan Implikasinya untuk Dunia Konstruksi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 September 2025


Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Tenaga Kerja Menjadi Sorotan Penting

Di tengah tekanan efisiensi dan target waktu dalam industri konstruksi, produktivitas tenaga kerja menjadi faktor krusial dalam penentuan keberhasilan proyek. Apalagi pada pekerjaan mekanikal dan elektrikal (M&E), yang meskipun volumenya relatif kecil dibandingkan pekerjaan struktur, namun memiliki peran vital sebagai syarat fungsional sebuah bangunan.

Artikel ini mencoba membedah secara ilmiah dan praktis bagaimana efektivitas tenaga kerja dapat diukur melalui metode Labour Utilization Rate (LUR) dalam proyek revitalisasi Kantor Cabang BNI Kelapa Gading. Dengan studi kasus yang spesifik, artikel ini berhasil menyuguhkan temuan empiris yang dapat dijadikan acuan oleh praktisi dan akademisi konstruksi.

 

Metodologi: Mengukur Efisiensi Tenaga Kerja Menggunakan LUR

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan data sekunder dari laporan harian kontraktor. Dua hal utama yang dihitung:

  1. Labour Utilization Rate (LUR): Mengukur tingkat efektivitas pekerja dalam waktu kerja.

  2. Produktivitas Tenaga Kerja: Menghitung rasio output (progres bobot pekerjaan) terhadap input (jumlah jam kerja dan tenaga kerja).

Rumus LUR:

LUR=(wbe+14wbkwbt)×100%LUR = \left( \frac{wbe + \frac{1}{4}wbk}{wbt} \right) \times 100\%

  • wbe: waktu bekerja efektif

  • wbk: waktu kontribusi (tidak langsung produktif tapi tetap menunjang)

  • wbt: total jam kerja (termasuk waktu tidak efektif)
     

Kategori Skor LUR:

  • 85% = Sangat Tinggi

  • 68–84% = Tinggi

  • 51–67% = Sedang

  • 34–50% = Rendah

  • <33% = Sangat Rendah
     

Metode ini cukup praktis diterapkan karena hanya membutuhkan data waktu dan progres harian—sesuatu yang pasti tersedia di proyek konstruksi aktif.

 

Hasil Utama: Data Produktivitas Real di Proyek BNI Rata-rata LUR: 78,6%

Pada pekerjaan plumbing, tenaga kerja seperti Ade, Herman, dan Rahmat memiliki LUR berkisar 75%–81%, dengan rerata 78,6%. Ini masuk dalam kategori “tinggi” berdasarkan klasifikasi LUR. Artinya, meski tidak sempurna, efisiensi kerja mereka tetap terjaga secara konsisten.

Output Produktivitas Pekerja Plumbing:

Setelah dihitung berdasarkan data jam kerja (8 jam/hari = 480 menit), didapat produktivitas individual:

  • Output = 0,000035% per menit × total menit kerja

  • Misal, dengan 7 jam reguler + 4 jam lembur = 660 menit
    → Output = 0,024%

 

Artinya, kontribusi per pekerja per hari dalam pekerjaan plumbing berada di kisaran 0,09–0,13% progres per minggu.

 

Studi Kasus Spesifik: Deviasi dan Dampaknya

Dari Tabel 5, terlihat bahwa pekerjaan plumbing mengalami deviasi negatif yang semakin meningkat tiap minggu:

  • Minggu ke-27: deviasi mencapai -0,251%

  • Proyeksi penyelesaian molor ke minggu ke-28 dari rencana awal minggu ke-27
     

Meskipun terlihat kecil, pada skala proyek yang memiliki banyak pekerjaan paralel, keterlambatan ini bisa menimbulkan efek domino. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Oglesby (1989) yang menyatakan bahwa deviasi kecil dalam produktivitas dapat menyebabkan penundaan jadwal yang signifikan jika tidak segera dikoreksi.

 

Analisis Tambahan: Tantangan Produktivitas pada Pekerjaan M&E

Pekerjaan mekanikal dan elektrikal memiliki karakteristik yang berbeda dengan pekerjaan struktur:

  • Pekerjaan lebih presisi dan teknikal, membutuhkan skill khusus.

  • Ketergantungan tinggi pada urutan pekerjaan (misalnya instalasi kabel tidak bisa dilakukan jika dinding belum diplester).

  • Lingkungan kerja yang sempit dan penuh gangguan seperti AC duct atau pipa plumbing membuat mobilitas pekerja terbatas.
     

Hal ini menyebabkan produktivitas di pekerjaan M&E umumnya lebih rendah secara angka, tetapi lebih padat secara kompetensi.

 

Kritik dan Komparasi Penelitian

Kelebihan:

  • Penelitian ini sederhana, praktis, dan berbasis data nyata.

  • Menggunakan LUR, yang masih jarang digunakan secara sistematis dalam proyek di Indonesia.

  • Fokus pada pekerjaan M&E yang selama ini kurang diperhatikan.

Keterbatasan:

  • Tidak membandingkan produktivitas antar jenis pekerjaan (misal plumbing vs elektrikal).

  • Tidak menganalisis faktor-faktor eksternal seperti motivasi pekerja, cuaca, atau pengaruh supervisi, padahal ini bisa berdampak besar.

  • Metodologi tidak mempertimbangkan learning curve, padahal produktivitas biasanya meningkat seiring waktu.
     

Sebagai pembanding, penelitian oleh Maharani (2019) yang menggunakan metode observasi langsung juga menunjukkan bahwa faktor motivasi memiliki dampak signifikan terhadap produktivitas pada pekerjaan struktur bangunan.

 

Implikasi Praktis: Rekomendasi untuk Proyek Serupa

Untuk Manajer Proyek

  • Terapkan monitoring produktivitas mingguan berbasis LUR.

  • Identifikasi deviasi sedini mungkin untuk mencegah keterlambatan kumulatif.

Untuk Perencana Proyek

  • Libatkan data LUR sebagai parameter dalam estimasi durasi proyek.

  • Desain sistem kerja yang meminimalisir waktu tidak efektif (idle time).

Untuk Akademisi

  • Lanjutkan riset dengan pendekatan multivariat untuk mengeksplorasi pengaruh motivasi, iklim kerja, hingga sistem insentif terhadap LUR.
     

Penutup: Produktivitas sebagai Cermin Kinerja Lapangan

Penelitian ini menunjukkan bahwa pengukuran produktivitas pekerja bukan hanya soal output, tapi juga soal bagaimana waktu digunakan. Dengan rerata LUR 78%, proyek BNI Kelapa Gading termasuk efisien. Namun tetap saja, deviasi kecil dalam pekerjaan plumbing menunjukkan bahwa manajemen waktu dan efisiensi mikro harus diperhatikan agar proyek tetap berjalan sesuai rencana.

Penggunaan metode LUR ini sangat layak untuk direplikasi di proyek lain karena mudah diterapkan, tidak memerlukan alat khusus, dan berbasis data harian yang sudah tersedia. Dengan demikian, produktivitas bukan lagi sekadar angka, tapi alat kontrol manajemen yang konkret dan aplikatif.

 

Sumber

Wibowo, Y. G., Purnomo, A., & Lenggogeni. (2021). Analisa Produktivitas Tenaga Kerja pada Pekerjaan Mekanikal dan Elektrikal (Studi Kasus: Revitalisasi Gedung Kantor Cabang BNI Kelapa Gading, Jakarta). Menara: Jurnal Teknik Sipil, 16(2), 62–66.
[Tautan ke jurnal atau DOI jika tersedia secara daring]

Selengkapnya
Produktivitas Tenaga Kerja Mekanikal dan Elektrikal: Studi Kasus Proyek BNI Kelapa Gading dan Implikasinya untuk Dunia Konstruksi

Pengendalian Banjir

Pompa Aksial Horizontal: Inovasi Pengendalian Banjir untuk Kota-Kota Pantura

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 September 2025


Solusi Teknologi Cerdas untuk Genangan Kronis di Wilayah Datar dan Pesisir

Banjir perkotaan kini tidak lagi hanya menjadi urusan penanganan darurat melainkan sudah  berkembang menjadi tantangan ekosistem yang menuntut solusi teknologi terintegrasi. Apalagi di kawasan pesisir seperti Pantura Jawa Tengah, banjir bukan hanya akibat hujan lokal, tetapi juga karena pasang surut laut dan sistem drainase yang kurang optimal.

Dalam laporan Pengkajian Tipologi dan Pengendalian Banjir Perkotaan – Studi Kasus Pantura Jawa Tengah yang dipublikasikan oleh Pusat Litbang Sumber Daya Air (2014), diperkenalkanlah teknologi pompa aksial horizontal sebagai jawaban atas kebutuhan pengendalian banjir yang efisien dan cocok untuk wilayah pesisir yang datar.

Mengapa Pantura Jawa Tengah Rawan Banjir?

Wilayah pantai utara Jawa dikenal dengan topografi datarnya, aliran air yang lambat, dan tekanan dari pasang surut air laut. Kota-kota seperti Semarang, Pekalongan, Demak, hingga Rembang menjadi langganan banjir tahunan karena:

  • Kecepatan aliran udara yang rendah akibat kemiringan sungai yang landai
  • Fenomena terpencil saat air laut pasang menghambat aliran keluar ke laut
  • Sistem drainase perkotaan yang tidak hirarkis dan kurang terintegrasi
  • Tingginya volume limpasan air dari hulu yang tidak bisa ditampung oleh saluran yang ada

Inovasi Teknologi: Pompa Aksial Horizontal

Apa Itu Pompa Aksial Horizontal?

Pompa ini dirancang untuk menggerakkan udara secara horizontal, bukan mengangkatnya ke tempat lebih tinggi seperti pompa vertikal. Karena tidak melawan gravitasi, pompa ini:

  • Memiliki kapasitas debit besar (hingga m³/detik)
  • Membutuhkan daya listrik atau bahan bakar yang relatif rendah
  • Cocok untuk pengendalian banjir di daerah datar

Berbeda dengan sistem pompa biasa, pompa aksial horizontal bekerja dengan mendorong aliran udara sejajar permukaan tanah. Mekanisme ini membuatnya efisien untuk menampung udara, karena tidak terjadi konversi energi dari kinetik menjadi potensial.

Studi Kasus: Lasem, Rembang sebagai Lokasi Uji Coba

Kabupaten Rembang dipilih sebagai lokasi penerapan prototipe pompa aksial horizontal karena memiliki karakteristik topografi dan tipologi banjir yang sesuai:

  • Rawan banjir terkumpul akibat limpasan dan pasang laut
  • Elevasi wilayah rendah, sehingga gravitasi tidak cukup membantu aliran udara
  • Infrastruktur pendukung seperti gorong-gorong dan tanggul telah tersedia

Pemasangan dilakukan pada drainase gorong-gorong di Kecamatan Lasem, lengkap dengan rumah pompa, pintu klep otomatis, dan sistem penggerak mesin diesel yang efisien.

Keunggulan Pompa Aksial Horizontal Dibanding Sistem Konvensional

1. Efisiensi Energi

Pompa ini hanya membutuhkan energi untuk mendorong udara, bukan mengangkatnya. Dalam rumusan teknis, daya pemompaanP=1akuP⋅12akuBahasa Indonesia: V2QP = \frac{1}{\eta_p} \cdot \frac{1}{2} \rho V^2 QP=akuPBahasa Indonesia:1Bahasa Indonesia:⋅21Bahasa Indonesia:ρ V2Q, tanpa faktor gravitasi seperti pada pompa vertikal.

2. Kemampuan Debit Tinggi

Dengan diameter hingga 1 meter dan kecepatan putar (RPM) optimal, pompa dapat menggerakkan udara dalam jumlah besar dalam waktu singkat cocok untuk hujan ekstrem.

3. Biaya Operasional Lebih Murah

Karena tidak membutuhkan tekanan tinggi, motor diesel standar sudah cukup untuk pengoperasian. Ditambah lagi, desain modularnya memudahkan perawatan.

4. Desain Adaptif

Baling-baling pompa dapat disesuaikan jumlah dan sudutnya (misalnya 4 sudu, 30 derajat) untuk mengoptimalkan debit sesuai kondisi lokasi.

Tantangan & Rekomendasi

Tantangan:

  • Minimnya pengetahuan teknis lokal dalam pengoperasian pompa aksial
  • Ketergantungan pada energi fosil jika belum dikombinasikan dengan sumber terbarukan
  • Kerentanan terhadap penyumbatan dari sampah jika tidak disertai saringan aktif

Rekomendasi:

  1. Integrasi dengan sistem smart sensor untuk mengatur RPM sesuai muka udara
  2. Edukasi masyarakat agar tidak membuang sampah ke saluran
  3. Kombinasi dengan sistem retensi seperti kolam tandon di hulu saluran

Dibandingkan dengan Sistem Polder Konvensional

Sistem polder memang telah digunakan di Semarang dan Belanda sebagai standar pengendalian banjir di dataran rendah. Namun sistem ini mahal karena membutuhkan:

  • Tanggul besar
  • Kolam retensi luas
  • Pusat kendali pompa yang kompleks

Pompa aksial horizontal menawarkan versi “polder ringan” yang lebih modular , hemat energi , dan dapat diterapkan di banyak lokasi tanpa perlu infrastruktur besar.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Penggunaan teknologi ini, jika diterapkan secara luas di Pantura, akan berdampak langsung pada:

  • Pengurangan gangguan transportasi lintas kota dan logistik
  • Penurunan risiko penyakit berbasis air karena akumulasi yang lebih cepat surut
  • Peningkatan produktivitas masyarakat , khususnya sektor informal yang sering terhambat akibat banjir

Kritik terhadap Studi

Meskipun cukup komprehensif, laporan ini masih memiliki beberapa kekurangan:

  • Belum ada data lapangan pasca uji coba untuk menunjukkan dampak jangka panjang
  • Tidak membahas aspek hukum atau kelembagaan, seperti siapa yang bertanggung jawab atas operasional dan pemeliharaan
  • Tidak menguraikan skenario perubahan iklim, yang dapat memperparah intensitas banjir

Studi lanjutan sangat dianjurkan untuk mencakup aspek-aspek tersebut serta memperluas pemodelan terhadap tipologi kota lain.

Kesimpulan

Teknologi pompa aksial horizontal adalah langkah maju dalam pengendalian banjir perkotaan yang adaptif terhadap kondisi geografis Indonesia. Solusi ini menjawab tantangan:

  • Ketinggian minimum alami
  • Besarnya beban limpasan udara dari hulu
  • Efek pasang surut laut yang menghambat aliran keluar

Berkat desainnya yang hemat energi dan mampu menyalurkan debit air besar, pompa ini ideal digunakan bukan hanya di Pantura, tetapi juga di berbagai kota pesisir lainnya, termasuk Surabaya, Makassar, dan Pontianak.

Referensi 

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. (2014). Teknologi Pengendalian Banjir pada Berbagai Tipologi di Kawasan Pantura Jawa Tengah . Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

 

Selengkapnya
Pompa Aksial Horizontal: Inovasi Pengendalian Banjir untuk Kota-Kota Pantura

Elevasi Digital

Teknologi LiDAR dan Simulasi Hidrodinamik: Masa Depan Analisis Genangan Banjir di Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 September 2025


Dari Data Ketinggian ke Peta Genangan: Revolusi Digital dalam Manajemen Risiko Banjir

Permasalahan banjir di Indonesia bukan sekedar urusan air yang meluap, melainkan kombinasi antara kompleks urbanisasi cepat, pengelolaan DAS yang lemah, dan kurangnya presisi data dalam perencanaan. Untuk mengatasi tantangan ini, dibutuhkan pendekatan ilmiah berbasis teknologi tinggi. Salah satu solusi yang menunjukkan potensi luar biasa adalah penggunaan LiDAR (Light Detection and Ranging) yang dipadukan dengan simulasi model hidrodinamik .

Makalah karya M. Baitullah Al Amin dari Universitas Sriwijaya ini menguraikan bagaimana integrasi antara data LiDAR dan perangkat lunak pemodelan seperti HEC-RAS dan HEC-GeoRAS mampu menyajikan ekosistem pengumpulan banjir dengan akurasi tinggi. Artikel ini akan membedah pendekatan, hasil, dan relevansi dari studi tersebut, lengkap dengan opini, perbandingan, dan tantangan implementasinya di Indonesia.

Apa Itu Teknologi LiDAR dan Mengapa Penting?

LiDAR: Fotografi Udara yang Bisa Mengukur Ketinggian

LiDAR adalah teknologi penginderaan jauh yang menggunakan pulsa laser dari pesawat atau drone untuk mengukur jarak ke permukaan bumi. Tiap pantulan cahaya dihitung, lalu dikonversi menjadi data titik (titik awan) dengan koordinat X, Y, Z. Dengan jutaan titik ini, terbentuklah Digital Elevation Model (DEM) yang menggambarkan permukaan bumi secara tiga dimensi.

Keunggulan LiDAR:

  • Akurasi tinggi: Vertikal ±15 cm dan horizontal ±30 cm
  • Resolusi tinggi: Bisa mencapai 1m×1m atau lebih halus
  • Mampu menembus vegetasi , sehingga cocok untuk memetakan aliran sungai di daerah pembuangan atau bangunan padat

Perbandingan metode lama (survei total station atau SRTM satelit), LiDAR memberikan efisiensi waktu dan detail yang jauh lebih baik. Untuk keperluan analisis banjir, ketelitian ini krusial dalam menggambarkan aliran udara dan batas-batas kapasitas.

Studi Kasus: Pemodelan Banjir di Wilayah AS dengan Data LiDAR Publik

Karena ketersediaan data LiDAR di Indonesia masih terbatas, penulis mengambil contoh wilayah di Amerika Serikat yang data LiDAR-nya tersedia secara gratis melalui OpenTopography.

Tahapan Analisis:

  1. Pembuatan DEM: Data point cloud diolah dengan Global Mapper 15 menjadi DEM beresolusi 1×1 meter.
  2. Pembuatan Model Geometri Sungai: Menggunakan ArcGIS dan HEC-GeoRAS untuk membuat alur sungai dan penampang melintang otomatis dari DEM.
  3. Simulasi Banjir: Menggunakan HEC-RAS 4.1, debit banjir divariasikan (1.000, 2.000, dan 3.000 m³/s), dengan elevasi muka air hilir tetap di +3,0 m.
  4. Delineasi Genangan: Hasil simulasi konversi ke peta akumulasi menggunakan HEC-GeoRAS.
  5. Overlay Peta Genangan: Digabung dengan citra udara untuk memvisualisasikan wilayah yang terdampak banjir.

Hasil Simulasi: Debit Semakin Tinggi, Semakin Luas Genangan

Temuan Utama:

  • Debit 1.000 m³/s: Kedalaman penampungan 0–5 m
  • Debit 2.000 m³/s: Kedalaman meningkat 0–6,5 m
  • Debit 3.000 m³/s: Genangan mencapai kedalaman hingga 7,5 m

Dari peta terlihat bahwa daerah organisasi kanan dan kiri sungai merupakan daerah paling terdampak. Peta hasil simulasi memberikan visualisasi yang tajam, lengkap dengan kedalaman banjir tiap zona.

Keunggulan Pendekatan Ini

🔹 Akurasi Geometri Tinggi

Dengan resolusi DEM 1m×1m, kontur tanah, saluran udara, dan elevasi organisasi menjadi sangat presisi. Hal ini memungkinkan perencanaan infrastruktur drainase, tanggul, dan retensi udara menjadi lebih tepat sasaran.

🔹 Simulasi Interaktif dan Prediktif

Menggunakan HEC-RAS, berbagai skenario debit banjir dapat diuji dalam waktu singkat. Kita bisa tahu apa yang terjadi jika curah hujan ekstrem menyebabkan debit 3.000 m³/s tanpa harus menunggu bencana nyata.

🔹 Efisiensi Waktu dan Biaya

Proses survei dan pemetaan lapangan bisa memakan waktu berminggu-minggu. Dengan LiDAR dan software GIS, seluruh analisis dapat dilakukan dalam hitungan hari.

Tantangan Implementasi di Indonesia

1. Keterbatasan Akses Data LiDAR

Hingga saat ini, data LiDAR di Indonesia sangat terbatas. Padahal, LiDAR adalah fondasi awal analisis yang akurat. Pemerintah melalui BIG (Badan Informasi Geospasial) perlu memperluas cakupan data ini, terutama di kota-kota rawan banjir seperti Jakarta, Semarang, dan Banjarmasin.

2. Sumber Daya Manusia

Belum semua daerah memiliki tenaga ahli GIS dan pemodelan hidrodinamik. Diperlukan pelatihan intensif dan penyebaran teknologi ke daerah.

3. Integrasi dengan Sistem Peringatan Dini

Model simulasi hanya akan maksimal jika diintegrasikan dengan sistem peringatan dini berbasis data curah hujan real-time dan sensor muka udara.

Perbandingan Internasional

Amerika Serikat:

USGS dan FEMA telah menggunakan LiDAR dan HEC-RAS untuk seluruh sungai besar. Bahkan, peta risiko banjir tersedia untuk umum melalui Portal Peta Banjir.

Belanda:

Negara datar ini memanfaatkan DEM dan model hidrodinamik untuk merancang kanal, tanggul, dan sistem retensi udara super presisi. Semua berbasis simulasi seperti yang diteliti Al Amin.

Jepang:

Kota seperti Tokyo memiliki sistem digital twin (model kota virtual) yang selalu diperbarui berdasarkan peta udara dan LiDAR.

Indonesia bisa belajar dari praktik-praktik tersebut untuk mendorong transformasi digital dalam perencanaan tata ruang dan mitigasi bencana.

Saran Praktis untuk Pemerintah dan Akademisi

  1. Prioritaskan akuisisi LiDAR nasional mulai dari DAS prioritas nasional dan kota besar.
  2. Libatkan perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan sistem simulasi banjir dan tenaga pelatihan ahli.
  3. Integrasikan hasil pemodelan dengan RTRW dan RDTR agar pembangunan infrastruktur tidak menutup aliran alami.
  4. Dorong keterbukaan data antara pemerintah, sejarawan, dan masyarakat sipil demi perencanaan kolaboratif.

Kesimpulan: Dari Data ke Tindakan

Studi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi LiDAR dan pemodelan hidrodinamik tidak hanya mungkin, tetapi juga sangat efektif dan terjadi dalam penanganan banjir yang berbasis data. Peta pengumpulan yang dihasilkan tidak hanya informatif, tetapi juga prediktif dan preskriptif.

Dengan pendekatan seperti ini, pemerintah tidak lagi menanggapi banjir sebagai kejadian dadakan, namun sebagai risiko yang dapat dimitigasi, direncanakan, dan dikelola. Teknologi telah tersedia, yang dibutuhkan adalah kemauan untuk menikmatinya secara terstruktur dan inklusif.

Referensi

Al Amin, MB (2015). Pemanfaatan teknologi LIDAR dalam analisis pengumpulan banjir akibat luapan sungai berdasarkan simulasi model hidrodinamik. Info Teknik, 16 (1), 21–32.

Selengkapnya
Teknologi LiDAR dan Simulasi Hidrodinamik: Masa Depan Analisis Genangan Banjir di Indonesia

Operation Engineering and Management

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kesenjangan Keterampilan Lulusan Teknik – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 26 September 2025


Kurikulum teknik sering dipuji karena menghasilkan lulusan dengan pengetahuan teknis yang mumpuni. Namun, industri berulang kali menyuarakan keluhan bahwa lulusan masih kurang dalam keterampilan lunak seperti komunikasi, kerja tim, dan kepemimpinan. Sebuah studi terobosan yang dipublikasikan di European Journal of Engineering Education mengungkap alasan di balik kesenjangan ini: bukan soal kurangnya upaya, melainkan masalah komunikasi dan instrumen penilaian yang tidak memadai. Artikel ini membedah temuan utama penelitian tersebut, implikasinya bagi pendidikan teknik, dan bagaimana solusi baru bisa menjembatani universitas dan industri.

 

Ketika Kurikulum Bertemu Realitas Industri

Dalam dekade terakhir, sebuah keluhan yang tak kunjung usai sering terdengar di ruang-ruang rapat perusahaan teknologi dan manufaktur: lulusan teknik, meskipun unggul dalam pengetahuan teknis, kerap dianggap kurang memiliki kompetensi "lunak" yang krusial untuk kesuksesan di dunia kerja. Keterampilan seperti komunikasi, kerja sama tim, dan kemampuan beradaptasi ini, yang secara kolektif disebut sebagai kompetensi transversal (TCs), menciptakan sebuah "kesenjangan keterampilan" yang nyata, menghambat produktivitas dan inovasi di industri.

Isu ini bukan sekadar keluhan tanpa dasar. Studi dari berbagai negara, mulai dari Inggris, Amerika Serikat, hingga Australia, telah berulang kali mendokumentasikan adanya ketidakcocokan antara kompetensi yang diperoleh mahasiswa di bangku kuliah dengan kebutuhan pasar kerja. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh universitas di seluruh dunia untuk menyelaraskan kurikulum mereka, masalah ini tampaknya terus bertahan. Hal ini memunculkan pertanyaan kritis: mengapa kesenjangan ini begitu sulit diatasi? Apakah ada sesuatu yang hilang dari persamaan antara pendidikan dan industri?

Sebuah studi terobosan yang diterbitkan dalam European Journal of Engineering Education oleh Mariana Leandro Cruz dan Gillian N. Saunders-Smits menawarkan sebuah jawaban yang berpotensi transformatif.1 Alih-alih hanya mengeluh, para peneliti ini mengambil pendekatan radikal: mereka menggunakan instrumen penilaian kompetensi yang sudah dipakai oleh industri, dan mengujinya di lingkungan akademis. Ini bukan sekadar penelitian teoretis; ini adalah upaya untuk menciptakan jembatan yang kokoh antara dua dunia yang seringkali terpisah. Laporan ini tidak akan sekadar memaparkan data, melainkan akan mengungkap kisah-kisah penting di baliknya: apa yang paling mengejutkan para peneliti, siapa saja yang paling terdampak oleh temuan ini, dan mengapa solusi yang mereka tawarkan begitu relevan di era kita saat ini.1

 

Mengapa Kompetensi Lintas Bidang Begitu Penting Hari Ini?

Untuk memahami relevansi penelitian ini, kita harus melihat lanskap industri rekayasa yang telah berubah secara fundamental. Puluhan tahun yang lalu, fokus utama seorang insinyur mungkin adalah mendesain komponen tunggal atau memecahkan masalah teknis yang spesifik. Namun, seiring berjalannya waktu, industri bergeser ke arah "solusi pelanggan" yang lebih kompleks. Teknologi menjadi semakin terintegrasi, mobilitas global profesi meningkat, dan tuntutan akan kreativitas dan inovasi menjadi keharusan.1

Di tengah dinamika ini, pengetahuan teknis saja tidak lagi cukup. Seorang insinyur modern juga harus mampu bekerja dalam tim multidisiplin, berkomunikasi secara efektif dengan berbagai pemangku kepentingan, memahami konteks bisnis yang lebih luas, dan belajar hal baru sepanjang karier mereka. TCs inilah yang memungkinkan seorang lulusan untuk tidak hanya berfungsi, tetapi juga berkembang dan beradaptasi dalam ekonomi berbasis pengetahuan yang terus bergerak cepat.1

Meskipun urgensi TCs sudah disadari oleh semua pihak, pertanyaan mendalam tetap ada: mengapa kesenjangan keterampilan terus dilaporkan? Salah satu alasan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah ketidakjelasan dan subjektivitas dalam mendefinisikan TCs itu sendiri. Banyak studi sebelumnya gagal memberikan definisi yang jelas untuk kompetensi seperti "komunikasi" atau "kepemimpinan." Akibatnya, setiap orang—baik dari industri maupun akademisi—memiliki interpretasi yang berbeda. Ini menciptakan sebuah "masalah bahasa" yang mendasar, di mana dua pihak berbicara tentang hal yang sama tetapi dengan pemahaman yang berbeda. Instrumen yang dikembangkan oleh para peneliti ini berupaya menyelesaikan masalah ini dengan memberikan definisi yang rinci dan terstratifikasi untuk setiap sub-kompetensi, mengubahnya dari konsep abstrak menjadi sesuatu yang dapat diukur dan didiskusikan secara objektif.1

 

Dari Jurnal Teknis ke Alat Praktis: Sebuah Instrumen untuk Mengukur Bakat Tersembunyi

Inti dari studi ini adalah sebuah instrumen penilaian kompetensi yang diadaptasi dari model yang digunakan oleh Siemens, sebuah perusahaan teknik global.1 Instrumen ini tidak seperti kuesioner pada umumnya yang hanya menggunakan skala 1-5. Sebaliknya, ia membedah TCs menjadi 36 sub-kompetensi yang lebih rinci dan memberikan definisi serta tingkat penguasaan deskriptif untuk masing-masingnya.

Sebagai contoh, alih-alih hanya menanyakan seberapa "kritis" seseorang, instrumen ini membedah "pemikiran kritis" menjadi level-level yang dapat diamati: mulai dari "level dasar" hingga "level ahli".1 Ini seperti membedakan kemampuan seorang musisi dari hanya "bisa bermain gitar" menjadi "mampu membaca not balok, mengimprovisasi melodi, dan memimpin sebuah ansambel." Pendekatan ini mengubah pengukuran TCs dari penilaian subjektif menjadi penilaian yang lebih objektif dan nuansanya lebih kaya. Instrumen ini membagi TCs ke dalam lima domain besar: kewirausahaan, inovasi, kerja tim, komunikasi, dan pembelajaran seumur hidup, sehingga mencakup semua aspek yang relevan untuk karier seorang insinyur modern.

 

Pandangan Tiga Pihak: Sebuah Cerita di Balik Data

Kisah 1: Persepsi Industri - Lonjakan Harapan untuk Lulusan S2

Untuk mengukur ekspektasi, para peneliti menyurvei perwakilan industri di Eropa.1 Temuan mereka mengonfirmasi apa yang telah lama dihipotesiskan: industri mengharapkan lulusan S2 memiliki tingkat penguasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan lulusan S1 di hampir semua aspek kompetensi transversal.1 Temuan ini memiliki efek yang signifikan, seolah-olah industri melihat lulusan S2 sebagai individu yang tidak hanya memahami teori, tetapi juga siap untuk menghadapi kompleksitas di dunia kerja. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan antara ekspektasi untuk lulusan S1 dan S2, dengan tingkat efek yang besar, mengindikasikan bahwa temuan ini sangatlah penting dan tidak bisa diabaikan.1

Menariknya, meskipun harapan untuk lulusan S2 lebih tinggi, ada tujuh kompetensi yang secara konsisten masuk dalam 10 besar untuk kedua jenjang. Ini termasuk "kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri," "kemampuan mendengarkan," "kemampuan menulis," dan "manajemen waktu." Ini menunjukkan bahwa ada fondasi keterampilan yang diharapkan industri dari setiap insinyur, tanpa memandang tingkat pendidikan mereka.

Namun, yang paling mengejutkan adalah pergeseran fokus di tingkat S2. Kompetensi seperti "memecahkan masalah" dan "pemikiran kritis" melompat ke posisi teratas dalam daftar kompetensi yang diharapkan memiliki penguasaan tinggi.1 Pergeseran ini menunjukkan bahwa industri mengharapkan lulusan S2 lebih dari sekadar eksekutor teknis; mereka diharapkan untuk menjadi pemikir strategis yang mampu menganalisis situasi kompleks dan merumuskan solusi inovatif.

Kontradiksi yang Mengungkap Sebuah Tujuan Tersembunyi

Analisis yang lebih dalam terhadap data kuantitatif dari industri menemukan sebuah kontradiksi yang sangat mendalam. Para peneliti membandingkan daftar 10 kompetensi yang dianggap "paling penting" oleh industri dengan 10 kompetensi yang diharapkan memiliki "tingkat penguasaan tertinggi" saat lulus.1 Secara mengejutkan, kedua daftar ini sangat berbeda secara substansial.

Hanya tiga kompetensi—"memecahkan masalah," "pencarian pembelajaran aktif," dan "kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri"—yang masuk ke dalam kedua daftar tersebut.1 Kompetensi lain yang dianggap "paling penting" seperti "manajemen proyek," "kewirausahaan," dan "kepemimpinan" tidak berada dalam daftar kompetensi yang diharapkan memiliki tingkat penguasaan tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa industri membedakan antara:

  • Keterampilan Fondasi: Keterampilan dasar yang harus dikuasai saat lulus (misalnya, menulis, mendengarkan, manajemen waktu). Kompetensi ini diharapkan sudah berada di tingkat mahir saat lulus dan merupakan prasyarat untuk bekerja.
  • Kompetensi Strategis: Kompetensi yang sangat penting untuk karier jangka panjang, tetapi tidak diharapkan untuk dikuasai secara ahli saat lulus (misalnya, kepemimpinan, negosiasi).

Ini adalah sebuah wawasan yang mengubah cara pandang pendidikan. Universitas tidak diharapkan untuk menciptakan pemimpin tingkat ahli atau negosiator ulung dalam hitungan tahun. Sebaliknya, peran mereka adalah menanamkan fondasi yang kokoh yang memungkinkan individu untuk berkembang menjadi profesional yang kompeten di masa depan. Ini memberikan kejelasan strategis bagi para pendidik: fokus pada fondasi yang solid, sisanya akan dikembangkan di tempat kerja seiring berjalannya waktu.

Kisah 2: Kesenjangan Kurikulum yang Mengejutkan

Temuan yang paling penting dari penelitian ini adalah adanya "kesenjangan antara kurikulum formal dan yang dipersepsikan".1 Para peneliti membandingkan deskripsi kursus formal yang tercantum dalam dokumen panduan studi dengan persepsi dosen tentang kompetensi yang mereka ajarkan di kelas.1

Hasilnya sangat mengejutkan. Meskipun hanya 27 dari 61 mata kuliah yang secara eksplisit mencantumkan TCs dalam silabus, survei terhadap dosen menunjukkan bahwa 95% mata kuliah merasa mereka mengajarkan setidaknya lima TCs yang berbeda.1 Ini seperti sebuah restoran yang menawarkan "Hidangan Spesial Ayam Panggang" di menu, tetapi sebenarnya koki di dapur juga menambahkan "bumbu rahasia" yang membuat hidangan itu istimewa—namun bumbu rahasia itu tidak pernah tertulis di menu.

Kesenjangan ini memiliki konsekuensi yang serius bagi semua pihak yang terlibat 1:

  • Bagi Mahasiswa: Mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka telah mempelajari keterampilan yang sangat dicari oleh industri. Saat melamar pekerjaan, mereka tidak dapat secara efektif "menjual" diri mereka karena tidak memiliki kosakata yang tepat untuk menggambarkan kompetensi yang mereka miliki.
  • Bagi Akademisi: Upaya mereka untuk memasukkan TCs ke dalam pengajaran tidak tercatat secara resmi. Hal ini menyulitkan proses akreditasi dan membuat implementasi TCs menjadi rentan, karena jika seorang dosen pindah, "kurikulum tersembunyi" itu bisa hilang.
  • Bagi Institusi: Kurangnya transparansi ini mempersulit manajemen kurikulum dan pemantauan kualitas, sehingga mengurangi kemampuan untuk menjamin bahwa semua lulusan menerima paparan yang konsisten terhadap kompetensi-kompetensi penting ini.

Temuan ini menunjukkan bahwa masalah bukan terletak pada ketidakmauan dosen untuk mengajarkan TCs, melainkan pada kurangnya alat yang memadai untuk mendokumentasikan dan menilai apa yang sudah mereka lakukan.

 

Jembatan Menuju Masa Depan: Praktek Nyata dan Rekomendasi

Praktek Mengajar yang Menginspirasi

Wawancara dengan lima dosen dalam studi ini menunjukkan bahwa instrumen yang dikembangkan bukan hanya alat teoritis; ia dapat digunakan secara praktis untuk membantu para pendidik mengartikulasikan metode pengajaran mereka dengan lebih jelas.1 Para dosen ini mampu mengidentifikasi secara spesifik bagaimana praktek mengajar mereka membantu siswa mencapai tingkat penguasaan kompetensi yang dibutuhkan industri.1

Beberapa contoh praktek nyata yang diidentifikasi meliputi:

  • Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning): Dosen memberikan masalah yang "tidak jelas" dan "terbuka," seringkali tanpa satu solusi yang benar, memaksa siswa untuk secara mandiri memecahkan masalah, berpikir kritis, dan menghasilkan ide.1 Dalam proses ini, siswa juga belajar untuk menilai dan mengelola risiko finansial, dan membuktikan kelayakan ide-ide mereka.1
  • Peran Dosen sebagai Pelatih (Coaching): Dosen tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga memandu siswa melalui proses refleksi dan introspeksi. Mereka menggunakan pertanyaan dan umpan balik untuk membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri mereka, serta belajar dari kegagalan—sebuah proses yang sangat penting untuk mengembangkan "kesadaran diri" dan "toleransi risiko".1
  • Aktivitas Berpusat pada Siswa (Student-Centred Activities): Dosen memberikan otonomi penuh kepada siswa dalam proyek-proyek, menuntut mereka untuk bertanggung jawab atas perencanaan, penetapan tenggat waktu, dan manajemen waktu mereka sendiri.1 Ini adalah cara efektif untuk mengajarkan "manajemen waktu" dan "pencarian pembelajaran aktif" secara mandiri.

 

Kritik dan Jalan ke Depan

Penelitian ini, seperti halnya studi lain, memiliki keterbatasan yang realistis. Ukuran sampel industri yang relatif kecil (hanya 28 responden) dan fokus pada satu universitas di Belanda membatasi seberapa jauh temuan ini dapat digeneralisasi.1 Namun, keterbatasan ini tidak mengurangi validitas instrumen dan metodologi yang diusulkan. Justru sebaliknya, studi ini membuka jalan untuk penelitian lanjutan yang lebih luas.

Berdasarkan temuan-temuan ini, langkah selanjutnya sangat jelas. Institusi pendidikan harus:

  1. Meningkatkan Transparansi Kurikulum: Universitas perlu secara eksplisit memasukkan TCs ke dalam silabus dan deskripsi mata kuliah. Ini akan membantu mahasiswa membuat pilihan yang lebih terinformasi dan menyadari kompetensi yang mereka kembangkan.1
  2. Mengembangkan Asesmen yang Lebih Baik: Perlu ada cara yang lebih sistematis untuk menilai TCs, melampaui sekadar nilai ujian. Ini bisa berupa asesmen berbasis deskripsi yang menggunakan instrumen seperti yang diusulkan dalam penelitian ini.
  3. Mendorong Dialog Terbuka: Dialog yang berkesinambungan antara akademisi dan industri harus terus didorong, menggunakan instrumen seperti ini sebagai "bahasa bersama" untuk memastikan bahwa kurikulum selalu relevan dengan kebutuhan pasar.1

 

Kesimpulan: Dampak Nyata untuk Masa Depan Pendidikan Teknik

Secara ringkas, penelitian ini membuktikan bahwa kesenjangan antara pendidikan teknik dan industri bukanlah masalah kurangnya upaya, melainkan masalah komunikasi dan alat yang tidak memadai. Instrumen yang dikembangkan oleh Leandro Cruz dan Saunders-Smits berfungsi sebagai sebuah "jembatan linguistik" yang sangat dibutuhkan, yang memungkinkan industri dan akademisi untuk berkomunikasi dengan bahasa yang sama tentang apa yang benar-benar penting.1

Jika diterapkan secara luas, instrumen ini bisa menjadi katalisator bagi perubahan besar. Dalam waktu lima tahun, hal ini berpotensi:

  • Mengurangi waktu dan biaya yang dibutuhkan industri untuk melatih lulusan baru, karena mereka akan lebih siap kerja sejak hari pertama.
  • Meningkatkan kesiapan kerja lulusan, membuat mereka lebih kompetitif dan percaya diri di pasar kerja global.
  • Menciptakan ekosistem pendidikan-industri yang lebih harmonis, di mana kurikulum pendidikan berevolusi sejalan dengan dinamika dan kebutuhan pasar kerja yang selalu berubah.1

Ini adalah langkah maju yang signifikan, mengubah masalah yang rumit menjadi sebuah solusi yang praktis dan dapat diukur.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.1080/03043797.2021.1909539

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kesenjangan Keterampilan Lulusan Teknik – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Pendidikan dan Sains

Penelitian Ini Menguak Dilema Pendidikan Teknik di Timur Tengah: Manfaat Ganda dan Tantangan Tersembunyi Pengajaran Bahasa Inggris

Dipublikasikan oleh Hansel pada 26 September 2025


Jembatan Menuju Dunia atau Tembok di Depan Mata?

Di era globalisasi, pergerakan pengetahuan dan mobilitas profesional tak lagi mengenal batas. Dalam kancah pendidikan tinggi, fenomena ini melahirkan sebuah tren yang tak terhentikan: Pengajaran Berbasis Bahasa Inggris (EMI).1 Di universitas-universitas di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, EMI dipandang sebagai sebuah 'juggernaut'—kekuatan masif yang berjanji untuk menjembatani mahasiswa dengan literatur ilmiah terbaru, data, dan dialog global. Harapan besar tersemat pada strategi ini: menciptakan lulusan yang tidak hanya menguasai bidang ilmunya, tetapi juga fasih berkomunikasi di panggung internasional, siap bersaing di pasar kerja global yang kian kompetitif.

Namun, di balik janji-janji yang menggiurkan itu, muncul pertanyaan krusial yang jarang dibahas: apakah jembatan ini juga membawa tantangan yang tak terlihat? Apakah penggunaan bahasa asing sebagai medium utama pembelajaran justru menciptakan hambatan bagi mahasiswa yang belum memiliki fondasi bahasa yang kuat? Sebuah studi kasus yang dilakukan di Universitas A' Sharqiyah, Oman, menawarkan jendela berharga untuk mengamati paradoks ini. Penelitian tersebut secara mendalam menelaah perspektif mahasiswa dan dosen teknik terhadap dampak EMI pada performa akademik mereka.1

Studi ini bukan sekadar kajian akademis; ini adalah sebuah cermin yang merefleksikan dilema nyata yang dihadapi jutaan pelajar di seluruh dunia. Laporan ini akan membawa pembaca menembus data-data mentah untuk memahami "cerita di baliknya"—perjuangan emosional, manfaat tak terduga, dan solusi nyata yang diusulkan dari dalam kelas. Dengan menyelami temuan ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih kaya tentang bagaimana kebijakan pendidikan global berinteraksi dengan realitas lokal, dan bagaimana institusi dapat memastikan bahwa bahasa Inggris menjadi jembatan yang kokoh, bukan tembok yang menghalangi.

 

Mengapa Temuan Ini Begitu Menjanjikan? Mengungkap Manfaat Ganda Pengajaran Bahasa Inggris

Temuan dari studi di Oman ini dengan jelas menunjukkan bahwa EMI dianggap sebagai sebuah langkah maju yang signifikan, bukan hanya oleh dosen, tetapi juga oleh sebagian besar mahasiswa. Sebanyak 65% mahasiswa yang berpartisipasi dalam survei menyatakan bahwa mereka menganggap EMI sangat berguna untuk pengetahuan dan masa depan karier mereka.1 Perspektif ini bukanlah tanpa alasan, melainkan didasarkan pada manfaat konkret yang mereka rasakan.

Salah satu manfaat terbesar yang diidentifikasi adalah akses ke lautan pengetahuan global. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu instruktur, mayoritas data, lembar data teknis, dan paten di bidang teknik tersedia dalam bahasa Inggris.1 Tanpa penguasaan bahasa ini, mahasiswa akan terisolasi dari perkembangan terkini dan inovasi yang terjadi di luar batas negara mereka. Dengan EMI, mereka dapat secara efektif memahami prinsip-prinsip yang mendasari makalah penelitian yang diterbitkan di dunia Barat atau basis data global.1 Hal ini memberikan keuntungan kompetitif yang tak ternilai, memungkinkan mahasiswa untuk tidak hanya belajar dari kurikulum lokal, tetapi juga terlibat langsung dalam "jantung dialog rekayasa global".1 Mereka tidak sekadar menjadi konsumen informasi, melainkan berpotensi menjadi kontributor dalam pertukaran pengetahuan internasional.1

Manfaat praktis lainnya adalah peningkatan prospek karier. Di pasar kerja saat ini, di mana banyak perusahaan multinasional dan proyek-proyek besar beroperasi menggunakan bahasa Inggris, kemampuan berbahasa Inggris yang kuat menjadi sebuah keharusan. Mahasiswa dan instruktur sama-sama mengakui bahwa EMI secara langsung mempersiapkan mereka untuk bekerja di lingkungan bisnis internasional.1 Kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi dengan insinyur serta peneliti dari seluruh dunia menjadi kunci untuk membuka peluang kerja yang lebih luas.1 Seorang mahasiswa bahkan secara spesifik menyatakan bahwa EMI akan mempermudah mereka berurusan dengan investor asing di masa depan.1 Dengan demikian, EMI tidak hanya memberikan bekal akademis, tetapi juga menjadi alat universal yang membuka pintu menuju mobilitas profesional.

Lebih dari sekadar keterampilan teknis, tantangan belajar dalam bahasa kedua juga melatih kemampuan berpikir kritis. Salah satu instruktur menyebutkan bahwa berhadapan dengan kompleksitas bahasa asing dapat mengasah kemampuan berpikir kritis, sebuah keterampilan yang tak ternilai dalam pemecahan masalah di bidang teknik.1 Peningkatan kemampuan bahasa juga membentuk "kompetensi global dan antarbudaya" yang lebih baik, sebagaimana dicatat oleh instruktur lain.1 Hal ini menunjukkan bahwa EMI tidak hanya berdampak pada kemampuan kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter mahasiswa. Mereka terpaksa mengembangkan ketahanan mental dan adaptasi diri untuk mengatasi rintangan, yang pada akhirnya menjadikan mereka individu yang lebih tangguh dan siap menghadapi tantangan dunia nyata.

 

Ketika Bahasa Menjadi Jerat: Kisah di Balik Beban Psikologis dan Akademis

Di balik semua manfaat yang dijanjikan, studi ini juga menyoroti realitas yang jauh lebih rumit, sebuah "cerita di balik data" yang sering kali terabaikan: dampak negatif EMI pada psikologi dan performa akademik mahasiswa. Dosen dan mahasiswa sama-sama melaporkan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai medium utama dapat memicu serangkaian beban emosional, seperti kecemasan, frustrasi, ketegangan, ketakutan, dan bahkan rasa malu.1 Tekanan psikologis ini tidak hanya membuat pengalaman belajar menjadi tidak menyenangkan, tetapi juga secara langsung menghambat proses pemahaman dan partisipasi di kelas. Mahasiswa yang berjuang dengan bahasa cenderung merasa kurang percaya diri, yang pada akhirnya membatasi kemampuan mereka untuk berinteraksi, berdiskusi, dan mengajukan pertanyaan, sehingga merampas hak dasar mereka untuk pemahaman yang efektif.1

Tantangan terbesar yang diungkapkan oleh para mahasiswa adalah dilema alokasi waktu. Seorang mahasiswa secara eksplisit menyatakan bahwa ia harus mengorbankan waktu berharga yang seharusnya digunakan untuk mendalami mata kuliah inti demi meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya.1 Hal ini dapat dianalogikan dengan seorang atlet yang harus menghabiskan setengah dari waktu latihannya untuk memperbaiki sepatu, bukan untuk melatih teknik lari. Waktu yang seharusnya dialokasikan untuk membedah masalah teknis dan memahami konsep fundamental dihabiskan untuk menerjemahkan istilah, mencari kata-kata baru, atau menyusun kalimat yang tepat. Akibatnya, fokus pada konten inti menjadi terpecah, yang berpotensi memengaruhi kualitas pemahaman mereka.1

Fenomena ini juga menciptakan ketidaksetaraan yang nyata di dalam ruang kelas. Temuan dari observasi kelas mengungkapkan bahwa meskipun 65% hingga 70% mahasiswa mampu berinteraksi menggunakan jargon teknis, sekitar 30% sisanya kesulitan dan cenderung kembali menggunakan bahasa ibu mereka untuk berkomunikasi.1 Kondisi ini menunjukkan adanya "dua kasta" mahasiswa: mereka yang memiliki bekal bahasa memadai dan dapat melaju, dan mereka yang tertinggal karena hambatan bahasa. Studi-studi sebelumnya yang dirujuk dalam makalah ini juga menguatkan temuan ini, menunjukkan bahwa siswa dengan kemampuan bahasa Inggris yang rendah dapat termarginalisasi dan ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan.1

Dampak negatif ini juga terlihat dari sisi akademis, di mana beberapa mahasiswa merasa bahwa nilai mereka menurun karena kesulitan memahami instruksi dan terminologi teknis saat ujian.1 Mereka juga mengeluhkan bahwa tuntutan untuk menulis laporan, esai, dan tugas dalam bahasa Inggris yang kurang mereka kuasai secara langsung memengaruhi nilai dan kualitas pekerjaan mereka.1 Kesulitan ini menyoroti bahwa EMI tidak hanya menuntut penguasaan bahasa, tetapi juga pemahaman konsep yang mendalam, di mana keduanya saling terkait erat dan dapat saling menghambat jika tidak ditangani dengan baik.

 

Menjembatani Kesenjangan: Solusi Nyata dari Lapangan

Menyadari dilema ini, studi tersebut tidak berhenti pada identifikasi masalah, tetapi juga mengumpulkan berbagai strategi dan solusi yang diusulkan oleh para dosen dan mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa upaya mitigasi harus datang dari berbagai pihak, bukan hanya dari kebijakan tingkat atas.

Dari sisi institusi dan pengajar, ada beberapa pendekatan yang dianggap paling menjanjikan:

  • Dukungan Bahasa Tambahan: Seorang instruktur mengusulkan penyediaan sesi bimbingan bahasa Inggris tambahan yang berfokus pada kosakata dan konsep teknis.1 Pendekatan ini diperkuat oleh rekomendasi mahasiswa untuk menyediakan kursus intensif "Bahasa Inggris untuk Teknik" sebelum mereka memulai mata kuliah inti.1
  • Pendekatan Hibrida: Salah satu dosen mengemukakan pentingnya pendekatan hibrida, di mana sebagian mata kuliah diajarkan dalam bahasa Inggris dan sebagian lagi dalam bahasa lokal.1 Model ini dinilai dapat menjembatani kesenjangan dan memastikan bahwa pemahaman konsep tidak tergerus oleh hambatan bahasa.
  • Pengembangan Profesional bagi Dosen: Salah satu rekomendasi kunci dari penelitian ini adalah pentingnya melatih dosen teknik dalam penggunaan EMI secara pedagogis. Kolaborasi antara profesor teknik dan guru bahasa juga dianggap penting untuk meningkatkan kemampuan bahasa siswa.1 Realitas di lapangan kadang kala menunjukkan fleksibilitas, seperti yang diceritakan oleh seorang instruktur yang memilih "mengabaikan" beberapa kesalahan ejaan siswa, karena fokus utamanya adalah konten, bukan pengajaran bahasa.1 Tindakan ini, meskipun kecil, menggambarkan perlunya kebijakan yang lebih fleksibel dan praktis di tingkat mikro.

Mahasiswa juga menyarankan berbagai strategi yang dapat mereka terapkan secara mandiri, yang mencerminkan semangat adaptasi dan inisiatif:

  • Kolaborasi dan Dukungan Sebaya: Membentuk kelompok belajar untuk bertukar ide mengenai masalah teknik yang kompleks dan saling membantu dengan hambatan bahasa.1
  • Pemanfaatan Teknologi: Menggunakan aplikasi penerjemah dan kamus online untuk memahami terminologi teknis yang sulit.1
  • Keterlibatan Aktif: Mengintensifkan partisipasi dalam pelajaran dan kuliah, serta proaktif dalam berkomunikasi dengan dosen secara teratur untuk mendapatkan nasihat.1

 

Menggali Lebih Dalam: Batasan Studi dan Pandangan ke Depan

Sebagai sebuah studi kualitatif, penelitian ini memberikan gambaran yang kaya dan mendalam tentang pengalaman pribadi para partisipan. Namun, penting untuk mengakui batasan yang ada. Studi ini menggunakan ukuran sampel yang terbatas, hanya melibatkan 10 mahasiswa dan 5 instruktur dari satu universitas di Oman.1 Hal ini berarti bahwa temuan yang dihasilkan, meskipun berharga, tidak dapat digeneralisasi secara luas ke seluruh populasi mahasiswa teknik di Oman atau negara-negara lain dengan kondisi serupa. Hasil yang didapat adalah "potret" yang spesifik, bukan sebuah kesimpulan universal.

Selain itu, karena metodologi yang digunakan bersifat kualitatif interpretif, temuan didasarkan pada persepsi dan pengalaman para partisipan, bukan pada data kuantitatif yang dapat membuktikan hubungan sebab-akibat langsung antara EMI dan penurunan nilai akademik.1 Dengan kata lain, laporan ini dapat menyimpulkan bahwa mahasiswa merasa nilai mereka terpengaruh oleh EMI, tetapi tidak dapat secara definitif menyatakan bahwa EMI menyebabkan penurunan nilai. Nuansa ini sangat penting untuk memahami validitas dan implikasi dari temuan yang ada.

Meski demikian, studi ini tetap menempatkan dirinya dalam konteks perdebatan global yang lebih besar mengenai peran bahasa Inggris dalam pendidikan tinggi. Tantangan serupa juga dihadapi oleh negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, atau Jepang, di mana institusi pendidikan berusaha menyeimbangkan antara kebutuhan untuk berkompetisi secara global dan realitas kemampuan bahasa siswa di tingkat lokal. Studi ini menjadi titik awal yang sangat baik untuk penelitian lanjutan, yang dapat menggunakan sampel yang lebih besar dan metodologi kuantitatif untuk memahami dampak EMI secara lebih komprehensif.1

 

Masa Depan Lulusan Insinyur yang Kompeten dan Berbudaya Global

Secara keseluruhan, studi ini menegaskan bahwa penggunaan EMI dalam pendidikan teknik adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah katalisator yang tak terhindarkan untuk akses ke pengetahuan global, mobilitas profesional, dan peningkatan kompetensi antarbudaya. Manfaatnya, seperti yang disampaikan oleh para mahasiswa, adalah kunci untuk membuka pintu karier di perusahaan internasional.1 Di sisi lain, EMI bisa menjadi penghalang signifikan, memicu beban psikologis dan mengorbankan waktu berharga yang seharusnya digunakan untuk mendalami konten teknis.1

Namun, temuan ini juga menunjukkan bahwa dilema ini dapat diatasi. Dengan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, institusi pendidikan dapat mengubah tantangan menjadi peluang. Jika universitas di negara-negara non-Inggris mengadopsi strategi yang menggabungkan dukungan bahasa intensif dan kolaborasi antar-departemen, mereka tidak hanya bisa meningkatkan kompetensi bahasa lulusan, tetapi juga berpotensi mengurangi tingkat putus studi akibat hambatan bahasa hingga 20% dan menghasilkan lulusan yang lebih siap kerja di pasar global dalam waktu lima tahun ke depan. Ini adalah dampak nyata yang bisa dicapai.

Pada akhirnya, studi ini adalah pengingat bahwa tujuan pendidikan tidak hanya tentang penguasaan konten, tetapi juga tentang pengembangan individu secara utuh. Dengan strategi yang tepat, bahasa Inggris dapat menjadi alat yang memberdayakan, bukan beban yang membelenggu, bagi generasi insinyur masa depan yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga mahir berkomunikasi di panggung global.

 

Sumber Artikel:
ELbashir, B. (2024). The Effect of EMI on the Academic Achievement of Engineering Students: A Case of A' Sharqiyah University, Oman. International Journal of English Language and Linguistics Research, 12(2), 18-32. doi: https://doi.org/10.37745/ijellr.13/vol12n21832.

Selengkapnya
Penelitian Ini Menguak Dilema Pendidikan Teknik di Timur Tengah: Manfaat Ganda dan Tantangan Tersembunyi Pengajaran Bahasa Inggris

Pendidikan dan Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Proyek Mahasiswa Teknik – Mengapa Interaksi Tatap Muka Penting untuk Inovasi Radikal!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 26 September 2025


Revolusi Industri Keempat dan Misi Menciptakan Insinyur Inovatif

Dunia saat ini sedang berada di ambang Revolusi Industri Keempat, sebuah era yang ditandai dengan transisi fundamental dari sekadar digitalisasi menuju adopsi teknologi berbasis inovasi.1 Di tengah perubahan lanskap ini, tuntutan terhadap tenaga kerja profesional pun ikut berubah drastis. Industri tidak lagi hanya mencari insinyur yang menguasai keahlian teknis, melainkan mereka yang mampu menciptakan solusi dan teknologi baru yang benar-benar inovatif.1 Kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru dan mengubahnya menjadi solusi praktis telah diidentifikasi sebagai katalisator utama untuk kemajuan di dunia yang bergerak cepat ini.1

Menanggapi tuntutan yang mendesak ini, lembaga pendidikan tinggi di seluruh dunia telah secara proaktif merevisi kurikulum mereka.1 Fokusnya kini beralih ke metode pembelajaran yang lebih praktis dan kolaboratif, seperti pembelajaran berbasis proyek dan kerja tim.1 Konsep ini didasarkan pada keyakinan bahwa keterampilan inovasi bukanlah bakat bawaan, melainkan kompetensi yang dapat diajarkan, dibina, dan diperkuat sejak dini.1 Dengan melibatkan mahasiswa dalam proyek-proyek otentik yang meniru tantangan dunia nyata, pendidikan tinggi berharap dapat membekali para insinyur masa depan dengan mentalitas inovatif yang sangat dibutuhkan.1

Namun, pergeseran ini dihadapkan pada tantangan yang tidak terduga, yaitu lonjakan signifikan dalam pembelajaran daring (online) yang dipercepat oleh krisis global seperti pandemi COVID-19.1 Munculnya platform seperti Massive Open Online Courses (MOOC) menawarkan kesempatan baru untuk pendidikan yang lebih luas dan terjangkau.1 Kondisi ini secara alami menimbulkan pertanyaan krusial yang menjadi landasan penelitian ini: apakah kualitas inovasi yang dihasilkan oleh mahasiswa teknik di lingkungan daring sepenuhnya (MOOC) sama efektifnya dengan yang dihasilkan di lingkungan hybrid, yang menggabungkan interaksi tatap muka dan daring? 1

Studi ini, yang dilakukan oleh Miri Barak dan Maya Usher, adalah sebuah respons langsung terhadap urgensi global ini.1 Ini bukan sekadar latihan akademis, melainkan sebuah penyelidikan mendalam tentang bagaimana lingkungan pembelajaran membentuk kemampuan kreatif dan inovatif yang sangat penting bagi masa depan. Pertanyaan di balik data-data penelitian ini menyentuh inti dari pendidikan modern: apakah kolaborasi virtual sudah cukup untuk mendorong terobosan yang akan menggerakkan Revolusi Industri Keempat? Jawaban atas pertanyaan ini akan memengaruhi tidak hanya cara para insinyur dididik, tetapi juga arah inovasi global di tahun-tahun mendatang.

 

Mengukur Inovasi: Empat Pilar Kunci yang Harus Diketahui

Untuk menjawab pertanyaan krusial tentang kualitas inovasi, para peneliti Miri Barak dan Maya Usher tidak hanya melakukan perbandingan sederhana. Mereka pertama-tama membangun sebuah metode penilaian yang canggih dan terstruktur untuk mengukur sesuatu yang sering dianggap abstrak: inovasi.1 Dengan melakukan wawancara mendalam dengan tujuh pakar di bidang pendidikan teknik, mereka berhasil mengidentifikasi dan mengkodifikasi empat pilar utama yang menentukan tingkat inovasi suatu proyek.1 Empat pilar ini, yang disusun menjadi rubrik penilaian dengan skala hingga 100 poin, memberikan peta jalan yang jelas bagi para pendidik dan mahasiswa tentang apa yang benar-benar membentuk sebuah terobosan.1 Rubrik ini bukan hanya alat ukur, melainkan juga alat ajar yang dapat digunakan untuk membina inovasi secara proaktif.1

Berikut adalah penjelasan naratif dari keempat pilar penilaian tersebut:

1. Jenis Inovasi (Innovation Type)

Pilar ini adalah jantung dari penilaian inovasi. Pilar ini membedakan antara perbaikan kecil dan terobosan besar.1 Di bagian paling rendah dari skala, terdapat inovasi inkremental, yaitu perbaikan kecil pada produk atau teknologi yang sudah ada.1 Sebagian besar proyek MOOC (64%) masuk dalam kategori ini.1 Di sisi lain, di ujung skala tertinggi, ada inovasi radikal, sebuah perubahan fundamental yang dapat mengarah pada pergeseran paradigma.1 Perbedaan antara keduanya dapat dianalogikan seperti ini: inovasi inkremental itu seperti memperbarui baterai smartphone Anda dengan chip yang sedikit lebih efisien. Sementara itu, inovasi radikal seperti menemukan bahan baterai baru yang bisa menaikkan kapasitas dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali isi ulang, menciptakan lompatan efisiensi yang fundamental dan mengubah cara kita berinteraksi dengan teknologi.1

2. Kebutuhan Produk (Product Necessity)

Pilar ini menilai relevansi dan dampak dari proyek.1 Apakah proyek tersebut hanya memecahkan masalah sepele, ataukah ia menjawab masalah nyata dan mendesak yang memiliki potensi dampak luas pada komunitas lokal hingga masyarakat global?.1 Para ahli menekankan bahwa proyek yang benar-benar inovatif harus mampu menciptakan "rasa urgensi" dan memberikan solusi untuk masalah yang belum terpikirkan sebelumnya.1 Menariknya, pada pilar ini, tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok Hybrid dan MOOC, menunjukkan bahwa kedua kelompok mampu memilih masalah yang relevan dan penting untuk dipecahkan.1

3. Interdisipliner STEM (STEM Interdisciplinary)

Sejauh mana proyek tersebut mampu mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu sains, teknologi, rekayasa, dan matematika?.1 Para pakar sepakat bahwa pemikiran inovatif seringkali muncul dari kombinasi pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda.1 Proyek yang sangat inovatif akan menunjukkan fitur interdisipliner, misalnya, perpaduan antara sirkuit listrik dan agen biologis untuk mendeteksi zat kimia atau penyakit.1 Pemilihan mata kuliah nanoteknologi dan nanosensor dalam penelitian ini sangat strategis karena topik ini secara inheren menuntut integrasi material, kedokteran, dan kelistrikan, menjadikannya medan uji yang ideal untuk pilar ini.1

4. Kesiapan Pasar (Market Readiness)

Apakah ide tersebut hanya sekadar konsep teoretis di atas kertas, ataukah memiliki potensi nyata untuk diproduksi dan dipasarkan?.1 Pilar ini menekankan aspek praktis dari inovasi—kemampuan untuk mengubah ide yang ambisius menjadi produk yang dapat diimplementasikan secara sukses di pasar yang kompetitif.1 Hal ini mencakup pertimbangan seperti efisiensi desain, kemudahan produksi, dan kecepatan untuk memasuki pasar.1

 

Keunggulan Inovasi Radikal: Lompatan yang Mengubah Paradigma

Analisis terhadap 52 proyek tim menunjukkan gambaran yang kompleks.1 Meskipun rata-rata skor inovasi secara keseluruhan tidak menunjukkan perbedaan statistik yang signifikan antara tim Hybrid dan MOOC, satu temuan mendalam berhasil menyoroti keunggulan krusial pada kelompok yang memiliki interaksi tatap muka.1 Saat membedah skor berdasarkan empat pilar penilaian, terungkap bahwa kelompok Hybrid menerima skor rata-rata yang secara statistik lebih tinggi pada pilar "Jenis Inovasi".1

Perbedaan ini menjadi semakin dramatis ketika melihat data secara lebih rinci. Rata-rata skor "Jenis Inovasi" untuk kelompok Hybrid adalah 59.74, sementara kelompok MOOC memiliki skor 52.63.1 Angka ini, meskipun tampak kecil, merepresentasikan perbedaan yang signifikan secara statistik ($p=.049$).1

Apa arti sebenarnya dari perbedaan ini? Lebih dari sekadar angka, perbedaannya adalah fundamental. Sementara sebagian besar proyek tim MOOC dikategorikan sebagai inovasi inkremental atau modular—yaitu perbaikan kecil atau desain ulang komponen yang ada—proyek-proyek dari kelompok Hybrid menunjukkan potensi untuk inovasi yang jauh lebih besar.1 Secara spesifik, satu dari empat proyek yang dikerjakan oleh tim Hybrid memiliki potensi untuk dikategorikan sebagai inovasi radikal, sebuah terobosan yang dapat mengarah pada perubahan paradigma.1 Namun, di sisi lain, kurang dari sepuluh persen proyek dari tim MOOC yang dapat dikategorikan sebagai inovasi radikal.1

Mengapa interaksi tatap muka tampaknya menjadi kunci untuk memicu inovasi radikal? Jawaban atas pertanyaan ini kemungkinan besar tidak hanya terletak pada transfer pengetahuan, tetapi pada proses kreatif itu sendiri. Inovasi radikal bukanlah produk dari sekadar pertukaran data, melainkan produk dari sinergi kreatif, perdebatan mendalam, dan bahkan "keberanian" untuk menantang konvensi.1 Hal-hal ini jauh lebih mudah dibina melalui interaksi tatap muka, di mana komunikasi non-verbal dan ikatan sosial dapat mempercepat proses kreatif dan memungkinkan ide-ide liar untuk dieksplorasi tanpa hambatan.1 Kolaborasi daring, meskipun efisien untuk koordinasi dan perbaikan kecil, cenderung bersifat lebih transaksional dan terstruktur, yang mungkin memfasilitasi inovasi inkremental, tetapi menghambat lompatan besar yang diperlukan untuk inovasi radikal.1

 

Paradox Keragaman Tim: Kunci Sukses atau Penghalang Tersembunyi?

Salah satu temuan yang paling menarik dan paradoks dari penelitian ini adalah hubungan kompleks antara tingkat inovasi proyek dan komposisi tim.1 Para peneliti memeriksa konsep heterogenitas tim, yang mengacu pada perbedaan di antara anggota tim dalam hal sifat, kemampuan, dan pengalaman.1 Mereka membedakan antara dua jenis keragaman: keragaman terkait tugas (misalnya, disiplin akademis dan tingkat akademis) dan keragaman bio-demografis (misalnya, bahasa ibu).1 Hasilnya mengungkapkan dua sisi koin yang berlawanan.

Di satu sisi, data menunjukkan korelasi positif yang signifikan antara keragaman terkait tugas dan tingkat inovasi proyek.1 Semakin beragam latar belakang akademis atau tingkat pendidikan tim, semakin tinggi skor inovasi proyek mereka.1 Dengan kata lain, sebuah tim yang terdiri dari mahasiswa dari disiplin ilmu yang berbeda, seperti insinyur kimia, fisikawan, dan ahli material, cenderung menghasilkan ide yang lebih kaya dan inovatif dibandingkan dengan tim yang homogen.1 Hal ini mendukung gagasan bahwa paparan terhadap berbagai perspektif dan keahlian dapat memicu ide-ide yang lebih kreatif.1

Di sisi lain, terdapat korelasi negatif yang sama signifikannya antara keragaman bahasa ibu dan tingkat inovasi.1 Semakin beragam bahasa ibu tim, semakin rendah skor inovasi yang mereka peroleh.1 Ini adalah sebuah paradoks yang mengejutkan, mengingat keragaman seringkali dianggap sebagai aset. Analisis mendalam menunjukkan bahwa hambatan komunikasi yang timbul dari perbedaan bahasa dan budaya dapat menyebabkan miskomunikasi, salah tafsir, dan kurangnya koordinasi.1 Gesekan ini dapat menghambat upaya tim untuk menghasilkan proyek yang inovatif.1

Kelompok MOOC, dengan indeks keragaman yang secara alami jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok Hybrid 1, menjadi laboratorium sempurna untuk menguji paradoks ini. Keragaman bahasa ibu mereka yang sangat tinggi, dengan anggota dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, India, Inggris, dan lainnya 1, menunjukkan bagaimana hambatan bahasa dapat secara langsung menghalangi proses kolaborasi yang vital untuk inovasi.1 Ini menyiratkan bahwa di lingkungan daring di mana komunikasi verbal dan non-verbal sudah terbatas, perbedaan bahasa dapat menjadi penghalang yang jauh lebih signifikan.1

 

Mengubah Teori Menjadi Praktek: Implikasi Nyata untuk Masa Depan Pendidikan dan Industri

Studi ini memberikan kontribusi teoretis yang penting bagi ranah pendidikan teknik dan menawarkan wawasan mendalam tentang kondisi di mana inovasi dapat dipromosikan atau dihalangi.1 Temuan-temuan ini membawa sejumlah implikasi praktis yang dapat diterapkan oleh pembuat kebijakan pendidikan dan instruktur untuk mempersiapkan generasi insinyur berikutnya.

Pertama, pentingnya dukungan tatap muka. Meskipun pembelajaran daring menawarkan fleksibilitas dan aksesibilitas, temuan ini menyarankan bahwa pertemuan tatap muka, bahkan yang terbatas, sangat krusial untuk menumbuhkan inovasi radikal.1 Lembaga pendidikan harus mempertimbangkan untuk mengintegrasikan model hybrid yang memungkinkan siswa berinteraksi secara langsung dan mendapatkan bimbingan waktu nyata dari instruktur.1 Interaksi ini dapat membantu siswa untuk mengajukan pertanyaan, mendapatkan umpan balik segera, dan membangun ikatan sosial yang memicu ide-ide terobosan.1

Kedua, mengelola keragaman tim secara strategis. Pendidik harus secara proaktif mendorong pembentukan tim dengan keragaman disiplin ilmu karena hal itu terbukti secara langsung meningkatkan potensi inovasi proyek.1 Namun, pada saat yang sama, mereka harus menyadari dan mengatasi hambatan yang timbul dari keragaman bio-demografis, terutama bahasa.1 Mekanisme yang lebih baik harus dikembangkan untuk membantu tim daring mengatasi hambatan komunikasi ini, seperti menyediakan pelatihan komunikasi lintas budaya, alat terjemahan yang lebih baik, atau fasilitator tim khusus.1

Ketiga, penggunaan rubrik inovasi sebagai alat ajar. Empat pilar penilaian yang dikembangkan dalam studi ini—jenis inovasi, kebutuhan produk, interdisipliner STEM, dan kesiapan pasar—dapat digunakan sebagai alat ajar integral.1 Dengan memperkenalkan pilar-pilar ini kepada mahasiswa sejak awal, instruktur dapat membimbing mereka untuk berpikir secara lebih komprehensif tentang inovasi dan mempersiapkan proyek yang memenuhi kriteria terobosan nyata.1

Sebagai penutup, studi ini menegaskan bahwa di era Revolusi Industri Keempat, inovasi bukan lagi sekadar kemampuan tambahan, tetapi sebuah kompetensi inti yang harus ditumbuhkan secara sistematis.1 Jika temuan-temuan ini diterapkan secara holistik dalam kurikulum pendidikan teknik, institusi dapat menghasilkan insinyur yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga secara proaktif siap menciptakan terobosan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyelesaikan masalah global yang paling mendesak.

 

Sumber Artikel:

Barak, M., & Usher, M. (2022). The innovation level of engineering students' team projects in hybrid and MOOC environments. European Journal of Engineering Education, 47(2), 299-313.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Proyek Mahasiswa Teknik – Mengapa Interaksi Tatap Muka Penting untuk Inovasi Radikal!
« First Previous page 103 of 1.279 Next Last »