Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan vokasional, khususnya Teknik Sipil di tingkat SMK, penguasaan materi dasar seperti konstruksi balok sederhana merupakan fondasi penting bagi siswa. Penelitian Windri Eka Candri (2021) yang dilakukan di SMK Negeri 1 Cibinong hadir sebagai respons terhadap rendahnya nilai siswa dalam mata pelajaran Mekanika Teknik, khususnya pada kompetensi menghitung konstruksi balok sederhana. Dengan mengombinasikan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan metode Drill, penelitian ini memberikan pendekatan baru yang terbukti mampu meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan.
Latar Belakang dan Permasalahan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lebih dari 65% siswa tidak memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada materi konstruksi balok sederhana. Penyebab utama rendahnya hasil belajar ini di antaranya:
Rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep dasar.
Kurangnya latihan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.
Metode ceramah yang monoton dan minim interaksi.
Masalah-masalah ini memunculkan kebutuhan mendesak akan strategi pengajaran yang lebih partisipatif dan kontekstual.
Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan dengan pendekatan tindakan kelas (Classroom Action Research) dalam dua siklus yang masing-masing terdiri dari dua pertemuan. Subjek penelitian adalah 34 siswa kelas X BKP 2 SMKN 1 Cibinong yang terdiri dari 18 laki-laki dan 16 perempuan. Penelitian dilaksanakan selama Agustus hingga Desember 2019.
Data dikumpulkan melalui:
Lembar observasi aktivitas siswa dan guru
Pre-test dan post-test (siklus I dan II) untuk menilai pengetahuan siswa
Refleksi dan evaluasi siklus untuk menentukan efektivitas tindakan
Hasil Penelitian
Peningkatan Kompetensi Siswa
Pre-test menunjukkan hanya 13 dari 34 siswa (38,2%) yang mencapai nilai di atas KKM (76).
Setelah siklus I dengan penerapan PBL + Drill, jumlah siswa kompeten meningkat menjadi 21 siswa (58,8%).
Pada akhir siklus II, terjadi peningkatan drastis: 29 dari 34 siswa (85,3%) mencapai nilai kompeten.
Aktivitas Siswa dan Guru
Aktivitas siswa meningkat dari 79% (cukup aktif) di siklus I menjadi 87% (aktif) di siklus II.
Aktivitas guru meningkat dari 84% (baik) menjadi 90% (sangat baik).
Grafik peningkatan skor siswa dan keaktifan baik siswa maupun guru menunjukkan bahwa strategi pembelajaran ini mendorong keterlibatan dan pemahaman siswa secara menyeluruh.
Studi Kasus: Dampak Langsung di Lapangan
Sebagai contoh nyata, salah satu siswa bernama R, yang sebelumnya hanya mendapatkan nilai 65 pada pre-test, menunjukkan peningkatan hingga 83 setelah siklus II. Melalui diskusi kelompok berbasis masalah dan penguatan soal dengan drill, R menjadi lebih percaya diri dalam memahami perhitungan beban dan gaya pada balok sederhana.
Analisis dan Nilai Tambah
A. Kekuatan Pendekatan
PBL mendorong keterlibatan aktif siswa, bukan sekadar pasif mendengarkan ceramah.
Metode Drill memperkuat penguasaan teknis dan rutinitas perhitungan.
Kombinasi keduanya menciptakan keseimbangan antara pemahaman konsep dan kemampuan menyelesaikan soal.
B. Kelemahan dan Catatan
Penelitian hanya mencakup satu kelas dalam satu tahun ajaran, sehingga diperlukan replikasi lebih luas untuk generalisasi.
Tidak disebutkan keberlanjutan pemahaman siswa dalam jangka panjang.
C. Perbandingan dengan Penelitian Lain
Studi ini sejalan dengan penelitian Priyasudana (2016) dan Mardiah et al. (2016) yang juga menunjukkan bahwa PBL meningkatkan hasil belajar siswa Teknik Sipil. Namun, nilai tambah Candri terletak pada integrasi Drill, yang menjembatani antara pemahaman konseptual dan keterampilan teknis harian.
Implikasi Praktis untuk Pendidikan Teknik
Guru Teknik Sipil dapat mengadopsi model ini untuk topik lain seperti struktur rangka atau analisis beban.
Sekolah dapat memfasilitasi pelatihan PBL bagi guru, mengingat metode ini mendorong pembelajaran aktif.
Kebijakan pendidikan vokasi perlu mendorong riset tindakan kelas sebagai alat peningkatan mutu.
Kesimpulan
Penelitian Windri Eka Candri menunjukkan bahwa integrasi Problem Based Learning dan Drill merupakan strategi efektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam menghitung konstruksi balok sederhana. Peningkatan signifikan baik dari aspek nilai maupun keterlibatan siswa menegaskan pentingnya model pembelajaran aktif dan kontekstual dalam pendidikan kejuruan.
Sebagai penutup, studi ini tidak hanya menyumbang pengetahuan empiris, tetapi juga memberikan inspirasi praktik nyata yang aplikatif bagi guru dan pembuat kebijakan pendidikan vokasional.
Sumber: Windri Eka Candri. (2021). Peningkatan Kompetensi Konstruksi Balok Sederhana melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dipadukan dengan Metode Drill. Jurnal Pensil: Pendidikan Teknik Sipil, 10(1), 34–39. DOI: 10.21009/jpensil.v10i1.18505
Banjir Bandang
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Ketika Banjir Datang di Tanah yang Harusnya Kering
Wilayah karst seperti Gunungkidul dikenal minim permukaan udara, namun ironi terjadi di Dukuh Tungu, Desa Girimulyo, ketika kawasan tersebut justru terendam banjir besar selama 4–7 hari akibat siklon tropis Cempaka pada akhir November 2017. Bencana ini bukan hanya langka, tetapi menyingkap sistem sedimen dan kerusakan ekologis di wilayah yang umumnya bersifat porus.
Dian Hudawan Santoso dalam penelitiannya berusaha menjawab tantangan tersebut dengan menerapkan metode ecodrainage —pendekatan berbasis lingkungan yang memanfaatkan sistem retensi dan infiltrasi alami untuk mengelola limpasan air hujan secara berkelanjutan. Artikel ini mengupas strategi penanggulangan banjir berbasis kerentanan multidimensi: lingkungan, fisik, sosial, dan ekonomi.
Kerentanan Banjir di Kawasan Karst: Temuan Penting
Penelitian dilakukan pada RT 06, RT 07, RT 08, dan RT 09 yang mencakup luas ±10,7 Ha. Melalui metode survei, pemetaan, kuesioner pada 65 responden, dan analisis matematis, tingkat kerentanan banjir dinilai berdasarkan empat aspek utama:
Hasilnya, keempat RT dinyatakan memiliki kerentanan banjir tingkat sedang , bahkan pada wilayah yang tidak tergenang. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman banjir tidak hanya terbatas pada ekosistem, tetapi juga kesiapan sistem sosial-ekologis.
Sumber Masalah: Ponor Tertutup dan Limpasan Tak Terarah
Salah satu penemuan kunci adalah tertutupnya ponor (lubang alami karst tempat air meresap ke dalam tanah), akibat pembangunan dan pengurukan oleh warga. Hal ini memperparah genangan karena air hujan tidak lagi memiliki jalan alami untuk meresap, melainkan terkumpul di cekungan, memperpanjang durasi banjir hingga >48 jam.
Solusi Teknologi: Ecodrainage sebagai Pendekatan Adaptif
Ecodrainage yang diterapkan menggabungkan tiga elemen kunci:
1. Kolam Retensi Berbasis Infiltrasi
Meski efisiensi infiltrasinya rendah, kolam ini tetap menjadi zona penyangga yang efektif dalam menahan limpasan langsung.
2. Saluran Air Hujan dengan Rorak dan Bak Pengumpul
Rorak meningkatkan daya serap lokal sekaligus memperlambat aliran udara, memberi waktu untuk infiltrasi.
3. Peninggian Lantai dan Vegetasi Halaman
Efisiensi Sistem: Seberapa Besar Dampaknya?
Hasil akhir menunjukkan bahwa kombinasi ecodrainage dapat mengurangi potensi banjir hingga 71,3% . Ini merupakan angka signifikan untuk wilayah karst dengan karakter tanah lempung yang biasanya sulit ditembus udara.
Pendekatan Non-Teknis: Sosial dan Pemerintahan
Sosial:
Pemerintahan:
Ketiadaan peran serta warga akan membuat infrastruktur mati suri.
Studi Banding dan Kritik
Pita:
Kritik:
Rekomendasi: Langkah Strategis Menuju Ketahanan
Kesimpulan: Teknologi Ramah Lingkungan untuk Daerah Rentan
Penelitian ini memberikan kontribusi besar dalam menunjukkan bahwa metode ecodrainage bisa menjadi alternatif solusi di wilayah karst seperti Dukuh Tungu. Banjir yang dahulu dianggap mustahil di wilayah kering pun kini bisa diatasi dengan sistem infiltrasi dan partisipasi komunitas yang tepat.
Namun, kehancuran sistem tidak hanya terletak pada teknologi, tetapi juga pada kesadaran sosial dan komitmen institusi . Banjir adalah fenomena kompleks yang harus dihadapi dengan pendekatan sistemik—dari bawah ke atas.
Sumber:
Santoso, DH (2019). Penanggulangan Bencana Banjir Berdasarkan Tingkat Kerentanan dengan Metode Ecodrainage pada Ekosistem Karst di Dukuh Tungu, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DIY . Jurnal Geografi, 16(1), 7–15.
Biofarmasi
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 28 Mei 2025
Mengapa Lead Time Internal Menjadi Isu Strategis?
Dalam dunia manufaktur modern, terutama di industri farmasi yang sangat teregulasi dan sensitif terhadap waktu serta kualitas, efektivitas rantai pasok internal sangat berpengaruh pada daya saing dan profitabilitas. Salah satu tolok ukur utama adalah internal lead time (ILT), yaitu waktu dari awal hingga akhir proses produksi di dalam fasilitas. Studi dari Sander van den Heuvel ini secara mendalam membedah bagaimana pendekatan simulasi digital (digital twin) dapat digunakan untuk mengevaluasi dan mengoptimalkan ILT melalui redesign proses yang cermat dan berbasis data.
Fokus Penelitian dan Konteks Industri
Penelitian ini dilakukan di sebuah perusahaan farmasi yang menggunakan sistem produksi alur kerja berurutan (flow lane). Namun, sistem ini menunjukkan gejala keusangan: pemrosesan tidak konsisten, penumpukan WIP (Work-in-Progress), dan waktu tunggu tinggi. Fokus penelitian diarahkan pada tiga stasiun utama: blistering, sachetting, dan cartoning – dengan perhatian khusus pada sachetting, yang menjadi titik lemah utama dalam rantai nilai internal.
Strategi Solusi: Digital Twin & Evaluasi Simulasi
Pendekatan Digital Twin
Salah satu kekuatan utama studi ini adalah pembangunan digital twin, yaitu model simulasi yang meniru sistem nyata berdasarkan data historis. Dengan tingkat presisi tinggi, model ini memungkinkan peneliti untuk menguji berbagai alternatif tanpa mengganggu operasi nyata.
Penyebab Utama ILT Tinggi
Hasil awal menunjukkan bahwa waktu tunggu (wait time) menyumbang 90% dari ILT, bukan waktu proses aktual. Hal ini mengindikasikan bahwa efisiensi bukan semata soal kecepatan mesin, tapi juga pengaturan arus kerja dan penjadwalan yang cermat.
Rangkaian Alternatif Solusi dan Hasilnya
1. Parallelisasi dan Relaksasi Flow Lane
Mengubah pendekatan rigid flow lane menjadi sistem operasi paralel untuk lini SA1, SA2, dan SA3 terbukti menurunkan ILT sebesar 11,9%. WIP sebelum sachetting turun 26,6% dan total waktu tunggu menurun 13,1%. Ini menunjukkan bahwa pendekatan fleksibel bisa lebih efisien dibanding struktur sekuensial klasik.
2. Rekonstruksi Lini Sachetting
Tiga skenario diuji:
Dari sisi keuangan, skenario ketiga paling menjanjikan karena meningkatkan efisiensi sekaligus menekan beban tenaga kerja secara struktural.
Studi Kasus: Optimalisasi Buffer Space
Salah satu penyebab kemacetan produksi adalah buffer yang tidak teratur antara sachetting dan cartoning. Dengan membatasi ruang buffer menjadi 31% dan 67% dari ukuran semula, hasil simulasi menunjukkan:
Namun, ini juga memunculkan tantangan: risiko starving (lini kehabisan bahan baku) jika kedatangan tidak seimbang dengan kapasitas. Maka, rekomendasinya adalah kontrol aktif terhadap buffer, bukan hanya pengurangan pasif.
Dampak Implementasi & Langkah Nyata
Yang menarik, sebagian dari alternatif telah diimplementasikan secara nyata, seperti parallelisasi SA1–SA3. Hasil awal di lapangan menunjukkan peningkatan kecepatan dan pengurangan WIP secara kasat mata. Meskipun belum tersedia data kuantitatif pasca-implementasi, pihak manajemen menunjukkan komitmen kuat untuk melanjutkan reformasi berbasis temuan studi ini.
Opini & Nilai Tambah: Apakah Pendekatan Ini Relevan di Industri Lain?
Studi ini memberi pelajaran penting bahwa rigiditas struktural seringkali menjadi hambatan utama dalam produksi modern. Konsep lean manufacturing kerap disalahpahami sebagai sistem yang harus berjalan dalam garis lurus dan terstruktur secara kaku. Padahal, fleksibilitas terkontrol dan berbasis data – seperti yang ditunjukkan dalam penelitian ini – bisa menghasilkan manfaat yang lebih besar.
Di industri makanan, elektronik, bahkan logistik, pendekatan digital twin dan evaluasi skenario seperti ini bisa sangat relevan. Khususnya pada lini produksi multivarian atau multiproduk, di mana variasi produk menuntut fleksibilitas dan kapasitas adaptif.
Catatan Kritis
Meski sangat komprehensif, studi ini menyisakan ruang pengembangan, seperti:
Rekomendasi Strategis
Penutup
Penelitian ini membuktikan bahwa efisiensi tidak hanya datang dari kecepatan mesin, tetapi dari pemahaman mendalam tentang alur kerja dan perilaku sistem secara keseluruhan. Dengan simulasi sebagai alat, dan data sebagai kompas, organisasi dapat merancang sistem produksi yang bukan hanya efisien, tapi juga adaptif dan berkelanjutan. Resensi ini merekomendasikan pendekatan serupa bagi perusahaan yang ingin melakukan transformasi operasional dengan cara yang cerdas dan terukur.
Sumber Artikel:
Sander van den Heuvel. (2022). Reducing Internal Lead Time in a Pharmaceutical Production System by Redesigning the Production Process. Eindhoven University of Technology.
Tersedia di: https://research.tue.nl/en/studentTheses/reducing-internal-lead-time-in-a-pharmaceutical-production-system
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 28 Mei 2025
Mengapa Partnering Jadi Kunci Proyek Konstruksi Masa Kini?
Dalam industri konstruksi Indonesia yang dikenal kompleks dan rentan konflik, pendekatan partnering bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan. Partnering yang matang dapat meningkatkan kualitas, menurunkan biaya, mempercepat penyelesaian, serta menciptakan hubungan kerja yang lebih sehat antar pemangku kepentingan.
Namun, hingga kini, belum banyak studi yang benar-benar mengukur bagaimana kedalaman partnering diterapkan pada setiap fase proyek. Paper ini menjawab celah tersebut dengan menawarkan indikator konkret dan teknik evaluasi yang bisa langsung diadopsi di lapangan.
Gambaran Umum: Partnering dalam Proyek Konstruksi
Definisi dan Nilai Partnering
Partnering adalah filosofi kerja sama jangka panjang antara pihak-pihak dalam proyek, termasuk owner, kontraktor, desainer, hingga vendor. Nilai kunci dalam partnering mencakup:
Kepercayaan
Akuntabilitas
Responsivitas
Kemandirian
Keadilan
Jika nilai-nilai ini diterapkan konsisten, maka hasil proyek cenderung lebih positif secara kinerja, waktu, biaya, dan kualitas.
Permasalahan Utama Konstruksi di Indonesia
Berdasarkan berbagai literatur yang dirangkum, industri konstruksi nasional menghadapi masalah seperti:
Produktivitas rendah
Koordinasi buruk
Perubahan desain yang sering terjadi
Kualitas kerja rendah
Limbah konstruksi tinggi
Sebagian besar masalah ini bersumber dari lemahnya hubungan antar pemangku kepentingan. Di sinilah partnering memainkan peran strategis.
Tujuan Penelitian: Menyusun KPI Kedalaman Partnering
Penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan pentingnya partnering, tetapi juga merumuskan alat ukur kedewasaan partnering di seluruh fase proyek, khususnya proyek Design and Build (DB). Untuk itu, penulis menyusun Key Performance Indicators (KPI) berdasarkan:
Literatur akademik dan praktik lapangan
Konsensus melalui metode Delphi dengan 9 pakar konstruksi
Analisis data lapangan dari 6 proyek DB di Indonesia bernilai > Rp100 miliar
Fase Partnering dalam Siklus Hidup Proyek
1. Inisiasi
Partisipasi stakeholder sejak awal
Indikator: indeks performa biaya, pertumbuhan biaya, kesadaran lingkungan
2. Desain
Optimalisasi biaya melalui value engineering
Keterlibatan pemasok sejak desain awal
Indikator: penghematan biaya, konformitas spesifikasi
3. Konstruksi
Indikator: jam kerja teknik/unit produk, duplikasi kerja, kecelakaan kerja, keterlambatan
4. Penutupan
Umpan balik pelanggan, audit, konflik yang belum diselesaikan
Sertifikasi laik fungsi dan green SOP
Delphi Method: Menyaring Faktor Penentu Partnering yang Matang
Putaran 1–3: Seleksi dan Validasi
Melibatkan:
2 CEO perusahaan
2 desainer senior
3 kontraktor senior
2 akademisi
26 faktor penting ditentukan. Setelah tiga putaran, dua faktor dieliminasi (biaya kecelakaan proyek dan pertumbuhan biaya), sisanya digunakan sebagai dasar menyusun KPI.
Simulasi Lapangan: Menguji KPI pada 6 Proyek DB
Proyek yang Dikaji:
Lokasi: Jakarta, Bukittinggi, Kalimantan Timur
Nilai: USD 9–18 juta
Temuan Utama:
DB “C” dan “E”: mencapai level institutionalized (partnering menyatu dalam budaya organisasi)
DB “D” dan “F”: level managed
DB “A” dan “B”: masih basic, minim kerja sama, banyak konflik
Dampaknya:
Proyek dengan partnering matang menunjukkan:
Deviasi waktu dan biaya lebih kecil
Tingkat perubahan desain rendah
Kolaborasi antarpihak lebih tinggi
Analisis Tambahan: Perbandingan dengan Studi Lain
Studi El Asmar et al. (2013) juga menunjukkan bahwa proyek dengan pendekatan IPD yang menekankan partnering menunjukkan:
Penghematan biaya rata-rata 12%
Peningkatan produktivitas 10%
Pengurangan pekerjaan ulang hingga 50%
Temuan ini sejalan dengan hasil paper, menegaskan bahwa kedalaman partnering punya korelasi langsung dengan performa proyek.
Nilai Tambah dan Implikasi Praktis
5 Rekomendasi Strategis:
Bangun budaya partnering sejak fase inisiasi
Mulai dengan pelatihan dan kick-off project yang menekankan nilai TARIF.
Tentukan KPI partnering di awal kontrak
Ukur dengan sistem skoring level 0–4 (no partnering hingga institutionalized).
Libatkan semua pihak dalam desain KPI
Gunakan FGD dan in-depth interview seperti pada paper ini.
Lakukan pemantauan berkala
Gunakan skema PDCA (Plan-Do-Check-Act) untuk menilai dan menyempurnakan kinerja partnering.
Gunakan pendekatan hybrid
Meski berbasis DB, pendekatan partnering bisa diadopsi dalam proyek DBB maupun IPD.
Kritik & Kelebihan Paper
Kelebihan:
Pendekatan mixed method yang kuat (kuantitatif dan kualitatif)
Studi empiris dari proyek aktual
Panduan KPI yang aplikatif
Kekurangan:
Terbatas pada proyek DB
Belum mencakup integrasi teknologi digital seperti BIM dalam pengukuran partnering
Kesimpulan: Membangun Budaya Partnering demi Proyek Berkinerja Tinggi
Partnering bukan sekadar metode manajemen, melainkan budaya kolaborasi yang harus ditanamkan sejak dini. Paper ini telah menunjukkan bagaimana pendekatan yang terstruktur, berbasis KPI, dan didukung oleh stakeholder sejak awal mampu meningkatkan performa proyek konstruksi secara signifikan. Dengan mengadopsi teknik ini, industri konstruksi Indonesia dapat menjadi lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan.
Sumber
Thohirin, A.; Wibowo, M.A.; Mohamad, D.; Sari, E.M.; Tamin, R.Z.; Sulistio, H. (2024). Tools and Techniques for Improving Maturity Partnering in Indonesian Construction Projects. Buildings, 14(6), 1494. https://doi.org/10.3390/buildings14061494
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025
Manajemen risiko dalam proyek infrastruktur publik bukanlah perkara sederhana. Dalam makalah konferensi yang ditulis oleh Gordon Chirgwin dan Eric Ancich berjudul “Risk Management in Public Infrastructure Projects”, kita diajak menyelami dunia yang sering kali terlupakan: risiko-risiko teknis yang timbul dari kesalahan detail desain dan asumsi statis yang tidak sesuai dengan realitas lapangan. Artikel ini merupakan himpunan studi kasus nyata dari proyek infrastruktur di Australia dan menyuguhkan wawasan penting tentang bagaimana detail kecil dapat berakibat besar dalam jangka panjang.
Pentingnya Risiko Teknik dalam Infrastruktur Publik
Chirgwin dan Ancich membuka diskusi dengan mengkritik pendekatan umum dalam manajemen risiko proyek konstruksi yang sering kali terfokus hanya pada aspek anggaran, keselamatan kerja secara umum, atau dampak lingkungan berskala besar. Namun, realitas menunjukkan bahwa risiko terbesar justru sering bersumber dari hal-hal kecil dalam desain teknik—seperti sambungan las, detail sambungan girder, atau pemilihan jenis baut.
Sebagai contoh nyata, mereka menyebutkan bahwa jembatan jalan raya dirancang untuk bertahan hingga 100 tahun, tetapi perhitungan umur pakai ini sering kali tidak memperhitungkan peningkatan beban kendaraan yang terus berubah seiring waktu akibat lobi industri angkutan barang. Maka, beban aktual di lapangan bisa jauh melebihi asumsi desain awal.
Studi Kasus: Finger Plate Expansion Joint dan Modular Expansion Joint
Salah satu kasus paling menarik yang diangkat dalam paper ini adalah kegagalan sambungan ekspansi tipe finger plate dan modular expansion joints (MEJ). Sambungan jenis finger plate, meski tampak sederhana, ternyata menyimpan risiko laten akibat ketidakmampuan menahan gaya dinamis yang terjadi saat kendaraan lewat.
Penelitian menunjukkan bahwa sambungan baut sering kali mengalami kehilangan ketegangan karena efek longgar (looseness) dan pergeseran akibat deformasi waktu. Bahkan, ketegangan pada baut dapat menghilang karena relaksasi dan pergerakan kecil pada beton jembatan yang tidak terlihat secara kasat mata. Dalam kasus tertentu, sambungan ini bahkan bisa terlepas, menciptakan risiko fatal bagi pengguna jalan.
Pada sambungan MEJ, para peneliti mengungkap bahwa desain tradisional cenderung mengasumsikan gaya yang bersifat statis, padahal kenyataannya beban dinamis dari kendaraan yang melaju menimbulkan efek resonansi dan amplifikasi hingga 4–11 kali lipat. Di Jembatan Pheasants Nest, sambungan MEJ bahkan mengalami retak karena beban dinamis yang tidak diperhitungkan. Biaya penggantian sambungan ini mencapai $4 juta AUD, sebagian besar untuk pengelolaan lalu lintas selama pekerjaan berlangsung.
Kasus Anzac Bridge: Kegagalan Berulang karena Retainer Springs
Anzac Bridge di Sydney merupakan jembatan kabel dengan tujuh lajur lalu lintas. Dari awal pengoperasiannya pada tahun 1996, jembatan ini mengalami masalah kebisingan dan kerusakan pada bantalan dan retainer spring. Investigasi mengungkap bahwa sambungan ekspansi mengalami gaya dinamis tinggi yang menyebabkan keausan dan perpindahan komponen, bahkan memicu retakan pada las-lasan.
Penelitian lanjutan menggunakan simulasi komputer dan pengukuran strain gauge mengungkap bahwa gaya yang diterima sambungan dapat meningkat secara signifikan apabila frekuensi putaran roda kendaraan sejalan dengan frekuensi alami struktur sambungan. Amplifikasi dinamis mencapai 11 kali lipat dari beban statis. Biaya rehabilitasi sistem sambungan ini sekitar $250 ribu AUD. Namun, jika desain awal telah mempertimbangkan bantalan berperedam tinggi, biayanya hanya sekitar $10 ribu AUD. Perbaikan ini berhasil menurunkan kebisingan hingga 3 dB dan memperpanjang usia pakai dari di bawah 5 tahun menjadi lebih dari 50 tahun.
Mooney Mooney dan Karuah Bridges: Risiko Retak Struktural
Pada Jembatan Mooney Mooney, sebuah pusat lalu lintas penting antara Sydney dan Newcastle, sambungan ekspansi mengalami kegagalan yang nyaris menyebabkan kecelakaan. Sebuah centerbeam terangkat karena retakan pada sambungan las, dan hanya tertahan oleh pelat pelindung sisi jalan. Dengan kecepatan lalu lintas mencapai 140 km/jam, kerusakan lebih lanjut dapat menyebabkan kecelakaan fatal. Pemeriksaan sinar-X mengungkap lebih banyak retakan, dan biaya penggantian sambungan mencapai $7 juta AUD.
Sementara itu, di Jembatan Karuah, masalah utama adalah pada prosedur pengelasan yang buruk—kurangnya pemanasan awal dan proses pendinginan pasca-pengelasan menyebabkan zona yang sangat rentan terhadap retak. Meskipun pengujian awal menyatakan desain valid, kegagalan dalam pelaksanaan tetap menyebabkan kebutuhan penggantian elemen struktur.
Sambungan Stringer ke Girder: Bahaya dari Detail yang Terlewat
Sambungan antara stringer dan girder menjadi perhatian utama dalam beberapa jembatan tua. Pada jembatan seperti Kempsey dan Macksville, sambungan yang dirancang secara statis ternyata mengalami beban dinamis yang melebihi kapasitas desain. Retak pada sambungan, pecahnya baut dan paku keling, serta kegagalan las umum terjadi, sering kali tidak terdeteksi dalam inspeksi rutin.
Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan beban kendaraan menyebabkan beban siklik tinggi pada daerah cope (lekukan ujung balok), terutama jika sambungan dilas tanpa prosedur pelepasan tegangan yang benar. Solusi yang diusulkan adalah penggunaan peredam gaya seperti Belleville washers untuk memberikan fleksibilitas tambahan dan mengurangi risiko keretakan.
Kasus Fitzgerald Bridge: Splice Joint di Truss yang Rentan
Fitzgerald Bridge di Aberdeen menghadapi masalah unik pada sambungan las splice mid-span. Ketika jalan raya ini diusulkan untuk peningkatan kapasitas kendaraan hingga 68 ton, investigasi mengungkap bahwa dinamika struktur telah menyebabkan tegangan jauh di atas batas desain. Umur sisa dari sambungan las diperkirakan hanya sekitar 10 tahun jika digunakan untuk dua jalur lalu lintas berat. Karena biaya perbaikan yang sangat tinggi dan potensi risiko keselamatan, solusi akhir adalah mengganti jembatan sepenuhnya.
Pelajaran Strategis dari Investigasi Selama Satu Dekade
Dari semua studi kasus ini, dapat disimpulkan bahwa banyak kegagalan infrastruktur tidak berasal dari kesalahan besar dalam perencanaan makro, melainkan dari kegagalan memahami perilaku elemen mikro secara realistis. Beban dinamis, frekuensi alami struktur, desain sambungan, dan teknik pengelasan menjadi elemen-elemen kritis yang jika diabaikan, berisiko mengancam keselamatan publik dan menyebabkan kerugian ekonomi besar.
Makalah ini juga memberikan contoh positif dari bagaimana manajemen infrastruktur publik di Australia merespons temuan-temuan teknis ini dengan merevisi standar desain seperti RTA B316 dan AS1554.5 serta menerapkan inspeksi ketat dan kebijakan pemeliharaan berbasis risiko.
Kesimpulan
Makalah karya Chirgwin dan Ancich ini adalah pengingat kuat bahwa dalam infrastruktur publik, kegagalan besar sering kali bermula dari detail kecil. Desain yang mengabaikan perilaku dinamis, asumsi statis yang keliru, dan praktik pengelasan yang tidak tepat telah terbukti menjadi pemicu utama kerusakan struktural. Mengadopsi pendekatan berbasis risiko yang lebih mendalam, meningkatkan kesadaran terhadap perilaku aktual struktur, serta memperkuat pengawasan teknik merupakan langkah yang tidak hanya menghemat biaya jangka panjang, tetapi juga menyelamatkan nyawa.
Sebagai pembaca modern dan pengambil kebijakan, kita diajak untuk tidak lagi memandang manajemen risiko sebagai formalitas administratif, tetapi sebagai inti dari keberlanjutan infrastruktur publik yang aman, efisien, dan tahan masa depan.
Sumber asli artikel:
Chirgwin, G., & Ancich, E. (2012). Risk Management in Public Infrastructure Projects. Proc. Risk Engineering Society Conference – RISK 2012, Engineers Australia, Newcastle, NSW, Australia.
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Produktivitas di industri konstruksi Australia menghadapi tantangan besar, terlihat dari tren penurunan produktivitas dan margin keuntungan yang stagnan selama lebih dari satu dekade. Meiqiong Zhong dalam tesisnya di Bond University (2022) menyuguhkan pendekatan berbasis data dan model struktural untuk memahami serta meningkatkan produktivitas di sektor ini. Kajian ini mereview secara kritis temuan Zhong, menyajikan interpretasi tambahan, data kunci, serta kaitan praktis terhadap praktik industri.
Latar Belakang Masalah
Dalam satu dekade terakhir, produktivitas tenaga kerja di industri konstruksi Australia mengalami penurunan. Data dari Reserve Bank of Australia (2019) menunjukkan penurunan tajam output per jam kerja. Di sisi lain, margin keuntungan rata-rata perusahaan konstruksi besar di Australia menurun dari 3,2% pada 2006 menjadi hanya 0,3% pada 2016 (Chan & Martek, 2017; Deloitte, 2016). Situasi ini berdampak pada daya saing nasional dan kelangsungan bisnis sektor konstruksi, yang berkontribusi sekitar 7,6% terhadap PDB nasional (Richardson, 2014).
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Zhong mengembangkan model prediktif berbasis Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM) untuk mengidentifikasi determinan utama produktivitas proyek konstruksi. Penelitian dilakukan dalam dua tahap:
Tahap 1: Kajian literatur naratif untuk menjaring indikator produktivitas.
Tahap 2: Survei kuantitatif terhadap anggota Australian Institute of Quantity Surveyors (AIQS) dan Master Builders Australia (MBA).
Model dikembangkan dari tiga konstruk utama:
Capacity & Capability (CC): Tenaga kerja berpengalaman, digitalisasi, dan akses modal.
Project Management (PM): Koordinasi proyek, manajemen risiko, dan perencanaan mutu.
Contractual & Financial Management (CFM): Arus kas, kontrak kolaboratif, dan manajemen pengadaan.
Hasil Kunci dan Temuan Utama
1. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung
CC memiliki pengaruh langsung terhadap produktivitas proyek (Pp), namun kontribusi paling signifikan diperoleh saat dimediasi oleh PM dan didukung oleh CFM.
CFM secara kuat mendukung PM, menunjukkan bahwa keberhasilan manajemen proyek bergantung pada sistem keuangan dan kontraktual yang baik.
2. Indikator yang Paling Mempengaruhi Produktivitas:
Pemanfaatan teknologi digital untuk kontrol proyek real-time.
Tenaga kerja berpengalaman dan termotivasi.
Kontrak kolaboratif (relational contracting) untuk meminimalisasi konflik.
Perencanaan mutu dan pengawasan proyek yang ketat.
Studi Kasus: Relevansi Praktis di Lapangan
Pada proyek perumahan skala menengah di Queensland, penerapan sistem digitalisasi proyek berbasis BIM dan dashboard waktu nyata berhasil mengurangi keterlambatan proyek sebesar 15%. Tenaga kerja yang dilibatkan mayoritas berasal dari SME, mencerminkan relevansi model Zhong yang memang menargetkan sektor usaha kecil dan menengah (SMEs)—yang menyumbang 97,6% dari perusahaan konstruksi di Australia (ASBFEO, 2019).
Nilai Tambah dan Kritik
A. Kekuatan Penelitian:
Menggunakan pendekatan kausal, bukan hanya korelasional.
Memfokuskan pada SMEs, yang selama ini kurang mendapat sorotan.
Pendekatan holistik: Menggabungkan aspek sumber daya manusia, manajemen proyek, dan sistem keuangan.
B. Kelemahan dan Catatan:
Generalisasi terbatas: Data dominan berasal dari Queensland dan anggota dua asosiasi profesi.
Kurangnya eksplorasi faktor budaya organisasi, seperti motivasi intrinsik dan kepemimpinan.
Ketergantungan pada metode survei dapat menyebabkan self-reporting bias.
Perbandingan dengan Studi Lain
Zhong melampaui pendekatan Zhang et al. (2021) yang hanya melihat pada manajemen proyek tanpa mempertimbangkan dukungan sistem keuangan. Studi ini juga lebih komprehensif dibanding Durdyev et al. (2021), karena menambahkan variabel mediasi dan moderasi dalam kerangka model.
Implikasi Praktis bagi Industri
Bagi pelaku industri konstruksi, model Zhong dapat diterapkan untuk:
Pemetaan risiko proyek secara lebih akurat.
Rekrutmen dan pelatihan tenaga kerja berbasis prediktor produktivitas.
Evaluasi performa keuangan proyek yang terintegrasi dengan sistem manajemen proyek.
Pemerintah dan regulator juga dapat menjadikan temuan ini sebagai dasar kebijakan peningkatan daya saing sektor konstruksi nasional.
Kesimpulan
Tesis Meiqiong Zhong memberikan sumbangan penting dalam memahami dan meningkatkan produktivitas konstruksi di Australia. Dengan pendekatan struktural yang komprehensif dan berbasis data, model ini dapat menjadi acuan praktis bagi perusahaan konstruksi, regulator, maupun akademisi dalam menyusun strategi peningkatan produktivitas yang terukur dan efektif.
Sumber:
Meiqiong Zhong. (2022). Improving Productivity of Australian Construction Firms. Bond University. https://research.bond.edu.au/en/studentTheses/c764df74-43c0-4b6d-865f-01588b1061dc