Prediksi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 September 2025
Mengapa Keandalan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kini Kembali Jadi Sorotan?
Di tengah tren energi baru dan terbarukan, peran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) tetap sentral di banyak negara. Faktanya, lebih dari 36% produksi listrik dunia dan 46% panas industri masih mengandalkan teknologi ini. Namun, tantangan utama PLTU saat ini bukan lagi ekspansi kapasitas, melainkan bagaimana mempertahankan keandalan sistem lama yang sebagian besar berusia lebih dari tiga dekade.
Sultanov dan kolega dari National Research University MPEI Rusia menawarkan solusi prediktif berbasis simulasi numerik: Metode Monte Carlo. Pendekatan ini tidak hanya memungkinkan perhitungan probabilitas kegagalan dengan lebih realistis, tetapi juga mendukung perencanaan pemeliharaan berbasis kondisi aktual, bukan sekadar siklus waktu.
Apa Itu Monte Carlo Simulation dan Mengapa Penting untuk PLTU?
Monte Carlo Simulation (MCS) adalah teknik simulasi berbasis random sampling yang digunakan untuk memperkirakan hasil dari sistem kompleks yang mengandung banyak variabel acak. Dalam konteks PLTU, teknik ini digunakan untuk:
Sederhananya, MCS membuat kegagalan yang tampak acak dan sulit ditebak menjadi terukur dan dapat dikelola.
Latar Belakang: Kenapa Butuh Pendekatan Baru dalam Menilai Keandalan?
Sekitar 92% dari unit pembangkit PLTU yang aktif di Rusia dan banyak wilayah lain dibangun sebelum tahun 1989. Penuaan ini memicu peningkatan rasio kegagalan, terutama pada bagian boiler seperti pemanas radiasi, permukaan evaporatif, dan sistem ekonomizer.
Di sisi turbin, kerusakan sering ditemukan pada sistem aliran uap, bantalan, serta pipa-pipa distribusi. Perencanaan perawatan yang hanya berdasarkan siklus waktu tanpa mempertimbangkan kondisi teknis aktual sering kali berujung pada biaya perbaikan tinggi dan downtime tak terduga.
Metodologi Penelitian: Simulasi yang Menggabungkan Statistik dan Kenyataan Operasional
Pendekatan yang Diusulkan
Metodologi dalam penelitian ini memadukan:
Tahapan Simulasi
Hasil Penting: Probabilitas Kegagalan yang Terukur dan Dapat Diprediksi
Temuan Statistik
Dampak Nyata
Simulasi berhasil menunjukkan bahwa nilai-nilai prediktif tersebut sejalan dengan data historis aktual. Dengan demikian, model dianggap valid dan representatif untuk digunakan dalam perencanaan pemeliharaan dan evaluasi investasi.
Analisis Tambahan & Nilai Tambah
1. Lebih dari Sekadar Perkiraan Statistik
Berbeda dengan pendekatan deterministik atau statistik murni, Monte Carlo memungkinkan prediksi berdasarkan berbagai skenario operasional, termasuk variabel-variabel seperti keausan logam, tingkat efisiensi aktual, serta intensitas beban operasi.
2. Efek Langsung pada Perencanaan Pemeliharaan
Dengan mengetahui bahwa unit boiler No. 1–3 memiliki probabilitas kegagalan sangat rendah (kurang dari 0,2%), manajemen bisa:
3. Integrasi ke Sistem Digital Energi
Pendekatan ini sangat selaras dengan inisiatif digital twin dalam sistem energi modern. Dengan menghubungkan MCS ke data real-time sensor, prediksi kegagalan bisa diintegrasikan ke dalam sistem monitoring berbasis IoT.
Kritik Konstruktif dan Perbandingan dengan Studi Lain
Kelebihan:
Kekurangan:
Perbandingan:
Studi oleh Jagtap et al. (2021) menyoroti RAM (Reliability, Availability, Maintainability) analysis berbasis PSO (Particle Swarm Optimization) untuk sistem air di PLTU. Namun pendekatan mereka lebih mengarah pada optimasi, bukan prediksi berbasis probabilitas seperti MCS yang ditawarkan dalam paper ini.
Implikasi Industri dan Rekomendasi Strategis
Aplikasi Langsung:
Rekomendasi Pengembangan Lanjutan:
Kesimpulan: Monte Carlo Bukan Hanya Teori Statistik, Tapi Alat Bisnis Strategis
Penelitian ini menegaskan bahwa pendekatan Monte Carlo tidak hanya menjadi alat akademik, tetapi juga berfungsi sebagai jembatan antara engineering dan business decision-making. Di tengah tekanan efisiensi dan ketersediaan listrik yang stabil, kemampuan memprediksi kegagalan dengan presisi menjadi aset berharga.
Dengan simulasi yang terukur dan berbasis data nyata, para insinyur dan manajer PLTU kini dapat mengambil keputusan yang lebih cerdas, berbasis risiko nyata, bukan sekadar intuisi atau siklus rutin.
Sumber
Sultanov, M. M., Griga, S. A., Ivanitckii, M. S., & Konstantinov, A. A. (2021). Monte-Carlo Method for Assessing and Predicting the Reliability of Thermal Power Plant Equipment. Archives of Thermodynamics, 42(4), 87–102.
Tersedia di: https://doi.org/10.24425/ather.2021.139652
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 September 2025
Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Tenaga Kerja Menjadi Sorotan Penting
Di tengah tekanan efisiensi dan target waktu dalam industri konstruksi, produktivitas tenaga kerja menjadi faktor krusial dalam penentuan keberhasilan proyek. Apalagi pada pekerjaan mekanikal dan elektrikal (M&E), yang meskipun volumenya relatif kecil dibandingkan pekerjaan struktur, namun memiliki peran vital sebagai syarat fungsional sebuah bangunan.
Artikel ini mencoba membedah secara ilmiah dan praktis bagaimana efektivitas tenaga kerja dapat diukur melalui metode Labour Utilization Rate (LUR) dalam proyek revitalisasi Kantor Cabang BNI Kelapa Gading. Dengan studi kasus yang spesifik, artikel ini berhasil menyuguhkan temuan empiris yang dapat dijadikan acuan oleh praktisi dan akademisi konstruksi.
Metodologi: Mengukur Efisiensi Tenaga Kerja Menggunakan LUR
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan data sekunder dari laporan harian kontraktor. Dua hal utama yang dihitung:
Labour Utilization Rate (LUR): Mengukur tingkat efektivitas pekerja dalam waktu kerja.
Produktivitas Tenaga Kerja: Menghitung rasio output (progres bobot pekerjaan) terhadap input (jumlah jam kerja dan tenaga kerja).
Rumus LUR:
LUR=(wbe+14wbkwbt)×100%LUR = \left( \frac{wbe + \frac{1}{4}wbk}{wbt} \right) \times 100\%
wbe: waktu bekerja efektif
wbk: waktu kontribusi (tidak langsung produktif tapi tetap menunjang)
wbt: total jam kerja (termasuk waktu tidak efektif)
Kategori Skor LUR:
85% = Sangat Tinggi
68–84% = Tinggi
51–67% = Sedang
34–50% = Rendah
<33% = Sangat Rendah
Metode ini cukup praktis diterapkan karena hanya membutuhkan data waktu dan progres harian—sesuatu yang pasti tersedia di proyek konstruksi aktif.
Hasil Utama: Data Produktivitas Real di Proyek BNI Rata-rata LUR: 78,6%
Pada pekerjaan plumbing, tenaga kerja seperti Ade, Herman, dan Rahmat memiliki LUR berkisar 75%–81%, dengan rerata 78,6%. Ini masuk dalam kategori “tinggi” berdasarkan klasifikasi LUR. Artinya, meski tidak sempurna, efisiensi kerja mereka tetap terjaga secara konsisten.
Output Produktivitas Pekerja Plumbing:
Setelah dihitung berdasarkan data jam kerja (8 jam/hari = 480 menit), didapat produktivitas individual:
Output = 0,000035% per menit × total menit kerja
Misal, dengan 7 jam reguler + 4 jam lembur = 660 menit
→ Output = 0,024%
Artinya, kontribusi per pekerja per hari dalam pekerjaan plumbing berada di kisaran 0,09–0,13% progres per minggu.
Studi Kasus Spesifik: Deviasi dan Dampaknya
Dari Tabel 5, terlihat bahwa pekerjaan plumbing mengalami deviasi negatif yang semakin meningkat tiap minggu:
Minggu ke-27: deviasi mencapai -0,251%
Proyeksi penyelesaian molor ke minggu ke-28 dari rencana awal minggu ke-27
Meskipun terlihat kecil, pada skala proyek yang memiliki banyak pekerjaan paralel, keterlambatan ini bisa menimbulkan efek domino. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Oglesby (1989) yang menyatakan bahwa deviasi kecil dalam produktivitas dapat menyebabkan penundaan jadwal yang signifikan jika tidak segera dikoreksi.
Analisis Tambahan: Tantangan Produktivitas pada Pekerjaan M&E
Pekerjaan mekanikal dan elektrikal memiliki karakteristik yang berbeda dengan pekerjaan struktur:
Pekerjaan lebih presisi dan teknikal, membutuhkan skill khusus.
Ketergantungan tinggi pada urutan pekerjaan (misalnya instalasi kabel tidak bisa dilakukan jika dinding belum diplester).
Lingkungan kerja yang sempit dan penuh gangguan seperti AC duct atau pipa plumbing membuat mobilitas pekerja terbatas.
Hal ini menyebabkan produktivitas di pekerjaan M&E umumnya lebih rendah secara angka, tetapi lebih padat secara kompetensi.
Kritik dan Komparasi Penelitian
Kelebihan:
Penelitian ini sederhana, praktis, dan berbasis data nyata.
Menggunakan LUR, yang masih jarang digunakan secara sistematis dalam proyek di Indonesia.
Fokus pada pekerjaan M&E yang selama ini kurang diperhatikan.
Keterbatasan:
Tidak membandingkan produktivitas antar jenis pekerjaan (misal plumbing vs elektrikal).
Tidak menganalisis faktor-faktor eksternal seperti motivasi pekerja, cuaca, atau pengaruh supervisi, padahal ini bisa berdampak besar.
Metodologi tidak mempertimbangkan learning curve, padahal produktivitas biasanya meningkat seiring waktu.
Sebagai pembanding, penelitian oleh Maharani (2019) yang menggunakan metode observasi langsung juga menunjukkan bahwa faktor motivasi memiliki dampak signifikan terhadap produktivitas pada pekerjaan struktur bangunan.
Implikasi Praktis: Rekomendasi untuk Proyek Serupa
Untuk Manajer Proyek
Terapkan monitoring produktivitas mingguan berbasis LUR.
Identifikasi deviasi sedini mungkin untuk mencegah keterlambatan kumulatif.
Untuk Perencana Proyek
Libatkan data LUR sebagai parameter dalam estimasi durasi proyek.
Desain sistem kerja yang meminimalisir waktu tidak efektif (idle time).
Untuk Akademisi
Lanjutkan riset dengan pendekatan multivariat untuk mengeksplorasi pengaruh motivasi, iklim kerja, hingga sistem insentif terhadap LUR.
Penutup: Produktivitas sebagai Cermin Kinerja Lapangan
Penelitian ini menunjukkan bahwa pengukuran produktivitas pekerja bukan hanya soal output, tapi juga soal bagaimana waktu digunakan. Dengan rerata LUR 78%, proyek BNI Kelapa Gading termasuk efisien. Namun tetap saja, deviasi kecil dalam pekerjaan plumbing menunjukkan bahwa manajemen waktu dan efisiensi mikro harus diperhatikan agar proyek tetap berjalan sesuai rencana.
Penggunaan metode LUR ini sangat layak untuk direplikasi di proyek lain karena mudah diterapkan, tidak memerlukan alat khusus, dan berbasis data harian yang sudah tersedia. Dengan demikian, produktivitas bukan lagi sekadar angka, tapi alat kontrol manajemen yang konkret dan aplikatif.
Sumber
Wibowo, Y. G., Purnomo, A., & Lenggogeni. (2021). Analisa Produktivitas Tenaga Kerja pada Pekerjaan Mekanikal dan Elektrikal (Studi Kasus: Revitalisasi Gedung Kantor Cabang BNI Kelapa Gading, Jakarta). Menara: Jurnal Teknik Sipil, 16(2), 62–66.
[Tautan ke jurnal atau DOI jika tersedia secara daring]
Pengendalian Banjir
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 September 2025
Solusi Teknologi Cerdas untuk Genangan Kronis di Wilayah Datar dan Pesisir
Banjir perkotaan kini tidak lagi hanya menjadi urusan penanganan darurat melainkan sudah berkembang menjadi tantangan ekosistem yang menuntut solusi teknologi terintegrasi. Apalagi di kawasan pesisir seperti Pantura Jawa Tengah, banjir bukan hanya akibat hujan lokal, tetapi juga karena pasang surut laut dan sistem drainase yang kurang optimal.
Dalam laporan Pengkajian Tipologi dan Pengendalian Banjir Perkotaan – Studi Kasus Pantura Jawa Tengah yang dipublikasikan oleh Pusat Litbang Sumber Daya Air (2014), diperkenalkanlah teknologi pompa aksial horizontal sebagai jawaban atas kebutuhan pengendalian banjir yang efisien dan cocok untuk wilayah pesisir yang datar.
Mengapa Pantura Jawa Tengah Rawan Banjir?
Wilayah pantai utara Jawa dikenal dengan topografi datarnya, aliran air yang lambat, dan tekanan dari pasang surut air laut. Kota-kota seperti Semarang, Pekalongan, Demak, hingga Rembang menjadi langganan banjir tahunan karena:
Inovasi Teknologi: Pompa Aksial Horizontal
Apa Itu Pompa Aksial Horizontal?
Pompa ini dirancang untuk menggerakkan udara secara horizontal, bukan mengangkatnya ke tempat lebih tinggi seperti pompa vertikal. Karena tidak melawan gravitasi, pompa ini:
Berbeda dengan sistem pompa biasa, pompa aksial horizontal bekerja dengan mendorong aliran udara sejajar permukaan tanah. Mekanisme ini membuatnya efisien untuk menampung udara, karena tidak terjadi konversi energi dari kinetik menjadi potensial.
Studi Kasus: Lasem, Rembang sebagai Lokasi Uji Coba
Kabupaten Rembang dipilih sebagai lokasi penerapan prototipe pompa aksial horizontal karena memiliki karakteristik topografi dan tipologi banjir yang sesuai:
Pemasangan dilakukan pada drainase gorong-gorong di Kecamatan Lasem, lengkap dengan rumah pompa, pintu klep otomatis, dan sistem penggerak mesin diesel yang efisien.
Keunggulan Pompa Aksial Horizontal Dibanding Sistem Konvensional
1. Efisiensi Energi
Pompa ini hanya membutuhkan energi untuk mendorong udara, bukan mengangkatnya. Dalam rumusan teknis, daya pemompaanP=1akuP⋅12akuBahasa Indonesia: V2QP = \frac{1}{\eta_p} \cdot \frac{1}{2} \rho V^2 QP=akuPBahasa Indonesia:1Bahasa Indonesia:⋅21Bahasa Indonesia:ρ V2Q, tanpa faktor gravitasi seperti pada pompa vertikal.
2. Kemampuan Debit Tinggi
Dengan diameter hingga 1 meter dan kecepatan putar (RPM) optimal, pompa dapat menggerakkan udara dalam jumlah besar dalam waktu singkat cocok untuk hujan ekstrem.
3. Biaya Operasional Lebih Murah
Karena tidak membutuhkan tekanan tinggi, motor diesel standar sudah cukup untuk pengoperasian. Ditambah lagi, desain modularnya memudahkan perawatan.
4. Desain Adaptif
Baling-baling pompa dapat disesuaikan jumlah dan sudutnya (misalnya 4 sudu, 30 derajat) untuk mengoptimalkan debit sesuai kondisi lokasi.
Tantangan & Rekomendasi
Tantangan:
Rekomendasi:
Dibandingkan dengan Sistem Polder Konvensional
Sistem polder memang telah digunakan di Semarang dan Belanda sebagai standar pengendalian banjir di dataran rendah. Namun sistem ini mahal karena membutuhkan:
Pompa aksial horizontal menawarkan versi “polder ringan” yang lebih modular , hemat energi , dan dapat diterapkan di banyak lokasi tanpa perlu infrastruktur besar.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Penggunaan teknologi ini, jika diterapkan secara luas di Pantura, akan berdampak langsung pada:
Kritik terhadap Studi
Meskipun cukup komprehensif, laporan ini masih memiliki beberapa kekurangan:
Studi lanjutan sangat dianjurkan untuk mencakup aspek-aspek tersebut serta memperluas pemodelan terhadap tipologi kota lain.
Kesimpulan
Teknologi pompa aksial horizontal adalah langkah maju dalam pengendalian banjir perkotaan yang adaptif terhadap kondisi geografis Indonesia. Solusi ini menjawab tantangan:
Berkat desainnya yang hemat energi dan mampu menyalurkan debit air besar, pompa ini ideal digunakan bukan hanya di Pantura, tetapi juga di berbagai kota pesisir lainnya, termasuk Surabaya, Makassar, dan Pontianak.
Referensi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. (2014). Teknologi Pengendalian Banjir pada Berbagai Tipologi di Kawasan Pantura Jawa Tengah . Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Elevasi Digital
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 September 2025
Dari Data Ketinggian ke Peta Genangan: Revolusi Digital dalam Manajemen Risiko Banjir
Permasalahan banjir di Indonesia bukan sekedar urusan air yang meluap, melainkan kombinasi antara kompleks urbanisasi cepat, pengelolaan DAS yang lemah, dan kurangnya presisi data dalam perencanaan. Untuk mengatasi tantangan ini, dibutuhkan pendekatan ilmiah berbasis teknologi tinggi. Salah satu solusi yang menunjukkan potensi luar biasa adalah penggunaan LiDAR (Light Detection and Ranging) yang dipadukan dengan simulasi model hidrodinamik .
Makalah karya M. Baitullah Al Amin dari Universitas Sriwijaya ini menguraikan bagaimana integrasi antara data LiDAR dan perangkat lunak pemodelan seperti HEC-RAS dan HEC-GeoRAS mampu menyajikan ekosistem pengumpulan banjir dengan akurasi tinggi. Artikel ini akan membedah pendekatan, hasil, dan relevansi dari studi tersebut, lengkap dengan opini, perbandingan, dan tantangan implementasinya di Indonesia.
Apa Itu Teknologi LiDAR dan Mengapa Penting?
LiDAR: Fotografi Udara yang Bisa Mengukur Ketinggian
LiDAR adalah teknologi penginderaan jauh yang menggunakan pulsa laser dari pesawat atau drone untuk mengukur jarak ke permukaan bumi. Tiap pantulan cahaya dihitung, lalu dikonversi menjadi data titik (titik awan) dengan koordinat X, Y, Z. Dengan jutaan titik ini, terbentuklah Digital Elevation Model (DEM) yang menggambarkan permukaan bumi secara tiga dimensi.
Keunggulan LiDAR:
Perbandingan metode lama (survei total station atau SRTM satelit), LiDAR memberikan efisiensi waktu dan detail yang jauh lebih baik. Untuk keperluan analisis banjir, ketelitian ini krusial dalam menggambarkan aliran udara dan batas-batas kapasitas.
Studi Kasus: Pemodelan Banjir di Wilayah AS dengan Data LiDAR Publik
Karena ketersediaan data LiDAR di Indonesia masih terbatas, penulis mengambil contoh wilayah di Amerika Serikat yang data LiDAR-nya tersedia secara gratis melalui OpenTopography.
Tahapan Analisis:
Hasil Simulasi: Debit Semakin Tinggi, Semakin Luas Genangan
Temuan Utama:
Dari peta terlihat bahwa daerah organisasi kanan dan kiri sungai merupakan daerah paling terdampak. Peta hasil simulasi memberikan visualisasi yang tajam, lengkap dengan kedalaman banjir tiap zona.
Keunggulan Pendekatan Ini
🔹 Akurasi Geometri Tinggi
Dengan resolusi DEM 1m×1m, kontur tanah, saluran udara, dan elevasi organisasi menjadi sangat presisi. Hal ini memungkinkan perencanaan infrastruktur drainase, tanggul, dan retensi udara menjadi lebih tepat sasaran.
🔹 Simulasi Interaktif dan Prediktif
Menggunakan HEC-RAS, berbagai skenario debit banjir dapat diuji dalam waktu singkat. Kita bisa tahu apa yang terjadi jika curah hujan ekstrem menyebabkan debit 3.000 m³/s tanpa harus menunggu bencana nyata.
Proses survei dan pemetaan lapangan bisa memakan waktu berminggu-minggu. Dengan LiDAR dan software GIS, seluruh analisis dapat dilakukan dalam hitungan hari.
Tantangan Implementasi di Indonesia
1. Keterbatasan Akses Data LiDAR
Hingga saat ini, data LiDAR di Indonesia sangat terbatas. Padahal, LiDAR adalah fondasi awal analisis yang akurat. Pemerintah melalui BIG (Badan Informasi Geospasial) perlu memperluas cakupan data ini, terutama di kota-kota rawan banjir seperti Jakarta, Semarang, dan Banjarmasin.
Belum semua daerah memiliki tenaga ahli GIS dan pemodelan hidrodinamik. Diperlukan pelatihan intensif dan penyebaran teknologi ke daerah.
3. Integrasi dengan Sistem Peringatan Dini
Model simulasi hanya akan maksimal jika diintegrasikan dengan sistem peringatan dini berbasis data curah hujan real-time dan sensor muka udara.
Perbandingan Internasional
Amerika Serikat:
USGS dan FEMA telah menggunakan LiDAR dan HEC-RAS untuk seluruh sungai besar. Bahkan, peta risiko banjir tersedia untuk umum melalui Portal Peta Banjir.
Belanda:
Negara datar ini memanfaatkan DEM dan model hidrodinamik untuk merancang kanal, tanggul, dan sistem retensi udara super presisi. Semua berbasis simulasi seperti yang diteliti Al Amin.
Jepang:
Kota seperti Tokyo memiliki sistem digital twin (model kota virtual) yang selalu diperbarui berdasarkan peta udara dan LiDAR.
Indonesia bisa belajar dari praktik-praktik tersebut untuk mendorong transformasi digital dalam perencanaan tata ruang dan mitigasi bencana.
Saran Praktis untuk Pemerintah dan Akademisi
Kesimpulan: Dari Data ke Tindakan
Studi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi LiDAR dan pemodelan hidrodinamik tidak hanya mungkin, tetapi juga sangat efektif dan terjadi dalam penanganan banjir yang berbasis data. Peta pengumpulan yang dihasilkan tidak hanya informatif, tetapi juga prediktif dan preskriptif.
Dengan pendekatan seperti ini, pemerintah tidak lagi menanggapi banjir sebagai kejadian dadakan, namun sebagai risiko yang dapat dimitigasi, direncanakan, dan dikelola. Teknologi telah tersedia, yang dibutuhkan adalah kemauan untuk menikmatinya secara terstruktur dan inklusif.
Referensi
Al Amin, MB (2015). Pemanfaatan teknologi LIDAR dalam analisis pengumpulan banjir akibat luapan sungai berdasarkan simulasi model hidrodinamik. Info Teknik, 16 (1), 21–32.
Operation Engineering and Management
Dipublikasikan oleh Hansel pada 26 September 2025
Kurikulum teknik sering dipuji karena menghasilkan lulusan dengan pengetahuan teknis yang mumpuni. Namun, industri berulang kali menyuarakan keluhan bahwa lulusan masih kurang dalam keterampilan lunak seperti komunikasi, kerja tim, dan kepemimpinan. Sebuah studi terobosan yang dipublikasikan di European Journal of Engineering Education mengungkap alasan di balik kesenjangan ini: bukan soal kurangnya upaya, melainkan masalah komunikasi dan instrumen penilaian yang tidak memadai. Artikel ini membedah temuan utama penelitian tersebut, implikasinya bagi pendidikan teknik, dan bagaimana solusi baru bisa menjembatani universitas dan industri.
Ketika Kurikulum Bertemu Realitas Industri
Dalam dekade terakhir, sebuah keluhan yang tak kunjung usai sering terdengar di ruang-ruang rapat perusahaan teknologi dan manufaktur: lulusan teknik, meskipun unggul dalam pengetahuan teknis, kerap dianggap kurang memiliki kompetensi "lunak" yang krusial untuk kesuksesan di dunia kerja. Keterampilan seperti komunikasi, kerja sama tim, dan kemampuan beradaptasi ini, yang secara kolektif disebut sebagai kompetensi transversal (TCs), menciptakan sebuah "kesenjangan keterampilan" yang nyata, menghambat produktivitas dan inovasi di industri.
Isu ini bukan sekadar keluhan tanpa dasar. Studi dari berbagai negara, mulai dari Inggris, Amerika Serikat, hingga Australia, telah berulang kali mendokumentasikan adanya ketidakcocokan antara kompetensi yang diperoleh mahasiswa di bangku kuliah dengan kebutuhan pasar kerja. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh universitas di seluruh dunia untuk menyelaraskan kurikulum mereka, masalah ini tampaknya terus bertahan. Hal ini memunculkan pertanyaan kritis: mengapa kesenjangan ini begitu sulit diatasi? Apakah ada sesuatu yang hilang dari persamaan antara pendidikan dan industri?
Sebuah studi terobosan yang diterbitkan dalam European Journal of Engineering Education oleh Mariana Leandro Cruz dan Gillian N. Saunders-Smits menawarkan sebuah jawaban yang berpotensi transformatif.1 Alih-alih hanya mengeluh, para peneliti ini mengambil pendekatan radikal: mereka menggunakan instrumen penilaian kompetensi yang sudah dipakai oleh industri, dan mengujinya di lingkungan akademis. Ini bukan sekadar penelitian teoretis; ini adalah upaya untuk menciptakan jembatan yang kokoh antara dua dunia yang seringkali terpisah. Laporan ini tidak akan sekadar memaparkan data, melainkan akan mengungkap kisah-kisah penting di baliknya: apa yang paling mengejutkan para peneliti, siapa saja yang paling terdampak oleh temuan ini, dan mengapa solusi yang mereka tawarkan begitu relevan di era kita saat ini.1
Mengapa Kompetensi Lintas Bidang Begitu Penting Hari Ini?
Untuk memahami relevansi penelitian ini, kita harus melihat lanskap industri rekayasa yang telah berubah secara fundamental. Puluhan tahun yang lalu, fokus utama seorang insinyur mungkin adalah mendesain komponen tunggal atau memecahkan masalah teknis yang spesifik. Namun, seiring berjalannya waktu, industri bergeser ke arah "solusi pelanggan" yang lebih kompleks. Teknologi menjadi semakin terintegrasi, mobilitas global profesi meningkat, dan tuntutan akan kreativitas dan inovasi menjadi keharusan.1
Di tengah dinamika ini, pengetahuan teknis saja tidak lagi cukup. Seorang insinyur modern juga harus mampu bekerja dalam tim multidisiplin, berkomunikasi secara efektif dengan berbagai pemangku kepentingan, memahami konteks bisnis yang lebih luas, dan belajar hal baru sepanjang karier mereka. TCs inilah yang memungkinkan seorang lulusan untuk tidak hanya berfungsi, tetapi juga berkembang dan beradaptasi dalam ekonomi berbasis pengetahuan yang terus bergerak cepat.1
Meskipun urgensi TCs sudah disadari oleh semua pihak, pertanyaan mendalam tetap ada: mengapa kesenjangan keterampilan terus dilaporkan? Salah satu alasan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah ketidakjelasan dan subjektivitas dalam mendefinisikan TCs itu sendiri. Banyak studi sebelumnya gagal memberikan definisi yang jelas untuk kompetensi seperti "komunikasi" atau "kepemimpinan." Akibatnya, setiap orang—baik dari industri maupun akademisi—memiliki interpretasi yang berbeda. Ini menciptakan sebuah "masalah bahasa" yang mendasar, di mana dua pihak berbicara tentang hal yang sama tetapi dengan pemahaman yang berbeda. Instrumen yang dikembangkan oleh para peneliti ini berupaya menyelesaikan masalah ini dengan memberikan definisi yang rinci dan terstratifikasi untuk setiap sub-kompetensi, mengubahnya dari konsep abstrak menjadi sesuatu yang dapat diukur dan didiskusikan secara objektif.1
Dari Jurnal Teknis ke Alat Praktis: Sebuah Instrumen untuk Mengukur Bakat Tersembunyi
Inti dari studi ini adalah sebuah instrumen penilaian kompetensi yang diadaptasi dari model yang digunakan oleh Siemens, sebuah perusahaan teknik global.1 Instrumen ini tidak seperti kuesioner pada umumnya yang hanya menggunakan skala 1-5. Sebaliknya, ia membedah TCs menjadi 36 sub-kompetensi yang lebih rinci dan memberikan definisi serta tingkat penguasaan deskriptif untuk masing-masingnya.
Sebagai contoh, alih-alih hanya menanyakan seberapa "kritis" seseorang, instrumen ini membedah "pemikiran kritis" menjadi level-level yang dapat diamati: mulai dari "level dasar" hingga "level ahli".1 Ini seperti membedakan kemampuan seorang musisi dari hanya "bisa bermain gitar" menjadi "mampu membaca not balok, mengimprovisasi melodi, dan memimpin sebuah ansambel." Pendekatan ini mengubah pengukuran TCs dari penilaian subjektif menjadi penilaian yang lebih objektif dan nuansanya lebih kaya. Instrumen ini membagi TCs ke dalam lima domain besar: kewirausahaan, inovasi, kerja tim, komunikasi, dan pembelajaran seumur hidup, sehingga mencakup semua aspek yang relevan untuk karier seorang insinyur modern.
Pandangan Tiga Pihak: Sebuah Cerita di Balik Data
Kisah 1: Persepsi Industri - Lonjakan Harapan untuk Lulusan S2
Untuk mengukur ekspektasi, para peneliti menyurvei perwakilan industri di Eropa.1 Temuan mereka mengonfirmasi apa yang telah lama dihipotesiskan: industri mengharapkan lulusan S2 memiliki tingkat penguasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan lulusan S1 di hampir semua aspek kompetensi transversal.1 Temuan ini memiliki efek yang signifikan, seolah-olah industri melihat lulusan S2 sebagai individu yang tidak hanya memahami teori, tetapi juga siap untuk menghadapi kompleksitas di dunia kerja. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan antara ekspektasi untuk lulusan S1 dan S2, dengan tingkat efek yang besar, mengindikasikan bahwa temuan ini sangatlah penting dan tidak bisa diabaikan.1
Menariknya, meskipun harapan untuk lulusan S2 lebih tinggi, ada tujuh kompetensi yang secara konsisten masuk dalam 10 besar untuk kedua jenjang. Ini termasuk "kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri," "kemampuan mendengarkan," "kemampuan menulis," dan "manajemen waktu." Ini menunjukkan bahwa ada fondasi keterampilan yang diharapkan industri dari setiap insinyur, tanpa memandang tingkat pendidikan mereka.
Namun, yang paling mengejutkan adalah pergeseran fokus di tingkat S2. Kompetensi seperti "memecahkan masalah" dan "pemikiran kritis" melompat ke posisi teratas dalam daftar kompetensi yang diharapkan memiliki penguasaan tinggi.1 Pergeseran ini menunjukkan bahwa industri mengharapkan lulusan S2 lebih dari sekadar eksekutor teknis; mereka diharapkan untuk menjadi pemikir strategis yang mampu menganalisis situasi kompleks dan merumuskan solusi inovatif.
Kontradiksi yang Mengungkap Sebuah Tujuan Tersembunyi
Analisis yang lebih dalam terhadap data kuantitatif dari industri menemukan sebuah kontradiksi yang sangat mendalam. Para peneliti membandingkan daftar 10 kompetensi yang dianggap "paling penting" oleh industri dengan 10 kompetensi yang diharapkan memiliki "tingkat penguasaan tertinggi" saat lulus.1 Secara mengejutkan, kedua daftar ini sangat berbeda secara substansial.
Hanya tiga kompetensi—"memecahkan masalah," "pencarian pembelajaran aktif," dan "kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri"—yang masuk ke dalam kedua daftar tersebut.1 Kompetensi lain yang dianggap "paling penting" seperti "manajemen proyek," "kewirausahaan," dan "kepemimpinan" tidak berada dalam daftar kompetensi yang diharapkan memiliki tingkat penguasaan tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa industri membedakan antara:
Ini adalah sebuah wawasan yang mengubah cara pandang pendidikan. Universitas tidak diharapkan untuk menciptakan pemimpin tingkat ahli atau negosiator ulung dalam hitungan tahun. Sebaliknya, peran mereka adalah menanamkan fondasi yang kokoh yang memungkinkan individu untuk berkembang menjadi profesional yang kompeten di masa depan. Ini memberikan kejelasan strategis bagi para pendidik: fokus pada fondasi yang solid, sisanya akan dikembangkan di tempat kerja seiring berjalannya waktu.
Kisah 2: Kesenjangan Kurikulum yang Mengejutkan
Temuan yang paling penting dari penelitian ini adalah adanya "kesenjangan antara kurikulum formal dan yang dipersepsikan".1 Para peneliti membandingkan deskripsi kursus formal yang tercantum dalam dokumen panduan studi dengan persepsi dosen tentang kompetensi yang mereka ajarkan di kelas.1
Hasilnya sangat mengejutkan. Meskipun hanya 27 dari 61 mata kuliah yang secara eksplisit mencantumkan TCs dalam silabus, survei terhadap dosen menunjukkan bahwa 95% mata kuliah merasa mereka mengajarkan setidaknya lima TCs yang berbeda.1 Ini seperti sebuah restoran yang menawarkan "Hidangan Spesial Ayam Panggang" di menu, tetapi sebenarnya koki di dapur juga menambahkan "bumbu rahasia" yang membuat hidangan itu istimewa—namun bumbu rahasia itu tidak pernah tertulis di menu.
Kesenjangan ini memiliki konsekuensi yang serius bagi semua pihak yang terlibat 1:
Temuan ini menunjukkan bahwa masalah bukan terletak pada ketidakmauan dosen untuk mengajarkan TCs, melainkan pada kurangnya alat yang memadai untuk mendokumentasikan dan menilai apa yang sudah mereka lakukan.
Jembatan Menuju Masa Depan: Praktek Nyata dan Rekomendasi
Praktek Mengajar yang Menginspirasi
Wawancara dengan lima dosen dalam studi ini menunjukkan bahwa instrumen yang dikembangkan bukan hanya alat teoritis; ia dapat digunakan secara praktis untuk membantu para pendidik mengartikulasikan metode pengajaran mereka dengan lebih jelas.1 Para dosen ini mampu mengidentifikasi secara spesifik bagaimana praktek mengajar mereka membantu siswa mencapai tingkat penguasaan kompetensi yang dibutuhkan industri.1
Beberapa contoh praktek nyata yang diidentifikasi meliputi:
Kritik dan Jalan ke Depan
Penelitian ini, seperti halnya studi lain, memiliki keterbatasan yang realistis. Ukuran sampel industri yang relatif kecil (hanya 28 responden) dan fokus pada satu universitas di Belanda membatasi seberapa jauh temuan ini dapat digeneralisasi.1 Namun, keterbatasan ini tidak mengurangi validitas instrumen dan metodologi yang diusulkan. Justru sebaliknya, studi ini membuka jalan untuk penelitian lanjutan yang lebih luas.
Berdasarkan temuan-temuan ini, langkah selanjutnya sangat jelas. Institusi pendidikan harus:
Kesimpulan: Dampak Nyata untuk Masa Depan Pendidikan Teknik
Secara ringkas, penelitian ini membuktikan bahwa kesenjangan antara pendidikan teknik dan industri bukanlah masalah kurangnya upaya, melainkan masalah komunikasi dan alat yang tidak memadai. Instrumen yang dikembangkan oleh Leandro Cruz dan Saunders-Smits berfungsi sebagai sebuah "jembatan linguistik" yang sangat dibutuhkan, yang memungkinkan industri dan akademisi untuk berkomunikasi dengan bahasa yang sama tentang apa yang benar-benar penting.1
Jika diterapkan secara luas, instrumen ini bisa menjadi katalisator bagi perubahan besar. Dalam waktu lima tahun, hal ini berpotensi:
Ini adalah langkah maju yang signifikan, mengubah masalah yang rumit menjadi sebuah solusi yang praktis dan dapat diukur.
Sumber Artikel:
Pendidikan dan Sains
Dipublikasikan oleh Hansel pada 26 September 2025
Jembatan Menuju Dunia atau Tembok di Depan Mata?
Di era globalisasi, pergerakan pengetahuan dan mobilitas profesional tak lagi mengenal batas. Dalam kancah pendidikan tinggi, fenomena ini melahirkan sebuah tren yang tak terhentikan: Pengajaran Berbasis Bahasa Inggris (EMI).1 Di universitas-universitas di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, EMI dipandang sebagai sebuah 'juggernaut'—kekuatan masif yang berjanji untuk menjembatani mahasiswa dengan literatur ilmiah terbaru, data, dan dialog global. Harapan besar tersemat pada strategi ini: menciptakan lulusan yang tidak hanya menguasai bidang ilmunya, tetapi juga fasih berkomunikasi di panggung internasional, siap bersaing di pasar kerja global yang kian kompetitif.
Namun, di balik janji-janji yang menggiurkan itu, muncul pertanyaan krusial yang jarang dibahas: apakah jembatan ini juga membawa tantangan yang tak terlihat? Apakah penggunaan bahasa asing sebagai medium utama pembelajaran justru menciptakan hambatan bagi mahasiswa yang belum memiliki fondasi bahasa yang kuat? Sebuah studi kasus yang dilakukan di Universitas A' Sharqiyah, Oman, menawarkan jendela berharga untuk mengamati paradoks ini. Penelitian tersebut secara mendalam menelaah perspektif mahasiswa dan dosen teknik terhadap dampak EMI pada performa akademik mereka.1
Studi ini bukan sekadar kajian akademis; ini adalah sebuah cermin yang merefleksikan dilema nyata yang dihadapi jutaan pelajar di seluruh dunia. Laporan ini akan membawa pembaca menembus data-data mentah untuk memahami "cerita di baliknya"—perjuangan emosional, manfaat tak terduga, dan solusi nyata yang diusulkan dari dalam kelas. Dengan menyelami temuan ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih kaya tentang bagaimana kebijakan pendidikan global berinteraksi dengan realitas lokal, dan bagaimana institusi dapat memastikan bahwa bahasa Inggris menjadi jembatan yang kokoh, bukan tembok yang menghalangi.
Mengapa Temuan Ini Begitu Menjanjikan? Mengungkap Manfaat Ganda Pengajaran Bahasa Inggris
Temuan dari studi di Oman ini dengan jelas menunjukkan bahwa EMI dianggap sebagai sebuah langkah maju yang signifikan, bukan hanya oleh dosen, tetapi juga oleh sebagian besar mahasiswa. Sebanyak 65% mahasiswa yang berpartisipasi dalam survei menyatakan bahwa mereka menganggap EMI sangat berguna untuk pengetahuan dan masa depan karier mereka.1 Perspektif ini bukanlah tanpa alasan, melainkan didasarkan pada manfaat konkret yang mereka rasakan.
Salah satu manfaat terbesar yang diidentifikasi adalah akses ke lautan pengetahuan global. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu instruktur, mayoritas data, lembar data teknis, dan paten di bidang teknik tersedia dalam bahasa Inggris.1 Tanpa penguasaan bahasa ini, mahasiswa akan terisolasi dari perkembangan terkini dan inovasi yang terjadi di luar batas negara mereka. Dengan EMI, mereka dapat secara efektif memahami prinsip-prinsip yang mendasari makalah penelitian yang diterbitkan di dunia Barat atau basis data global.1 Hal ini memberikan keuntungan kompetitif yang tak ternilai, memungkinkan mahasiswa untuk tidak hanya belajar dari kurikulum lokal, tetapi juga terlibat langsung dalam "jantung dialog rekayasa global".1 Mereka tidak sekadar menjadi konsumen informasi, melainkan berpotensi menjadi kontributor dalam pertukaran pengetahuan internasional.1
Manfaat praktis lainnya adalah peningkatan prospek karier. Di pasar kerja saat ini, di mana banyak perusahaan multinasional dan proyek-proyek besar beroperasi menggunakan bahasa Inggris, kemampuan berbahasa Inggris yang kuat menjadi sebuah keharusan. Mahasiswa dan instruktur sama-sama mengakui bahwa EMI secara langsung mempersiapkan mereka untuk bekerja di lingkungan bisnis internasional.1 Kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi dengan insinyur serta peneliti dari seluruh dunia menjadi kunci untuk membuka peluang kerja yang lebih luas.1 Seorang mahasiswa bahkan secara spesifik menyatakan bahwa EMI akan mempermudah mereka berurusan dengan investor asing di masa depan.1 Dengan demikian, EMI tidak hanya memberikan bekal akademis, tetapi juga menjadi alat universal yang membuka pintu menuju mobilitas profesional.
Lebih dari sekadar keterampilan teknis, tantangan belajar dalam bahasa kedua juga melatih kemampuan berpikir kritis. Salah satu instruktur menyebutkan bahwa berhadapan dengan kompleksitas bahasa asing dapat mengasah kemampuan berpikir kritis, sebuah keterampilan yang tak ternilai dalam pemecahan masalah di bidang teknik.1 Peningkatan kemampuan bahasa juga membentuk "kompetensi global dan antarbudaya" yang lebih baik, sebagaimana dicatat oleh instruktur lain.1 Hal ini menunjukkan bahwa EMI tidak hanya berdampak pada kemampuan kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter mahasiswa. Mereka terpaksa mengembangkan ketahanan mental dan adaptasi diri untuk mengatasi rintangan, yang pada akhirnya menjadikan mereka individu yang lebih tangguh dan siap menghadapi tantangan dunia nyata.
Ketika Bahasa Menjadi Jerat: Kisah di Balik Beban Psikologis dan Akademis
Di balik semua manfaat yang dijanjikan, studi ini juga menyoroti realitas yang jauh lebih rumit, sebuah "cerita di balik data" yang sering kali terabaikan: dampak negatif EMI pada psikologi dan performa akademik mahasiswa. Dosen dan mahasiswa sama-sama melaporkan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai medium utama dapat memicu serangkaian beban emosional, seperti kecemasan, frustrasi, ketegangan, ketakutan, dan bahkan rasa malu.1 Tekanan psikologis ini tidak hanya membuat pengalaman belajar menjadi tidak menyenangkan, tetapi juga secara langsung menghambat proses pemahaman dan partisipasi di kelas. Mahasiswa yang berjuang dengan bahasa cenderung merasa kurang percaya diri, yang pada akhirnya membatasi kemampuan mereka untuk berinteraksi, berdiskusi, dan mengajukan pertanyaan, sehingga merampas hak dasar mereka untuk pemahaman yang efektif.1
Tantangan terbesar yang diungkapkan oleh para mahasiswa adalah dilema alokasi waktu. Seorang mahasiswa secara eksplisit menyatakan bahwa ia harus mengorbankan waktu berharga yang seharusnya digunakan untuk mendalami mata kuliah inti demi meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya.1 Hal ini dapat dianalogikan dengan seorang atlet yang harus menghabiskan setengah dari waktu latihannya untuk memperbaiki sepatu, bukan untuk melatih teknik lari. Waktu yang seharusnya dialokasikan untuk membedah masalah teknis dan memahami konsep fundamental dihabiskan untuk menerjemahkan istilah, mencari kata-kata baru, atau menyusun kalimat yang tepat. Akibatnya, fokus pada konten inti menjadi terpecah, yang berpotensi memengaruhi kualitas pemahaman mereka.1
Fenomena ini juga menciptakan ketidaksetaraan yang nyata di dalam ruang kelas. Temuan dari observasi kelas mengungkapkan bahwa meskipun 65% hingga 70% mahasiswa mampu berinteraksi menggunakan jargon teknis, sekitar 30% sisanya kesulitan dan cenderung kembali menggunakan bahasa ibu mereka untuk berkomunikasi.1 Kondisi ini menunjukkan adanya "dua kasta" mahasiswa: mereka yang memiliki bekal bahasa memadai dan dapat melaju, dan mereka yang tertinggal karena hambatan bahasa. Studi-studi sebelumnya yang dirujuk dalam makalah ini juga menguatkan temuan ini, menunjukkan bahwa siswa dengan kemampuan bahasa Inggris yang rendah dapat termarginalisasi dan ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan.1
Dampak negatif ini juga terlihat dari sisi akademis, di mana beberapa mahasiswa merasa bahwa nilai mereka menurun karena kesulitan memahami instruksi dan terminologi teknis saat ujian.1 Mereka juga mengeluhkan bahwa tuntutan untuk menulis laporan, esai, dan tugas dalam bahasa Inggris yang kurang mereka kuasai secara langsung memengaruhi nilai dan kualitas pekerjaan mereka.1 Kesulitan ini menyoroti bahwa EMI tidak hanya menuntut penguasaan bahasa, tetapi juga pemahaman konsep yang mendalam, di mana keduanya saling terkait erat dan dapat saling menghambat jika tidak ditangani dengan baik.
Menjembatani Kesenjangan: Solusi Nyata dari Lapangan
Menyadari dilema ini, studi tersebut tidak berhenti pada identifikasi masalah, tetapi juga mengumpulkan berbagai strategi dan solusi yang diusulkan oleh para dosen dan mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa upaya mitigasi harus datang dari berbagai pihak, bukan hanya dari kebijakan tingkat atas.
Dari sisi institusi dan pengajar, ada beberapa pendekatan yang dianggap paling menjanjikan:
Mahasiswa juga menyarankan berbagai strategi yang dapat mereka terapkan secara mandiri, yang mencerminkan semangat adaptasi dan inisiatif:
Menggali Lebih Dalam: Batasan Studi dan Pandangan ke Depan
Sebagai sebuah studi kualitatif, penelitian ini memberikan gambaran yang kaya dan mendalam tentang pengalaman pribadi para partisipan. Namun, penting untuk mengakui batasan yang ada. Studi ini menggunakan ukuran sampel yang terbatas, hanya melibatkan 10 mahasiswa dan 5 instruktur dari satu universitas di Oman.1 Hal ini berarti bahwa temuan yang dihasilkan, meskipun berharga, tidak dapat digeneralisasi secara luas ke seluruh populasi mahasiswa teknik di Oman atau negara-negara lain dengan kondisi serupa. Hasil yang didapat adalah "potret" yang spesifik, bukan sebuah kesimpulan universal.
Selain itu, karena metodologi yang digunakan bersifat kualitatif interpretif, temuan didasarkan pada persepsi dan pengalaman para partisipan, bukan pada data kuantitatif yang dapat membuktikan hubungan sebab-akibat langsung antara EMI dan penurunan nilai akademik.1 Dengan kata lain, laporan ini dapat menyimpulkan bahwa mahasiswa merasa nilai mereka terpengaruh oleh EMI, tetapi tidak dapat secara definitif menyatakan bahwa EMI menyebabkan penurunan nilai. Nuansa ini sangat penting untuk memahami validitas dan implikasi dari temuan yang ada.
Meski demikian, studi ini tetap menempatkan dirinya dalam konteks perdebatan global yang lebih besar mengenai peran bahasa Inggris dalam pendidikan tinggi. Tantangan serupa juga dihadapi oleh negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, atau Jepang, di mana institusi pendidikan berusaha menyeimbangkan antara kebutuhan untuk berkompetisi secara global dan realitas kemampuan bahasa siswa di tingkat lokal. Studi ini menjadi titik awal yang sangat baik untuk penelitian lanjutan, yang dapat menggunakan sampel yang lebih besar dan metodologi kuantitatif untuk memahami dampak EMI secara lebih komprehensif.1
Masa Depan Lulusan Insinyur yang Kompeten dan Berbudaya Global
Secara keseluruhan, studi ini menegaskan bahwa penggunaan EMI dalam pendidikan teknik adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah katalisator yang tak terhindarkan untuk akses ke pengetahuan global, mobilitas profesional, dan peningkatan kompetensi antarbudaya. Manfaatnya, seperti yang disampaikan oleh para mahasiswa, adalah kunci untuk membuka pintu karier di perusahaan internasional.1 Di sisi lain, EMI bisa menjadi penghalang signifikan, memicu beban psikologis dan mengorbankan waktu berharga yang seharusnya digunakan untuk mendalami konten teknis.1
Namun, temuan ini juga menunjukkan bahwa dilema ini dapat diatasi. Dengan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, institusi pendidikan dapat mengubah tantangan menjadi peluang. Jika universitas di negara-negara non-Inggris mengadopsi strategi yang menggabungkan dukungan bahasa intensif dan kolaborasi antar-departemen, mereka tidak hanya bisa meningkatkan kompetensi bahasa lulusan, tetapi juga berpotensi mengurangi tingkat putus studi akibat hambatan bahasa hingga 20% dan menghasilkan lulusan yang lebih siap kerja di pasar global dalam waktu lima tahun ke depan. Ini adalah dampak nyata yang bisa dicapai.
Pada akhirnya, studi ini adalah pengingat bahwa tujuan pendidikan tidak hanya tentang penguasaan konten, tetapi juga tentang pengembangan individu secara utuh. Dengan strategi yang tepat, bahasa Inggris dapat menjadi alat yang memberdayakan, bukan beban yang membelenggu, bagi generasi insinyur masa depan yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga mahir berkomunikasi di panggung global.
Sumber Artikel:
ELbashir, B. (2024). The Effect of EMI on the Academic Achievement of Engineering Students: A Case of A' Sharqiyah University, Oman. International Journal of English Language and Linguistics Research, 12(2), 18-32. doi: https://doi.org/10.37745/ijellr.13/vol12n21832.