Perencanaan Kota
Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 Oktober 2025
Menyusun Arah Riset ke Depan: Evaluasi Dampak Historis Urbanisasi pada Risiko Banjir di Istanbul dengan Kerangka HVE
Pengantar dan Jalur Logis Penemuan
Percepatan urbanisasi secara global telah mengubah siklus air perkotaan, yang secara fundamental memperburuk frekuensi dan intensitas banjir. Fenomena ini, yang ditandai dengan peningkatan permukaan kedap air, memicu peningkatan volume dan kecepatan limpasan permukaan, serta memperpendek waktu lag hidrograf sungai. Di tengah tren peningkatan insiden banjir secara global, termasuk di Turki , distrik Esenyurt, Istanbul, muncul sebagai studi kasus penting. Sebagai distrik terpadat di Turki, Esenyurt mengalami pertumbuhan populasi yang cepat dan pembangunan yang intensif, terutama di sekitar Sungai Haramidere. Kawasan ini, yang telah bertransformasi dari desa pertanian pada tahun 1970 menjadi kawasan industri dan residensial padat saat ini, menghadapi risiko banjir yang mematikan, yang berpuncak pada bencana tahun 2022 yang menimbulkan korban jiwa.
Penelitian ini secara historis mengevaluasi risiko banjir yang didorong oleh urbanisasi, memfokuskan analisis pada kerangka Hazard, Vulnerability, dan Exposure (HVE). Dalam konteks perkotaan yang dinamis, kerangka HVE, khususnya komponen Exposure (Paparan), menjadi krusial karena menilai individu dan properti di area risiko, yang sangat dipengaruhi oleh tren tata guna lahan.
Jalur logis penemuan dimulai dengan penggunaan teknologi Penginderaan Jauh (Remote Sensing/RS) dan Sistem Informasi Geografis (GIS). Untuk melacak perubahan historis bangunan dalam periode 2014–2022, data satelit Landsat-8 digunakan, yang dianalisis menggunakan indeks seperti NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), NDBI (Normalized Difference Built-up Index), dan BU (Built-up). Indeks ini memungkinkan penentuan waktu pembangunan bangunan secara retrospektif, yang kemudian diklasifikasikan berdasarkan fungsinya (residensi, komersial, industri).
Tahap selanjutnya adalah analisis risiko. Data Hazard (Bahaya) berupa kedalaman dan area genangan banjir dengan periode ulang 100 tahun diambil dari model hidrodinamika tahun 2014 oleh İSKİ (Direktorat Jenderal Administrasi Air dan Saluran Air Istanbul). Dengan mengasumsikan area dan kedalaman genangan ini konstan, perubahan risiko banjir dihitung berdasarkan pertumbuhan Exposure (Paparan), yaitu bangunan baru yang masuk ke zona bahaya sepanjang periode 2014 hingga 2022.
Perhitungan risiko banjir total didasarkan pada dua komponen: Kerusakan Ekonomi dan Populasi Terdampak. Kerusakan Ekonomi ditentukan dari luas lantai bangunan, biaya unit konstruksi (difikskan pada nilai 2022 untuk menghindari inflasi), dan fungsi kedalaman-kerusakan JRC Eropa. Sementara itu, risiko Populasi Terdampak dihitung berdasarkan jumlah bangunan, jumlah lantai, dan ukuran rumah tangga (3,43 orang per rumah tangga), dengan asumsi semua orang di area genangan akan terdampak.
Dari alur metodologis ini, temuan kuantitatif yang mengkhawatirkan muncul, menunjukkan keterkaitan yang kuat antara urbanisasi yang tidak terencana dengan peningkatan risiko bencana.
Sorotan Data Kuantitatif dan Implikasi Jangka Panjang
Analisis terhadap 1.051 poligon bangunan yang berada di dalam zona genangan banjir pada tahun 2022 menunjukkan tren ekspansi perkotaan yang signifikan. Secara keseluruhan, jumlah total bangunan di area genangan meningkat sebesar 13.9% antara tahun 2014 dan 2022 (dari 922 menjadi 1.051 bangunan). Temuan yang lebih deskriptif menunjukkan pertumbuhan bangunan industri mencatat peningkatan tertinggi yaitu 32.2% , sementara bangunan residensial meningkat sebesar 12.9%. Lonjakan pembangunan ini, yang terlihat jelas pada tahun-tahun 2016, 2017, dan 2021, secara langsung berkorelasi dengan ekspansi paparan terhadap bahaya banjir.
Dampak dari pertumbuhan Exposure ini terhadap risiko total adalah penemuan kunci dari studi ini:
Temuan kuantitatif ini secara tegas menyimpulkan bahwa urbanisasi cepat dan terpusat di kawasan aliran sungai merupakan katalis utama peningkatan risiko. Keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang terletak pada gagasan bahwa tanpa strategi perencanaan kota yang efektif, kerugian ekonomi dan sosial akan terus meningkat secara eksponensial. Mengingat biaya unit bangunan yang tinggi, khususnya pada konstruksi vertikal terbaru di Esenyurt, risiko ini bukan hanya masalah frekuensi banjir, tetapi juga masalah nilai aset yang berisiko.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama studi ini terhadap bidang mitigasi risiko bencana perkotaan dan perencanaan wilayah sangat unik karena pendekatannya yang berbasis data dan historis. Studi ini secara eksplisit mengkombinasikan teknologi Penginderaan Jauh (RS) dan Sistem Informasi Geografis (GIS) dengan kerangka konseptual Hazard, Vulnerability, Exposure (HVE) untuk melakukan analisis risiko banjir yang berpusat pada bangunan (building-based).
Secara spesifik, studi ini memberikan:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusi metodologisnya kuat, studi ini memiliki beberapa keterbatasan yang harus diakui sebagai dasar untuk riset ke depan:
Berdasarkan keterbatasan ini, muncul pertanyaan terbuka mendasar:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset, studi ini menetapkan lima arah riset ke depan yang krusial untuk mencapai ketahanan kota berkelanjutan:
1. Integrasi Data Perubahan Iklim ke dalam Model HVE Dinamis
2. Pemodelan Hidrodinamika dengan Variabel Lahan Basah dan LULC Terperinci
3. Analisis Sensitivitas Kedalaman-Kerusakan Berbasis Sektor Lokal
4. Pemantauan Keputusan Perencanaan Kota dengan RS Tepat Waktu dan Resolusi Tinggi
5. Model Risiko Populasi Berbasis Waktu dan Kepadatan Vertikal
Penelitian ini telah menyajikan bukti kuat bahwa laju urbanisasi yang pesat di Esenyurt, Istanbul, telah secara nyata dan terukur meningkatkan risiko banjir melalui peningkatan Paparan (Exposure). Konektivitas antara temuan saat ini (peningkatan risiko 13,6%) dengan potensi jangka panjang adalah jelas: mengabaikan perencanaan kota yang sensitif terhadap hidrologi akan terus meningkatkan kerusakan ekonomi yang terukur dalam jutaan lira dan mengancam nyawa ribuan penduduk.
Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil ini dalam skala yang lebih luas, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multisektoral. Penelitian ini harus melibatkan institusi İSKİ (Direktorat Jenderal Administrasi Air dan Saluran Air Istanbul) untuk data hidrodinamika yang diperbarui, İBB (Kota Metropolitan Istanbul) untuk integrasi kebijakan perencanaan kota, dan AFAD (Otoritas Manajemen Bencana dan Darurat) untuk validasi data kerugian ekonomi, guna memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di masa depan.
Studi Bencana
Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 Oktober 2025
Resensi Riset: Memajukan Arah Studi Nexus Demografi-Bencana
Pendahuluan: Sebuah Pergeseran Paradigma dalam Studi Bencana
Volume yang disunting oleh Dávid Karácsonyi, Andrew Taylor, dan Deanne Bird, “The Demography of Disasters: Impacts for Population and Place,” menandai tonggak penting dalam upaya memformalkan dan memperluas bidang penelitian yang sedang berkembang, yaitu nexus demografi-bencana. Karya ini menargetkan komunitas akademik, peneliti, dan lembaga pemberi hibah untuk bergerak melampaui pemahaman tradisional bencana sebagai "guncangan" eksternal atau "peristiwa non-rutin" yang semata-mata tidak dapat diprediksi. Inti dari volume ini adalah argumen bahwa bencana sangat tertanam dalam struktur masyarakat (social embeddedness), di mana profil demografi populasi pra-bencana adalah penentu utama kerentanan dan besarnya dampak yang terjadi.
Buku ini secara logis menyusun perjalanan temuan dengan memaparkan kerangka kerja konseptual yang luas. Bencana, dalam pandangan ini, memiliki kapasitas untuk mengubah profil populasi secara mendasar pada tingkat lokal dan regional. Perubahan ini bukan hanya tentang jumlah kematian atau cedera segera, tetapi juga mencakup konsekuensi yang lebih kompleks dan berjangka panjang seperti migrasi keluar, relokasi permanen, dan perubahan perilaku demografi—yang semuanya dapat berfungsi sebagai umpan balik yang tak terduga, mengubah ekonomi dan struktur sosial jauh ke masa depan.
Jalur logis penelitian ini kemudian diuraikan melalui pemeriksaan multidisiplin yang terperinci. Volume ini menyoroti tujuh pendekatan utama dalam memahami interkoneksi ini: dampak bencana pada populasi, pengukuran kerentanan, perpindahan massal (mass displacement), pendekatan spasial/regional, perubahan iklim, urbanisasi, dan pendekatan terapan. Secara kolektif, bab-bab dalam buku ini memperkuat tesis bahwa bencana seringkali mempercepat tren demografi yang sudah ada sebelumnya, seperti migrasi dari pedesaan ke perkotaan atau penurunan populasi, daripada menciptakan struktur demografi yang sama sekali baru di tingkat lokal. Oleh karena itu, penelitian lanjutan harus melibatkan pemeriksaan mendalam terhadap demografi pra-bencana untuk membedakan antara tren struktural dan dampak yang disebabkan oleh bencana itu sendiri.
Sorotan Temuan Kuantitatif Deskriptif
Meskipun karya ini bersifat kompilasi dari berbagai studi kasus dan ulasan konseptual, penekanan pada demografi kerentanan dan perpindahan massal secara konsisten memvalidasi tesis sentralnya. Analisis yang dikumpulkan dari studi kasus jangka panjang mengenai perubahan populasi dan migrasi pasca-bencana menunjukkan bahwa temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara komposisi demografi yang rentan (terutama kelompok lansia dan minoritas) dan tingkat morbiditas/mortalitas pasca-bencana yang tidak proporsional — menunjukkan potensi kuat untuk mengembangkan objek penelitian baru dalam pemodelan risiko bencana berbasis populasi. Selain itu, perbandingan antara lokasi bencana (seperti kasus Morwell, New Orleans, dan Christchurch) mengungkapkan bahwa respons migrasi dan perubahan populasi regional sangat bergantung pada pre-eksistensi struktur ekonomi (misalnya, kota industri tunggal) dan kondisi sosial.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama dari volume riset ini terhadap studi bencana dan demografi adalah tiga kali lipat. Pertama, ia secara definitif memposisikan nexus demografi-bencana sebagai bidang ilmiah yang berbeda, bukan hanya sebagai cabang dari ilmu sosial yang lebih luas. Langkah ini sangat penting untuk menarik sumber pendanaan dan membangun komunitas akademik yang kohesif.
Kedua, buku ini mendorong pergeseran ontologis dalam studi bencana. Dengan menekankan bahwa bencana berakar pada ketidaksetaraan sosial, politik, dan ekonomi (social vulnerability school) , para peneliti diarahkan untuk fokus pada demografi sebagai akar penyebab bencana—misalnya, bagaimana komposisi umur, jenis kelamin, dan etnis populasi di zona bahaya secara intrinsik meningkatkan risiko.
Ketiga, volume ini menyediakan kerangka kerja klasifikasi yang komprehensif melalui tujuh pendekatan interdisipliner, yang meluas dari dampak kesehatan dan pemindahan paksa hingga masalah yang lebih kontemporer seperti migrasi akibat perubahan iklim dan kerentanan perkotaan. Kerangka ini berfungsi sebagai peta jalan untuk penelitian di masa depan, membantu peneliti untuk mengatasi kompleksitas multidimensi dari bencana modern.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusinya besar, para editor dan penulis mengidentifikasi beberapa keterbatasan kritis dan pertanyaan terbuka yang memerlukan perhatian mendesak dari komunitas peneliti.
Keterbatasan utama adalah kurangnya data yang memadai, spasial, dan tepat waktu untuk melakukan analisis demografi bencana secara rinci. Hal ini menghambat penggunaan teknik demografi terapan untuk estimasi populasi pasca-bencana dan pemodelan kerentanan yang akurat. Keterbatasan data ini menyebabkan pemahaman yang kurang tentang skala sosial isu-isu bencana—bagaimana kelompok yang berbeda (seperti wanita, masyarakat adat, atau kelompok rentan) mengalami dan menanggapi bencana dalam jangka waktu yang lebih lama.
Pertanyaan-pertanyaan terbuka yang paling menantang meliputi:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berikut adalah lima rekomendasi riset berkelanjutan, disajikan secara eksplisit untuk komunitas akademik dan lembaga pemberi hibah, yang secara langsung didasarkan pada celah temuan dan pertanyaan terbuka dalam volume ini.
1. Pengembangan Pemodelan Dinamika Populasi Spasial-Temporal Jangka Panjang
2. Analisis Gender dan Inklusivitas dalam Perencanaan Tata Ruang Perkotaan
3. Mengukur Koefisien Kerentanan Struktural di Megacity Pesisir Global
4. Isolasi Efek Percepatan Bencana dari Tren Demografi Jangka Panjang
5. Pemanfaatan Big Data untuk Demografi Terapan dalam Respons Bencana
Kesimpulan dan Kolaborasi
Nexus demografi-bencana adalah bidang yang matang untuk investasi riset transformatif. Temuan saat ini, yang menggarisbawahi peran penting komposisi populasi pra-bencana dalam menentukan kerentanan, secara langsung membuka jalan bagi perencanaan jangka panjang yang lebih terinformasi dan adaptif. Mengintegrasikan demografi dengan studi bencana memungkinkan kita untuk bergerak dari manajemen krisis pasif ke mitigasi risiko proaktif yang tertanam dalam realitas spasial dan sosial. Dengan memahami bahwa bencana dapat mempercepat perubahan demografi yang tidak dapat dihindari, kita dapat merencanakan kota dan wilayah yang menyusut dan beradaptasi alih-alih hanya berfokus pada pertumbuhan.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi yang memiliki spesialisasi komplementer, seperti Geographical Institute (CSFK) di Budapest, Northern Institute di Charles Darwin University, dan University of Iceland, untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, sekaligus memperluas kolaborasi ke lembaga-lembaga yang fokus pada data spasial besar dan perencanaan kebijakan urban di wilayah berisiko tinggi.
Perencanaan Kota
Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 Oktober 2025
Analisis kerentanan banjir di Pontianak, sebuah kota yang terbelah sungai di ekuator, menunjukkan tantangan finansial yang signifikan. Kerugian tahunan akibat banjir diproyeksikan melonjak dari US$30 juta pada tahun 2015 menjadi US$83,6 juta pada tahun 2055. Menghadapi proyeksi ini, penelitian oleh Gultom et al. (2022) melakukan analisis spasial kuantitatif untuk memetakan dan membandingkan kerentanan banjir kota antara kondisi tahun 2020 dan proyeksi tahun 2050.
Studi ini membangun model kerentanan yang didasarkan pada dua variabel utama: Efisiensi Rute Evakuasi dan Kapasitas Penampungan (Shelter).
Untuk mengukur Efisiensi Rute Evakuasi, penelitian ini menggunakan metode Space Syntax. Metodologi ini menganalisis jaringan kota secara topologis untuk menghasilkan nilai "Integrasi Rata-rata" (AI). Secara sederhana, nilai AI yang tinggi menunjukkan bahwa segmen jalan mudah diakses dari semua bagian lain kota, menjadikannya rute evakuasi yang efisien.
Untuk mengukur Kapasitas Penampungan, penelitian ini menggunakan formula "Capacity Rate" (CR), yang membandingkan total area shelter yang tersedia (SA) dengan jumlah korban banjir yang diproyeksikan (FV). Jumlah korban (FV) dihitung berdasarkan data kepadatan penduduk (PD) dan area cakupan banjir (FC). Standar area 3m² per orang digunakan untuk menentukan kapasitas maksimum shelter. Sebuah distrik dianggap "memadai" jika CR-nya 100% atau lebih, yang berarti dapat menampung semua korban yang diproyeksikan.
Hasil dari kedua pengukuran ini (AI dan CR) diplot ke dalam diagram kuadran untuk mengklasifikasikan kerentanan setiap distrik:
Kuadran 1 (Kerentanan Rendah): AI tinggi, CR memadai.
Kuadran 2 (Kerentanan Sedang): AI rendah, CR memadai.
Kuadran 3 (Kerentanan Tinggi): AI rendah, CR tidak memadai.
Kuadran 4 (Kerentanan Sedang): AI tinggi, CR tidak memadai.
Pada tahun 2020, data menunjukkan median AI kota adalah 0.57. Dua distrik, Pontianak Utara (AI 0.42) dan Pontianak Barat (AI 0.55), berada di bawah median, menunjukkan efisiensi rute evakuasi yang rendah. Secara kapasitas, hanya Pontianak Pusat (CR 322%) dan Pontianak Tenggara (CR 3147%) yang terbukti memadai. Empat distrik lainnya tidak memadai, dengan Pontianak Utara (25%) dan Pontianak Selatan (42%) menunjukkan defisit terbesar. Kombinasi ini menempatkan Pontianak Utara dan Pontianak Barat di Kuadran 3 (Kerentanan Tinggi) pada tahun 2020.
Perbandingan dengan proyeksi 2050 menjadi inti dari temuan penelitian ini. Skenario 2050 memasukkan dua perubahan besar: rencana implementasi jalan lingkar baru dan peningkatan kepadatan penduduk.
Temuan di 2050 menunjukkan dinamika yang kompleks. Pertama, implementasi jalan lingkar terbukti berhasil meningkatkan konektivitas. Efek paling dramatis terlihat di Pontianak Barat, di mana AI melonjak dari 0.55 (Rendah) menjadi 0.65 (Tinggi). Peningkatan efisiensi rute ini berhasil memindahkan Pontianak Barat dari Kuadran 3 (Kerentanan Tinggi) ke Kuadran 4 (Kerentanan Sedang).
Namun, keberhasilan infrastruktur ini dibayangi oleh risiko kedua: penurunan kapasitas shelter akibat pertumbuhan penduduk. Meskipun jumlah shelter diasumsikan tetap, CR menurun di semua distrik. Penurunan paling tajam terjadi di Pontianak Timur (dari 73% ke 32%) dan Pontianak Utara (dari 25% ke 11%). Bahkan distrik yang "aman" seperti Pontianak Pusat mengalami penurunan CR dari 322% menjadi 260%.
Secara keseluruhan, paper ini menyimpulkan bahwa Kota Pontianak akan menjadi lebih tangguh (resilient) terhadap banjir di masa depan, terutama karena peningkatan signifikan dalam efisiensi rute evakuasi yang disediakan oleh jalan lingkar. Namun, penelitian ini secara tegas mengidentifikasi penurunan drastis capacity rate sebagai risiko serius yang harus segera ditangani.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian Gultom et al. (2022) memberikan beberapa kontribusi penting bagi komunitas perencana kota dan manajemen bencana:
1. Model Kerentanan Dua Variabel: Mengembangkan dan menerapkan kerangka kerja kuantitatif yang jelas (AI + CR) untuk menilai kerentanan, beralih dari penilaian kualitatif umum ke metrik yang dapat ditindaklanjuti.
2. Aplikasi Space Syntax untuk Bencana: Secara spesifik menerapkan Space Syntax, yang sering digunakan untuk analisis ekonomi atau lalu lintas, sebagai alat untuk mengukur efektivitas evakuasi bencana di kota sungai yang kompleks.
3. Analisis Dampak Infrastruktur Proyektif: Memberikan studi kasus langka yang tidak hanya memetakan risiko saat ini (2020), tetapi juga memodelkan dampak kuantitatif dari rencana infrastruktur masa depan (jalan lingkar 2050) terhadap resiliensi kota.
4. Alat Bantu Kebijakan Berbasis Data: Menghasilkan peta kerentanan berbasis kuadran (Gbr. 8) yang secara visual membedakan distrik berisiko tinggi (Q3) versus distrik yang hanya kekurangan shelter (Q4) atau hanya kekurangan akses (Q2), memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih terfokus.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kokoh secara metodologis, penelitian ini juga secara jujur menyoroti keterbatasan yang membuka jalan bagi riset di masa depan:
Keterbatasan Kualitas Rute (AI): Metrik AI murni bersifat topologis (jumlah belokan dan koneksi). Paper ini menemukan bahwa desain jalan lingkar yang direncanakan di beberapa distrik (seperti Barat, Pusat, dan Selatan) terlalu berliku dan memiliki banyak belokan, yang membuatnya kurang efektif dalam analisis Space Syntax dibandingkan dengan desain yang lurus (seperti di Utara). Pertanyaan Terbuka: Bagaimana merancang infrastruktur evakuasi yang optimal secara sintaksis (lurus, sedikit belokan) dalam konteks tata ruang kota yang sudah padat?
Keterbatasan Blokade Banjir (AI vs. Hazard): Temuan krusial adalah bahwa Space Syntax mengukur efisiensi dalam kondisi normal. Penelitian ini menemukan bahwa banyak rute dengan AI tinggi (dianggap efisien) di Pontianak Timur, Selatan, dan Pusat, justru berada di area yang berpotensi tergenang banjir (lihat Gbr. 3). Ini berarti rute "terbaik" mungkin tidak dapat diakses saat dibutuhkan. Pertanyaan Terbuka: Bagaimana kita dapat mengembangkan model efisiensi rute yang mengintegrasikan konektivitas topologis (AI) dengan data hazard (blokade banjir) secara dinamis?
Keterbatasan Lokasi Shelter (CR): Metrik CR mengukur total area shelter yang tersedia, bukan aksesibilitas atau keamanannya. Paper ini menemukan masalah signifikan di mana banyak area shelter potensial (terutama di Pontianak Utara dan Barat) justru terletak di dalam zona potensi banjir. Pertanyaan Terbuka: Di mana lokasi optimal untuk membangun shelter baru agar (a) aman dari genangan dan (b) terhubung secara efisien ke rute evakuasi AI tinggi yang juga aman?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Berdasarkan temuan kuantitatif dan keterbatasan yang teridentifikasi, kami merekomendasikan lima jalur penelitian lanjutan yang spesifik untuk memperdalam pemahaman dan solusi manajemen risiko banjir:
1. Pengembangan Model Hibrid: "AI Evakuasi Realistis" (AI + Hazard Overlay)
Justifikasi: Penelitian ini menunjukkan konflik antara rute berefisiensi AI tinggi dan lokasinya yang rawan banjir. Hubungan antara efisiensi rute dan ketersediaannya saat bencana masih belum teruji.
Metode: Penelitian selanjutnya harus mengembangkan model hibrid. Gunakan Space Syntax (AI) sebagai baseline konektivitas, lalu terapkan overlay GIS dari peta hazard (seperti Gbr. 3) untuk secara dinamis 'menonaktifkan' atau memberi penalti pada segmen jalan yang tergenang.
Signifikansi: Ini akan menghasilkan metrik baru—"AI Evakuasi Realistis"—yang mengukur konektivitas rute yang benar-benar dapat diakses saat banjir. Temuan ini akan menunjukkan apakah distrik dengan AI tinggi seperti Pontianak Selatan (AI 0.67) benar-benar se-resilien yang terlihat.
2. Analisis Sensitivitas Desain Jalan Lingkar
Justifikasi: Studi ini menemukan bahwa tidak semua desain jalan lingkar memberikan dampak AI yang sama; desain yang lurus di Pontianak Utara lebih efektif secara sintaksis daripada desain yang berliku di distrik lain.
Metode: Melakukan analisis sensitivitas ex-ante. Daripada hanya menguji satu master plan, riset selanjutnya harus memodelkan 3-5 skenario desain jalan lingkar alternatif (misalnya, rute yang lebih lurus, penambahan jembatan konektor baru, atau grade-separated interchange) dan membandingkan dampaknya terhadap AI di distrik-distrik yang paling tertinggal.
Signifikansi: Memberikan data kuantitatif kepada perencana kota tentang desain infrastruktur mana yang memberikan peningkatan resiliensi (AI) tertinggi per investasi, memastikan rencana masa depan lebih efektif.
3. Model Optimasi Lokasi Shelter (Shelter Siting)
Justifikasi: Dua masalah shelter utama teridentifikasi: (1) Banyak shelter eksisting berada di zona banjir (misal di Pontianak Utara dan Barat), dan (2) CR menurun drastis di semua distrik pada 2050 (misal, Pontianak Timur turun dari 73% ke 32%).
Metode: Menggunakan multi-criteria decision analysis (MCDA) atau model location-allocation untuk mengidentifikasi lokasi shelter baru yang optimal. Variabel input krusial harus mencakup: (1) Berada di luar "Flood potential area", (2) Konektivitas tinggi ke jaringan "AI Evakuasi Realistis" (dari Rekomendasi 1), dan (3) Kedekatan dengan area berkepadatan korban banjir (FV) tertinggi.
Signifikansi: Beralih dari sekadar menghitung defisit kapasitas menjadi memberikan solusi penempatan yang strategis, memastikan shelter baru aman, dapat diakses, dan melayani populasi yang paling rentan.
4. Analisis Dampak Mitigasi Non-Struktural terhadap Defisit CR
Justifikasi: Penelitian ini berfokus pada solusi struktural (jalan dan bangunan). Namun, penurunan CR terbesar didorong oleh faktor sosial (peningkatan kepadatan penduduk).
Metode: Riset mixed-methods yang menguji efektivitas intervensi non-struktural untuk mengimbangi defisit CR. Variabel baru untuk diuji dapat mencakup: (1) Efektivitas sistem peringatan dini dalam mendorong evakuasi mandiri, (2) Kelayakan evakuasi vertikal (menggunakan bangunan publik tinggi yang ada sebagai shelter sementara), atau (3) Skema asuransi bencana untuk mengurangi kebutuhan akan shelter publik.
Signifikansi: Menjawab pertanyaan apakah mitigasi non-infrastruktur dapat mengkompensasi defisit kapasitas shelter yang masif (seperti di Pontianak Utara, CR hanya 11% pada 2050) ketika pembangunan shelter baru secara fisik atau finansial tidak memungkinkan.
5. Validasi Model (AI + CR) di Tipologi Kota Sungai Lainnya
Justifikasi: Paper ini secara eksplisit menyarankan penelitian lebih lanjut di lokasi lain di Kalimantan ("Pulau Seribu Sungai"). Model ini sangat dipengaruhi oleh topologi unik Pontianak yang terbelah sungai besar dan bergantung pada jembatan serta feri.
Metode: Replikasi metodologi (AI + CR) di kota-kota sungai lain dengan tantangan serupa (misalnya, Banjarmasin, Samarinda, Palembang) yang juga memiliki jaringan kanal historis dan ketergantungan pada infrastruktur penghubung.
Signifikansi: Menguji validitas eksternal dan generalisasi model Gultom et al. Ini akan menentukan apakah temuan bahwa "jalan lingkar meningkatkan resiliensi" adalah prinsip universal untuk kota sungai, atau hanya berlaku untuk konfigurasi spesifik Pontianak.
Penelitian Gultom et al. telah meletakkan dasar yang kuat dengan mengidentifikasi dinamika ganda antara peningkatan konektivitas infrastruktur dan penyusutan kapasitas sosial. Namun, temuan ini baru permulaan.
Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi akademik seperti Universitas Tanjungpura, badan perencanaan kota (BAPPEDA), dan badan penanggulangan bencana nasional (BNPB) serta dinas pekerjaan umum. Mengintegrasikan pemodelan akademis dengan kebutuhan praktis para pembuat kebijakan adalah langkah penting berikutnya untuk mewujudkan Pontianak yang benar-benar tangguh di masa depan.
Baca paper aslinya di sini: https://doi.org/10.14246/irspsd.10.3_170
Konstruksi & Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 23 Oktober 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada peran fundamental terminal bus sebagai fasilitas umum yang kompleks, di mana tingginya aktivitas menuntut jaminan keamanan dan kenyamanan bagi para pengguna. Latar belakang masalah yang diangkat secara spesifik adalah kondisi Terminal Pinang Ranti di Jakarta Timur. Meskipun telah melalui proses revitalisasi yang panjang, terminal ini masih menghadapi tantangan dalam hal pemeliharaan dan perawatan fasilitasnya, yang berpotensi mengurangi kualitas pelayanan publik.
Kerangka teoretis yang diusung oleh studi ini adalah evaluasi berbasis standar. Penulis memposisikan peraturan pemerintah sebagai tolok ukur ideal (das Sollen) untuk menilai kondisi aktual (das Sein) di lapangan. Secara spesifik, penelitian ini merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. PM 15 Tahun 2019 yang mendefinisikan fungsi utama terminal, dan Permenhub No. 132 Tahun 2015 yang secara rinci mengklasifikasikan fasilitas menjadi fasilitas utama dan penunjang serta menguraikan lingkup kegiatan pemeliharaan yang wajib dilakukan. Dengan demikian, hipotesis implisit yang mendasari karya ini adalah bahwa terdapat kesenjangan antara praktik manajemen pemeliharaan yang ada di Terminal Pinang Ranti dengan standar yang diamanatkan oleh regulasi nasional. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi konseptual terhadap sistem pemeliharaan dan perawatan fasilitas di terminal tersebut.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode studi literatur atau tinjauan konseptual. Pendekatan ini tidak melibatkan pengumpulan data empiris baru melalui survei atau eksperimen, melainkan berfokus pada sintesis informasi dari sumber-sumber yang telah ada. Proses metodologisnya mencakup penelaahan terhadap dokumen-dokumen internal (seperti data pemeliharaan fasilitas terminal), peraturan perundang-undangan yang relevan, serta literatur akademis mengenai manajemen pemeliharaan fasilitas.
Analisis yang dilakukan bersifat deskriptif-kualitatif, di mana informasi yang terkumpul diorganisir untuk memetakan sistem yang ada dan mengidentifikasi area-area potensial untuk perbaikan berdasarkan praktik terbaik yang disarankan oleh para ahli. Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengembangan teori baru, melainkan pada aplikasinya yang pragmatis. Dengan secara sistematis membingkai masalah pemeliharaan sebuah fasilitas publik yang spesifik dalam kerangka regulasi dan tinjauan akademis, penelitian ini memberikan sebuah diagnosis awal yang terstruktur dan berbasis pengetahuan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Sebagai sebuah studi literatur, temuan utama dari penelitian ini adalah pemetaan sistem pemeliharaan yang ada dan sintesis rekomendasi dari para ahli.
Struktur Manajemen Pemeliharaan: Ditemukan bahwa pelaksanaan pemeliharaan di Terminal Pinang Ranti dilakukan secara swakelola (Swakelola) oleh Satuan Sarana dan Prasarana Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan, yang diawasi langsung oleh Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Struktur tim teknisnya terbagi secara spesifik, dengan dua orang teknisi untuk Air (IPAL) dan Pemadam Kebakaran, dua orang untuk Kelistrikan, dan dua orang untuk pemeliharaan eskalator.
Rekomendasi dari Literatur: Temuan yang paling signifikan adalah adopsi saran-saran dari studi-studi sebelumnya sebagai masukan konkret bagi pengelola Terminal Pinang Ranti.
Mengutip Labombang (2008), penelitian ini menekankan bahwa penanganan fasilitas menuntut adanya sistem kerja yang sistematis dan profesional yang didasarkan pada pemahaman yang benar mengenai Manajemen Pemeliharaan Fasilitas.
Mengutip Sushernawan (2014), disarankan untuk menambah jumlah personil yang bertugas mengawasi kebersihan, keamanan, dan kondisi fasilitas di dalam terminal. Secara spesifik, direkomendasikan untuk merekrut lulusan dari Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) untuk mengisi peran ini.
Secara kontekstual, temuan-temuan ini mengindikasikan bahwa meskipun telah ada struktur organisasi untuk pemeliharaan, praktik di lapangan kemungkinan besar masih dapat ditingkatkan dengan mengadopsi pendekatan manajemen yang lebih profesional dan dengan memperkuat kapasitas sumber daya manusia, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah sifatnya yang sepenuhnya merupakan tinjauan literatur. Studi ini secara efektif mengidentifikasi standar yang relevan dan menyajikan rekomendasi dari para ahli, namun tidak menyajikan data empiris primer dari Terminal Pinang Ranti itu sendiri. Akibatnya, "evaluasi" yang dilakukan tetap berada pada level konseptual, tanpa adanya pengukuran kuantitatif atau kualitatif yang mendalam mengenai tingkat kesenjangan antara kondisi fasilitas aktual dengan standar yang ada.
Secara kritis, paper ini berhasil dalam merumuskan masalah dan mengidentifikasi kerangka kerja untuk solusinya. Namun, tanpa data lapangan—seperti hasil audit fisik fasilitas, survei kepuasan pengguna, atau wawancara dengan staf pemeliharaan—kesimpulan mengenai tingkat urgensi atau area prioritas untuk perbaikan masih bersifat dugaan.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas. Ia memberikan serangkaian rekomendasi awal yang dapat ditindaklanjuti oleh manajemen Terminal Pinang Ranti untuk mulai memikirkan perbaikan sistem pemeliharaan mereka, khususnya dalam hal profesionalisme manajemen dan kecukupan personil.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif berfungsi sebagai studi pendahuluan yang meletakkan dasar untuk investigasi empiris yang lebih rigor. Langkah berikutnya yang paling logis adalah melaksanakan evaluasi lapangan yang sesungguhnya. Ini akan melibatkan pengembangan instrumen audit berdasarkan Permenhub No. 132 Tahun 2015, melakukan inspeksi fisik yang sistematis, serta mengumpulkan data primer dari para pemangku kepentingan (pengguna dan staf) untuk memvalidasi secara empiris kebutuhan akan intervensi yang telah diidentifikasi dalam tinjauan literatur ini.
Sumber
Evaluasi Pemeliharaan dan Perawatan Fasilitas Terminal Bus Pinang Ranti Jakarta Timur. (2020). Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 430-437.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 23 Oktober 2025
Saya sedang berjalan keluar dari kedai kopi, mata terpaku pada ponsel, ketika seorang pesepeda melesat tanpa suara, hanya beberapa senti dari bahu saya. Jantung saya serasa copot. Saya tidak sedang ceroboh, dan mungkin dia juga tidak. Kami hanya dua orang yang bergerak di ruang yang sama pada waktu yang sama, tidak menyadari potensi tabrakan fatal.
Insiden kecil yang nyaris celaka ini, yang terjadi setiap hari di seluruh dunia, adalah mikrokosmos dari masalah besar dan mematikan. Sebuah paper penelitian yang baru-baru ini saya baca akhirnya memberi saya bahasa untuk memahaminya.
Paper tersebut, "Classification of Construction Hazards for a Universal Hazard Identification Methodology" oleh Matej Mihić, membahas dunia konstruksi. Awalnya, saya pikir ini adalah topik yang sangat spesifik. Tapi semakin dalam saya membacanya, semakin saya sadar bahwa ini bukan hanya tentang helm pengaman dan sepatu bot baja. Ini tentang cara kita semua salah memahami esensi dari risiko.
Mari kita mulai dengan angka yang mengejutkan. Industri konstruksi menyumbang sekitar 60.000 kematian setiap tahun di seluruh dunia. Itu adalah 18,7% dari total kematian terkait pekerjaan, padahal industri ini hanya mempekerjakan sekitar 6-10% tenaga kerja global. Di Amerika Serikat, 20,7% dari semua kematian di tempat kerja terjadi di konstruksi; di Uni Eropa, angkanya 21%. Statistik ini menunjukkan bahwa menjadi pekerja konstruksi secara tidak proporsional jauh lebih mematikan daripada pekerjaan rata-rata.
Namun, statistik yang paling membuat saya terdiam adalah ini: menurut penelitian yang dirujuk dalam paper tersebut, lebih dari 30% bahaya di lokasi konstruksi tidak pernah teridentifikasi selama proses perencanaan keselamatan.
Bayangkan sejenak. Para ahli keselamatan, dengan semua daftar periksa dan prosedur mereka, benar-benar buta terhadap sepertiga dari ancaman yang ada. Ini bukan sekadar kelalaian; ini adalah kegagalan sistemik yang fundamental. Pertanyaannya adalah, mengapa?
Mengapa Buku Panduan Keselamatan Kita Sangat Ketinggalan Zaman
Metode standar untuk mengidentifikasi bahaya di banyak industri disebut Analisis Bahaya Pekerjaan atau Job Hazard Analysis (JHA). Prosesnya sederhana: uraikan pekerjaan menjadi langkah-langkah, identifikasi potensi bahaya di setiap langkah, dan usulkan cara untuk mengendalikannya. Ini adalah pendekatan yang sangat logis dan proaktif.
Masalahnya, seperti yang ditunjukkan oleh paper Mihić, JHA dirancang untuk lingkungan yang dapat diprediksi seperti pabrik—tempat pekerja cenderung diam sementara produk bergerak di jalur perakitan dalam lingkungan yang terkendali.
Lokasi konstruksi adalah kebalikannya. Paper tersebut menggambarkannya sebagai lingkungan yang "dinamis", "tidak dapat diprediksi", dengan "pergerakan pekerja, peralatan, dan material yang ekstensif". Menggunakan JHA di lokasi konstruksi ibarat mencoba mengikuti resep kue soufflé yang presisi... saat terjadi gempa bumi. Resep itu mengasumsikan dapur yang stabil. Tetapi di lokasi konstruksi, "dapur" terus berubah, "koki" baru (tim kerja lain) terus-menerus masuk dan keluar, dan "bahan-bahan" (material) dipindahkan oleh derek. Resep itu menjadi tidak berguna karena konteksnya adalah kekacauan.
Inilah sumber dari "ketidakpastian yang tidak diketahui" (unknown unknowns)—bahaya yang tidak teridentifikasi karena metode kita cacat sejak awal. Kita mencari jenis bahaya yang salah dengan alat yang salah.
Ide Sederhana yang Mengubah Segalanya
Di sinilah letak kejeniusan paper Mihić. Terobosannya bukanlah teknologi baru yang canggih, melainkan perubahan mendasar dalam cara kita memandang bahaya.
Alih-alih mengklasifikasikan bahaya berdasarkan sifat fisiknya (misalnya, listrik, kimia, gravitasi), paper ini mengusulkan "klasifikasi bahaya baru" berdasarkan hubungan antara siapa sumber bahaya dan siapa yang terkena dampaknya.
Ini adalah perubahan yang halus namun revolusioner. Ini menggeser fokus kita dari "benda apa yang bisa menyakiti saya?" menjadi "siapa yang bisa menyakiti saya, dan siapa yang bisa saya sakiti?". Keselamatan tidak lagi tentang daftar periksa statis, melainkan tentang peta dinamis dari interaksi manusia. Bahaya paling mematikan bukanlah benda mati; itu adalah konsekuensi tak terduga dari tindakan orang lain.
Bahasa Baru untuk Melihat Risiko
Paper ini memperkenalkan tiga kategori bahaya. Begitu Anda memahaminya, Anda akan mulai melihatnya di mana-mana—di kantor, di jalan, dan bahkan di rumah Anda sendiri.
Bahaya Self-Induced: Bahaya yang Kita Ciptakan untuk Diri Sendiri
Ini adalah jenis bahaya yang paling mudah kita pahami. Bahaya ini berasal dari aktivitas yang dilakukan oleh pekerja, dan pekerja itulah yang terkena dampaknya. Sumber dan korban adalah orang yang sama.
Analogi Sederhana: Ini adalah skenario klasik "jangan lari sambil membawa gunting". Anda yang memegang gunting, Anda yang berlari. Seluruh lingkaran risiko dimulai dan diakhiri dengan Anda.
Contoh di Konstruksi: Paper ini memberikan contoh yang jelas seperti jatuh dari ketinggian, cedera karena penggunaan alat yang tidak tepat, luka bakar karena menyentuh benda panas, atau tergores saat memotong kayu.
Ini adalah jenis bahaya yang paling sederhana untuk diidentifikasi, dan di situlah letak jebakannya. Karena bahaya self-induced mudah dilihat dan dipahami, seluruh budaya keselamatan kita terobsesi dengannya. Rambu-rambu keselamatan, pelatihan, dan peraturan sebagian besar berfokus pada memberitahu individu untuk lebih berhati-hati. Ini menciptakan bias kognitif yang kuat, semacam penglihatan terowongan, yang membuat kita buta terhadap risiko interaktif yang lebih kompleks dan seringkali jauh lebih mematikan. Kita menghabiskan seluruh energi kita untuk memastikan tidak ada yang berlari dengan gunting, sementara kita mengabaikan bahaya lain yang jauh lebih besar.
Bahaya Peer-Induced: Jaring Tak Terlihat dari Bahaya yang Saling Terhubung
Inilah kontribusi paling penting dari paper ini. Bahaya peer-induced adalah bahaya di mana sumbernya adalah pekerja atau tim kerja lain, dan korbannya adalah pekerja yang berbeda yang kebetulan berada di radius bahaya pada waktu yang salah.
Analogi Sederhana: Bayangkan Anda berada di dapur restoran yang sibuk, dengan hati-hati memotong bawang di meja Anda. Anda fokus, Anda aman. Tapi tiga meter dari Anda, seorang koki lain terpeleset di lantai yang basah dan membuat nampan berisi panci panas terbang. Salah satu panci itu mengenai Anda. Anda tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi Anda terluka oleh konsekuensi dari tindakan orang lain di ruang yang sama dan dinamis. Itulah bahaya peer-induced.
Paper ini menggunakan istilah teknis "paparan spasial" (spatial exposure) dan "paparan temporal" (temporal exposure). Saya menerjemahkannya menjadi ini: agar bahaya semacam ini ada, dua hal harus terjadi—Anda harus berada di tempat yang sama (tumpang tindih spasial) pada waktu yang sama (tumpang tindih temporal) dengan bahaya yang diciptakan orang lain.
Contoh di Konstruksi: Contoh-contoh dari paper ini sangat kuat: benda jatuh dari ketinggian dan menimpa pekerja di bawah, bekisting (cetakan beton) runtuh dan menimpa tim yang bekerja di sebelahnya, atau tersandung perkakas atau material yang ditinggalkan oleh tim lain.
Jenis bahaya ini adalah yang "paling kompleks" dan "paling sulit diidentifikasi" karena tidak berkaitan dengan kecerobohan individu, melainkan kegagalan sistemik dalam perencanaan dan koordinasi. Akar penyebab kecelakaan peer-induced bukanlah "pekerja yang ceroboh", melainkan "jadwal yang ceroboh" atau "tata letak lokasi yang ceroboh". Ini memaksa kita untuk berhenti bertanya, "Mengapa pekerja itu tidak memperhatikan?" dan mulai bertanya, "Mengapa sistem kita dirancang untuk mengizinkan tim pengelasan bekerja tepat di atas tim perpipaan?". Ini mengubah keselamatan dari masalah tanggung jawab pribadi menjadi masalah desain sistem.
Bahaya Global: Ketika Seluruh Lokasi Menjadi Zona Merah
Ini adalah jenis khusus dari bahaya peer-induced di mana area pengaruhnya begitu besar dan tidak dapat diprediksi sehingga seluruh lokasi konstruksi dianggap sebagai zona bahaya. Ini mempengaruhi semua orang yang hadir.
Analogi Sederhana: Ini adalah perbedaan antara satu panci jatuh di dapur (ancaman peer-induced yang terlokalisasi) dengan kebakaran yang terjadi di dapur itu. Api adalah ancaman global. Tidak peduli di mana Anda berada di dapur; Anda dalam bahaya.
Contoh di Konstruksi: Paper ini memberikan contoh-contoh berdampak tinggi: perancah runtuh, kegagalan atau runtuhnya derek, benda yang diangkut derek jatuh, kebakaran, dan ledakan.
Di sinilah saya akan memberikan sedikit kritik halus saya. Paper ini juga mendefinisikan dua subtipe: "bahaya sumber global" (banyak aktivitas dapat menyebabkannya, seperti sengatan listrik) dan "bahaya konstruksi umum" (sangat umum sehingga berlaku untuk semua orang, seperti tersandung). Adanya subtipe ini menunjukkan betapa rumitnya realitas dan keterbatasan model apa pun yang mencoba untuk menyederhanakannya. Ini menunjukkan bahwa penulis melakukan penelitian yang jujur dan mengakui bahwa dunia lebih kompleks daripada kerangka kerja yang ia usulkan. Ini bukan kelemahan, melainkan tanda pemikiran yang mendalam.
Ini Bukan Tentang Konstruksi—Ini Tentang Kolaborasi
Setelah membaca paper ini, saya sadar bahwa kerangka kerja ini adalah alat yang sangat kuat untuk memahami risiko di lingkungan kolaboratif yang kompleks mana pun. Lokasi konstruksi hanyalah contoh ekstrem.
Di Kantor: "Bahaya peer-induced" di kantor adalah ketika tim pemasaran meluncurkan kampanye untuk fitur produk yang belum selesai dibuat oleh tim teknik. Tim teknik sekarang berada dalam krisis, bukan karena pekerjaan mereka sendiri, tetapi karena tindakan tim lain.
Di Rumah Sakit: Seorang ahli bedah yang diberikan instrumen yang salah oleh perawat yang kelelahan adalah bahaya peer-induced klasik. Sistem pengecekan dan komunikasi yang baiklah yang mencegah bencana.
Dalam Pengembangan Perangkat Lunak: Seorang pengembang yang mengirimkan kode buruk yang merusak build untuk seluruh tim menciptakan "bahaya peer-induced" yang menghentikan produktivitas semua orang.
Intinya adalah: paper ini memberi kita bahasa bersama untuk mendiagnosis kegagalan sistemik alih-alih menyalahkan individu. Ini mendorong kita untuk bertanya, "Bagaimana alur kerja kita menciptakan titik gesekan ini?" alih-alih "Siapa yang berbuat salah?".
Pandangan Akhir Saya dan Langkah Selanjutnya
Jarang sekali sebuah paper akademis dapat secara fundamental mengubah cara Anda memandang dunia, tetapi ini adalah salah satunya. Keanggunan dan kekuatan kerangka kerja ini terletak pada kesederhanaannya.
Tentu saja, ini bukanlah solusi akhir. Seperti yang diakui oleh penulis, klasifikasi ini adalah "prasyarat" untuk pengembangan sistem yang lebih besar. Validasi yang dilakukan dengan sepuluh ahli adalah awal yang menjanjikan, tetapi tantangan sebenarnya terletak pada penerapan di dunia nyata.
Namun, paper ini bukan hanya sebuah pengamatan; ini adalah panggilan untuk bertindak. Ini menuntut para manajer untuk menjadi perancang sistem yang lebih baik dan bagi setiap individu untuk mengembangkan "kesadaran situasional" yang lebih luas, yang melampaui tugas mereka sendiri.
Cara Membangun Sistem yang Lebih Aman, Mulai Hari Ini
Kuncinya adalah beralih dari pola pikir keselamatan individu ke kesadaran kolektif dan sistemik. Ini membutuhkan pelatihan untuk melihat hubungan-hubungan tersembunyi ini.
Mengembangkan pandangan sistemik seperti ini bukanlah keterampilan bawaan; itu adalah kompetensi profesional yang bisa dipelajari. Ini melibatkan pemahaman interaksi kompleks antara penjadwalan, alokasi sumber daya, dan komunikasi—faktor-faktor yang menciptakan atau mencegah bahaya peer-induced. Bagi para profesional yang ingin membangun keterampilan ini, pelatihan komprehensif dalam koordinasi proyek modern sangatlah penting. Kursus online seperti (https://www.diklatkerja.com/courses/project-management) dirancang khusus untuk membekali para pemimpin dengan alat untuk mengelola interaksi kompleks ini dan membangun sistem yang lebih aman dan efisien.
Pada akhirnya, paper ini tidak hanya menawarkan cara baru untuk mengkategorikan bahaya; ia menawarkan peta untuk menemukan 30% bahaya yang selama ini kita lewatkan. Dengan belajar melihat jaring tak terlihat yang menghubungkan kita semua, kita dapat membangun sistem yang tidak hanya lebih aman, tetapi juga lebih cerdas, lebih kolaboratif, dan lebih manusiawi.
Jika cara baru melihat risiko ini membuat Anda tertarik seperti halnya saya, saya sangat menganjurkan Anda untuk membaca paper aslinya. Ini adalah sebuah mahakarya dalam pemikiran yang jernih dan berdampak.
Teknologi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 23 Oktober 2025
Sebuah Cerita Pengantar: Kenapa Helm Saja Tidak Akan Pernah Cukup
Beberapa minggu lalu, saya merombak total sistem kelistrikan di rumah. Awalnya, saya pikir urusannya sederhana: ganti kabel lama, pasang beberapa stop kontak baru, selesai. Tapi teknisi yang saya panggil punya pandangan berbeda. Dia tidak hanya bicara soal kabel. Dia bicara soal sistem. Dia menjelaskan tentang pentingnya MCB (pemutus sirkuit) yang tepat untuk setiap zona, stabilizer untuk melindungi alat elektronik dari lonjakan listrik, bahkan sampai jalur kabel darurat.
"Pak," katanya, "melindungi rumah itu bukan cuma soal satu alat. Ini soal membangun jaring pengaman berlapis. Kalau satu gagal, yang lain mengambil alih."
Saat itu saya tersadar. Analogi ini—sebuah jaring pengaman berlapis—adalah cara paling tepat untuk menggambarkan apa yang seharusnya menjadi pendekatan kita terhadap keselamatan di industri konstruksi. Kita sering terjebak berpikir bahwa keselamatan itu sesederhana memakai helm atau rompi pengaman. Padahal, itu hanyalah lapisan terluar dari sebuah sistem yang jauh lebih kompleks dan, sayangnya, jauh lebih rapuh.
Kerapuhan sistem ini bukan lagi sekadar teori. Sebuah paper penelitian berjudul "Perkembangan Teknologi Digital Terhadap Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia" melukiskan gambaran yang suram dengan data yang tak terbantahkan. Sektor konstruksi, yang menyumbang sekitar 6,45% PDB negara kita, adalah salah satu medan kerja paling berisiko. Angka kecelakaan kerja terus merangkak naik setiap tahun. Pada tahun 2021 saja, tercatat ada 234.370 kasus kecelakaan kerja yang menyebabkan 6.552 pekerja meninggal dunia—sebuah kenaikan 5,7% dari tahun sebelumnya.
Ini bukan sekadar angka statistik. Ini adalah 6.552 keluarga yang kehilangan orang yang mereka cintai. Ini adalah ribuan proyek yang terhambat, reputasi yang tercoreng, dan biaya tak terduga yang membengkak.
Paper tersebut mengidentifikasi akar masalahnya, yang secara garis besar terbagi dua: "faktor manusia" (seperti tidak mengikuti prosedur, kelelahan, atau kurangnya pengalaman) dan "faktor lingkungan" (kondisi kerja tidak aman, kurangnya rambu, fasilitas keselamatan terbatas). Selama bertahun-tahun, industri mencoba mengatasi ini dengan pendekatan tradisional: lebih banyak pelatihan, lebih banyak pengawasan manual, lebih banyak aturan. Tapi angka-angka tadi membuktikan, pendekatan itu telah mencapai batasnya.
Di sinilah teknologi digital masuk sebagai harapan baru. Paper ini tidak hanya memaparkan masalah, tapi juga mengeksplorasi bagaimana inovasi digital bisa menjadi juru selamat. Namun, seperti yang akan kita lihat, teknologi bukanlah peluru perak. Ia membawa janji besar, tapi juga mengungkap sebuah titik buta yang sangat berbahaya dalam cara kita memandang keselamatan. Ini bukan lagi sekadar perdebatan tentang efisiensi; ini adalah sebuah pergeseran filosofis yang mendesak tentang bagaimana kita melindungi nyawa manusia di tengah deru mesin pembangunan.
Di Balik Angka-Angka yang Mengerikan: Memahami Aturan Main Keselamatan Konstruksi
Sebelum kita menyelam ke dunia drone dan kecerdasan buatan, penting untuk memahami "aturan main" yang seharusnya sudah melindungi para pekerja kita. Di Indonesia, kerangka kerja ini disebut Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi, atau yang lebih dikenal dengan singkatan SMKK. Ini diatur secara ketat dalam Peraturan Menteri PUPR No. 10 Tahun 2021.
Jangan bayangkan SMKK sebagai tumpukan dokumen birokrasi yang membosankan. Anggaplah ia sebagai sebuah cetak biru (blueprint) untuk "keselamatan total". Tujuannya bukan hanya untuk melindungi pekerja di dalam lokasi proyek, tetapi untuk menciptakan sebuah ekosistem konstruksi yang aman secara menyeluruh. Fondasi dari SMKK adalah pemenuhan empat standar utama yang disebut Standar K4: Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan.
Keempat pilar ini, jika diurai, sebenarnya sangat intuitif dan mencakup semua aspek yang bisa Anda bayangkan:
Keselamatan Keteknikan Konstruksi: Pilar ini menjawab pertanyaan paling mendasar: "Apakah bangunan yang kita bangun ini kokoh, stabil, dan aman secara struktural?" Ini mencakup segalanya mulai dari kualitas material, metode pembangunan, hingga keamanan peralatan yang digunakan.
Keselamatan dan Kesehatan Tenaga Kerja: Inilah pilar yang paling sering kita dengar. Fokusnya adalah melindungi setiap individu yang terlibat dalam proses pembangunan—mulai dari insinyur, mandor, pekerja harian, hingga tamu atau pemasok yang datang ke lokasi. Helm, sepatu bot, dan rompi hanyalah sebagian kecil dari pilar ini.
Keselamatan Publik: Pilar ini memperluas lingkaran perlindungan ke luar pagar proyek. Ia bertanya: "Apakah masyarakat di sekitar lokasi proyek aman dari aktivitas kita?" Ini mencakup risiko seperti material jatuh, debu konstruksi, kebisingan, hingga manajemen lalu lintas di sekitar proyek.
Keselamatan Lingkungan: Pilar terakhir ini memastikan bahwa proses pembangunan tidak meninggalkan warisan kerusakan bagi alam. Ia mencakup pengelolaan limbah, pencegahan polusi tanah dan air, serta perlindungan terhadap lingkungan alam dan lingkungan terbangun di sekitarnya.
Yang krusial untuk dipahami adalah keempat pilar ini bukanlah pilihan yang bisa diambil salah satu. Mereka adalah sebuah sistem yang saling bergantung. Kegagalan dalam menjaga keselamatan lingkungan (misalnya, pembuangan limbah kimia yang tidak benar) bisa secara langsung berdampak pada kesehatan tenaga kerja dan keselamatan publik. Runtuhnya perancah (kegagalan keselamatan keteknikan) adalah ancaman langsung bagi pekerja dan bisa jadi juga bagi publik.
SMKK, dengan keempat pilarnya, memberikan kita sebuah visi ideal tentang seperti apa proyek konstruksi yang bertanggung jawab itu. Ini adalah standar emas yang kita tuju. Namun, seperti yang diungkapkan oleh penelitian ini, ada jurang yang menganga antara idealisme di atas kertas dan realitas penerapan teknologi di lapangan. Dan di jurang itulah, tragedi sering kali terjadi.
Pasukan Digital Telah Tiba: Inilah Senjata Baru Kita Melawan Risiko
Untuk menjembatani jurang antara visi SMKK dan realitas lapangan yang penuh risiko, industri konstruksi mulai melirik "pasukan digital". Paper ini merangkum serangkaian teknologi canggih yang tidak lagi menjadi fiksi ilmiah, tetapi sudah mulai diimplementasikan di berbagai proyek di Indonesia. Masing-masing teknologi ini menawarkan solusi unik untuk mengatasi kelemahan manusia dan keterbatasan metode konvensional.
Melatih Insting di Dunia Maya (VR & AR)
Bayangkan seorang operator crane baru bisa berlatih mengangkat beban puluhan ton dalam simulasi badai angin, atau tim pemadam kebakaran bisa berlatih mengevakuasi gedung bertingkat tinggi yang terbakar—semuanya tanpa satu pun risiko nyata. Inilah kekuatan Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR). Teknologi ini berfungsi seperti sebuah "gym" untuk insting keselamatan.
🚀 Hasilnya luar biasa: Pekerja baru dapat mengenal lingkungan kerja, alat berat, dan prosedur darurat dalam lingkungan virtual yang aman, mengurangi kesalahan fatal di dunia nyata.
🧠 Inovasinya: Pelatihan K3 tidak lagi terbatas pada presentasi PowerPoint yang membosankan. Dengan VR/AR, pembelajaran menjadi pengalaman (experiential learning), yang terbukti jauh lebih efektif dalam membangun memori otot dan kewaspadaan.
💡 Pelajaran: Daripada belajar dari kesalahan yang mematikan, kita bisa belajar dalam ribuan skenario kegagalan virtual yang aman.
Mata Elang di Langit dan di Data (Drone & BIM)
Jika VR/AR adalah alat untuk melatih individu, maka Building Information Modeling (BIM) dan Drone adalah alat untuk mengelola keselamatan dalam skala makro.
Pikirkan BIM sebagai Google Maps super canggih untuk proyek Anda. Ini bukan sekadar gambar 3D; ini adalah model digital cerdas yang mengandung setiap lapis informasi—mulai dari data struktural, jadwal, hingga yang terpenting, data risiko K3. Sebelum satu fondasi pun digali, manajer proyek dapat "berjalan" melintasi model BIM untuk mengidentifikasi area berbahaya, seperti lubang tanpa pagar atau sudut buta tempat tabrakan alat berat bisa terjadi.
Sementara itu, Drone (UAV) berfungsi sebagai mata elang di langit. Ia memberikan pengawasan real-time atas seluruh area proyek, memantau perilaku pekerja, pergerakan lalu lintas, dan keamanan perimeter dengan cara yang tidak mungkin dilakukan oleh pengawas manusia. Anehnya, paper ini mencatat bahwa meskipun potensinya besar, studi tentang pemanfaatan drone untuk keselamatan konstruksi di Indonesia masih sangat terbatas—sebuah peluang yang terlewatkan.
Otak Cerdas yang Tak Pernah Lelah (CNN & AI)
Manusia bisa lelah, terdistraksi, dan bosan. Tapi tidak dengan algoritma. Convolutional Neural Network (CNN), sejenis kecerdasan buatan (AI) yang ahli dalam mengenali gambar, adalah jawabannya. Bayangkan CNN sebagai seorang satpam super teliti yang tidak pernah berkedip. Terintegrasi dengan kamera CCTV di seluruh proyek, ia bisa:
Memindai ratusan pekerja secara bersamaan untuk memastikan semua orang mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) yang lengkap, seperti helm dan rompi.
Mendeteksi secara otomatis jika ada rambu K3 yang hilang atau rusak.
Memberikan peringatan real-time kepada manajer keselamatan jika ada pelanggaran terdeteksi, memungkinkan intervensi cepat sebelum insiden terjadi.
Teknologi ini mengubah pengawasan dari proses manual yang reaktif menjadi sistem otomatis yang proaktif. Ia tidak menggantikan manusia, tetapi memberdayakan mereka dengan "mata" tambahan yang tidak pernah lelah.
Denyut Nadi Proyek di Ujung Jari (Sensor & Wearables)
Teknologi terakhir yang dibahas adalah yang paling personal: sensor dan perangkat yang dapat dikenakan (wearable devices). Ini adalah cara untuk membawa pemantauan keselamatan ke tingkat individu dan lingkungan mikro.
Wearable Devices: Anggap ini seperti Fitbit atau Apple Watch untuk keselamatan kerja. Perangkat yang dikenakan pekerja dapat memantau metrik fisiologis seperti detak jantung, suhu tubuh, dan tingkat kelelahan, memberikan peringatan dini terhadap risiko heat stroke atau kelelahan berlebih. Mereka juga bisa dilengkapi GPS untuk melacak lokasi pekerja di area yang luas atau berbahaya. Sama seperti drone, paper ini menyoroti bahwa adopsi teknologi ini di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain, meskipun potensinya sangat besar.
Sensor Lingkungan: Ini adalah sistem saraf proyek. Sensor-sensor yang tersebar di lokasi dapat mendeteksi berbagai bahaya secara real-time: sensor asap untuk peringatan kebakaran, sensor gas untuk mendeteksi kebocoran di ruang terbatas, sensor kualitas udara, bahkan sensor kebisingan untuk melindungi pendengaran pekerja.
Pasukan digital ini, secara kolektif, menjanjikan sebuah revolusi. Mereka menawarkan kemampuan untuk melihat apa yang tak terlihat, memprediksi apa yang belum terjadi, dan merespons dengan kecepatan super. Namun, pertanyaan besarnya adalah: ke arah mana kita menodongkan senjata-senjata canggih ini? Jawabannya, seperti yang diungkap oleh paper ini, ternyata sangat mengkhawatirkan.
Kita Melindungi Pekerja, Tapi Bagaimana dengan Warga di Sekitar Proyek?
Mari kita renungkan implikasi dari ketimpangan ini. Kita memiliki AI yang bisa mendeteksi apakah seorang pekerja memakai helm dalam hitungan milidetik, tapi kita kekurangan sistem sensor yang bisa memperingatkan sekolah di sebelah proyek konstruksi ketika tingkat polusi debu mencapai ambang batas berbahaya. Kita menggunakan BIM untuk memitigasi risiko tabrakan antar alat berat, tapi kita jarang menggunakannya untuk mensimulasikan dampak kebisingan proyek terhadap pemukiman warga di sekitarnya.
Apa gunanya sebuah gedung pintar yang dibangun dengan sangat aman jika proses pembangunannya mencemari sumber air warga sekitar? Seberapa canggih proyek kita jika seorang anak kecil yang berjalan di trotoar bisa celaka karena material jatuh yang tidak terdeteksi oleh sistem pengawasan yang hanya fokus ke dalam?
Ketimpangan ini bukan sekadar anomali statistik; ini adalah cerminan dari sebuah "kesenjangan empati" yang sistemik. Industri, secara kolektif, tampaknya memprioritaskan penggunaan teknologi untuk mengatasi masalah-masalah yang memiliki dampak langsung dan terukur terhadap bisnis: kecelakaan kerja menyebabkan penundaan dan klaim asuransi; kegagalan struktur menyebabkan kerugian finansial total. Ini adalah risiko yang memengaruhi bottom line perusahaan secara langsung.
Di sisi lain, dampak terhadap publik dan lingkungan sering kali dianggap sebagai "eksternalitas"—masalah yang biayanya tidak langsung ditanggung oleh perusahaan. Debu, kebisingan, kemacetan, atau kerusakan ekosistem lokal adalah "biaya" yang dibebankan kepada masyarakat dan lingkungan, bukan kepada neraca keuangan proyek. Akibatnya, peta adopsi teknologi kita menjadi peta manajemen risiko finansial, bukan peta manajemen risiko kemanusiaan dan lingkungan secara holistik. Ini adalah sebuah kegagalan visi yang strategis dan, bisa dibilang, kegagalan moral.
Pelajaran Praktis yang Bisa Saya Ambil untuk Pekerjaan Besok Pagi
Melihat peta teknologi yang timpang ini, tantangannya menjadi sangat jelas: kita, sebagai para profesional di industri ini, perlu memperluas imajinasi kita tentang apa itu "keselamatan". Ini bukan lagi hanya soal helm dan rompi, tapi juga soal sensor kualitas udara, sistem peredam bising, dan manajemen lalu lintas yang cerdas. Ini bukan hanya tentang melindungi aset kita, tapi juga tentang menjadi tetangga yang baik bagi komunitas di mana kita membangun.
Mengubah pola pikir ini adalah langkah pertama. Langkah kedua adalah membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan untuk menerapkannya. Memahami gambaran besar ini adalah satu hal, tapi mengeksekusinya di lapangan yang kompleks butuh keahlian. Inilah mengapa program seperti (https://diklatkerja.com/course/category/sistem-manajemen-keselamatan-konstruksi-smkk/) menjadi sangat relevan. Pelatihan-pelatihan formal ini, yang sering kali mencakup semua aspek dari regulasi, manajemen lingkungan, hingga kesiapsiagaan darurat, dirancang untuk menjembatani antara pengetahuan teoretis tentang keempat pilar SMKK dan eksekusi praktis di lapangan, memastikan tidak ada aspek keselamatan yang tertinggal.
Namun, ada satu lagi pelajaran penting yang tersirat dalam paper ini. Para peneliti menyebutkan adanya "terbatasnya informasi terkait pemenuhan keselamatan konstruksi yang dapat diakses secara umum". Ini bukan hanya masalah bagi akademisi; ini adalah masalah besar bagi industri. Artinya, perusahaan-perusahaan yang mungkin sudah berinovasi dalam keselamatan publik atau lingkungan tidak membagikan pengetahuan atau studi kasus mereka.
Ini menciptakan sebuah lingkaran setan. Karena kisah sukses tidak dibagikan, industri secara umum menganggap teknologi untuk keselamatan publik dan lingkungan tidak penting atau tidak layak secara komersial. Akibatnya, tidak ada insentif untuk berinvestasi lebih lanjut, dan penelitian pun mandek.
Maka, panggilan untuk bertindak bagi kita semua menjadi dua kali lipat:
Belajar dan Tingkatkan Kompetensi: Ikuti pelatihan, pahami SMKK secara holistik, dan desak perusahaan Anda untuk berpikir melampaui pagar proyek.
Dokumentasikan dan Bagikan: Jika Anda berhasil mengimplementasikan sebuah inovasi—sekecil apa pun itu—yang meningkatkan keselamatan publik atau lingkungan, bagikanlah. Tulis di LinkedIn, presentasikan di seminar, atau publikasikan studi kasus. Putuskan lingkaran kebisuan ini.
Kita harus berhenti melihat keselamatan publik dan lingkungan sebagai beban biaya atau kewajiban CSR (Corporate Social Responsibility) semata. Di era di mana reputasi bisa hancur dalam sekejap akibat satu video viral tentang polusi atau kecelakaan yang menimpa warga, mengabaikan kedua pilar ini adalah risiko bisnis yang sangat besar. Sebaliknya, menjadi pelopor dalam keselamatan holistik adalah keunggulan kompetitif yang tak ternilai.
Kesimpulan: Sebuah Awal, Bukan Akhir
Perjalanan kita membedah paper ini dimulai dengan statistik kecelakaan yang mengerikan. Kita kemudian melihat cetak biru ideal dari SMKK, sebuah visi keselamatan total yang mencakup pekerja, bangunan, publik, dan lingkungan. Kita terkagum-agum dengan potensi pasukan digital—VR, AI, BIM, dan sensor—yang siap membantu kita mewujudkan visi tersebut.
Namun, di akhir perjalanan, kita menemukan sebuah kebenaran yang tidak nyaman: teknologi canggih kita saat ini diarahkan oleh sebuah visi yang terlalu sempit. Kita menjadi sangat ahli dalam melindungi diri kita sendiri dan aset kita, tetapi masih gagap dalam melindungi dunia di sekitar kita.
Paper ini, pada akhirnya, bukanlah sebuah laporan akhir. Ia adalah sebuah panggilan untuk memulai. Ia memberikan kita data untuk memulai percakapan yang sulit di ruang rapat, di lokasi proyek, dan di forum-forum industri. Teknologi adalah alat yang luar biasa kuat, tetapi ia netral. Ia hanya akan seefektif dan seetis visi yang mengarahkannya.
Tugas kita sekarang adalah memperluas visi tersebut. Tugas kita adalah memastikan bahwa deru mesin pembangunan tidak hanya membangun gedung-gedung yang megah, tetapi juga membangun kepercayaan dengan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan untuk generasi yang akan datang. Itulah makna sesungguhnya dari "konstruksi berkelanjutan".
Diskusi ini baru permulaan. Kalau Anda tertarik untuk mendalami data dan analisis di baliknya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan penting bagi siapa pun yang peduli tentang masa depan konstruksi di Indonesia.