Pembelajaran Digital
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 13 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada realitas ketergantungan masyarakat modern yang semakin meningkat pada teknologi informasi, sebuah tren yang secara fundamental telah membentuk ulang sektor pendidikan melalui adopsi teknologi pembelajaran daring. Dalam ekosistem ini, Learning Management System (LMS) muncul sebagai kerangka kerja sentral, didefinisikan sebagai aplikasi perangkat lunak yang mendukung administrasi, dokumentasi, pelacakan, pelaporan, dan penyampaian kursus pendidikan. Meskipun telah diadopsi secara luas, pemahaman mengenai persepsi para pemangku kepentingan dan, yang lebih penting, kesenjangan fungsional yang melekat pada platform-platform ini masih memerlukan analisis yang lebih dalam.
Dengan latar belakang ini, tujuan utama dari studi ini adalah untuk menyajikan sebuah tinjauan literatur yang komprehensif terhadap artikel-artikel yang dipublikasikan dalam beberapa tahun terakhir yang membahas penggunaan LMS dalam pedagogi pengajaran-pembelajaran. Hipotesis implisit yang mendasari karya ini adalah bahwa meskipun persepsi umum terhadap LMS cenderung positif, platform yang ada saat ini memiliki kelemahan fungsional yang signifikan di tingkat administratif yang menghambat efisiensi dan keandalannya.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk mencapai tujuannya, penulis mengadopsi metode tinjauan literatur (literature review). Proses metodologisnya melibatkan penyaringan lebih dari 35 publikasi yang relevan dengan topik dari rentang tahun 2018 hingga 2021, yang kemudian diseleksi secara cermat menjadi 10 artikel inti yang dinilai paling sesuai dengan cakupan penelitian. Analisis berfokus pada tujuan, temuan, dan konteks dari masing-masing studi yang terpilih untuk membangun gambaran umum mengenai tren penelitian saat ini.
Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengumpulan data empiris baru, melainkan pada kontribusinya dalam melakukan sintesis dan, yang lebih penting, mengidentifikasi secara eksplisit "kesenjangan penelitian" (research gap) yang bersifat fungsional dalam sistem LMS. Alih-alih hanya merangkum persepsi pengguna, penelitian ini melangkah lebih jauh untuk mendiagnosis kelemahan-kelemahan spesifik di tingkat sistem yang sering kali menjadi sumber inefisiensi administratif.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Tinjauan terhadap 10 artikel terpilih secara umum mengonfirmasi adanya persepsi positif dan manfaat yang terukur dari penggunaan LMS. Sebagai contoh, studi oleh Lakshmi dkk. (2020) menemukan bahwa mayoritas mahasiswa memiliki persepsi positif terhadap konsep e-learning, sementara studi oleh Angelino dkk. (2021) menunjukkan bahwa keterlibatan mahasiswa cenderung meningkat melalui partisipasi dalam aktivitas di platform Moodle.
Namun, temuan yang paling signifikan dari penelitian ini adalah identifikasi tiga kesenjangan fungsional utama yang ada pada banyak platform LMS:
Kurangnya Kontrol Versi (Lack of Version Control): Ditemukan bahwa banyak sistem LMS tidak memiliki fitur kontrol versi yang kuat untuk konten pelatihan. Hal ini menciptakan dua masalah besar: (a) peningkatan risiko kesalahan manusia, yang membuat konten tidak dapat diandalkan, dan (b) tidak adanya otomatisasi untuk proses peninjauan versi, yang menyebabkan inefisiensi signifikan bagi staf administrasi.
Ketergantungan pada Persetujuan Manual (Managerial and Administration Consent): Proses persetujuan manajerial dan administratif sering kali harus dilakukan secara fisik di luar sistem karena tidak adanya alur kerja pengesahan elektronik yang terintegrasi. Hal ini tidak hanya meningkatkan beban kerja manual tetapi juga memperbesar margin kesalahan manusia dan mempersulit proses audit.
Absennya Manajemen Pelatihan Berbasis Peran Otomatis (No Automated Role-Based Training Management Features): Banyak LMS tidak memiliki kemampuan untuk mengelompokkan pengguna ke dalam peran-peran otomatis berdasarkan fungsi pekerjaan mereka. Akibatnya, pengembangan, evaluasi, dan penugasan rencana pelatihan individu harus dilakukan secara manual, yang berisiko menimbulkan inkonsistensi dan memastikan bahwa karyawan tidak dilatih secara memadai untuk peran spesifik mereka.
Secara kontekstual, temuan-temuan ini menyoroti bahwa meskipun LMS berhasil sebagai platform penyampaian konten dan interaksi, ia sering kali gagal berfungsi sebagai sistem manajemen yang sesungguhnya, karena kurangnya fitur otomatisasi dan kontrol administratif yang canggih.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penelitian ini tidak secara eksplisit menyatakan keterbatasannya sendiri. Namun, beberapa refleksi kritis dapat diajukan berdasarkan metodologinya. Pertama, proses seleksi yang mereduksi lebih dari 35 artikel menjadi hanya 10 didasarkan pada kriteria "masuk dalam cakupan topik" yang tidak didefinisikan secara jelas, sehingga berpotensi menimbulkan bias seleksi. Kedua, cakupan tinjauan yang relatif sempit (2018-2021) mungkin mengabaikan penelitian-penelitian dasar yang penting yang diterbitkan sebelumnya. Terakhir, kesenjangan fungsional yang diidentifikasi tampaknya lebih berorientasi pada konteks pelatihan korporat atau kepatuhan (compliance), yang mungkin tidak sepenuhnya selaras dengan kebutuhan pedagogis di lingkungan pendidikan tinggi umum.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Implikasi praktis dari temuan ini sangat jelas: perbaikan yang ditawarkan dapat membantu organisasi dalam menanggapi kebutuhan pelatihan yang terus berkembang dengan lebih efektif. Berdasarkan kesenjangan yang teridentifikasi, penelitian di masa depan harus diarahkan pada:
Pengembangan dan Pengujian Fitur Lanjutan: Merancang dan menguji modul LMS yang secara spesifik mengatasi masalah kontrol versi, alur kerja persetujuan otomatis, dan manajemen pelatihan berbasis peran.
Analisis Biaya-Manfaat: Melakukan studi kuantitatif untuk mengukur penghematan waktu dan pengurangan kesalahan yang dihasilkan dari implementasi fitur-fitur administratif canggih ini, guna membangun argumen bisnis yang kuat bagi institusi pendidikan dan vendor LMS.
Studi Komparatif: Melakukan analisis perbandingan antara berbagai platform LMS komersial dan sumber terbuka untuk mengevaluasi sejauh mana mereka telah mengatasi kesenjangan fungsional yang diidentifikasi dalam penelitian ini.
Sebagai refleksi akhir, karya ini berhasil menggeser diskursus dari sekadar adopsi umum menuju persyaratan fungsional yang spesifik, menegaskan bahwa evolusi LMS selanjutnya harus memprioritaskan otomatisasi dan kontrol administratif untuk benar-benar memaksimalkan potensinya.
Sumber
Chatterjee, P., Kundu, A., & Bhattacharyya, C. K. (2022). Learning Management System (LMS) and it's perception among the stakeholder's of educational institutes: A comprehensive review. New Applied Studies in Management, Economics & Accounting, 5(2(18)), 7-13.
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 13 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Di tengah kompleksitas proyek yang terus meningkat, industri konstruksi Indonesia dihadapkan pada sebuah paradoks: kehadiran teknologi Building Information Modeling (BIM) yang menjanjikan efisiensi dan peningkatan kinerja, namun tingkat penerapannya di lapangan masih sangat terbatas. Karya Cindy F. Mieslenna dan Andreas Wibowo ini secara tajam mengidentifikasi masalah tersebut sebagai titik berangkat. Penulis menggarisbawahi bahwa meskipun BIM bukanlah hal baru dan secara teoretis menawarkan keunggulan signifikan—mulai dari koordinasi dan integrasi informasi yang lebih baik hingga desain bangunan yang lebih berkelanjutan—literatur yang secara spesifik mengkaji konteks implementasinya di Indonesia masih sangat langka.
Kerangka teoretis penelitian ini dibangun dengan membandingkan situasi di Indonesia dengan studi-studi internasional dari negara lain seperti Nigeria, Malaysia, dan Islandia, yang telah lebih dulu mengidentifikasi faktor pendorong dan penghambat adopsi BIM. Dengan menyoroti kesenjangan riset ini, penulis merumuskan tujuan yang jelas: untuk mengeksplorasi secara mendalam bagaimana BIM diterapkan di industri konstruksi Indonesia dari perspektif para pengguna aktif. Hipotesis implisit yang mendasari studi ini adalah bahwa hambatan adopsi di Indonesia tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga melibatkan faktor industri, kebijakan, sumber daya, investasi, dan risiko yang saling terkait dan perlu dipetakan secara komprehensif.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode kualitatif dengan pendekatan eksploratif, menggunakan wawancara semi-terstruktur sebagai alat pengumpulan data utama. Pendekatan ini dipilih untuk menggali pemahaman yang kaya dan mendalam dari pengalaman para praktisi. Peneliti menyusun 36 pertanyaan wawancara yang dikelompokkan ke dalam enam faktor kunci yang diidentifikasi dari tinjauan literatur: industri, proyek, kebijakan (regulasi), sumber daya, investasi, dan risiko BIM.
Proses pemilihan responden dilakukan secara pragmatis dan bertujuan (purposive). Peneliti bekerja sama dengan Institut BIM Indonesia (IBIMI) untuk mengidentifikasi narasumber yang dianggap representatif dan memiliki pengalaman substansial. Delapan responden, dengan posisi mulai dari Manajer R&D hingga Manajer BIM Senior dan pengalaman rata-rata 16 tahun di sektor konstruksi serta 5 tahun di bidang BIM, berhasil diwawancarai. Durasi wawancara yang berkisar antara 50 hingga 70 menit memungkinkan penggalian data yang mendalam, yang kemudian ditranskripsikan dan dianalisis secara tematik.
Kebaruan dari karya ini terletak pada fokusnya yang spesifik pada konteks Indonesia, sebuah area yang diakui oleh penulis sendiri sebagai "relatif terbatas" dalam lanskap penelitian BIM global. Dengan menyajikan suara langsung dari para pengguna di Indonesia, penelitian ini memberikan kontribusi empiris yang orisinal dan sangat dibutuhkan untuk memahami dinamika adopsi teknologi di salah satu pasar konstruksi terbesar di Asia Tenggara.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis terhadap data wawancara menghasilkan serangkaian temuan yang melukiskan gambaran multifaset mengenai implementasi BIM di Indonesia.
Manfaat yang Dirasakan Secara Nyata: Seluruh responden secara konsisten melaporkan manfaat praktis dari penerapan BIM. Manfaat yang paling sering disebut antara lain kemampuan untuk mengendalikan proyek dengan lebih baik, mendeteksi benturan (clash detection) pada tahap perencanaan, mengurangi Request for Information (RFI), meminimalkan limbah material, menghasilkan estimasi biaya yang lebih akurat, menghindari pengerjaan ulang (rework), serta menghemat sumber daya manusia (SDM) dan memperbaiki sistem dokumentasi. Menariknya, para responden pada umumnya tidak menemukan kelemahan inheren pada teknologi BIM itu sendiri, melainkan pada tantangan dalam implementasinya.
Hambatan Utama: Investasi dan Permintaan Pasar: Hambatan yang paling dominan dan diakui oleh 70% responden adalah tingginya biaya investasi awal. Ini mencakup tiga aspek: software (perangkat lunak), hardware (perangkat keras dengan spesifikasi tinggi), dan humanware (pelatihan dan pengembangan SDM). Tingginya capital expenditure ini menimbulkan kecemasan atas pengembalian investasi (Return on Investment - ROI), terutama karena masih sedikitnya contoh nyata manfaat ekonomis dari penerapan BIM di Indonesia. Faktor penghambat dominan lainnya adalah masih kurangnya permintaan dari klien dan belum banyaknya konsultan yang mewajibkan penggunaan BIM dalam proyek mereka.
Esensi Kolaborasi dan Tantangan Kontraktual: Sebuah tema sentral yang muncul adalah bahwa "BIM itu esensinya kolaborasi." Para responden menekankan bahwa manfaat BIM tidak akan maksimal jika hanya digunakan oleh satu pihak dalam proyek. Hal ini menimbulkan tantangan dalam praktik, terutama terkait isu kontraktual. Ditemukan adanya ketidakjelasan mengenai kepemilikan data model BIM, yang perlu diatur secara tegas dalam klausul kontrak untuk menghindari konflik. Selain itu, jenis kontrak seperti Design-Build (DB) dirasakan lebih mudah bagi kontraktor untuk mengontrol proses BIM, namun di sisi lain dapat membatasi wewenang konsultan perencana untuk memberikan masukan langsung kepada klien.
Kebutuhan Standardisasi dan Prospek Masa Depan: Para responden menyuarakan kebutuhan mendesak akan standardisasi, misalnya dalam hal notasi untuk komponen bangunan seperti kolom dan balok, untuk memudahkan kolaborasi dan interoperabilitas. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, seluruh responden menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap masa depan BIM di Indonesia. Prospek cerah ini didukung oleh meningkatnya kesadaran industri, maraknya seminar bertema BIM, terbentuknya asosiasi seperti IBIMI, serta adanya sosialisasi dan pelatihan yang mulai dilakukan oleh Kementerian PUPR.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui keterbatasan utama penelitiannya, yaitu pemilihan responden yang terbatas pada anggota IBIMI. Hal ini, meskipun pragmatis, berisiko tidak merepresentasikan persepsi dari para pelaku industri yang belum tergabung dalam asosiasi atau bahkan yang belum mengadopsi BIM sama sekali.
Sebagai refleksi kritis, temuan yang didasarkan pada sekelompok kecil pengguna awal (early adopters) mungkin melukiskan gambaran yang lebih positif daripada realitas di industri secara keseluruhan. Perspektif dari perusahaan kecil dan menengah yang menghadapi kendala sumber daya yang lebih besar, atau dari para profesional yang resisten terhadap perubahan, tidak tertangkap dalam studi ini. Selain itu, manfaat yang dilaporkan bersifat kualitatif dan berdasarkan persepsi; studi kuantitatif yang mengukur dampak BIM terhadap metrik kinerja proyek (biaya, waktu, kualitas) secara objektif masih diperlukan untuk memperkuat argumen bisnis bagi adopsi yang lebih luas.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Temuan dari penelitian ini membuka beberapa jalur penting untuk riset di masa depan. Pertama, diperlukan studi kuantitatif yang lebih luas untuk memvalidasi temuan kualitatif ini dan mengukur secara konkret ROI dari implementasi BIM pada proyek-proyek di Indonesia. Kedua, penelitian yang berfokus pada pengembangan standar BIM nasional dan klausul kontrak standar akan sangat berharga untuk mengatasi masalah interoperabilitas dan kepemilikan data. Ketiga, studi yang mengeksplorasi perspektif dari pihak klien dan regulator pemerintah dapat memberikan pemahaman yang lebih holistik mengenai faktor-faktor yang dapat mempercepat permintaan pasar terhadap BIM. Sebagai refleksi akhir, karya ini berhasil memetakan tantangan dan peluang adopsi BIM dari dalam, memberikan fondasi empiris yang kuat bagi para pemangku kepentingan untuk merumuskan strategi percepatan transformasi digital di sektor konstruksi Indonesia.
Sumber
Mieslenna, C. F., & Wibowo, A. (2019). Mengeksplorasi Penerapan Building Information Modeling (BIM) pada Industri Konstruksi Indonesia dari Perspektif Pengguna. Jurnal Teknik Sipil, 26(3), 239-248.
Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Tulisan karya Fajar Widianto, Lenggogeni, dan Henita Rahmayanti (2020) mengangkat sebuah anomali yang signifikan dalam konteks manajemen aset: degradasi dini pada infrastruktur yang relatif baru. Latar belakang masalah berpusat pada Gedung K. H. Hasjim Asj'arie di Kampus A Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang mulai beroperasi pada Februari 2017. Meskipun usianya baru beberapa tahun, observasi awal menemukan serangkaian kerusakan yang mencakup komponen arsitektural, mekanikal, dan elektrikal. Kerusakan spesifik yang diidentifikasi antara lain plafon yang rusak akibat rembesan air, pompa booster yang tidak berfungsi otomatis, kaca jendela pecah, lampu mati, pintu kamar mandi rusak, hingga panel fasad (Alumunium Composite Panel) yang terlepas.
Kondisi ini menjadi problematis karena bertentangan dengan ekspektasi laik fungsi sebuah bangunan modern. Kerangka teoretis penelitian ini dibangun di atas perbandingan antara kondisi faktual (Das Sein) dengan dua kerangka normatif (Das Sollen): (1) Standar Operasional Prosedur (SOP) internal yang dimiliki oleh pihak pengelola, PT. Tondi Gemilang Cahaya Timur (TGCT), dan (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) No. 24/PRT/M/2008 sebagai standar nasional. Hipotesis implisit yang diajukan adalah bahwa telah terjadi kesenjangan antara praktik pemeliharaan di lapangan dengan prosedur yang seharusnya, baik menurut standar internal maupun regulasi pemerintah. Dengan demikian, tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi secara sistematis tingkat kesesuaian pelaksanaan pemeliharaan dan perawatan gedung tersebut terhadap kedua kerangka acuan tersebut.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode kuantitatif asosiatif, sebuah pendekatan yang dirancang untuk menjelaskan dan mengukur kesenjangan antara fakta dan standar ideal. Metodologi ini diperkuat dengan studi literatur dan survei lapangan.
Pengumpulan data dilakukan secara triangulasi melalui tiga teknik:
(1) Observasi, untuk mengamati secara langsung kondisi fisik bangunan dan kegiatan pemeliharaan; (2) Dokumentasi, untuk merekam bukti visual kerusakan melalui fotografi; dan (3) Wawancara terstruktur, yang dilakukan dengan pihak-pihak kunci yang memiliki pengetahuan mendalam tentang pengelolaan gedung, termasuk Building Manager, teknisi, serta perwakilan dari UNJ.
Kebaruan penelitian ini terletak pada aplikasinya yang spesifik dan mendalam pada sebuah studi kasus tunggal. Sementara banyak studi membahas manajemen pemeliharaan secara umum, karya ini memberikan audit mikro yang mendetail terhadap sebuah fasilitas pendidikan tinggi milik negara. Teknik analisis data yang digunakan adalah perbandingan sistematis menggunakan tabel checklist. Peneliti membandingkan SOP milik pengelola dengan Permen PU No. 24/PRT/M/2008, serta membandingkan SOP tersebut dengan implementasi aktual di lapangan. Tingkat kesesuaian kemudian dikuantifikasi dalam bentuk persentase, memberikan sebuah ukuran objektif atas kinerja manajemen pemeliharaan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Hasil penelitian menyajikan sebuah gambaran yang kompleks. Di satu sisi, wawancara mengonfirmasi adanya sistem manajemen formal: UNJ memiliki kontrak berdurasi satu tahun dengan PT. TGCT, yang memiliki struktur staf (termasuk Building Manager, teknisi, dan housekeeping), program kerja terjadwal (harian, mingguan, bulanan, tahunan), dan SOP tertulis. Pihak pengelola juga menyatakan mengetahui keberadaan Permen PU No. 24/PRT/M/2008.
Namun, di sisi lain, data observasi dan dokumentasi menunjukkan kegagalan sistemik. Bukti kerusakan fisik yang terdokumentasi—mulai dari plafon bocor hingga pompa yang harus dioperasikan manual—secara langsung membantah efektivitas sistem yang ada. Temuan kunci dari penelitian ini adalah adanya kesenjangan berlapis:
Kesenjangan antara SOP dan Regulasi: Ditemukan bahwa SOP yang dimiliki pengelola tidak sepenuhnya sesuai dengan Permen PU No. 24/PRT/M/2008.
Kesenjangan antara Praktik dan SOP: Ditemukan pula bahwa kegiatan pemeliharaan yang dilakukan di lapangan tidak sepenuhnya mematuhi SOP internal perusahaan itu sendiri.
Secara interpretatif, pekerjaan pemeliharaan yang dilakukan disimpulkan "masih sangat minimal" dan hanya mencakup "hal-hal sederhana". Menariknya, pihak manajemen memberikan justifikasi bahwa perbedaan antara SOP mereka dan Permen PU sengaja dilakukan karena regulasi tersebut dianggap "kurang detail", sehingga SOP mereka dimaksudkan untuk "melengkapi". Kontekstualisasi ini sangat penting, karena ia mengubah narasi dari sekadar kelalaian menjadi potensi adanya perbedaan interpretasi standar antara regulator dan operator lapangan.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis. Keterbatasan utama yang diakui secara eksplisit oleh penulis adalah pengecualian analisis komponen struktural. Evaluasi struktur tidak dilakukan karena keterbatasan biaya, waktu, dan sifat pengujian yang sebagian besar merusak (destructive), serta tidak tercakup dalam kontrak kerja pengelola. Hal ini menyisakan sebuah area buta yang signifikan dalam penilaian keandalan gedung secara keseluruhan.
Secara kritis, meskipun penelitian ini berhasil mengidentifikasi adanya kesenjangan, analisis mengenai akar penyebabnya (root cause) dapat diperdalam. Paper ini menyimpulkan bahwa pemeliharaan kurang maksimal, namun tidak mengeksplorasi lebih jauh faktor-faktor penyebabnya, seperti apakah keterbatasan anggaran dari pihak UNJ, kurangnya SDM terampil di pihak kontraktor, atau kelemahan dalam klausul kontrak dan mekanisme pengawasan menjadi pemicu utama. Asumsi bahwa SOP pengelola yang "melengkapi" Permen PU adalah sebuah klaim yang perlu diuji secara kritis: apakah ini merupakan bentuk inovasi prosedural yang valid atau sebuah dalih untuk menyederhanakan pekerjaan?
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Temuan dari studi ini memiliki implikasi penting bagi praktik manajemen fasilitas di sektor publik dan arah penelitian di masa depan. Secara praktis, hasil ini memberikan argumen kuat bagi pemilik aset seperti universitas negeri untuk memperketat mekanisme pengawasan terhadap kontraktor pemeliharaan dan memastikan bahwa kontrak kerja secara eksplisit menuntut kepatuhan terhadap standar nasional.
Untuk penelitian selanjutnya, studi ini membuka beberapa jalur. Pertama, penelitian lanjutan dapat berfokus pada analisis biaya-manfaat dari model pemeliharaan yang berbeda (misalnya, in-house vs. outsourced) di lingkungan institusi pendidikan. Kedua, studi longitudinal yang melacak kondisi gedung dan biaya pemeliharaan selama beberapa siklus kontrak akan memberikan data yang lebih kaya tentang efektivitas jangka panjang. Terakhir, penelitian yang secara spesifik menganalisis isi dan kualitas SOP dari berbagai penyedia jasa pemeliharaan dapat menghasilkan wawasan tentang bagaimana standar nasional diterjemahkan—atau salah diterjemahkan—ke dalam praktik operasional. Sebagai refleksi akhir, karya ini secara efektif menunjukkan bahwa keberadaan sistem manajemen di atas kertas tidak menjamin keandalan fisik sebuah bangunan; implementasi yang disiplin dan pengawasan yang ketat adalah kunci yang sesungguhnya.
Sumber
Widianto, F., Lenggogeni, & Rahmayanti, H. (2020). Evaluasi Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung K. H. Hasjim Asj'arie, Kampus A, UNJ. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 378-392.
Perumahan dan Permukiman
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada masalah nyata dan berskala masif: kebutuhan akan 29,5 juta rumah bagi rumah tangga pedesaan berpenghasilan rendah di India pada tahun 2022. Penulis mengidentifikasi bahwa material konvensional seperti beton dan batu bata bakar tidak terjangkau bagi segmen populasi ini, sehingga mendorong perlunya eksplorasi alternatif yang ekonomis dan ekologis. Konstruksi tanah, sebuah praktik kuno, diajukan sebagai solusi potensial. Namun, adopsi luasnya terhambat oleh dua tantangan utama:
daya tahan yang rendah, terutama kerentanannya terhadap kerusakan akibat air, dan citra sosial yang rendah, di mana rumah tanah sering kali diasosiasikan dengan kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan latar belakang ini, disertasi ini dibangun di atas tiga pilar konseptual yang saling terkait, yaitu kebutuhan untuk menjadikan rumah tanah Terjangkau (Affordable), Tahan Lama (Durable), dan Diinginkan (Desirable). Hipotesis sentral yang mendasari karya ini adalah bahwa dengan meningkatkan kinerja teknis material tanah secara ilmiah—khususnya ketahanan airnya—dan mengkomunikasikan keunggulannya secara efektif, persepsi negatif dapat diubah, menjadikannya pilihan yang aspiratif dan praktis. Tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan material tanah berbiaya rendah, tahan air, dan dapat diterima secara sosial untuk perumahan pedesaan di India.
Metodologi dan Kebaruan
Pendekatan penelitian yang diadopsi oleh Kulshreshtha sangat menonjol karena sifatnya yang holistik dan berpusat pada pengguna, mengacu pada kerangka "pemikiran desain" (design thinking). Metodologi ini secara unik mengintegrasikan ilmu sosial, ilmu material, dan komunikasi sains dalam satu alur kerja yang koheren.
Proses penelitian dimulai dengan survei lapangan etnografis di India untuk memahami secara mendalam faktor-faktor yang mendukung dan membatasi penggunaan rumah tanah dari perspektif penghuninya. Wawasan dari survei ini kemudian secara langsung menginformasikan fase
penelitian eksperimental di laboratorium. Fokus eksperimen adalah pada teknik modern Compressed Earth Blocks (CEB) karena kualitas produk dan ketersediaan alat pres berbiaya rendah di India. Investigasi dilakukan pada dua front: pertama, mengoptimalkan ketahanan air
CEB tanpa stabilisator dengan memanipulasi variabel seperti komposisi tanah, kadar air pemadatan, dan tekanan pemadatan. Kedua, mengeksplorasi potensi
stabilisator biologis sebagai alternatif berbiaya rendah untuk semen. Setelah tinjauan literatur yang komprehensif, kotoran sapi dipilih untuk studi eksperimental mendalam karena relevansi biaya, ketersediaan, dan penerimaan budayanya di India. Terakhir, penelitian ini ditutup dengan eksplorasi
komunikasi sains melalui analisis video YouTube sebagai alat untuk mendiseminasikan temuan dan mengatasi aspek "keinginan".
Kebaruan dari karya ini terletak pada dekonstruksi ilmiahnya terhadap bahan tradisional (kotoran sapi) untuk mengungkap mekanisme yang mendasari kinerjanya, serta pendekatannya yang menyeluruh dari masalah sosial hingga solusi material dan strategi diseminasi.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Disertasi ini menyajikan serangkaian temuan kunci yang secara langsung menjawab pertanyaan penelitiannya.
Masalah Citra sebagai Hambatan Utama: Survei lapangan (Bab 3) secara konklusif mengidentifikasi bahwa citra rendah tanah, yang sangat terkait dengan kemiskinan, adalah penghalang utama penerimaannya. Citra ini diperburuk oleh kinerja teknis yang buruk (terutama ketahanan air dan serangan rayap), kebutuhan perawatan yang sering, dan kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung memberikan reputasi negatif. Temuan ini menjadi justifikasi kuat untuk fokus penelitian pada peningkatan daya tahan material.
Optimalisasi CEB Tanpa Stabilisator: Penelitian eksperimental (Bab 4) mengungkapkan bahwa ketahanan air CEB tidak hanya bergantung pada kepadatan. Kadar air pemadatan yang lebih tinggi terbukti secara signifikan meningkatkan ketahanan air (hingga 6,5 kali lebih baik) dengan mengurangi volume pori-pori makro, bahkan pada kepadatan yang sama. Selain itu,
mineralogi lempung memainkan peran dominan; blok dengan lempung bentonit (yang memiliki daya kembang tinggi) menunjukkan ketahanan air yang jauh lebih superior dibandingkan dengan lempung kaolinit.
Mekanisme Ilmiah di Balik Kotoran Sapi: Ini adalah salah satu kontribusi paling signifikan dari disertasi ini. Tinjauan literatur (Bab 5) menunjukkan bahwa stabilisator biologis industri seringkali mahal, menjadikan alternatif tradisional seperti kotoran sapi lebih relevan. Eksperimen mendalam (Bab 6) kemudian membuktikan bahwa penambahan kotoran sapi dapat meningkatkan ketahanan air CEB hingga
lebih dari 500 kali lipat. Mekanisme di baliknya bukanlah mitos, melainkan sains: komponen yang bertanggung jawab diidentifikasi sebagai
Agregat Mikroba Berukuran Kecil (SSMAs), partikel anti air kaya asam lemak yang membentuk sekitar sepertiga dari massa padat kotoran sapi. Berdasarkan temuan ini, rekomendasi praktis yang sangat spesifik dirumuskan: gunakan kotoran sapi basah (80 kali lebih efektif daripada kering), adopsi kadar air pemadatan yang lebih tinggi (40 kali lebih efektif), dan pilih tanah dengan lempung berdaya kembang rendah seperti kaolinit (30 kali lebih efektif).
Komunikasi sebagai Alat untuk Meningkatkan Keinginan: Penelitian tentang diseminasi (Bab 7) menemukan bahwa praktisi konstruksi tanah di India menggunakan platform online seperti YouTube sebagai sumber informasi. Analisis terhadap 124 video menghasilkan wawasan bahwa konten yang efektif harus
relevan, holistik, dan dapat ditindaklanjuti. Temuan ini kemudian diterapkan untuk memproduksi dua video animasi yang bertujuan meningkatkan kesadaran dan menyebarkan pengetahuan praktis dari disertasi ini.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui keterbatasan penelitiannya, terutama bahwa studi eksperimental dilakukan hanya pada satu jenis tanah dan satu sumber kotoran sapi, yang membatasi generalisasi temuan. Selain itu, validasi pada skala yang lebih besar (dinding atau bangunan utuh) masih diperlukan untuk menguji kinerja di tingkat arsitektural.
Sebagai refleksi kritis, meskipun disertasi ini memberikan panduan yang sangat baik untuk optimalisasi di tingkat laboratorium, tantangan untuk menstandardisasi material biologis yang sangat bervariasi seperti kotoran sapi untuk produksi massal tetap menjadi rintangan praktis yang signifikan. Menerjemahkan temuan laboratorium yang terkontrol ke dalam proses produksi yang andal dan dapat diskalakan di lingkungan pedesaan yang beragam akan memerlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Disertasi ini membuka jalan bagi beberapa arah penelitian yang menjanjikan. Rekomendasi eksplisit penulis mencakup perlunya studi replikasi dengan berbagai jenis tanah dan sumber kotoran sapi, serta pengujian skala penuh untuk memahami perilaku material di tingkat arsitektural.
Secara lebih luas, karya ini memberikan cetak biru metodologis untuk valorisasi ilmiah bahan limbah biologis lainnya dalam konstruksi. Ia mengubah paradigma dari memandang bahan tradisional sebagai "teknologi rendah" menjadi subjek yang kompleks secara ilmiah dan dapat dioptimalkan. Selain itu, integrasi komunikasi sains sebagai komponen penelitian yang tak terpisahkan menawarkan model yang kuat untuk proyek-proyek ilmiah berorientasi dampak di masa depan, memastikan bahwa pengetahuan yang dihasilkan tidak hanya berakhir di jurnal akademis tetapi juga menjangkau dan memberdayakan para praktisi di lapangan.
Sumber
Kulshreshtha, Y. (2022). Building Affordable, Durable and Desirable Earthen Houses: Construction with Materials Derived from Locally Available Natural and Biological Resources.. https://doi.org/10.4233/uuid:0149cbb5-e3fe-4bc5-8333-8f888638055e
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah persimpangan krusial yang dihadapi oleh PT Hutama Karya Infrastruktur (HKI), anak perusahaan BUMN di sektor konstruksi jalan tol. Di satu sisi, HKI tengah mengalami ekspansi peran strategis yang signifikan, terlibat dalam proyek-proyek kompleks seperti Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan merambah pasar di luar proyek penugasan Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS). Di sisi lain, ekspansi ini dihadapkan pada tuntutan digitalisasi yang tak terelakkan, sejalan dengan arah kebijakan nasional INDI 4.0 dan tren global Industri 4.0.
Masalah inti yang diidentifikasi adalah ketidakmampuan sistem manajemen proses bisnis (BPM) HKI saat ini untuk menopang pertumbuhan dan kompleksitas tersebut. Proses bisnis yang ada dikelola secara manual menggunakan perangkat lunak umum seperti Microsoft Word, Excel, atau Visio. Pendekatan ini terbukti menimbulkan serangkaian inefisiensi kritis: rentan terhadap kesalahan saat pembaruan SOP, sulitnya mengidentifikasi proses yang redundan antar departemen, kesulitan dalam proses audit karena dokumentasi yang tersebar dan tidak konsisten, serta kurangnya standardisasi yang menghambat adaptasi karyawan baru atau yang mengalami mutasi. Dengan demikian, hipotesis yang mendasari studi ini adalah bahwa adopsi alat bantu BPM yang terotomatisasi dan terintegrasi merupakan sebuah keharusan strategis. Tujuan penelitian ini dirumuskan secara jelas: mengidentifikasi kriteria utama untuk memilih alat BPM yang paling sesuai dengan kebutuhan HKI, dan mengevaluasi alternatif yang ada untuk menghasilkan sebuah usulan yang berbasis bukti.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk menjawab tantangan tersebut, penulis mengadopsi metodologi penelitian campuran (mixed-methods) yang menggabungkan kedalaman analisis kualitatif dengan objektivitas kuantitatif.
Pada fase kualitatif, identifikasi masalah diawali dengan analisis kesenjangan, pemetaan business model canvas, dan studi literatur. Langkah krusial berikutnya adalah penentuan kriteria pemilihan alat BPM, yang digali melalui wawancara semi-terstruktur dengan para pemangku kepentingan kunci dari departemen Sistem & TI. Pendekatan value-focused thinking digunakan untuk memastikan bahwa kriteria yang muncul benar-benar merefleksikan nilai dan prioritas organisasi. Transkrip wawancara kemudian dianalisis secara sistematis menggunakan metode analisis konten dengan bantuan perangkat lunak Atlas.ti.
Pada fase kuantitatif, evaluasi terhadap empat alternatif alat BPM—ARIS Express, EA Sparx, SAP Signavio, dan Bizagi—dilakukan menggunakan metode Simple Multi-Attribute Rating Technique (SMART). Proses pembobotan dan penilaian kriteria ini dilaksanakan melalui
Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan para kepala departemen inti dan pendukung, memastikan bahwa keputusan akhir mencerminkan konsensus dari level manajerial.
Kebaruan dari penelitian ini terletak pada aplikasi metodis dari kerangka kerja pengambilan keputusan multikriteria (Multi-Criteria Decision-Making - MCDM) pada sebuah studi kasus nyata di BUMN sektor konstruksi Indonesia. Alih-alih hanya memberikan rekomendasi umum, karya ini menyajikan sebuah proses yang transparan, dapat direplikasi, dan berbasis data untuk memandu sebuah keputusan investasi teknologi yang strategis.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang cermat menghasilkan temuan yang jelas dan dapat ditindaklanjuti.
Pertama, dari fase kualitatif, analisis konten terhadap wawancara berhasil menyaring enam kriteria utama yang dianggap paling vital oleh para pemangku kepentingan dalam pemilihan alat BPM. Kriteria tersebut adalah: biaya, integrasi sistem, keamanan sistem, kemudahan penggunaan (UI/UX), kesesuaian fitur, dan dukungan pasca-implementasi. Identifikasi kriteria ini memastikan bahwa evaluasi selanjutnya berakar kuat pada kebutuhan riil organisasi.
Kedua, puncak dari temuan kuantitatif adalah hasil analisis SMART. EA Sparx memperoleh nilai tertinggi secara keseluruhan, menjadikannya alat BPM yang direkomendasikan untuk HKI. Kontekstualisasi temuan ini sangat penting: EA Sparx tidak hanya unggul secara absolut, tetapi juga menawarkan
kombinasi manfaat dan biaya yang paling seimbang di antara keempat alternatif. Kemenangannya diperkuat lebih lanjut oleh hasil analisis sensitivitas yang konsisten, yang menunjukkan bahwa rekomendasi ini tetap kokoh bahkan ketika bobot kriteria diubah. Rekomendasi ini secara langsung menjawab masalah awal; misalnya, kemampuan integrasi EA Sparx akan mengatasi masalah proses yang silo, sementara kemampuannya untuk menghubungkan model proses dengan SOP dapat membantu mengatasi masalah dokumen yang usang (di mana studi menemukan 17% dari 236 SOP perusahaan saat ini sudah kedaluwarsa).
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penelitian ini secara jujur mengakui batasannya, yaitu hanya berfokus pada pemilihan alat BPM dan tidak mengeksplorasi metode optimisasi proses bisnis lainnya. Sebagai refleksi kritis, perlu dicatat bahwa metode SMART, meskipun terstruktur, sangat bergantung pada input subjektif dari para peserta FGD untuk pembobotan dan penilaian. Validitas hasilnya bergantung pada keahlian dan objektivitas para partisipan. Selain itu, penelitian ini merupakan sebuah
usulan alat, sehingga evaluasi terhadap keberhasilan implementasi aktualnya di HKI secara alami berada di luar cakupan studi ini dan menjadi area untuk penelitian di masa depan.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Implikasi dari penelitian ini bersifat praktis dan akademis. Secara praktis, tesis ini tidak hanya memberikan rekomendasi produk, tetapi juga menyajikan sebuah peta jalan implementasi yang komprehensif. Rekomendasi kunci bagi HKI meliputi: (1) melakukan simulasi proses bisnis menggunakan EA Sparx sesuai siklus hidup BPM, (2) menetapkan tata kelola dan peran yang jelas untuk memastikan akuntabilitas, (3) memanfaatkan EA Sparx sebagai repositori pengetahuan terpusat, (4) menghubungkan model BPM langsung ke SOP untuk meningkatkan ketertelusuran, dan (5) menyediakan pelatihan pengguna yang komprehensif untuk memastikan adopsi yang sukses.
Untuk penelitian di masa depan, penulis menyarankan eksplorasi metode MCDM alternatif seperti AHP untuk memvalidasi hasil, melakukan studi longitudinal pasca-implementasi untuk mengukur kinerja aktual, dan menilai dampak manajemen perubahan organisasi terhadap adopsi alat BPM. Sebagai refleksi akhir, karya ini memberikan kontribusi signifikan dengan menyediakan sebuah kerangka kerja yang solid dan berbasis bukti untuk menavigasi kompleksitas transformasi digital, sebuah panduan yang sangat berharga bagi organisasi lain yang menghadapi tantangan serupa.
Sumber
Astuti, R. D. (2025). Proposed Business Process Management (BPM) Tools for Optimizing Business Process Management at PT Hutama Karya Infrastruktur. Tesis Akhir, Program Magister Administrasi Bisnis, Institut Teknologi Bandung.
Lembaga Pemerintahan
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada momentum percepatan pembahasan RUU PBJP yang diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo, sebuah proses yang oleh masyarakat sipil dipandang berisiko mengulangi praktik legislasi yang terburu-buru dan minim partisipasi, seperti yang terjadi pada revisi UU KPK dan pembentukan UU Ibu Kota Negara. Masalah inti yang menjadi pemicu analisis adalah paradoks dalam sistem pengadaan modern: terjadinya dua Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK di Bandung dan Kepulauan Meranti yang melibatkan suap dalam proyek yang menggunakan e-katalog. Fenomena ini secara fundamental mempertanyakan efektivitas digitalisasi sebagai benteng anti-korupsi dan mengindikasikan adanya masalah sistemik yang lebih dalam (underlying problem) di balik kegagalan di permukaan (surface problem).
Dengan berlandaskan pada draf RUU PBJP versi 05 Juli 2023, kerangka teoretis studi ini adalah analisis kebijakan kritis yang bertujuan untuk mengevaluasi kelemahan tata kelola dalam rancangan tersebut dan memberikan rekomendasi konkret untuk penguatan. Hipotesis implisit yang diajukan adalah bahwa RUU PBJP dalam bentuknya saat ini masih memiliki celah signifikan yang dapat dieksploitasi untuk praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, tujuan utama dari kertas posisi ini adalah untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan tersebut dan mengusulkan penguatan arsitektur hukum RUU PBJP untuk memastikan prinsip integritas, akuntabilitas, dan transparansi menjadi fondasi utama sistem pengadaan nasional.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode kualitatif dengan pendekatan studi kebijakan (policy study) dan analisis yuridis-kritis. Pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi sumber: (1) Studi Pustaka, yang mencakup analisis terhadap peraturan perundang-undangan eksisting (misalnya Perpres 16/2018 dan perubahannya, Peraturan LKPP), literatur akademis internasional mengenai asas-asas pengadaan, serta pemberitaan media terkait kasus-kasus korupsi; (2) Analisis Dokumen, yang berfokus pada penelaahan mendalam terhadap naskah RUU PBJP versi 05 Juli 2023; dan (3) Wawancara, yang dilakukan dengan narasumber anonim dari kalangan praktisi, termasuk mantan anggota Kelompok Kerja (Pokja) Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) di Sumatra dan fungsional pengadaan di Kalimantan, untuk mendapatkan wawasan dari lapangan mengenai tekanan dan praktik-praktik informal yang terjadi.
Kebaruan dari karya ini terletak pada sintesisnya yang komprehensif antara teori hukum, analisis kebijakan, dan bukti empiris (baik dari kasus korupsi maupun testimoni praktisi) untuk menghasilkan sebuah intervensi yang tepat waktu dalam proses legislasi yang sedang berjalan. Alih-alih hanya bersifat teoretis, penelitian ini secara aktif menerjemahkan temuan-temuannya menjadi usulan pasal dan norma yang konkret, menjadikannya sebuah dokumen advokasi berbasis bukti yang kuat.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis mendalam terhadap RUU PBJP dan praktik pengadaan saat ini menghasilkan beberapa temuan krusial yang dikelompokkan ke dalam beberapa tema utama.
Salah Arah Kebijakan dan Perlunya Hierarki Asas: Ditemukan bahwa kebijakan pelonggaran verifikasi dalam sistem e-katalog demi mendorong partisipasi UMKM dan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) telah menciptakan celah baru untuk korupsi. Praktik "uang klik"—suap yang diberikan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Pokja agar memilih produk tertentu di katalog—menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Masalah ini diperparah oleh regulasi LKPP yang bersifat longgar ("dan/atau"), yang memberikan diskresi luas kepada pejabat untuk memilih negosiasi langsung ketimbang kompetisi mini. Temuan ini mengindikasikan bahwa ketika asas efektivitas atau tujuan kebijakan lain diutamakan tanpa pengaman yang kuat, asas integritas dan persaingan sehat menjadi korban. Oleh karena itu, RUU PBJP diusulkan untuk secara eksplisit mengamanatkan
hierarki asas, di mana integritas, akuntabilitas, dan transparansi ditempatkan sebagai asas tertinggi yang tidak dapat dikompromikan oleh asas-asas lain seperti efisiensi atau efektivitas.
Kerentanan Integritas Personel Pengadaan: Wawancara dengan praktisi mengungkap adanya tekanan politik dan intervensi yang masif dari pimpinan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (KLPD) terhadap personel UKPBJ untuk memenangkan penyedia tertentu. Selain itu, ditemukan praktik mutasi terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) fungsional pengadaan yang berintegritas dan kompeten ke posisi lain yang tidak relevan—sebuah fenomena yang diistilahkan sebagai "memindahkan ikan keluar akuarium". Praktik ini secara sistematis melemahkan kapasitas dan independensi unit pengadaan. Draf RUU PBJP (Pasal 19) dinilai sangat lemah karena hanya menyinggung soal kompetensi SDM tanpa mengamanatkan adanya sistem perlindungan, pembinaan karir, dan penjagaan integritas bagi personel pengadaan.
Area Abu-abu di Luar Jangkauan Regulasi: Ditemukan bahwa banyak aktivitas pemerintah yang esensinya adalah pengadaan barang/jasa bernilai strategis dan beranggaran besar, namun saat ini berada di luar kerangka hukum PBJP. Contoh-contoh yang diangkat antara lain:
Beauty Contest Proyek Internasional: Proses pemilihan mitra dan pendonor untuk proyek strategis seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) lebih didasarkan pada intuisi politik ketimbang proses yang transparan dan kompetitif, meskipun pada akhirnya menggunakan BUMN dan berpotensi membebani APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) saat terjadi cost overrun.
Pengadaan Sektor Pertahanan: Sektor ini dinilai sangat tidak transparan dan nir-kompetitif, yang tercermin dari skor rendah Indonesia ('D' atau berisiko tinggi) dalam Government Defence Integrity Index. Regulasi teknisnya (Permenhan 16/2019) dinilai kabur dan membuka ruang lebar untuk penunjukan langsung tanpa justifikasi yang jelas.
Penugasan Pemerintah kepada BUMN: Mekanisme penugasan langsung proyek infrastruktur kepada BUMN dinilai berada di "ruang gelap", tanpa transparansi mengenai dasar penunjukan dan formula kompensasi, sehingga berpotensi menimbulkan inefisiensi dan kecemburuan dari sektor swasta.
Pengadaan Darurat: Pengadaan dalam situasi darurat, seperti pada program Kartu Prakerja dan pembangunan RS Khusus Covid-19 di Pulau Galang, dikritik karena kurang transparan dan terkesan terburu-buru, menunjukkan bahwa kondisi darurat sering dijadikan justifikasi untuk mengabaikan prinsip-prinsip dasar pengadaan.
Lemahnya Mekanisme Penyelesaian Sengketa: Sistem penyelesaian sengketa yang ada dinilai tidak efektif. Penyedia yang dirugikan oleh persyaratan tender yang diskriminatif atau tidak relevan (misalnya, syarat Amdal untuk pengadaan scanner) tidak memiliki jalur komplain resmi yang efektif, sehingga hanya bisa "curhat" ke media. RUU PBJP diusulkan untuk secara eksplisit memberikan
kewenangan kepada lembaga peradilan (PTUN) untuk memberikan perlindungan hukum yang efektif, seperti menghentikan proses tender, membatalkan keputusan, dan memerintahkan tindakan korektif. Selain itu, perlu ada penegasan mengenai durasi waktu maksimal penanganan sengketa pengadaan di pengadilan.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Sebagai sebuah kertas posisi, fokus utama tulisan ini adalah advokasi kebijakan, yang secara inheren membentuk argumennya untuk menyoroti kelemahan dan mendorong perbaikan. Ketergantungan pada narasumber anonim, meskipun dapat dipahami untuk melindungi identitas mereka, menjadikan bukti dari lapangan bersifat anekdotal dan tidak dapat diverifikasi secara independen. Selain itu, analisis berpusat pada draf RUU per Juli 2023, sehingga mungkin tidak merefleksikan dinamika pembahasan legislatif yang lebih baru.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat langsung: memberikan masukan konkret kepada pemerintah dan DPR untuk merevisi dan memperkuat sejumlah pasal krusial dalam RUU PBJP sebelum disahkan. Rekomendasi yang diajukan, jika diadopsi, berpotensi secara signifikan meningkatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sistem pengadaan publik di Indonesia.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalur investigasi. Diperlukan studi empiris yang lebih mendalam untuk mengukur efektivitas e-katalog dalam menekan korupsi di berbagai daerah, serta penelitian kuantitatif mengenai dampak intervensi politik terhadap hasil pengadaan (misalnya, harga kontrak dan kualitas pekerjaan). Studi hukum komparatif tentang bagaimana negara lain meregulasi area abu-abu seperti beauty contest dan penugasan BUMN juga akan sangat bermanfaat. Sebagai refleksi akhir, kertas posisi ini berhasil menunjukkan bahwa digitalisasi bukanlah obat mujarab; tanpa fondasi hukum yang kokoh yang menjunjung tinggi integritas dan akuntabilitas, teknologi secanggih apa pun akan tetap rentan terhadap manipulasi.
Sumber
Wibowo, R. A. (2023). Kertas Posisi: Catatan Kritis Masyarakat Sipil Atas RUU Pengadaan Barang/Jasa Publik. Transparency International Indonesia.