Kegagalan Bangunan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Mengapa Perlindungan Hukum dalam Konstruksi Masih Dipertanyakan?
Industri jasa konstruksi di Indonesia memainkan peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, di balik pesatnya pembangunan fisik, tersimpan satu persoalan krusial yang terus menghantui: siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kegagalan konstruksi atau bangunan?
Studi ini menyoroti ketimpangan dalam sistem hukum Indonesia yang masih cenderung meletakkan beban tanggung jawab sepenuhnya di pundak penyedia jasa konstruksi, bahkan ketika belum jelas siapa pihak yang sebenarnya bersalah. Di sinilah letak pentingnya penelitian ini: membedah ketidakjelasan regulasi dan mencari titik temu antara tanggung jawab, keadilan, dan perlindungan hukum yang adil.
Perbedaan Antara Kegagalan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan: Sebuah Titik Buta Regulasi
Hingga saat ini, terdapat kebingungan mendasar dalam hukum Indonesia mengenai dua istilah penting: building failure dan construction failure. Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UUJK) hanya secara eksplisit mengatur kegagalan bangunan, yaitu kondisi di mana bangunan runtuh atau gagal berfungsi akibat kelalaian penyedia jasa, terutama setelah proses serah terima akhir.
Sementara itu, kegagalan konstruksi—yakni hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak (baik sebagian atau keseluruhan)—justru tidak diatur secara eksplisit dalam UUJK maupun dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2020 yang merupakan turunan dari UUJK. Hal ini menciptakan celah hukum yang membingungkan, terutama ketika tanggung jawab hukum langsung dibebankan pada penyedia jasa, tanpa mempertimbangkan apakah pengguna jasa atau faktor eksternal turut berperan.
Data dan Fakta: Konstruksi yang Gagal Tak Sekadar Kesalahan Teknis
Menurut laporan BPK, dari total dana APBN sebesar Rp88,58 triliun untuk lima program prioritas nasional dari 2015 hingga 2018, sebanyak Rp79,64 triliun telah direalisasikan. Namun, terjadi berbagai ketidaksesuaian yang menyebabkan kegagalan pembangunan fisik, termasuk pada proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh BUMN. Dari sisi teknis, sekitar 20–40% kegagalan konstruksi terjadi pada tahap pelaksanaan proyek. Bahkan 54% di antaranya disebabkan oleh tenaga kerja yang tidak terampil dan 12% karena mutu material yang buruk.
Secara umum, kualitas pengawasan selama proyek berjalan dinilai lemah. Dalam beberapa kasus, kegagalan baru terdeteksi saat masa pemeliharaan atau bahkan setelah bangunan digunakan. Akibatnya, biaya tambahan untuk perbaikan dapat mencapai 6–12% dari nilai kontrak, belum termasuk biaya pemeliharaan sebesar 5% lagi.
Asuransi dan Jaminan Hukum: Apa Saja yang Sudah Diatur?
Dalam kontrak kerja konstruksi, terdapat sejumlah bentuk jaminan hukum dan proteksi yang diatur, di antaranya:
Asuransi atas Kegagalan Konstruksi dan Bangunan: termasuk klaim pihak ketiga dan kecelakaan kerja.
Namun, dalam praktiknya, efektivitas jaminan ini sangat bergantung pada ketepatan penyusunan kontrak dan pelaksanaannya. UUJK juga mengatur bahwa jika penyedia jasa gagal memenuhi kewajibannya, maka pengguna jasa berhak mencairkan jaminan tersebut. Tapi sekali lagi, beban pembuktian nyaris selalu diletakkan pada penyedia jasa, tanpa adanya mekanisme objektif untuk menilai terlebih dahulu siapa yang salah.
Peran Penting Ahli Penilai Bangunan (Expert Appraiser)
Artikel ini menekankan pentingnya keterlibatan ahli penilai bersertifikat dalam menentukan apakah suatu bangunan mengalami kegagalan dan siapa yang harus bertanggung jawab. Berdasarkan Pasal 60 UUJK, sebelum masuk ke ranah pidana atau perdata, harus ada penilaian dari ahli yang ditunjuk oleh Menteri. Penilaian ini menjadi dasar kuat untuk proses hukum lanjutan.
Ahli yang dimaksud harus independen, kompeten, dan memiliki sertifikasi resmi. Dalam praktiknya, ahli diberi waktu maksimal 90 hari untuk memberikan laporan penilaian setelah menerima laporan kejadian. Namun, sayangnya, belum semua wilayah memiliki akses ke ahli bersertifikat, sehingga banyak kasus mandek atau dinilai secara sepihak oleh pengguna jasa.
Perlindungan Hukum: Antara Preventif dan Represif
Perlindungan hukum terhadap pelaku usaha seharusnya terdiri dari dua aspek:
Sayangnya, artikel ini menunjukkan bahwa mekanisme preventif dalam praktik belum berjalan optimal. Banyak kontrak konstruksi hanya mencantumkan penyelesaian melalui litigasi tanpa tahapan alternatif seperti mediasi atau arbitrase. Padahal UUJK telah mewajibkan klausul sengketa dalam kontrak mencakup semua kemungkinan jalur penyelesaian.
Kasus Nyata: Putusan PN Malang dan Mahkamah Agung
Penulis artikel juga menyoroti kasus dalam putusan PN Malang No. 92/Pdt.G/2015/PN.MLG yang diperkuat dengan putusan MA No. 2667K/Pdt/2017. Dalam perkara ini, Majelis Hakim menggunakan dasar PP No. 29 Tahun 2000 yang sebenarnya telah dicabut dan digantikan dengan PP No. 22 Tahun 2020. Ini menunjukkan lemahnya pemahaman atau pembaruan hukum dalam praktik peradilan, yang dapat berdampak serius pada hasil putusan dan rasa keadilan.
Kritik Terhadap UUJK: Mengapa Belum Adil bagi Pelaku Usaha?
Penelitian ini menyimpulkan bahwa UU No. 2 Tahun 2017 cenderung timpang. Berikut catatan kritisnya:
Rekomendasi: Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Industri Konstruksi
1. Revisi UUJK dan PP No. 22 Tahun 2020
Diperlukan penambahan pasal yang mengatur kegagalan konstruksi secara eksplisit, termasuk mekanisme pembuktian dan sanksi bagi pengguna jasa.
2. Wajibkan Sertifikasi Ahli Penilai pada Proyek Publik
Dalam setiap proyek pemerintah, harus ada ahli yang ditunjuk sejak awal untuk mendampingi proses pelaksanaan dan menilai bila ada kegagalan.
3. Tingkatkan Edukasi Hukum bagi Pihak Kontraktor
Banyak penyedia jasa yang belum memahami hak-haknya dalam kontrak. Edukasi tentang legal drafting dan klausul sengketa sangat dibutuhkan.
4. Gunakan Model Kontrak FIDIC atau NEC
Kontrak internasional seperti FIDIC dan NEC memiliki struktur sengketa yang lebih adil, dan bisa diadaptasi secara lokal untuk menciptakan keseimbangan tanggung jawab.
5. Bangun Lembaga Mediasi Independen Khusus Konstruksi
Seperti BANI tetapi berspesialisasi dalam konstruksi, agar tidak semua sengketa langsung masuk ke pengadilan umum.
Kesimpulan: Keadilan Butuh Aturan yang Jelas dan Pelaksana yang Tegas
Studi ini menggambarkan bahwa perlindungan hukum terhadap pelaku usaha konstruksi di Indonesia belum berpijak pada asas keadilan sejati. Ketimpangan regulasi, ketiadaan norma eksplisit soal kegagalan konstruksi, dan kecenderungan menyalahkan penyedia jasa membuat dunia konstruksi menjadi medan berisiko tinggi.
Untuk memperbaikinya, perlu ada keberanian untuk merevisi UUJK secara fundamental, serta memperkuat kapasitas SDM hukum dan teknis di lapangan. Di era pembangunan masif seperti sekarang, keadilan hukum di bidang konstruksi bukan hanya penting, tapi mendesak.
Sumber:
Bhakti, M. P., Mashdurohatun, A., & Soponyono, E. (2024). Legal Protection for Business Actors in Cases of Construction and Building Failure. South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law, 32(1). [ISSN 2289-1560]
Limbah Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Limbah Konstruksi: Ancaman Besar di Balik Ledakan Infrastruktur
Indonesia tengah berada dalam periode emas pembangunan infrastruktur. Namun, di balik pertumbuhan pesat tersebut, tersembunyi persoalan serius: limbah konstruksi. Artikel ilmiah karya Heni Fitriani, Saheed Ajayi, dan Sunkuk Kim (2023), yang diterbitkan di jurnal Sustainability, menyajikan analisis komprehensif tentang penyebab mendasar dari limbah di sektor konstruksi Indonesia. Temuan ini menjadi kunci penting dalam upaya mendorong praktik konstruksi berkelanjutan di negara berkembang seperti Indonesia.
Mengapa Penelitian Ini Penting?
Banyak studi terdahulu fokus pada minimisasi limbah di negara maju, namun sedikit yang menggali akar permasalahan di negara berkembang. Mengingat bahwa Indonesia diprediksi menjadi salah satu pasar konstruksi terbesar dunia pada 2030, kegagalan dalam mengelola limbah konstruksi bisa menimbulkan krisis lingkungan berskala nasional.
Metodologi dan Sampel: Suara dari 468 Profesional Konstruksi Indonesia
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan penyebaran kuesioner daring kepada 468 responden dari berbagai peran di industri konstruksi: arsitek, manajer proyek, insinyur sipil, dosen, hingga pemasok material. Data dianalisis menggunakan analisis faktor eksploratori dan reliabilitas statistik (α = 0.893), yang menunjukkan konsistensi tinggi.
Delapan Akar Utama Limbah Konstruksi di Indonesia
1. Manajemen Lapangan dan SDM yang Buruk (14,2%)
Faktor dominan ini mencakup: distribusi tenaga kerja tidak merata, absensi tinggi, komunikasi terbatas, hingga pekerja pindah tugas sebelum menyelesaikan pekerjaan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan disiplin di proyek konstruksi. Jika dibiarkan, bisa menyebabkan rework, pemborosan waktu, dan kenaikan biaya proyek.
2. Kurangnya Kolaborasi Antar Pemangku Kepentingan (13,2%)
Minimnya koordinasi antara kontraktor, konsultan, dan klien memicu pengambilan keputusan yang keliru, lambannya pembayaran, dan jadwal yang tidak sinkron. Padahal, proyek konstruksi adalah kerja tim lintas entitas.
3. Pengelolaan Peralatan yang Tidak Efektif (9,9%)
Kesalahan dalam pemilihan dan pengoperasian alat, kelebihan alokasi alat berat, serta peralatan rusak, menjadi penyumbang besar limbah. Solusi seperti prefabrikasi dan modularisasi dapat mengurangi limbah hingga 84%.
4. Kelemahan dalam Manajemen Logistik Material (9%)
Penanganan material yang buruk, penggunaan bahan yang salah, dan pembelian yang tidak sesuai kebutuhan menciptakan penumpukan dan pemborosan. Kolaborasi yang kuat dengan pemasok dibutuhkan untuk menyesuaikan pengiriman dengan jadwal proyek.
5. Lingkungan Kerja yang Tidak Kondusif (7%)
Kondisi cuaca ekstrem, vandalisme, dan layout site yang semrawut memperbesar potensi kerusakan material dan penundaan pekerjaan. Perlu desain lapangan yang ergonomis dan aman.
6. Komunikasi yang Buruk di Lapangan (6,8%)
Kurangnya instruksi jelas dari mandor, kekurangan supervisor, dan lemahnya skill komunikasi memicu kesalahpahaman yang berujung pada kesalahan teknis.
7. Perilaku Boros dan Kurangnya Kompetensi (6,7%)
Sikap ceroboh, motivasi rendah, serta kurangnya kesadaran lingkungan menjadi indikator penting. Ini menunjukkan bahwa persoalan budaya kerja dan etika turut berkontribusi terhadap limbah.
8. Kurangnya Pelatihan dan Pengalaman (4,9%)
Minimnya pelatihan formal dalam manajemen limbah membuat tenaga kerja tidak paham prosedur efisien. Hal ini menyulitkan implementasi program waste reduction.
Analisis Tambahan dan Perbandingan Global
Temuan ini sejalan dengan studi di Malaysia, Tiongkok, dan Inggris. Namun, yang membedakan Indonesia adalah dominasi faktor perilaku dan manajerial ketimbang teknis. Negara-negara maju telah menerapkan kebijakan seperti site waste management plans (SWMP) yang mewajibkan tiap proyek memiliki rencana penanganan limbah sejak awal.
Studi Kasus Nyata: Proyek Modular di Hong Kong
Salah satu contoh keberhasilan adalah penggunaan komponen modular di Hong Kong yang mampu menurunkan volume limbah hingga 52%. Jika Indonesia mengadopsi prefabrikasi lebih luas, maka pengurangan limbah bisa terjadi signifikan—bahkan di proyek hunian sederhana.
Rekomendasi Strategis bagi Industri Konstruksi Indonesia
Perlu regulasi nasional yang mewajibkan setiap proyek untuk memiliki SWMP.
Baik tentang pengelolaan material, safety, maupun budaya kerja bersih.
BIM bisa digunakan untuk meminimalisasi limbah sejak tahap desain.
Kontraktor yang berhasil menekan limbah diberi bonus. Yang lalai, dikenai penalti.
Pemasok dapat berperan dalam take-back scheme atau pengemasan ulang efisien.
Kritik terhadap Studi
Studi ini sangat kuat dalam metodologi, namun masih memiliki keterbatasan:
Dampak Praktis: Menyasar Zero Waste Construction di 2045?
Jika Indonesia ingin menyambut era bonus demografi dengan lingkungan yang lestari, maka reformasi pengelolaan limbah konstruksi menjadi keharusan. Temuan Fitriani dkk. bisa menjadi dasar kebijakan nasional menuju konstruksi berkelanjutan. Target zero waste mungkin ambisius, tapi bukan tidak mungkin jika dimulai hari ini.
Sumber:
Fitriani, H., Ajayi, S., & Kim, S. (2023). Analysis of the Underlying Causes of Waste Generation in Indonesia’s Construction Industry. Sustainability, 15(1), 409. DOI:10.3390/su15010409
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Buruknya Kinerja Proyek Konstruksi: Masalah Lama yang Belum Seles
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia konstruksi menyaksikan pertumbuhan pesat dalam hal skala, kompleksitas, dan tuntutan teknis. Namun, satu masalah klasik tak kunjung teratasi: buruknya kinerja proyek, terutama keterlambatan dan pembengkakan biaya. Dalam konteks Malaysia, dan bisa dikatakan berlaku pula di negara berkembang lainnya seperti Indonesia, persoalan ini menjadi penghambat utama efektivitas pembangunan.
Tesis ini bertujuan untuk menelisik akar penyebab kinerja buruk dalam proyek konstruksi berdasarkan data lapangan dan telaah literatur, dengan fokus pada kasus-kasus di wilayah Selangor. Fokus utama adalah pada keterlambatan ekstensif, sebagai indikator kinerja buruk yang paling mencolok.
Metodologi: Pendekatan Indeks dan Survei Langsung
Penelitian ini dilakukan melalui survei kuesioner kepada berbagai aktor konstruksi—pengembang, konsultan, dan kontraktor utama—yang pernah terlibat dalam proyek bangunan dan infrastruktur di Malaysia. Total 44 faktor penyebab kinerja buruk diidentifikasi dan dikategorikan ke dalam 8 kelompok besar. Analisis dilakukan menggunakan metode indeks rata-rata (average index) untuk menentukan tingkat keparahan setiap faktor.
Delapan Kategori Besar Penyebab Buruknya Kinerja Proyek
1. Karakteristik Proyek
Kinerja buruk sering kali sudah ditentukan sejak tahap awal proyek. Proyek berskala besar dengan desain kompleks, kurangnya perencanaan detail, dan jadwal yang tidak realistis merupakan pemicu utama. Beberapa proyek jalan tol, misalnya, terhambat karena desain awal yang tidak mempertimbangkan kondisi geoteknik lapangan.
2. Faktor Klien atau Pengembang
Peran klien ternyata sangat krusial. Ketidaktegasan dalam keputusan, perubahan spesifikasi di tengah jalan, serta lambatnya pembayaran sangat berpengaruh terhadap ritme proyek. Dalam banyak kasus, kontraktor tidak dapat melanjutkan pekerjaan karena cash flow terganggu.
3. Faktor Kontraktor
Kurangnya keterampilan teknis, pelatihan yang minim, dan ketidakmampuan manajerial menyebabkan keterlambatan dan kesalahan pelaksanaan. Bahkan, kontraktor yang terpilih karena penawaran terendah cenderung gagal memenuhi standar teknis.
4. Faktor Konsultan
Kinerja konsultan juga tak lepas dari sorotan. Desain yang tidak matang, inspeksi yang tidak disiplin, hingga komunikasi yang lemah dengan tim lapangan menyebabkan miskomunikasi dan pekerjaan ulang. Sebagai contoh, proyek pembangunan rumah susun di Malaysia sempat terhambat karena desain arsitektur yang tidak sinkron dengan struktur.
5. Tenaga Kerja dan Material
Faktor ini mencakup keterlambatan pengiriman bahan, kekurangan material di lokasi, serta pekerja yang tidak kompeten atau tidak cukup jumlahnya. Bahkan, 54% kegagalan konstruksi terjadi karena kualitas tenaga kerja yang rendah dan manajemen logistik yang lemah.
6. Hubungan Kontraktual
Permasalahan hukum dalam kontrak, seperti ketidakjelasan hak dan kewajiban antar pihak, serta kurangnya klausul penyelesaian sengketa, turut memperpanjang durasi proyek. Kontrak yang lemah sering kali menjadi sumber konflik yang berlarut.
7. Prosedur Pengadaan Proyek
Sistem tender yang hanya mengutamakan harga terendah sering kali menjadi jebakan. Proyek diserahkan kepada pihak yang tidak memiliki kapasitas teknis memadai. Selain itu, proses lelang yang panjang dan birokratis menyebabkan proyek mundur sebelum dimulai.
8. Lingkungan Eksternal
Faktor cuaca, regulasi pemerintah, dan masalah sosial seperti protes warga sekitar turut menjadi penyebab. Dalam proyek jembatan antarnegara bagian, misalnya, keterlambatan izin lingkungan menyebabkan proyek tertunda hingga dua tahun.
Tiga Penyebab Utama Berdasarkan Hasil Survei
Dari 44 faktor yang dianalisis, tiga faktor teratas dengan tingkat keparahan tertinggi adalah:
Kolaborasi yang buruk antar pemilik, kontraktor, dan konsultan berpotensi menimbulkan konflik dan kesalahan eksekusi.
Minimnya alur informasi formal membuat keputusan penting tertunda atau tidak dipahami semua pihak.
Kurangnya jiwa kepemimpinan menyebabkan moral kerja menurun dan produktivitas terganggu.
Rekomendasi Perbaikan untuk Industri Konstruksi
1. Perkuat Peran Manajer Proyek sebagai Leader, Bukan Hanya Administrator
Pemimpin proyek perlu dibekali soft skills seperti komunikasi, manajemen konflik, dan motivasi tim.
2. Reformasi Sistem Tender
Gabungkan aspek harga dan kualifikasi teknis untuk memilih kontraktor yang benar-benar kompeten.
3. Audit Desain Sejak Awal
Semua dokumen desain harus diverifikasi oleh tim independen sebelum tahap pelaksanaan.
4. Bangun Tim Terintegrasi Sejak Pra-Konstruksi
Libatkan semua aktor proyek—klien, konsultan, kontraktor—dalam perencanaan agar ada rasa memiliki bersama.
5. Penerapan Teknologi Seperti BIM dan ERP Konstruksi
Penggunaan teknologi dapat mempercepat alur komunikasi, pemantauan progres, dan pengendalian biaya.
6. Standardisasi Dokumen Kontrak dengan Klausul Penyelesaian Sengketa
Kontrak harus jelas dalam mengatur hak, kewajiban, serta mekanisme alternatif penyelesaian masalah seperti mediasi dan arbitrase.
Kritik dan Evaluasi Studi
Tesis ini sangat kuat dari sisi struktur metodologi dan komprehensif dalam pengelompokan faktor. Namun, perlu dicatat beberapa keterbatasan:
Konteks Global dan Perbandingan dengan Negara Lain
Temuan Puspasari sejalan dengan riset di negara lain. Di Indonesia, Kaming et al. (1997) mencatat bahwa 87% proyek high-rise mengalami keterlambatan dan 86% mengalami pembengkakan biaya karena faktor serupa: tenaga kerja, logistik, dan perencanaan yang lemah.
Sementara itu, di Arab Saudi, Assaf & Al-Hejji (2005) menemukan bahwa kurangnya komunikasi dan perubahan desain adalah faktor utama keterlambatan. Ini menunjukkan bahwa isu-isu yang sama muncul di berbagai belahan dunia, meskipun dalam konteks lokal yang berbeda.
Kesimpulan: Akar Masalah Bukan pada Satu Pihak, tapi pada Sistem Kolaborasi
Berdasarkan temuan dalam tesis ini, penyebab buruknya kinerja proyek konstruksi tidak dapat ditimpakan kepada satu aktor saja. Sebaliknya, yang diperlukan adalah reformasi sistemik yang menyentuh seluruh siklus hidup proyek, mulai dari tahap desain, kontraktual, hingga pelaksanaan.
Solusi terbaik bukanlah mencari kambing hitam, melainkan memperbaiki sistem komunikasi, manajemen risiko, dan kolaborasi lintas aktor. Tesis Tatiana Rina Puspasari memberikan peta jalan yang sangat berguna bagi para pengambil keputusan, akademisi, maupun praktisi untuk mulai melakukan perbaikan dari dasar.
Sumber:
Puspasari, T. R. (2005). Factors Causing the Poor Performance of Construction Project. Master’s Thesis, Faculty of Civil Engineering, Universiti Teknologi Malaysia.
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Kegagalan Konstruksi Bukan Semata Kecelakaan, Tapi Akumulasi Kesalahan Manajerial
Dalam dunia konstruksi, kegagalan proyek bukan hanya soal bangunan runtuh atau hasil yang tidak sesuai ekspektasi. Artikel ini secara tajam mengungkap bahwa kegagalan konstruksi lebih dalam dari itu—ia adalah cermin dari lemahnya sistem manajemen, ketidakefisienan penggunaan anggaran, serta minimnya pengawasan internal yang memadai.
Amariza dan Mulya merancang studi ini sebagai refleksi kritis terhadap praktik manajemen proyek yang selama ini dianggap cukup “berjalan” karena proyek selesai, meski diwarnai banyak penyimpangan yang terabaikan.
Studi dengan Sudut Pandang Realistis dan Fenomenologis
Berbeda dari riset kuantitatif berbasis angka semata, penelitian ini memanfaatkan pendekatan kualitatif fenomenologis. Observasi lapangan, wawancara mendalam, dan analisis dokumen dilakukan secara langsung di lingkungan proyek konstruksi, untuk menelisik mengapa perusahaan tetap bertahan meskipun mengabaikan banyak prinsip dasar manajemen proyek.
Data dikumpulkan dari perusahaan konstruksi dengan usia lebih dari 39 tahun, yang menurut peneliti bertahan lebih karena kekuatan relasi bisnis dan portofolio proyek berlapis (portofolio simultan), bukan karena sistem internal yang kokoh.
Manajemen Operasional: Peran Penting yang Masih Diabaikan
Penelitian ini menyatakan bahwa sebagian besar perusahaan konstruksi masih memandang manajemen operasional sekadar pelengkap, bukan fondasi. Lima fungsi utama yang semestinya dijalankan belum terlaksana secara maksimal:
Efisiensi: Penempatan pekerja tidak sesuai keahlian, jam kerja tidak terkontrol, dan pencatatan lembur yang longgar menimbulkan pembengkakan biaya gaji hingga melampaui batas Rencana Anggaran Biaya (RAB).
Produktivitas: Pembelian material sering tidak sesuai dengan kebutuhan aktual. Kelebihan jumlah disebabkan oleh miskomunikasi antara bagian pembelian dan bagian lapangan. Biaya tak terduga seperti ongkos kirim dan biaya penyambungan bahan pun tidak diantisipasi.
Ekonomi: RAP (Rencana Anggaran Proyek) dibuat tanpa rincian item biaya tertentu seperti premi asuransi proyek. Ketidakakuratan ini menyebabkan proyek dibiayai secara ad-hoc, menimbulkan tekanan pada arus kas perusahaan.
Empat Fungsi Manajemen yang Masih Minim Implementasinya
1. Perencanaan (Planning)
Secara dokumen, perencanaan terlihat matang. Tapi di lapangan, pelaksanaannya tidak sesuai. K3LMP (Kesehatan, Keselamatan Kerja, Lingkungan, Mutu, dan Pengamanan) tidak diawasi secara aktif. Akibatnya, standar keselamatan sering dilanggar.
2. Pengorganisasian (Organizing)
Struktur organisasi memang dibuat, tapi penempatan SDM tidak berdasarkan kompetensi. Bahkan, terdapat indikasi pembentukan struktur proyek demi kepentingan pribadi, seperti pengalihan laba hingga 45% secara tidak wajar dari laba seharusnya.
3. Kepemimpinan (Leading)
Aspek ini hampir absen. Tidak ada mekanisme formal untuk membina dan memotivasi staf. Komunikasi vertikal maupun horizontal minim, padahal ini adalah kunci dalam penyelesaian masalah proyek yang dinamis.
4. Pengendalian (Controlling)
Tidak ada tim pengawas khusus. Penyimpangan prosedur, pengeluaran tak terduga, dan deviasi progres proyek tidak terdeteksi sejak dini. Kontrol hanya dilakukan reaktif, bukan preventif.
Internal Control System (SPI): Komponen Vital yang Terabaikan
Salah satu sorotan penting dari studi ini adalah lemahnya penerapan Sistem Pengendalian Intern (SPI). Tanpa SPI yang berjalan, perusahaan tidak mampu menjamin keandalan laporan keuangan, efisiensi operasional, serta kepatuhan terhadap peraturan.
Konsekuensi dari lemahnya SPI adalah laporan keuangan yang tidak merefleksikan kondisi riil perusahaan. Hal ini berisiko menurunkan kredibilitas di hadapan mitra bisnis, bank, maupun investor.
Mengapa Perusahaan Bisa Bertahan Meski Banyak Kegagalan?
Peneliti menyebut bahwa perusahaan tetap eksis selama lebih dari tiga dekade karena dua hal:
Perusahaan mengelola 4–6 proyek sekaligus. Kerugian dari satu proyek ditutup dari keuntungan proyek lain. Praktik ini dikenal sebagai cross-subsidy, meski tidak sehat dalam jangka panjang.
Layanan yang responsif dan komunikasi informal yang intens menjadi kekuatan perusahaan dalam memenangkan kepercayaan klien, bahkan ketika pengelolaan internal tidak ideal.
Studi Kasus: Pembengkakan Biaya karena Kesalahan Sederhana
Salah satu contoh konkret dalam studi ini adalah pembelian material besi yang salah spesifikasi. Akibatnya, perlu dilakukan pengembalian dan pengiriman ulang. Biaya transportasi tambahan yang tidak tercantum dalam RAP menjadi beban baru yang tidak terkalkulasi sebelumnya.
Kritik terhadap Praktik yang Ada: Strategi Bertahan atau Bom Waktu?
Meski pendekatan survival through relationship masih bisa berjalan dalam jangka pendek, praktik semacam ini tidak berkelanjutan. Risiko reputasi, inefisiensi berulang, dan potensi sengketa kontrak bisa meledak kapan saja. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan transformasi menyeluruh dalam sistem pengelolaan proyek.
Rekomendasi Kunci dari Penelitian Ini
Minimal terdiri dari personel audit internal, manajer lapangan, dan staf administrasi proyek yang rutin melakukan inspeksi.
Rotasi karyawan perlu berbasis kompetensi, bukan kedekatan atau loyalitas.
RAP harus menjadi dokumen hidup yang direvisi sesuai perubahan desain, harga bahan baku, dan kebijakan baru.
Pertemuan mingguan antardivisi wajib dilakukan untuk deteksi dini masalah.
Supplier yang tidak fleksibel atau tidak kooperatif perlu diganti untuk menjaga kelancaran pasokan.
Kesimpulan: Kunci Perubahan Ada pada Niat dan Aksi Serius
Penelitian ini memberi cermin bahwa banyak kegagalan proyek konstruksi bukan karena faktor eksternal seperti cuaca atau peraturan pemerintah, melainkan karena lemahnya tata kelola internal. Manajemen operasional yang dijalankan secara minimalis, tanpa pengawasan yang memadai, pada akhirnya berdampak langsung terhadap efisiensi biaya, kualitas hasil, dan kredibilitas perusahaan.
Jika perusahaan ingin bertahan tidak hanya karena relasi personal tetapi karena kompetensi profesional, maka reformasi manajemen harus dimulai dari sekarang. Transformasi menuju konstruksi modern dan berdaya saing membutuhkan perencanaan matang, pelaksanaan disiplin, serta evaluasi berkelanjutan.
Sumber:
Amariza, M., & Mulya, H. (2019). The Basic Aspects of the Failures Resulted in the Failure of the Construction. Scholars Bulletin, 5(11), 648–657. DOI:10.36348/sb.2019.v05i11.008
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025
Pendahuluan: Tantangan Global di Balik Pembangunan Fisik
Konstruksi bangunan adalah salah satu sektor paling krusial dalam pembangunan ekonomi, namun ironisnya juga paling rentan terhadap kegagalan proyek dan pembengkakan biaya. Artikel ilmiah dari Shakir Iqbal dkk. dalam Pakistan Journal of Humanities and Social Sciences (2024) menyajikan tinjauan mendalam terhadap faktor-faktor penyebab kegagalan proyek dan pembengkakan biaya dalam industri konstruksi gedung di Pakistan, menggunakan pendekatan mixed-methods yang menggabungkan survei dan wawancara ahli.
Dalam resensi ini, kita akan mengupas temuan-temuan utama dari paper tersebut, disertai dengan interpretasi dan studi kasus yang relevan dengan kondisi lapangan. Resensi ini juga menambahkan opini kritis, perbandingan global, serta solusi untuk memperkuat analisis yang aplikatif dan kontekstual.
Mengapa Proyek Konstruksi Gagal: Pandangan Makro dan Mikro
Faktor penyebab kegagalan proyek bukan sekadar hasil dari satu sumber tunggal. Penelitian ini mengidentifikasi lima penyebab utama yang dominan di Pakistan, yakni:
1. Desain buruk dan perubahan desain berulang
2. Birokrasi dan korupsi
3. Manajemen proyek yang lemah
4. Manajemen lokasi proyek yang tidak efektif
5. Kualitas bangunan yang rendah
Dengan skor tertinggi pada survei sebesar 3.83 dari skala 5, desain buruk dan perubahan desain berulang menjadi akar masalah utama. Hal ini senada dengan berbagai kasus di negara berkembang lainnya, seperti pembangunan apartemen di India yang mangkrak akibat revisi desain tanpa koordinasi dengan kontraktor.
Permasalahan desain bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga administratif dan struktural. Kerap kali keputusan perubahan desain datang dari pihak klien yang tidak memahami konsekuensi teknis maupun anggaran. Ketidaktegasan dalam dokumentasi desain serta kurangnya sistem validasi (design review) menjadi celah besar dalam proses konstruksi.
Studi Kasus: Proyek Flyover Lahore (2018)
Proyek jembatan layang di Lahore pada 2018 mengalami pembengkakan biaya hampir 28% dari estimasi awal, terutama karena kesalahan desain awal dan perubahan spesifikasi material. Akibatnya, proyek molor enam bulan dan menimbulkan protes publik. Ini mencerminkan temuan bahwa desain buruk bisa berdampak sistemik.
Di sisi lain, ketidakefisienan proyek sering kali diperburuk oleh ketidaktepatan pengambilan keputusan. Contoh nyata lain adalah proyek apartemen pemerintah di Karachi yang terhenti selama lebih dari setahun akibat perubahan desain arsitektur, tanpa revisi yang sepadan dalam manajemen anggaran dan jadwal.
Korupsi dan Birokrasi: Penghambat Tak Kasat Mata
Faktor birokrasi dan korupsi menempati skor tinggi (3.81), mencerminkan betapa pengadaan proyek seringkali dikaburkan oleh praktik nepotisme dan pungli. Transparansi kontrak dan integritas lembaga menjadi krusial. Proyek yang dikuasai oleh jaringan elite lokal kerap memprioritaskan kepentingan politik daripada efisiensi teknis.
Sebagai pembanding, sistem open contracting yang diterapkan di Kolombia berhasil menurunkan biaya pembangunan infrastruktur publik hingga 21% dengan meningkatkan keterbukaan data proyek. Transparansi digital, pelibatan publik, dan audit independen terbukti efektif untuk memitigasi biaya tersembunyi akibat korupsi.
Biaya Proyek Membengkak: Apa Penyebabnya?
Dalam aspek pembengkakan biaya (cost overrun), penelitian ini menyoroti lima faktor utama:
1. Perencanaan awal yang lemah (skor 4.05)
2. Ketidakstabilan ekonomi nasional (skor 3.99)
3. Situasi politik (skor 3.87)
4. Estimasi biaya proyek yang buruk (skor 3.86)
5. Kondisi cuaca buruk (skor 3.84)
Perencanaan awal yang lemah sering kali berkaitan dengan data awal yang tidak akurat, survei geoteknik yang terbatas, serta ketidaksiapan dalam pengelolaan risiko. Akibatnya, ketika proyek berjalan, muncul banyak perubahan dan tambahan pekerjaan yang seharusnya sudah bisa diprediksi.
Kondisi ekonomi dan fluktuasi harga material juga memperparah situasi. Di Pakistan, seperti di banyak negara berkembang, nilai tukar mata uang yang tidak stabil dan inflasi tahunan membuat prediksi biaya jangka panjang menjadi sulit. Proyek yang memakan waktu lebih dari dua tahun rentan terhadap kenaikan harga besi, semen, dan upah buruh.
Analisis Wawancara: Validasi Lapangan dari Praktisi
Sebelas profesional dari berbagai latar belakang konstruksi di Pakistan diwawancara dan hampir semuanya sepakat bahwa:
adalah akar utama dari kegagalan proyek dan pembengkakan biaya. Responden juga menyatakan bahwa keterlambatan keputusan dari klien turut memperparah situasi, terutama dalam proyek pemerintah. Proyek yang tergantung pada anggaran tahunan juga sangat rentan tertunda jika alokasi dana tidak cair tepat waktu.
Salah satu responden dari perusahaan konsultan menyatakan bahwa proyek pemerintah sering gagal karena dokumentasi tender yang tidak lengkap dan peran konsultan yang dibatasi oleh birokrasi politik. Ini menunjukkan pentingnya desentralisasi teknis dan peningkatan otonomi manajerial pada proyek-proyek skala besar.
Pendekatan Mixed-Methods: Keunggulan dalam Riset Konstruksi
Salah satu kelebihan dari studi ini adalah penggunaan pendekatan campuran (kuantitatif + kualitatif), yang memberikan kedalaman dan konteks terhadap data survei. Hal ini menjadikannya lebih aplikatif di dunia nyata dibanding studi kuantitatif murni. Temuan kuantitatif yang diukur dari skor rata-rata diperkuat oleh narasi wawancara yang memperlihatkan tantangan lapangan secara langsung.
Metode seperti ini seharusnya menjadi model untuk studi manajemen konstruksi di negara berkembang, di mana dinamika sosial, politik, dan kelembagaan sangat berpengaruh terhadap hasil proyek.
Komparasi Global: Apakah Pakistan Unik?
Tidak sepenuhnya. Studi serupa di Malaysia, Nigeria, dan India menunjukkan pola yang hampir sama: lemahnya estimasi biaya, fluktuasi harga material, dan intervensi politik. Artinya, masalah ini bersifat universal, namun solusinya harus disesuaikan dengan konteks lokal.
Di Nigeria, misalnya, studi oleh Olatunji (2019) menunjukkan bahwa proyek yang melibatkan banyak pihak cenderung lebih sering gagal karena komunikasi yang tidak sinkron. Sementara itu, di India, pendekatan Public-Private Partnership (PPP) mulai banyak diterapkan untuk membagi risiko antara pemerintah dan swasta.
Solusi dan Rekomendasi Praktis
Penulis menyarankan beberapa langkah konkret untuk menekan risiko kegagalan proyek:
Selain itu, penulis merekomendasikan agar sistem pemantauan proyek dilakukan oleh lembaga independen agar lebih objektif. Penerapan ISO 21500 tentang project management juga disarankan sebagai standar acuan.
Opini Tambahan: Reformasi Kontrak dan Partisipasi Stakeholder
Dalam konteks proyek publik, penting untuk menyusun kontrak dengan sistem reward-penalty dan milestone-based payment agar semua pihak terdorong bekerja sesuai jadwal. Kontrak perlu menekankan transparansi, fleksibilitas teknis, dan sanksi terhadap keterlambatan atau kegagalan proyek.
Selain itu, keterlibatan komunitas pengguna akhir juga penting untuk menekan perubahan desain di tengah jalan. Partisipasi masyarakat dapat mencegah proyek tidak sesuai kebutuhan dan memperkuat legitimasi sosial proyek.
Penutup: Menuju Konstruksi yang Lebih Adaptif dan Transparan
Kegagalan proyek dan pembengkakan biaya adalah momok lama dalam industri konstruksi. Paper ini berhasil menyajikan peta penyebab yang tidak hanya teknikal, tapi juga struktural dan politis. Dengan penguatan kapasitas manajerial, tata kelola proyek yang transparan, serta adopsi teknologi, industri konstruksi di Pakistan – dan negara berkembang lain – dapat menuju transformasi yang lebih positif.
Lebih penting lagi, studi ini menyadarkan kita bahwa kegagalan proyek bukanlah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Dengan sistem yang lebih adaptif dan stakeholder yang lebih kompeten, proyek pembangunan dapat mencapai hasil maksimal: tepat waktu, tepat guna, dan tepat biaya.
Sumber Asli:
Iqbal, S., Nawaz, M. J., Hamza, A., Khan, H. A., Butt, M. M., & Maqsood, A. (2024). Analyzing the Causes of Project Failure and Cost Overruns in Building Construction Industry by Using a Mixed-Methods Approach. Pakistan Journal of Humanities and Social Sciences, 12(2), 1898–1916. DOI: 10.52131/pjhss.2024.v12i2.2311
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025
Pendahuluan: Relevansi Isu Kualitas Bangunan di Daerah Rawan Bencana
Wilayah rawan bencana seperti Kota Padang di Sumatera Barat menyimpan tantangan tersendiri dalam pengembangan infrastruktur, khususnya sektor konstruksi bangunan. Dalam konteks ini, kualitas struktur bangunan tak sekadar menjadi aspek teknis, melainkan urusan vital yang menyangkut keselamatan jiwa manusia. Artikel ilmiah yang ditulis oleh Akhmad Suraji, Benny Hidayat, dan Afdaluz Zaki dalam E3S Web of Conferences (ICDMM 2023) menyoroti secara sistematis potensi kecacatan (defects) dan kegagalan (failures) dalam proyek konstruksi gedung di Padang—sebuah wilayah yang tergolong zona merah rawan gempa bumi.
Tulisan ini menyajikan resensi ilmiah atas paper tersebut dengan memadukan parafrase, analisis tambahan, kritik, serta komparasi terhadap tren industri dan studi global, demi menghasilkan pemahaman utuh sekaligus aplikatif.
Latar Belakang: Kebutuhan Mendesak akan Konstruksi Tahan Bencana
Menurut data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, pusat gempa utama di wilayah Sumatera Barat berada di Kepulauan Mentawai dan pesisir Sumatera Barat, dengan intensitas lebih dari VIII MMI. Artinya, bangunan di Padang wajib memenuhi standar teknis ketahanan gempa. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan masih banyaknya potensi kegagalan struktural akibat cacat konstruksi.
Studi ini dilakukan pada tiga proyek bangunan berbeda: gedung kantor, gedung perpustakaan, dan laboratorium. Pendekatannya adalah kualitatif deskriptif dengan metode grounded theory, memungkinkan penyusunan teori berdasarkan data lapangan secara induktif.
Identifikasi Kecacatan Konstruksi: Masalah Struktural dan Non-Struktural
Penelitian ini membedakan antara kecacatan (defects) dan kegagalan (failures):
Dalam proyek gedung kantor, ditemukan beberapa kecacatan serius seperti:
Selain itu, terjadi keropos pada permukaan kolom akibat pemadatan beton yang kurang optimal. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara pelaksanaan konstruksi dan spesifikasi teknis.
Faktor Kontributor Kegagalan: Dari Kesalahan Desain hingga Cuaca Ekstrem
Studi ini membagi penyebab cacat dan kegagalan menjadi tiga kategori:
1. Faktor Teknis Konstruksi
Contoh: Pada proyek di Kota Semarang, kerusakan beton terjadi akibat pembongkaran bekisting terlalu dini dan campuran beton yang tidak sesuai.
2. Faktor Manajerial
Hal ini memperlihatkan lemahnya koordinasi lintas tim di lapangan, serta minimnya evaluasi berkala saat proyek berlangsung.
3. Faktor Human Error
Misalnya, proyek kantor mengalami hambatan operasional karena kekurangan pasokan listrik akibat salah desain. Selain itu, keramik rusak karena terkena puing dari atap yang belum terpasang.
Grounded Theory sebagai Landasan Analisis: Memetakan Akar Masalah dari Lapangan
Metodologi grounded theory dalam riset ini dilakukan melalui tiga tahap utama:
Pendekatan ini memudahkan penyusunan kesimpulan berbasis bukti nyata. Hasilnya, dapat disimpulkan bahwa:
Implikasi Kegagalan Struktural di Wilayah Rawan Gempa
Kondisi Padang sebagai wilayah rawan gempa menjadikan setiap bentuk kecacatan struktural sebagai potensi besar kegagalan fatal. Misalnya, porositas beton dan defleksi balok jika tidak diperbaiki, akan menurunkan daya dukung struktural bangunan saat terjadi getaran seismik.
Pemilihan fondasi yang tepat, seperti penggunaan sistem Konstruksi Jaringan Rangka Beton (KJRB), menjadi alternatif penting untuk mengatasi kondisi tanah lunak. Fondasi ini terbukti lebih stabil dibanding sistem Konstruksi Sarang Laba-laba (KSLL) dalam menghadapi beban dinamis akibat gempa.
Studi Kasus Tambahan: Relevansi Praktik Konstruksi di Wilayah Lain
Penemuan cacat struktural seperti kolom keropos dan sambungan balok yang rapuh juga ditemukan di proyek perumahan di Yogyakarta dan Bali. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan serupa tidak eksklusif terjadi di Padang. Dalam konteks global, studi oleh Chong dan Low (2005) menyatakan bahwa 35% kegagalan konstruksi di Asia Tenggara dipicu oleh kualitas material dan manajemen yang buruk.
Mitigasi dan Rekomendasi: Strategi Perbaikan Komprehensif
Untuk mengatasi potensi kegagalan, peneliti menyarankan langkah-langkah mitigatif sebagai berikut:
Untuk cacat teknis:
Untuk cacat manajerial:
Untuk kesalahan manusia:
Opini Kritis: Perlu Kebijakan Sistemik dan Teknologi Modern
Penelitian ini memang komprehensif, namun belum menyinggung peran teknologi dalam mencegah kecacatan konstruksi. Padahal penggunaan Building Information Modeling (BIM) dan drones untuk inspeksi struktur bisa menjadi solusi digital yang murah dan efisien.
Pemerintah daerah juga perlu membentuk tim audit teknis independen untuk mengevaluasi proyek sejak tahap perencanaan. Integrasi teknologi, pengawasan ketat, dan manajemen risiko berbasis data adalah masa depan konstruksi tahan bencana.
Kesimpulan: Menuju Bangunan Berkualitas di Daerah Rawan Bencana
Paper ini menjadi rujukan penting dalam memahami dan mengantisipasi kegagalan bangunan di daerah rawan gempa. Temuan utamanya menunjukkan bahwa:
Sumber Asli Paper:
Suraji, A., Hidayat, B., & Zaki, A. (2023). Potential Defects and Failures in Building Industry. E3S Web of Conferences 464, 07007. 2nd ICDMM 2023. https://doi.org/10.1051/e3sconf/202346407007