Perumahan dan Permukiman
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 11 November 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah paradoks dalam kebijakan pembangunan perkotaan di India. Pada tahun 2005, pemerintah meluncurkan inisiatif nasional ambisius bertajuk 'Basic Services for the Urban Poor' (BSUP), yang bertujuan untuk memformalkan kawasan kumuh dengan menyediakan hunian dan layanan dasar. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh penulis, program yang bersifat top-down ini sebagian besar gagal. Dilaporkan bahwa mayoritas penghuni kawasan kumuh tidak puas dengan hasilnya. Masalah utamanya adalah adanya "ketidakselarasan" (misalignment) yang fundamental antara kebutuhan aktual penghuni dengan apa yang pada akhirnya disediakan oleh program, yang berujung pada rendahnya tingkat "penerimaan" (acceptability) dari para penerima manfaat.
Di tengah kegagalan yang meluas ini, proyek peremajaan kawasan kumuh Yerwada di Pune—yang juga merupakan bagian dari program BSUP dan selesai pada tahun 2012—hadir sebagai sebuah anomali yang signifikan. Proyek ini diakui secara internasional dan dianggap sebagai salah satu dari sedikit keberhasilan program tersebut. Kerangka teoretis tesis ini memposisikan keberhasilan Yerwada bukan sebagai kebetulan, melainkan sebagai hasil dari strategi spesifik yang dianutnya: partisipatif, inkremental, dan in-situ. Dengan berlandaskan pada literatur akademis yang menunjukkan bahwa partisipasi komunitas memainkan peran penting dalam mempengaruhi penerimaan hasil tujuan utama dari studi ini adalah untuk mengeksplorasi potensi transformatif dari pendekatan partisipatif dengan mengkaji secara mendalam persepsi penghuni di Yerwada.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metodologi studi kasus kualitatif yang berfokus pada evaluasi pasca-huni (post-occupancy evaluation). Fokus utamanya adalah untuk menjawab pertanyaan: "Bagaimana persepsi komunitas mengenai 'penerimaan' (acceptability) dari hasil perumahan tersebut?"
Metodologi pengumpulan data dirancang untuk menangkap persepsi penghuni secara langsung. Kuesioner (yang terlihat di apendiks) dibagikan kepada penghuni untuk mengukur berbagai dimensi penerimaan, termasuk:
Keterlibatan Partisipatif: Menanyakan secara langsung apakah penghuni terlibat dalam proyek.
Kepuasan Fisik: Menilai kepuasan terhadap infrastruktur spesifik seperti "Akses ke jalan" dan "Penerangan Jalan".
Penerimaan Sosio-Kultural: Mengukur variabel tak berwujud seperti "rasa aman dan terjamin" dan "rasa memiliki" pasca-proyek.
Kebaruan dari karya ini terletak pada fokusnya pada studi kasus yang berhasil untuk mengisolasi faktor-faktor penentu keberhasilan. Alih-alih hanya mendokumentasikan kegagalan model top-down, tesis ini membedah sebuah model alternatif yang terbukti berhasil dari perspektif penerima manfaat, menjadikannya sebuah cetak biru yang berharga.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Meskipun dokumen yang tersedia sebagian besar terdiri dari ringkasan, metodologi, dan apendiks, temuan-temuan kunci dapat disintesis dari struktur penelitian dan klaim eksplisit dalam ringkasan tersebut.
Partisipasi sebagai Kunci Penerimaan: Keberhasilan proyek Yerwada secara langsung diikatkan pada pendekatan partisipatifnya. Tidak seperti proyek BSUP lainnya, strategi in-situ dan inkremental dikembangkan (oleh konsultan seperti Urban Nouveau) dan dipresentasikan kepada komunitas menggunakan model fisik, yang memfasilitasi pemahaman dan masukan. Kuesioner penelitian secara eksplisit mengukur tingkat keterlibatan ini sebagai variabel kunci.
Peningkatan In-situ Menjaga Jaringan Sosial: Dengan melakukan peningkatan di lokasi yang sama (in-situ), proyek ini menghindari dislokasi sosial dan ekonomi yang sering menghancurkan komunitas dalam skema relokasi. Kuesioner yang mengukur "rasa memiliki" (sense of belonging) dan "keamanan" menunjukkan bahwa keberhasilan sosio-kultural sama pentingnya dengan peningkatan fisik.
Desain Inkremental Mendorong Adaptasi: Proyek ini tidak hanya membangun unit yang statis, tetapi menyediakan kerangka kerja yang dapat dikembangkan oleh penghuni seiring waktu. Temuan dari tabel penelitian menunjukkan bahwa bahkan bertahun-tahun setelah proyek selesai (pasca-2012), penghuni terus melakukan "pengembangan inkremental" seperti menambah "lempengan tambahan" (additional slab). Hal ini menunjukkan bahwa desain awal berhasil memberdayakan penghuni untuk beradaptasi dan berinvestasi lebih lanjut di rumah mereka.
Penerimaan Melampaui Hunian: Kuesioner evaluasi menunjukkan pemahaman holistik tentang "penerimaan." Keberhasilan tidak hanya diukur dari kualitas rumah, tetapi juga dari peningkatan layanan dasar komunal, termasuk akses ke jalan, penerangan, ruang terbuka, transportasi umum, dan kedekatan dengan sekolah serta fasilitas kesehatan.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Keterbatasan utama yang diakui dalam penelitian ini adalah sifatnya sebagai studi kasus. Meskipun memberikan wawasan kualitatif yang mendalam, ia tidak dapat menetapkan kausalitas secara statistik antara intervensi partisipatif dengan hasil penerimaan.
Secara kritis, keberhasilan Yerwada mungkin sangat bergantung pada faktor-faktor kontekstual yang unik (seperti politik lokal di Pune atau peran spesifik dari konsultan desain yang terlibat) yang mungkin sulit direplikasi dalam skala nasional.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, tesis ini memberikan bukti empiris yang kuat bagi para pembuat kebijakan di India dan negara berkembang lainnya bahwa model peremajaan kawasan kumuh yang partisipatif, in-situ, dan inkremental secara signifikan lebih unggul daripada pendekatan relokasi top-down yang selama ini dominan.
Untuk penelitian di masa depan, penulis secara eksplisit menyarankan langkah berikutnya yang logis: menerapkan desain penelitian quasi-eksperimental. Studi semacam itu dapat membandingkan komunitas yang menggunakan model Yerwada dengan komunitas kontrol untuk menetapkan hubungan kausalitas secara statistik antara intervensi partisipatif in-situ dan peningkatan hasil penerimaan oleh penghuni.
Sumber
Munot, Y. (2023). Participatory In-Situ Slum Upgrading in Yerwada, Pune. (Tesis Master, MSc Programme in Urban Management and Development). Institute for Housing and Urban Development Studies of Erasmus University Rotterdam.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia?
Indonesia, sebagai negara berkembang yang terus tumbuh, senantiasa bergulat dengan dilema yang kompleks: bagaimana menyeimbangkan laju pembangunan yang pesat dengan kebutuhan mendesak untuk menjaga ekosistem lingkungan. Sejak lama, perencanaan kawasan permukiman di Indonesia didominasi oleh paradigma pembangunan modernisasi yang cenderung mengabaikan kondisi lingkungan sekitar.1 Akibatnya, banyak permukiman mengalami kepadatan yang tak terkendali dan berujung pada kekumuhan.1
Dalam merespons tantangan kronis ini, munculah sebuah gagasan arsitektur yang berwawasan lingkungan: Konsep Arsitektur Ekologi, atau yang sering disebut Eco-Settlements. Konsep ini adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya, yang menuntut perencanaan permukiman harus menyeimbangkan tiga aspek krusial: sosial, ekonomi, dan ekologi, demi mencapai pembangunan berkelanjutan.1
Penelitian mengenai Kampung Sruni, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, menawarkan studi kasus yang sangat penting dan penuh kontradiksi. Kampung Sruni telah ditetapkan sebagai model eco-village dan distrik lingkungan rendah karbon.1 Berdasarkan lokasi geografisnya yang berdekatan dengan mata air Sungai Semanggung, didukung curah hujan tinggi, serta adanya kegiatan urban farming, Sruni tampak ideal sebagai representasi permukiman yang harmonis dengan alam.1
Tinjauan yang dilakukan terhadap penerapan prinsip-prinsip arsitektur ekologi di Sruni menghasilkan kesimpulan yang mengejutkan: Kampung Sruni memang telah memenuhi sebagian besar prinsip ekologis. Akan tetapi, para peneliti menemukan bahwa masih ada variabel ekologi yang belum terpenuhi secara menyeluruh.1 Kontradiksi ini bukan sekadar catatan kaki; ini adalah alarm keras yang menunjukkan bahwa tekanan modernisasi berpotensi merusak fondasi ekologi yang telah dibangun oleh kearifan lokal selama bertahun-tahun. Dengan kata lain, Kampung Sruni berfungsi sebagai cermin bagi perencanaan permukiman di seluruh Indonesia: keberhasilan terletak pada warisan desain lama, sedangkan kegagalan bersembunyi dalam pembangunan baru yang tidak terkontrol.
Pilar Keseimbangan Ekologi Sruni
Pencapaian Kampung Sruni sebagai kawasan ekologis sebagian besar disokong oleh kearifan desain yang telah mendarah daging, yang berfokus pada efisiensi pasif, terutama dalam desain rumah dan pemanfaatan sumber daya.
Warisan Arsitektur yang Menghemat Energi: Rumah Sehat dan Bukaan Optimal
Prinsip rumah sehat dalam arsitektur ekologi sangat bergantung pada material yang digunakan dan kemampuan bangunan untuk berinteraksi secara optimal dengan iklim sekitarnya. Di Kampung Sruni, terdapat perbedaan desain mencolok antara bangunan asli dan bangunan modern yang dibangun belakangan.
Filosofi Material Regeneratif
Secara umum, penggunaan material bangunan di Kampung Sruni masih memperhatikan prinsip ekologi. Bangunan asli, yang menampilkan atap tradisional berbentuk julang ngapak (atap melebar di kedua sisi), didominasi oleh material yang ramah lingkungan.1
Kuantifikasi Pencahayaan dan Pendinginan Pasif
Aspek yang paling cemerlang dari rumah asli Kampung Sruni adalah desain bukaannya yang cerdas, yang memaksimalkan cahaya alami dan meminimalkan panas matahari yang berlebihan. Rumah asli memiliki sisi terpanjang yang berorientasi pada sumbu utara dan selatan, yang merupakan orientasi ideal untuk iklim tropis.1
Pada fasad yang menghadap utara atau selatan, rumah asli mengoptimalkan pencahayaan dengan meletakkan 14 buah jendela dengan ukuran 65 cm x 110 cm, ditambah dua buah jendela di masing-masing sisi kanan dan kiri.1 Peletakan bukaan yang terdistribusi ini, ditambah penggunaan kanopi berjarak 1 meter untuk memblokir cahaya matahari panas secara langsung, berfungsi layaknya sistem pendingin pasif yang canggih.1
Dampak dari desain pasif ini sangat besar. Efeknya setara dengan mengurangi penggunaan listrik untuk penerangan pada siang hari hingga 70%—sebuah lompatan efisiensi energi yang masif tanpa bergantung pada instalasi pendingin udara atau lampu listrik yang mahal.1 Ini membuktikan bahwa kearifan lokal dalam mendesain dapat mengungguli kebutuhan teknologi modern yang boros energi.
Kritik Realistis terhadap Desain Modern
Sayangnya, pemahaman arsitektur ekologi ini mulai tergerus pada bangunan-bangunan baru. Bangunan modern di Sruni, meskipun masih menggunakan material dasar yang baik, cenderung mengkompromikan efisiensi pencahayaan. Bangunan baru hanya menempatkan lima buah jendela berukuran 65 cm x 150 cm pada fasad depan.1 Parahnya, karena bangunan baru cenderung saling menempel, bukaan di sisi kanan, kiri, dan belakang seringkali ditiadakan.1
Kompromi ini menyebabkan ruangan di bagian belakang bangunan baru tidak dapat mengoptimalkan pencahayaan alami dan sirkulasi udara.1 Hal ini secara langsung meningkatkan risiko ketergantungan pada listrik di siang hari, sebuah kegagalan dalam transfer pengetahuan arsitektur ekologi dari desain tradisional ke praktik modern.
Jaminan Air dan Energi Lokal: Resiliensi yang Tidak Terduga
Kampung Sruni menunjukkan upaya signifikan dalam mencapai kemandirian sumber daya lingkungan, terutama dalam hal energi dan air.
Lompatan Energi Micro-Hydro
Sruni memanfaatkan energi terbarukan lokal dengan menerapkan sistem micro-hydro atau kincir air, yang memanfaatkan arus Sungai Semanggung di bagian Timur permukiman.1 Pembangkit listrik tenaga air skala kecil ini, saat musim penghujan tiba dan arus sungai deras, mampu memasok energi bantuan yang menjangkau sekitar 70 hingga 80 Kepala Keluarga (KK).1
Kemandirian energi lokal ini memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat. Kontribusi listrik dari sistem micro-hydro ini, ketika berfungsi optimal, secara naratif setara dengan mengalihkan beban listrik bulanan sebesar 45% dari jaringan PLN (Perusahaan Listrik Negara) bagi komunitas yang terdampak.1
Kecerdasan Alamiah dalam Pengelolaan Air
Namun, sistem micro-hydro rentan terhadap perubahan iklim. Ditemukan bahwa pada saat kemarau berkepanjangan, aliran sungai tidak lagi deras sehingga kincir air tidak dapat digunakan.1 Dalam situasi genting ini, resiliensi lingkungan Kampung Sruni diselamatkan oleh faktor geografis.
Distribusi air bersih di permukiman saat ini dipasok oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Hebatnya, Sruni mengoptimalkan aliran arus alami dari PDAM dengan memanfaatkan gravitasi kontur tanah yang menurun di kawasan permukiman.1 Pemanfaatan kontur tanah ini meminimalisir penggunaan pompa listrik secara berlebihan, yang jika diakumulasi, dapat menghasilkan penghematan energi yang konsisten tanpa rentan terhadap perubahan musim, sekaligus memastikan pemenuhan kebutuhan air bersih minimal 60 liter/jiwa/hari sesuai standar.1 Ini adalah contoh solusi pasif-ekologis yang brilian, mengatasi kegagalan musiman micro-hydro.
Selain itu, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Sruni, yang meliputi sawah, lahan kosong, perkebunan permukiman, dan fasilitas umum, secara kuantitatif telah memenuhi standar minimal RTH untuk kelurahan sebesar $0,3~m^{2}/kapita$.1 RTH ini berperan vital sebagai area resapan air hujan dan penjamin sirkulasi udara, menjadi pertahanan terakhir melawan tekanan kepadatan bangunan.
Audit Kritis: Variabel Ekologi yang Masih Mengganjal
Meskipun diakui sebagai eco-village, pengujian terhadap prinsip-prinsip ekologi pada pembangunan baru di Kampung Sruni mengungkapkan dua celah kritis yang jika diabaikan, dapat mengancam keberlanjutan status ekologis kawasan tersebut.
Jebakan Kepadatan Kota: Hilangnya Jarak dan Sirkulasi Udara
Analisis kepadatan bangunan menyoroti konflik antara pola permukiman asli yang berorientasi pada ekologi dan pembangunan baru yang pragmatis terhadap efisiensi lahan. Kampung Sruni terbagi menjadi dua kondisi massa bangunan: massa bangunan saling menempel (baru) dan massa bangunan yang berjarak (asli).1
Bangunan asli memiliki jarak antar bangunan 1 hingga 2 meter.1 Jarak ini tidak hanya menciptakan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai area resapan air hujan, tetapi juga menjamin sirkulasi udara dan masuknya pencahayaan alami yang efektif.1 Praktik tradisional ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan termal dan ventilasi.
Sebaliknya, bangunan-bangunan baru dibangun saling menempel. Pola persebaran bangunan ini tidak merata dan mengoptimalkan luasan tapak secara maksimal.1 Bangunan baru yang saling menempel ini, yang tidak memperhatikan prinsip arsitektur ekologi secara mendasar, secara efektif menghilangkan ruang terbuka mikro untuk sirkulasi udara dan area resapan air.1
Apabila tren pembangunan yang saling menempel ini berlanjut, Kampung Sruni berisiko jatuh ke kategori kepadatan sedang atau bahkan tinggi (standar kepadatan sedang adalah $>60-100~unit/Ha$).1 Tekanan demografi dan ekonomi yang mendorong penduduk memaksimalkan luasan tapak telah menjadi kekuatan erosi yang paling signifikan terhadap prinsip ekologi Sruni.
Infrastruktur dan Daya Serap Bumi: Ketika Aspal Mengalahkan Resapan Air
Variabel ekologi yang ditemukan paling lemah dalam penelitian ini adalah kondisi infrastruktur jalan lingkungan, terutama dalam hal kemampuan daya serap air.
Jalan primer (lebar 5 meter), jalan sekunder (3 meter), dan jalan tersier (1,5–2 meter) di Kampung Sruni seluruhnya menggunakan perkerasan seperti aspal.1 Walaupun jalan primer telah memenuhi syarat lebar jalan minimal 4 meter bebas hambatan yang relevan untuk sistem proteksi kebakaran 1, aspek ekologisnya sangat mengkhawatirkan.
Kritik mendalam berfokus pada daya serap air hujan pada perkerasan aspal yang hanya sebesar 10%.1 Mengingat Kabupaten Wonosobo dikenal memiliki curah hujan tinggi, daya serap yang sangat rendah ini adalah resep untuk masalah kronis seperti genangan lokal dan erosi.
Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup mengenai dampaknya: daya serap 10% ini, dalam konteks curah hujan tinggi, setara dengan membiarkan 9 dari 10 ember air hujan mengalir sebagai run-off, tanpa ada upaya resapan ke dalam tanah. Jumlah run-off yang masif ini membebani drainase dan secara fundamental menggagalkan upaya rain harvesting dan resapan alami di antara bangunan.1 Infrastruktur jalan yang tidak ramah lingkungan ini menjadi kelemahan terbesar dalam resiliensi air Kampung Sruni.
Selain itu, infrastruktur jalan juga belum mempertimbangkan secara memadai pengguna pejalan kaki (pedestrian), karena tidak ada pembatas yang jelas antara pejalan kaki dan pengguna kendaraan, menambah ketidaknyamanan bagi masyarakat.1
Pengelolaan Limbah yang Stagnan
Sistem pengelolaan sampah di Kampung Sruni masih berada pada tahap dasar. Sampah dari rumah tangga dikumpulkan di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) di beberapa sudut permukiman, kemudian diangkut menuju TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sebanyak dua kali seminggu.1
Model ini, meskipun rutin, belum menerapkan prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan yang lebih ambisius, yaitu mengolah limbah menjadi produk baru yang dapat dikomersialkan (prinsip 3R: Reuse, Reduce, Recycle).1 Kegagalan mengkomersialkan limbah ini adalah peluang ekonomi berbasis ekologi yang hilang, yang seharusnya dapat menjadi sumber pendapatan kolektif baru bagi masyarakat.
Fondasi Non-Ekologi: Kekuatan Sosial dan Tantangan Ekonomi Lokal
Keberhasilan sebuah eco-settlement tidak hanya diukur dari fisik bangunan, tetapi juga dari fondasi sosial dan ekonomi yang mendukungnya.
Gotong Royong sebagai Tameng Ekologis
Aspek sosial di Kampung Sruni adalah pilar terkuat yang memastikan upaya ekologis tetap berjalan. Hubungan antara masyarakat terjalin erat dan didasarkan pada kekeluargaan.1 Tingkat kepedulian terhadap lingkungan sangat tinggi, terlihat dari upaya pelestarian bangunan-bangunan lama yang menerapkan prinsip ekologi, serta kegiatan rutin seperti kerja bakti bersama seluruh masyarakat.1
Partisipasi aktif masyarakat ini terbukti menjadi faktor kunci yang mencegah Kampung Sruni sepenuhnya tergerus oleh model pembangunan modernisasi yang merusak lingkungan.1 Masyarakat terlibat secara langsung dalam menjaga ekologi permukiman, termasuk melakukan penghijauan di area pekarangan rumah, bahkan dengan praktik bercocok tanam sayur menggunakan sistem hidroponik.1
Partisipasi sosial yang kuat ini adalah modal sosial yang tak ternilai. Ini menunjukkan bahwa meskipun kampung telah bertransformasi menjadi semi-modern, masyarakat tetap menjunjung tinggi kepedulian terhadap ekosistem lingkungan.
Local Economy Development: Potensi yang Belum Terintegrasi
Aspek ekonomi dalam eco-settlements berfokus pada Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economy Development atau LED), yang bertujuan memberdayakan komunitas dan mengurangi intervensi negara.1 Upaya ini mencakup pengembangan inovasi usaha mikro di kawasan permukiman.1
Di Kampung Sruni, terdapat upaya LED dalam bentuk penanaman hidroponik sayur-sayuran.1 Namun, kritik realistis muncul karena kegiatan hidroponik ini dikelola secara individual, sehingga keuntungan yang didapat juga kembali pada masing-masing individu masyarakat itu sendiri.1
Secara garis besar, peningkatan perekonomian belum terjalin dengan baik dalam memanfaatkan potensi kawasan secara kolektif sesuai dengan prinsip arsitektur ekologi.1 Kurangnya inovasi kolektif berbasis ekologi (seperti pengolahan limbah 3R skala besar atau pengembangan pariwisata ekologi terpadu) berarti Kampung Sruni kehilangan kesempatan emas untuk menciptakan timbal balik ekonomi yang kuat antara ekosistem, permukiman, dan manusia.1 Kesenjangan antara partisipasi sosial yang tinggi dan integrasi ekonomi yang rendah ini perlu segera diatasi agar motivasi ekologis dapat dipertahankan secara berkelanjutan.
Peran Kelembagaan
Pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan didukung oleh program pemerintah dan diatur oleh Undang-Undang Permukiman. Lembaga pemerintahan memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan pembinaan dalam penyelenggaraan permukiman yang sesuai dengan prinsip berkelanjutan.1 Penelitian ini sendiri menggunakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 2 Tahun 2016 sebagai acuan standar dalam meninjau aspek-aspek ekologi dan eco-settlements.1 Dukungan kelembagaan yang konsisten sangat penting untuk mengatasi kelemahan implementasi di tingkat fisik.
Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata
Kampung Sruni Wonosobo adalah laboratorium hidup yang membuktikan bahwa warisan arsitektur dan kearifan lokal adalah fondasi terkuat untuk permukiman berkelanjutan. Keberhasilannya meliputi desain bangunan pasif yang unggul (menghemat energi), penggunaan material regeneratif, sistem energi terbarukan (micro-hydro), dan yang terpenting, partisipasi sosial yang luar biasa.1
Namun, tekanan modernisasi telah menciptakan celah kritis, khususnya pada dua variabel utama: kualitas infrastruktur jalan (daya serap 10%) dan kepadatan bangunan baru (menghilangkan jarak 1–2 meter).1 Dua faktor ini secara langsung bertentangan dengan kebutuhan dasar ekologis Sruni, yaitu resapan air yang optimal dan sirkulasi udara yang sehat.
Kritik realistisnya adalah: keterbatasan studi ini yang berfokus pada konteks desa model bisa jadi mengecilkan dampak ancaman modernisasi secara umum di permukiman lain. Kegagalan untuk mengendalikan desain bangunan baru dan mengganti infrastruktur keras dengan yang permeabel menunjukkan bahwa regulasi dan insentif lokal belum cukup kuat untuk memenangkan pertarungan melawan efisiensi lahan dan biaya pembangunan rendah.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika Pemerintah Kabupaten Wonosobo, berkolaborasi dengan masyarakat setempat, segera mengatasi variabel kritis jalan lingkungan dan kepadatan bangunan baru dengan intervensi desain ekologis, dampaknya akan meluas dari sekadar pemenuhan standar ekologi:
Jika diterapkan, temuan ini bisa meningkatkan kemampuan resapan air hujan di kawasan permukiman sekitarnya hingga 60% dalam waktu tiga tahun, sekaligus mengurangi risiko genangan air lokal secara signifikan. Peningkatan resapan ini dapat dicapai melalui penggantian material perkerasan jalan lingkungan tersier dengan bahan pore-block atau material serap air tinggi, serta implementasi regulasi yang mewajibkan jarak minimum (minimal 1 meter) antar bangunan baru untuk mempertahankan sirkulasi udara dan area resapan mikro.
Sumber Artikel:
Larasati, R. A., & Satwikasari, A. F. (2021). Tinjauan Konsep Arsitektur Ekologi pada Kawasan Permukiman Kampung Sruni, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Jurnal LINEARS, 4(2), 51–61. https://doi.org/10.26618/j-linears.v4i2.5278
Komunikasi dan Informatika
Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025
Pendahuluan: Tantangan Formulasi Azitromisin dan Pentingnya QbD
Azithromycin, antibiotik makrolida yang digunakan secara luas untuk mengatasi infeksi saluran pernapasan dan infeksi lainnya, menghadapi tantangan besar dalam hal kelarutan dan penerimaan pasien, terutama anak-anak. Bentuk sediaan oral seperti tablet sering kali menimbulkan ketidaknyamanan akibat rasa pahit. Oleh karena itu, pengembangan suspensi oral rekonstitusi menjadi solusi ideal, terutama jika didukung oleh pendekatan Quality by Design (QbD).
QbD memungkinkan pengembangan sistematis, dengan mendefinisikan atribut mutu kritis (CQA), parameter proses kritis (CPP), dan profil mutu produk target (QTPP). Dalam studi ini, formulasi suspensi azitromisin dikembangkan menggunakan pendekatan QbD berbasis Central Composite Design (CCD), mengoptimalkan peran Xanthan Gum (XG) dan Hydroxypropyl Cellulose (HPC).
Kerangka Teoretis: Quality by Design dan Central Composite Design
QbD sebagai Paradigma Mutakhir dalam Pengembangan Obat
QbD bukan sekadar strategi formulasi, melainkan kerangka berpikir holistik yang memulai dari tujuan akhir—produk berkualitas tinggi—dengan pemahaman mendalam terhadap hubungan antara variabel proses dan mutu produk. Mengikuti panduan ICH Q8–Q10, pendekatan ini mencakup elemen-elemen utama:
Strategi Pengendalian Proses
Central Composite Design: Eksplorasi Multivariat
CCD digunakan sebagai pendekatan desain eksperimen yang menilai efek interaksi XG dan HPC terhadap viskositas dan volume pemisahan fase. Formulasi diuji pada tiga tingkat konsentrasi bahan, dan hasilnya dianalisis dengan model kuadratik.
Metodologi: Dari Eksipien hingga Evaluasi Stabilitas
Formulasi dan Komposisi
Formulasi terdiri dari bahan aktif azitromisin dihidrat dan berbagai eksipien seperti laktosa, sukrosa, XG, HPC, serta bahan tambahan seperti sucralose dan menthol untuk peningkatan palatabilitas.
Desain Eksperimen dan Variabel
Evaluasi Parameter Fisik dan Kimia
Spektroskopi FTIR: Menunjukkan tidak ada interaksi kimia antara obat dan eksipien
Analisis Statistik dan Hasil Eksperimen
Model Kuadratik dan Signifikansi Statistik
Model regresi untuk viskositas:
Model regresi untuk pemisahan fase:
Interpretasi:
Efek XG terhadap viskositas jauh lebih dominan daripada HPC. Untuk pemisahan fase, interaksi HPC dan XG mempengaruhi kestabilan sedimen secara kompleks. Model kuadratik mampu memprediksi perilaku sistem dengan akurasi tinggi. Respon Permukaan: Visualisasi Interaksi Variabel. Plot 3D viskositas menunjukkan kenaikan konsentrasi XG secara linier meningkatkan viskositas. Plot pemisahan fase menunjukkan bahwa terlalu tinggi atau rendahnya HPC dapat memperburuk kestabilan suspensi.
Kritik dan Refleksi: Kekuatan dan Kelemahan Pendekatan
Kekuatan
Pendekatan QbD terbukti menghasilkan produk yang setara atau lebih baik dibanding produk komersial (Zithromax).
Penggunaan DoE menghemat sumber daya dengan mengidentifikasi variabel signifikan secara efisien.
Validasi model melalui ANOVA meningkatkan kepercayaan dalam prediksi formulasi optimal.
Kelemahan dan Saran
Perbedaan yang cukup besar antara Predicted R² (0.2911) dan Adjusted R² (0.8259) untuk model pemisahan fase menunjukkan kemungkinan adanya blok efek atau noise tidak terkendali.
Tidak dilakukan uji organoleptik secara kuantitatif terhadap anak-anak sebagai target pasien.
Pendekatan sensorik rasa masih kualitatif, padahal peran taste masking sangat penting untuk pediatric compliance.
Perbandingan dengan Produk Komersial
Parameter Zithromax (Pfizer) Formulasi Optimal
Interpretasi: Produk baru ini menunjukkan performa analitik yang mendekati, meskipun stabilitas fisiknya sedikit di bawah produk Pfizer dalam parameter pemisahan fase.
Implikasi Ilmiah dan Potensi Ke Depan
Penggunaan QbD dalam formulasi azitromisin menandai langkah maju dalam sistem pengembangan farmasi yang terkontrol dan terukur. Pendekatan ini dapat direplikasi untuk antibiotik lain yang menghadapi tantangan serupa, termasuk klindamisin atau klaritromisin.
Optimisasi yang diperoleh juga membuka jalan bagi produksi massal yang lebih ekonomis dan berkualitas, terutama dalam menghadapi kebutuhan pediatrik yang sensitif terhadap rasa dan bentuk sediaan.
Optimalisasi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025
Pendahuluan
Dalam konteks pengembangan farmasi modern, penerapan pendekatan Quality by Design (QbD) semakin menjadi standar baru dalam memastikan kualitas produk sejak tahap awal formulasi. Studi tesis oleh Omar Hourani bertajuk "QbD Approach Formulation Design for Metformin HCl and Evaluations" menyoroti upaya ilmiah sistematis dalam mengembangkan tablet Metformin HCl 500 mg melalui metode direct compression menggunakan prinsip QbD. Penelitian ini bukan hanya menghadirkan hasil eksperimental, namun juga mengusung kerangka metodologis yang matang, memadukan kontrol mutu farmasi dengan eksplorasi material fungsional dan pemodelan desain ruang (design space).
Kerangka Teoretis: Solid Dosage dan QbD sebagai Pilar Inovasi
Farmasetika dan Biopharmaceutics Class System (BCS)
Metformin HCl tergolong dalam kelas BCS III: larut tinggi tetapi permeabilitas rendah. Hal ini menjadikan proses formulasi lebih kompleks karena bioavailabilitasnya tidak hanya tergantung pada pelarutan tetapi juga transport membran. Oleh karena itu, studi ini memfokuskan pada strategi optimasi eksipien untuk menjamin disolusi cepat dan pelepasan obat yang konsisten.
Konsep QbD: Dari Target Produk ke Ruang Desain
Penerapan QbD dalam penelitian ini merujuk pada pendekatan sistematis yang ditetapkan oleh ICH (International Conference on Harmonisation). Prosesnya dimulai dengan penetapan Quality Target Product Profile (QTPP), diikuti identifikasi Critical Quality Attributes (CQAs), Critical Material Attributes (CMAs), dan Critical Process Parameters (CPPs). Tujuan akhirnya adalah pembentukan ruang desain (design space) di mana variasi parameter tetap menghasilkan produk berkualitas konsisten.
Metodologi: Integrasi Eksipien, Kompaktasi, dan Pemodelan
Strategi Formulasi
Metformin HCl dikombinasikan dengan Avicel® 102 sebagai filler dan tiga jenis binder berbeda: Kollidon® VA 64F, HPMC Pharmacoat®, dan LHPC LH-21. Binder ini diuji dalam konsentrasi yang bervariasi pada dua gaya tekanan (20 kN dan 30 kN) dengan proporsi API:filler tetap 1:0.75. Primojel® dan Starch®1500 digunakan sebagai superdisintegrant, sedangkan magnesium stearate berfungsi sebagai pelumas.
Teknik Kompaktasi
Penggunaan Stylcam R200 compaction simulator memungkinkan pengujian presisi terhadap efek tekanan pada karakteristik tablet. Ini selaras dengan semangat QbD yang mengutamakan pengendalian dan prediktabilitas proses.
Pemodelan Ruang Desain
Data formulasi dimasukkan ke dalam perangkat lunak MODDE 12.1 untuk menghasilkan ruang desain multidimensional. Ini adalah praktik lanjutan yang memungkinkan pengembangan formulasi dalam batasan statistik yang telah tervalidasi.
Hasil dan Refleksi: Binder, Disintegrasi, dan Perbandingan Produk Pasar
Karakteristik Preformulasi
Distribusi ukuran partikel Metformin HCl menunjukkan nilai d(0.5) sebesar 33,924 µm. Powder menunjukkan aliran yang baik (Hausner ratio ~1.15 dan indeks kompresibilitas dalam kategori "good")—indikator penting untuk metode direct compression.
Kontrol Mutu Tablet
Pengujian mencakup:
Efektivitas Binder
Kollidon® VA 64F menunjukkan hasil paling konsisten dalam semua parameter, baik pada 20 kN maupun 30 kN. Ini menjadikannya kandidat unggul untuk formulasi optimal. HPMC memberikan disolusi lebih lambat tetapi memiliki waktu disintegrasi yang lebih lama, menjadikannya ideal untuk formulasi dengan pelepasan terkendali. LHPC LH-21 memperlihatkan profil menengah, dengan performa variatif tergantung kekuatan tekan.
Disolusi vs Produk Pasar (Glucophage®)
Perbandingan antara formulasi optimum dan Glucophage® pada 50 dan 75 rpm menunjukkan bahwa formulasi Kollidon® 15–20% menghasilkan profil disolusi yang sangat mirip dengan Glucophage®. Ini memperkuat validitas QbD sebagai alat untuk menyamai kualitas produk referensi.
Analisis Reflektif dan Kritik Metodologi
Kontribusi Ilmiah
Penelitian ini unggul dalam integrasi antara praktik laboratorium dengan pemodelan prediktif. Dengan membangun design space, penulis mendemonstrasikan pemahaman mendalam terhadap hubungan antara CMAs dan CQAs. Pendekatan ini membuka jalan bagi fleksibilitas manufaktur tanpa harus melalui proses validasi ulang saat terjadi variasi dalam ruang desain yang disetujui.
Kelebihan
Kekurangan dan Catatan Kritis
Tidak dijelaskan batasan biaya dari masing-masing binder, padahal dalam praktik industri, biaya menjadi penentu penting. Studi hanya terbatas pada formulasi immediate release 500 mg; perluasan ke dosis 850 mg dan 1000 mg tidak dieksplorasi. Fokus hanya pada tekanan 20 kN dan 30 kN; variasi tekanan yang lebih luas mungkin memperkaya pemahaman parameter kritikal.
Kesimpulan dan Implikasi Ilmiah
Studi ini membuktikan bahwa pendekatan QbD mampu mengarahkan proses formulasi menuju hasil yang dapat diprediksi, stabil, dan sesuai dengan kualitas yang diharapkan. Formulasi optimal dengan Kollidon® VA 64F pada konsentrasi tertentu menunjukkan kualitas fisik dan profil disolusi yang setara dengan produk komersial Glucophage®. Hal ini membuka peluang besar dalam skala industri untuk memproduksi generik berkualitas tinggi dengan risiko rendah dan efisiensi tinggi. Secara ilmiah, pendekatan seperti ini merepresentasikan transformasi paradigma dalam farmasetika dari proses berbasis pengalaman menuju proses berbasis sains dan risiko. Ke depannya, penggunaan software QbD seperti MODDE dapat diadopsi secara luas untuk mempercepat time-to-market dan menjaga kepatuhan terhadap regulasi global.
Teknik Kimia
Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025
Pendahuluan
Dalam era farmasi modern, tantangan terhadap kelarutan zat aktif menjadi hambatan utama dalam efektivitas terapeutik obat. Salah satu pendekatan yang menjanjikan untuk mengatasi masalah ini adalah Quality by Design (QbD), sebuah filosofi sistematik yang menekankan pentingnya desain berbasis pengetahuan dan kontrol proses dalam pengembangan produk farmasi. Tesis yang ditulis oleh Hala Khamis dari Near East University ini mengusung tema "QbD Approach Formulation Design for Poorly Soluble Drug Nimesulid and Evaluations" yang menawarkan eksplorasi mendalam terhadap strategi formulasi menggunakan model obat dengan kelarutan rendah, yakni Nimesulid.
Latar Belakang Teoritis dan Konteks Formulasi Nimesulid
Karakteristik Nimesulid dan Tantangannya
Nimesulid adalah obat antiinflamasi non-steroid (NSAID) yang digunakan secara luas, namun dibatasi oleh bioavailabilitas rendah karena kelarutannya yang buruk dalam air (0.01 mg/ml). Obat ini termasuk dalam kelas II BCS: kelarutan rendah, permeabilitas tinggi. Bentuk kristalnya terdiri dari dua polimorf: bentuk I yang stabil namun kurang larut, dan bentuk II yang metastabil namun lebih larut. Perbedaan solubilitas yang signifikan antara keduanya (4.3 kali lebih larut bentuk II) menjadi kunci dalam strategi formulasi.
Kerangka Quality by Design (QbD)
QbD menurut panduan ICH Q8 mengedepankan identifikasi atribut kritis, desain ruang operasi optimal, serta pemantauan dan kontrol terhadap parameter proses penting. Dalam studi ini, QbD digunakan tidak sekadar sebagai kerangka formal, tetapi sebagai metodologi eksploratif untuk:
Rancangan Metodologi: Kombinasi Eksipien dan Simulasi Kompaksi
Penelitian ini menggunakan metode Direct Compression (DC), didukung oleh simulasi kompaksi pada dua gaya tekan: 5 dan 10 kN. Eksipien utama meliputi:
Pendekatan ini memungkinkan pengujian berbagai komposisi dengan efisiensi tinggi, serta menghasilkan pemahaman lebih dalam terhadap pengaruh eksipien terhadap disintegrasi dan pelepasan obat.
Temuan Eksperimental dan Refleksi Teoretis
Analisis Kelarutan dan Karakterisasi Fisik
Interpretasi teoretis dari hasil ini mempertegas peran surfaktan non-ionik (Tween-80) dalam meningkatkan solubilitas obat yang bersifat lipofilik. Angka f2 menunjukkan efikasi pendekatan QbD dalam menghasilkan profil disolusi sebanding dengan produk komersial.
Pengaruh Superdisintegrant dan Binder
Hasil ini menunjukkan adanya ambiguitas dalam fungsi eksipien: binder yang diharapkan memperkuat tablet justru dapat memperlambat disolusi jika melebihi ambang optimal. Di sisi lain, superdisintegrant memiliki sensitivitas tinggi terhadap kadar dan tekanan kompaksi.
Analisis Naratif Argumentatif dan Struktur Ilmiah
Studi ini dibangun dengan struktur logis dan argumentasi berjenjang:
Penulis secara konsisten menyelaraskan kerangka teori QbD dengan eksperimen laboratorium, menegaskan bahwa kualitas dapat dirancang sejak awal melalui pemahaman interaksi material-proses.
Kritik terhadap Pendekatan Metodologis
Meskipun studi ini menyajikan eksplorasi komprehensif, terdapat beberapa kritik metodologis:
Keterbatasan desain eksperimental: Hanya dua level tekanan (5, 10 kN) diuji, padahal respon eksipien bisa non-linear pada tekanan di atas atau di bawahnya.
Fokus utama pada fisika, bukan biofarmasetika:** Tidak ada simulasi pelepasan in-vivo atau korelasi IVIVC.
Minimnya evaluasi jangka panjang: Stabilitas polimorf II tidak diuji dalam penyimpanan jangka panjang, padahal bentuk metastabil rentan bertransformasi.
Kritik ini bukan untuk menegasikan kontribusi, melainkan untuk memperkaya diskusi keilmuan dan membuka ruang eksplorasi lanjutan.
Kontribusi Ilmiah dan Implikasi
Tesis ini memberikan kontribusi nyata dalam tiga ranah:
1. Konseptual: Memperluas penerapan QbD dari sekadar regulatory compliance menjadi pendekatan eksploratif dalam desain formulasi.
2. Empiris: Menyediakan data konkret tentang efek binder dan disintegran dalam sistem Nimesulid.
3. Praktis: Menawarkan komposisi formulasi alternatif tanpa binder yang lebih efisien.
Implikasi ilmiahnya mencakup potensi penggunaan pendekatan serupa untuk obat BCS kelas II lainnya, serta dorongan terhadap pemanfaatan Modde atau perangkat DoE lainnya dalam desain obat generik.
Penutup
Dengan mengadopsi pendekatan Quality by Design secara konseptual dan praktis, studi ini berhasil menunjukkan bagaimana desain formulasi dapat dikendalikan dan dioptimalkan melalui pemahaman mendalam atas interaksi antar-eksipien dan parameter proses. Temuan bahwa formulasi tanpa binder dapat memberikan performa disolusi superior membuka kemungkinan baru dalam desain tablet untuk zat aktif yang sulit larut. Ini bukan hanya menjadi solusi teknis, tapi juga langkah epistemologis menuju farmasetika yang lebih prediktif, efisien, dan berbasis ilmiah.
Kualitas Produksi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025
Pendahuluan: Meningkatkan Akurasi Analitik dalam Dunia Farmasi Modern
Dalam dunia farmasi yang kian kompleks dan teregulasi, kebutuhan akan metode analitik yang sensitif, akurat, dan dapat direproduksi sangat mendesak. Paper ini menyajikan pengembangan dan validasi metode Reverse Phase-High Performance Liquid Chromatography (RP-HPLC) untuk analisis Tenofovir Disoproxil Fumarate (TDF), sebuah antiretroviral penting dalam terapi HIV, menggunakan pendekatan Quality by Design (QbD). Alih-alih mengandalkan metode konvensional yang bergantung pada trial-and-error, pendekatan ini menggunakan desain eksperimental sistematis yang memungkinkan pemahaman mendalam terhadap interaksi antara variabel-variabel kritis metode.
Kerangka Teori: QbD dalam Konteks Metode Analitik
QbD, yang diperkenalkan oleh Joseph M. Juran dan kemudian diadopsi oleh FDA melalui ICH Q8–Q10, merupakan strategi sistematik dalam pengembangan farmasi berbasis:
Dalam konteks metode analitik, QbD menekankan pengendalian parameter metode seperti pH, komposisi fase gerak, dan laju alir, untuk menjamin kualitas data secara konsisten seiring waktu.
Tujuan Penelitian
Mengembangkan metode RP-HPLC yang cepat dan sensitif untuk TDF berbasis QbD. Memvalidasi metode sesuai pedoman ICH dengan menyoroti linearitas, presisi, akurasi, LOD, LOQ, robusta, dan ruggedness.
Metodologi: Strategi QbD dan Implementasinya
Pemilihan Variabel Kritis
Dua parameter utama dianalisis:
Analisis Data dan Hasil
1. Linieritas
Model ini menunjukkan hubungan linier kuat antara konsentrasi TDF dan luas puncak kromatogram. Refleksi: Nilai R² yang tinggi memperkuat bahwa metode ini dapat digunakan untuk kuantifikasi TDF pada berbagai kadar secara presisi, suatu keunggulan penting dalam uji stabilitas maupun kadar.
2. Presisi
Refleksi: Nilai RSD < 2% menunjukkan presisi sangat tinggi, memberikan keyakinan pada konsistensi hasil di laboratorium dengan berbagai kondisi operator atau waktu.
3. Akurasi (Recovery)
Refleksi: Tingkat pemulihan mendekati 100% pada seluruh level pengujian menegaskan bahwa metode ini tidak bias dan dapat digunakan untuk formulasi kompleks.
4. Batas Deteksi (LOD) dan Kuantifikasi (LOQ)
Refleksi: LOD dan LOQ rendah menjadikan metode ini sensitif, memungkinkan deteksi TDF bahkan dalam sampel dengan kadar sangat rendah.
5. Robustness dan Ruggedness
Robustness diuji dengan variasi:
Ruggedness diuji lintas:
Refleksi: Stabilitas metode terhadap gangguan minor ini penting dalam lingkungan industri yang melibatkan banyak teknisi dan shift kerja.
6. Uji Kelayakan Sistem
Refleksi: Sistem HPLC yang memenuhi kriteria ini menjamin performa metode tetap optimal secara berkelanjutan.
7. Assay
Refleksi: Hasil sedikit lebih rendah dari label menunjukkan pentingnya validasi batch dan koreksi formulasi jika terjadi deviasi kadar.
Opini dan Kritik Terhadap Metodologi Penulis
Kekuatan Pendekatan
Sistematis dan hemat waktu: Pendekatan desain eksperimental QbD terbukti lebih efisien dibanding trial konvensional. Akurasi tinggi: Semua parameter validasi terpenuhi atau melebihi batas regulator. QbD sebagai kerangka ilmiah memungkinkan replikasi dan perbaikan metode bila terjadi gangguan di masa depan.
Catatan Kritis
Sampel hanya dari satu sumber (Lupin Pharma) — Variasi interproduk belum diuji. Tidak disertakan evaluasi statistik terhadap interferensi eksipien atau potensi matriks kompleks. Tidak ada simulasi kondisi stres (forced degradation), yang biasanya menjadi bagian dari validasi analitik menyeluruh.
Implikasi Ilmiah dan Arah Pengembangan
Paper ini tidak hanya memvalidasi metode RP-HPLC untuk TDF, tetapi juga membuktikan superioritas pendekatan QbD dalam mengembangkan metode analitik farmasi yang efisien, andal, dan berorientasi masa depan.
Dalam jangka panjang, pendekatan ini berpotensi: