Ekologi dan Konservasi

Mengubah Paradigma: Hirarki Adaptasi Banjir Memprioritaskan Alam dan Ekuitas untuk Menjamin Ketahanan Jangka Panjang

Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025


Paradigma Baru Adaptasi Banjir: Sebuah Pergeseran Prioritas Ekologis dan Sosial

Tantangan adaptasi banjir global telah melampaui kemampuan paradigma risiko tradisional akibat intensitas perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan di dataran banjir. Pendekatan adaptasi yang berlaku saat ini sering gagal memanfaatkan manfaat yang diberikan oleh ekosistem alami yang utuh dan secara sistematis melanggengkan ketidakadilan sosial dan ekonomi. Paper ini, yang berakar dari pengalaman Amerika Serikat, menyajikan kerangka kerja baru yang transformatif: Hirarki Adaptasi Banjir (Flood Adaptation Hierarchy), sebuah alat pengambilan keputusan yang mengalihkan fokus dari pertahanan yang diutamakan teknik rekayasa menjadi serangkaian hasil yang diprioritaskan.

Alur logis temuan dimulai dengan penegasan bahwa paradigma adaptasi historis—yaitu, "mempertahankan (defend), mengakomodasi (accommodate), atau mundur (retreat)"—telah terbukti gagal di berbagai bidang, termasuk teknik, ekonomi, sosial, dan sistem alami. Kegagalan-kegagalan ini telah memperdalam masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan, terutama menimpa kelompok berpenghasilan rendah dan komunitas kulit berwarna yang secara tidak proporsional mengalami konsekuensi negatif banjir.

Hirarki yang diusulkan membedakan dirinya melalui dua kontribusi utama : Pertama, memprioritaskan perlindungan dan restorasi ekosistem alami yang utuh (Tier 1) di atas semua strategi lainnya, termasuk infrastruktur abu-abu dan solusi berbasis alam yang seringkali hanyalah manipulasi buatan manusia yang tidak sepadan dengan dinamisme alam. Kedua, secara eksplisit menghubungkan alam dan manusia melalui lensa ekuitas. Penulis menekankan bahwa solusi yang ada selama ini tidak berkelanjutan secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kerangka Hirarki Adaptasi Banjir ini memberikan kontribusi yang signifikan bagi bidang manajemen risiko bencana dan perencanaan lingkungan:

  • Pergeseran Paradigma dari Defend ke Avoid and Eliminate: Tidak seperti pendekatan lama yang menempatkan "mempertahankan" status quo (melalui teknik rekayasa keras) sebagai pilihan pertama , hierarki baru menempatkan hasil yang paling penting pada menghindari risiko dengan melindungi dataran banjir alami dan menghilangkan risiko dengan memindahkan komunitas dari zona bahaya (managed retreat). Solusi pertahanan dengan teknik rekayasa, meskipun diakui perannya, ditempatkan di tingkat yang paling tidak diprioritaskan.
  • Apresiasi Nilai Ekologis yang Lebih Komprehensif: Kerangka kerja ini secara tegas memprioritaskan alam karena manfaat co-benefitnya yang luas dan superior (misalnya, habitat, sekuestrasi karbon, penyaringan air, kesehatan mental) yang seringkali diremehkan dalam Analisis Biaya-Manfaat (BCA) tradisional. Penekanan pada alam tidak meminggirkan manusia, melainkan merupakan pendekatan yang lebih efektif untuk memitigasi risiko bagi manusia.
  • Integrasi Ekuitas sebagai Pilar Utama Pengambilan Keputusan: Penulis menyajikan tiga jalur ekuitas (Dampak, Sumber Daya, dan Suara) yang harus diintegrasikan ke dalam evaluasi setiap pilihan adaptasi . Ini adalah langkah maju yang penting dari paradigma sebelumnya yang mengabaikan dinamika ekuitas dan memperburuk ketidakadilan.

Sorotan Data Kuantitatif Secara Deskriptif

Untuk menggarisbawahi urgensi adaptasi yang mengutamakan alam, studi ini menyoroti bahwa jika habitat pesisir dibiarkan utuh, risiko terhadap properti dan masyarakat yang paling rentan terhadap banjir dapat dikurangi hingga setengahnya —temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara integritas ekosistem dan mitigasi risiko jangka panjang, yang menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru yang berfokus pada model pembiayaan adaptasi berbasis nilai ekologis.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Hirarki Adaptasi Banjir ini adalah kerangka kerja preskriptif, yang harus diterapkan melalui proses berulang dengan kriteria justifikasi yang ketat untuk mengendalikan pergerakan di antara tingkatan. Namun, beberapa keterbatasan dan pertanyaan terbuka masih ada:

  1. Kurangnya Bukti Empiris: Kerangka kerja ini belum dipraktikkan. Efektivitas keseluruhannya harus dinilai melalui studi kasus di masa depan dan penelitian berbasis praktik untuk memandu perbaikan yang diperlukan.
  2. Tantangan Penerapan di Kawasan Infrastruktur Padat: Penulis mengakui bahwa tidak semua enam tingkatan mungkin merupakan pilihan yang realistis di setiap lokasi, terutama di area dengan investasi infrastruktur yang substansial dan tidak dapat dipindahkan (misalnya, instalasi pengolahan air limbah atau komunitas perkotaan pesisir yang padat).
  3. Definisi Kriteria Justifikasi: Meskipun kriteria justifikasi ditekankan sebagai mekanisme untuk mencegah pemilihan solusi yang paling nyaman atau efisien , kriteria spesifik perlu dikembangkan berdasarkan kasus per kasus karena variabel kontekstual yang tinggi.
  4. Implikasi Ekuitas Kegagalan Teknik: Implikasi ekuitas dari solusi berbasis pertahanan (Tier 4-6) memerlukan penyelidikan lebih lanjut untuk memahami siapa yang paling berisiko terhadap kegagalan teknik dan hasil yang tidak diinginkan yang dapat terakumulasi di daerah yang berdekatan. Solusi teknik juga dapat memberikan rasa aman yang palsu dan gagal di bawah beban peristiwa ekstrem yang semakin progresif.
  5. Batas Perlindungan Ekosistem: Perlu ada pemahaman yang lebih besar tentang batas perlindungan dan habitat dari solusi yang dibangun dan alami. Meskipun alam adalah peredam risiko yang unggul, batasan kapasitasnya dalam menghadapi peristiwa ekstrem yang terus meningkat belum sepenuhnya dipetakan.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, berikut adalah lima rekomendasi riset mendesak yang berkelanjutan, yang dirancang untuk memperkuat dan memvalidasi Hirarki Adaptasi Banjir:

1. Mengembangkan Matriks Kriteria Justifikasi Kuantitatif

Justifikasi Ilmiah: Untuk mempertahankan struktur hierarki yang memprioritaskan (Tier 1 & 2), mekanisme disinsentif yang terstruktur harus diterapkan guna menggagalkan pemilihan hasil adaptasi yang paling nyaman atau efisien (Tier 4-6). Saat ini, kriteria tersebut harus dikembangkan berdasarkan kasus per kasus.

Fokus Riset: Penelitian harus berfokus pada pengembangan Analisis Biaya-Manfaat (BCA) Multi-Kriteria yang Diperluas dengan cakupan jangka waktu lebih dari 100 tahun. Model ini harus mengintegrasikan dan mengkuantifikasi manfaat non-moneter (co-benefits) dari solusi berbasis alam (misalnya, peningkatan kualitas air , kesehatan mental , nilai estetika) dan biaya jangka panjang (risiko kegagalan katastrofik teknik rekayasa ) ke dalam satu metrik penilaian yang komparatif. Tujuannya adalah untuk memberikan nilai moneter yang realistis kepada solusi Tier 1 dan 2, membuat solusi ini kompetitif dan layak didanai.

2. Studi Longitudinal pada Ketahanan Sosial Pasca Managed Retreat

Justifikasi Ilmiah: Tier 2—Menghilangkan Risiko melalui relokasi terkelola (managed retreat)—adalah komponen kunci dari pencegahan risiko jangka panjang (>100 tahun). Namun, ada kelemahan yang diketahui, yaitu potensi hilangnya kohesi sosial dan rasa tempat (sense of place).

Fokus Riset: Riset harus menerapkan metode penelitian kualitatif dan longitudinal yang komprehensif, seperti survei panel berulang dan wawancara, untuk melacak variabel kesejahteraan sosial-ekonomi, kesehatan mental, dan tingkat integrasi dari populasi yang direlokasi dan komunitas tujuan selama periode 5-10 tahun pasca-relokasi. Penelitian harus bertujuan untuk menetapkan praktik terbaik dalam administrasi program relokasi agar sumber daya dapat dikelola secara efektif, adil, dan tepat waktu.

3. Memformalkan Indeks Inklusivitas Suara dalam Tata Kelola Adaptasi

Justifikasi Ilmiah: Jalur ekuitas "Suara" sangat penting untuk memastikan bahwa kepentingan semua pihak terwakili, terutama kelompok yang secara historis dikecualikan, seperti komunitas berpenghasilan rendah dan komunitas kulit berwarna, yang memiliki peluang terbatas untuk memengaruhi proses tata kelola. Kerangka kerja ini hanya menyediakan pertanyaan panduan.

Fokus Riset: Mengembangkan dan menguji Indeks Inklusivitas Suara sebagai variabel baru yang terukur. Metodologi harus mencakup analisis kerangka kerja perencanaan untuk mengidentifikasi mekanisme formal yang paling efektif untuk melibatkan beragam pemangku kepentingan. Riset harus menentukan bagaimana alat pemetaan risiko sosial-ekologis (menggabungkan data kerentanan fisik banjir dengan data sosioekonomi ) dapat digunakan untuk memastikan bahwa keputusan adaptasi secara eksplisit mengatasi ketidaksetaraan dalam dampak dan alokasi sumber daya.

4. Pemodelan Keefektifan Hidrodinamika Jangka Panjang: Tier 1 vs. Tier 4

Justifikasi Ilmiah: Ada kebutuhan untuk pemahaman yang lebih besar tentang batas perlindungan dari solusi alam dan solusi buatan. Penulis berargumen bahwa solusi berbasis alam seringkali dirancang untuk menghambat dinamisme alami (misalnya, transpor sedimen) yang berbeda dengan ekosistem utuh.

Fokus Riset: Menggunakan pemodelan hidrodinamika dan geospasial skala besar untuk secara langsung membandingkan efektivitas jangka panjang solusi dari Tier 1 (Ekosistem Alami yang Dilindungi/Direstorasi) dengan Tier 4 (Rekayasa Berbasis Alam) dan Tier 6 (Rekayasa Keras). Variabel kritis yang harus diukur adalah kapasitas redaman energi gelombang, tingkat penyimpanan air, dan respon dinamis terhadap kenaikan permukaan air laut selama periode 50–100 tahun. Riset ini harus menetapkan ambang batas ilmiah di mana Tier 1/2 terbukti tidak layak, sehingga membenarkan pergerakan ke bawah hierarki.

5. Eksplorasi Aplikasi Hirarki di Luar Banjir (Bencana yang Dipicu Iklim)

Justifikasi Ilmiah: Penulis menyarankan bahwa urutan operasional mencegah risiko, menghilangkan risiko, mengakomodasi bahaya, dan bertahan melawan bahaya memiliki penerapan global dan harus dievaluasi untuk tantangan yang didorong oleh iklim lainnya (misalnya, kebakaran, kekeringan).

Fokus Riset: Mengembangkan Matriks Hierarki Adaptasi Kebakaran Hutan/Kekeringan dengan memetakan enam tingkatan dan jalur ekuitas ke konteks manajemen risiko yang berbeda. Penelitian percontohan harus dilakukan di wilayah yang mengalami stres air kronis atau musim kebakaran yang parah. Variabel yang harus dianalisis adalah bagaimana persepsi risiko kelembagaan (institutional risk perception) berubah ketika kerangka kerja baru yang memprioritaskan pencegahan risiko ekologis (seperti restorasi daerah aliran sungai atau penjarangan hutan yang bijaksana) diusulkan, dibandingkan dengan langkah-langkah pertahanan (seperti pemadaman api atau pembangunan waduk besar).

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi lembaga donor dan pembiayaan publik/swasta (untuk menetapkan kriteria justifikasi berbasis BCA yang diperluas), badan perencanaan dan pembangunan lokal (untuk menguji integrasi jalur Ekuitas di tingkat tapak), dan mitra akademik multidisiplin (ekologi, sosiologi, teknik) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, sekaligus mendorong adopsi kerangka kerja yang adil dan berwawasan lingkungan ini.

Baca paper aslinya di sini: Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Mengubah Paradigma: Hirarki Adaptasi Banjir Memprioritaskan Alam dan Ekuitas untuk Menjamin Ketahanan Jangka Panjang

Komunikasi Krisis

Komunikasi NDMA Pakistan: Bagaimana Media Sosial Menjadi Pilar Utama dalam Memitigasi Krisis Banjir 2022 dan Merumuskan Ketahanan Bencana Digital

Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025


Pendahuluan: Transformasi Komunikasi Krisis di Era Digital

Kemanusiaan dihadapkan pada serangkaian bencana, baik yang disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar pada kehidupan, properti, dan infrastruktur. Krisis banjir Pakistan tahun 2022 menjadi studi kasus penting mengenai kerentanan nasional, yang tidak hanya menghasilkan masalah sosio-ekonomi tetapi juga menyoroti keterbatasan kapasitas finansial Pakistan untuk pemulihan dan rekonstruksi. Situasi ini diperparah oleh kegagalan media tradisional dalam memberikan liputan yang tepat, di mana fokus cenderung pada politisasi situasi daripada pelaporan masalah real-time di lapangan.

Di tengah tantangan ini, penelitian ini bertujuan untuk secara definitif mengartikulasikan pentingnya dan peran media sosial sebagai medium komunikasi antara Otoritas Manajemen Bencana Nasional (NDMA) Pakistan dan masyarakat yang terdampak. Penelitian ini menggunakan metodologi riset sekunder, menganalisis konten yang dipublikasikan oleh NDMA di dua platform utama, Facebook (21 unggahan) dan Twitter (26 unggahan), melalui metode Direct Content Analysis.

Jalur Logis Temuan: Aplikasi Teori dalam Respons Darurat

Jalur logis penelitian bermula dari identifikasi masalah komunikasi di tengah krisis besar menuju validasi efektivitas kerangka kerja teoritis dalam konteks darurat digital. Temuan menunjukkan bahwa media sosial memainkan peran penting dalam menyediakan informasi yang relevan dan cepat tentang area yang terdampak bencana.

Secara krusial, penelitian ini memvalidasi keberhasilan NDMA dalam menerapkan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dan Crisis Simulation Model selama krisis. NDMA berhasil mengomunikasikan krisis banjir dengan memposting setiap detail situasi dan tindakan administratif di platform media sosial. Komunikasi ini terstruktur di bawah empat tema utama: Prakiraan Banjir (Flood Forecasting), Dukungan Darurat (Emergency Support), Dukungan Administratif (Administrative Support), dan Dukungan Manajemen Krisis (Crisis Management Support).

Komunikasi krisis yang efektif melalui media sosial ini merupakan faktor penentu dalam memfasilitasi dukungan internasional. Secara deskriptif, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara manajemen komunikasi krisis berbasis media sosial dan mobilisasi dana bantuan darurat, ditandai dengan peningkatan dana bantuan banjir sebesar 13.7% pada akhir Oktober 2022, pasca manajemen komunikasi melalui media sosial. Angka ini sangat penting untuk upaya pemulihan, mengingat total kerusakan yang dialami Pakistan mencapai $14,906 juta, kerugian mencapai $15,233 juta, dan kebutuhan rekonstruksi serta pemulihan sebesar $16,261 juta. Dampak sosio-ekonomi dari bencana ini sangat nyata, di mana tingkat kemiskinan nasional meningkat dari 3.7% menjadi 4.0%. Oleh karena itu, kemampuan untuk memitigasi kesenjangan finansial yang besar ini melalui komunikasi digital menunjukkan potensi kuat media sosial untuk objek penelitian baru dalam pembiayaan bencana.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama penelitian ini adalah menjembatani teori komunikasi krisis dengan implementasi praktis di lingkungan bencana alam skala besar. Dengan meneliti postingan NDMA, studi ini memberikan contoh empiris yang mengukuhkan:

  1. Validasi SCCT dalam Krisis Nyata: NDMA mengimplementasikan secara fungsional empat komponen utama SCCT—bolster, deny, diminish, dan rebuild—untuk mengelola seluruh siklus manajemen bencana (mulai dari mitigasi hingga pemulihan). Ini membuktikan bahwa SCCT, yang awalnya dirancang untuk konteks korporat, dapat diadaptasi secara efektif untuk komunikasi otoritas publik selama bencana alam.
  2. Peran Situational Awareness Skala Besar: Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 71.70 juta orang, atau 31.16% dari populasi (berdasarkan data pemerintah 2023), mendapatkan manfaat dari strategi komunikasi yang efektif melalui media sosial. Hal ini menggarisbawahi peran media sosial dalam menciptakan kesadaran situasional (situational awareness) dan memfasilitasi upaya kolektif di tengah krisis, sebuah proses yang lebih cepat dibandingkan saluran tradisional.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun temuan ini penting, penelitian ini memiliki keterbatasan metodologis dan menghasilkan pertanyaan terbuka krusial untuk agenda riset masa depan:

  1. Keterbatasan Sampel dan Generalisasi: Studi ini mengandalkan metodologi riset sekunder dan analisis konten pada unggahan Facebook dan Twitter. Kesimpulan tentang "orang-orang yang terdampak banjir" secara eksplisit hanya merujuk pada individu di Pakistan yang menggunakan Facebook dan Twitter. Keterbatasan ini menghasilkan bias sampel yang mengabaikan dampak komunikasi (atau kekurangannya) pada populasi yang tidak menggunakan media sosial, terutama di daerah pedesaan yang paling terdampak dan mengalami masalah akses layanan.
  2. Ancaman Misinformasi dan Pertumbuhan Platform: Kekuatan media sosial sebagai alat komunikasi juga merupakan kelemahan terbesarnya, yaitu risiko melebih-lebihkan berita, menciptakan kepanikan, dan menyebarkan informasi palsu (fake information) yang terbukti mengintensifkan selama periode krisis. Dengan proyeksi pertumbuhan penggunaan platform media sosial di Pakistan sebesar 5.04% dari tahun 2022 hingga 2027, pertanyaan terbuka terbesar adalah bagaimana NDMA dapat mengembangkan mekanisme penyaringan dan mitigasi yang berkelanjutan untuk melawan gelombang misinformasi yang terus meningkat.
  3. Integrasi Data untuk Penilaian Sektor Mikro: Penelitian mengakui bahwa kerangka kerja Post Disaster Needs Assessment (PDNA) saat ini belum memadai untuk penilaian tingkat sektor. Dengan kerugian yang sangat besar pada sektor-sektor produktif (misalnya, Pertanian, Pangan, Peternakan, dan Perikanan yang menyumbang 60.68% dari total kerugian), pertanyaan terbuka muncul mengenai bagaimana konten media sosial, yang kaya akan data dari lapangan (ground-based data), dapat diubah menjadi metrik terperinci untuk penilaian kebutuhan (needs assessment) yang lebih granular dan berorientasi pada sektor mikro.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan untuk Komunitas Akademik

Berdasarkan temuan yang menggarisbawahi efektivitas komunikasi krisis NDMA sekaligus menyoroti kesenjangan dalam jangkauan dan risiko disinformasi, berikut adalah lima arah riset ke depan yang ditujukan untuk akademisi, peneliti, dan penerima hibah:

1. Eksplorasi Jangkauan dan Dampak Komunikasi Bencana di Area Minim Akses

Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa manfaat komunikasi digital terbatas pada pengguna Facebook dan Twitter. Padahal, dampak krisis sangat parah di daerah yang sudah menderita malnutrisi, kurangnya akses air minum, dan keterbatasan fasilitas kesehatan. Konteks baru harus mengatasi bias ini. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus mengadopsi studi kualitatif mendalam (wawancara dan focus group discussion) dengan populasi non-pengguna media sosial di provinsi yang paling parah terdampak, seperti Sindh atau Balochistan, yang memiliki populasi sekolah yang sangat terdampak. Variabel baru yang harus diukur adalah efektivitas saluran komunikasi non-digital (seperti radio, telepon seluler biasa, atau pengeras suara komunitas) dan peran pemimpin komunitas sebagai perantara informasi NDMA. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Untuk menjamin kesiapsiagaan (preparedness) dan mitigasi risiko yang inklusif, penting untuk mengidentifikasi saluran yang paling dipercaya dan paling menjangkau untuk 68.84% populasi yang tidak secara eksplisit dihitung sebagai penerima manfaat komunikasi media sosial NDMA.

2. Model Prediktif dan Mitigasi Disinformasi Berbasis SCCT

Justifikasi Ilmiah: Bahaya misinformasi yang meningkat selama krisis sangat kontras dengan upaya komunikasi yang kredibel dari NDMA. Dengan pertumbuhan platform yang diproyeksikan, risiko ini akan meningkat. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus mengembangkan model Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) atau Natural Language Processing (NLP) untuk menganalisis dan mengklasifikasikan postingan media sosial selama krisis. Kerangka kerja ini akan berfokus pada komponen SCCT "Deny" dan "Diminish" untuk mengidentifikasi dan menandai narasi yang berpotensi menimbulkan disinformasi atau kepanikan. Variabel baru adalah skor kepercayaan publik (Public Trust Score) dan laju viralitas (Virality Rate) narasi krisis yang dipublikasikan oleh sumber resmi dan tidak resmi, diukur dalam jam pertama pasca-publikasi. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Pembentukan alat operasional untuk NDMA yang dapat secara otomatis menerapkan strategi SCCT untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan merespons informasi palsu secara real-time, sehingga melindungi validitas dan integritas komunikasi krisis.

3. Analisis Longitudinal Keberlanjutan Komunikasi Pasca-Krisis (Tahap Rekonstruksi)

Justifikasi Ilmiah: Meskipun NDMA berhasil pada fase response darurat , siklus manajemen bencana menuntut upaya berkelanjutan pada fase pemulihan dan rekonstruksi. Konteks baru harus mengukur konsistensi pesan dalam jangka panjang. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan studi kasus jangka panjang (longitudinal case study) selama 12–24 bulan pasca-banjir, berfokus pada konten NDMA di tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Variabel baru adalah korelasi antara frekuensi dan spesifisitas postingan tentang bantuan/pemulihan (misalnya, jumlah sekolah yang dibangun kembali atau bantuan ternak yang disalurkan) dengan data pemulihan aktual dari badan mitra (ADB, World Bank). Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Untuk memastikan akuntabilitas (accountability) dan transparansi, penelitian ini akan membuktikan bagaimana komunikasi digital dapat mempertahankan dukungan dan momentum pendanaan selama bertahun-tahun pasca-bencana, alih-alih hanya berfokus pada bantuan awal.

4. Uji Coba Lintas-Kontekstual SCCT untuk Respon Bencana Non-Banjir

Justifikasi Ilmiah: Keberhasilan penerapan SCCT dan model simulasi krisis hanya terbukti dalam konteks banjir Pakistan 2022. Untuk membangun kerangka kerja manajemen bencana nasional yang kuat, model ini harus diuji ketahanannya dalam berbagai jenis krisis. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menerapkan kerangka kerja SCCT yang sama pada studi kasus bencana alam atau buatan manusia yang berbeda di Pakistan (misalnya, krisis kesehatan masyarakat atau potensi gempa bumi). Konteks baru ini memerlukan perbandingan efektivitas strategi komunikasi antara NDMA dan otoritas sub-nasional, mengukur tingkat kepatuhan publik terhadap instruksi yang dikeluarkan di media sosial. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Untuk memitigasi risiko di masa depan, penelitian ini harus menetapkan pedoman standar operasional berbasis teori krisis untuk NDMA yang fleksibel dan dapat diterapkan pada berbagai ancaman nasional, sehingga mengurangi ketergantungan pada improvisasi.

5. Integrasi Data Media Sosial untuk Penilaian Kebutuhan Sektor Mikro yang Akurat

Justifikasi Ilmiah: PDNA yang ada tidak memadai untuk penilaian tingkat sektor, yang mana sangat penting untuk sektor produktif seperti pertanian yang menanggung kerugian paling besar. Media sosial adalah gudang data yang belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk intelijen bencana. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Mengembangkan kerangka kerja (metode kualitatif dan kuantitatif) untuk mengubah data mentah dari platform media sosial (misalnya, postingan yang memohon bantuan spesifik di tingkat sub-distrik) menjadi metrik yang dapat digunakan untuk menilai kebutuhan sektor mikro. Variabel baru adalah koefisien korelasi antara permintaan bantuan spesifik (misalnya, benih tanaman, pakan ternak, atau perbaikan irigasi) yang diekstraksi dari platform dan alokasi sumber daya NDMA. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Penelitian ini akan menciptakan template perencanaan darurat berbasis data yang dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan untuk mendukung sektor-sektor yang paling membutuhkan, memastikan pemulihan yang berorientasi pada pembangunan, bukan hanya bantuan darurat.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Temuan penelitian ini dengan jelas menyoroti bahwa media sosial lebih dari sekadar saluran pengumuman; ia adalah mekanisme keterlibatan real-time yang mampu meningkatkan kesadaran publik, mempercepat mobilisasi sumber daya (terbukti dari peningkatan dana bantuan), dan menopang komunikasi kelembagaan selama masa-masa paling genting. Keberhasilan NDMA dalam menerapkan kerangka kerja teoritis modern (SCCT) menunjukkan potensi jangka panjang untuk mentransformasi respons bencana dari model statis menjadi sistem yang dinamis dan tahan banting.

Namun, untuk memanfaatkan sepenuhnya potensi ini dan mengatasi tantangan disinformasi serta keterbatasan jangkauan, dibutuhkan upaya akademik dan operasional yang lebih lanjut. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi di luar batas Pakistan, termasuk Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (ADB), yang merupakan mitra utama dalam PDNA, serta institusi riset terkemuka di bidang ilmu data dan komunikasi krisis (X, Y, Z) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil. Kolaborasi ini sangat penting untuk membangun kerangka kerja digital yang tidak hanya merespons krisis tetapi juga merumuskan kebijakan pembangunan dan ketahanan nasional yang inklusif, terutama saat Pakistan bergulat dengan peningkatan angka kemiskinan dan kebutuhan finansial yang jauh melampaui sumber daya yang ada.

Baca paper aslinya di sini: Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Komunikasi NDMA Pakistan: Bagaimana Media Sosial Menjadi Pilar Utama dalam Memitigasi Krisis Banjir 2022 dan Merumuskan Ketahanan Bencana Digital

Manajemen Risiko

Menggali Potensi Penuh: Memanfaatkan Proyek Pengelolaan Risiko Banjir untuk Ketahanan Urban Holistik.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025


Penelitian berjudul How flood risk management projects can improve urban resilience: a combined assessment approach of functional resilience and adaptive capacity yang dipublikasikan di Australasian Journal of Water Resources ini menyajikan sebuah pendekatan penting untuk mengevaluasi dan merancang proyek pengelolaan risiko banjir (PRB) di kawasan urban. Memahami bahwa banjir merupakan tantangan besar bagi kawasan urban di seluruh dunia, penelitian ini berfokus pada peningkatan ketahanan, terutama di kawasan pesisir dataran rendah. Tujuan utama dari paper ini adalah untuk menganalisis sejauh mana dan mengapa proyek-proyek manajemen risiko banjir dapat memberikan dampak positif pada ketahanan urban.

Secara konseptual, penelitian ini mendefinisikan ketahanan banjir urban sebagai kapasitas sistem urban—termasuk infrastruktur fisik, institusi, dan komunitas—untuk (1) menahan banjir, (2) menyerap dan pulih dari banjir, dan (3) bertransformasi dan beradaptasi. Penelitian ini berargumen bahwa upaya PRB cenderung terlalu fokus pada pendekatan langsung, seperti intervensi struktural untuk mengurangi kerugian, seringkali mengabaikan aspek penting dari pembangunan kapasitas adaptif.

Untuk mengisi kesenjangan ini, peneliti mengembangkan sebuah pendekatan holistik yang menggabungkan dua pilar utama penilaian: penilaian dampak terhadap ketahanan fungsional sistem urban dan penilaian kapasitas adaptif warga. Pendekatan ini merupakan contoh dari penilaian partisipatif, yang melibatkan pemangku kepentingan untuk mengintegrasikan pengetahuan kontekstual mereka dan meningkatkan pemahaman tentang dinamika konteks dan ketahanan. Pendekatan tiga fase ini diterapkan pada proyek remediasi banjir Dudley Creek di Christchurch, Selandia Baru:

  1. Karakterisasi: Pendefinisian sistem urban (fungsi utama, gangguan, dan dampaknya) dan proyek (intervensi struktural dan non-struktural, desain proses, dan konteks tata kelola).
  2. Penilaian: Menilai ketahanan fungsional (menggunakan enam prinsip ketahanan klasik: buffering, redundancy, omnivory, homeostasis, flatness, flux) dan kapasitas adaptif warga (menggunakan empat indikator: persepsi risiko, pengetahuan, kapasitas adaptif yang dirasakan, dan motivasi).
  3. Analisis: Menjelaskan hasil, mengidentifikasi prinsip ketahanan dan indikator kapasitas adaptif yang kurang dimanfaatkan, dan memberikan rekomendasi.

Hasil aplikasi di Dudley Creek, kawasan rawan banjir akibat perubahan elevasi tanah pasca gempa yang memengaruhi sekitar 70% dari rumah-rumah yang terkena banjir reguler (sekitar 600 rumah) di sana, menunjukkan bahwa proyek tersebut secara keseluruhan memiliki dampak positif pada ketahanan urban melalui perbaikan ketahanan fungsional dan kapasitas adaptif.

Pada sisi ketahanan fungsional, proyek tersebut menunjukkan dampak paling positif pada kemampuan sistem untuk menstabilkan diri melalui homeostasis (skor rata-rata: 4.2) dan kemampuan untuk merespons cepat melalui flux (skor rata-rata: 3.9). Semua intervensi, baik struktural maupun non-struktural, memiliki skor dampak rata-rata positif (>3). Intervensi struktural yang paling memengaruhi adalah underground piped bypass (skor rata-rata: 4.0), sementara intervensi non-struktural adalah citizen engagement (skor rata-rata: 4.0). Namun, dampak terbatas tercatat pada redundancy (skor rata-rata: 3.3) dan flatness (skor rata-rata: 3.1).

Pada sisi kapasitas adaptif, keterlibatan warga secara signifikan meningkatkan pengetahuan dan persepsi risiko dibandingkan warga yang tidak terlibat. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara keterlibatan warga dan peningkatan pengetahuan terkait banjir dan kesiapan dengan nilai $p<.001$ untuk keduanya, serta pengetahuan perubahan iklim ($p<.001$) dan kekhawatiran tentang perubahan iklim ($p=.045$)—menunjukkan potensi kuat untuk intervensi non-struktural yang ditargetkan. Sebaliknya, keterlibatan warga tidak menunjukkan dampak signifikan pada motivasi atau kapasitas adaptif yang dirasakan ($p=.095$ dan $p=.483$ masing-masing).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan dengan menawarkan sebuah kerangka kerja diagnostik dan holistik yang secara eksplisit menggabungkan perspektif rekayasa (functional resilience) dan sosial (adaptive capacity) untuk menilai dampak proyek PRB pada tingkat lokal. Hal ini mengatasi kelemahan literatur yang ada yang sebagian besar fokus pada respons sistem rekayasa dan mengabaikan interaksi banjir-manusia atau faktor sosial.

Secara khusus, penemuan bahwa keterlibatan warga meningkatkan pengetahuan dan persepsi risiko tetapi tidak pada motivasi dan kapasitas adaptif yang dirasakan sangat relevan. Hal ini mengonfirmasi perlunya intervensi engagement yang ditargetkan untuk tidak hanya mengedukasi tetapi juga memberdayakan warga. Penemuan ini menyoroti bahwa proyek PRB perlu mengintegrasikan intervensi struktural yang dirancang dengan baik dengan intervensi engagement yang ditargetkan untuk meningkatkan kapasitas adaptif warga.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kuat, studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Penilaian fungsional menunjukkan bahwa flatness (kompetensi lokal untuk memutuskan dan bertindak) dan redundancy (fungsi yang tumpang tindih) adalah prinsip yang paling kurang dimanfaatkan. Analisis menyimpulkan bahwa hal ini disebabkan oleh kurangnya kewenangan (otoritas) inisiator proyek, tujuan 'persyaratan minimum' untuk kembali ke tingkat pra-gempa, dan keterbatasan sumber daya yang dipicu oleh proses fast-tracked.

Pertanyaan terbuka yang muncul adalah:

  • Sejauh mana faktor konteks dan desain proses (governance context dan process design), seperti yang disorot dalam analisis, secara kausal membatasi peningkatan flatness dan redundancy dibandingkan dengan faktor desain teknis?
  • Bagaimana proyek dapat dirancang agar kriteria ketahanan, seperti redundancy, dapat tertanam dalam desain saat ini meskipun ada strategi 'jalur adaptif' yang reaktif, yang dikhawatirkan dapat menunda peningkatan kapasitas terhadap gangguan di masa depan?
  • Apakah desain engagement yang berbeda (misalnya, dialog dua arah yang lebih kuat atau transparansi yang lebih tinggi) dapat mengatasi penurunan motivasi yang dirasakan oleh sebagian warga akibat kurangnya dialog dua arah, terutama di tengah tekanan waktu proyek?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Rekomendasi ini disusun untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, dengan fokus pada eksplorasi variabel dan konteks baru berdasarkan temuan.

  1. Riset Lanjutan tentang Pengoptimalan Redundancy vs. Keterbatasan Tata Kelola:
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Perlu dilakukan studi kasus komparatif yang membandingkan proyek PRB di yurisdiksi yang berbeda (misalnya, sistem federal vs. unitaris) dengan otoritas teritorial yang berbeda (misalnya, kota vs. otoritas regional/nasional). Fokus harus pada variabel tata kelola (kewenangan inisiator, mekanisme pendanaan cost-share antar level pemerintahan) dan dampaknya pada implementasi prinsip redundancy dan omnivory (diversifikasi sumber daya) untuk fungsi perumahan dan ekonomi, yang ditemukan kurang terwakili dalam kasus Dudley Creek.
    • Justifikasi Ilmiah: Penemuan bahwa redundancy dibatasi oleh kurangnya kewenangan de-develop dan perlunya persetujuan multi-level memerlukan pemodelan tata kelola dan dampaknya pada ruang lingkup intervensi teknis untuk mengidentifikasi model governance yang secara struktural memungkinkan solusi redundancy yang lebih luas.
  2. Eksplorasi Mendalam mengenai Flatness dan Kompetensi Lokal:
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan penelitian pre-test dan post-test kualitatif (misalnya, wawancara mendalam, observasi partisipan) di proyek PRB baru yang secara eksplisit mencantumkan peningkatan flatness (pembentukan komite banjir lokal formal, anggaran diskresi lokal) sebagai tujuan dan kriteria keberhasilan. Variabel kunci adalah hubungan antara implementasi tujuan flatness dan perubahan terukur dalam kapasitas adaptif yang dirasakan warga dan motivasi untuk bertindak.
    • Justifikasi Ilmiah: Karena flatness ditemukan memiliki dampak yang terbatas (skor 3.1) dan engagement tidak meningkatkan motivasi/kapasitas adaptif yang dirasakan, perlu diverifikasi apakah transfer formal kompetensi pengambilan keputusan lokal dapat mengisi kesenjangan antara pengetahuan (knowledge) dan aksi (motivation / perceived adaptive capacity), sejalan dengan argumen bahwa sistem hierarki yang terlalu kaku terlalu lambat untuk respons non-standar.
  3. Analisis Desain Keterlibatan (Engagement) untuk Peningkatan Motivasi:
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menguji secara empiris dampak dari berbagai pendekatan engagement (misalnya, dialog dua arah, penekanan pada peran dan kemampuan warga, transparansi keputusan) pada motivasi dan kapasitas adaptif yang dirasakan (PAD) warga, menggunakan kuisioner yang dimodifikasi untuk memasukkan pertanyaan tentang kualitas dialog dan peran yang dirasakan oleh warga.
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan peningkatan motivasi yang dicapai oleh sebagian warga diimbangi oleh penurunan motivasi pada warga lain karena persepsi kurangnya dialog dua arah. Hal ini menggarisbawahi perlunya studi diferensial untuk memodelkan desain engagement yang menghasilkan dampak positif bersih pada motivasi, mengatasi risiko de-motivation ketika harapan warga akan dampak tidak terpenuhi.
  4. Penilaian Ketahanan Multi-Bahaya (Multi-Hazard):
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menerapkan pendekatan gabungan (ketahanan fungsional dan kapasitas adaptif) ke konteks urban yang menghadapi ancaman majemuk (misalnya, banjir, gempa bumi, kenaikan suhu). Pendekatan ini harus membandingkan dampak intervensi tunggal PRB terhadap ketahanan terhadap bahaya yang tidak terkait (misalnya, gempa) untuk menguji seberapa besar proyek PRB berkontribusi pada ketahanan 'generik' urban.
    • Justifikasi Ilmiah: Meskipun banjir adalah ancaman terbesar bagi Dudley Creek, studi ini mengakui bahwa ketahanan urban yang komprehensif harus mempertimbangkan semua gangguan. Membandingkan prinsip-prinsip ketahanan di seluruh bahaya akan mengidentifikasi intervensi yang paling sinergis atau berpotensi konflik, memberikan dasar bagi desain multi-hazard resilience di masa depan.
  5. Pemodelan Keterbatasan Sumber Daya dan Inovasi:
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan analisis simulasi atau ex-ante pada proyek PRB baru untuk memodelkan hubungan antara tekanan waktu (fast-tracked) dan biaya (fixed budget) dengan pemilihan intervensi 'tradisional/aman' (risiko penundaan rendah) versus intervensi 'inovatif' (risiko penundaan tinggi) yang berpotensi memiliki dampak ketahanan yang lebih tinggi. Membandingkan variabel delay risk aversion (penghindaran risiko penundaan) di antara pengambil keputusan.
    • Justifikasi Ilmiah: Analisis menunjukkan bahwa tekanan waktu menyebabkan pengambil keputusan memilih solusi tradisional daripada yang inovatif, meskipun yang terakhir mungkin lebih meningkatkan ketahanan. Penelitian ini akan membantu merumuskan trade-off antara kecepatan implementasi proyek dan hasil ketahanan yang optimal, menginformasikan kerangka kerja penilaian multi-kriteria untuk proyek mendatang.

Kesimpulan Kolaboratif

Penelitian ini mengonfirmasi relevansi menggabungkan perspektif teknik dan sosial dalam penilaian dan perancangan proyek manajemen risiko banjir. Untuk memastikan redundancy dan flatness tidak lagi menjadi prinsip yang kurang dimanfaatkan, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintahan lokal (sebagai inisiator proyek), otoritas perencanaan regional/nasional (untuk mengatasi keterbatasan kewenangan), dan organisasi komunitas (untuk menguji desain engagement yang memberdayakan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Menggali Potensi Penuh: Memanfaatkan Proyek Pengelolaan Risiko Banjir untuk Ketahanan Urban Holistik.

Manajemen Bencana

Melampaui Ketidakjelasan: Menata Ulang Indikator Risiko Banjir untuk Tindakan Mitigasi yang Tepat Sasaran

Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025


Melampaui Ketidakjelasan: Menata Ulang Indikator Risiko Banjir untuk Tindakan Mitigasi yang Tepat Sasaran

Oleh: Pınar Pamukçu Albers dan Mariele Evers Paper: Assessing Flood Risk: Identifying Indicators and Indices for Period-Specific Flood Measures

Studi ini secara eksplisit menguraikan kerangka kerja kritis bagi para akademisi, peneliti, dan lembaga pemberi hibah untuk menyelaraskan penilaian risiko banjir dengan kebutuhan tindakan spesifik yang diperlukan pada periode pra-banjir, saat-banjir, dan pasca-banjir. Melalui tinjauan sistematis terhadap 30 makalah penelitian yang menggunakan metodologi Analytic Hierarchy Process (AHP) dari tahun 2017 hingga 2022, penelitian ini berhasil mengidentifikasi dan mendefinisikan kembali ambiguitas yang melingkupi faktor-faktor risiko banjir—Bahaya, Paparan, dan Kerentanan—serta mengkorelasikannya dengan indikator dan indeks yang paling sering digunakan. Tujuan sentralnya adalah untuk menjembatani kesenjangan di mana kriteria seleksi indikator yang tepat, khususnya mengenai peran dan penerapannya selama periode banjir yang berbeda, tetap tidak jelas dalam literatur.

Jalur logis temuan dimulai dari pengakuan adanya ketidakjelasan konseptual yang meluas dalam literatur tentang penilaian risiko banjir. Para peneliti mencatat bahwa perumusan risiko banjir sangat bervariasi, dari model perkalian dasar (Risiko = Bahaya x Kerentanan) hingga formula yang lebih kompleks (Risiko = Bahaya x [Paparan x (Kapasitas Adaptif + Sensitivitas)]), yang mencerminkan kurangnya pendekatan konsisten untuk memastikan komparabilitas antar lokasi dan keadaan yang berbeda. Kerangka konseptual yang kabur ini menghambat efektivitas tindakan manajemen risiko, karena indikator yang digunakan seringkali tidak didefinisikan secara presisi dalam kaitannya dengan peran spesifiknya selama fase bencana. Secara khusus, Kerentanan di bawah kerangka IPCC AR6 kini mencakup elemen Sensitivitas dan Kapasitas Adaptif, memperumit pemodelan risiko secara keseluruhan.

Untuk mengatasi hal ini, tinjauan ini mengklasifikasikan indikator-indikator yang paling sering dianalisis dalam tujuh indeks utama: Socio-ekonomi, Lingkungan Terbangun (Built-environment), Hidrologi, Meteorologi, Topografi, Vegetasi, dan Geologi. Analisis mendalam menunjukkan adanya keterkaitan yang rumit. Misalnya, Indeks Hidrologi terbukti memegang peranan penting dalam penilaian Bahaya dan Kerentanan, meliputi indikator-indikator seperti drainase, sungai, aliran, dan karakteristik tanah, menjadikannya faktor penting dalam perencanaan intervensi. Kontras dengan itu, Indeks Socio-ekonomi menjadi perhatian utama untuk Kerentanan, dengan fokus pada kapasitas masyarakat untuk mengatasi dan pulih dari bencana, yang sangat penting bagi identifikasi populasi yang rentan dan pengembangan intervensi yang ditargetkan. Sementara itu, Indeks Lingkungan Terbangun—meliputi jaringan transportasi, tata guna lahan, dan kedekatan dengan sungai—secara signifikan memengaruhi Kerentanan, Bahaya, Paparan, dan Kerentanan.

Indikator Kuantitatif dan Potensi Riset Jangka Panjang

Meskipun tinjauan ini bersifat kualitatif-sistematis, analisis frekuensi penggunaan indikator memberikan sinyal yang jelas tentang fokus penelitian saat ini dan potensi untuk objek penelitian baru.

Penemuan ini menunjukkan hubungan kuat antara faktor Kerentanan dan indikator Kepadatan Populasi (jumlah individu per unit area), yang dipertimbangkan oleh lima dari total 30 paper yang diulas—menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam studi kasus spesifik dan perbandingan antar-wilayah. Demikian pula, tingkat pendidikan/literasi muncul sebagai faktor Kerentanan yang signifikan dalam empat makalah yang ditinjau. Pola penggunaan ini menyoroti bahwa komunitas riset global, terutama yang berada di Asia Selatan dan Afrika (lokasi dominan studi kasus), secara kolektif mengakui Kepadatan Populasi dan tingkat pengetahuan sebagai variabel kunci dalam menentukan kerentanan dan kapasitas adaptif.

Penggunaan berulang dari indikator ini menegaskan bahwa faktor-faktor manusia tidak hanya menjadi variabel kontekstual, melainkan variabel kausal yang kritis yang memengaruhi tingkat risiko keseluruhan. Dalam jangka panjang, peneliti dapat menggunakan frekuensi penggunaan ini sebagai koefisien implisit dalam merancang model risiko baru. Dengan asumsi frekuensi lima dari 30 studi mencerminkan bobot signifikan yang diberikan pada indikator yang paling sering digunakan, fokus yang lebih tajam pada dinamika sosial-ekonomi dapat mengubah model risiko dari yang didominasi oleh Bahaya fisik menjadi model yang seimbang dengan Kerentanan sosial-ekonomi. Pemahaman ini membuka jalan bagi penilaian risiko yang lebih holistik dan pengembangan strategi yang tidak hanya berfokus pada infrastruktur keras tetapi juga pada penguatan modal sosial.

Logika penelitian kemudian berlanjut ke pengujian hubungan antara indikator risiko spesifik dan tiga periode banjir: pra-banjir (kesiapsiagaan), saat-banjir (tindakan darurat), dan pasca-banjir (pemulihan). Studi ini menemukan tiga jenis efek dominan:

  1. Efek Negatif: Indikator di mana peningkatan atau penurunan nilainya mengakibatkan peningkatan risiko banjir selama periode tertentu.
  2. Efek Positif: Indikator di mana perubahan nilainya menyebabkan penurunan risiko banjir, seperti keberadaan infrastruktur perlindungan banjir atau vegetasi yang sehat. Penulis menekankan pentingnya memasukkan indikator "positif" ini, yang sering diabaikan dalam fokus tradisional pada kerugian.
  3. Efek Netral/Berbeda-Tingkat: Indikator kontekstual, seperti kelas tata guna lahan, yang efeknya sangat bergantung pada kondisi lokal dan sulit dikategorikan secara kaku sebagai negatif atau positif.

Temuan ini secara implisit menunjukkan perlunya pendekatan risiko yang koheren dan kontekstual untuk mengaitkan indikator spesifik dengan tindakan yang sesuai—seperti mengaitkan indikator jaringan transportasi dengan rute evakuasi (saat-banjir) atau menghubungkan kepadatan populasi dengan kesiapsiagaan publik (pra-banjir). Dengan menjembatani kesenjangan ini, penelitian ini berkontribusi pada pengembangan metodologi yang lebih efektif dan informasi yang lebih baik untuk strategi mitigasi.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama penelitian ini terletak pada upayanya untuk menstandardisasi kerangka kerja konseptual yang terpecah-pecah dalam penilaian risiko banjir. Dengan menggunakan AHP sebagai lensa untuk meninjau literatur, studi ini secara efektif memetakan bobot implisit yang diberikan oleh komunitas akademik pada berbagai indikator (geospasial, sosial, meteorologis) dan menghubungkannya dengan faktor risiko.

  1. Pengkaitan Indikator-Aksi Periodik: Peta tematik yang mengaitkan indikator (misalnya, kepadatan populasi, elevasi, curah hujan harian) secara eksplisit dengan langkah-langkah spesifik untuk tiga periode banjir—pra, saat, dan pasca—adalah kontribusi yang paling bernilai bagi pembuat kebijakan dan perencana kota. Ini memberikan panduan operasional yang sangat dibutuhkan untuk alokasi sumber daya yang ditargetkan, didukung oleh metodologi yang sistematis.
  2. Penekanan pada Indikator Positif: Penelitian ini secara khusus menyoroti perlunya memasukkan indikator positif (misalnya, infrastruktur perlindungan banjir, infrastruktur hijau-biru, sistem peringatan dini) ke dalam model risiko. Ini adalah pergeseran naratif dari evaluasi risiko yang didominasi kerugian menuju analisis berbasis kapasitas dan ketahanan.
  3. Memperjelas Ambiguita Faktor Risiko: Dengan meninjau definisi Bahaya, Kerentanan, dan Paparan dari berbagai studi, studi ini membedah sifat kontekstual masing-masing faktor. Hal ini sangat relevan untuk disiplin geografi dan perencanaan yang berusaha untuk mengukur risiko secara akurat di wilayah yang berbeda.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun tinjauan ini memberikan sintesis yang jelas, keterbatasan metodologi tinjauan literatur sistematis membuka beberapa pertanyaan terbuka yang krusial untuk agenda riset ke depan.

Keterbatasan utama terletak pada ketergantungan eksklusif pada studi AHP. Meskipun AHP adalah metode yang kuat untuk penentuan bobot multi-kriteria, ia memperkenalkan subjektivitas dalam penilaian ahli yang digunakan untuk menentukan bobot indikator. Oleh karena itu, bobot indikator yang disimpulkan dalam tinjauan ini sebagian didasarkan pada konsensus subjektif daripada hubungan statistik obyektif.

Pertanyaan Terbuka yang muncul meliputi:

  • Bagaimana dampak penggunaan metodologi hibrida (seperti Fuzzy AHP atau TOPSIS, yang disertakan dalam tinjauan) memengaruhi stabilitas bobot indikator dibandingkan dengan AHP murni?. Stabilitas metodologis ini penting untuk penerima hibah yang ingin membangun model yang dapat direplikasi.
  • Mengingat bahwa 50% studi kasus berlokasi di basin, watershed, atau catchment dan mayoritas berasal dari Asia Selatan dan Afrika, sejauh mana temuan ini dapat digeneralisasi ke daerah pesisir, perkotaan mega, atau negara-negara maju yang memiliki data dan infrastruktur yang berbeda?. Generalisasi memerlukan studi perbandingan di wilayah yang beragam.
  • Bagaimana indikator "netral" atau "berbeda-tingkat efek" dapat ditransformasikan menjadi variabel kuantitatif yang jelas dalam model risiko?. Misalnya, tata guna lahan memiliki efek yang kompleks; riset lebih lanjut diperlukan untuk mengembangkan fungsi kerugian yang spesifik untuk setiap kelas tata guna lahan.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Untuk memajukan penilaian risiko banjir dari kerangka konseptual menjadi alat prediktif operasional, lima rekomendasi riset berikut harus menjadi prioritas bagi komunitas akademik dan lembaga pemberi dana:

1. Standardisasi Terminologi Risiko Global melalui Meta-Analisis Kuantitatif Lintas Metode

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara tegas mendemonstrasikan variabilitas dalam perumusan risiko (Risiko = Hazard x Vulnerability vs. Risiko = Hazard + Vulnerability) dan definisi faktor. Variabilitas ini menghambat transferabilitas model. Arah Riset: Perlu dilakukan meta-analisis kuantitatif (bukan hanya kualitatif seperti studi ini) yang melibatkan model regresi atau pemodelan persamaan struktural (SEM). Studi ini harus menguji validitas dan stabilitas statistik dari berbagai formulasi risiko (perkalian vs. penjumlahan) menggunakan dataset global yang terstandarisasi. Variabel baru harus mencakup koefisien goodness-of-fit dari setiap formulasi dalam memprediksi kerugian nyata. Perlunya Penelitian Lanjutan: Standardisasi akan menghasilkan 'bobot emas' global untuk setiap indikator, menghilangkan subjektivitas penentuan bobot AHP dan memastikan konsistensi metodologis.

2. Pengembangan Indikator Positif yang Berbasis Kinerja Lintas Sektor

Justifikasi Ilmiah: Studi ini menggarisbawahi pentingnya indikator positif (misalnya, ruang hijau, sistem peringatan dini) yang sering diabaikan, namun memiliki efek positif yang signifikan dalam mengurangi risiko. Arah Riset: Penelitian harus berfokus pada pengembangan Indeks Kapasitas Adaptif Fungsional (ICAF). ICAF akan menggunakan metode baru seperti life-cycle assessment (LCA) untuk mengkuantifikasi manfaat ekonomi dan perlindungan dari aset adaptif (misalnya, berapa pengurangan debit puncak yang dihasilkan oleh X km² infrastruktur hijau). Konseks baru adalah validasi ICAF ini di lokasi dengan dan tanpa sistem peringatan dini yang efektif. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memungkinkan lembaga pemberi hibah untuk memprioritaskan investasi nature-based solutions (solusi berbasis alam) berdasarkan dampak yang terukur, bukan hanya pada asumsi teoritis.

3. Pemetaan Skala Efek Indikator Lintas Wilayah Geografis

Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan dominasi studi kasus pada skala DAS (watershed) atau catchment dan kurangnya studi perbandingan di wilayah perkotaan padat penduduk atau pantai. Arah Riset: Diperlukan studi skala-silang (cross-scale) yang membandingkan efek dan bobot indikator. Misalnya, Indeks Hidrologi mungkin mendominasi risiko di DAS, tetapi Indeks Lingkungan Terbangun (misalnya, jalan, imperviousness) mungkin menjadi faktor penentu utama di tingkat kota. Penelitian ini harus menggunakan teknik regresi Geographically Weighted Regression (GWR) untuk menentukan bagaimana bobot indikator (variabel) berubah secara spasial dari skala watershed (konteks lama) ke skala city block (konteks baru). Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memberikan pemahaman yang lebih halus tentang Indikator Netral/Berbeda-Tingkat, memungkinkannya untuk ditafsirkan secara presisi berdasarkan skala analisis, sangat penting untuk perencanaan tata ruang perkotaan.

4. Menghubungkan Indikator Socio-Ekonomi dengan Tindakan Pasca-Banjir dan Pemulihan

Justifikasi Ilmiah: Indikator Socio-ekonomi (kepadatan populasi, tingkat pendidikan) saat ini terutama dinilai untuk Kerentanan (kapasitas untuk mengatasi). Namun, peran mereka dalam manajemen pasca-banjir (pemulihan, pelajaran yang dipetik) perlu diperluas. Arah Riset: Penelitian di masa depan harus menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif campuran (mixed-methods) untuk menghubungkan Kerentanan Socio-ekonomi dengan metrik Pemulihan (misalnya, kecepatan asuransi disetujui, waktu yang diperlukan untuk rekonstruksi rumah). Variabel baru yang perlu dipertimbangkan adalah 'koefisien pemulihan' yang membandingkan kelompok dengan tingkat literasi rendah (kerentanan tinggi) dengan kelompok dengan tingkat literasi tinggi (kerentanan rendah) dalam konteks penyerapan dana hibah dan asuransi. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memberikan panduan yang kuat bagi lembaga sosial dan asuransi untuk merancang intervensi yang mempercepat pemulihan di antara kelompok yang paling rentan, mengubah Kerentanan menjadi strategi Ketahanan.

5. Membangun Model Penilaian Risiko Real-Time Berbasis Indikator Meteorologis

Justifikasi Ilmiah: Indikator Meteorologi (curah hujan harian, maksimum) diakui krusial dalam penilaian Bahaya dan Kerentanan. Namun, sebagian besar studi AHP berfokus pada penilaian risiko statis. Arah Riset: Perlu dialihkan fokus ke penilaian risiko dinamis. Model harus mengintegrasikan indikator meteorologis ** near-real-time (hujan harian dan intensitas)** ke dalam model risiko AHP statis untuk menghasilkan peta risiko real-time. Ini akan menggunakan metode machine learning (ML) atau deep learning (DL) untuk memproses data sensor dan memprediksi Kerentanan atau Paparan secara langsung selama fase saat-banjir. Perlunya Penelitian Lanjutan: Hal ini akan merevolusi sistem peringatan dini, mengubahnya dari peringatan Bahaya sederhana menjadi peringatan Risiko fungsional yang secara otomatis mengaktifkan rute evakuasi yang diprioritaskan berdasarkan pergerakan populasi (Paparan).

Penelitian ini telah meletakkan dasar yang kokoh untuk menilai risiko banjir secara lebih terstruktur, tetapi tantangan standardisasi dan dinamika temporal masih harus diatasi. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi IPCC (untuk standardisasi definisi), UNESCO IHP (untuk pemetaan skala lintas batas DAS), dan Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR) dari Bank Dunia (untuk validasi metrik ICAF dan pemulihan socio-ekonomi) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di berbagai konteks global.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Melampaui Ketidakjelasan: Menata Ulang Indikator Risiko Banjir untuk Tindakan Mitigasi yang Tepat Sasaran

Manajemen Risiko

Membangun Kembali Mati dengan Ketahanan: Peran Kritis Perencanaan Spasial dalam Mengurangi Risiko Bencana Pasca Kebakaran Hutan di Yunani

Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025


Membangun Kembali Mati dengan Ketahanan: Peran Kritis Perencanaan Spasial dalam Mengurangi Risiko Bencana Pasca Kebakaran Hutan di Yunani

Penelitian berjudul “Disaster Risk Management and Spatial Planning: Evidence from the Fire-Stricken Area of Mati, Greece” secara mendalam membahas peran penting perencanaan spasial sebagai alat panoptik untuk pembangunan berkelanjutan, pengurangan risiko bencana, dan adaptasi perubahan iklim. Perencanaan berbasis risiko mendapatkan perhatian karena meningkatnya kerentanan infrastruktur perkotaan. Integrasi manajemen risiko bencana (DRM) ke dalam perencanaan spasial memerlukan strategi berbasis geografis untuk mengurangi risiko bencana.

Kajian ini berfokus pada kawasan Mati, Attica, yang hancur akibat kebakaran hutan pada Juli 2018. Bencana tersebut merupakan yang paling mematikan di Eropa dan kedua paling mematikan di dunia pada abad terakhir. Penyebab bencana sangat berkaitan dengan kelemahan perencanaan spasial atau ketiadaannya : jalan yang sangat sempit, banyak jalan buntu, blok bangunan yang terlalu panjang tanpa jalur evakuasi lateral, dan kurangnya tempat berkumpul, semuanya menghambat evakuasi yang aman dan cepat. Penelitian ini menyajikan serangkaian proposal urbanistik untuk rekonstruksi Mati berdasarkan kontribusi Urban Planning Research Laboratory (UPRL) dari National Technical University of Athens (NTUA) untuk penyusunan Special Urban Plan (SUP).

Proposal ini bertujuan untuk reorganisasi perkotaan yang berpusat pada prinsip pembangunan berkelanjutan, organisasi tata guna lahan yang rasional, pelestarian sumber daya alam, dan memastikan kondisi aman untuk semua kelompok sosial penduduk dan pengunjung.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi penelitian ini adalah menyediakan cetak biru untuk integrasi DRM ke dalam perencanaan spasial, khususnya melalui instrumen SUP Yunani. SUP dapat digunakan untuk pengurangan risiko bencana dan manajemen , dan penggunaannya di Mati menjadi kasus percontohan yang signifikan bagi perencanaan spasial di Yunani.

Jalur logis perjalanan temuan dimulai dari identifikasi kerentanan Mati, diikuti dengan perumusan proposal reorganisasi:

  1. Analisis Kerentanan Spasial: Kerentanan Mati digarisbawahi oleh data kuantitatif yang menunjukkan ketidakcukupan signifikan dalam ruang publik dan struktur urban.
    • Persentase ruang umum (jalan, ruang terbuka) di permukiman Mati hanya 11,0%, jauh tertinggal dari kawasan perumahan pusat (22,3% dan 22,7%) atau permukiman suburban (14,3%). Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara kurangnya ruang publik yang memadai (yang dapat berfungsi sebagai tempat berkumpul dan evakuasi) dan kerentanan permukiman terhadap bencana.
    • Perimeter blok bangunan rata-rata di Mati adalah 751,0 m (atau 730 m) , jauh lebih panjang dibandingkan permukiman lain di Attica (272,3 m hingga 533,0 m). Blok yang besar dan jalan buntu yang banyak menghambat rute evakuasi alternatif. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru yang fokus pada batas kritis perimeter blok untuk keamanan evakuasi.
    • Lebar jalan tersempit di Mati adalah 3,5 m , yang menghambat akses tim penyelamat dan kendaraan evakuasi.
  2. Perumusan Pola Organisasi Spasial Baru: Proposal reorganisasi Mati didasarkan pada tiga pilar utama: lingkungan alam, evakuasi aman, dan revitalisasi pantai.
    • Lingkungan Alam: Penekanan pada pencegahan kebakaran melalui studi perlindungan api , pengembangan zona pertahanan/perlindungan api dengan membersihkan vegetasi dan menanam spesies non-mudah terbakar , dan pemulihan kemampuan fisik kawasan seperti penyingkapan dasar sungai/aliran air untuk mitigasi banjir.
    • Evakuasi Aman dan Aksesibilitas: Memperluas ruang publik , membagi blok bangunan (memperkenalkan jalan transversal) , dan menciptakan jaringan evakuasi yang aman menuju tempat berkumpul publik.
    • Revitalisasi Pantai: Meningkatkan sifat publik dari zona pantai dengan menghilangkan pagar , dan menciptakan jalur pantai tunggal (sekitar ) untuk akses publik dan evakuasi.

Kesimpulannya, penelitian ini menunjukkan bagaimana kegagalan perencanaan (misalnya, bangunan informal, blok panjang, akses pantai terhalang) di masa lalu secara langsung berkontribusi pada kerentanan struktural, dan menawarkan kerangka kerja terpadu untuk membangun kembali ketahanan secara fisik dan prosedural.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun menyajikan kerangka kerja yang komprehensif, penelitian ini menyoroti keterbatasan mendasar dalam sistem perencanaan Yunani yang dapat menghambat implementasi:

  • Pelaksanaan yang Lemah: Perencanaan spasial di Yunani seringkali ditantang oleh implementasi rencana yang terlalu lama, penegakan yang lemah, dan prosedur hukum serta administrasi yang berat.
  • Pemulihan yang Reaktif: Skema pemulihan bencana yang ada di Yunani cenderung berpusat pada bangunan individu dan mereproduksi kondisi spasial pra-bencana, alih-alih mempromosikan 'Build Back Better' dan keberlanjutan.
  • Pemisahan Disiplin: Perencana spasial cenderung memandang pengurangan risiko bencana sebagai area keahlian geosciences dan teknik , dan manajemen bencana sebagai masalah organisasi perlindungan sipil. Hal ini mencerminkan segregasi antara disiplin ilmu yang harus diatasi.

Pertanyaan terbuka yang muncul adalah: Seberapa efektif SUP dalam jangka panjang akan menahan tekanan pembangunan kembali oleh sektor swasta yang sering tidak mematuhi peraturan urban?. Lebih lanjut, bagaimana memastikan partisipasi multi-pemangku kepentingan yang memadai yang diperlukan untuk mengimplementasikan legislasi perencanaan yang kurang preskriptif, namun lebih fleksibel?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

1. Model Simulasi Evakuasi Jaringan Urban Mati

  • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan rata-rata perimeter blok bangunan Mati sebesar 751,0 meter dan kurangnya jalan transversal secara langsung menghambat evakuasi aman.
  • Fokus Riset: Mengembangkan model simulasi evakuasi micro-simulation (pejalan kaki dan kendaraan) yang membandingkan efisiensi waktu evakuasi kawasan Mati (pra-rekonstruksi) dengan skenario pasca-rekonstruksi yang mengintegrasikan jalan transversal baru (yang diusulkan ditunjukkan dalam Gambar 7).
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menggunakan Analisis Jaringan Geografis untuk mengidentifikasi ambang batas kritis (critical threshold) di mana fragmentasi blok (memperkenalkan jalan transversal) secara signifikan mengurangi waktu respons tim penyelamat dan waktu evakuasi warga.
  • Perlunya Lanjutan: Untuk memvalidasi desain ex-ante dari jaringan jalan baru dan secara kuantitatif mengukur manfaat pengurangan risiko dari intervensi spasial yang diusulkan Mati.

2. Studi Efikasi Fire Defense Zones Vegetatif-Hibrida

  • Justifikasi Ilmiah: Proposal Mati menyarankan penciptaan zona pertahanan/perlindungan api dengan membersihkan vegetasi, menanam spesies non-mudah terbakar, dan kemungkinan pemasangan sistem sprinkler aktif (solusi "aktif").
  • Fokus Riset: Melakukan kajian komparatif fire-testing dalam skala laboratorium dan lapangan untuk mengukur efikasi (misalnya, pengurangan intensitas api) dari zona pertahanan pasif (vegetatif) dan zona hibrida (vegetatif + sprinkler).
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Memasukkan pemodelan propagasi api tingkat mikro (micro-level fire propagation modeling) dengan variabel kondisi ekstrem (misalnya, angin kencang seperti pada bencana 2018) untuk menghasilkan standar fire-resistance bangunan dan vegetasi yang spesifik untuk zona WUI (Wildland Urban Interface) Yunani.
  • Perlunya Lanjutan: Untuk menyediakan bukti ilmiah yang kuat yang dapat digunakan untuk menyusun kode bangunan dan standar penggunaan lahan yang spesifik di kawasan fire-prone.

3. Analisis Longitudinal Tata Kelola dan Penegakan SUP

  • Justifikasi Ilmiah: Penegakan rencana spasial yang lemah dan prosedur yang terlalu lama adalah tantangan utama di Yunani. Keberhasilan SUP di Mati tergantung pada mengatasi hambatan kelembagaan ini.
  • Fokus Riset: Melakukan analisis tata kelola longitudinal terhadap proses persiapan, persetujuan, dan implementasi SUP Mati (termasuk koordinasi antar Kementerian dan entitas lokal).
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menggunakan kerangka kerja action research dan Wawancara Pemangku Kepentingan untuk mengidentifikasi praktik terbaik dan kegagalan dalam integrasi kebijakan sektoral (transportasi, lingkungan, dsb.) di bawah payung SUP.
  • Perlunya Lanjutan: Untuk mengatasi "perilaku silo" dan "fragmentasi tanggung jawab" yang diakui dalam DRM Yunani dan untuk merumuskan pedoman baru untuk implementasi SUP di masa depan.

4. Studi Penilaian Ketahanan Sosial-Spasial Pantai

  • Justifikasi Ilmiah: Revitalisasi pantai mengusulkan jalur publik sepanjang 3 km yang menghilangkan pagar dan meningkatkan akses ke laut sebagai jalur evakuasi. Akses yang terhalang berkontribusi pada kematian karena warga terjebak.
  • Fokus Riset: Menilai dampak sosiologis dan fungsional dari revitalisasi pantai Mati, khususnya pada keamanan evakuasi.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan survei Geografi Perilaku terhadap penduduk dan pengunjung untuk mengukur peningkatan yang dirasakan dalam keamanan evakuasi, aksesibilitas, dan place attachment sebagai hasil dari jalur pesisir baru (yang diusulkan ditunjukkan dalam Gambar 8).
  • Perlunya Lanjutan: Untuk mendemonstrasikan hubungan antara intervensi spasial fisik (pembukaan ruang publik) dan peningkatan ketahanan sosial dan kesadaran risiko.

5. Pengembangan Pedoman Perencanaan untuk Permukiman Informal Pasca-Bencana

  • Justifikasi Ilmiah: Kerentanan di Mati diperparah oleh bangunan informal dan perumahan berkualitas buruk yang merupakan persentase tinggi dari stok bangunan. Pengembangan informal membuat permukiman rentan terhadap bencana.
  • Fokus Riset: Merumuskan pedoman perencanaan spasial adaptif yang spesifik untuk kawasan dengan tingkat pengembangan informal yang tinggi, berdasarkan pelajaran dari Mati.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menganalisis bagaimana relaksasi persyaratan tertentu (misalnya, ukuran plot yang lebih kecil) dan penggunaan strategi pelibatan multi-pemangku kepentingan dapat digunakan untuk mengintegrasikan DRM ke dalam pembaruan infrastruktur dan layanan di permukiman informal yang telah terlanjur ada.
  • Perlunya Lanjutan: Untuk menangani realitas bahwa hanya sebagian kecil pembangunan perkotaan yang mengikuti rencana formal , dan bahwa perencanaan harus beradaptasi untuk mengurangi risiko di kawasan informal.

Penelitian ini berfungsi sebagai cetak biru untuk mengubah krisis bencana menjadi kesempatan untuk mencapai pembangunan urban yang lebih aman dan berkelanjutan. Dengan mengidentifikasi secara eksplisit kelemahan spasial yang fatal, proposal Mati menggunakan Special Urban Plan (SUP) untuk secara radikal mereorganisasi jaringan jalan, memecah blok bangunan, dan mereklamasi ruang publik.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi perencanaan regional, badan Perlindungan Sipil nasional, dan komunitas ilmiah geoinformatika untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama pada pemodelan risiko dan implementasi tata kelola.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Membangun Kembali Mati dengan Ketahanan: Peran Kritis Perencanaan Spasial dalam Mengurangi Risiko Bencana Pasca Kebakaran Hutan di Yunani

Ekonomi Pembangunan

Mengungkap Kebenaran: Mengapa Proyek Infrastruktur Transportasi Swedia Terus Mengalami Pembengkakan Biaya? Sebuah Panggilan untuk Aksi Riset.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025


Analisis Komprehensif Biaya Berlebihan dalam Proyek Transportasi Infrastruktur Swedia (2010–2022): Sebuah Seruan untuk Agenda Riset Transformatif

Fenomena biaya berlebihan (cost overrun) telah lama mengganggu proyek-proyek infrastruktur di seluruh dunia, dan temuan empiris yang disajikan dalam penelitian yang meneliti proyek transportasi infrastruktur Swedia antara tahun 2010 dan 2022 ini memperkuat bahwa masalah tersebut bersifat kronis. Studi ini tidak hanya mengukur besarnya masalah—dengan proyek terburuk melebihi biaya estimasi sebesar 478% —tetapi juga secara statistik mengidentifikasi variabel karakteristik proyek yang berkontribusi pada kerentanan biaya. Dengan nilai R^2 yang relatif rendah sebesar 0.1128, yang menunjukkan bahwa model hanya menjelaskan sekitar 11% dari variasi biaya berlebihan , penelitian ini berfungsi sebagai platform penting, mengonfirmasi beberapa hipotesis literatur dan secara bersamaan membuka jalur investigasi baru yang krusial untuk agenda riset ekonomi transportasi di masa depan.

Jalur Logis Penemuan dan Hasil Empiris

Penelitian ini membedah hubungan antara biaya berlebihan (variabel dependen, diukur sebagai rasio persentase biaya aktual terhadap estimasi biaya ) dengan variabel independen kategorikal: jenis proyek (jalan/kereta api) , ukuran proyek (kecil, sedang, besar, sangat besar) , dan lokasi regional. Dengan menggunakan metode Regresi OLS dengan robust standard errors (diperlukan karena terdeteksinya heteroskedastisitas melalui uji Breusch-Pagan ), peneliti menetapkan dua jalur temuan utama: kerentanan biaya spesifik proyek dan kelemahan sistemik dalam estimasi biaya.

  1. Kerentanan Proyek Berdasarkan Ukuran dan Lokasi

Secara signifikan, temuan mengenai ukuran proyek menantang asumsi populer bahwa proyek besar (megaproject) adalah sumber utama ketidakpastian biaya. Sebaliknya, penelitian ini menemukan bahwa biaya berlebihan lebih umum pada proyek yang lebih kecil. Proyek berukuran sedang (500–1500 MSEK) dan besar (1500–5000 MSEK) menunjukkan hubungan negatif yang signifikan secara statistik dengan biaya berlebihan pada tingkat 5% (p-value masing-masing 0.021 dan 0.025 ). Koefisien negatif ini mendukung argumen Odeck (2004) dan Cantarelli et al. (2012) bahwa proyek yang lebih besar mungkin mendapat manfaat dari manajemen dan kontrol yang lebih baik serta scrutinization yang lebih cermat selama fase implementasi. Oleh karena itu, hipotesis yang menyatakan proyek besar mengalami biaya berlebihan yang lebih tinggi ditolak.

Di sisi lain, temuan menunjukkan bahwa lokasi regional memiliki hubungan yang signifikan dengan proyek yang mengalami biaya berlebihan. Secara spesifik, proyek di wilayah tengah Swedia (Region 4) menunjukkan koefisien yang positif dan signifikan pada tingkat 5% (p-value = 0.018 ), dibandingkan dengan wilayah Selatan sebagai kategori dasar. Wilayah utara Swedia (Region 3) juga menunjukkan tanda-tanda kerentanan (p-value = 0.101 ). Peneliti berpendapat bahwa ini kemungkinan disebabkan oleh faktor geografis seperti iklim yang lebih keras dan topografi yang lebih kasar , yang dapat menciptakan komplikasi dan menyebabkan peningkatan biaya. Hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan statistik dalam tingkat biaya berlebihan antara wilayah tidak ditolak.

Sementara itu, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan secara statistik dalam biaya berlebihan antara proyek jalan dan kereta api.

  1. Kelemahan Sistemik dalam Estimasi Biaya

Untuk menguji Hipotesis H4 (bahwa proses estimasi telah membaik dari waktu ke waktu), peneliti menggunakan uji-t berpasangan. Uji-t berpasangan menunjukkan bahwa estimasi biaya yang dilakukan pada tahun 2014 relatif akurat dibandingkan dengan revisi tahun 2018, tanpa perbedaan signifikan yang ditemukan.

Namun, estimasi yang dilakukan pada tahun 2018 terbukti sangat diremehkan dibandingkan dengan revisi tahun 2022. Temuan kuantitatif yang mengkhawatirkan: Perkiraan biaya antara 2018 dan 2022 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 34%. Uji-t berpasangan secara statistik signifikan menolak hipotesis bahwa proses estimasi telah membaik (p-value untuk Ha mean(diff) < 0 adalah 0.0025 ). Peningkatan signifikan tersebut mengindikasikan bahwa perencana proyek belum memperbaiki praktik mereka , kemungkinan besar karena adanya optimism bias dan/atau strategic misrepresentation yang bersifat struktural dan persisten.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama penelitian ini berpusat pada pergeseran fokus kebijakan dan penegasan kembali perlunya integrasi variabel non-teknis dalam pemodelan:

  1. Prioritas Pengawasan Proyek Skala: Penelitian ini memberikan bukti empiris yang kuat untuk membenarkan pengalihan sumber daya pengawasan ke proyek yang lebih kecil.
  2. Integrasi Karakteristik Regional dalam Estimasi: Penegasan hubungan signifikan antara lokasi regional dan biaya berlebihan menuntut bahwa estimasi harus bersifat lokasi-spesifik.
  3. Dokumentasi Kegagalan Peramalan yang Berlanjut: Penemuan peremehan biaya signifikan 34% dalam siklus perencanaan 2018–2022 memberikan data terbaru yang sangat dibutuhkan untuk argumen kebijakan, menyoroti bahwa masalah ini, meskipun telah menjadi subjek kritik, terus berlanjut tanpa perbaikan yang signifikan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Keterbatasan utama yang dihadapi oleh peneliti—yaitu, R^2 yang rendah (0.1128 ) dan ketiadaan data yang komprehensif dari otoritas transportasi —menghasilkan serangkaian pertanyaan terbuka untuk komunitas akademik.

  • Variabel Non-Teknis yang Hilang: Variabel apa (seperti scope changes, penundaan yang disengaja, bentuk kontrak, jumlah tender) yang menjelaskan sekitar 89% variasi yang tidak dapat dijelaskan oleh model ini?
  • Dinamika Proses Estimasi: Mengapa estimasi 2014–2018 relatif akurat, namun estimasi 2018–2022 gagal secara signifikan?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan temuan yang disajikan, komunitas akademik harus memprioritaskan arah penelitian berikut untuk secara efektif menjelaskan dan mengurangi biaya berlebihan:

  1. Pemodelan Logistik Biaya Berlebihan dengan Pendekatan Reference Class Forecasting
  • Basis Temuan: Model OLS saat ini memiliki daya penjelas yang terbatas (R^2 = 0.1128 ).
  • Arah Riset Baru: Menggunakan Regresi Logistik Multivariat untuk memperkirakan probabilitas biaya berlebihan melebihi ambang batas risiko tertentu (misalnya, >30%). Pemodelan harus mengintegrasikan teknik Reference Class Forecasting (RCF).
  • Justifikasi Ilmiah: RCF adalah penangkal yang diakui terhadap optimism bias, dan model probabilitas lebih efektif untuk memberikan peringatan dini (early warning) kepada decision-maker tentang potensi kegagalan.
  1. Investigasi Mendalam terhadap Risiko Geoteknik dan Kontrol Manajemen Proyek Skala Kecil
  • Basis Temuan: Proyek kecil lebih rentan terhadap biaya berlebihan , dan lokasi regional signifikan.
  • Arah Riset Baru: Melakukan Studi Kasus Kualitatif dan Kuantitatif (Mixed Methods) yang menargetkan proyek-proyek kecil yang diselesaikan di wilayah Tengah dan Utara. Variabel yang diperkenalkan harus mencakup tingkat investigasi geoteknik yang dilakukan dan frekuensi kunjungan pengawasan manajerial.
  • Justifikasi Ilmiah: Ini akan menguji hipotesis bahwa kerentanan proyek kecil berasal dari penghematan biaya yang salah dalam studi pra-desain atau dari kekurangan pengawasan operasional.
  1. Analisis Kausalitas Perilaku: Membedakan Bias Kognitif dan Manipulasi Strategis
  • Basis Temuan: Peremehan biaya signifikan 34% pada 2018–2022 menunjukkan optimism bias atau strategic misrepresentation yang struktural.
  • Arah Riset Baru: Menggunakan Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory) dan Agency Theory untuk memodelkan bagaimana insentif (politik dan organisasi) memengaruhi estimasi. Variabel yang diperkenalkan harus mencakup masa jabatan politik dan metode penetapan anggaran.
  • Justifikasi Ilmiah: Ini memungkinkan identifikasi apakah kegagalan estimasi adalah masalah kognitif (diatasi dengan metodologi) atau masalah politik/etika (diatasi dengan sanksi dan transparansi).
  1. Dampak Kompetisi Pengadaan dan Struktur Kontrak pada Biaya Berlebihan
  • Basis Temuan: Literatur menunjukkan hasil yang beragam mengenai apakah penawaran terendah menyebabkan biaya berlebihan.
  • Arah Riset Baru: Menganalisis data rinci dari otoritas transportasi pada jumlah penawaran yang diterima untuk setiap proyek dan bentuk kontrak yang digunakan.
  • Justifikasi Ilmiah: Memahami apakah struktur pengadaan menciptakan insentif untuk strategic price settings (penawaran rendah yang disengaja) dapat memungkinkan intervensi kebijakan pada tahap paling awal proyek.
  1. Analisis Efek Lingkup (Scope Change) dan Penundaan pada Biaya Berlebihan
  • Basis Temuan: Perubahan lingkup (scope changes) dan perubahan desain adalah penyebab utama yang diakui dalam literatur. Data ini saat ini hilang dari model.
  • Arah Riset Baru: Mencari data yang secara eksplisit mencatat jumlah dan magnitudo scope changes dan total hari penundaan untuk setiap proyek yang diselesaikan, mengintegrasikannya ke dalam model regresi berganda.
  • Justifikasi Ilmiah: Memasukkan variabel yang menjelaskan dinamika proyek ini akan meningkatkan R^2 secara signifikan dan memberikan wawasan kausal yang dapat ditindaklanjuti pada manajemen proyek, memungkinkan pembuat kebijakan untuk memfokuskan upaya pada meminimalkan scope creep.

Penelitian ini memberikan dasar penting, mengonfirmasi perlunya fokus pada pengawasan proyek kecil dan penilaian risiko regional , sekaligus memperingatkan komunitas akademik tentang kegagalan proses estimasi yang sedang berlangsung. Untuk memperluas pemahaman dan meningkatkan akurasi model, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara Jönköping University (atau institusi akademik terkait), The Swedish National Audit Office (Riksrevisionen), dan The Swedish Transportation Authority (Trafikverket). Keterlibatan ini sangat krusial untuk memastikan ketersediaan data mikroproyek yang lebih lengkap (seperti scope changes, delays, dan geotechnical investigations) guna memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di masa depan.

Selengkapnya
Mengungkap Kebenaran: Mengapa Proyek Infrastruktur Transportasi Swedia Terus Mengalami Pembengkakan Biaya? Sebuah Panggilan untuk Aksi Riset.
page 1 of 1.270 Next Last »