Melampaui Ketidakjelasan: Menata Ulang Indikator Risiko Banjir untuk Tindakan Mitigasi yang Tepat Sasaran
Oleh: Pınar Pamukçu Albers dan Mariele Evers Paper: Assessing Flood Risk: Identifying Indicators and Indices for Period-Specific Flood Measures
Studi ini secara eksplisit menguraikan kerangka kerja kritis bagi para akademisi, peneliti, dan lembaga pemberi hibah untuk menyelaraskan penilaian risiko banjir dengan kebutuhan tindakan spesifik yang diperlukan pada periode pra-banjir, saat-banjir, dan pasca-banjir. Melalui tinjauan sistematis terhadap 30 makalah penelitian yang menggunakan metodologi Analytic Hierarchy Process (AHP) dari tahun 2017 hingga 2022, penelitian ini berhasil mengidentifikasi dan mendefinisikan kembali ambiguitas yang melingkupi faktor-faktor risiko banjir—Bahaya, Paparan, dan Kerentanan—serta mengkorelasikannya dengan indikator dan indeks yang paling sering digunakan. Tujuan sentralnya adalah untuk menjembatani kesenjangan di mana kriteria seleksi indikator yang tepat, khususnya mengenai peran dan penerapannya selama periode banjir yang berbeda, tetap tidak jelas dalam literatur.
Jalur logis temuan dimulai dari pengakuan adanya ketidakjelasan konseptual yang meluas dalam literatur tentang penilaian risiko banjir. Para peneliti mencatat bahwa perumusan risiko banjir sangat bervariasi, dari model perkalian dasar (Risiko = Bahaya x Kerentanan) hingga formula yang lebih kompleks (Risiko = Bahaya x [Paparan x (Kapasitas Adaptif + Sensitivitas)]), yang mencerminkan kurangnya pendekatan konsisten untuk memastikan komparabilitas antar lokasi dan keadaan yang berbeda. Kerangka konseptual yang kabur ini menghambat efektivitas tindakan manajemen risiko, karena indikator yang digunakan seringkali tidak didefinisikan secara presisi dalam kaitannya dengan peran spesifiknya selama fase bencana. Secara khusus, Kerentanan di bawah kerangka IPCC AR6 kini mencakup elemen Sensitivitas dan Kapasitas Adaptif, memperumit pemodelan risiko secara keseluruhan.
Untuk mengatasi hal ini, tinjauan ini mengklasifikasikan indikator-indikator yang paling sering dianalisis dalam tujuh indeks utama: Socio-ekonomi, Lingkungan Terbangun (Built-environment), Hidrologi, Meteorologi, Topografi, Vegetasi, dan Geologi. Analisis mendalam menunjukkan adanya keterkaitan yang rumit. Misalnya, Indeks Hidrologi terbukti memegang peranan penting dalam penilaian Bahaya dan Kerentanan, meliputi indikator-indikator seperti drainase, sungai, aliran, dan karakteristik tanah, menjadikannya faktor penting dalam perencanaan intervensi. Kontras dengan itu, Indeks Socio-ekonomi menjadi perhatian utama untuk Kerentanan, dengan fokus pada kapasitas masyarakat untuk mengatasi dan pulih dari bencana, yang sangat penting bagi identifikasi populasi yang rentan dan pengembangan intervensi yang ditargetkan. Sementara itu, Indeks Lingkungan Terbangun—meliputi jaringan transportasi, tata guna lahan, dan kedekatan dengan sungai—secara signifikan memengaruhi Kerentanan, Bahaya, Paparan, dan Kerentanan.
Indikator Kuantitatif dan Potensi Riset Jangka Panjang
Meskipun tinjauan ini bersifat kualitatif-sistematis, analisis frekuensi penggunaan indikator memberikan sinyal yang jelas tentang fokus penelitian saat ini dan potensi untuk objek penelitian baru.
Penemuan ini menunjukkan hubungan kuat antara faktor Kerentanan dan indikator Kepadatan Populasi (jumlah individu per unit area), yang dipertimbangkan oleh lima dari total 30 paper yang diulas—menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam studi kasus spesifik dan perbandingan antar-wilayah. Demikian pula, tingkat pendidikan/literasi muncul sebagai faktor Kerentanan yang signifikan dalam empat makalah yang ditinjau. Pola penggunaan ini menyoroti bahwa komunitas riset global, terutama yang berada di Asia Selatan dan Afrika (lokasi dominan studi kasus), secara kolektif mengakui Kepadatan Populasi dan tingkat pengetahuan sebagai variabel kunci dalam menentukan kerentanan dan kapasitas adaptif.
Penggunaan berulang dari indikator ini menegaskan bahwa faktor-faktor manusia tidak hanya menjadi variabel kontekstual, melainkan variabel kausal yang kritis yang memengaruhi tingkat risiko keseluruhan. Dalam jangka panjang, peneliti dapat menggunakan frekuensi penggunaan ini sebagai koefisien implisit dalam merancang model risiko baru. Dengan asumsi frekuensi lima dari 30 studi mencerminkan bobot signifikan yang diberikan pada indikator yang paling sering digunakan, fokus yang lebih tajam pada dinamika sosial-ekonomi dapat mengubah model risiko dari yang didominasi oleh Bahaya fisik menjadi model yang seimbang dengan Kerentanan sosial-ekonomi. Pemahaman ini membuka jalan bagi penilaian risiko yang lebih holistik dan pengembangan strategi yang tidak hanya berfokus pada infrastruktur keras tetapi juga pada penguatan modal sosial.
Logika penelitian kemudian berlanjut ke pengujian hubungan antara indikator risiko spesifik dan tiga periode banjir: pra-banjir (kesiapsiagaan), saat-banjir (tindakan darurat), dan pasca-banjir (pemulihan). Studi ini menemukan tiga jenis efek dominan:
- Efek Negatif: Indikator di mana peningkatan atau penurunan nilainya mengakibatkan peningkatan risiko banjir selama periode tertentu.
- Efek Positif: Indikator di mana perubahan nilainya menyebabkan penurunan risiko banjir, seperti keberadaan infrastruktur perlindungan banjir atau vegetasi yang sehat. Penulis menekankan pentingnya memasukkan indikator "positif" ini, yang sering diabaikan dalam fokus tradisional pada kerugian.
- Efek Netral/Berbeda-Tingkat: Indikator kontekstual, seperti kelas tata guna lahan, yang efeknya sangat bergantung pada kondisi lokal dan sulit dikategorikan secara kaku sebagai negatif atau positif.
Temuan ini secara implisit menunjukkan perlunya pendekatan risiko yang koheren dan kontekstual untuk mengaitkan indikator spesifik dengan tindakan yang sesuai—seperti mengaitkan indikator jaringan transportasi dengan rute evakuasi (saat-banjir) atau menghubungkan kepadatan populasi dengan kesiapsiagaan publik (pra-banjir). Dengan menjembatani kesenjangan ini, penelitian ini berkontribusi pada pengembangan metodologi yang lebih efektif dan informasi yang lebih baik untuk strategi mitigasi.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini terletak pada upayanya untuk menstandardisasi kerangka kerja konseptual yang terpecah-pecah dalam penilaian risiko banjir. Dengan menggunakan AHP sebagai lensa untuk meninjau literatur, studi ini secara efektif memetakan bobot implisit yang diberikan oleh komunitas akademik pada berbagai indikator (geospasial, sosial, meteorologis) dan menghubungkannya dengan faktor risiko.
- Pengkaitan Indikator-Aksi Periodik: Peta tematik yang mengaitkan indikator (misalnya, kepadatan populasi, elevasi, curah hujan harian) secara eksplisit dengan langkah-langkah spesifik untuk tiga periode banjir—pra, saat, dan pasca—adalah kontribusi yang paling bernilai bagi pembuat kebijakan dan perencana kota. Ini memberikan panduan operasional yang sangat dibutuhkan untuk alokasi sumber daya yang ditargetkan, didukung oleh metodologi yang sistematis.
- Penekanan pada Indikator Positif: Penelitian ini secara khusus menyoroti perlunya memasukkan indikator positif (misalnya, infrastruktur perlindungan banjir, infrastruktur hijau-biru, sistem peringatan dini) ke dalam model risiko. Ini adalah pergeseran naratif dari evaluasi risiko yang didominasi kerugian menuju analisis berbasis kapasitas dan ketahanan.
- Memperjelas Ambiguita Faktor Risiko: Dengan meninjau definisi Bahaya, Kerentanan, dan Paparan dari berbagai studi, studi ini membedah sifat kontekstual masing-masing faktor. Hal ini sangat relevan untuk disiplin geografi dan perencanaan yang berusaha untuk mengukur risiko secara akurat di wilayah yang berbeda.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun tinjauan ini memberikan sintesis yang jelas, keterbatasan metodologi tinjauan literatur sistematis membuka beberapa pertanyaan terbuka yang krusial untuk agenda riset ke depan.
Keterbatasan utama terletak pada ketergantungan eksklusif pada studi AHP. Meskipun AHP adalah metode yang kuat untuk penentuan bobot multi-kriteria, ia memperkenalkan subjektivitas dalam penilaian ahli yang digunakan untuk menentukan bobot indikator. Oleh karena itu, bobot indikator yang disimpulkan dalam tinjauan ini sebagian didasarkan pada konsensus subjektif daripada hubungan statistik obyektif.
Pertanyaan Terbuka yang muncul meliputi:
- Bagaimana dampak penggunaan metodologi hibrida (seperti Fuzzy AHP atau TOPSIS, yang disertakan dalam tinjauan) memengaruhi stabilitas bobot indikator dibandingkan dengan AHP murni?. Stabilitas metodologis ini penting untuk penerima hibah yang ingin membangun model yang dapat direplikasi.
- Mengingat bahwa 50% studi kasus berlokasi di basin, watershed, atau catchment dan mayoritas berasal dari Asia Selatan dan Afrika, sejauh mana temuan ini dapat digeneralisasi ke daerah pesisir, perkotaan mega, atau negara-negara maju yang memiliki data dan infrastruktur yang berbeda?. Generalisasi memerlukan studi perbandingan di wilayah yang beragam.
- Bagaimana indikator "netral" atau "berbeda-tingkat efek" dapat ditransformasikan menjadi variabel kuantitatif yang jelas dalam model risiko?. Misalnya, tata guna lahan memiliki efek yang kompleks; riset lebih lanjut diperlukan untuk mengembangkan fungsi kerugian yang spesifik untuk setiap kelas tata guna lahan.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Untuk memajukan penilaian risiko banjir dari kerangka konseptual menjadi alat prediktif operasional, lima rekomendasi riset berikut harus menjadi prioritas bagi komunitas akademik dan lembaga pemberi dana:
1. Standardisasi Terminologi Risiko Global melalui Meta-Analisis Kuantitatif Lintas Metode
Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara tegas mendemonstrasikan variabilitas dalam perumusan risiko (Risiko = Hazard x Vulnerability vs. Risiko = Hazard + Vulnerability) dan definisi faktor. Variabilitas ini menghambat transferabilitas model. Arah Riset: Perlu dilakukan meta-analisis kuantitatif (bukan hanya kualitatif seperti studi ini) yang melibatkan model regresi atau pemodelan persamaan struktural (SEM). Studi ini harus menguji validitas dan stabilitas statistik dari berbagai formulasi risiko (perkalian vs. penjumlahan) menggunakan dataset global yang terstandarisasi. Variabel baru harus mencakup koefisien goodness-of-fit dari setiap formulasi dalam memprediksi kerugian nyata. Perlunya Penelitian Lanjutan: Standardisasi akan menghasilkan 'bobot emas' global untuk setiap indikator, menghilangkan subjektivitas penentuan bobot AHP dan memastikan konsistensi metodologis.
2. Pengembangan Indikator Positif yang Berbasis Kinerja Lintas Sektor
Justifikasi Ilmiah: Studi ini menggarisbawahi pentingnya indikator positif (misalnya, ruang hijau, sistem peringatan dini) yang sering diabaikan, namun memiliki efek positif yang signifikan dalam mengurangi risiko. Arah Riset: Penelitian harus berfokus pada pengembangan Indeks Kapasitas Adaptif Fungsional (ICAF). ICAF akan menggunakan metode baru seperti life-cycle assessment (LCA) untuk mengkuantifikasi manfaat ekonomi dan perlindungan dari aset adaptif (misalnya, berapa pengurangan debit puncak yang dihasilkan oleh X km² infrastruktur hijau). Konseks baru adalah validasi ICAF ini di lokasi dengan dan tanpa sistem peringatan dini yang efektif. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memungkinkan lembaga pemberi hibah untuk memprioritaskan investasi nature-based solutions (solusi berbasis alam) berdasarkan dampak yang terukur, bukan hanya pada asumsi teoritis.
3. Pemetaan Skala Efek Indikator Lintas Wilayah Geografis
Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan dominasi studi kasus pada skala DAS (watershed) atau catchment dan kurangnya studi perbandingan di wilayah perkotaan padat penduduk atau pantai. Arah Riset: Diperlukan studi skala-silang (cross-scale) yang membandingkan efek dan bobot indikator. Misalnya, Indeks Hidrologi mungkin mendominasi risiko di DAS, tetapi Indeks Lingkungan Terbangun (misalnya, jalan, imperviousness) mungkin menjadi faktor penentu utama di tingkat kota. Penelitian ini harus menggunakan teknik regresi Geographically Weighted Regression (GWR) untuk menentukan bagaimana bobot indikator (variabel) berubah secara spasial dari skala watershed (konteks lama) ke skala city block (konteks baru). Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memberikan pemahaman yang lebih halus tentang Indikator Netral/Berbeda-Tingkat, memungkinkannya untuk ditafsirkan secara presisi berdasarkan skala analisis, sangat penting untuk perencanaan tata ruang perkotaan.
4. Menghubungkan Indikator Socio-Ekonomi dengan Tindakan Pasca-Banjir dan Pemulihan
Justifikasi Ilmiah: Indikator Socio-ekonomi (kepadatan populasi, tingkat pendidikan) saat ini terutama dinilai untuk Kerentanan (kapasitas untuk mengatasi). Namun, peran mereka dalam manajemen pasca-banjir (pemulihan, pelajaran yang dipetik) perlu diperluas. Arah Riset: Penelitian di masa depan harus menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif campuran (mixed-methods) untuk menghubungkan Kerentanan Socio-ekonomi dengan metrik Pemulihan (misalnya, kecepatan asuransi disetujui, waktu yang diperlukan untuk rekonstruksi rumah). Variabel baru yang perlu dipertimbangkan adalah 'koefisien pemulihan' yang membandingkan kelompok dengan tingkat literasi rendah (kerentanan tinggi) dengan kelompok dengan tingkat literasi tinggi (kerentanan rendah) dalam konteks penyerapan dana hibah dan asuransi. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memberikan panduan yang kuat bagi lembaga sosial dan asuransi untuk merancang intervensi yang mempercepat pemulihan di antara kelompok yang paling rentan, mengubah Kerentanan menjadi strategi Ketahanan.
5. Membangun Model Penilaian Risiko Real-Time Berbasis Indikator Meteorologis
Justifikasi Ilmiah: Indikator Meteorologi (curah hujan harian, maksimum) diakui krusial dalam penilaian Bahaya dan Kerentanan. Namun, sebagian besar studi AHP berfokus pada penilaian risiko statis. Arah Riset: Perlu dialihkan fokus ke penilaian risiko dinamis. Model harus mengintegrasikan indikator meteorologis ** near-real-time (hujan harian dan intensitas)** ke dalam model risiko AHP statis untuk menghasilkan peta risiko real-time. Ini akan menggunakan metode machine learning (ML) atau deep learning (DL) untuk memproses data sensor dan memprediksi Kerentanan atau Paparan secara langsung selama fase saat-banjir. Perlunya Penelitian Lanjutan: Hal ini akan merevolusi sistem peringatan dini, mengubahnya dari peringatan Bahaya sederhana menjadi peringatan Risiko fungsional yang secara otomatis mengaktifkan rute evakuasi yang diprioritaskan berdasarkan pergerakan populasi (Paparan).
Penelitian ini telah meletakkan dasar yang kokoh untuk menilai risiko banjir secara lebih terstruktur, tetapi tantangan standardisasi dan dinamika temporal masih harus diatasi. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi IPCC (untuk standardisasi definisi), UNESCO IHP (untuk pemetaan skala lintas batas DAS), dan Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR) dari Bank Dunia (untuk validasi metrik ICAF dan pemulihan socio-ekonomi) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di berbagai konteks global.