Sosiohidrologi

Socio-Hydrology: Ilmu Baru Memahami Evolusi Bersama Manusia dan Air untuk Kebijakan Sumber Daya Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juli 2025


Pendahuluan: Mengapa Socio-Hydrology Hadir?

Perubahan besar dalam hubungan manusia dan air kini terjadi di seluruh dunia, didorong oleh pertumbuhan populasi, urbanisasi, perubahan tata guna lahan, serta teknologi dan kebijakan baru. Dulu, ilmu hidrologi hanya melihat air sebagai fenomena fisik yang dipengaruhi iklim, topografi, dan geologi. Namun, aktivitas manusia kini menjadi penggerak utama perubahan dalam siklus air—dari pengambilan air untuk pertanian, pembangunan bendungan, hingga polusi dan perubahan iklim buatan manusia. Semua ini menuntut paradigma baru dalam ilmu air.

Lahirnya Socio-Hydrology: Ilmu yang Menyatukan Manusia dan Air

Socio-hydrology muncul pada tahun 2012 sebagai respons atas kebutuhan memahami bagaimana sistem sosial dan hidrologi saling berinteraksi dan berevolusi bersama (co-evolution). Ilmu ini menyoroti betapa keputusan sosial, ekonomi, dan budaya manusia berdampak langsung pada siklus hidrologi, dan sebaliknya, perubahan dalam sistem air juga membentuk perilaku, kebijakan, dan ketahanan masyarakat1.

Socio-hydrology berbeda dari manajemen sumber daya air terintegrasi (IWRM) karena menempatkan manusia bukan sekadar pengguna atau pengelola air, melainkan bagian tak terpisahkan dari sistem air itu sendiri. Ilmu ini menuntut pemodelan dua arah: bagaimana aktivitas manusia memengaruhi air, dan bagaimana air memengaruhi masyarakat.

Sejarah dan Perkembangan Socio-Hydrology

Selama berabad-abad, hubungan manusia dan air telah berubah drastis. Populasi dunia naik dari 200 juta menjadi 7 miliar dalam dua milenium terakhir, dan intervensi manusia dalam siklus air semakin intens. Sungai-sungai yang dulunya alami kini diatur oleh bendungan, irigasi, dan kanal. Studi-studi klasik (Falkenmark, 1977; Vitousek et al., 1997) sudah lama mengakui adanya interaksi manusia-air, tetapi baru pada dekade terakhir, para ilmuwan mulai mengembangkan model kuantitatif untuk memahami feedback dan evolusi bersama ini1.

International Association of Hydrological Sciences (IAHS) bahkan menetapkan dekade 2013–2022 sebagai “Panta Rhei” (segala sesuatu mengalir), dengan fokus pada dinamika air dalam sistem sosial yang berubah cepat.

Konsep Utama: Interaksi, Feedback, dan Co-Evolution

Socio-hydrology menekankan tiga konsep kunci:

  • Interaksi dua arah: Keputusan manusia (misal, urbanisasi, pertanian intensif, konservasi) memengaruhi siklus air, dan sebaliknya, perubahan air (banjir, kekeringan, polusi) memengaruhi perilaku dan kebijakan masyarakat.
  • Feedback: Ada umpan balik positif dan negatif. Misal, pembangunan bendungan mengurangi risiko banjir tapi bisa memicu eksploitasi lahan baru, yang justru meningkatkan risiko di masa depan.
  • Co-evolution: Sistem sosial dan hidrologi berkembang bersama, membentuk pola baru dalam penggunaan dan pengelolaan air.

Studi Kasus: Socio-Hydrology dalam Aksi

1. Evolusi Pengelolaan Sungai di Asia Selatan
Penelitian Kandasamy et al. (2014) tentang Sungai Mahanadi di India menunjukkan bagaimana pembangunan bendungan dan irigasi besar-besaran meningkatkan produksi pangan, tetapi juga mengubah pola banjir dan kekeringan. Ketika masyarakat menjadi lebih “tahan” terhadap banjir, mereka justru memperluas permukiman ke dataran banjir, sehingga risiko bencana baru muncul saat infrastruktur gagal.

2. Urbanisasi dan Siklus Air di China
Studi Liu et al. (2015) mengamati kota-kota besar di China yang mengalami urbanisasi masif. Perubahan tata guna lahan mempercepat limpasan permukaan, meningkatkan risiko banjir perkotaan, dan menurunkan cadangan air tanah. Kebijakan pengelolaan air yang tidak adaptif justru memperburuk masalah.

3. Pengelolaan Air di Iran
Dalam konteks Iran, pembangunan irigasi dan bendungan untuk mendukung pertanian telah menyebabkan penurunan air tanah kronis dan degradasi lingkungan. Socio-hydrology mendorong pendekatan yang lebih adaptif dan partisipatif, dengan melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan monitoring1.

Angka dan Tren Global

  • Jumlah publikasi tentang socio-hydrology meningkat tajam sejak 2012, menandakan minat global yang besar pada bidang ini.
  • Lebih dari 50% sungai besar dunia kini telah diatur manusia, dan lebih dari 70% air tawar global digunakan untuk pertanian.
  • Krisis air diperkirakan akan memengaruhi 2/3 populasi dunia pada 2025 jika tidak ada perubahan kebijakan dan perilaku.

Perbandingan dengan Pendekatan Lain

Integrated Water Resources Management (IWRM) menekankan koordinasi lintas sektor dan stakeholder, tetapi sering gagal menangkap dinamika sosial-budaya dan feedback jangka panjang. Socio-hydrology menawarkan pemodelan yang lebih dinamis, menggabungkan data sosial, ekonomi, dan fisik untuk prediksi dan kebijakan yang lebih adaptif.

Nilai Tambah dan Relevansi Industri

  • Socio-hydrology membantu perancang kebijakan memahami konsekuensi tak terduga dari intervensi manusia, sehingga dapat merancang solusi yang lebih tahan terhadap perubahan sosial dan lingkungan.
  • Industri air dan lingkungan kini mulai mengadopsi pendekatan ini untuk desain infrastruktur, sistem peringatan dini, dan pengelolaan risiko bencana berbasis data sosial.

Kritik dan Tantangan

  • Keterbatasan data sosial: Banyak model hidrologi masih didominasi data fisik, sementara data perilaku dan kebijakan sosial sulit diperoleh secara real-time.
  • Ketidakpastian prediksi: Sistem manusia-air sangat kompleks dan penuh ketidakpastian, terutama dalam jangka panjang.
  • Keterlibatan stakeholder: Socio-hydrology menuntut partisipasi aktif masyarakat, pemerintah, dan industri, yang tidak selalu mudah dicapai.

Hubungan dengan Tren Global dan Pembelajaran Digital

Socio-hydrology sangat relevan dengan transformasi digital di sektor air, di mana data spasial, sensor IoT, dan analitik big data memungkinkan pemantauan dan prediksi interaksi manusia-air secara real-time. Platform pembelajaran modern dapat mengintegrasikan konsep ini untuk membekali generasi baru pengelola sumber daya air yang adaptif dan kolaboratif.

Opini dan Rekomendasi

Socio-hydrology adalah paradigma masa depan dalam pengelolaan air. Ilmu ini menuntut keterbukaan lintas disiplin, inovasi teknologi, dan keterlibatan masyarakat. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, adopsi socio-hydrology bisa memperkuat kebijakan air, mengurangi risiko bencana, dan meningkatkan ketahanan pangan serta energi.

Rekomendasi:

  • Pemerintah dan akademisi perlu mengembangkan riset socio-hydrology berbasis data lokal.
  • Industri dan komunitas harus dilibatkan dalam pemantauan dan pengambilan keputusan.
  • Platform pembelajaran digital wajib memasukkan socio-hydrology dalam kurikulum lintas bidang.

Kesimpulan

Socio-hydrology adalah terobosan penting yang menjembatani ilmu fisik dan sosial, memungkinkan pemahaman yang lebih utuh tentang hubungan manusia dan air. Dengan pendekatan ini, kebijakan dan teknologi pengelolaan air akan lebih adaptif, inklusif, dan berkelanjutan.

Sumber artikel (bahasa asli):
Gholizadeh-Sarabi, Sh., Ghahraman, B., & Shafiei, M. (2019). New Science of Socio-hydrology: In Search of Understanding Co-Evolution of Human and Water. Iran-Water Resources Research, Volume 14, No. 5, Winter 2019 (IR-WRR), 991–999.

Selengkapnya
Socio-Hydrology: Ilmu Baru Memahami Evolusi Bersama Manusia dan Air untuk Kebijakan Sumber Daya Berkelanjutan

Sosiohidrologi

Panduan Praktis Modeling IWRM: Strategi Efektif untuk Tata Kelola Air Terpadu

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juli 2025


Pendahuluan: IWRM dan Peran Modeling dalam Menjawab Tantangan Air Global

Integrated Water Resource Management (IWRM) bukan sekadar konsep, melainkan proses kompleks yang mengintegrasikan aspek sosial, lingkungan, dan teknis dalam pengelolaan air. Artikel karya Badham et al. (2019) ini menyajikan panduan sistematis untuk praktik modeling IWRM yang efektif, dengan menekankan pentingnya konteks, keterlibatan pemangku kepentingan, dan siklus hidup model dari perencanaan hingga pemeliharaan.

Dengan melibatkan 21 penulis lintas disiplin dan pengalaman global, artikel ini menjadi referensi penting bagi praktisi, peneliti, dan pembuat kebijakan yang ingin menerapkan IWRM secara nyata dan berdampak.

 Empat Fase Modeling IWRM: Kerangka Praktis yang Kontekstual.

Penulis membagi proses modeling IWRM ke dalam empat fase utama:

1. Perencanaan (Planning) 

   Fokus pada definisi masalah, identifikasi pemangku kepentingan, perencanaan proyek, dan pengembangan model konseptual awal. 

   Contoh: Dalam proyek MurrayDarling Basin di Australia, model digunakan untuk menentukan batas ekstraksi air yang berkelanjutan.

2. Pengembangan (Development) 

   Meliputi pengumpulan data, konstruksi model, kalibrasi, analisis ketidakpastian, dan pengujian. 

   Catatan penting: Kalibrasi tidak hanya teknis, tapi juga membangun kepercayaan pemangku kepentingan terhadap hasil model.

3. Aplikasi (Application) 

   Model digunakan untuk eksperimen skenario, visualisasi hasil, dan komunikasi kepada pemangku kepentingan. 

   Contoh: Model digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan alokasi air terhadap ekosistem dan petani.

4. Pemeliharaan (Perpetuation) 

   Termasuk dokumentasi, evaluasi proses, dan rencana pemutakhiran model. 

   Poin penting: Dokumentasi harus mencakup kode, asumsi, dan batasan model agar dapat direplikasi dan dikembangkan.

 Studi Kasus dan Praktik Nyata: Dari Australia hingga AS

Artikel ini tidak hanya teoritis, tetapi juga menyajikan contoh nyata dari berbagai wilayah:

 MurrayDarling Basin (Australia): 

  •   Model digunakan untuk mengevaluasi batas ekstraksi air dan dampaknya terhadap ekosistem sungai. 
  •   Hasil: Model membantu menyusun kebijakan berbasis bukti dalam Basin Plan.

 Chesapeake Bay (AS): 

  •   Model digunakan untuk mengevaluasi skenario pengurangan polusi nutrien. 
  •   Temuan: Model sederhana dengan narasi kuat lebih efektif dalam membangun konsensus dibanding model kompleks yang sulit dipahami.

 Kritik terhadap IWRM dan Peran Modeling sebagai Solusi

Penulis mengakui bahwa IWRM sering dikritik karena terlalu abstrak dan sulit diimplementasikan (Biswas, 2004). Namun, mereka berargumen bahwa modeling yang efektif dapat menjembatani kesenjangan antara konsep dan praktik.

Tiga tantangan utama IWRM yang diangkat:

  •  Masalah wicked (kompleks dan tidak terdefinisi jelas): 

  Seperti konflik antar sektor, ketidakpastian iklim, dan keterbatasan data.

  •  Keterlibatan pemangku kepentingan yang lemah: 

  Banyak proyek gagal karena partisipasi hanya simbolik.

  •  Ketimpangan sosial dan keadilan air: 

  Model sering mengabaikan dimensi keadilan distribusi dan partisipasi.

 Nilai Tambah Artikel: Lima Agenda Riset Masa Depan

Penulis mengusulkan lima area pengembangan modeling IWRM:

1. Berbagi Pengetahuan (Knowledge Sharing): 

   Dokumentasi praktik modeling harus sistematis dan terbuka.

2. Mengatasi Keterbatasan Data

   Gunakan pendekatan semikuantitatif, data satelit, dan media sosial.

3. Keterlibatan Pemangku Kepentingan yang Inklusif: 

   Gunakan visualisasi interaktif dan pendekatan partisipatif sejak awal.

4. Keadilan Sosial: 

   Model harus mempertimbangkan distribusi manfaat dan suara kelompok rentan.

5. Manajemen Ketidakpastian: 

   Gunakan pendekatan robust decisionmaking dan skenario ekstrem.

 Opini dan Perbandingan: Apa yang Membuat Artikel Ini Unggul?

Dibandingkan dengan literatur IWRM lainnya, artikel ini menawarkan panduan praktis yang sangat aplikatif, bukan hanya kerangka konseptual. Pendekatannya mirip dengan design thinking dalam dunia teknologi—berbasis iterasi, kolaborasi, dan kontekstualisasi.

Namun, satu kritik yang layak diajukan adalah kurangnya eksplorasi mendalam terhadap model berbasis kecerdasan buatan atau machine learning, yang kini mulai digunakan dalam prediksi air dan pengambilan keputusan berbasis data besar.

 Relevansi Global dan Implikasi untuk Indonesia

Dengan tantangan pengelolaan air di DAS Citarum, Brantas, dan Kapuas, pendekatan modeling IWRM seperti yang dijabarkan dalam artikel ini sangat relevan. Terutama dalam:

  •  Membangun model partisipatif berbasis komunitas.
  •  Mengintegrasikan data lokal dan pengetahuan tradisional.
  •  Mengembangkan model prediktif untuk skenario perubahan iklim.

 Kesimpulan: Modeling sebagai Jembatan antara Ilmu dan Kebijakan

Artikel ini menegaskan bahwa modeling bukan sekadar alat teknis, tetapi proses sosial yang membentuk cara kita memahami, bernegosiasi, dan memutuskan masa depan air. Dengan pendekatan yang kontekstual, kolaboratif, dan reflektif, modeling dapat menjadi tulang punggung implementasi IWRM yang adil dan berkelanjutan.

Sumber Artikel

Badham, J., Elsawah, S., Guillaume, J. H. A., Hamilton, S. H., Hunt, R. J., Jakeman, A. J., Pierce, S. A., Snow, V. O., BabbarSebens, M., Fu, B., Gober, P., Hill, M. C., Iwanaga, T., Loucks, D. P., Merritt, W. S., Peckham, S. D., Richmond, A. K., Zare, F., Ames, D., & Bammer, G. (2019). Effective modeling for Integrated Water Resource Management: A guide to contextual practices by phases and steps and future opportunities. Environmental Modelling & Software, 116, 40–56.

Selengkapnya
Panduan Praktis Modeling IWRM: Strategi Efektif untuk Tata Kelola Air Terpadu

Sosiohidrologi

Strategi Pengembangan Infrastruktur Air Limbah Domestik yang Tepat Guna di Permukiman Perairan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juli 2025


Pendahuluan
Di Indonesia, jutaan penduduk tinggal di kawasan spesifik perairan seperti tepi sungai dan muara. Permukiman ini memiliki tantangan tersendiri, terutama dalam hal sanitasi. Praktik buang air besar sembarangan dan minimnya pengelolaan limbah domestik menjadi masalah umum. Untuk menjawab isu ini, disertasi Dyah Wulandari Putri (2017) dari ITB menawarkan solusi berbasis Decision Support System (DSS) yang mempertimbangkan keberlanjutan dan kondisi spesifik kawasan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan DSS dalam pemilihan teknologi pengolahan air limbah domestik yang berkelanjutan dan kontekstual, dengan studi kasus di Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang (permukiman sungai) dan Desa Sungsang, Banyuasin (permukiman muara).

Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap:

  1. Identifikasi kondisi eksisting: observasi lapangan, kuesioner masyarakat, dan analisis kondisi lingkungan fisik (air, tanah, genangan).
  2. Pengembangan DSS: menentukan kriteria, menyusun algoritma pemilihan teknologi, dan mengembangkan program komputer.
  3. Evaluasi DSS dan teknologi terpilih: menilai efektivitas sistem dan teknologi yang direkomendasikan.

Hasil Temuan Lapangan

  • Akses Air: Permukiman sungai terlayani PDAM; di muara masyarakat bergantung pada air hujan.
  • Jenis Toilet: Dominasi toilet jongkok dengan leher angsa (sungai) dan WC cemplung (muara).
  • Kondisi Lingkungan: Tanah lunak, pasang surut tinggi, dan kualitas air muara yang korosif terhadap material.

DSS sebagai Solusi Kontekstual
DSS yang dikembangkan mempertimbangkan tiga tahap seleksi:

  1. Tahap I – Analisis Kapasitas: Menilai kesesuaian kapasitas teknologi dengan kebutuhan dan keterbatasan masyarakat.
  2. Tahap II – Kesesuaian Infrastruktur: Menganalisis preferensi sistem toilet dan ketersediaan air.
  3. Tahap III – Kondisi Fisik Spesifik: Menyesuaikan dengan kondisi genangan dan tanah lunak di lokasi studi.

Opsi Teknologi Terpilih
Dari DSS, teknologi unggulan adalah:

  • Tripikon-S + Filter Anaerob untuk kawasan sungai dan muara dengan pasokan air kontinu.
  • Tripikon-S tunggal untuk kawasan dengan pasokan air tidak kontinu.

Studi Kasus & Angka Kunci

  • Wilayah Sungai: Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang.
  • Wilayah Muara: Desa Sungsang, Banyuasin.
  • Jumlah Responden Kuesioner: 30 orang.
  • Tanah: Rawa dengan plastisitas sedang dan deformasi signifikan.
  • Kualitas Air Muara: Tinggi salinitas dan kandungan sulfat, memicu korosivitas.
  • Kapasitas Teknologi: Tidak ada teknologi yang 100% memenuhi seluruh kriteria keberlanjutan, menunjukkan perlunya kebijakan dan sarana pelengkap.

Analisis dan Kritik
Penggunaan DSS memberikan pendekatan sistematis dan adaptif. Namun, keterbatasan muncul dalam pemenuhan semua aspek keberlanjutan. Hal ini menandakan perlunya integrasi dengan kebijakan dan program infrastruktur lainnya. Selain itu, DSS ini membutuhkan data input yang cukup spesifik sehingga harus ada pelatihan penggunaan di tingkat lokal.

Kontekstualisasi dengan Tren Global
Solusi sanitasi berbasis DSS selaras dengan pendekatan global dalam urban sanitation management yang menekankan pada data-driven decision making dan pendekatan berbasis komunitas. Hal ini juga menguatkan agenda SDGs, terutama tujuan 6: Clean Water and Sanitation.

Nilai Tambah dan Implikasi Praktis

  • Bagi Pemerintah Daerah: Menyediakan alat bantu pemilihan teknologi sanitasi.
  • Bagi NGO dan LSM: Memberikan kerangka untuk intervensi berbasis bukti.
  • Bagi Peneliti dan Akademisi: Menawarkan pendekatan holistik dan algoritmik dalam studi permukiman rawa.

Kesimpulan
Penelitian ini menekankan pentingnya pendekatan berbasis data dan kondisi lokal dalam memilih teknologi sanitasi. DSS terbukti mampu memberikan rekomendasi teknologi dengan memperhitungkan kompleksitas sosial dan fisik kawasan perairan. Meski belum sempurna, model ini memberikan kontribusi besar bagi pengembangan infrastruktur sanitasi berkelanjutan di Indonesia.

Sumber:
Putri, D.W. (2017): Strategi pengembangan infrastruktur air limbah domestik setempat untuk permukiman di kawasan spesifik perairan, Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi Bandung.

 

Selengkapnya
Strategi Pengembangan Infrastruktur Air Limbah Domestik yang Tepat Guna di Permukiman Perairan

Sumber Daya Alam

Efektivitas Sistem Pembiayaan dalam Pembangunan Lahan Basah Buatan di Swedia: Analisis Skema Hibah dan Variasi Regional

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 Juli 2025


Mengapa Lahan Basah (Wetlands) Penting?

Lahan basah merupakan ekosistem vital yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan: menyerap limpasan air hujan, menyaring polutan, menyimpan karbon, dan mendukung keanekaragaman hayati. Namun, seperti di banyak negara, Swedia telah kehilangan lebih dari 65% lahan basah alaminya karena ekspansi pertanian dan pengeringan lahan. Untuk membalikkan tren ini, sejak 1980-an, pemerintah Swedia mulai mendorong pembangunan dan restorasi lahan basah—terutama melalui insentif finansial.

Makalah tesis karya Amanda Speks (2021) yang berjudul “Analyzing the Impact of the Financial Systems for Constructing Wetlands in Sweden” menelaah efektivitas tiga skema pembiayaan utama: LOVA, LONA, dan Rural Development Programme (RDP), serta menganalisis variasi pembangunan lahan basah antar wilayah (county).

H2: Gambaran Umum Tiga Skema Pembiayaan

H3: LOVA – Local Water Preservation Grant

  • Diluncurkan tahun 2009, awalnya untuk tiga tahun tetapi diperpanjang.
  • Dikelola oleh Swedish Agency for Marine and Water Management (SwAM).
  • Fokus: proyek yang mengurangi limpasan nutrien penyebab eutrofikasi.
  • Hanya dapat diajukan oleh pemerintah daerah atau asosiasi nirlaba, bukan perorangan.
  • Tingkat subsidi hingga 90% sejak 2018.

Namun, jumlah aplikasi sangat bervariasi antar county. Contohnya, Skåne dan Stockholm banyak menerima dana, sementara Gotland dan Dalarna jauh lebih sedikit.

H3: LONA – Local Initiative for Nature Conservation

  • Mulai aktif sejak 2004.
  • Dikelola oleh Swedish Environmental Protection Agency (SEPA).
  • Bertujuan meningkatkan konservasi alam lokal, termasuk pembangunan lahan basah.
  • Dana dialokasikan berdasarkan jumlah penduduk dan jumlah kota/kabupaten.

Meskipun bertahan cukup lama, dampak LONA terhadap pembangunan lahan basah relatif kecil, hanya menyumbang 1% dari total luas lahan basah yang dibangun selama periode studi.

H3: RDP – Rural Development Programme

  • Bagian dari kebijakan Common Agricultural Policy (CAP) Uni Eropa.
  • Pendanaan 50% dari UE, 50% dari pemerintah Swedia.
  • Tersedia bagi semua pemilik lahan, termasuk petani, organisasi, dan otoritas lokal.
  • Dapat membiayai hingga 100% biaya proyek, maksimal 400.000 SEK/ha.

RDP merupakan pemberi dampak terbesar, menyumbang 90% dari total luas pembangunan lahan basah baru selama periode 2007–2020.

H2: Studi Kasus Nasional: Seberapa Banyak Lahan Basah yang Dibangun?

Selama 2007–2020:

  • RDP membiayai 4805 ha (90%)
  • LOVA membiayai 497 ha (9%)
  • LONA membiayai 23 ha (1%)
  • Total: 5324 ha lahan basah baru dibangun di Swedia Selatan.

Temuan ini sangat mencolok karena menunjukkan dominasi RDP dalam mendanai pembangunan ekosistem penting ini.

H2: Variasi Regional dalam Implementasi: Skåne Memimpin

H3: Mengapa Wilayah Skåne Mendominasi?

Dari seluruh county yang dianalisis, Skåne menempati posisi teratas baik dalam jumlah maupun luas lahan basah yang dibangun. Alasan utamanya:

  • Proporsi lahan pertanian tertinggi di Swedia (46%).
  • Area dengan sensitivitas tinggi terhadap polusi nitrat.
  • Infrastruktur kelembagaan lebih siap dalam mengajukan dan melaksanakan proyek.

Sebaliknya, daerah seperti Värmland dan Gotland menunjukkan performa yang lebih rendah, sebagian karena proporsi lahan pertanian yang kecil, atau rendahnya kapasitas administrasi lokal.

H2: Tujuan dan Ukuran Lahan Basah: Fokus yang Berbeda

Berdasarkan data dari RDP:

  • Tujuan pembangunan terbagi menjadi tiga:
    • Mengurangi limpasan nutrien (45%)
    • Meningkatkan keanekaragaman hayati (38%)
    • Kombinasi keduanya (17%)

Rata-rata luas:

  • Biodiversity wetlands: 3,4 ha
  • Nutrient wetlands: 2,5 ha
  • Kombinasi: 2,4 ha

Menariknya, 77% dari semua lahan basah berukuran di bawah 3 ha, menunjukkan bahwa proyek kecil lebih umum dan mungkin lebih mudah diterapkan secara administratif.

H2: Analisis Komparatif: Apa yang Membuat RDP Lebih Efektif?

Beberapa faktor menjadikan RDP lebih unggul dibanding LOVA dan LONA:

  1. Skala pendanaan besar dan multiyear (7 tahun).
  2. Fleksibilitas dalam penerima dana—bisa perseorangan, petani, hingga perusahaan.
  3. Struktur administratif yang relatif mapan melalui Swedish Board of Agriculture (SBA).

Sebaliknya, LOVA dan LONA memiliki keterbatasan administratif dan regulasi—terutama dalam kriteria penerima dan pendeknya periode proyek.

H2: Tantangan Administratif dan Rekomendasi Kebijakan

H3: 1. Kerumitan Proses Aplikasi

Banyak pemilik lahan yang enggan mengajukan hibah karena:

  • Kompleksitas administratif.
  • Kurangnya kejelasan tujuan dan hasil.
  • Proses yang memakan waktu, terutama di RDP.

H3: 2. Ketimpangan Regional

Distribusi dana berdasarkan variabel seperti jumlah populasi atau luas lahan pertanian justru memperbesar ketimpangan—kabupaten yang sudah kuat institusinya akan lebih diuntungkan.

H3: 3. Keterbatasan Data dan Evaluasi Dampak

Kurangnya evaluasi dampak jangka panjang terhadap kualitas air, keanekaragaman hayati, atau perubahan iklim menjadi kendala dalam mengukur efektivitas sebenarnya dari pembangunan lahan basah ini.

H2: Pembelajaran Global: Relevansi bagi Negara Lain

Pendekatan Swedia—terutama keberhasilan RDP—dapat menjadi model bagi negara lain, khususnya:

  • Negara-negara dengan kepemilikan lahan pribadi yang tinggi.
  • Konteks di mana pemerintah ingin mendorong konservasi berbasis insentif.

Namun, perlu diingat bahwa keberhasilan sangat bergantung pada:

  • Kapasitas kelembagaan daerah,
  • Sistem pengawasan dan evaluasi yang ketat,
  • Dan kebijakan fiskal yang stabil untuk mendukung skema jangka panjang.

H2: Kesimpulan: Memadukan Ekonomi, Ekologi, dan Pemerintahan

Amanda Speks dalam tesisnya memberikan kontribusi penting terhadap diskusi mengenai peran keuangan dalam pelestarian lingkungan. Kesimpulan utama yang bisa ditarik dari penelitian ini adalah:

  • Sistem pembiayaan yang fleksibel dan inklusif seperti RDP terbukti paling efektif dalam mendorong pembangunan lahan basah baru.
  • Kebijakan satu ukuran untuk semua (one-size-fits-all) tidak cocok; pendekatan berbasis regional dengan dukungan administratif penting.
  • Evaluasi berkelanjutan dan transparansi dalam pendanaan sangat krusial untuk mencegah inefisiensi dan ketimpangan.

Jika negara-negara ingin mempercepat pencapaian SDG 6, mereka harus melihat tidak hanya pada pendanaan, tetapi juga pada struktur tata kelola dan kapasitas lokal untuk memaksimalkan manfaat ekologi dari setiap dana yang dikeluarkan.

Sumber asli:
Speks, Amanda. (2021). Analyzing the Impact of the Financial Systems for Constructing Wetlands in Sweden. Master Thesis in Sustainable Development, Uppsala University, No. 2021/25.

 

Selengkapnya
Efektivitas Sistem Pembiayaan dalam Pembangunan Lahan Basah Buatan di Swedia: Analisis Skema Hibah dan Variasi Regional

Sumber Daya Air

Membangun Masa Depan Air dan Sanitasi di Zimbabwe: Model Pembiayaan Berkelanjutan melalui Kemitraan Publik-Swasta

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 Juli 2025


Krisis Infrastruktur dan Kebutuhan Solusi Inovatif

Zimbabwe tengah menghadapi krisis multidimensi dalam sektor air dan sanitasi akibat penurunan kapasitas infrastruktur, kurangnya investasi, serta dampak dari instabilitas politik dan ekonomi selama beberapa dekade terakhir. Dalam paper “Framework Model for Financing Sustainable Water and Sanitation Infrastructure in Zimbabwe” (2024) oleh Justice Mundonde dan Patricia Lindelwa Makoni, ditawarkan sebuah model pembiayaan berbasis kemitraan publik-swasta (PPP) yang diharapkan mampu mengatasi krisis layanan dasar ini sekaligus mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 6.

H2: Konteks Krisis Air dan Sanitasi di Zimbabwe

H3: Infrastruktur Usang dan Ancaman Kesehatan Publik

Zimbabwe mengalami kerusakan serius pada jaringan air dan sanitasi. Beberapa fakta mencolok:

  • Lebih dari 50% air bersih yang diproduksi hilang karena kebocoran pipa dan infrastruktur rusak.
  • Instalasi pengolahan limbah sering gagal karena kekurangan bahan kimia dan peralatan usang.
  • Layanan air sering terganggu akibat pasokan listrik yang tidak stabil.
  • Harare, ibu kota Zimbabwe, membutuhkan USD 1,4 miliar antara 2021–2030 hanya untuk memperbarui infrastruktur air dan sanitasi.

Kondisi ini memperparah risiko kesehatan masyarakat, memperbesar ketimpangan, dan menghambat pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

H2: Potensi dan Hambatan PPP dalam Pembiayaan Infrastruktur

H3: Peluang Kolaborasi

Kemitraan publik-swasta (PPP) dinilai sebagai strategi penting untuk menutup kesenjangan pembiayaan. Negara-negara seperti China telah berhasil menerapkan PPP di sektor air melalui:

  • Reformasi tarif air,
  • Kompetisi terbuka bagi investor asing,
  • Keterlibatan bank domestik dalam pembiayaan proyek.

H3: Kegagalan Implementasi di Zimbabwe

Namun, Zimbabwe belum mampu mereplikasi keberhasilan ini. Sebagai contoh:

  • Proyek Matabeleland Zambezi Water Project (MZWP) telah direncanakan sejak tahun 1912 namun masih terbengkalai hingga kini karena kekurangan dana.
  • Sejak 1994, belum ada proyek besar sektor air berbasis PPP yang berhasil mencapai penutupan finansial.
  • Hambatan utama: kurangnya kerangka pembiayaan yang komprehensif, lemahnya kepercayaan investor, dan rendahnya kualitas tata kelola.

H2: Sumber-Sumber Pembiayaan untuk Proyek Air dan Sanitasi

H3: Sumber Publik

  • Pajak dan tarif air dapat menjadi sumber yang stabil, namun tax base Zimbabwe menyusut karena ekonomi informal dan praktik penghindaran pajak.
  • Bantuan pembangunan resmi (Official Development Assistance/ODA), meskipun penting, masih terlalu kecil dan tidak memenuhi kebutuhan investasi yang besar.

H3: Sumber Swasta

  1. Investasi Langsung Asing (FDI): penting dalam transfer teknologi dan keahlian. Zimbabwe telah membentuk Zimbabwe Investment Development Agency (ZIDA) untuk memfasilitasi investor.
  2. Perbankan: 19 lembaga perbankan domestik memiliki potensi sebagai sumber pinjaman proyek, terutama dalam fase awal pembangunan.
  3. Pasar Saham: saham dan obligasi proyek (project bonds) dapat digunakan untuk mobilisasi modal jangka panjang.
  4. Obligasi Domestik dan Internasional: termasuk sovereign bonds, diaspora bonds, dan corporate bonds. Namun, keterbatasan pasar modal domestik menjadi tantangan besar.

H2: Temuan Ekonometrik: Apa yang Mendorong Investasi PPP?

Penelitian ini menggunakan model Tobit dengan data dari 1996 hingga 2021 untuk menganalisis faktor-faktor penentu pembiayaan PPP. Beberapa hasil utama:

  • GDP per kapita berpengaruh negatif terhadap investasi PPP, menunjukkan bahwa negara miskin justru lebih tergantung pada skema PPP.
  • FDI memiliki dampak negatif dan signifikan, menandakan bahwa ketika arus modal asing turun, Zimbabwe lebih aktif mengupayakan skema PPP.
  • Kapitalisasi pasar saham berpengaruh positif signifikan terhadap pembiayaan PPP — menekankan pentingnya pengembangan pasar modal.
  • Kredit bank terhadap sektor swasta juga signifikan, namun diimbangi oleh dampak negatif dari tingkat kredit macet (non-performing loans).
  • Indikator tata kelola seperti rule of law, kontrol korupsi, dan stabilitas politik tidak signifikan, kemungkinan karena dominasi pendanaan oleh mitra seperti China yang tidak terlalu mempermasalahkan kualitas institusional.

H2: Rangka Pembiayaan yang Diusulkan

H3: Tiga Komponen Biaya Utama

  1. Investasi Modal (Capital Expenditure): mencakup pembangunan fasilitas baru dan upgrade sistem lama.
  2. Biaya Operasional: untuk menjalankan sistem sehari-hari, termasuk gaji dan bahan kimia.
  3. Pemeliharaan: sangat penting karena 50% air yang telah diolah hilang di jalur distribusi akibat minimnya pemeliharaan. Pengabaian pemeliharaan meningkatkan biaya penggantian aset hingga 60%.

H3: Sumber Pembiayaan yang Terintegrasi

Rangka model merekomendasikan kombinasi sumber:

  • Dana publik: melalui pajak, tarif, dan transfer pemerintah.
  • Dana swasta: lewat saham, pinjaman bank, dan obligasi.
  • Viability gap funding dari pemerintah untuk membuat proyek menarik bagi investor.

H2: Studi Kasus: Harare dan Proyeksi Nasional

Studi memperkirakan kebutuhan investasi untuk sistem air dan sanitasi di Harare sebesar USD 1,4 miliar hingga 2030. Bila kota-kota besar lain seperti Bulawayo dan Mutare disertakan, angka ini meningkat drastis.

Namun, tanpa kerangka kerja pembiayaan yang solid, angka ini hanyalah aspirasi. Kerangka yang ditawarkan Mundonde dan Makoni menyusun roadmap berbasis kondisi ekonomi, status pasar keuangan, dan struktur institusi di Zimbabwe.

H2: Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari?

H3: Keunggulan Studi

  • Model empiris yang kuat berbasis data selama 25 tahun.
  • Fokus spesifik pada sektor air dan sanitasi, bukan infrastruktur umum.
  • Mengintegrasikan indikator makroekonomi dan tata kelola.

H3: Kelemahan dan Tantangan

  • Belum ada uji penerapan terhadap proyek nyata.
  • Ketergantungan pada investor seperti China bisa menimbulkan risiko politik jangka panjang.
  • Ketidakefektifan indikator tata kelola menunjukkan kurangnya transparansi yang bisa membahayakan keberlanjutan proyek.

Kesimpulan: Menjahit Harapan dengan Investasi Cerdas

Paper ini menegaskan bahwa air dan sanitasi bukan sekadar isu teknis, tetapi soal keadilan sosial dan pembangunan jangka panjang. Untuk menjamin layanan yang andal dan terjangkau, Zimbabwe perlu:

  • Meningkatkan kualitas pasar keuangan dan perbankan,
  • Menyusun kerangka kebijakan yang mendorong investasi swasta,
  • Menjaga keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan tanggung jawab sosial.

Model pembiayaan yang diajukan bukan hanya relevan untuk Zimbabwe, tetapi juga menjadi acuan penting bagi negara-negara berkembang lain yang ingin mengatasi kesenjangan layanan dasar melalui pendekatan inovatif dan kolaboratif.

Sumber asli:
Mundonde, J., & Makoni, P. L. (2024). Framework Model for Financing Sustainable Water and Sanitation Infrastructure in Zimbabwe. Preprints.org, doi:10.20944/preprints202404.0805.v1.

Selengkapnya
Membangun Masa Depan Air dan Sanitasi di Zimbabwe: Model Pembiayaan Berkelanjutan melalui Kemitraan Publik-Swasta

Risiko Bencana

Strategi Pengurangan Risiko Bencana di Wilayah Konflik: Membaca Tantangan dan Peluang dari Studi Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 Juli 2025


Saat Bencana dan Konflik Bertabrakan

Dalam konteks global yang semakin kompleks, strategi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction / DRR) tidak bisa lagi dipisahkan dari dinamika sosial-politik, terutama konflik bersenjata. Paper berjudul “Disaster Risk Reduction Strategies: Navigating Conflict Contexts” yang ditulis oleh Katie Peters, Laura E.R. Peters, John Twigg, dan Colin Walch (2019) menyoroti pentingnya penyelarasan strategi DRR dengan konteks konflik yang masih jarang diperhatikan secara sistematis.

Laporan ini merupakan hasil kolaborasi antara Overseas Development Institute (ODI), GIZ (Jerman), dan BMZ, serta merupakan bagian dari proyek When disasters and conflict collide. Dengan meninjau strategi internasional, regional, dan nasional serta alat teknis DRR, paper ini memperlihatkan celah besar dalam pendekatan DRR terhadap wilayah konflik, sekaligus memberikan arahan strategis yang sangat relevan untuk konteks negara-negara seperti Indonesia, Myanmar, atau Afghanistan.

H2: Target E Sendai Framework dan Relevansi Konteks Konflik

Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030 menjadi kerangka kerja utama dalam kebijakan DRR global. Di antara tujuh target globalnya, Target E memiliki tenggat waktu paling mendesak: meningkatkan jumlah negara yang memiliki strategi DRR nasional dan lokal pada tahun 2020. Namun, implementasi Target E sebagian besar mengabaikan aspek konflik bersenjata yang justru sangat krusial di negara-negara rawan bencana.

Dalam praktiknya, wilayah yang tergolong sebagai conflict-affected, post-conflict, atau fragile states justru memiliki kemungkinan paling rendah untuk memiliki strategi DRR yang memadai. Contoh negara dalam kategori ini meliputi Afghanistan, Chad, Haiti, Liberia, dan Kolombia.

H2: Studi Kasus Negara: Tantangan Merancang DRR di Wilayah Konflik

H3: Afghanistan – Antara Bencana dan Ketidakstabilan Politik

Afghanistan merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko bencana dan konflik tertinggi di dunia. Dengan lebih dari 2,5 juta pengungsi dan 1,3 juta pengungsi internal, interaksi antara kekeringan, banjir, dan konflik menjadi sangat kompleks.

Dokumen DRR seperti Afghanistan Strategic National Action Plan (SNAP) menyebutkan bahwa perbedaan antara bencana alam dan buatan manusia semakin kabur. Strategi ini juga mengakui bahwa konflik menghancurkan kapasitas coping masyarakat dan pemerintah, dan bahwa DRR dapat berperan dalam membangun perdamaian.

Namun, meskipun ambisi tersebut ada, strategi nasional DRR Afghanistan belum menjabarkan secara rinci bagaimana DRR dapat digunakan sebagai alat perdamaian. Masih belum tersedia kerangka kerja implementatif yang jelas tentang Do No Harm atau conflict-sensitive DRR.

H2: Analisis Kerangka Internasional dan Regional

H3: Minimnya Dimensi Konflik dalam Framework Global

Dua kerangka kerja global utama, yakni Hyogo Framework (2005–2015) dan Sendai Framework (2015–2030), hampir tidak memuat referensi eksplisit terhadap konflik atau istilah seperti violence, fragility, peace, atau Do No Harm. Meski negara-negara dengan konflik menandatangani kerangka ini, tidak ada dorongan kuat agar strategi DRR disesuaikan dengan kondisi konflik mereka.

Saat penyusunan Sendai Framework, sejumlah negara anggota keberatan terhadap penyebutan eksplisit “armed conflict” atau “foreign occupation” karena alasan politis. Akibatnya, aspek konflik tersingkir dari kerangka kerja final.

H3: Afrika – Pengakuan Terbatas terhadap Hubungan Konflik dan Bencana

Strategi DRR regional Afrika cukup eksplisit dalam mengakui hubungan antara konflik dan bencana. Misalnya:

  • African Strategy for Disaster Risk Reduction menyebut bahwa konflik bisa meningkatkan risiko bencana dan sebaliknya.
  • Programme of Action 2015–2030 menyatakan perlunya penguatan sinergi antara DRR, adaptasi iklim, dan fragility.
  • Wilayah seperti East Africa bahkan menyatakan konflik sebagai bencana buatan manusia.

Namun, dokumen tersebut tidak menjabarkan mekanisme atau panduan untuk melaksanakan strategi DRR di wilayah konflik.

H3: Asia dan Timur Tengah – Banyak PR yang Tertinggal

Di Asia, walaupun memiliki struktur DRR yang maju, sebagian besar strategi DRR tidak membahas keterkaitan antara bencana dan konflik. Fokus lebih diberikan pada isu keamanan pangan atau kekerasan berbasis gender. Misalnya:

  • ASEAN Vision 2025 on Disaster Management menyebut ancaman keamanan non-tradisional, namun tidak menjabarkan konflik sebagai faktor utama risiko.
  • Arab Strategy for DRR hanya menyebut konflik sebagai risiko sekunder tanpa strategi spesifik.

Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan besar antara pengakuan terhadap konflik sebagai risiko dan penerapannya dalam kebijakan DRR.

H2: Alat Teknis dan Kerangka Evaluasi: Apakah Lebih Baik?

H3: Disaster Recovery Framework (DRF)

DRF dikembangkan oleh GFDRR dan digunakan untuk merancang strategi pemulihan pascabencana. Namun, meskipun disebut komprehensif, DRF jarang sekali memasukkan dinamika konflik sebagai variabel dalam perencanaan pemulihan.

H3: Vulnerability and Capacity Assessment (VCA)

VCA banyak digunakan oleh NGO seperti IFRC, namun hanya sedikit yang mengadaptasikan alat ini untuk konteks wilayah konflik. Sebagian besar hanya mengevaluasi kerentanan fisik dan sosial tanpa mempertimbangkan potensi konflik sebagai penghambat implementasi DRR.

H2: Rekomendasi Strategis: Menjahit Ulang Strategi DRR untuk Wilayah Konflik

Penulis mengajukan sejumlah rekomendasi penting untuk menjembatani celah antara DRR dan konteks konflik:

  • Minimalis: Do No Harm
    • DRR harus dirancang agar tidak memperburuk konflik yang ada.
  • Konflik sebagai Pemicu Bencana
    • Akui bahwa konflik menciptakan kerentanan dan memperbesar dampak bencana.
  • Konflik sebagai Risiko yang Harus Dikelola
    • DRR harus mengintegrasikan pemahaman konflik dalam penilaian risiko.
  • DRR sebagai Alat Perdamaian
    • Dalam konteks tertentu, DRR bisa digunakan untuk membangun kepercayaan dan mendorong kolaborasi antarkelompok.

H2: Kesenjangan Praktik dan Tantangan Global

Paper ini juga mengungkap bahwa:

  • Tidak ada “one-size-fits-all” dalam strategi DRR. Strategi harus disesuaikan dengan konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya lokal.
  • Negara-negara yang masuk dalam indeks risiko tertinggi (seperti Afghanistan, Chad, Haiti) justru paling sedikit memiliki DRR yang mempertimbangkan konflik.
  • Konflik dapat menjadi blind spot dalam kebijakan DRR jika tidak disadari secara eksplisit.

Kesimpulan: Waktunya DRR Bertransformasi Menjadi Strategi Responsif Konflik

Paper ini menggarisbawahi bahwa strategi DRR konvensional tidak cukup untuk menjawab tantangan wilayah konflik. Ketika konflik dan bencana bersinggungan, strategi DRR perlu melangkah lebih jauh dari sekadar respons terhadap risiko alam. Ia harus mampu beradaptasi dengan kondisi konflik, menyesuaikan pendekatan teknis, serta membuka peluang untuk perdamaian dan rekonsiliasi.

Dengan penguatan pendekatan conflict-sensitive DRR, pengambil kebijakan dapat merancang intervensi yang tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial-politik masyarakat di wilayah paling rentan di dunia.

Sumber asli:
Katie Peters, Laura E.R. Peters, John Twigg, dan Colin Walch. (2019). Disaster Risk Reduction Strategies: Navigating Conflict Contexts. Working Paper 555, Overseas Development Institute (ODI).

Selengkapnya
Strategi Pengurangan Risiko Bencana di Wilayah Konflik: Membaca Tantangan dan Peluang dari Studi Global
page 1 of 1.125 Next Last »