Saat Bencana dan Konflik Bertabrakan
Dalam konteks global yang semakin kompleks, strategi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction / DRR) tidak bisa lagi dipisahkan dari dinamika sosial-politik, terutama konflik bersenjata. Paper berjudul “Disaster Risk Reduction Strategies: Navigating Conflict Contexts” yang ditulis oleh Katie Peters, Laura E.R. Peters, John Twigg, dan Colin Walch (2019) menyoroti pentingnya penyelarasan strategi DRR dengan konteks konflik yang masih jarang diperhatikan secara sistematis.
Laporan ini merupakan hasil kolaborasi antara Overseas Development Institute (ODI), GIZ (Jerman), dan BMZ, serta merupakan bagian dari proyek When disasters and conflict collide. Dengan meninjau strategi internasional, regional, dan nasional serta alat teknis DRR, paper ini memperlihatkan celah besar dalam pendekatan DRR terhadap wilayah konflik, sekaligus memberikan arahan strategis yang sangat relevan untuk konteks negara-negara seperti Indonesia, Myanmar, atau Afghanistan.
H2: Target E Sendai Framework dan Relevansi Konteks Konflik
Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030 menjadi kerangka kerja utama dalam kebijakan DRR global. Di antara tujuh target globalnya, Target E memiliki tenggat waktu paling mendesak: meningkatkan jumlah negara yang memiliki strategi DRR nasional dan lokal pada tahun 2020. Namun, implementasi Target E sebagian besar mengabaikan aspek konflik bersenjata yang justru sangat krusial di negara-negara rawan bencana.
Dalam praktiknya, wilayah yang tergolong sebagai conflict-affected, post-conflict, atau fragile states justru memiliki kemungkinan paling rendah untuk memiliki strategi DRR yang memadai. Contoh negara dalam kategori ini meliputi Afghanistan, Chad, Haiti, Liberia, dan Kolombia.
H2: Studi Kasus Negara: Tantangan Merancang DRR di Wilayah Konflik
H3: Afghanistan – Antara Bencana dan Ketidakstabilan Politik
Afghanistan merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko bencana dan konflik tertinggi di dunia. Dengan lebih dari 2,5 juta pengungsi dan 1,3 juta pengungsi internal, interaksi antara kekeringan, banjir, dan konflik menjadi sangat kompleks.
Dokumen DRR seperti Afghanistan Strategic National Action Plan (SNAP) menyebutkan bahwa perbedaan antara bencana alam dan buatan manusia semakin kabur. Strategi ini juga mengakui bahwa konflik menghancurkan kapasitas coping masyarakat dan pemerintah, dan bahwa DRR dapat berperan dalam membangun perdamaian.
Namun, meskipun ambisi tersebut ada, strategi nasional DRR Afghanistan belum menjabarkan secara rinci bagaimana DRR dapat digunakan sebagai alat perdamaian. Masih belum tersedia kerangka kerja implementatif yang jelas tentang Do No Harm atau conflict-sensitive DRR.
H2: Analisis Kerangka Internasional dan Regional
H3: Minimnya Dimensi Konflik dalam Framework Global
Dua kerangka kerja global utama, yakni Hyogo Framework (2005–2015) dan Sendai Framework (2015–2030), hampir tidak memuat referensi eksplisit terhadap konflik atau istilah seperti violence, fragility, peace, atau Do No Harm. Meski negara-negara dengan konflik menandatangani kerangka ini, tidak ada dorongan kuat agar strategi DRR disesuaikan dengan kondisi konflik mereka.
Saat penyusunan Sendai Framework, sejumlah negara anggota keberatan terhadap penyebutan eksplisit “armed conflict” atau “foreign occupation” karena alasan politis. Akibatnya, aspek konflik tersingkir dari kerangka kerja final.
H3: Afrika – Pengakuan Terbatas terhadap Hubungan Konflik dan Bencana
Strategi DRR regional Afrika cukup eksplisit dalam mengakui hubungan antara konflik dan bencana. Misalnya:
- African Strategy for Disaster Risk Reduction menyebut bahwa konflik bisa meningkatkan risiko bencana dan sebaliknya.
- Programme of Action 2015–2030 menyatakan perlunya penguatan sinergi antara DRR, adaptasi iklim, dan fragility.
- Wilayah seperti East Africa bahkan menyatakan konflik sebagai bencana buatan manusia.
Namun, dokumen tersebut tidak menjabarkan mekanisme atau panduan untuk melaksanakan strategi DRR di wilayah konflik.
H3: Asia dan Timur Tengah – Banyak PR yang Tertinggal
Di Asia, walaupun memiliki struktur DRR yang maju, sebagian besar strategi DRR tidak membahas keterkaitan antara bencana dan konflik. Fokus lebih diberikan pada isu keamanan pangan atau kekerasan berbasis gender. Misalnya:
- ASEAN Vision 2025 on Disaster Management menyebut ancaman keamanan non-tradisional, namun tidak menjabarkan konflik sebagai faktor utama risiko.
- Arab Strategy for DRR hanya menyebut konflik sebagai risiko sekunder tanpa strategi spesifik.
Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan besar antara pengakuan terhadap konflik sebagai risiko dan penerapannya dalam kebijakan DRR.
H2: Alat Teknis dan Kerangka Evaluasi: Apakah Lebih Baik?
H3: Disaster Recovery Framework (DRF)
DRF dikembangkan oleh GFDRR dan digunakan untuk merancang strategi pemulihan pascabencana. Namun, meskipun disebut komprehensif, DRF jarang sekali memasukkan dinamika konflik sebagai variabel dalam perencanaan pemulihan.
H3: Vulnerability and Capacity Assessment (VCA)
VCA banyak digunakan oleh NGO seperti IFRC, namun hanya sedikit yang mengadaptasikan alat ini untuk konteks wilayah konflik. Sebagian besar hanya mengevaluasi kerentanan fisik dan sosial tanpa mempertimbangkan potensi konflik sebagai penghambat implementasi DRR.
H2: Rekomendasi Strategis: Menjahit Ulang Strategi DRR untuk Wilayah Konflik
Penulis mengajukan sejumlah rekomendasi penting untuk menjembatani celah antara DRR dan konteks konflik:
- Minimalis: Do No Harm
- DRR harus dirancang agar tidak memperburuk konflik yang ada.
- Konflik sebagai Pemicu Bencana
- Akui bahwa konflik menciptakan kerentanan dan memperbesar dampak bencana.
- Konflik sebagai Risiko yang Harus Dikelola
- DRR harus mengintegrasikan pemahaman konflik dalam penilaian risiko.
- DRR sebagai Alat Perdamaian
- Dalam konteks tertentu, DRR bisa digunakan untuk membangun kepercayaan dan mendorong kolaborasi antarkelompok.
H2: Kesenjangan Praktik dan Tantangan Global
Paper ini juga mengungkap bahwa:
- Tidak ada “one-size-fits-all” dalam strategi DRR. Strategi harus disesuaikan dengan konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya lokal.
- Negara-negara yang masuk dalam indeks risiko tertinggi (seperti Afghanistan, Chad, Haiti) justru paling sedikit memiliki DRR yang mempertimbangkan konflik.
- Konflik dapat menjadi blind spot dalam kebijakan DRR jika tidak disadari secara eksplisit.
Kesimpulan: Waktunya DRR Bertransformasi Menjadi Strategi Responsif Konflik
Paper ini menggarisbawahi bahwa strategi DRR konvensional tidak cukup untuk menjawab tantangan wilayah konflik. Ketika konflik dan bencana bersinggungan, strategi DRR perlu melangkah lebih jauh dari sekadar respons terhadap risiko alam. Ia harus mampu beradaptasi dengan kondisi konflik, menyesuaikan pendekatan teknis, serta membuka peluang untuk perdamaian dan rekonsiliasi.
Dengan penguatan pendekatan conflict-sensitive DRR, pengambil kebijakan dapat merancang intervensi yang tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial-politik masyarakat di wilayah paling rentan di dunia.
Sumber asli:
Katie Peters, Laura E.R. Peters, John Twigg, dan Colin Walch. (2019). Disaster Risk Reduction Strategies: Navigating Conflict Contexts. Working Paper 555, Overseas Development Institute (ODI).