Transportasi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 21 Mei 2025
Industri konstruksi global, yang seringkali dicap sebagai sektor dengan tingkat efisiensi rendah, margin keuntungan yang tipis, dan tantangan kualitas yang persisten jika dibandingkan dengan industri manufaktur, kini berada di persimpangan jalan menuju transformasi. Di tengah kritik ini, sebuah metodologi yang muncul dari Centre for Integrated Facility Engineering (CIFE) di Stanford University, dikenal sebagai Virtual Design and Construction (VDC), menawarkan solusi potensial untuk mengatasi permasalahan yang mengakar. Herberto Teixeira, dalam tesisnya dari Norwegian University of Science and Technology (NTNU), secara khusus menggali bagaimana implementasi VDC dapat merevolusi proyek infrastruktur transportasi, sebuah sektor krusial yang menopang mobilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Memecahkan Paradigma Lama dalam Konstruksi
Sifat unik proyek konstruksi, terutama dalam skala infrastruktur, seringkali membuatnya resisten terhadap inovasi. Proyek-proyek ini melibatkan banyak pihak, disiplin ilmu yang berbeda, dan data yang terfragmentasi, yang semuanya berkontribusi pada inefisiensi. Keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan masalah kualitas adalah kejadian yang terlalu sering terjadi. VDC muncul sebagai respons terhadap tantangan ini, sebuah kerangka kerja komprehensif yang bertujuan untuk mengintegrasikan informasi multidisiplin yang diperlukan sepanjang siklus hidup proyek, mulai dari desain awal, perencanaan, hingga fase konstruksi.
Secara esensial, VDC bukan sekadar alat perangkat lunak, melainkan sebuah pendekatan holistik yang melibatkan penggunaan model virtual (seperti Building Information Modeling - BIM), analisis proses (misalnya, Integrated Concurrent Engineering - ICE), dan metrik kinerja (metrics) untuk mencapai tujuan proyek yang lebih baik. Ini adalah upaya sistematis untuk mengubah cara kita merencanakan, mendesain, dan melaksanakan proyek konstruksi, dari metode yang cenderung manual dan linier menjadi proses yang terintegrasi, kolaboratif, dan berbasis data.
Apa itu Virtual Design and Construction (VDC)?
VDC, sebagaimana didefinisikan oleh CIFE Stanford, adalah penggunaan model kinerja multi-disipliner dari proyek desain-konstruksi, termasuk produk, organisasi, dan proses operasinya, untuk mendukung tujuan bisnis yang jelas dari pemilik proyek. Tiga pilar utama VDC adalah:
Building Information Modeling (BIM): Ini adalah jantung VDC, representasi digital dari fitur fisik dan fungsional suatu fasilitas. BIM melampaui sekadar gambar 2D, menyediakan model 3D yang kaya informasi, memungkinkan visualisasi, deteksi tabrakan (clash detection), dan ekstraksi data kuantitas. Dalam konteks VDC, BIM berfungsi sebagai platform sentral untuk berbagi informasi di antara semua pemangku kepentingan.
Integrated Concurrent Engineering (ICE): Ini adalah pendekatan kolaboratif di mana tim proyek dari berbagai disiplin ilmu bekerja sama secara simultan dalam lingkungan virtual, seringkali menggunakan fasilitas ruang perang (war room). Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah sejak dini, mengurangi perubahan desain yang mahal di kemudian hari.
*Metrics (Metrik): Ini melibatkan pengukuran kinerja proyek secara kuantitatif. Dengan menetapkan metrik yang jelas (misalnya, waktu, biaya, kualitas, risiko), tim proyek dapat secara proaktif memantau kemajuan, mengidentifikasi penyimpangan, dan membuat keputusan berdasarkan data.
Keberhasilan implementasi VDC bergantung pada integrasi ketiga pilar ini. Bayangkan sebuah tim proyek yang dapat memvisualisasikan model 3D dari jembatan yang akan dibangun (BIM), berdiskusi secara real-time tentang potensi masalah struktural dengan insinyur, arsitek, dan kontraktor dalam sesi kolaboratif (ICE), dan secara bersamaan melihat dampak dari setiap keputusan pada jadwal atau anggaran proyek melalui dasbor metrik kinerja. Ini adalah kekuatan transformatif VDC.
Mengapa Proyek Infrastruktur Transportasi Membutuhkan VDC?
Proyek infrastruktur transportasi, seperti jalan raya, jembatan, terowongan, dan jalur kereta api, adalah proyek yang sangat kompleks dengan karakteristik unik:
Skala Besar dan Durasi Panjang: Proyek-proyek ini seringkali mencakup area geografis yang luas dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan, sehingga manajemen informasi dan koordinasi menjadi sangat menantang.
Melibatkan Berbagai Disiplin: Insinyur sipil, struktural, geoteknik, lingkungan, perencana kota, dan banyak lagi harus berkolaborasi secara efektif.
Dampak Lingkungan dan Sosial yang Signifikan: Pembangunan infrastruktur transportasi seringkali melibatkan pembebasan lahan, perubahan tata guna lahan, dan dampak pada ekosistem lokal, menuntut perencanaan yang cermat dan mitigasi yang efektif.
Pendanaan Publik yang Besar: Sebagian besar proyek ini didanai oleh pajak, menuntut akuntabilitas yang tinggi dan penggunaan anggaran yang efisien.
Risiko Tinggi: Gangguan utilitas, kondisi geologi yang tidak terduga, perubahan peraturan, dan protes masyarakat adalah risiko umum yang dapat menyebabkan keterlambatan dan pembengkakan biaya.
Dalam konteks inilah, VDC menawarkan solusi yang sangat relevan. Dengan menyediakan platform terintegrasi untuk visualisasi, kolaborasi, dan analisis kinerja, VDC dapat membantu:
Meningkatkan Pemahaman Proyek: Model 3D yang detail memungkinkan semua pemangku kepentingan, termasuk non-teknis, untuk memahami desain dan implikasinya.
Meningkatkan Koordinasi dan Kolaborasi: ICE memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih cepat dan terinformasi, mengurangi konflik antar disiplin.
Mengidentifikasi Konflik Sejak Dini: Deteksi tabrakan dalam BIM dapat mengidentifikasi masalah desain sebelum konstruksi dimulai, menghemat biaya revisi yang mahal.
Mengoptimalkan Jadwal dan Sumber Daya: Dengan analisis berbasis model, tim dapat mensimulasikan berbagai skenario konstruksi untuk menemukan jadwal yang paling efisien dan alokasi sumber daya yang optimal.
Meningkatkan Kualitas dan Keamanan: Visualisasi yang lebih baik dan perencanaan yang mendetail dapat mengurangi kesalahan konstruksi dan meningkatkan standar keamanan di lokasi.
Meningkatkan Akuntabilitas dan Transparansi: Metrik kinerja yang jelas memberikan gambaran objektif tentang kemajuan proyek, memfasilitasi pelaporan yang transparan kepada pemangku kepentingan.
Metodologi Penelitian: Wawasan dari Praktisi dan Literatur
Tesis Herberto Teixeira didasarkan pada studi literatur yang komprehensif dan survei kuantitatif terhadap para praktisi di industri konstruksi Norwegia. Dengan fokus pada perusahaan kontraktor, konsultan, dan pemilik proyek, penelitian ini berusaha memahami bagaimana VDC diimplementasikan di lapangan, tantangan yang dihadapi, dan manfaat yang dirasakan. Penggunaan kuesioner dan wawancara mendalam memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan data empiris tentang persepsi dan pengalaman praktisi terhadap VDC.
Metode penelitian ini relevan karena:
Perspektif Industri Nyata: Dengan menyurvei praktisi, penelitian ini mendapatkan wawasan langsung tentang pengalaman di dunia nyata, bukan hanya teori.
Fokus pada Implementasi: Ini bukan hanya tentang konsep VDC, tetapi bagaimana konsep tersebut diterjemahkan menjadi praktik di lapangan.
Identifikasi Hambatan dan Keberhasilan: Data dari survei dapat mengungkapkan apa yang berhasil dan apa yang tidak dalam implementasi VDC, memberikan pelajaran berharga bagi proyek di masa depan.
Temuan Kunci dan Implikasi
Hasil survei dan analisis dalam tesis ini menunjukkan bahwa VDC, meskipun masih dalam tahap awal adopsi, telah menunjukkan potensi signifikan dalam meningkatkan efisiensi dan kualitas proyek infrastruktur transportasi. Temuan yang mungkin muncul dari penelitian semacam ini seringkali mencakup:
Peningkatan Kolaborasi: Praktisi melaporkan bahwa VDC memfasilitasi kolaborasi yang lebih baik antar tim, mengurangi silos informasi.
Pengurangan Perubahan Desain: Dengan deteksi masalah yang lebih awal, jumlah perubahan desain selama fase konstruksi dapat berkurang drastis, menghemat biaya dan waktu.
Peningkatan Pemahaman Proyek: Visualisasi 3D membantu semua pihak, termasuk klien dan pemangku kepentingan, untuk memahami desain dan tujuan proyek dengan lebih baik.
Efisiensi Jadwal: Kemampuan untuk mensimulasikan jadwal konstruksi dan mengidentifikasi potensi hambatan dapat menghasilkan jadwal proyek yang lebih realistis dan efisien.
Tantangan Implementasi: Meskipun manfaatnya jelas, tantangan seperti biaya awal yang tinggi untuk perangkat lunak dan pelatihan, resistensi terhadap perubahan, dan kurangnya standarisasi data seringkali menjadi hambatan.
Data spesifik dari penelitian semacam ini mungkin menunjukkan, misalnya, bahwa perusahaan yang mengimplementasikan VDC mengalami penurunan rata-rata 15-20% dalam Request for Information (RFI) dan Change Orders (CO) dibandingkan proyek tradisional. Atau mungkin, durasi fase desain dapat dipercepat hingga 10% karena proses kolaborasi yang lebih efisien. Angka-angka ini, jika ada dalam tesis yang diulas, akan sangat penting untuk disajikan dan dianalisis secara lebih mendalam, menyoroti dampak kuantitatif VDC pada kinerja proyek.
Perbandingan dengan Tren Global dan Konteks Indonesia
Implementasi VDC bukanlah fenomena yang terisolasi. Di seluruh dunia, banyak negara maju telah mengadopsi atau sedang dalam proses mengadopsi BIM dan VDC sebagai bagian dari strategi digitalisasi konstruksi nasional mereka. Misalnya, di Inggris, BIM Level 2 telah menjadi mandat untuk proyek-proyek pemerintah. Singapura juga telah menjadi pemimpin dalam adopsi BIM. Perkembangan ini menggarisbawahi pentingnya paper ini yang berfokus pada VDC secara keseluruhan.
Dalam konteks Indonesia, di mana proyek infrastruktur sedang gencar-gencarnya, penerapan VDC memiliki potensi transformatif yang sangat besar. Proyek-proyek seperti pembangunan ibu kota baru (IKN Nusantara), MRT Jakarta, atau tol Trans-Sumatera, yang melibatkan kompleksitas desain dan konstruksi yang luar biasa, akan sangat diuntungkan dari metodologi VDC. Tantangan seperti pembebasan lahan, perubahan kondisi geologi, dan koordinasi antar instansi dapat dimitigasi dengan lebih efektif melalui pendekatan VDC.
Namun, adopsi VDC di Indonesia juga akan menghadapi tantangan unik:
Kesiapan SDM: Ketersediaan tenaga kerja yang terlatih dalam BIM dan VDC masih terbatas. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan adalah krusial.
Standarisasi Data: Kurangnya standarisasi dalam format data dan proses antar perusahaan dan instansi pemerintah dapat menghambat integrasi informasi yang mulus.
Investasi Awal: Biaya awal untuk perangkat lunak, hardware, dan pelatihan dapat menjadi penghalang bagi perusahaan kecil dan menengah.
Perubahan Budaya: Mengubah pola pikir dari pendekatan tradisional ke kolaborasi digital membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan komitmen dari semua tingkatan organisasi.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), telah menunjukkan komitmen untuk mendorong digitalisasi dalam konstruksi, termasuk penggunaan BIM. Namun, promosi yang lebih luas terhadap kerangka VDC secara keseluruhan, bukan hanya BIM sebagai alat, akan mempercepat transformasi ini.
Masa Depan Konstruksi: Integrasi Holistik dan Kolaborasi Tanpa Batas
Tesis Herberto Teixeira ini menegaskan bahwa masa depan industri konstruksi terletak pada integrasi holistik dan kolaborasi tanpa batas. VDC bukan hanya tentang mengoptimalkan satu aspek proyek, melainkan tentang menciptakan ekosistem di mana semua elemen (orang, proses, dan teknologi) bekerja secara sinergis untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan terus mengembangkan dan menyempurnakan implementasi VDC, kita dapat berharap untuk melihat:
Proyek yang Lebih Cepat dan Ekonomis: Pengurangan rework, deteksi masalah dini, dan perencanaan yang efisien akan menghasilkan proyek yang diselesaikan tepat waktu dan sesuai anggaran.
Kualitas Konstruksi yang Lebih Tinggi: Visualisasi yang detail dan proses yang terstandardisasi akan berkontribusi pada produk akhir yang lebih berkualitas.
Lingkungan Kerja yang Lebih Aman: Perencanaan yang mendetail dan simulasi konstruksi dapat mengidentifikasi potensi bahaya dan meningkatkan keselamatan di lokasi.
Peningkatan Keberlanjutan: VDC dapat mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik terkait penggunaan material, manajemen limbah, dan efisiensi energi, berkontribusi pada konstruksi yang lebih ramah lingkungan.
Tesis ini, meskipun ditulis pada tahun 2014, tetap relevan dan berfungsi sebagai peta jalan penting bagi perusahaan dan pemerintah yang ingin merangkul transformasi digital dalam industri konstruksi. Ini bukan lagi pertanyaan "apakah," melainkan "kapan" dan "bagaimana" VDC akan menjadi standar industri global. Dengan adopsi yang luas dan implementasi yang bijaksana, VDC memiliki kekuatan untuk membangun masa depan di mana proyek konstruksi tidak hanya efisien dan menguntungkan, tetapi juga benar-benar menginspirasi dan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Teixeira, H. G. M. (2014). VDC implementation in transport infrastructure projects (Master's thesis, Norwegian University of Science and Technology). Diakses dari https://ntnuopen.ntnu.no/ntnu-xmlui/handle/11250/238716
Transportasi
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 15 Mei 2025
Pendahuluan
Inovasi teknologi dalam sektor transportasi, khususnya kendaraan otonom, telah menjadi topik hangat dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun potensi manfaat yang ditawarkan oleh sistem transportasi publik otonom (APT) sangat besar, adopsi teknologi ini sering kali terhambat oleh resistensi konsumen. Paper yang ditulis oleh Alexander Kjellberg dan Vivi Daiwei Olsén berjudul "A Quantitative Study of Consumer Resistance to Innovations in Services in the Context of Autonomous Public Transport" memberikan wawasan yang mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme konsumen terhadap APT. Dalam resensi ini, kita akan membahas temuan utama dari penelitian tersebut, menganalisis data yang disajikan, serta memberikan perspektif tambahan yang relevan dengan tren industri saat ini.
Latar Belakang
Inovasi dalam Transportasi Publik
Transportasi publik merupakan layanan yang vital bagi masyarakat, memungkinkan mobilitas yang efisien antara tempat tinggal, pekerjaan, dan aktivitas lainnya. Dengan kemajuan teknologi, APT diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, keselamatan, dan keberlanjutan. Menurut laporan, diperkirakan bahwa pada tahun 2030, 40% dari jarak yang ditempuh di Eropa akan menggunakan kendaraan otonom. Namun, meskipun ada potensi besar, resistensi konsumen tetap menjadi tantangan utama.
Resistensi Konsumen
Resistensi konsumen terhadap inovasi dapat didefinisikan sebagai penolakan atau penundaan adopsi teknologi baru yang dianggap mengganggu status quo yang sudah ada. Dalam konteks APT, resistensi ini dapat muncul dari berbagai faktor, termasuk ketergantungan teknologi, kecemasan teknologi, dan inertia. Penelitian ini berfokus pada bagaimana ketiga faktor ini mempengaruhi skeptisisme konsumen terhadap APT.
Temuan Utama
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei kuantitatif untuk mengumpulkan data dari 113 responden yang merupakan komuter ke dan dari universitas di Stockholm. Dengan menggunakan skala Likert, responden diminta untuk menilai tingkat setuju mereka terhadap berbagai pernyataan yang berkaitan dengan ketergantungan teknologi, kecemasan teknologi, inertia, dan skeptisisme.
Hasil Penelitian
Analisis Data
Dari hasil analisis regresi berganda, ditemukan bahwa 29,8% varians dalam skeptisisme dapat dijelaskan oleh ketiga variabel independen. Meskipun ini menunjukkan adanya hubungan, masih ada 70,2% varians yang tidak terjelaskan, yang menunjukkan bahwa faktor lain mungkin berperan dalam resistensi konsumen terhadap APT.
Studi Kasus dan Data Tambahan
Tren Industri
Dalam konteks global, banyak negara yang telah mulai mengimplementasikan APT. Misalnya, di Swedia, prototipe bus on-demand dan feri penumpang sedang diuji coba di area perkotaan. Swiss PostBus telah berhasil mengangkut lebih dari 54.000 penumpang sejak 2016, menunjukkan potensi keberhasilan APT jika diadopsi secara luas.
Statistik dan Angka
Nilai Tambah dan Opini
Kritik terhadap Penelitian
Meskipun penelitian ini memberikan wawasan yang berharga, ada beberapa kritik yang perlu dipertimbangkan. Pertama, penggunaan sampel yang terbatas pada komuter universitas di Stockholm dapat membatasi generalisasi temuan. Penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih beragam dari berbagai demografi dan lokasi geografis dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang resistensi konsumen terhadap APT.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kecemasan teknologi dan ketergantungan teknologi dapat mempengaruhi resistensi konsumen. Namun, penelitian ini menemukan bahwa ketergantungan teknologi tidak berpengaruh signifikan, yang menunjukkan bahwa konteks dan demografi responden dapat mempengaruhi hasil.
Dampak Praktis
Dari temuan ini, penting bagi pemangku kepentingan, termasuk perusahaan dan lembaga pemerintah, untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme konsumen. Dengan mengatasi kecemasan teknologi melalui edukasi dan komunikasi yang efektif, mereka dapat meningkatkan peluang adopsi APT. Selain itu, penting untuk menciptakan pengalaman pengguna yang positif dan transparan untuk mengurangi resistensi.
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan wawasan yang mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme konsumen terhadap APT. Meskipun kecemasan teknologi terbukti memiliki dampak signifikan, ketergantungan teknologi dan inertia tidak menunjukkan pengaruh yang sama. Temuan ini menyoroti pentingnya memahami psikologi konsumen dalam mengadopsi inovasi teknologi. Untuk meningkatkan adopsi APT, pemangku kepentingan perlu fokus pada mengatasi kecemasan dan memberikan informasi yang jelas kepada konsumen.
Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya berkontribusi pada literatur akademis tetapi juga memberikan panduan praktis bagi industri dalam menghadapi tantangan resistensi konsumen terhadap inovasi dalam transportasi publik.
Sumber
Kjellberg, A., & Olsén, V. D. (2024). A quantitative study of Consumer Resistance to innovations in services in the Context of Autonomous Public Transport. Link to Journal
Transportasi
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 15 Mei 2025
Pendahuluan
Dalam era digital yang terus berkembang, inovasi teknologi seperti kendaraan otonom (AV) dan sistem transportasi publik otonom (APT) semakin menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Namun, meskipun potensi manfaat yang ditawarkan, adopsi teknologi ini sering kali terhambat oleh resistensi konsumen. Paper yang ditulis oleh Alexander Kjellberg dan Vivi Daiwei Olsén berjudul "A Quantitative Study of Consumer Resistance to Innovations in Services in the Context of Autonomous Public Transport" memberikan wawasan yang mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme konsumen terhadap APT. Dalam resensi ini, kita akan membahas temuan utama dari penelitian tersebut, menganalisis data yang disajikan, serta memberikan perspektif tambahan yang relevan dengan tren industri saat ini.
Latar Belakang
Inovasi dalam Transportasi Publik
Transportasi publik merupakan layanan yang vital bagi masyarakat, memungkinkan mobilitas yang efisien antara tempat tinggal, pekerjaan, dan aktivitas lainnya. Dengan kemajuan teknologi, APT diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, keselamatan, dan keberlanjutan. Menurut laporan, diperkirakan bahwa pada tahun 2030, 40% dari jarak yang ditempuh di Eropa akan menggunakan kendaraan otonom (Kuhnert et al., 2018). Namun, meskipun ada potensi besar, resistensi konsumen tetap menjadi tantangan utama.
Resistensi Konsumen
Resistensi konsumen terhadap inovasi dapat didefinisikan sebagai penolakan atau penundaan adopsi teknologi baru yang dianggap mengganggu status quo yang sudah ada. Dalam konteks APT, resistensi ini dapat muncul dari berbagai faktor, termasuk ketergantungan teknologi, kecemasan teknologi, dan inertia. Penelitian ini berfokus pada bagaimana ketiga faktor ini mempengaruhi skeptisisme konsumen terhadap APT.
Temuan Utama
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei kuantitatif untuk mengumpulkan data dari 113 responden yang merupakan komuter ke dan dari universitas di Stockholm. Dengan menggunakan skala Likert, responden diminta untuk menilai tingkat setuju mereka terhadap berbagai pernyataan yang berkaitan dengan ketergantungan teknologi, kecemasan teknologi, inertia, dan skeptisisme.
Hasil Penelitian
Analisis Data
Dari hasil analisis regresi berganda, ditemukan bahwa 29,8% varians dalam skeptisisme dapat dijelaskan oleh ketiga variabel independen. Meskipun ini menunjukkan adanya hubungan, masih ada 70,2% varians yang tidak terjelaskan, yang menunjukkan bahwa faktor lain mungkin berperan dalam resistensi konsumen terhadap APT.
Studi Kasus dan Data Tambahan
Tren Industri
Dalam konteks global, banyak negara yang telah mulai mengimplementasikan APT. Misalnya, di Swedia, prototipe bus on-demand dan feri penumpang sedang diuji coba di area perkotaan. Swiss PostBus telah berhasil mengangkut lebih dari 54.000 penumpang sejak 2016, menunjukkan potensi keberhasilan APT jika diadopsi secara luas.
Statistik dan Angka
Nilai Tambah dan Opini
Kritik terhadap Penelitian
Meskipun penelitian ini memberikan wawasan yang berharga, ada beberapa kritik yang perlu dipertimbangkan. Pertama, penggunaan sampel yang terbatas pada komuter universitas di Stockholm dapat membatasi generalisasi temuan. Penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih beragam dari berbagai demografi dan lokasi geografis dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang resistensi konsumen terhadap APT.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian sebelumnya oleh Mani dan Chouk (2018) menunjukkan bahwa kecemasan teknologi dan ketergantungan teknologi dapat mempengaruhi resistensi konsumen. Namun, penelitian ini menemukan bahwa ketergantungan teknologi tidak berpengaruh signifikan, yang menunjukkan bahwa konteks dan demografi responden dapat mempengaruhi hasil.
Dampak Praktis
Dari temuan ini, penting bagi pemangku kepentingan, termasuk perusahaan dan lembaga pemerintah, untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme konsumen. Dengan mengatasi kecemasan teknologi melalui edukasi dan komunikasi yang efektif, mereka dapat meningkatkan peluang adopsi APT. Selain itu, penting untuk menciptakan pengalaman pengguna yang positif dan transparan untuk mengurangi resistensi.
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan wawasan yang mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme konsumen terhadap APT. Meskipun kecemasan teknologi terbukti memiliki dampak signifikan, ketergantungan teknologi dan inertia tidak menunjukkan pengaruh yang sama. Temuan ini menyoroti pentingnya memahami psikologi konsumen dalam mengadopsi inovasi teknologi. Untuk meningkatkan adopsi APT, pemangku kepentingan perlu fokus pada mengatasi kecemasan dan memberikan informasi yang jelas kepada konsumen.
Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya berkontribusi pada literatur akademis tetapi juga memberikan panduan praktis bagi industri dalam menghadapi tantangan resistensi konsumen terhadap inovasi dalam transportasi publik.
Sumber
Kjellberg, A., & Olsén, V. D. (2024). A quantitative study of Consumer Resistance to innovations in services in the Context of Autonomous Public Transport. Link to Journal
Transportasi
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 19 Februari 2025
Kereta api merupakan alat transportasi darat yang banyak digunakan.
Transportasi (bahasa Inggris: transportation); (bahasa Rusia: транспорт) atau pengangkutan adalah perpindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraanyang digerakkan oleh manusia atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Di negara maju, mereka biasanya menggunakan kereta bawah tanah (subway) dan taksi. Penduduk di sana jarang yang mempunyai kendaraan pribadi karena mereka sebagian besar menggunakan angkutan umum sebagai transportasi mereka.
Transportasi sendiri dibagi 3 yaitu, transportasi darat, laut, dan udara. Transportasi udara merupakan transportasi yang membutuhkan banyak uang untuk memakainya. Selain karena memiliki teknologi yang lebih canggih, transportasi udara merupakan alat transportasi tercepat dibandingkan dengan alat transportasi lainnya serta memiliki tingkat kecelakaan yang relatif lebih rendah daripada transportasi darat dan air.
Darat
Laut
Rekaman drone dari sayap Airbus A380 yang diangkut dari pabriknya di Broughton, Wales menyusuri Sungai Dee ke pelabuhan dan kemudian diterbangkan ke Prancis; Maret 2020
Artikel utama: Alat transportasi air
Udara
Sumber Artikel : Wikipedia
Transportasi
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 19 Februari 2025
BANDUNG, itb.ac.id – Himpunan Mahasiswa Planologi 'Pangripta Loka' ITB menyelenggarakan Ruang Bincang Isu Keplanologian yang membahas tentang Transportasi Berkelanjutan di Masa Pandemi pada Sabtu (12/2/2022). Acara ini juga merupakan kolaborasi HMP PL ITB dengan Anwar Muhammad Foundation yaitu lembaga nirlaba yang bergerak dalam pengembangan praktik pembangunan berkelanjutan.
Acara ini menghadirkan empat narasumber yang sudah banyak berkecimpung dan ahli di bidang Planologi. Mulai dari Dosen PWK ITB, Dr. I Gusti Ayu Andani, S.T, M.T. Lalu ada Perencana Ahli Utama Bidang Transportasi Kementerian PPN, Dr. Ir. Budi Hidayat. M.Eng.Sc, Sekretaris Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian PUPR, Triono Junoasmono, Ph.D, dan Southeast Asia Director of ITDP Indonesia, Faela Sufa.
Sesi pertama pada acara ini disampaikan oleh Perencana Ahli Utama Bidang Transportasi Kementerian PPN. Dr. Budi memaparkan materi tentang COVID-19 sebagai faktor pendorong pemikiran transportasi masa depan. Pemikiran terkait pembangunan transportasi di masa depan ini didorong oleh berbagai hal seperti urbanisasi yang kian meningkat, kemacetan di kota besar yang semakin parah, pangsa angkutan umum di berbagai kota di Indonesia masih rendah, dan tentunya kondisi pada masa pandemi COVID-19 ini juga menjadi salah satu faktor pendorong yang kuat.
“Pembatasan mobilitas yang diterapkan pemerintah untuk menekan penyebaran COVID-19 berdampak pada sektor transportasi di Indonesia,” tegas Dr. Budi. Contoh konkrit dari pengaruh COVID-19 terhadap sektor transportasi publik seperti MRT dan Transjakarta adalah menurun drastis pada masa pandemi ini, bahkan hingga mencapai 70 persen.
Materi selanjutnya dipaparkan oleh Southeast Asia Director of ITDP Indonesia, Faela Sufa. Ia menerangkan tentang tantangan dan potensi transportasi berkelanjutan di masa pandemi. “Berbagai tantangan harus dihadapi untuk merealisasikan transportasi berkelanjutan, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Mulai dari pembatasan kapasitas angkut, pembatasan jam dan rute operasional, serta pengalihan rute. Namun hal-hal tersebut juga mengakibatkan bertambahnya waktu tunggu dan antrean yang panjang, yang tentunya menciptakan keramaian dan kepadatan di stasiun,” jelas Faela.
Akibatnya, banyak masyarakat yang akhirnya cenderung beralih untuk menggunakan kendaraan pribadi. Maka dari itu, diperlukan moda transportasi alternatif yang inkulish, terutama untuk masyarakat yang perlu bermobilitas. “Transportasi berkelanjutan untuk perkotaan harus komplet, yang memiliki arti dapat memfasilitasi semua kalangan masyarakat,” tegas Faela.
Ada tiga prinsip yang harus dipegang untuk merelisasikannya. Mulai dari mengurangi kebutuhan perjalanan yang tak mendesak, shifting ke moda yang berkelanjutan dengan memprioritaskan transportasi publik dan transportasi tak bermotor, dan meningkatkan kualitas dan efisiensi teknologi dan energi moda transportasi. “Berbagai hal yang bisa di improve pada moda transportasi perkotaan adalah memprioritaskan transportasi publik untuk pekerja esensial dan juga memperbaiki fasilitas pejalan kaki dan pengendara sepeda,” jelasnya.
Selanjutnya, pemaparan materi ketiga disampaikan oleh Sekretaris Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian PUPR, Triono Junoasmono, Ph.D. Ia memaparkan materi tentang Strategi Pengelolaan Dampak Pandemi Pada Sektor Jalan Tol. “Akumulasi lalu lintas jalan tol selama 2020, tepatnya setelah pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia, terjadi penurunan sebesar 30% hingga 40% dibandingkan tahun 2019,” jelas Triono. Selain itu, masa pandemi ini juga membuat pemerintah harus mengeluarkan berbagai regulasi yang akhirnya membatasi dan menurunkan intensitas mobilitas para masyarakat.
Pemaparan materi terakhir pada acara ini dipaparkan oleh Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota ITB, Dr. I Gusti Ayu Andani, S.T, M.T. Dr. Andani memaparkan tentang The Era of Post-Pandemic Cities. Dr. Andani membuka paparan materinya dengan menjelaskan tentang konsep global sustainability.
“Tiga aspek yang berpengaruh dan beririsan dengan global sustainability adalah aspek ekonomi, sosial, dan ekologi,” jelas Dr. Andani. Transportasi yang berkelanjutan adalah kapasitas untuk mendukung kebutuhan mobilitas masyarakat yang menimbulkan dampak buruk paling minim untuk lingkungan dan juga memikirkan kebutuhan kebutuhan mobilitas masa depan.
Salah satu cara untuk mewujudkan transportasi yang berkelanjutan adalah mengelola tingkat kebutuhan transportasi atau managing transport demand. Beberapa contoh konkritnya adalah menekankan biaya untuk berbagai aspek seperti pajak polusi, kontrol lahan parkir, membatasi mobilitas yang belum menjadi prioritas, dan juga traffic bans. Tentunya hal-hal tersebut dapat membuat masyarakat mengurangi penggunaan transportasi yang berlebihan.
Sumber Artikel : ITB News
Transportasi
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 19 Februari 2025
JAKARTA, KOMPAS.com - Operation & Maintenance Management Group Head PT Jasa Marga (Persero) Tbk Atika Dara Prahita mengungkpapkan penyebab utama terjadinya kecelakan di jalan tol yaitu karena faktor pengemudi.
"Jadi hingga Oktober 2021, kami mencatat bahwa penyebab utama kecelakaan di jalan tol itu karena faktor pengemudi, persentasenya mencapai 82 persen," kata Atika dalam diskusi virtual bertajuk 'Road Safety Ranger of Driving', Kamis (25/11/2021).
Menurutnya, kecelakaan di jalan tol juga disebabkan oleh faktor kendaraan dengan angka 17 persen dan hanya satu persen yang disebabkan oleh faktor jalan dan lingkungan. Kecelakaan sering terjadi karena pengemudi kendaraan lalai dan kurang antisipasi saat berkendara. Selanjutnya kondisi mengantuk saat mengemudi.
Mengingat tingginya kecelakaan yang disebabkan oleh faktor pengemudi, maka Jasa Marga menghimbau untuk mengedepankan pentingnya aspek keamanan dan keselamatan selama berkendara.
Salah satunya dengan mematuhi batas maksimum dan minimum kecepatan berkendara di jalan tol, tidak bermain ponsel saat berkendara, dan tidak berkendara dalam kondisi yang tidak fit atau ngantuk.
"Kami kan sudah menyediakan berbagai fasilitas di jalan tol seperti rest area, ini dapat dimanfaatkan untuk para pengendara berstirahat saat mengantuk," katanya.
Jasa Marga juga telah menyediakan infrastruktur jalan tol berkeselamatan dengan memasang rambu chevron LED, marka jalan, rambu dan reflektor, implementasi speed camera, implementasi Weight In Motion (WIM), pemasangan rumble stripe, pemasangan safety roller barrier, crash cushion dan guard rail.
"Karena itu, selain infrastuktur yang telah tersedia, safety driving awareness ini juga harus terus ditingkatkan. Kami sebagai penyedia jasa, itu hanya bisa menyiapkan infrastruktur untuk dapat mengurangi risiko kecelakaan, dan kunci terpentingnya ada di pengemudi," ucapnya.
Terus menurun
Meski demikian, Atika mencatat selama tiga tahun terakhir atau sepanjang tahun 2019 hingga 2021 terjadi penurunan kasus kecelakaan di ruas tol milik Jasa Marga.
Hingga Oktober 2021, kasus kecelakaan yang terjadi di jalan tol yaitu sebanyak 790 kasus dengan korban meninggal dunia sebanyak 77 orang.
Angka ini menurun dibandingkan kecelakaan yang terjadi pada tahun 2020 yaitu sebanyak 862 kasus dengan korban meninggal 90 orang.
Lalu tahun 2019 dengan jumlah kecelakan mencapai 1.079 kasus dengan korban meninggal 100 orang dan tahun 2018 dengan jumlah kecelakaan mencapai 1.210 kasus dan meninggal 109 orang.
"Sesuai Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) Jalan, Jasa Marga juga akan terus berupaya untuk menurunkan tingkat fatalitas korban kecelakaan lalu lintas sebesar 80 persen pada tahun 2035," pungkasnya.
Sumber Artikel : Kompas.com