Tantangan Hukum
Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025
Pernahkah Anda membayangkan sebuah jembatan yang tak pernah selesai dibangun atau sebuah sekolah yang kualitasnya jauh di bawah standar? Di balik kegagalan proyek-proyek pemerintah, seringkali ada praktik kotor yang tersembunyi dari mata publik: "pinjam bendera." Praktik ini, yang secara harfiah berarti meminjam nama perusahaan lain untuk mengikuti dan memenangkan tender pengadaan barang dan jasa, kini bukan lagi sekadar rahasia umum. Sebuah penelitian mendalam dari PAMALI: Pattimura Magister Law Review telah membongkar praktik ini secara rinci, mengungkap lapisan-lapisan pelanggaran hukum dan konsekuensi fatal yang menantinya. Laporan ini tak hanya menyajikan data, tetapi juga "cerita di balik data" yang menunjukkan bagaimana celah hukum dimanfaatkan, siapa yang diuntungkan, dan mengapa hal ini menjadi ancaman serius bagi integritas negara.
Mengapa Praktik 'Pinjam Bendera' Begitu Merajalela di Indonesia?
Praktik "pinjam bendera" bukanlah fenomena yang terjadi secara acak. Menurut penelitian ini, ada beberapa alasan fundamental yang mendorong oknum-oknum untuk terlibat di dalamnya. Salah satu penyebab utamanya adalah persyaratan rumit yang ditetapkan dalam proses lelang pemerintah. Panitia lelang seringkali menetapkan syarat yang sangat ketat, seperti kualifikasi Sertifikat Badan Usaha (SBU), klasifikasi, kemampuan dasar, hingga sisa kemampuan keuangan dan paket yang tidak dapat dipenuhi oleh semua penyedia barang atau jasa.
Kekakuan inilah yang menciptakan sebuah ironi: aturan yang dirancang untuk memastikan kualitas justru membuka jalan bagi praktik curang. Individu atau perusahaan yang tidak memiliki badan usaha resmi, atau yang telah masuk daftar hitam (blacklist), melihat "pinjam bendera" sebagai jalan pintas untuk mendapatkan proyek. Alasan lain yang tak kalah penting adalah upaya untuk mengelabui pelaksana lelang, terutama ketika sebuah perusahaan sudah terlalu sering memenangkan tender, sehingga meminjam nama perusahaan lain menjadi strategi untuk menghindari kecurigaan.
Proses transaksional di balik praktik ini juga sangat terstruktur. Kontraktor yang meminjam nama perusahaan akan memberikan fee sebesar 2-3% dari nilai proyek kepada perusahaan pemilik nama. Meskipun persentase ini terkesan kecil, nilainya bisa sangat besar. Bayangkan jika praktik ini terjadi pada puluhan atau bahkan ratusan proyek di seluruh Indonesia setiap tahun. Total uang yang "bocor" dari anggaran negara untuk biaya ilegal ini bisa mencapai jumlah yang fantastis. Praktik ini bukan sekadar tindakan kriminal individu, tetapi sebuah cerminan dari kegagalan sistem pengadaan yang terlalu kaku, menciptakan pasar gelap di mana kredibilitas bisa "disewa" dengan harga tertentu.
Jebakan Hukum Berlapis: Mengapa Praktik Ini Sebenarnya Ilegal?
Meskipun belum ada satu pasal pun yang secara eksplisit melarang peminjaman nama perusahaan, penelitian ini menunjukkan bahwa praktik tersebut melanggar beberapa lapisan hukum di Indonesia. Ini adalah poin krusial yang sering luput dari perhatian publik. "Pinjam bendera" secara fundamental adalah sebuah tindakan yang melanggar hukum, terlepas dari apakah ada aturan yang secara spesifik menyinggungnya.
Pelanggaran Terhadap Hukum Perjanjian (Perdata)
Dalam hukum perdata, praktik "pinjam bendera" tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Syarat tersebut adalah "suatu sebab yang halal" (causa atau kausa). Penelitian ini secara tegas menyatakan bahwa karena tujuan perjanjian peminjaman nama adalah untuk memenangkan tender dengan melanggar peraturan perundang-undangan, perjanjian itu sendiri tidak memiliki kausa yang halal. Konsekuensinya sangat fatal: perjanjian tersebut "batal demi hukum".
Batal demi hukum berarti perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak awal. Ini bukan sekadar pembatalan biasa, tetapi sebuah deklarasi bahwa seluruh landasan hukum dari transaksi tersebut—mulai dari kesepakatan hingga penyerahan pekerjaan—secara legal tidak eksis. Ini menempatkan semua pihak yang terlibat dalam posisi yang sangat rentan, karena mereka tidak memiliki perlindungan hukum sama sekali jika terjadi sengketa.
Pelanggaran Terhadap Hukum Persaingan Usaha
Penelitian ini juga secara jelas mengkategorikan "pinjam bendera" sebagai bentuk "persekongkolan" tender yang dilarang oleh Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persekongkolan, menurut undang-undang ini, adalah kerja sama antara pelaku usaha untuk memenangkan peserta tender tertentu, yang pada akhirnya menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Meminjam nama perusahaan lain adalah salah satu cara yang paling sering digunakan untuk mengatur pemenang tender.
Pelanggaran Terhadap Peraturan Pengadaan Pemerintah
Selain melanggar hukum perdata dan persaingan, praktik ini juga menabrak aturan pengadaan pemerintah. Pasal 87 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 202 secara tegas melarang penyedia barang/jasa untuk mengalihkan seluruh pelaksanaan pekerjaan utama kepada pihak lain melalui subkontrak, kecuali sebagian pekerjaan spesialis. Praktik "pinjam bendera" justru melakukan pengalihan seluruh pekerjaan kepada pihak peminjam nama.
Terdapat beberapa bentuk pelanggaran hukum beserta konsekuensinya. Dalam ranah hukum perjanjian (perdata), berdasarkan Pasal 320 KUH Perdata, suatu perjanjian yang bertentangan dengan kausa yang halal akan batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada. Pada aspek hukum persaingan usaha, sesuai Pasal 22 UU No. 5/1999, praktik persekongkolan tender (bid rigging) dikenai sanksi dari KPPU, berupa denda maupun sanksi pidana. Sementara itu, dalam peraturan pengadaan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Perpres No. 6/2008 dan Peraturan LKPP No. 9/2009, pengalihan seluruh pekerjaan utama melalui subkontrak termasuk pelanggaran yang berakibat pada sanksi administratif, termasuk kemungkinan masuk dalam daftar hitam (blacklist).
Cerita di Balik Putusan KPPU: Saat Skandal Terbongkar
Penelitian ini tidak hanya berhenti pada analisis hukum, tetapi juga membuktikan praktik "pinjam bendera" melalui studi kasus nyata yang telah diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dua kasus ini menjadi bukti konkret bahwa persekongkolan tender dengan modus "pinjam bendera" adalah realitas yang bisa dibongkar dan dihukum.
Kasus : Tender Pengadaan TV di Sumatera Utara (Putusan KPPU No. 41/KPPU-L/2008)
Dalam kasus ini, PT. Pelita Jaya Mandiri ditetapkan sebagai pemenang tender pengadaan TV. Namun, Direktur perusahaan tersebut kemudian bertemu dengan Abdul Wahid Soenge, seorang kontraktor yang sedang mencari perusahaan untuk dipinjam namanya. Sebuah kesepakatan dibuat: Abdul Wahid akan menjalankan proyek tender, dan PT. Pelita Jaya Mandiri akan menerima
fee sebesar Rp 20 juta. Kesepakatan ini bahkan diperkuat dengan akta notaris. KPPU menemukan bukti adanya persekongkolan vertikal (antara panitia tender dan pemenang) dan horizontal (antara PT. Pelita Jaya Mandiri dan Abdul Wahid).
Kasus 2: Tender TIK di Probolinggo (Putusan KPPU No. 16/KPPU-L/2014)
Skandal ini melibatkan CV. Burung Nuri, CV. Satriya, CV. Ferro, dan seorang individu bernama Riza Febriant. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Direktur CV. Burung Nuri sama sekali tidak mengetahui bahwa perusahaannya telah memenangkan tender. Seluruh proses pendaftaran dan urusan tender dilakukan oleh Riza Febriant yang meminjam nama CV. Burung Nuri. Tentu saja, untuk memperkuat perjanjian, dibuatlah perjanjian kerja sama di hadapan notaris. KPPU menemukan adanya persekongkolan vertikal, di mana panitia pengadaan memfasilitasi kemenangan CV. Burung Nuri, serta persekongkolan horizontal yang terlihat dari kesamaan dokumen penawaran antara CV. Burung Nuri dan CV. Satriya.
Kedua kasus ini menunjukkan bahwa modus "pinjam bendera" tidak hanya didasarkan pada kesepakatan lisan. Sering kali, perjanjian kerja sama yang telah dinotariskan menjadi bukti tak terbantahkan yang membantu KPPU membongkar konspirasi. Hal ini membuktikan bahwa meskipun praktik ini tidak dilarang secara eksplisit, kerangka hukum yang ada sudah cukup kuat untuk menjerat para pelakunya.
Berdasarkan putusan KPPU, terdapat dua studi kasus yang menunjukkan praktik pinjam nama dalam tender. Pada kasus putusan nomor 4/KPPU-L/2008, terkait tender TV di Sumatera Utara, pihak yang terlibat adalah PT. Pelita Jaya Mandiri dan Abdul Wahid. Modus operandi yang digunakan adalah meminjam nama setelah memenangkan tender dengan perjanjian yang dibuat secara notarized. Sementara itu, pada putusan nomor 6/KPPU-L/204, terkait tender TIK di Probolinggo, pihak yang terlibat adalah CV. Burung Nuri dan Riza Febriant. Dalam kasus ini, pinjam nama dilakukan sejak awal proses lelang dengan dasar perjanjian kerja sama. Kedua kasus tersebut menjadi bukti konkret adanya praktik manipulasi tender melalui penggunaan nama pihak lain.
Siapa Bertanggung Jawab? Memahami Konsekuensi Fatal dan Sanksi Berat
Penelitian ini menggarisbawahi dengan jelas bahwa pertanggungjawaban hukum dalam praktik "pinjam bendera" tidak hanya jatuh pada pihak yang meminjam nama, tetapi juga pada perusahaan yang dengan sengaja meminjamkan namanya. Seringkali, perusahaan pemilik nama justru menanggung beban yang jauh lebih berat.
Jika terjadi wanprestasi atau ingkar janji, di mana pihak peminjam nama gagal menyelesaikan proyek, gugatan hukum akan diajukan kepada perusahaan yang memenangkan kontrak—yaitu perusahaan pemilik nama. Perusahaan inilah yang secara hukum bertanggung jawab penuh untuk menanggung segala kerugian yang timbul. Tanggung jawab ini mencakup pembayaran ganti rugi, pemutusan kontrak, hingga sanksi administratif dan pidana.
Konsekuensi yang paling mengerikan bagi sebuah perusahaan adalah pencantuman namanya dalam daftar hitam (blacklist) yang diterbitkan oleh pemerintah. Sanksi ini dapat berlangsung hingga dua tahun, dan selama itu, perusahaan tidak akan dapat mengikuti tender pemerintah apa pun. Kerugiannya tidak hanya finansial, tetapi juga reputasi yang telah dibangun dengan susah payah bisa hangus dalam satu malam.
Penelitian ini mengulas konsep pertanggungjawaban yang kompleks, termasuk berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Teori ini menyiratkan bahwa perusahaan yang meminjamkan namanya dapat dianggap bertanggung jawab atas konsekuensi yang timbul, meskipun mereka tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan proyek. Konsep ini menunjukkan bahwa meskipun perusahaan pemilik nama berdalih tidak mengetahui detail pekerjaan di lapangan, tindakan mereka meminjamkan "bendera" sudah cukup untuk membuat mereka menanggung risiko hukum. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa dalam dunia hukum, niat baik saja tidak cukup. Tanggung jawab melekat pada nama yang tercantum dalam kontrak.
Mengubah Lanskap Pengadaan: Kritik Realistis dan Dampak Nyata
Penelitian ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan kritik dan rekomendasi yang realistis. Para peneliti menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi dokumen administrasi secara lebih cermat dan teliti. Selain itu, diperlukan klarifikasi mendalam secara langsung kepada perusahaan yang mengajukan penawaran, tidak hanya mengandalkan dokumen di atas kertas. Hal ini akan mempersulit para oknum untuk memalsukan dokumen atau meminjam nama perusahaan.
Laporan ini juga menekankan bahwa penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk menciptakan lingkungan pengadaan yang sehat dan kompetitif. Jika temuan ini mendorong penegakan hukum yang lebih tegas, praktik curang ini bisa berkurang secara signifikan, menghemat biaya proyek dan memastikan kualitas pekerjaan publik. Bayangkan dampak nyata yang bisa dihasilkan: efisiensi anggaran negara bisa meningkat drastis, mengurangi "kebocoran" dana hingga puluhan persen. Menghentikan praktik "pinjam bendera" bisa memberikan lompatan efisiensi yang setara dengan menaikkan baterai smartphone dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali pengisian daya. Proyek-proyek publik akan selesai tepat waktu, dengan kualitas yang lebih baik, dan dapat dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat.
Sumber Artikel:
Sunoto, S., Tjoanda, M., & Berlianty, T. (2024). Pertanggungjawaban Hukum Peminjaman Nama Perusahaan Untuk Mengikuti Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah. Pamali: Pattimura Magister Law Review, 4(2), 187-207.
Tantangan Hukum
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Air, Politik, dan Hukum di Indus Basin
Di tengah krisis air global dan rivalitas geopolitik Asia Selatan, Sungai Indus menjadi nadi kehidupan sekaligus sumber konflik bagi Pakistan dan India. Paper “Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law” karya Sana Taha Gondal (2020) menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana prinsip hukum internasional adat (Customary International Law/CIL) dapat memperkuat posisi Pakistan sebagai negara hilir (lower riparian) di luar kerangka Indus Waters Treaty (IWT) 1960. Resensi ini membedah argumen utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta menawarkan analisis kritis dan relevansi dengan tren tata kelola air lintas negara masa kini.
Latar Belakang: Indus Basin, IWT, dan Keterbatasannya
Indus Basin: Lifeline yang Terancam
Indus Waters Treaty (IWT) 1960: Sejarah dan Kritik
Studi Kasus: Sengketa dan Tantangan di Lapangan
1. Proyek Dam dan Sengketa Data
2. Ancaman Perubahan Iklim dan Ketidakpastian
Prinsip Hukum Internasional Adat (CIL) dan Hak Pakistan
1. Hak Berbagi Indus Basin secara Setara
2. Prinsip Equitable and Reasonable Utilization
3. Kewajiban Tidak Menyebabkan Kerugian Signifikan (No Harm Rule)
4. Hak atas Kerja Sama, Konsultasi, dan Pertukaran Data
5. Hak atas Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Sungai
6. Hak atas Penyelesaian Sengketa secara Damai
Analisis Kritis: Kelebihan, Kekurangan, dan Relevansi Praktis
Kekuatan Argumen dan Studi Kasus
Kritik terhadap Implementasi dan Keterbatasan CIL
Perbandingan dengan Studi dan Tren Global
Opini dan Rekomendasi Penulis
Relevansi Industri dan Tren Kebijakan
1. Industri Pertanian dan Energi
2. Digitalisasi dan Transparansi Data
3. Kolaborasi Multipihak dan Diplomasi Air
Rekomendasi Strategis: Jalan ke Depan untuk Indus Basin
Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Adaptif di Indus Basin
Paper ini menegaskan bahwa hak-hak Pakistan atas Indus Basin tidak hanya bergantung pada IWT, tetapi juga diperkuat oleh prinsip-prinsip hukum internasional adat yang diakui secara universal. Namun, tantangan utama terletak pada implementasi dan penegakan hak-hak tersebut di tengah rivalitas politik dan keterbatasan mekanisme hukum internasional. Masa depan Indus Basin sangat ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk beradaptasi, berkolaborasi, dan membangun tata kelola air yang adil, transparan, dan berkelanjutan—mengutamakan kepentingan rakyat dan ekosistem di atas politik jangka pendek.
Sumber artikel :
Sana Taha Gondal. "Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law." IPRI Journal XX (1): 88-117.
Tantangan Hukum
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Wood Pellet, Energi Terbarukan, dan Ancaman Deforestasi
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia gencar mempromosikan biomassa—khususnya wood pellet—sebagai solusi energi terbarukan yang dianggap lebih ramah lingkungan dan mampu menurunkan emisi karbon dari sektor pembangkit listrik. Program co-firing biomassa di PLTU, dengan target penggunaan biomassa 5–10% di 52 PLTU hingga 2025, membutuhkan pasokan wood pellet hingga 8–14 juta ton per tahun. Namun, di balik narasi hijau ini, tersembunyi praktik-praktik yang mengancam keberlanjutan lingkungan dan menimbulkan masalah hukum serius, seperti yang terungkap dalam kasus PT Biomassa Gorontalo1.
Studi Kasus: PT Biomassa Gorontalo dan Deforestasi Pohuwato
Fakta Lapangan dan Angka-Angka Penting
Modus Pelanggaran dan Unreported Logging
Analisis Yuridis: Pelanggaran Hukum dan Lemahnya Penegakan
Kerangka Hukum Nasional
Masalah Penegakan Hukum
Aspek Hukum Internasional
Dampak Sosial-Ekologis: Dari Konflik Agraria hingga Krisis Biodiversitas
Kerusakan Ekologis
Dampak Sosial dan Konflik Agraria
Kritik dan Opini: Antara Greenwashing dan Keberlanjutan
Greenwashing dalam Transisi Energi
Kasus PT Biomassa Gorontalo menyoroti bahaya greenwashing—menggunakan narasi “energi hijau” untuk menutupi praktik destruktif. Alih-alih mendorong energi terbarukan yang berkelanjutan, proyek biomassa berbasis deforestasi justru mempercepat krisis lingkungan. Praktik ini bertentangan dengan tren global yang menuntut transparansi rantai pasok dan legalitas produk bioenergi.
Perbandingan dengan Studi Lain
Fenomena serupa terjadi di Sumatra dan Kalimantan, di mana produksi wood pellet dan ekspor kayu sering melibatkan manipulasi dokumen, kolusi pejabat, dan lemahnya penegakan hukum. Penelitian Sembiring et al. (2024) menegaskan bahwa sistem pengawasan dan sertifikasi legalitas kayu di Indonesia masih memiliki banyak celah, sehingga korporasi besar bisa mengakali regulasi demi keuntungan ekspor1.
Rekomendasi: Jalan Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkelanjutan
Langkah Preventif
Langkah Represif
Transformasi Kebijakan Energi
Kesimpulan
Kasus PT Biomassa Gorontalo adalah cermin problematika tata kelola hutan dan transisi energi di Indonesia. Deforestasi masif, praktik unreported dan illegal logging, serta lemahnya penegakan hukum menunjukkan bahwa narasi energi terbarukan bisa menjadi pedang bermata dua: solusi atau bencana. Tanpa reformasi sistemik, Indonesia berisiko kehilangan hutan alam tersisa dan gagal mewujudkan transisi energi yang benar-benar berkelanjutan.
Sumber artikel :
Juniar Sidiki. "Analisis Yuridis Praktik Unreported Serta Ilegal logging (Studi Kasus Perdagangan Kayu (Eksport) Wood Pellet PT Biomassa Gorontalo)." QISTINA: Jurnal Multidisiplin Indonesia, Vol. 3 No. 2 Desember 2024, P-ISSN: 2964-6278, E-ISSN: 2964-1268