Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Artikel karya Siri Eriksen dan kolega ini mengulas secara kritis dampak intervensi adaptasi perubahan iklim yang didanai internasional terhadap kerentanan di negara berkembang. Penelitian ini menyoroti bahwa meskipun tujuan utama intervensi adalah mengurangi kerentanan, kenyataannya beberapa intervensi justru memperkuat, mendistribusikan ulang, atau menciptakan sumber kerentanan baru. Artikel ini memberikan analisis mendalam berdasarkan 34 studi empiris dari berbagai negara berkembang, dengan fokus pada mekanisme maladaptasi yang muncul serta rekomendasi untuk perbaikan kebijakan dan praktik adaptasi.
Studi Kasus dan Temuan Kunci
Artikel ini mengidentifikasi tiga pola utama dampak negatif dari intervensi adaptasi:
Angka dan Data Penting
Analisis Mekanisme Maladaptasi
Artikel mengidentifikasi empat mekanisme utama yang menyebabkan intervensi adaptasi gagal mengurangi kerentanan secara adil:
Opini dan Kritik
Artikel ini memberikan kritik tajam terhadap pendekatan adaptasi yang terlalu teknis dan birokratis, yang mengabaikan dimensi sosial-politik dan keadilan. Penulis mengajak untuk menggeser paradigma adaptasi dari proyek yang hanya mengubah praktik masyarakat marginal menjadi proses pembelajaran yang melibatkan organisasi pelaksana dan masyarakat marginal secara setara. Pendekatan ini menuntut refleksi kritis terhadap asumsi dasar pembangunan dan adaptasi, serta keterbukaan terhadap pluralisme pengetahuan dan nilai.
Namun, artikel ini juga mengakui bahwa intervensi adaptasi tetap penting sebagai arena pembelajaran dan eksperimen untuk membentuk jalur adaptasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kritik utama adalah bahwa tanpa perubahan mendasar dalam cara adaptasi dirancang, dibiayai, dan dievaluasi, intervensi berisiko memperburuk kerentanan.
Hubungan dengan Tren Global dan Industri
Artikel ini sangat relevan dengan tren global dalam literatur dan praktik adaptasi yang semakin menekankan pentingnya keadilan sosial, partisipasi inklusif, dan transformasi struktural dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan transformasi adaptasi yang diusulkan selaras dengan gerakan global untuk pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan dan responsif terhadap kebutuhan kelompok marginal.
Dalam konteks industri pembangunan dan bantuan internasional, artikel ini menyoroti perlunya reformasi dalam mekanisme pendanaan dan tata kelola adaptasi agar lebih responsif terhadap konteks lokal dan lebih kritis terhadap asumsi pembangunan dominan. Hal ini mendorong integrasi pengetahuan lokal dan global, serta peningkatan kapasitas organisasi pelaksana untuk belajar dan beradaptasi secara berkelanjutan.
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan
Artikel ini memberikan wawasan kritis dan komprehensif mengenai bagaimana intervensi adaptasi perubahan iklim di negara berkembang sering kali gagal mengurangi kerentanan secara adil dan malah dapat memperburuknya. Dengan menggabungkan studi kasus empiris dan analisis mekanisme maladaptasi, penulis menekankan perlunya perubahan paradigma dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi adaptasi. Pendekatan yang lebih inklusif, reflektif, dan kritis terhadap konteks sosial-politik menjadi kunci untuk mencapai adaptasi yang benar-benar efektif dan berkeadilan.
Sumber Artikel (Bahasa Asli)
Eriksen, S., Schipper, E.L.F., Scoville-Simonds, M., Vincent, K., Adam, H.N., Brooks, N., Harding, B., Khatri, D., Lenaerts, L., Liverman, D., Mills-Novoa, M., Mosberg, M., Movik, S., Muok, B., Nightingale, A., Ojha, H., Sygna, L., Taylor, M., Vogel, C., West, J.J. (2021). Adaptation interventions and their effect on vulnerability in developing countries: Help, hindrance or irrelevance? World Development, 141, 105383.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Adaptasi Pengelolaan Air Penting?
Perubahan iklim saat ini secara nyata berdampak pada siklus air global, termasuk perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan kejadian ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Organisasi pengelola air—baik pemerintah, swasta, maupun lembaga non-pemerintah—berperan sentral dalam mengelola sumber daya air yang vital bagi masyarakat dan ekosistem. Namun, kemampuan organisasi-organisasi ini untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim masih menjadi tantangan besar. Paper berjudul “Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers” oleh Adani Azhoni, Simon Jude, dan Ian Holman (2018) mengkaji secara komprehensif faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghambat adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim, dengan fokus pada konteks global dan khususnya negara berkembang.
Kerangka Teoritis: Kapasitas Adaptif dan Hambatan Adaptasi
Kapasitas Adaptif Organisasi
Kapasitas adaptif didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem atau organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim, memanfaatkan peluang, atau merespons konsekuensi negatifnya. Dalam konteks organisasi pengelola air, kapasitas ini mencakup:
Penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada konsensus umum tentang dimensi kapasitas adaptif, evaluasi kapasitas ini sangat kompleks karena sifatnya yang dinamis, kontekstual, dan tersembunyi (latent). Misalnya, indikator kuantitatif sering kali gagal menangkap nuansa lokal dan perubahan waktu yang cepat1.
Hambatan Adaptasi
Hambatan adaptasi adalah faktor-faktor yang menghalangi atau memperlambat kemampuan organisasi untuk melakukan adaptasi efektif. Hambatan ini dapat bersifat:
Paper ini menegaskan bahwa hambatan-hambatan ini sering saling terkait dan sulit diatasi tanpa pendekatan yang holistik dan kontekstual1.
Studi Kasus dan Temuan Empiris
Paper ini mengulas berbagai studi empiris dari negara maju dan berkembang, menyoroti bagaimana faktor-faktor di atas berperan dalam konteks nyata:
Strategi Adaptasi yang Diterapkan
Paper ini mengklasifikasikan strategi adaptasi dalam pengelolaan air menjadi beberapa kategori utama:
Peran Jaringan Antar-Organisasi dan Organisasi Transboundary
Salah satu kontribusi penting paper ini adalah penekanan pada pentingnya jaringan antar-organisasi dan organisasi transboundary sebagai pendorong kapasitas adaptif:
Kritik dan Opini Tambahan
Paper ini memberikan gambaran komprehensif tentang kompleksitas adaptasi organisasi pengelola air, namun terdapat beberapa catatan penting:
Dalam konteks tren global, paper ini relevan dengan peningkatan perhatian pada adaptasi berbasis ekosistem, pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi, dan pentingnya governance multi-level dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan bottom-up yang partisipatif dan penggunaan teknologi informasi terkini (big data, monitoring real-time) menjadi kunci masa depan adaptasi pengelolaan air3.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Paper ini menyimpulkan bahwa adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim adalah proses kompleks yang dipengaruhi oleh kapasitas adaptif internal, hambatan eksternal, dan interaksi antar organisasi. Untuk meningkatkan efektivitas adaptasi, diperlukan:
Dengan demikian, paper ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, praktisi pengelolaan air, dan peneliti yang ingin memahami tantangan dan peluang adaptasi perubahan iklim dalam sektor air.
Sumber Artikel (Bahasa Asli)
Azhoni, A., Jude, S., Holman, I. (2018). Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers. Journal of Hydrology, 559, 736–748.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Tantangan Pengelolaan Risiko di Era Perubahan Iklim
Perubahan iklim telah menjadi ancaman utama bagi keberlanjutan pembangunan global. Laporan khusus IPCC “Risk Management and Decision-Making in Relation to Sustainable Development” (Bab 7, Climate Change and Land, 2019) membedah keterkaitan antara risiko iklim, pengelolaan lahan, dan pengambilan keputusan dalam pembangunan berkelanjutan. Artikel ini sangat relevan di tengah meningkatnya bencana iklim, krisis pangan, dan tekanan pada sistem ekologi serta sosial. Dengan pendekatan multidisiplin, laporan ini mengulas risiko-risiko utama, studi kasus nyata, serta strategi kebijakan yang dapat diadopsi oleh negara-negara di dunia.
Risiko Perubahan Iklim terhadap Sistem Lahan dan Manusia
Dampak Fisik dan Sosial yang Semakin Kompleks
Peningkatan suhu permukaan global diproyeksikan menyebabkan berbagai dampak serius, seperti degradasi permafrost, erosi pantai, peningkatan kebakaran hutan, penurunan hasil panen di daerah lintang rendah, dan berkurangnya ketersediaan air. Dampak-dampak ini telah diamati di seluruh dunia dan berpotensi menjadi tidak dapat dipulihkan jika suhu terus meningkat1.
Beberapa temuan kunci:
Risiko Komposit dan Ketimpangan Wilayah
Risiko tidak tersebar merata. Negara-negara tropis dan berkembang lebih rentan terhadap penurunan hasil panen dan krisis air, sementara wilayah lintang tinggi mungkin mendapat manfaat jangka pendek dari pemanasan global. Namun, wilayah Mediterania, Korea, Gobi, dan Amerika Serikat bagian barat juga menghadapi ancaman kekeringan, badai debu, dan kebakaran hutan1.
Studi Kasus: Proyeksi Risiko Berdasarkan Skenario Pembangunan
Laporan IPCC menggunakan dua skenario utama, SSP1 (pembangunan berkelanjutan) dan SSP3 (pembangunan tidak merata), untuk memproyeksikan risiko di masa depan:
Dampak sosialnya sangat besar: kemiskinan meningkat, migrasi terpaksa, dan konflik agraria makin sering terjadi.
Risiko dari Respons Adaptasi dan Mitigasi
Solusi yang Bisa Menjadi Pedang Bermata Dua
Adaptasi dan mitigasi berbasis lahan, seperti perluasan bioenergi dan teknologi penangkapan karbon (BECCS), berpotensi menimbulkan risiko baru. Jika diterapkan secara masif, solusi ini dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk pangan dan mengancam ekosistem. Dalam skenario SSP1, penggunaan lahan untuk bioenergi hingga 4 juta km² masih dianggap berkelanjutan. Namun, pada SSP3, skala ini justru menimbulkan risiko tinggi bagi ketahanan pangan dan ekosistem1.
Studi Kasus: Bioenergi dan Ketahanan Pangan
Kebijakan dan Instrumen Pengelolaan Risiko
Kebijakan Multi-Level dan Inklusif
Laporan IPCC menekankan perlunya kebijakan lintas sektor dan multi-level, dari lokal hingga nasional, yang terintegrasi dan responsif terhadap perubahan iklim. Instrumen kebijakan yang efektif meliputi:
Studi Kasus: New Zealand Emissions Trading Scheme (ETS)
Salah satu contoh nyata adalah kebijakan ETS di Selandia Baru yang memasukkan sektor pertanian ke dalam skema perdagangan emisi. Kebijakan ini mendorong inovasi dan efisiensi dalam produksi pertanian sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, tantangan tetap ada, seperti perlunya insentif tambahan dan perlindungan bagi petani kecil agar tidak terdampak negatif1.
Studi Kasus: REDD+ di Amazon dan India
Program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di Amazon dan India menjadi contoh instrumen konservasi hutan yang efektif menurunkan emisi sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Namun, keberhasilan program sangat tergantung pada tata kelola yang transparan, partisipasi masyarakat, dan perlindungan hak atas tanah1.
Pengambilan Keputusan Adaptif dan Inklusif
Mengelola Ketidakpastian dan Risiko
Pengambilan keputusan dalam pengelolaan risiko iklim harus adaptif, berbasis data, dan inklusif. Pendekatan adaptif memungkinkan kebijakan diubah sesuai perkembangan risiko dan pengetahuan terbaru. Keterlibatan masyarakat lokal, perempuan, dan kelompok rentan sangat penting agar kebijakan lebih adil dan efektif1.
Studi Kasus: Konflik Bioenergi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati
Pembangunan energi terbarukan seperti bioenergi, tenaga air, dan solar skala besar dapat berdampak negatif pada keanekaragaman hayati dan ekosistem air. Misalnya, pembangunan bendungan kecil secara berkelompok dapat mengganggu konektivitas sungai dan habitat ikan, sementara ladang solar dan turbin angin skala besar bisa mengancam spesies langka dan merusak habitat alami1.
Peran Pengetahuan Lokal dan Adat
Pengetahuan lokal dan adat terbukti efektif dalam mengelola risiko iklim dan lahan. Kolaborasi antara ilmuwan, pembuat kebijakan, dan komunitas lokal dapat menghasilkan solusi inovatif dan berkelanjutan. Misalnya, praktik pertanian tradisional di beberapa wilayah Afrika dan Asia mampu meningkatkan ketahanan pangan dan konservasi lahan1.
Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Industri
Kritik dan Nilai Tambah
Laporan IPCC ini lebih komprehensif daripada banyak studi sebelumnya karena mengintegrasikan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan tata kelola dalam satu kerangka analisis. Banyak penelitian terdahulu hanya fokus pada aspek mitigasi teknis atau adaptasi ekologis, tanpa memperhatikan dampak sosial dan distribusi risiko. Pendekatan IPCC yang holistik ini sangat penting di era krisis iklim yang multidimensi.
Relevansi Industri dan Praktik Bisnis
Sektor agribisnis, energi, dan keuangan kini semakin memperhitungkan risiko iklim dalam strategi bisnis mereka. Misalnya, perusahaan multinasional mulai mengadopsi standar ESG (Environmental, Social, Governance) dan melakukan investasi pada rantai pasok yang lebih tahan iklim. Industri energi juga mulai mempertimbangkan dampak ekologis dari proyek-proyek energi terbarukan dan mencari solusi yang lebih ramah lingkungan dan sosial.
Rekomendasi: Menuju Tata Kelola Risiko yang Berkelanjutan
Langkah Strategis untuk Pemerintah dan Pelaku Industri
Pentingnya Aksi Dini dan Kolaborasi Global
Menunda aksi mitigasi di sektor lain dan membebankan beban pada sektor lahan justru meningkatkan risiko kegagalan mitigasi dan memperburuk dampak perubahan iklim bagi generasi mendatang. Prioritas utama harus pada dekarbonisasi dini dan minimalisasi ketergantungan pada teknologi penyerapan karbon yang masih belum matang1.
Kesimpulan: Pengelolaan Risiko sebagai Kunci Pembangunan Berkelanjutan
Bab 7 laporan IPCC ini menegaskan bahwa pengelolaan risiko perubahan iklim dan pengambilan keputusan yang adaptif adalah kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Risiko iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada sistem sosial, ekonomi, dan politik. Kebijakan yang inklusif, berbasis data, dan responsif terhadap perubahan sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan keadilan bagi semua.
Dengan mengangkat studi kasus nyata dan data kuantitatif, laporan ini memberikan panduan praktis bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama menghadapi tantangan perubahan iklim. Integrasi antara sains, kebijakan, dan kearifan lokal menjadi fondasi utama menuju masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Sumber artikel asli:
Hurlbert, M., J. Krishnaswamy, E. Davin, F.X. Johnson, C.F. Mena, J. Morton, S. Myeong, D. Viner, K. Warner, A. Wreford, S. Zakieldeen, Z. Zommers, 2019: Risk Management and Decision making in Relation to Sustainable Development. In: Climate Change and Land: an IPCC special report on climate change, desertification, land degradation, sustainable land management, food security, and greenhouse gas fluxes in terrestrial ecosystems [P.R. Shukla, J. Skea, E. Calvo Buendia, V. Masson-Delmotte, H.-O. Pörtner, D.C. Roberts, P. Zhai, R. Slade, S. Connors, R. van Diemen, M. Ferrat, E. Haughey, S. Luz, S. Neogi, M. Pathak, J. Petzold, J. Portugal Pereira, P. Vyas, E. Huntley, K. Kissick, M. Belkacemi, J. Malley, (eds.)]. In press.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Critical Institutionalism dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dalam era perubahan lingkungan dan sosial yang cepat, pengelolaan sumber daya alam bersama (common-pool resources/CPR) menjadi semakin kompleks. Paper “Furthering critical institutionalism” karya Frances Cleaver dan Jessica de Koning (2015) menawarkan perspektif mutakhir dalam memahami dinamika institusi yang mengatur hubungan manusia dengan sumber daya alam. Critical institutionalism (CI) hadir sebagai pendekatan yang menyoroti kerumitan, sejarah, kekuasaan, dan keadilan sosial dalam pembentukan serta perubahan institusi.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana kegagalan banyak intervensi pengelolaan sumber daya seringkali berakar pada pemahaman institusi yang terlalu sederhana. Dengan menekankan konsep “institutional bricolage”, paper ini mengajak pembaca untuk melihat institusi bukan sebagai struktur baku, melainkan hasil rakitan kreatif manusia yang terus berubah.
Critical Institutionalism: Konsep, Tema, dan Perbedaannya dengan Mainstream Institutionalism
Mengapa Critical Institutionalism Penting?
Pendekatan institusional klasik, seperti yang dipopulerkan Elinor Ostrom, menekankan desain aturan yang efisien dan rasionalitas aktor. Namun, CI mengkritik asumsi-asumsi ini dengan menyoroti:
CI menolak pandangan bahwa institusi dapat “dirancang” secara sempurna, dan justru menekankan proses adaptasi, negosiasi, dan improvisasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep Kunci: Institutional Bricolage
“Institutional bricolage” adalah proses di mana individu dan kelompok secara sadar maupun tidak sadar merakit, mengadaptasi, dan menggabungkan aturan, norma, serta praktik dari berbagai sumber untuk mengelola sumber daya. Proses ini:
Sebagai contoh, kelompok simpan pinjam perempuan di Afrika Timur yang juga memungut tarif air, atau asosiasi pengelola hutan yang berfungsi sebagai jaring pengaman sosial saat ada anggota sakit.
Pluralitas, Hibriditas, dan Skala
CI menekankan pluralitas (keragaman) institusi dan hibriditas (campuran) antara berbagai aturan dan praktik. Pengelolaan sumber daya tidak hanya terjadi di satu skala (lokal), melainkan dipengaruhi oleh kebijakan nasional, global, dan bahkan sejarah kolonial. Proses “leakage of meaning” menggambarkan bagaimana makna dan praktik institusi bisa berubah saat berpindah skala atau konteks.
Studi Kasus: Institutional Bricolage dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
1. Pengelolaan Hutan di Indonesia: Adaptasi dan Resistensi
Di banyak wilayah Indonesia, pengelolaan hutan adat menjadi contoh nyata institutional bricolage. Ketika program pemerintah memperkenalkan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), masyarakat tidak serta-merta meninggalkan aturan adat. Sebaliknya, mereka menggabungkan struktur LMDH dengan pranata adat seperti “lembaga kerapatan adat” atau “tokoh tua”. Proses ini melibatkan:
Data dari beberapa studi menunjukkan, lebih dari 60% LMDH di Jawa mengadopsi pranata adat dalam praktik sehari-hari, meski secara formal tunduk pada aturan Perhutani.
2. Pengelolaan Irigasi di Afrika Timur: Multifungsi dan Legitimasi
Cleaver (2002) mencontohkan kelompok simpan pinjam perempuan di Tanzania yang awalnya didirikan untuk membantu keuangan anggota, namun kemudian juga mengambil peran dalam pemungutan tarif air dan pemeliharaan saluran irigasi. Legitimasi kelompok ini tidak hanya berasal dari aturan formal, tetapi juga dari kepercayaan sosial dan kedekatan antar anggota.
Angka-angka menunjukkan, kelompok seperti ini mampu meningkatkan tingkat pembayaran tarif air hingga 80%, jauh di atas rata-rata kelompok yang hanya mengandalkan aturan formal.
3. Community Forest Management di Ghana: Fungsi Ganda dan Adaptasi
De Koning (2011) mengamati asosiasi pengelola hutan di Ghana yang awalnya dibentuk untuk konservasi, namun juga berfungsi sebagai lembaga sosial yang membantu anggota saat sakit atau menghadapi bencana. Ini memperlihatkan bagaimana institusi yang “dirakit” bisa berkembang menjadi multifungsi dan lebih adaptif terhadap kebutuhan nyata masyarakat.
Kritik terhadap Pendekatan Mainstream dan Nilai Tambah Critical Institutionalism
Keterbatasan Teori CPR Konvensional
Pendekatan klasik sering gagal memahami:
Keunggulan Critical Institutionalism
CI menawarkan lensa yang lebih tajam untuk:
Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan
Pengelolaan Sumber Daya di Era ESG dan SDGs
Industri kini semakin menekankan aspek ESG (Environmental, Social, Governance) dan SDGs (Sustainable Development Goals). CI sangat relevan karena:
Contoh Nyata: REDD+ dan Konservasi Hutan
Program REDD+ sering gagal jika hanya mengandalkan aturan formal tanpa memperhatikan pranata lokal. Studi di Kalimantan dan Papua menunjukkan, adaptasi aturan REDD+ dengan norma adat (misal, pembagian manfaat berbasis marga atau suku) mampu meningkatkan partisipasi dan mengurangi konflik.
Opini dan Rekomendasi
Mengapa Critical Institutionalism Layak Diadopsi?
Saran untuk Peneliti dan Praktisi
Kesimpulan: Menuju Pengelolaan Sumber Daya yang Lebih Kontekstual dan Berkeadilan
Paper Cleaver dan de Koning (2015) memberikan kontribusi penting dalam studi pengelolaan sumber daya alam. Dengan critical institutionalism dan konsep institutional bricolage, mereka menawarkan cara pandang baru yang lebih kaya, adaptif, dan adil. Studi kasus dari berbagai belahan dunia memperlihatkan bahwa keberhasilan pengelolaan sumber daya sangat bergantung pada kemampuan masyarakat merakit, menyesuaikan, dan melegitimasi institusi sesuai kebutuhan dan identitas mereka.
Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan peneliti, pendekatan ini menjadi panduan penting untuk menghindari jebakan desain institusi yang kaku dan tidak kontekstual. Dengan mengadopsi critical institutionalism, kita dapat membangun tata kelola sumber daya yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan responsif terhadap tantangan zaman.
Sumber artikel asli:
Cleaver, F. & de Koning, J. (2015). Furthering critical institutionalism. International Journal of the Commons, 9(1), 1–18.