Sumber Daya Alam

Kolaborasi Lintas Provinsi untuk Ketahanan Ekologis Sungai Yangtze

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Sungai Yangtze, Pusat Strategis dan Tantangan Ekologi

Sungai Yangtze adalah urat nadi ekonomi, budaya, dan ekologi Tiongkok. Membentang lebih dari 6.300 km dan melintasi 11 provinsi serta kota besar, sungai ini menopang 40% populasi dan 40% PDB nasional. Namun, industrialisasi, urbanisasi, dan pertanian intensif telah memunculkan masalah serius: polusi industri dan domestik, degradasi keanekaragaman hayati, serta fragmentasi tata kelola lingkungan. Paper “Collaborative governance in action: driving ecological sustainability in the Yangtze River basin” (Xia et al., 2024) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana tata kelola kolaboratif lintas provinsi dapat menjadi solusi strategis bagi tantangan ekologi Sungai Yangtze, dengan menyoroti faktor-faktor kunci, mekanisme penyebab, dan studi kasus nyata di lapangan123.

Latar Belakang: Fragmentasi Tata Kelola dan Urgensi Kolaborasi

Kompleksitas Ekosistem dan Fragmentasi Institusi

Ekosistem Sungai Yangtze sangat kompleks dan terintegrasi. Masalah di satu wilayah, seperti eutrofikasi di Danau Taihu (melibatkan Zhejiang dan Jiangsu), dapat berdampak pada seluruh DAS. Fragmentasi tata kelola—akibat batas administratif, perbedaan kebijakan, dan lemahnya koordinasi—sering membuat upaya penanganan polusi dan degradasi ekologi berjalan parsial dan tidak efektif12.

Kolaborasi Lintas Wilayah: Pilar Undang-Undang Perlindungan Sungai Yangtze

Sejak 2021, Tiongkok memberlakukan Undang-Undang Perlindungan Sungai Yangtze yang menekankan pentingnya tata kelola terkoordinasi lintas provinsi dan kota. Pendekatan ini menuntut integrasi kebijakan, harmonisasi regulasi, dan kolaborasi aktif antarwilayah untuk menjaga integritas ekosistem sungai sebagai satu kesatuan12.

Kerangka Teoritis: Faktor Penentu Tata Kelola Kolaboratif

DBO Theory dan Collaborative Governance

Studi ini mengembangkan kerangka analisis berbasis teori DBO (expectation-belief-opportunity) dan collaborative governance. Tujuh faktor utama yang memengaruhi efektivitas kolaborasi lintas provinsi diidentifikasi sebagai berikut:

  • Faktor eksternal: Legal (hukum), institusional (kelembagaan), dan teknis (teknologi digital, data sharing).
  • Faktor internal: Relasional (kepercayaan, interdependensi), perseptual (kesadaran dan persepsi risiko), interaktif (komunikasi dan feedback), dan efektivitas (keyakinan dan kemauan berpartisipasi)12.

Metodologi: Fuzzy Set Qualitative Comparative Analysis (fsQCA)

Penelitian ini menganalisis 19 kasus tata kelola kolaboratif di DAS Yangtze menggunakan fsQCA, yang mampu mengidentifikasi kombinasi faktor penyebab (bukan hanya satu faktor tunggal) yang membentuk efektivitas kolaborasi. Sampel mencakup provinsi utama di sepanjang Sungai Yangtze, dari Qinghai hingga Shanghai, termasuk wilayah dengan tingkat ekonomi dan tantangan ekologi yang beragam13.

Temuan Utama: Tiga Jalur Menuju Kolaborasi Efektif

1. Teknologi Memperkuat Relasi: Studi Kasus Guangxi

Jalur pertama menyoroti peran teknologi digital dalam memperkuat hubungan dan interaksi antarprovinsi. Di Guangxi, platform big data seperti Yulin Jiu Zhoujiang River Basin telah memungkinkan monitoring polusi secara real-time, berbagi data, dan koordinasi respons lintas wilayah. Hasilnya, kualitas air permukaan di wilayah ini stabil di atas 96% selama lima tahun terakhir, menunjukkan dampak nyata digitalisasi terhadap efektivitas kolaborasi123.

  • Faktor kunci: Persepsi tinggi terhadap masalah ekologi, relasi kuat, interaksi aktif, teknologi digital canggih, meski tanpa dukungan hukum dan kelembagaan yang kuat.

2. Institusi Memperkuat Interaksi: Studi Kasus Anhui

Jalur kedua menunjukkan bahwa institusi dan mekanisme formal sangat penting untuk memperkuat interaksi dan efektivitas kolaborasi. Anhui menonjol melalui penandatanganan berbagai perjanjian kerja sama dengan provinsi lain (misal, Nanjing, Hangzhou, Xuzhou) dan lembaga riset, serta integrasi penegakan hukum administratif dan pidana untuk perlindungan lingkungan. Upaya ini meningkatkan rasio kualitas air baik di DAS Yangtze menjadi 94,8% dan tingkat kepuasan publik atas lingkungan mencapai 92,8%123.

  • Faktor kunci: Persepsi tinggi, institusi kuat, interaksi intensif, efektivitas partisipasi, meski relasi informal dan teknologi belum optimal.

3. Sinergi Internal-Eksternal: Studi Kasus Chongqing

Jalur ketiga menekankan pentingnya kombinasi faktor internal (persepsi, relasi, efektivitas partisipasi) dan eksternal (hukum, teknologi). Chongqing sukses mengembangkan platform “Basin Water Environment Intelligent Management” bersama universitas dan lembaga riset, serta melakukan penegakan hukum bersama dengan Sichuan. Hasilnya, 98,6% dari 74 titik pemantauan kualitas air di wilayah ini memenuhi standar, dan 1.424 PLTA kecil berhasil direstrukturisasi, 242 di antaranya ditutup demi perlindungan ekologi123.

  • Faktor kunci: Kesadaran tinggi, relasi erat, partisipasi aktif, hukum dan teknologi mendukung, meski interaksi dan institusi formal belum maksimal.

Studi Kasus Tambahan: Delta Sungai Yangtze dan Kebijakan Kolaboratif

Penelitian lain di Delta Sungai Yangtze (Jiangsu, Zhejiang, Shanghai) menemukan bahwa 87,5% kebijakan kolaborasi lingkungan air dikeluarkan oleh pemerintah lokal, dengan fokus utama pada perlindungan sumber daya air dan pengendalian polusi limbah. Namun, kebijakan pemulihan ekosistem dan audit pejabat masih kurang mendapat perhatian. Rekomendasi utama: beri otonomi lebih besar pada pemerintah lokal untuk penanganan limbah, gunakan kebijakan diferensiasi sesuai karakteristik wilayah, dan tingkatkan stabilitas kebijakan4.

Analisis Kritis: Pelajaran, Tantangan, dan Implikasi

Kekuatan Model Kolaboratif

  • Holistik dan adaptif: Pendekatan lintas provinsi memungkinkan respons lebih cepat dan terkoordinasi terhadap polusi, bencana, dan perubahan ekosistem.
  • Digitalisasi: Teknologi digital mempercepat pertukaran informasi, monitoring, dan pengambilan keputusan berbasis data.
  • Konsensus dan persepsi: Kesadaran kolektif akan urgensi masalah ekologi menjadi pendorong utama partisipasi aktif dan sinergi lintas wilayah.

Tantangan Implementasi

  • Fragmentasi institusi: Perbedaan kapasitas, prioritas, dan sumber daya antardaerah masih menjadi kendala utama.
  • Kesenjangan teknologi: Tidak semua provinsi memiliki akses atau kemampuan mengadopsi teknologi digital canggih.
  • Ketimpangan relasi dan interaksi: Hubungan yang kurang harmonis atau minim kepercayaan dapat menghambat efektivitas kolaborasi.
  • Keterbatasan hukum dan kebijakan: Meski hukum nasional sudah menekankan kolaborasi, implementasi di lapangan masih belum merata.

Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian ini memperkaya literatur tata kelola kolaboratif dengan menggabungkan analisis faktor internal dan eksternal secara sistemik. Studi lain di kawasan Sungai Yangtze juga menyoroti pentingnya insentif ekonomi, regulasi risiko, dan integrasi kebijakan lintas sektor (pertanian, energi, industri) untuk memperkuat kolaborasi dan mengatasi eksternalitas negatif5.

Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Strategis

  1. Percepat digitalisasi tata kelola: Bangun platform data bersama, sistem monitoring real-time, dan dashboard transparan untuk semua provinsi.
  2. Perkuat institusi formal dan mekanisme insentif: Dorong perjanjian kerja sama lintas provinsi, integrasi penegakan hukum, dan audit kinerja pejabat terkait lingkungan.
  3. Tingkatkan kapasitas dan kepercayaan: Fasilitasi dialog rutin, pelatihan bersama, dan pertukaran sumber daya untuk membangun trust dan relasi produktif.
  4. Harmonisasi kebijakan dan regulasi: Sinkronkan peraturan pusat dan daerah, serta dorong adaptasi kebijakan sesuai karakteristik lokal.
  5. Libatkan masyarakat dan sektor swasta: Buka ruang partisipasi publik dan kemitraan dengan dunia usaha untuk memperluas inovasi dan pendanaan ekologi.

Koneksi dengan Tren Industri dan Agenda Global

  • ESG dan SDGs: Kolaborasi lintas provinsi sangat relevan dengan SDG 6 (Clean Water and Sanitation), SDG 13 (Climate Action), dan SDG 17 (Partnerships for the Goals). Perusahaan multinasional di DAS Yangtze kini dituntut memperhatikan jejak ekologi dan tata kelola air lintas wilayah sebagai bagian dari strategi ESG mereka.
  • Green finance dan teknologi: Inovasi pembiayaan hijau dan adopsi teknologi digital (IoT, AI, big data) menjadi katalis penting untuk memperkuat kolaborasi dan efisiensi pengelolaan sumber daya air.

Menuju Tata Kelola Ekologis Sungai Yangtze yang Sinergis

Paper ini membuktikan bahwa tata kelola kolaboratif lintas provinsi, dengan dukungan teknologi, institusi kuat, dan kesadaran kolektif, adalah kunci menjaga ketahanan ekologi Sungai Yangtze. Tidak ada satu jalur tunggal menuju sukses—kombinasi faktor internal (persepsi, relasi, interaksi, efektivitas) dan eksternal (hukum, institusi, teknologi) harus diselaraskan untuk membangun sinergi yang berkelanjutan. Pengalaman Guangxi, Anhui, dan Chongqing menjadi bukti bahwa model kolaborasi adaptif dapat meningkatkan kualitas air, mengurangi polusi, dan memperkuat ketahanan ekologi kawasan. Tantangan tetap besar, namun dengan inovasi, digitalisasi, dan komitmen bersama, Sungai Yangtze dapat menjadi laboratorium tata kelola ekologi masa depan yang layak dicontoh di tingkat global.

Sumber Asli Artikel

Xia Y, Tian Z, Ding C. (2024). Collaborative governance in action: driving ecological sustainability in the Yangtze River basin. Frontiers in Environmental Science, 12:1463179.

Selengkapnya
Kolaborasi Lintas Provinsi untuk Ketahanan Ekologis Sungai Yangtze

Sumber Daya Alam

Lahan Basah: Pilar Ekologi, Ekonomi, dan Sosial untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Lahan Basah sebagai Aset Strategis Indonesia

Lahan basah, khususnya gambut, menjadi fondasi penting dalam menjaga stabilitas ekologi, ekonomi, dan sosial di Indonesia. Buku “Lahan Basah: Kajian Empirik Sosial Ekonomi dan Lingkungan di Lahan Basah” yang diterbitkan oleh Center of Excellence (CoE) Universitas Riau, menghadirkan analisis multidisipliner berbasis riset lapangan di Riau—provinsi dengan salah satu kawasan gambut terluas di dunia. Buku ini membedah potensi, tantangan, dan solusi pengelolaan lahan basah dari berbagai aspek, mulai dari pertanian, perikanan, kebencanaan, hingga kearifan lokal dan inovasi teknologi.

Artikel ini merangkum dan mengkritisi temuan utama buku tersebut, menyoroti angka-angka penting, studi kasus aktual, serta menghubungkannya dengan tren nasional dan global. Dengan gaya populer dan SEO-friendly, resensi ini diharapkan menjadi rujukan bagi akademisi, pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas yang peduli pada keberlanjutan sumber daya alam Indonesia.

Gambaran Umum: Mengapa Lahan Basah Penting?

Lahan basah di Indonesia meliputi rawa, gambut, mangrove, dan perairan dangkal yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Riau sendiri memiliki lebih dari 4,9 juta hektar lahan gambut, atau sekitar 55% dari luas daratannya. Fungsi lahan basah sangat vital:

  • Ekologis: Penyimpan karbon, pengendali banjir, penyangga keanekaragaman hayati.
  • Ekonomi: Sumber pertanian, perikanan, perkebunan, dan ekowisata.
  • Sosial: Penopang kehidupan masyarakat lokal, warisan budaya, dan kearifan lokal.

Namun, lahan basah juga menghadapi tekanan besar akibat konversi, drainase, kebakaran, dan eksploitasi berlebihan yang berujung pada kerusakan lingkungan dan bencana ekologis.

Studi Kasus dan Data Empirik: Potret Lahan Basah di Riau

1. Potensi Gambut Bengkalis untuk Pertanian Berkelanjutan

Kabupaten Bengkalis, Riau, memiliki 647.962 ha lahan gambut (76,05% dari luas daratan). Komoditas utama yang dikembangkan di lahan ini meliputi kelapa sawit, karet, kelapa, sagu, dan nenas. Data tahun 2016 menunjukkan:

  • Luas kebun sawit: 145.246 ha
  • Produksi sawit: 1.660.975 ton/tahun
  • Luas kebun karet: 30.669 ha (produksi 45.672 ton/tahun)
  • Luas kebun sagu: 2.870 ha (produksi 15.124 ton/tahun)

Alih fungsi lahan dari karet ke sawit terjadi hampir merata, didorong oleh jaminan pasar dan produktivitas ekonomi sawit yang lebih tinggi. Namun, konversi ini juga membawa risiko lingkungan seperti penurunan kualitas tanah, kebakaran, dan hilangnya keanekaragaman hayati1.

2. Nilai Ekonomi Budidaya Ikan Baung di Lahan Basah

Budidaya ikan baung (Hemibagrus nemurus) di lahan basah menawarkan nilai ekonomi tinggi. Studi di Riau dan Jambi menunjukkan:

  • Pendapatan pembenihan: Rp12.900.000/bulan (skala rumah tangga, 50.000 benih)
  • Keuntungan pembesaran di kolam: Rp11.587.500/panen (1.000 kg ikan)
  • Keuntungan pembesaran di karamba: Rp10.486.600/panen (3.600 kg ikan)
  • Efisiensi pakan: 30% dari biaya produksi, jauh lebih efisien dibanding ikan lain yang rata-rata 60%

Teknologi probiotik dan bioflok terbukti meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan ikan, sehingga budidaya ikan baung di lahan basah menjadi alternatif ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan1.

3. Pencegahan Kebakaran di Pesisir: Pola Usahatani dan Peran Sagu

Kabupaten Bengkalis juga dikenal rawan kebakaran lahan gambut, terutama di musim kemarau. Studi menunjukkan bahwa:

  • Biaya buka lahan tanpa bakar: Rp3.000.000–Rp3.600.000/ha
  • Biaya buka lahan dengan bakar: Rp700.000–Rp900.000/ha

Masyarakat mulai didorong untuk mengadopsi pola pertanian tanpa bakar dan menanam komoditas lahan basah seperti sagu, yang membutuhkan kondisi lembab dan efektif mencegah kebakaran. Budidaya sagu juga memberikan pendapatan tambahan dan menjaga fungsi ekosistem gambut1.

Analisis Tantangan: Kendala Pengelolaan Lahan Basah

1. Kelembagaan dan Tata Kelola

Belum ada lembaga khusus yang bertanggung jawab penuh atas koordinasi pengelolaan lahan gambut di tingkat lokal maupun nasional. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih kebijakan, lemahnya pengawasan, dan rawan konflik antar pemangku kepentingan.

2. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan lahan gambut masih rendah. Banyak program berjalan tanpa melibatkan kearifan lokal, sehingga sering gagal di lapangan dan menimbulkan resistensi.

3. Kerusakan Tata Air dan Illegal Logging

Pembangunan parit dan saluran tanpa pengelolaan yang baik menyebabkan lahan gambut mengering dan mudah terbakar. Illegal logging dan konversi lahan tanpa reboisasi memperparah kerusakan ekosistem dan meningkatkan risiko bencana.

4. Data dan Informasi Terbatas

Keterbatasan data biofisik, sosial ekonomi, dan kelembagaan menghambat perumusan kebijakan berbasis bukti dan implementasi teknologi tepat guna.

Studi Kasus Inspiratif: Manajemen Komunikasi Lingkungan Berbasis Ekowisata Mangrove

Di Desa Pangkalan Jambi, Kabupaten Bengkalis, PT Pertamina melalui program CSR berhasil mengembangkan ekowisata mangrove berbasis komunitas nelayan. Hasilnya:

  • Luas kawasan mangrove: 1.449 ha di Kecamatan Bukit Batu
  • Penurunan abrasi dan kerusakan mangrove: 8.090 ha rusak pada 2018, kini mulai pulih berkat pelibatan masyarakat dan edukasi lingkungan
  • Peningkatan ekonomi lokal: Masyarakat mendapatkan pendapatan tambahan dari wisata, kuliner, dan produk olahan mangrove

Model komunikasi lingkungan yang diterapkan menekankan partisipasi, gotong royong, dan kolaborasi multipihak (pemerintah, swasta, masyarakat, dan perguruan tinggi). Keberhasilan ini menjadi contoh replikasi nasional untuk pengelolaan ekosistem mangrove dan mitigasi bencana pesisir1.

Kebencanaan Ekologis: Risiko dan Mitigasi di Lahan Gambut

1. Kebakaran Hutan dan Lahan

  • 73% kebakaran di Riau terjadi di lahan gambut
  • Puncak kejadian: 2005 dan 2014, menurun sejak 2016 berkat restorasi dan pengawasan ketat
  • Dampak: Emisi CO2, polusi udara, kerugian ekonomi, dan gangguan kesehatan masyarakat

2. Subsiden dan Banjir

  • Laju subsidensi: 1–4 cm/tahun di Sumatera, akibat drainase dan konversi lahan
  • Banjir tahunan: Kabupaten Rokan Hilir, Indragiri Hilir, dan Pelalawan mengalami banjir berulang akibat penurunan permukaan tanah dan hilangnya kapasitas resapan gambut

3. Abrasi dan Longsor

  • Laju abrasi ekstrem: 30 meter/tahun di Pulau Bengkalis dan Pulau Rangsang
  • Fenomena bog-burst: Longsor gambut di tebing pantai, mempercepat hilangnya daratan dan mengancam permukiman

4. Mitigasi dan Restorasi

  • Restorasi gambut: Sekat kanal, reboisasi, dan pengelolaan tata air berbasis ekohidro terbukti menurunkan risiko kebakaran dan meningkatkan fungsi ekosistem
  • Restorasi pantai: Kombinasi hard-countermeasure (pemecah gelombang) dan soft-countermeasure (penanaman mangrove) efektif memulihkan garis pantai dan menahan abrasi

Inovasi Teknologi dan Kearifan Lokal: Pilar Keberlanjutan

1. Pertanian Ramah Lingkungan

Penggunaan pupuk hayati dan agens hayati (Beauveria bassiana) pada budidaya padi gogo di lahan marginal terbukti meningkatkan hasil panen dan mengurangi penggunaan pupuk kimia hingga 75%. Kombinasi teknologi dan kearifan lokal menjadi kunci pertanian berkelanjutan di lahan basah.

2. Kearifan Lokal dan Hukum Adat

Model pengelolaan lingkungan berbasis adat seperti Andiko 44 di Kabupaten Kampar menunjukkan bahwa integrasi nilai adat, peran ninik mamak, dan hukum negara efektif menjaga kelestarian hutan dan mencegah kebakaran. Nilai-nilai seperti larangan menebang pohon tanpa izin, pemanfaatan hasil hutan secara bijak, dan pengawasan kolektif menjadi basis pengelolaan berkelanjutan.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Buku ini menegaskan pentingnya pendekatan multidisipliner dan partisipatif dalam pengelolaan lahan basah. Jika dibandingkan dengan riset internasional (misal Warren dkk., 2016; Lilleskov dkk., 2019), temuan buku ini konsisten bahwa lahan gambut Asia Tenggara sangat rentan terhadap deforestasi, drainase, dan kebakaran. Namun, kekuatan buku ini terletak pada kedalaman studi kasus lokal, keterlibatan masyarakat, dan aplikasi teknologi tepat guna.

Kritik utama adalah perlunya penguatan kelembagaan dan harmonisasi kebijakan lintas sektor, serta peningkatan akses data dan teknologi bagi petani dan masyarakat lokal. Selain itu, insentif ekonomi untuk konservasi dan restorasi masih minim, sehingga adopsi praktik ramah lingkungan berjalan lambat.

Kaitan dengan Tren Global dan Industri

  • Perubahan Iklim: Lahan gambut Indonesia menyimpan 15–30% karbon dunia. Kerusakan gambut berkontribusi signifikan pada emisi karbon global.
  • Ekonomi Hijau dan Circular Economy: Pengembangan komoditas non-kayu, ekowisata, dan jasa lingkungan (carbon credit) menjadi peluang ekonomi baru yang mendukung SDGs dan Paris Agreement.
  • Digitalisasi dan Industri 4.0: Adopsi teknologi digital (IoT, SIG, smart farming) di lahan basah dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan monitoring lingkungan secara real time.

Rekomendasi Strategis

  1. Penguatan Tata Kelola dan Kelembagaan: Bentuk lembaga khusus lintas sektor untuk koordinasi pengelolaan lahan basah di tingkat lokal dan nasional.
  2. Pemberdayaan Masyarakat dan Kearifan Lokal: Libatkan masyarakat adat, petani, dan nelayan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pengelolaan lahan basah.
  3. Inovasi Teknologi dan Diversifikasi Ekonomi: Kembangkan pertanian ramah lingkungan, perikanan budidaya, dan ekowisata berbasis lahan basah.
  4. Restorasi dan Mitigasi Kebencanaan: Prioritaskan restorasi gambut dan mangrove, serta pengelolaan tata air berbasis ekohidro dan sekat kanal.
  5. Insentif Ekonomi dan Skema Pembiayaan Hijau: Dorong adopsi carbon credit, pembayaran jasa lingkungan, dan investasi swasta untuk konservasi dan restorasi lahan basah.

Lahan Basah sebagai Masa Depan Pembangunan Berkelanjutan

Buku “Lahan Basah: Kajian Empirik Sosial Ekonomi dan Lingkungan di Lahan Basah” menegaskan bahwa lahan basah bukan sekadar aset ekologis, tetapi juga fondasi ekonomi dan sosial bagi pembangunan berkelanjutan Indonesia. Studi kasus di Riau membuktikan bahwa integrasi ilmu pengetahuan, teknologi, kearifan lokal, dan tata kelola partisipatif adalah kunci untuk mengatasi krisis lingkungan dan bencana ekologi di lahan basah.

Dengan mengadopsi rekomendasi dan inovasi yang ditawarkan, Indonesia dapat menjadi pelopor pengelolaan lahan basah berkelanjutan di tingkat global, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga warisan alam untuk generasi mendatang.

Sumber Asli

Bakce, D., Syahza, A., Suwondo, S., Wawan, W., Suprayogi, I., Sulaiman, R., Mustofan, R., Asmit, B., (2021). Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Cetakan Pertama. Unri Press, Pekabaru
LAHAN BASAH: Kajian Empirik Sosial Ekonomi dan Lingkungan di Lahan Basah
Center of Excellence (CoE) Universitas Riau

Selengkapnya
Lahan Basah: Pilar Ekologi, Ekonomi, dan Sosial untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Sumber Daya Alam

Efektivitas Penegakan Hukum Lingkungan di Papua Barat: Studi Kasus PT. Medcopapua Hijau Selaras

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Mengapa Penegakan Hukum Lingkungan Penting?

Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas, namun ironisnya, juga menghadapi krisis lingkungan yang semakin kompleks, terutama di sektor perkebunan dan kehutanan. Salah satu isu krusial adalah efektivitas penegakan hukum lingkungan, yang menjadi ujian nyata bagi komitmen negara dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan hak masyarakat. Tesis karya Frengky Ever Wambrauw berjudul “Efektivitas Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap PT. Medcopapua Hijau Selaras di Kabupaten Manokwari” menjadi referensi penting untuk memahami dinamika, tantangan, dan realitas penegakan hukum lingkungan di tanah Papua Barat.

Artikel ini mengupas temuan utama, studi kasus, serta angka-angka dari penelitian tersebut, disertai analisis kritis dan relevansi terhadap tren nasional serta global. Dengan gaya populer dan SEO-friendly, artikel ini diharapkan memperluas pemahaman masyarakat, pembuat kebijakan, dan pelaku industri tentang pentingnya penegakan hukum lingkungan yang adil dan efektif.

Dilema Pembangunan dan Lingkungan di Papua Barat

Papua Barat merupakan salah satu wilayah dengan potensi sumber daya alam terbesar di Indonesia. Namun, eksploitasi sumber daya, khususnya melalui ekspansi perkebunan kelapa sawit, telah membawa dampak serius terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. PT. Medcopapua Hijau Selaras (PT. MPHS) menjadi salah satu perusahaan yang beroperasi di Distrik Sidey, Masni, dan Manokwari Utara dengan luas konsesi mencapai 13.850 hektar.

Dampak lingkungan yang ditimbulkan meliputi deforestasi, pencemaran air dan tanah, serta perubahan sosial-ekonomi masyarakat adat Papua. Masalah yang paling menonjol adalah penurunan kualitas air akibat limbah operasional pabrik sawit, yang tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga mengancam kesehatan dan mata pencaharian masyarakat sekitar.

Kerangka Hukum Lingkungan di Indonesia

Penegakan hukum lingkungan di Indonesia diatur melalui beberapa instrumen utama:

  • Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
  • Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
  • Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

UUPPLH mengatur tiga jalur penegakan hukum: administrasi, perdata, dan pidana. Sanksi administratif meliputi peringatan, penghentian kegiatan, hingga pencabutan izin. Sanksi perdata menekankan pada ganti rugi, sedangkan sanksi pidana dapat berupa penjara dan denda.

Studi Kasus: PT. Medcopapua Hijau Selaras di Manokwari

Kronologi dan Fakta Lapangan

PT. MPHS memperoleh izin lokasi dan usaha perkebunan dari Bupati Manokwari pada tahun 2007, serta izin lingkungan (AMDAL) pada tahun 2008. Perusahaan juga mengantongi izin pelepasan kawasan hutan seluas 6.791,24 hektar dan izin pemanfaatan kayu untuk area seluas 350 hektar.

Namun, sejak beroperasi, perusahaan ini kerap menjadi sumber keluhan masyarakat terkait pencemaran limbah cair yang menyebabkan air dan tanah di sekitar pabrik berubah warna dan berbau tidak sedap. Pada Februari 2019, masyarakat Distrik Sidey secara terbuka mengeluhkan pencemaran tersebut, namun respons dari pemerintah dan aparat penegak hukum dinilai lamban dan tidak memadai.

Dampak Sosial dan Ekologis

  • Banjir 2014: Hujan deras menyebabkan luapan Sungai Wariori yang melintasi perkebunan PT. MPHS, mengakibatkan 139 rumah hanyut dan kerugian materiil miliaran rupiah. Masyarakat setempat meyakini banjir parah baru terjadi setelah hutan di sekitar mereka dibabat habis untuk perkebunan sawit.
  • Pencemaran Air: Limbah cair pabrik menyebabkan air menjadi kuning dan tidak layak konsumsi. Hingga penelitian ini selesai, belum ada laporan laboratorium resmi terkait kadar Ph, TSS, BOD, COD, dan NH3, sehingga tingkat pencemaran secara ilmiah belum dapat dibuktikan secara dokumen.
  • Perubahan Sosial: Masyarakat adat yang semula hidup dari hasil hutan kini menjadi buruh sawit dengan upah rendah, kehilangan akses terhadap sumber pangan tradisional seperti sagu, dan menghadapi kerentanan sosial-budaya.

Analisis Pelanggaran Hukum Lingkungan oleh PT. MPHS

Penelitian ini menemukan bahwa PT. MPHS diduga kuat melanggar beberapa pasal dalam UUPPLH, khususnya:

  • Pasal 98: Sengaja menyebabkan pencemaran lingkungan yang melampaui baku mutu air atau udara.
  • Pasal 99: Kelalaian yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan.
  • Pasal 100: Pelanggaran baku mutu air limbah.

Pelanggaran ini seharusnya dapat dijerat sanksi pidana dengan ancaman penjara minimal 3 tahun dan denda minimal 3 miliar rupiah. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum berjalan sangat lambat dan tidak efektif.

Evaluasi Efektivitas Penegakan Hukum

Penegakan Hukum Administrasi

PT. MPHS telah tiga kali dijatuhi sanksi administratif oleh pemerintah daerah, namun tetap saja beroperasi dan tidak ada perubahan signifikan dalam pengelolaan limbah. Sanksi administratif yang diberikan hanya berupa teguran tanpa tindakan tegas seperti penghentian operasi atau pencabutan izin.

Penegakan Hukum Perdata

Tidak ada satu pun gugatan perdata yang diajukan oleh pemerintah, masyarakat, maupun organisasi lingkungan terhadap PT. MPHS. Hal ini menunjukkan lemahnya akses keadilan dan rendahnya posisi tawar masyarakat lokal.

Penegakan Hukum Pidana

Meskipun bukti pelanggaran cukup kuat, hingga penelitian ini selesai tidak ada proses pidana terhadap PT. MPHS. Aparat penegak hukum dinilai tidak profesional dan tidak adil dalam menangani kasus ini. Padahal, secara teori, pelanggaran yang dilakukan sudah memenuhi unsur pidana lingkungan.

Faktor Penghambat Efektivitas Penegakan Hukum

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor utama penghambat efektivitas penegakan hukum lingkungan:

  • Lemahnya komitmen dan integritas aparat penegak hukum: Banyak kasus mandek karena aparat tidak bertindak tegas, bahkan terkesan melindungi kepentingan perusahaan.
  • Minimnya data ilmiah: Tidak adanya laporan laboratorium resmi membuat pembuktian di pengadilan menjadi sulit.
  • Rendahnya partisipasi masyarakat: Masyarakat lokal kurang terlibat dalam proses pengawasan dan advokasi hukum.
  • Tumpang tindih regulasi dan lemahnya koordinasi antarinstansi: Banyaknya perizinan yang dikeluarkan tanpa pengawasan ketat memperparah situasi.

Perbandingan dengan Studi dan Kasus Lain

Penelitian ini sejalan dengan berbagai studi sebelumnya yang menunjukkan lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, khususnya di sektor perkebunan dan kehutanan. Studi oleh Cicilia Sulastri (UI, 2003) dan Nunung Prihatining Tias (Undip, 2009) juga menemukan bahwa faktor utama penghambat efektivitas adalah lemahnya aparat penegak hukum dan minimnya partisipasi masyarakat.

Namun, yang membedakan kasus PT. MPHS adalah konteks Papua Barat, di mana masyarakat adat memiliki ketergantungan tinggi pada hutan dan sumber daya alam. Kerugian ekologis di Papua tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada identitas dan keberlanjutan budaya masyarakat adat.

Kaitan dengan Tren Nasional dan Global

Tren Nasional

  • Moratorium Sawit: Pemerintah Indonesia telah menerapkan moratorium izin baru perkebunan sawit untuk memperbaiki tata kelola dan mengurangi deforestasi. Namun, kasus PT. MPHS menunjukkan bahwa moratorium saja tidak cukup tanpa penegakan hukum yang tegas.
  • Penguatan Peran Masyarakat Adat: UU Masyarakat Adat dan berbagai peraturan turunannya mendorong pengakuan hak-hak adat, namun implementasinya di lapangan masih lemah.

Tren Global

  • ESG dan Tanggung Jawab Korporasi: Industri sawit global semakin menekankan aspek Environmental, Social, and Governance (ESG). Perusahaan yang gagal memenuhi standar lingkungan berisiko kehilangan akses pasar internasional.
  • Keadilan Iklim: Kerusakan lingkungan di Papua Barat berkontribusi pada krisis iklim global. Penegakan hukum lingkungan menjadi bagian dari upaya global untuk mencapai target Paris Agreement dan SDGs.

Opini dan Rekomendasi

Opini Kritis

Penegakan hukum lingkungan di Papua Barat masih jauh dari harapan. Kasus PT. MPHS menunjukkan bahwa regulasi yang baik tanpa implementasi yang tegas hanya akan menjadi dokumen kosong. Aparat penegak hukum perlu diberdayakan dan diawasi secara ketat agar tidak mudah diintervensi oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Penguatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum: Pelatihan, pengawasan, dan sanksi tegas bagi aparat yang tidak profesional.
  2. Transparansi dan Akses Data: Wajibkan perusahaan dan pemerintah untuk mempublikasikan data lingkungan secara terbuka.
  3. Pemberdayaan Masyarakat Lokal: Libatkan masyarakat adat dalam pengawasan dan advokasi hukum.
  4. Kolaborasi Lintas Sektor: Pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil harus bekerja sama dalam penegakan hukum dan pemulihan lingkungan.
  5. Penerapan Prinsip ESG: Dorong perusahaan sawit untuk mengadopsi standar ESG sebagai syarat utama operasi.

Studi Kasus Nyata: Inspirasi dari Daerah Lain

Sebagai perbandingan, beberapa daerah di Indonesia telah berhasil menegakkan hukum lingkungan secara efektif, misalnya:

  • Kasus PT. Menara Jaya di Jakarta Timur: Penegakan hukum pidana berhasil dilakukan setelah adanya tekanan publik dan bukti ilmiah yang kuat.
  • Program Proper di Jawa Barat: Penilaian kinerja perusahaan berbasis transparansi mendorong perbaikan pengelolaan limbah industri.

Keberhasilan di daerah lain menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan yang efektif sangat mungkin dicapai jika ada komitmen, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Masa Depan Penegakan Hukum Lingkungan di Papua Barat

Penelitian ini menegaskan bahwa penegakan hukum lingkungan di Papua Barat, khususnya terhadap PT. Medcopapua Hijau Selaras, masih sangat lemah dan tidak efektif. Dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan sangat besar, namun belum ada langkah hukum yang tegas dan berpihak pada masyarakat serta lingkungan.

Untuk masa depan yang lebih baik, diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem penegakan hukum lingkungan, mulai dari penguatan regulasi, pemberdayaan aparat, hingga partisipasi aktif masyarakat. Hanya dengan cara ini, Papua Barat dapat menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat di tengah tekanan pembangunan ekonomi.

Sumber Asli

Frengky Ever Wambrauw. Efektivitas Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap PT. Medcopapua Hijau Selaras di Kabupaten Manokwari. Tesis Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, 2021.

Selengkapnya
Efektivitas Penegakan Hukum Lingkungan di Papua Barat: Studi Kasus PT. Medcopapua Hijau Selaras

Sumber Daya Alam

Membedah Jejak Emil Salim: Inspirasi Pembangunan Berkelanjutan Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Indonesia, negara kepulauan dengan kekayaan alam melimpah, menghadapi tantangan besar: eksploitasi sumber daya, kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan ketimpangan sosial. Dalam konteks inilah, buku “Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim” menjadi sangat relevan. Buku ini tidak hanya menyorot perjalanan dan pemikiran Prof. Emil Salim, tetapi juga menampilkan bagaimana konsep pembangunan berkelanjutan diadopsi dan diimplementasikan di Indonesia, sekaligus mengaitkannya dengan dinamika global seperti SDGs dan krisis iklim.

Transformasi Paradigma: Dari Ekonomi Konvensional ke Pembangunan Berkelanjutan

Pada era 1970-an, pembangunan nasional masih identik dengan pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi. Namun, Emil Salim—salah satu tokoh penting di balik perubahan paradigma ini—menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi harus selaras dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial. Sebagai delegasi Indonesia di Konferensi Stockholm 1972, Emil Salim membawa gagasan bahwa pembangunan harus memikirkan masa depan, bukan sekadar mengejar keuntungan sesaat.

Ciri utama paradigma pembangunan berkelanjutan menurut Emil Salim:

  • Ekonomi, sosial, dan lingkungan ditempatkan secara seimbang.
  • Dampak jangka panjang menjadi pertimbangan utama.
  • Keadilan antargenerasi dan intragenerasi diutamakan.
  • Negara, masyarakat, dan swasta berperan kolaboratif.
  • Kegagalan pasar dalam menangkap eksternalitas lingkungan harus diatasi.

Pilar Pembangunan Berkelanjutan dan Implementasinya

Tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan—ekonomi, sosial, dan lingkungan—menjadi fondasi seluruh kebijakan yang diperjuangkan Emil Salim. Bagaimana realisasinya di Indonesia?

Pilar Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi harus inklusif dan berkelanjutan. Emil Salim menekankan pentingnya investasi pada sumber daya manusia, teknologi ramah lingkungan, dan pengurangan ketergantungan pada industri ekstraktif yang merusak lingkungan.

Pilar Sosial

Pembangunan sosial diarahkan pada pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, kesehatan, dan pemerataan akses layanan dasar. Emil Salim memperjuangkan keadilan sosial dan perlindungan kelompok rentan, termasuk masyarakat adat dan perempuan.

Pilar Lingkungan

Perlindungan lingkungan menjadi prioritas. Emil Salim mendorong konservasi hutan, pengelolaan limbah, dan penegakan hukum lingkungan. Ia juga menekankan pentingnya tata ruang yang berwawasan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal.

Studi Kasus Inspiratif: Jejak Emil Salim dalam Kebijakan Nasional

Pembentukan Kementerian Lingkungan Hidup

Pada 1978, Indonesia menjadi pelopor di Asia dengan membentuk Kementerian Lingkungan Hidup, dipimpin langsung oleh Emil Salim. Langkah ini menandai integrasi isu lingkungan ke dalam kebijakan nasional.

Program Kali Bersih (Prokasih)

Diluncurkan pada 1989, Prokasih adalah program kolaboratif antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk mengendalikan pencemaran sungai. Dalam satu dekade, Prokasih berhasil menurunkan beban limbah industri di 20 sungai utama, dengan ribuan ton limbah berbahaya berhasil direduksi setiap tahunnya.

Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper)

Proper adalah inovasi penilaian kinerja lingkungan perusahaan yang berbasis transparansi. Program ini mendorong perusahaan berlomba-lomba memperbaiki kinerja lingkungan, terbukti dari meningkatnya jumlah perusahaan yang meraih peringkat hijau dan emas dari tahun ke tahun.

Extractive Industries Review (EIR)

Sebagai ketua EIR, Emil Salim memimpin evaluasi dampak industri ekstraktif oleh Bank Dunia. Rekomendasinya menegaskan bahwa investasi di sektor pertambangan dan energi harus memenuhi prinsip keberlanjutan dan perlindungan HAM. Standar ini kini menjadi rujukan global dalam praktik ESG (Environmental, Social, Governance).

Data dan Fakta: Tantangan dan Dampak Kebijakan

  • Industri pertambangan dan energi menyumbang lebih dari 10% PDB Indonesia, namun juga menjadi penyumbang utama deforestasi, polusi, dan konflik sosial.
  • Indonesia membutuhkan investasi minimal Rp 5.300 triliun per tahun untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sosial agar dapat mengejar ketertinggalan modal manusia.
  • Dalam dua dekade terakhir, jutaan hektar hutan tropis Indonesia hilang akibat deforestasi, menempatkan Indonesia di peringkat atas negara dengan laju kehilangan hutan tercepat.
  • Lebih dari 80% sungai di Pulau Jawa tercemar berat oleh limbah domestik dan industri, berdampak pada kesehatan jutaan penduduk.
  • Indonesia berkomitmen pada SDGs 2030, namun masih menghadapi tantangan besar pada indikator kemiskinan, ketimpangan, dan degradasi lingkungan.

Analisis Kritis: Relevansi, Kritik, dan Pembelajaran

Relevansi di Era Industri 4.0 dan Krisis Iklim

Paradigma pembangunan berkelanjutan yang diperjuangkan Emil Salim semakin relevan di era digitalisasi, urbanisasi, dan perubahan iklim. Tantangan seperti polusi, banjir, dan kemiskinan kota menuntut integrasi antara inovasi teknologi, perlindungan lingkungan, dan pembangunan sosial yang inklusif.

Kritik atas Implementasi

Walau Indonesia telah memiliki regulasi lingkungan yang kuat, pelaksanaan di lapangan masih sering terhambat oleh tumpang tindih kebijakan, lemahnya penegakan hukum, dan korupsi. Banyak program lingkungan masih bersifat top-down dan kurang melibatkan masyarakat lokal secara bermakna. Studi kasus Prokasih dan Proper menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat adalah kunci keberhasilan.

Ekonomi vs Lingkungan: Dilema Abadi

Kasus industri batubara menjadi contoh nyata: kontribusi besar pada ekonomi, tetapi menimbulkan polusi dan kerusakan lingkungan yang mahal biayanya. Emil Salim menegaskan pentingnya menghitung biaya eksternalitas dalam setiap proyek pembangunan.

Perbandingan dengan Tren Global

Konsep pembangunan berkelanjutan ala Emil Salim sejalan dengan SDGs dan Paris Agreement. Negara-negara Skandinavia lebih berhasil dalam mengintegrasikan ekonomi hijau dan circular economy ke kebijakan nasional. Indonesia perlu memperkuat insentif ekonomi hijau dan kolaborasi lintas sektor agar tidak tertinggal.

Kaitan dengan Industri dan Bisnis Modern

SDGs dan Green Economy

Implementasi SDGs di Indonesia masih menghadapi tantangan pada indikator lingkungan seperti pengelolaan limbah dan energi terbarukan. Emil Salim menekankan pentingnya investasi pada green economy, inovasi teknologi, dan penguatan kapasitas SDM.

ESG dan Bisnis Berkelanjutan

Tren global menuntut perusahaan menerapkan prinsip ESG. Proper dan Prokasih adalah contoh awal ESG di Indonesia, namun perusahaan perlu melangkah lebih jauh dengan circular economy, dekarbonisasi rantai pasok, dan pelaporan keberlanjutan yang transparan.

Urbanisasi dan Tata Ruang

Urbanisasi pesat menuntut tata kelola ruang yang berkelanjutan. Emil Salim mengingatkan pentingnya penataan ruang yang mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta menghindari konflik kepentingan dalam pembangunan infrastruktur.

Studi Kasus Tambahan: Pengelolaan Hutan dan Agraria

Pengelolaan Hutan Lestari

Emil Salim memperjuangkan pendekatan pengelolaan hutan lestari dan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Indonesia kini menjadi pelopor dalam perdagangan karbon dan konservasi hutan tropis dunia.

Pembaruan Kebijakan Agraria

Emil Salim menekankan pentingnya akses masyarakat adat terhadap sumber daya alam dan penguatan ekonomi lokal berbasis kearifan lokal. Pembaruan agraria menjadi agenda utama untuk mengurangi konflik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan

  1. Penguatan Tata Kelola dan Penegakan Hukum: Reformasi birokrasi dan pengawasan korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam harus menjadi prioritas.
  2. Investasi SDM dan Teknologi: Pendidikan, kesehatan, dan inovasi teknologi ramah lingkungan harus diutamakan.
  3. Kolaborasi Lintas Sektor: Pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu terlibat aktif dalam perumusan dan implementasi kebijakan.
  4. Ekonomi Hijau dan Circular Economy: Transisi ke energi terbarukan, pengelolaan limbah terpadu, dan bisnis berbasis circular economy harus didorong.
  5. Penguatan Peran Masyarakat Lokal: Partisipasi bermakna masyarakat lokal dan adat dalam pengelolaan sumber daya alam harus dijamin.

Warisan Emil Salim dan Tantangan Masa Depan

Buku ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi juga panduan strategis menghadapi tantangan abad ke-21. Emil Salim membuktikan bahwa perubahan paradigma, inovasi kebijakan, dan kolaborasi lintas sektor adalah kunci menuju Indonesia yang adil, makmur, dan lestari. Di tengah krisis iklim dan disrupsi teknologi, warisan pemikiran dan aksi Emil Salim tetap relevan: membangun Indonesia dengan menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.

Tantangan ke depan adalah memastikan warisan ini diadopsi, diadaptasi, dan diimplementasikan oleh generasi muda, pembuat kebijakan, dan seluruh elemen bangsa.

Sumber Asli

Azis, Iwan J. dkk. (Editor). Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2010.

Selengkapnya
Membedah Jejak Emil Salim: Inspirasi Pembangunan Berkelanjutan Indonesia

Sumber Daya Alam

Menggali Potensi Sumber Daya Alam di Sempadan Sungai Rungan: Peluang, Tantangan, dan Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal Palangka Raya

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Sungai Rungan dan Krisis Sumber Daya Alam Lokal

Sungai Rungan, salah satu cabang utama Sungai Kahayan di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, selama puluhan tahun menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Dayak dan komunitas lokal di sekitarnya. Namun, perubahan lingkungan, eksploitasi berlebihan, dan lemahnya pengelolaan telah menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan dan sumber pendapatan utama masyarakat, khususnya dari sektor perikanan. Paper karya Nova Riyanti, M. Riban Satia, dan Muh Azhari ini mengupas secara mendalam bagaimana pengelolaan sumber daya alam di sempadan Sungai Rungan dapat dioptimalkan sebagai sumber ekonomi masyarakat, sekaligus mengidentifikasi hambatan dan peluang yang ada.

Latar Belakang: Potret Sumber Daya Alam dan Ketergantungan Ekonomi

Fakta Kunci dan Konteks Lokal

  • Kalimantan Tengah dijuluki “paru-paru dunia” karena hutan tropisnya yang luas, namun juga dikenal sebagai “pulau seribu sungai”.
  • Sungai Rungan membentang melewati beberapa kelurahan di tiga kecamatan di Kota Palangka Raya, menjadi tumpuan hidup masyarakat adat Dayak.
  • Mata pencaharian utama: Nelayan ikan, penyadap karet, petani ladang, dan pekebun—semuanya sangat tergantung pada kualitas dan kelestarian lingkungan sungai.
  • Krisis perikanan: Penurunan drastis populasi ikan akibat pencemaran, illegal mining, dan rusaknya ekosistem sungai. Dulu, masyarakat bisa langsung minum air sungai; kini air keruh, kuning, dan tercemar limbah tambang emas dan pasir.

Pendekatan Kualitatif dan Studi Lapangan

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi literatur. Lokasi penelitian difokuskan pada sempadan Sungai Rungan yang melintasi beberapa kelurahan strategis. Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk menangkap dinamika, kompleksitas, dan potensi pengelolaan sumber daya alam di kawasan ini.

Temuan Utama: Potensi, Kearifan Lokal, dan Peluang Diversifikasi Ekonomi

1. Potensi Sumber Daya Alam yang Belum Terkelola Optimal

  • Tanaman konsumsi dan obat: Pakis, jamur, dan tanaman bajakah tumbuh liar di sempadan sungai, namun belum dibudidayakan secara sistematis. Bajakah kini populer sebagai tanaman obat tradisional bernilai ekonomi tinggi.
  • Rotan, karet, dan sawit: Sumber pendapatan musiman, namun harga pasar fluktuatif dan sering merugikan petani.
  • Ternak lebah: Potensi besar di sepanjang sungai yang masih banyak pohon berbunga, namun belum banyak dikembangkan sebagai usaha kolektif.
  • Penangkapan ikan ramah lingkungan: Penggunaan beje (kolam alami yang terbentuk di hutan saat air pasang) masih menjadi praktik tradisional yang lestari.

2. Kearifan Lokal dan Wisata Religi

  • Pasah Patahu dan Keramat Nazar: Rumah kecil keramat dan pohon-pohon dengan bendera kuning sebagai simbol pelestarian dan perlindungan kampung. Kearifan lokal ini tidak hanya menjaga ekosistem, tetapi juga berpotensi dikembangkan sebagai wisata religi dan budaya, sumber pendapatan baru bagi masyarakat.

3. Ketergantungan pada Bantuan dan Minimnya Inovasi

  • Program pemerintah masih didominasi bantuan sosial seperti beras sejahtera, bukan program pemberdayaan ekonomi jangka panjang.
  • Inovasi teknologi dan diversifikasi usaha sangat minim; belum ada produksi lokal yang menjadi ciri khas atau branding ekonomi masyarakat sempadan sungai.

Studi Kasus: Dinamika Ekonomi dan Lingkungan di Sempadan Sungai Rungan

Studi Kasus 1: Dampak Illegal Mining dan Penurunan Kualitas Air

  • Illegal mining (penambangan emas tanpa izin) di sepanjang Sungai Rungan menyebabkan air sungai keruh, berwarna kuning, dan tercemar logam berat. Akibatnya, populasi ikan menurun drastis, dan masyarakat kehilangan sumber pendapatan utama.
  • Migrasi profesi: Ketika harga karet, rotan, dan sawit turun, sebagian masyarakat beralih menjadi penambang emas liar untuk bertahan hidup, meski sadar dampaknya buruk bagi lingkungan.

Studi Kasus 2: Kearifan Lokal sebagai Penjaga Ekosistem

  • Pasah Patahu dan Keramat Nazar: Tradisi lokal yang dipercaya menjaga kampung dari bahaya dan mengikat masyarakat untuk tidak sembarangan merusak alam. Jika dikembangkan sebagai wisata religi, potensi pendapatan baru bisa diraih tanpa merusak lingkungan.

Studi Kasus 3: Program Green Belt dan Pemberdayaan Masyarakat

  • Konsep sabuk hijau (green belt): Pemerintah Kota Palangka Raya melarang pembangunan permanen dalam radius 500 meter dari sungai, mendorong program ternak lebah dan ikan di pinggiran sungai.
  • Kendala: Banyak lahan di sempadan sungai justru dimiliki investor luar daerah yang tidak tinggal di sekitar sungai, sehingga tidak dikelola dan tidak memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.

Analisis Faktor Penghambat Pengelolaan Sumber Daya Alam

1. Kepemilikan Pribadi dan Ketimpangan Akses Lahan

  • Banyak lahan di sempadan sungai dimiliki oleh orang luar atau investor yang tidak tinggal di kawasan tersebut. Akibatnya, lahan dibiarkan tidak produktif dan tidak bisa dimanfaatkan masyarakat lokal.
  • Tidak ada pengelolaan kolektif; setiap lahan menjadi tanggung jawab individu, sehingga sulit membangun usaha bersama atau koperasi.

2. Kelembagaan Lemah dan Kurang Sinergi

  • Kelembagaan adat (Damang, mantir) dan pemerintah (RT, RW, BPDAS, BLH, Satpol PP, Dinas Pertambangan, Dinas Perikanan) berjalan sendiri-sendiri, tanpa koordinasi efektif.
  • Kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam masih sangat lemah, bahkan cenderung membentuk “kelembagaan tidak ideal” yang justru memfasilitasi eksploitasi tanpa kendali.

3. Minimnya Pemanfaatan Teknologi

  • Tidak ada inovasi atau pemanfaatan teknologi modern dalam budidaya, pengolahan hasil hutan, atau pemasaran produk lokal.
  • Potensi tanaman obat seperti bajakah belum dikembangkan secara komersial dengan dukungan teknologi farmasi, padahal permintaan pasar tinggi.

4. Kurangnya Edukasi dan Kesadaran

  • Pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan masih rendah, sehingga banyak peluang ekonomi terbuang sia-sia.
  • Bantuan pemerintah seringkali hanya bersifat konsumtif, bukan stimulun untuk kemandirian ekonomi.

Rekomendasi dan Strategi Pemberdayaan

1. Kolaborasi Pemilik Lahan dan Masyarakat Lokal

  • Pemilik lahan di sempadan sungai sebaiknya bermitra dengan masyarakat lokal untuk mengembangkan kebun, budidaya tanaman obat, atau usaha lebah madu. Hasilnya bisa dibagi adil, sehingga lahan tidak lagi menganggur dan masyarakat mendapat penghasilan tetap.

2. Inovasi Program Pemerintah

  • Pemerintah Kota Palangka Raya perlu merancang program pemberdayaan ekonomi berbasis potensi lokal, seperti budidaya bajakah, rotan, pakis, dan lebah, bukan hanya bantuan sosial sesaat.
  • Kolaborasi lintas dinas (Ketahanan Pangan, Kehutanan, Perdagangan) sangat penting untuk membangun ekosistem usaha lokal berkelanjutan.

3. Branding dan Wisata Religi-Budaya

  • Kearifan lokal seperti Pasah Patahu dan Keramat Nazar bisa diangkat sebagai ikon wisata religi dan budaya, menarik wisatawan dan menciptakan sumber pendapatan baru.
  • Pemerintah dan masyarakat perlu mengembangkan paket wisata susur sungai, edukasi lingkungan, dan festival budaya di sempadan Sungai Rungan.

4. Pemanfaatan Teknologi dan Riset

  • Perlu riset dan pelatihan tentang budidaya tanaman obat, pengolahan hasil hutan, dan pemasaran digital untuk produk lokal.
  • Teknologi sederhana seperti pengolahan madu, pengemasan jamur dan pakis, serta pengolahan bajakah bisa meningkatkan nilai tambah ekonomi.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Kelebihan Paper

  • Pendekatan lapangan yang kuat: Peneliti terjun langsung ke lokasi, menangkap suara masyarakat dan dinamika nyata di lapangan.
  • Analisis multidimensi: Tidak hanya aspek ekonomi, tetapi juga sosial, kelembagaan, teknologi, dan kearifan lokal.
  • Rekomendasi aplikatif: Solusi yang ditawarkan sangat kontekstual dan bisa langsung diadopsi oleh pemerintah dan masyarakat.

Kritik dan Tantangan

  • Kurangnya data kuantitatif: Paper ini lebih banyak narasi kualitatif; akan lebih kuat jika disertai data angka-angka tentang volume produksi, pendapatan, atau jumlah lahan tidak produktif.
  • Implementasi program: Banyak rekomendasi, namun realisasi di lapangan sangat tergantung pada kemauan politik, koordinasi kelembagaan, dan perubahan mindset masyarakat.
  • Potensi konflik lahan: Kolaborasi antara pemilik lahan dan masyarakat lokal membutuhkan mediasi dan regulasi agar adil dan berkelanjutan.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

  • Sustainable livelihoods: Diversifikasi ekonomi masyarakat berbasis sumber daya lokal dan kearifan tradisional kini menjadi tren pembangunan berkelanjutan di banyak negara.
  • Eco-tourism dan wisata budaya: Pengembangan wisata berbasis ekosistem dan budaya lokal terbukti efektif meningkatkan pendapatan masyarakat di banyak kawasan sungai dunia.
  • Digitalisasi dan teknologi tepat guna: Pemanfaatan teknologi sederhana dan pemasaran digital bisa memperluas pasar produk lokal dan meningkatkan daya saing.

Jalan Panjang Menuju Kemandirian Ekonomi Berbasis Sumber Daya Alam

Paper ini menegaskan bahwa kunci pemberdayaan ekonomi masyarakat sempadan Sungai Rungan adalah pengelolaan sumber daya alam yang terintegrasi, inovatif, dan berbasis kearifan lokal. Kolaborasi, inovasi teknologi, dan penguatan kelembagaan menjadi syarat mutlak agar potensi alam tidak hanya menjadi cerita masa lalu, tetapi juga tumpuan masa depan yang berkelanjutan. Dengan strategi yang tepat, Sungai Rungan bisa kembali menjadi sumber kehidupan, inspirasi, dan kemakmuran bagi masyarakat Palangka Raya.

Sumber Artikel 

Nova Riyanti, M. Riban Satia, Muh Azhari. Analisis Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai Sumber Pendapatan Ekonomi Masyarakat Lokal di Sempadan Sungai Rungan Kota Palangka Raya. Pencerah Publik, Volume 7 Issue 2, Oktober 2020, hlm. 11–24.

Selengkapnya
Menggali Potensi Sumber Daya Alam di Sempadan Sungai Rungan: Peluang, Tantangan, dan Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal Palangka Raya

Sumber Daya Alam

Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Norma Hukum Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Urgensi Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, kini menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan industrialisasi memperparah permasalahan seperti sampah, pencemaran, dan kerusakan ekosistem. Paper karya Muhammad Alrizky Ekiawan ini menyoroti pentingnya pengelolaan lingkungan hidup dalam bingkai norma hukum Indonesia, mengulas dasar-dasar hukum, asas, pendekatan, serta peran pemerintah dan masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan12.

Landasan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup: Pilar Konstitusi dan Undang-Undang

Dasar Konstitusional

Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia berakar kuat pada Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3), yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal ini menegaskan peran negara sebagai pengelola utama sumber daya alam, bukan sekadar regulator, tapi juga pelindung hak rakyat atas lingkungan yang baik dan sehat12.

Undang-Undang Pokok

  • UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup: Mendefinisikan pengelolaan lingkungan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan melalui penataan, pemanfaatan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian.
  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH): Memperkuat kerangka hukum dengan menegaskan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan adalah upaya sistematis dan terpadu, serta menempatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi setiap warga negara132456.

Permasalahan Lingkungan Hidup: Data, Fakta, dan Dampak

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2020, di 384 kota di Indonesia, produksi sampah mencapai 80.235,87 ton per hari. Dari jumlah ini, hanya 4,2% diangkut ke TPA, 37,6% dibakar, 4,9% dibuang ke sungai, dan 53,3% tidak tertangani secara layak. Sampah yang tidak terkelola ini menjadi sumber utama pencemaran tanah, air, dan udara, serta menimbulkan ancaman kesehatan dan bencana lingkungan1.

Selain sampah, pencemaran air dan udara akibat limbah industri, pertambangan, dan urbanisasi juga menjadi masalah akut. Kasus pencemaran Sungai Cikijing di Bandung, misalnya, menjadi preseden penting dalam penegakan hukum lingkungan, di mana pemerintah daerah dan provinsi harus memediasi dan menindak perusahaan pelaku pencemaran sesuai UU No. 32 Tahun 20095.

Asas dan Prinsip Pengelolaan Lingkungan Hidup

UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 2 memuat 10 asas utama yang menjadi landasan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia:

  1. Tanggung Jawab Negara: Negara wajib menjamin pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dan mencegah pencemaran.
  2. Kelestarian dan Keberlanjutan: Setiap orang wajib menjaga daya dukung ekosistem untuk generasi kini dan mendatang.
  3. Keserasian dan Keseimbangan: Pemanfaatan lingkungan harus memperhatikan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan pelestarian.
  4. Kehati-hatian: Ketidakpastian dampak bukan alasan untuk menunda tindakan pencegahan.
  5. Keadilan: Perlindungan lingkungan harus adil lintas daerah, generasi, dan gender.
  6. Pencemar Membayar: Pelaku pencemaran wajib menanggung biaya pemulihan.
  7. Partisipatif: Masyarakat didorong aktif dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan.
  8. Kearifan Lokal: Pengelolaan harus memperhatikan nilai-nilai lokal.
  9. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik: Prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
  10. Otonomi Daerah: Pemerintah daerah berwenang mengatur urusan lingkungan sesuai kekhasan wilayah12.

Pendekatan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Paper ini mengidentifikasi 8 pendekatan utama yang dapat diadopsi secara simultan maupun selektif, tergantung karakteristik wilayah dan masalah lingkungan:

1. Pendekatan Teknologi

Mengganti teknologi yang merusak lingkungan dengan yang ramah lingkungan, seperti prinsip 4R (reuse, reduce, recycle, recovery). Contoh: teknologi composting untuk limbah organik, daur ulang limbah non-B3, dan mesin pabrik ramah lingkungan1.

2. Pendekatan Administrasi, Hukum, dan Peraturan

Melalui regulasi ketat seperti AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), UKL/UPL, baku mutu lingkungan, dan tata ruang. Penegakan hukum dilakukan baik secara administratif (izin, sanksi administratif) maupun melalui pengadilan (pidana, perdata)1346.

3. Pendekatan Ekonomi

Memberi nilai ekonomi pada sumber daya lingkungan sehingga biaya lingkungan diinternalisasikan dalam produksi. Contoh: pajak lingkungan, insentif bagi industri hijau, dan skema pembayaran jasa lingkungan1.

4. Pendekatan Pendidikan dan Pelatihan

Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui pendidikan formal, informal, dan pelatihan lingkungan. Contoh: diklat AMDAL, pelatihan pengolahan sampah, edukasi sekolah dan komunitas1.

5. Pendekatan Sosial Budaya

Mengintegrasikan kearifan lokal dan tradisi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Contoh: sistem pertanian tradisional, pengelolaan hutan adat, dan pengelolaan sumber daya berbasis komunitas1.

6. Pendekatan Sosio-Politik

Mengelola konflik kepentingan antar pihak melalui musyawarah dan negosiasi, menciptakan win-win solution dalam pengelolaan sumber daya lintas sektor, wilayah, atau etnis1.

7. Pendekatan Ekologis

Berbasis pada konservasi ekosistem, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan berkelanjutan. Contoh: perlindungan kawasan lindung, suaka margasatwa, dan taman nasional1.

8. Pendekatan Agama

Menumbuhkan moral dan etika lingkungan melalui ajaran agama, sehingga masyarakat lebih bijak dalam mengelola alam1.

9. Pendekatan Institusi

Melibatkan lembaga formal dan non-formal, seperti dinas kebersihan, LSM, dan kelompok masyarakat, dalam pengelolaan dan pemanfaatan limbah serta sumber daya lingkungan1.

Studi Kasus: Penegakan Hukum Lingkungan

Kasus Sungai Cikijing, Bandung

Kasus pencemaran Sungai Cikijing di Kabupaten Bandung menjadi contoh nyata penerapan UU No. 32 Tahun 2009. Pemerintah daerah dan provinsi menindak perusahaan pelaku pencemaran dengan upaya administratif dan perdata, serta memediasi agar limbah cair tidak lagi dibuang ke sungai. Kasus ini menegaskan pentingnya peran pemerintah sebagai mediator, penegak hukum, dan pelindung hak masyarakat atas lingkungan sehat5.

Putusan Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg

Studi lain menyoroti kepastian hukum dalam penegakan lingkungan melalui Putusan Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, di mana hakim menggunakan logika hukum indoktriner dan argumentum ad verecundiam untuk memenangkan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa meski perangkat hukum sudah ada, implementasi dan interpretasi di lapangan masih menghadapi tantangan, terutama dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan4.

Tantangan dan Kritik: Implementasi, Kepastian Hukum, dan Partisipasi

Implementasi Hukum

Meski kerangka hukum sudah kuat, implementasi di lapangan masih lemah. Banyak kasus pencemaran yang tidak ditindak tegas, sanksi yang tidak efektif, dan lemahnya monitoring serta pengawasan. Penegakan hukum lingkungan seringkali baru berjalan setelah kerusakan terjadi, bukan sebagai upaya pencegahan346.

Kepastian Hukum

Kepastian hukum bagi masyarakat masih lemah, terutama dalam kasus konflik antara perusahaan dan warga. UU No. 32 Tahun 2009 memang membuka ruang bagi sanksi administratif, perdata, dan pidana, namun dalam praktiknya, proses hukum sering lambat dan tidak berpihak pada korban456.

Partisipasi dan Edukasi

Partisipasi masyarakat masih rendah akibat kurangnya edukasi, akses informasi, dan kesadaran lingkungan. Padahal, keberhasilan pengelolaan lingkungan sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat12.

Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Paper ini sejalan dengan literatur lain yang menekankan pentingnya pendekatan multi-disiplin dan multi-aktor dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kelebihan utama paper ini adalah analisis komprehensif atas asas, pendekatan, dan dasar hukum, serta penekanan pada pentingnya kolaborasi pemerintah dan masyarakat. Namun, paper ini bisa lebih kuat jika menambahkan data kuantitatif kerusakan lingkungan, studi kasus lebih banyak, dan analisis mendalam tentang efektivitas sanksi hukum di Indonesia.

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi

  • Perkuat Implementasi Hukum: Pemerintah perlu meningkatkan monitoring, penegakan sanksi, dan transparansi dalam penanganan kasus pencemaran.
  • Edukasi dan Pelatihan Berkelanjutan: Program pendidikan lingkungan harus diperluas ke seluruh lapisan masyarakat, mulai dari sekolah hingga komunitas.
  • Dorong Inovasi Teknologi dan Ekonomi: Insentif untuk teknologi ramah lingkungan dan internalisasi biaya lingkungan dalam produksi harus diperluas.
  • Libatkan Masyarakat dan Lembaga Lokal: Partisipasi aktif masyarakat, LSM, dan lembaga adat harus didorong dalam perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan lingkungan.
  • Integrasi Kearifan Lokal: Nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal harus menjadi bagian dari strategi nasional pengelolaan lingkungan.

Menuju Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Efektif dan Berkeadilan

Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia membutuhkan kerangka hukum yang kuat, implementasi yang konsisten, serta kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan pengelolaan lingkungan tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, tetapi harus didukung pendekatan teknologi, pendidikan, budaya, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian, cita-cita Pasal 33 UUD 1945 untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian lingkungan dapat benar-benar terwujud.

Sumber Artikel 

Muhammad Alrizky Ekiawan. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Norma Hukum Indonesia. JURNAL RECHTEN: Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia, Vol. 5 No. 2 (2023), hlm. 34–42.

Selengkapnya
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Norma Hukum Indonesia
page 1 of 3 Next Last »