Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Sungai Yangtze, Pusat Strategis dan Tantangan Ekologi
Sungai Yangtze adalah urat nadi ekonomi, budaya, dan ekologi Tiongkok. Membentang lebih dari 6.300 km dan melintasi 11 provinsi serta kota besar, sungai ini menopang 40% populasi dan 40% PDB nasional. Namun, industrialisasi, urbanisasi, dan pertanian intensif telah memunculkan masalah serius: polusi industri dan domestik, degradasi keanekaragaman hayati, serta fragmentasi tata kelola lingkungan. Paper “Collaborative governance in action: driving ecological sustainability in the Yangtze River basin” (Xia et al., 2024) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana tata kelola kolaboratif lintas provinsi dapat menjadi solusi strategis bagi tantangan ekologi Sungai Yangtze, dengan menyoroti faktor-faktor kunci, mekanisme penyebab, dan studi kasus nyata di lapangan123.
Latar Belakang: Fragmentasi Tata Kelola dan Urgensi Kolaborasi
Kompleksitas Ekosistem dan Fragmentasi Institusi
Ekosistem Sungai Yangtze sangat kompleks dan terintegrasi. Masalah di satu wilayah, seperti eutrofikasi di Danau Taihu (melibatkan Zhejiang dan Jiangsu), dapat berdampak pada seluruh DAS. Fragmentasi tata kelola—akibat batas administratif, perbedaan kebijakan, dan lemahnya koordinasi—sering membuat upaya penanganan polusi dan degradasi ekologi berjalan parsial dan tidak efektif12.
Kolaborasi Lintas Wilayah: Pilar Undang-Undang Perlindungan Sungai Yangtze
Sejak 2021, Tiongkok memberlakukan Undang-Undang Perlindungan Sungai Yangtze yang menekankan pentingnya tata kelola terkoordinasi lintas provinsi dan kota. Pendekatan ini menuntut integrasi kebijakan, harmonisasi regulasi, dan kolaborasi aktif antarwilayah untuk menjaga integritas ekosistem sungai sebagai satu kesatuan12.
Kerangka Teoritis: Faktor Penentu Tata Kelola Kolaboratif
DBO Theory dan Collaborative Governance
Studi ini mengembangkan kerangka analisis berbasis teori DBO (expectation-belief-opportunity) dan collaborative governance. Tujuh faktor utama yang memengaruhi efektivitas kolaborasi lintas provinsi diidentifikasi sebagai berikut:
Metodologi: Fuzzy Set Qualitative Comparative Analysis (fsQCA)
Penelitian ini menganalisis 19 kasus tata kelola kolaboratif di DAS Yangtze menggunakan fsQCA, yang mampu mengidentifikasi kombinasi faktor penyebab (bukan hanya satu faktor tunggal) yang membentuk efektivitas kolaborasi. Sampel mencakup provinsi utama di sepanjang Sungai Yangtze, dari Qinghai hingga Shanghai, termasuk wilayah dengan tingkat ekonomi dan tantangan ekologi yang beragam13.
Temuan Utama: Tiga Jalur Menuju Kolaborasi Efektif
1. Teknologi Memperkuat Relasi: Studi Kasus Guangxi
Jalur pertama menyoroti peran teknologi digital dalam memperkuat hubungan dan interaksi antarprovinsi. Di Guangxi, platform big data seperti Yulin Jiu Zhoujiang River Basin telah memungkinkan monitoring polusi secara real-time, berbagi data, dan koordinasi respons lintas wilayah. Hasilnya, kualitas air permukaan di wilayah ini stabil di atas 96% selama lima tahun terakhir, menunjukkan dampak nyata digitalisasi terhadap efektivitas kolaborasi123.
2. Institusi Memperkuat Interaksi: Studi Kasus Anhui
Jalur kedua menunjukkan bahwa institusi dan mekanisme formal sangat penting untuk memperkuat interaksi dan efektivitas kolaborasi. Anhui menonjol melalui penandatanganan berbagai perjanjian kerja sama dengan provinsi lain (misal, Nanjing, Hangzhou, Xuzhou) dan lembaga riset, serta integrasi penegakan hukum administratif dan pidana untuk perlindungan lingkungan. Upaya ini meningkatkan rasio kualitas air baik di DAS Yangtze menjadi 94,8% dan tingkat kepuasan publik atas lingkungan mencapai 92,8%123.
3. Sinergi Internal-Eksternal: Studi Kasus Chongqing
Jalur ketiga menekankan pentingnya kombinasi faktor internal (persepsi, relasi, efektivitas partisipasi) dan eksternal (hukum, teknologi). Chongqing sukses mengembangkan platform “Basin Water Environment Intelligent Management” bersama universitas dan lembaga riset, serta melakukan penegakan hukum bersama dengan Sichuan. Hasilnya, 98,6% dari 74 titik pemantauan kualitas air di wilayah ini memenuhi standar, dan 1.424 PLTA kecil berhasil direstrukturisasi, 242 di antaranya ditutup demi perlindungan ekologi123.
Studi Kasus Tambahan: Delta Sungai Yangtze dan Kebijakan Kolaboratif
Penelitian lain di Delta Sungai Yangtze (Jiangsu, Zhejiang, Shanghai) menemukan bahwa 87,5% kebijakan kolaborasi lingkungan air dikeluarkan oleh pemerintah lokal, dengan fokus utama pada perlindungan sumber daya air dan pengendalian polusi limbah. Namun, kebijakan pemulihan ekosistem dan audit pejabat masih kurang mendapat perhatian. Rekomendasi utama: beri otonomi lebih besar pada pemerintah lokal untuk penanganan limbah, gunakan kebijakan diferensiasi sesuai karakteristik wilayah, dan tingkatkan stabilitas kebijakan4.
Analisis Kritis: Pelajaran, Tantangan, dan Implikasi
Kekuatan Model Kolaboratif
Tantangan Implementasi
Perbandingan dengan Studi Lain
Penelitian ini memperkaya literatur tata kelola kolaboratif dengan menggabungkan analisis faktor internal dan eksternal secara sistemik. Studi lain di kawasan Sungai Yangtze juga menyoroti pentingnya insentif ekonomi, regulasi risiko, dan integrasi kebijakan lintas sektor (pertanian, energi, industri) untuk memperkuat kolaborasi dan mengatasi eksternalitas negatif5.
Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Strategis
Koneksi dengan Tren Industri dan Agenda Global
Menuju Tata Kelola Ekologis Sungai Yangtze yang Sinergis
Paper ini membuktikan bahwa tata kelola kolaboratif lintas provinsi, dengan dukungan teknologi, institusi kuat, dan kesadaran kolektif, adalah kunci menjaga ketahanan ekologi Sungai Yangtze. Tidak ada satu jalur tunggal menuju sukses—kombinasi faktor internal (persepsi, relasi, interaksi, efektivitas) dan eksternal (hukum, institusi, teknologi) harus diselaraskan untuk membangun sinergi yang berkelanjutan. Pengalaman Guangxi, Anhui, dan Chongqing menjadi bukti bahwa model kolaborasi adaptif dapat meningkatkan kualitas air, mengurangi polusi, dan memperkuat ketahanan ekologi kawasan. Tantangan tetap besar, namun dengan inovasi, digitalisasi, dan komitmen bersama, Sungai Yangtze dapat menjadi laboratorium tata kelola ekologi masa depan yang layak dicontoh di tingkat global.
Sumber Asli Artikel
Xia Y, Tian Z, Ding C. (2024). Collaborative governance in action: driving ecological sustainability in the Yangtze River basin. Frontiers in Environmental Science, 12:1463179.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025
Lahan Basah sebagai Aset Strategis Indonesia
Lahan basah, khususnya gambut, menjadi fondasi penting dalam menjaga stabilitas ekologi, ekonomi, dan sosial di Indonesia. Buku “Lahan Basah: Kajian Empirik Sosial Ekonomi dan Lingkungan di Lahan Basah” yang diterbitkan oleh Center of Excellence (CoE) Universitas Riau, menghadirkan analisis multidisipliner berbasis riset lapangan di Riau—provinsi dengan salah satu kawasan gambut terluas di dunia. Buku ini membedah potensi, tantangan, dan solusi pengelolaan lahan basah dari berbagai aspek, mulai dari pertanian, perikanan, kebencanaan, hingga kearifan lokal dan inovasi teknologi.
Artikel ini merangkum dan mengkritisi temuan utama buku tersebut, menyoroti angka-angka penting, studi kasus aktual, serta menghubungkannya dengan tren nasional dan global. Dengan gaya populer dan SEO-friendly, resensi ini diharapkan menjadi rujukan bagi akademisi, pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas yang peduli pada keberlanjutan sumber daya alam Indonesia.
Gambaran Umum: Mengapa Lahan Basah Penting?
Lahan basah di Indonesia meliputi rawa, gambut, mangrove, dan perairan dangkal yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Riau sendiri memiliki lebih dari 4,9 juta hektar lahan gambut, atau sekitar 55% dari luas daratannya. Fungsi lahan basah sangat vital:
Namun, lahan basah juga menghadapi tekanan besar akibat konversi, drainase, kebakaran, dan eksploitasi berlebihan yang berujung pada kerusakan lingkungan dan bencana ekologis.
Studi Kasus dan Data Empirik: Potret Lahan Basah di Riau
1. Potensi Gambut Bengkalis untuk Pertanian Berkelanjutan
Kabupaten Bengkalis, Riau, memiliki 647.962 ha lahan gambut (76,05% dari luas daratan). Komoditas utama yang dikembangkan di lahan ini meliputi kelapa sawit, karet, kelapa, sagu, dan nenas. Data tahun 2016 menunjukkan:
Alih fungsi lahan dari karet ke sawit terjadi hampir merata, didorong oleh jaminan pasar dan produktivitas ekonomi sawit yang lebih tinggi. Namun, konversi ini juga membawa risiko lingkungan seperti penurunan kualitas tanah, kebakaran, dan hilangnya keanekaragaman hayati1.
2. Nilai Ekonomi Budidaya Ikan Baung di Lahan Basah
Budidaya ikan baung (Hemibagrus nemurus) di lahan basah menawarkan nilai ekonomi tinggi. Studi di Riau dan Jambi menunjukkan:
Teknologi probiotik dan bioflok terbukti meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan ikan, sehingga budidaya ikan baung di lahan basah menjadi alternatif ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan1.
3. Pencegahan Kebakaran di Pesisir: Pola Usahatani dan Peran Sagu
Kabupaten Bengkalis juga dikenal rawan kebakaran lahan gambut, terutama di musim kemarau. Studi menunjukkan bahwa:
Masyarakat mulai didorong untuk mengadopsi pola pertanian tanpa bakar dan menanam komoditas lahan basah seperti sagu, yang membutuhkan kondisi lembab dan efektif mencegah kebakaran. Budidaya sagu juga memberikan pendapatan tambahan dan menjaga fungsi ekosistem gambut1.
Analisis Tantangan: Kendala Pengelolaan Lahan Basah
1. Kelembagaan dan Tata Kelola
Belum ada lembaga khusus yang bertanggung jawab penuh atas koordinasi pengelolaan lahan gambut di tingkat lokal maupun nasional. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih kebijakan, lemahnya pengawasan, dan rawan konflik antar pemangku kepentingan.
2. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan lahan gambut masih rendah. Banyak program berjalan tanpa melibatkan kearifan lokal, sehingga sering gagal di lapangan dan menimbulkan resistensi.
3. Kerusakan Tata Air dan Illegal Logging
Pembangunan parit dan saluran tanpa pengelolaan yang baik menyebabkan lahan gambut mengering dan mudah terbakar. Illegal logging dan konversi lahan tanpa reboisasi memperparah kerusakan ekosistem dan meningkatkan risiko bencana.
4. Data dan Informasi Terbatas
Keterbatasan data biofisik, sosial ekonomi, dan kelembagaan menghambat perumusan kebijakan berbasis bukti dan implementasi teknologi tepat guna.
Studi Kasus Inspiratif: Manajemen Komunikasi Lingkungan Berbasis Ekowisata Mangrove
Di Desa Pangkalan Jambi, Kabupaten Bengkalis, PT Pertamina melalui program CSR berhasil mengembangkan ekowisata mangrove berbasis komunitas nelayan. Hasilnya:
Model komunikasi lingkungan yang diterapkan menekankan partisipasi, gotong royong, dan kolaborasi multipihak (pemerintah, swasta, masyarakat, dan perguruan tinggi). Keberhasilan ini menjadi contoh replikasi nasional untuk pengelolaan ekosistem mangrove dan mitigasi bencana pesisir1.
Kebencanaan Ekologis: Risiko dan Mitigasi di Lahan Gambut
1. Kebakaran Hutan dan Lahan
2. Subsiden dan Banjir
3. Abrasi dan Longsor
4. Mitigasi dan Restorasi
Inovasi Teknologi dan Kearifan Lokal: Pilar Keberlanjutan
1. Pertanian Ramah Lingkungan
Penggunaan pupuk hayati dan agens hayati (Beauveria bassiana) pada budidaya padi gogo di lahan marginal terbukti meningkatkan hasil panen dan mengurangi penggunaan pupuk kimia hingga 75%. Kombinasi teknologi dan kearifan lokal menjadi kunci pertanian berkelanjutan di lahan basah.
2. Kearifan Lokal dan Hukum Adat
Model pengelolaan lingkungan berbasis adat seperti Andiko 44 di Kabupaten Kampar menunjukkan bahwa integrasi nilai adat, peran ninik mamak, dan hukum negara efektif menjaga kelestarian hutan dan mencegah kebakaran. Nilai-nilai seperti larangan menebang pohon tanpa izin, pemanfaatan hasil hutan secara bijak, dan pengawasan kolektif menjadi basis pengelolaan berkelanjutan.
Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Buku ini menegaskan pentingnya pendekatan multidisipliner dan partisipatif dalam pengelolaan lahan basah. Jika dibandingkan dengan riset internasional (misal Warren dkk., 2016; Lilleskov dkk., 2019), temuan buku ini konsisten bahwa lahan gambut Asia Tenggara sangat rentan terhadap deforestasi, drainase, dan kebakaran. Namun, kekuatan buku ini terletak pada kedalaman studi kasus lokal, keterlibatan masyarakat, dan aplikasi teknologi tepat guna.
Kritik utama adalah perlunya penguatan kelembagaan dan harmonisasi kebijakan lintas sektor, serta peningkatan akses data dan teknologi bagi petani dan masyarakat lokal. Selain itu, insentif ekonomi untuk konservasi dan restorasi masih minim, sehingga adopsi praktik ramah lingkungan berjalan lambat.
Kaitan dengan Tren Global dan Industri
Rekomendasi Strategis
Lahan Basah sebagai Masa Depan Pembangunan Berkelanjutan
Buku “Lahan Basah: Kajian Empirik Sosial Ekonomi dan Lingkungan di Lahan Basah” menegaskan bahwa lahan basah bukan sekadar aset ekologis, tetapi juga fondasi ekonomi dan sosial bagi pembangunan berkelanjutan Indonesia. Studi kasus di Riau membuktikan bahwa integrasi ilmu pengetahuan, teknologi, kearifan lokal, dan tata kelola partisipatif adalah kunci untuk mengatasi krisis lingkungan dan bencana ekologi di lahan basah.
Dengan mengadopsi rekomendasi dan inovasi yang ditawarkan, Indonesia dapat menjadi pelopor pengelolaan lahan basah berkelanjutan di tingkat global, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga warisan alam untuk generasi mendatang.
Sumber Asli
Bakce, D., Syahza, A., Suwondo, S., Wawan, W., Suprayogi, I., Sulaiman, R., Mustofan, R., Asmit, B., (2021). Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Cetakan Pertama. Unri Press, Pekabaru
LAHAN BASAH: Kajian Empirik Sosial Ekonomi dan Lingkungan di Lahan Basah
Center of Excellence (CoE) Universitas Riau
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025
Mengapa Penegakan Hukum Lingkungan Penting?
Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas, namun ironisnya, juga menghadapi krisis lingkungan yang semakin kompleks, terutama di sektor perkebunan dan kehutanan. Salah satu isu krusial adalah efektivitas penegakan hukum lingkungan, yang menjadi ujian nyata bagi komitmen negara dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan hak masyarakat. Tesis karya Frengky Ever Wambrauw berjudul “Efektivitas Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap PT. Medcopapua Hijau Selaras di Kabupaten Manokwari” menjadi referensi penting untuk memahami dinamika, tantangan, dan realitas penegakan hukum lingkungan di tanah Papua Barat.
Artikel ini mengupas temuan utama, studi kasus, serta angka-angka dari penelitian tersebut, disertai analisis kritis dan relevansi terhadap tren nasional serta global. Dengan gaya populer dan SEO-friendly, artikel ini diharapkan memperluas pemahaman masyarakat, pembuat kebijakan, dan pelaku industri tentang pentingnya penegakan hukum lingkungan yang adil dan efektif.
Dilema Pembangunan dan Lingkungan di Papua Barat
Papua Barat merupakan salah satu wilayah dengan potensi sumber daya alam terbesar di Indonesia. Namun, eksploitasi sumber daya, khususnya melalui ekspansi perkebunan kelapa sawit, telah membawa dampak serius terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. PT. Medcopapua Hijau Selaras (PT. MPHS) menjadi salah satu perusahaan yang beroperasi di Distrik Sidey, Masni, dan Manokwari Utara dengan luas konsesi mencapai 13.850 hektar.
Dampak lingkungan yang ditimbulkan meliputi deforestasi, pencemaran air dan tanah, serta perubahan sosial-ekonomi masyarakat adat Papua. Masalah yang paling menonjol adalah penurunan kualitas air akibat limbah operasional pabrik sawit, yang tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga mengancam kesehatan dan mata pencaharian masyarakat sekitar.
Kerangka Hukum Lingkungan di Indonesia
Penegakan hukum lingkungan di Indonesia diatur melalui beberapa instrumen utama:
UUPPLH mengatur tiga jalur penegakan hukum: administrasi, perdata, dan pidana. Sanksi administratif meliputi peringatan, penghentian kegiatan, hingga pencabutan izin. Sanksi perdata menekankan pada ganti rugi, sedangkan sanksi pidana dapat berupa penjara dan denda.
Studi Kasus: PT. Medcopapua Hijau Selaras di Manokwari
Kronologi dan Fakta Lapangan
PT. MPHS memperoleh izin lokasi dan usaha perkebunan dari Bupati Manokwari pada tahun 2007, serta izin lingkungan (AMDAL) pada tahun 2008. Perusahaan juga mengantongi izin pelepasan kawasan hutan seluas 6.791,24 hektar dan izin pemanfaatan kayu untuk area seluas 350 hektar.
Namun, sejak beroperasi, perusahaan ini kerap menjadi sumber keluhan masyarakat terkait pencemaran limbah cair yang menyebabkan air dan tanah di sekitar pabrik berubah warna dan berbau tidak sedap. Pada Februari 2019, masyarakat Distrik Sidey secara terbuka mengeluhkan pencemaran tersebut, namun respons dari pemerintah dan aparat penegak hukum dinilai lamban dan tidak memadai.
Dampak Sosial dan Ekologis
Analisis Pelanggaran Hukum Lingkungan oleh PT. MPHS
Penelitian ini menemukan bahwa PT. MPHS diduga kuat melanggar beberapa pasal dalam UUPPLH, khususnya:
Pelanggaran ini seharusnya dapat dijerat sanksi pidana dengan ancaman penjara minimal 3 tahun dan denda minimal 3 miliar rupiah. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum berjalan sangat lambat dan tidak efektif.
Evaluasi Efektivitas Penegakan Hukum
Penegakan Hukum Administrasi
PT. MPHS telah tiga kali dijatuhi sanksi administratif oleh pemerintah daerah, namun tetap saja beroperasi dan tidak ada perubahan signifikan dalam pengelolaan limbah. Sanksi administratif yang diberikan hanya berupa teguran tanpa tindakan tegas seperti penghentian operasi atau pencabutan izin.
Penegakan Hukum Perdata
Tidak ada satu pun gugatan perdata yang diajukan oleh pemerintah, masyarakat, maupun organisasi lingkungan terhadap PT. MPHS. Hal ini menunjukkan lemahnya akses keadilan dan rendahnya posisi tawar masyarakat lokal.
Penegakan Hukum Pidana
Meskipun bukti pelanggaran cukup kuat, hingga penelitian ini selesai tidak ada proses pidana terhadap PT. MPHS. Aparat penegak hukum dinilai tidak profesional dan tidak adil dalam menangani kasus ini. Padahal, secara teori, pelanggaran yang dilakukan sudah memenuhi unsur pidana lingkungan.
Faktor Penghambat Efektivitas Penegakan Hukum
Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor utama penghambat efektivitas penegakan hukum lingkungan:
Perbandingan dengan Studi dan Kasus Lain
Penelitian ini sejalan dengan berbagai studi sebelumnya yang menunjukkan lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, khususnya di sektor perkebunan dan kehutanan. Studi oleh Cicilia Sulastri (UI, 2003) dan Nunung Prihatining Tias (Undip, 2009) juga menemukan bahwa faktor utama penghambat efektivitas adalah lemahnya aparat penegak hukum dan minimnya partisipasi masyarakat.
Namun, yang membedakan kasus PT. MPHS adalah konteks Papua Barat, di mana masyarakat adat memiliki ketergantungan tinggi pada hutan dan sumber daya alam. Kerugian ekologis di Papua tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada identitas dan keberlanjutan budaya masyarakat adat.
Kaitan dengan Tren Nasional dan Global
Tren Nasional
Tren Global
Opini dan Rekomendasi
Opini Kritis
Penegakan hukum lingkungan di Papua Barat masih jauh dari harapan. Kasus PT. MPHS menunjukkan bahwa regulasi yang baik tanpa implementasi yang tegas hanya akan menjadi dokumen kosong. Aparat penegak hukum perlu diberdayakan dan diawasi secara ketat agar tidak mudah diintervensi oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.
Rekomendasi Kebijakan
Studi Kasus Nyata: Inspirasi dari Daerah Lain
Sebagai perbandingan, beberapa daerah di Indonesia telah berhasil menegakkan hukum lingkungan secara efektif, misalnya:
Keberhasilan di daerah lain menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan yang efektif sangat mungkin dicapai jika ada komitmen, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Masa Depan Penegakan Hukum Lingkungan di Papua Barat
Penelitian ini menegaskan bahwa penegakan hukum lingkungan di Papua Barat, khususnya terhadap PT. Medcopapua Hijau Selaras, masih sangat lemah dan tidak efektif. Dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan sangat besar, namun belum ada langkah hukum yang tegas dan berpihak pada masyarakat serta lingkungan.
Untuk masa depan yang lebih baik, diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem penegakan hukum lingkungan, mulai dari penguatan regulasi, pemberdayaan aparat, hingga partisipasi aktif masyarakat. Hanya dengan cara ini, Papua Barat dapat menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat di tengah tekanan pembangunan ekonomi.
Sumber Asli
Frengky Ever Wambrauw. Efektivitas Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap PT. Medcopapua Hijau Selaras di Kabupaten Manokwari. Tesis Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, 2021.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025
Indonesia, negara kepulauan dengan kekayaan alam melimpah, menghadapi tantangan besar: eksploitasi sumber daya, kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan ketimpangan sosial. Dalam konteks inilah, buku “Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim” menjadi sangat relevan. Buku ini tidak hanya menyorot perjalanan dan pemikiran Prof. Emil Salim, tetapi juga menampilkan bagaimana konsep pembangunan berkelanjutan diadopsi dan diimplementasikan di Indonesia, sekaligus mengaitkannya dengan dinamika global seperti SDGs dan krisis iklim.
Transformasi Paradigma: Dari Ekonomi Konvensional ke Pembangunan Berkelanjutan
Pada era 1970-an, pembangunan nasional masih identik dengan pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi. Namun, Emil Salim—salah satu tokoh penting di balik perubahan paradigma ini—menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi harus selaras dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial. Sebagai delegasi Indonesia di Konferensi Stockholm 1972, Emil Salim membawa gagasan bahwa pembangunan harus memikirkan masa depan, bukan sekadar mengejar keuntungan sesaat.
Ciri utama paradigma pembangunan berkelanjutan menurut Emil Salim:
Pilar Pembangunan Berkelanjutan dan Implementasinya
Tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan—ekonomi, sosial, dan lingkungan—menjadi fondasi seluruh kebijakan yang diperjuangkan Emil Salim. Bagaimana realisasinya di Indonesia?
Pilar Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi harus inklusif dan berkelanjutan. Emil Salim menekankan pentingnya investasi pada sumber daya manusia, teknologi ramah lingkungan, dan pengurangan ketergantungan pada industri ekstraktif yang merusak lingkungan.
Pilar Sosial
Pembangunan sosial diarahkan pada pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, kesehatan, dan pemerataan akses layanan dasar. Emil Salim memperjuangkan keadilan sosial dan perlindungan kelompok rentan, termasuk masyarakat adat dan perempuan.
Pilar Lingkungan
Perlindungan lingkungan menjadi prioritas. Emil Salim mendorong konservasi hutan, pengelolaan limbah, dan penegakan hukum lingkungan. Ia juga menekankan pentingnya tata ruang yang berwawasan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal.
Studi Kasus Inspiratif: Jejak Emil Salim dalam Kebijakan Nasional
Pembentukan Kementerian Lingkungan Hidup
Pada 1978, Indonesia menjadi pelopor di Asia dengan membentuk Kementerian Lingkungan Hidup, dipimpin langsung oleh Emil Salim. Langkah ini menandai integrasi isu lingkungan ke dalam kebijakan nasional.
Program Kali Bersih (Prokasih)
Diluncurkan pada 1989, Prokasih adalah program kolaboratif antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk mengendalikan pencemaran sungai. Dalam satu dekade, Prokasih berhasil menurunkan beban limbah industri di 20 sungai utama, dengan ribuan ton limbah berbahaya berhasil direduksi setiap tahunnya.
Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper)
Proper adalah inovasi penilaian kinerja lingkungan perusahaan yang berbasis transparansi. Program ini mendorong perusahaan berlomba-lomba memperbaiki kinerja lingkungan, terbukti dari meningkatnya jumlah perusahaan yang meraih peringkat hijau dan emas dari tahun ke tahun.
Extractive Industries Review (EIR)
Sebagai ketua EIR, Emil Salim memimpin evaluasi dampak industri ekstraktif oleh Bank Dunia. Rekomendasinya menegaskan bahwa investasi di sektor pertambangan dan energi harus memenuhi prinsip keberlanjutan dan perlindungan HAM. Standar ini kini menjadi rujukan global dalam praktik ESG (Environmental, Social, Governance).
Data dan Fakta: Tantangan dan Dampak Kebijakan
Analisis Kritis: Relevansi, Kritik, dan Pembelajaran
Relevansi di Era Industri 4.0 dan Krisis Iklim
Paradigma pembangunan berkelanjutan yang diperjuangkan Emil Salim semakin relevan di era digitalisasi, urbanisasi, dan perubahan iklim. Tantangan seperti polusi, banjir, dan kemiskinan kota menuntut integrasi antara inovasi teknologi, perlindungan lingkungan, dan pembangunan sosial yang inklusif.
Kritik atas Implementasi
Walau Indonesia telah memiliki regulasi lingkungan yang kuat, pelaksanaan di lapangan masih sering terhambat oleh tumpang tindih kebijakan, lemahnya penegakan hukum, dan korupsi. Banyak program lingkungan masih bersifat top-down dan kurang melibatkan masyarakat lokal secara bermakna. Studi kasus Prokasih dan Proper menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat adalah kunci keberhasilan.
Ekonomi vs Lingkungan: Dilema Abadi
Kasus industri batubara menjadi contoh nyata: kontribusi besar pada ekonomi, tetapi menimbulkan polusi dan kerusakan lingkungan yang mahal biayanya. Emil Salim menegaskan pentingnya menghitung biaya eksternalitas dalam setiap proyek pembangunan.
Perbandingan dengan Tren Global
Konsep pembangunan berkelanjutan ala Emil Salim sejalan dengan SDGs dan Paris Agreement. Negara-negara Skandinavia lebih berhasil dalam mengintegrasikan ekonomi hijau dan circular economy ke kebijakan nasional. Indonesia perlu memperkuat insentif ekonomi hijau dan kolaborasi lintas sektor agar tidak tertinggal.
Kaitan dengan Industri dan Bisnis Modern
SDGs dan Green Economy
Implementasi SDGs di Indonesia masih menghadapi tantangan pada indikator lingkungan seperti pengelolaan limbah dan energi terbarukan. Emil Salim menekankan pentingnya investasi pada green economy, inovasi teknologi, dan penguatan kapasitas SDM.
ESG dan Bisnis Berkelanjutan
Tren global menuntut perusahaan menerapkan prinsip ESG. Proper dan Prokasih adalah contoh awal ESG di Indonesia, namun perusahaan perlu melangkah lebih jauh dengan circular economy, dekarbonisasi rantai pasok, dan pelaporan keberlanjutan yang transparan.
Urbanisasi dan Tata Ruang
Urbanisasi pesat menuntut tata kelola ruang yang berkelanjutan. Emil Salim mengingatkan pentingnya penataan ruang yang mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta menghindari konflik kepentingan dalam pembangunan infrastruktur.
Studi Kasus Tambahan: Pengelolaan Hutan dan Agraria
Pengelolaan Hutan Lestari
Emil Salim memperjuangkan pendekatan pengelolaan hutan lestari dan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Indonesia kini menjadi pelopor dalam perdagangan karbon dan konservasi hutan tropis dunia.
Pembaruan Kebijakan Agraria
Emil Salim menekankan pentingnya akses masyarakat adat terhadap sumber daya alam dan penguatan ekonomi lokal berbasis kearifan lokal. Pembaruan agraria menjadi agenda utama untuk mengurangi konflik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan
Warisan Emil Salim dan Tantangan Masa Depan
Buku ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi juga panduan strategis menghadapi tantangan abad ke-21. Emil Salim membuktikan bahwa perubahan paradigma, inovasi kebijakan, dan kolaborasi lintas sektor adalah kunci menuju Indonesia yang adil, makmur, dan lestari. Di tengah krisis iklim dan disrupsi teknologi, warisan pemikiran dan aksi Emil Salim tetap relevan: membangun Indonesia dengan menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.
Tantangan ke depan adalah memastikan warisan ini diadopsi, diadaptasi, dan diimplementasikan oleh generasi muda, pembuat kebijakan, dan seluruh elemen bangsa.
Sumber Asli
Azis, Iwan J. dkk. (Editor). Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2010.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Sungai Rungan dan Krisis Sumber Daya Alam Lokal
Sungai Rungan, salah satu cabang utama Sungai Kahayan di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, selama puluhan tahun menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Dayak dan komunitas lokal di sekitarnya. Namun, perubahan lingkungan, eksploitasi berlebihan, dan lemahnya pengelolaan telah menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan dan sumber pendapatan utama masyarakat, khususnya dari sektor perikanan. Paper karya Nova Riyanti, M. Riban Satia, dan Muh Azhari ini mengupas secara mendalam bagaimana pengelolaan sumber daya alam di sempadan Sungai Rungan dapat dioptimalkan sebagai sumber ekonomi masyarakat, sekaligus mengidentifikasi hambatan dan peluang yang ada.
Latar Belakang: Potret Sumber Daya Alam dan Ketergantungan Ekonomi
Fakta Kunci dan Konteks Lokal
Pendekatan Kualitatif dan Studi Lapangan
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi literatur. Lokasi penelitian difokuskan pada sempadan Sungai Rungan yang melintasi beberapa kelurahan strategis. Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk menangkap dinamika, kompleksitas, dan potensi pengelolaan sumber daya alam di kawasan ini.
Temuan Utama: Potensi, Kearifan Lokal, dan Peluang Diversifikasi Ekonomi
1. Potensi Sumber Daya Alam yang Belum Terkelola Optimal
2. Kearifan Lokal dan Wisata Religi
3. Ketergantungan pada Bantuan dan Minimnya Inovasi
Studi Kasus: Dinamika Ekonomi dan Lingkungan di Sempadan Sungai Rungan
Studi Kasus 1: Dampak Illegal Mining dan Penurunan Kualitas Air
Studi Kasus 2: Kearifan Lokal sebagai Penjaga Ekosistem
Studi Kasus 3: Program Green Belt dan Pemberdayaan Masyarakat
Analisis Faktor Penghambat Pengelolaan Sumber Daya Alam
1. Kepemilikan Pribadi dan Ketimpangan Akses Lahan
2. Kelembagaan Lemah dan Kurang Sinergi
3. Minimnya Pemanfaatan Teknologi
4. Kurangnya Edukasi dan Kesadaran
Rekomendasi dan Strategi Pemberdayaan
1. Kolaborasi Pemilik Lahan dan Masyarakat Lokal
2. Inovasi Program Pemerintah
3. Branding dan Wisata Religi-Budaya
4. Pemanfaatan Teknologi dan Riset
Analisis Kritis dan Perbandingan
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global dan Industri
Jalan Panjang Menuju Kemandirian Ekonomi Berbasis Sumber Daya Alam
Paper ini menegaskan bahwa kunci pemberdayaan ekonomi masyarakat sempadan Sungai Rungan adalah pengelolaan sumber daya alam yang terintegrasi, inovatif, dan berbasis kearifan lokal. Kolaborasi, inovasi teknologi, dan penguatan kelembagaan menjadi syarat mutlak agar potensi alam tidak hanya menjadi cerita masa lalu, tetapi juga tumpuan masa depan yang berkelanjutan. Dengan strategi yang tepat, Sungai Rungan bisa kembali menjadi sumber kehidupan, inspirasi, dan kemakmuran bagi masyarakat Palangka Raya.
Sumber Artikel
Nova Riyanti, M. Riban Satia, Muh Azhari. Analisis Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai Sumber Pendapatan Ekonomi Masyarakat Lokal di Sempadan Sungai Rungan Kota Palangka Raya. Pencerah Publik, Volume 7 Issue 2, Oktober 2020, hlm. 11–24.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Urgensi Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, kini menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan industrialisasi memperparah permasalahan seperti sampah, pencemaran, dan kerusakan ekosistem. Paper karya Muhammad Alrizky Ekiawan ini menyoroti pentingnya pengelolaan lingkungan hidup dalam bingkai norma hukum Indonesia, mengulas dasar-dasar hukum, asas, pendekatan, serta peran pemerintah dan masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan12.
Landasan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup: Pilar Konstitusi dan Undang-Undang
Dasar Konstitusional
Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia berakar kuat pada Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3), yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal ini menegaskan peran negara sebagai pengelola utama sumber daya alam, bukan sekadar regulator, tapi juga pelindung hak rakyat atas lingkungan yang baik dan sehat12.
Undang-Undang Pokok
Permasalahan Lingkungan Hidup: Data, Fakta, dan Dampak
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2020, di 384 kota di Indonesia, produksi sampah mencapai 80.235,87 ton per hari. Dari jumlah ini, hanya 4,2% diangkut ke TPA, 37,6% dibakar, 4,9% dibuang ke sungai, dan 53,3% tidak tertangani secara layak. Sampah yang tidak terkelola ini menjadi sumber utama pencemaran tanah, air, dan udara, serta menimbulkan ancaman kesehatan dan bencana lingkungan1.
Selain sampah, pencemaran air dan udara akibat limbah industri, pertambangan, dan urbanisasi juga menjadi masalah akut. Kasus pencemaran Sungai Cikijing di Bandung, misalnya, menjadi preseden penting dalam penegakan hukum lingkungan, di mana pemerintah daerah dan provinsi harus memediasi dan menindak perusahaan pelaku pencemaran sesuai UU No. 32 Tahun 20095.
Asas dan Prinsip Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 2 memuat 10 asas utama yang menjadi landasan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia:
Pendekatan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Paper ini mengidentifikasi 8 pendekatan utama yang dapat diadopsi secara simultan maupun selektif, tergantung karakteristik wilayah dan masalah lingkungan:
1. Pendekatan Teknologi
Mengganti teknologi yang merusak lingkungan dengan yang ramah lingkungan, seperti prinsip 4R (reuse, reduce, recycle, recovery). Contoh: teknologi composting untuk limbah organik, daur ulang limbah non-B3, dan mesin pabrik ramah lingkungan1.
2. Pendekatan Administrasi, Hukum, dan Peraturan
Melalui regulasi ketat seperti AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), UKL/UPL, baku mutu lingkungan, dan tata ruang. Penegakan hukum dilakukan baik secara administratif (izin, sanksi administratif) maupun melalui pengadilan (pidana, perdata)1346.
3. Pendekatan Ekonomi
Memberi nilai ekonomi pada sumber daya lingkungan sehingga biaya lingkungan diinternalisasikan dalam produksi. Contoh: pajak lingkungan, insentif bagi industri hijau, dan skema pembayaran jasa lingkungan1.
4. Pendekatan Pendidikan dan Pelatihan
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui pendidikan formal, informal, dan pelatihan lingkungan. Contoh: diklat AMDAL, pelatihan pengolahan sampah, edukasi sekolah dan komunitas1.
5. Pendekatan Sosial Budaya
Mengintegrasikan kearifan lokal dan tradisi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Contoh: sistem pertanian tradisional, pengelolaan hutan adat, dan pengelolaan sumber daya berbasis komunitas1.
6. Pendekatan Sosio-Politik
Mengelola konflik kepentingan antar pihak melalui musyawarah dan negosiasi, menciptakan win-win solution dalam pengelolaan sumber daya lintas sektor, wilayah, atau etnis1.
7. Pendekatan Ekologis
Berbasis pada konservasi ekosistem, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan berkelanjutan. Contoh: perlindungan kawasan lindung, suaka margasatwa, dan taman nasional1.
8. Pendekatan Agama
Menumbuhkan moral dan etika lingkungan melalui ajaran agama, sehingga masyarakat lebih bijak dalam mengelola alam1.
9. Pendekatan Institusi
Melibatkan lembaga formal dan non-formal, seperti dinas kebersihan, LSM, dan kelompok masyarakat, dalam pengelolaan dan pemanfaatan limbah serta sumber daya lingkungan1.
Studi Kasus: Penegakan Hukum Lingkungan
Kasus Sungai Cikijing, Bandung
Kasus pencemaran Sungai Cikijing di Kabupaten Bandung menjadi contoh nyata penerapan UU No. 32 Tahun 2009. Pemerintah daerah dan provinsi menindak perusahaan pelaku pencemaran dengan upaya administratif dan perdata, serta memediasi agar limbah cair tidak lagi dibuang ke sungai. Kasus ini menegaskan pentingnya peran pemerintah sebagai mediator, penegak hukum, dan pelindung hak masyarakat atas lingkungan sehat5.
Putusan Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg
Studi lain menyoroti kepastian hukum dalam penegakan lingkungan melalui Putusan Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, di mana hakim menggunakan logika hukum indoktriner dan argumentum ad verecundiam untuk memenangkan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa meski perangkat hukum sudah ada, implementasi dan interpretasi di lapangan masih menghadapi tantangan, terutama dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan4.
Tantangan dan Kritik: Implementasi, Kepastian Hukum, dan Partisipasi
Implementasi Hukum
Meski kerangka hukum sudah kuat, implementasi di lapangan masih lemah. Banyak kasus pencemaran yang tidak ditindak tegas, sanksi yang tidak efektif, dan lemahnya monitoring serta pengawasan. Penegakan hukum lingkungan seringkali baru berjalan setelah kerusakan terjadi, bukan sebagai upaya pencegahan346.
Kepastian Hukum
Kepastian hukum bagi masyarakat masih lemah, terutama dalam kasus konflik antara perusahaan dan warga. UU No. 32 Tahun 2009 memang membuka ruang bagi sanksi administratif, perdata, dan pidana, namun dalam praktiknya, proses hukum sering lambat dan tidak berpihak pada korban456.
Partisipasi dan Edukasi
Partisipasi masyarakat masih rendah akibat kurangnya edukasi, akses informasi, dan kesadaran lingkungan. Padahal, keberhasilan pengelolaan lingkungan sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat12.
Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Paper ini sejalan dengan literatur lain yang menekankan pentingnya pendekatan multi-disiplin dan multi-aktor dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kelebihan utama paper ini adalah analisis komprehensif atas asas, pendekatan, dan dasar hukum, serta penekanan pada pentingnya kolaborasi pemerintah dan masyarakat. Namun, paper ini bisa lebih kuat jika menambahkan data kuantitatif kerusakan lingkungan, studi kasus lebih banyak, dan analisis mendalam tentang efektivitas sanksi hukum di Indonesia.
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Menuju Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Efektif dan Berkeadilan
Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia membutuhkan kerangka hukum yang kuat, implementasi yang konsisten, serta kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan pengelolaan lingkungan tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, tetapi harus didukung pendekatan teknologi, pendidikan, budaya, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian, cita-cita Pasal 33 UUD 1945 untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian lingkungan dapat benar-benar terwujud.
Sumber Artikel
Muhammad Alrizky Ekiawan. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Norma Hukum Indonesia. JURNAL RECHTEN: Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia, Vol. 5 No. 2 (2023), hlm. 34–42.