Efektivitas Penegakan Hukum Lingkungan di Papua Barat: Studi Kasus PT. Medcopapua Hijau Selaras

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

18 Juni 2025, 09.26

pixabay.com

Mengapa Penegakan Hukum Lingkungan Penting?

Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas, namun ironisnya, juga menghadapi krisis lingkungan yang semakin kompleks, terutama di sektor perkebunan dan kehutanan. Salah satu isu krusial adalah efektivitas penegakan hukum lingkungan, yang menjadi ujian nyata bagi komitmen negara dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan hak masyarakat. Tesis karya Frengky Ever Wambrauw berjudul “Efektivitas Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap PT. Medcopapua Hijau Selaras di Kabupaten Manokwari” menjadi referensi penting untuk memahami dinamika, tantangan, dan realitas penegakan hukum lingkungan di tanah Papua Barat.

Artikel ini mengupas temuan utama, studi kasus, serta angka-angka dari penelitian tersebut, disertai analisis kritis dan relevansi terhadap tren nasional serta global. Dengan gaya populer dan SEO-friendly, artikel ini diharapkan memperluas pemahaman masyarakat, pembuat kebijakan, dan pelaku industri tentang pentingnya penegakan hukum lingkungan yang adil dan efektif.

Dilema Pembangunan dan Lingkungan di Papua Barat

Papua Barat merupakan salah satu wilayah dengan potensi sumber daya alam terbesar di Indonesia. Namun, eksploitasi sumber daya, khususnya melalui ekspansi perkebunan kelapa sawit, telah membawa dampak serius terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. PT. Medcopapua Hijau Selaras (PT. MPHS) menjadi salah satu perusahaan yang beroperasi di Distrik Sidey, Masni, dan Manokwari Utara dengan luas konsesi mencapai 13.850 hektar.

Dampak lingkungan yang ditimbulkan meliputi deforestasi, pencemaran air dan tanah, serta perubahan sosial-ekonomi masyarakat adat Papua. Masalah yang paling menonjol adalah penurunan kualitas air akibat limbah operasional pabrik sawit, yang tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga mengancam kesehatan dan mata pencaharian masyarakat sekitar.

Kerangka Hukum Lingkungan di Indonesia

Penegakan hukum lingkungan di Indonesia diatur melalui beberapa instrumen utama:

  • Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
  • Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
  • Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

UUPPLH mengatur tiga jalur penegakan hukum: administrasi, perdata, dan pidana. Sanksi administratif meliputi peringatan, penghentian kegiatan, hingga pencabutan izin. Sanksi perdata menekankan pada ganti rugi, sedangkan sanksi pidana dapat berupa penjara dan denda.

Studi Kasus: PT. Medcopapua Hijau Selaras di Manokwari

Kronologi dan Fakta Lapangan

PT. MPHS memperoleh izin lokasi dan usaha perkebunan dari Bupati Manokwari pada tahun 2007, serta izin lingkungan (AMDAL) pada tahun 2008. Perusahaan juga mengantongi izin pelepasan kawasan hutan seluas 6.791,24 hektar dan izin pemanfaatan kayu untuk area seluas 350 hektar.

Namun, sejak beroperasi, perusahaan ini kerap menjadi sumber keluhan masyarakat terkait pencemaran limbah cair yang menyebabkan air dan tanah di sekitar pabrik berubah warna dan berbau tidak sedap. Pada Februari 2019, masyarakat Distrik Sidey secara terbuka mengeluhkan pencemaran tersebut, namun respons dari pemerintah dan aparat penegak hukum dinilai lamban dan tidak memadai.

Dampak Sosial dan Ekologis

  • Banjir 2014: Hujan deras menyebabkan luapan Sungai Wariori yang melintasi perkebunan PT. MPHS, mengakibatkan 139 rumah hanyut dan kerugian materiil miliaran rupiah. Masyarakat setempat meyakini banjir parah baru terjadi setelah hutan di sekitar mereka dibabat habis untuk perkebunan sawit.
  • Pencemaran Air: Limbah cair pabrik menyebabkan air menjadi kuning dan tidak layak konsumsi. Hingga penelitian ini selesai, belum ada laporan laboratorium resmi terkait kadar Ph, TSS, BOD, COD, dan NH3, sehingga tingkat pencemaran secara ilmiah belum dapat dibuktikan secara dokumen.
  • Perubahan Sosial: Masyarakat adat yang semula hidup dari hasil hutan kini menjadi buruh sawit dengan upah rendah, kehilangan akses terhadap sumber pangan tradisional seperti sagu, dan menghadapi kerentanan sosial-budaya.

Analisis Pelanggaran Hukum Lingkungan oleh PT. MPHS

Penelitian ini menemukan bahwa PT. MPHS diduga kuat melanggar beberapa pasal dalam UUPPLH, khususnya:

  • Pasal 98: Sengaja menyebabkan pencemaran lingkungan yang melampaui baku mutu air atau udara.
  • Pasal 99: Kelalaian yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan.
  • Pasal 100: Pelanggaran baku mutu air limbah.

Pelanggaran ini seharusnya dapat dijerat sanksi pidana dengan ancaman penjara minimal 3 tahun dan denda minimal 3 miliar rupiah. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum berjalan sangat lambat dan tidak efektif.

Evaluasi Efektivitas Penegakan Hukum

Penegakan Hukum Administrasi

PT. MPHS telah tiga kali dijatuhi sanksi administratif oleh pemerintah daerah, namun tetap saja beroperasi dan tidak ada perubahan signifikan dalam pengelolaan limbah. Sanksi administratif yang diberikan hanya berupa teguran tanpa tindakan tegas seperti penghentian operasi atau pencabutan izin.

Penegakan Hukum Perdata

Tidak ada satu pun gugatan perdata yang diajukan oleh pemerintah, masyarakat, maupun organisasi lingkungan terhadap PT. MPHS. Hal ini menunjukkan lemahnya akses keadilan dan rendahnya posisi tawar masyarakat lokal.

Penegakan Hukum Pidana

Meskipun bukti pelanggaran cukup kuat, hingga penelitian ini selesai tidak ada proses pidana terhadap PT. MPHS. Aparat penegak hukum dinilai tidak profesional dan tidak adil dalam menangani kasus ini. Padahal, secara teori, pelanggaran yang dilakukan sudah memenuhi unsur pidana lingkungan.

Faktor Penghambat Efektivitas Penegakan Hukum

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor utama penghambat efektivitas penegakan hukum lingkungan:

  • Lemahnya komitmen dan integritas aparat penegak hukum: Banyak kasus mandek karena aparat tidak bertindak tegas, bahkan terkesan melindungi kepentingan perusahaan.
  • Minimnya data ilmiah: Tidak adanya laporan laboratorium resmi membuat pembuktian di pengadilan menjadi sulit.
  • Rendahnya partisipasi masyarakat: Masyarakat lokal kurang terlibat dalam proses pengawasan dan advokasi hukum.
  • Tumpang tindih regulasi dan lemahnya koordinasi antarinstansi: Banyaknya perizinan yang dikeluarkan tanpa pengawasan ketat memperparah situasi.

Perbandingan dengan Studi dan Kasus Lain

Penelitian ini sejalan dengan berbagai studi sebelumnya yang menunjukkan lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, khususnya di sektor perkebunan dan kehutanan. Studi oleh Cicilia Sulastri (UI, 2003) dan Nunung Prihatining Tias (Undip, 2009) juga menemukan bahwa faktor utama penghambat efektivitas adalah lemahnya aparat penegak hukum dan minimnya partisipasi masyarakat.

Namun, yang membedakan kasus PT. MPHS adalah konteks Papua Barat, di mana masyarakat adat memiliki ketergantungan tinggi pada hutan dan sumber daya alam. Kerugian ekologis di Papua tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada identitas dan keberlanjutan budaya masyarakat adat.

Kaitan dengan Tren Nasional dan Global

Tren Nasional

  • Moratorium Sawit: Pemerintah Indonesia telah menerapkan moratorium izin baru perkebunan sawit untuk memperbaiki tata kelola dan mengurangi deforestasi. Namun, kasus PT. MPHS menunjukkan bahwa moratorium saja tidak cukup tanpa penegakan hukum yang tegas.
  • Penguatan Peran Masyarakat Adat: UU Masyarakat Adat dan berbagai peraturan turunannya mendorong pengakuan hak-hak adat, namun implementasinya di lapangan masih lemah.

Tren Global

  • ESG dan Tanggung Jawab Korporasi: Industri sawit global semakin menekankan aspek Environmental, Social, and Governance (ESG). Perusahaan yang gagal memenuhi standar lingkungan berisiko kehilangan akses pasar internasional.
  • Keadilan Iklim: Kerusakan lingkungan di Papua Barat berkontribusi pada krisis iklim global. Penegakan hukum lingkungan menjadi bagian dari upaya global untuk mencapai target Paris Agreement dan SDGs.

Opini dan Rekomendasi

Opini Kritis

Penegakan hukum lingkungan di Papua Barat masih jauh dari harapan. Kasus PT. MPHS menunjukkan bahwa regulasi yang baik tanpa implementasi yang tegas hanya akan menjadi dokumen kosong. Aparat penegak hukum perlu diberdayakan dan diawasi secara ketat agar tidak mudah diintervensi oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Penguatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum: Pelatihan, pengawasan, dan sanksi tegas bagi aparat yang tidak profesional.
  2. Transparansi dan Akses Data: Wajibkan perusahaan dan pemerintah untuk mempublikasikan data lingkungan secara terbuka.
  3. Pemberdayaan Masyarakat Lokal: Libatkan masyarakat adat dalam pengawasan dan advokasi hukum.
  4. Kolaborasi Lintas Sektor: Pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil harus bekerja sama dalam penegakan hukum dan pemulihan lingkungan.
  5. Penerapan Prinsip ESG: Dorong perusahaan sawit untuk mengadopsi standar ESG sebagai syarat utama operasi.

Studi Kasus Nyata: Inspirasi dari Daerah Lain

Sebagai perbandingan, beberapa daerah di Indonesia telah berhasil menegakkan hukum lingkungan secara efektif, misalnya:

  • Kasus PT. Menara Jaya di Jakarta Timur: Penegakan hukum pidana berhasil dilakukan setelah adanya tekanan publik dan bukti ilmiah yang kuat.
  • Program Proper di Jawa Barat: Penilaian kinerja perusahaan berbasis transparansi mendorong perbaikan pengelolaan limbah industri.

Keberhasilan di daerah lain menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan yang efektif sangat mungkin dicapai jika ada komitmen, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Masa Depan Penegakan Hukum Lingkungan di Papua Barat

Penelitian ini menegaskan bahwa penegakan hukum lingkungan di Papua Barat, khususnya terhadap PT. Medcopapua Hijau Selaras, masih sangat lemah dan tidak efektif. Dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan sangat besar, namun belum ada langkah hukum yang tegas dan berpihak pada masyarakat serta lingkungan.

Untuk masa depan yang lebih baik, diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem penegakan hukum lingkungan, mulai dari penguatan regulasi, pemberdayaan aparat, hingga partisipasi aktif masyarakat. Hanya dengan cara ini, Papua Barat dapat menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat di tengah tekanan pembangunan ekonomi.

Sumber Asli

Frengky Ever Wambrauw. Efektivitas Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap PT. Medcopapua Hijau Selaras di Kabupaten Manokwari. Tesis Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, 2021.