Sumber Daya

Nexus dalam Praktik: Resensi Kritis terhadap Pendekatan IWRM Terintegrasi dari UNU-FLORES

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025


Mengapa IWRM Butuh Evolusi?

Selama tiga dekade, Integrated Water Resources Management (IWRM) dikembangkan sebagai pendekatan holistik yang mampu menyatukan udara, tanah, dan sumber daya lainnya dalam satu sistem pengelolaan berkelanjutan. Namun dalam praktiknya, IWRM sering mandek. Dalam makalah “Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Solusi Praktis untuk Mengatasi Kompleksitas dengan Menggunakan Pendekatan Nexus” (Schreier et al., 2014), penulis mengundang hambatan-hambatan besar IWRM dan menawarkan solusi berbasis nexus —sebuah pendekatan yang menjembatani udara, energi, pangan, dan kebijakan secara lintas sektoral. Resensi ini membedah gagasan-gagasan dalam makalah tersebut, memperkuatnya dengan studi kasus, analisis tambahan, serta refleksi kontekstual untuk negara berkembang seperti Indonesia.

IWRM: Konsep Mulia, Realita Rumit

Kompleksitas Ilmiah dan Kelembagaan

Udara bukanlah sumber daya pasif. Ia bergerak secara dinamis, mengalami berbagai perubahan fase dan membawa serta kontaminasi dalam siklusnya. Sementara itu, institusi yang mengelola air sering terbagi-bagi: satu lembaga untuk kualitas, lainnya untuk kuantitas, dan yang lain lagi untuk alokasi atau pemantauan. Menyatukan lembaga-lembaga ini secara terkoordinasi adalah tantangan nyata, terutama di negara dengan birokrasi kompleks seperti Indonesia.

Masalah Skala dan Lintas Batas

Implementasi IWRM pada skala besar (seperti DAS lintas negara) sulit dilakukan. Terfragmentasi data, kebijakan berbeda antar wilayah, dan dampak suatu intervensi bisa baru terasa belasan tahun kemudian di lokasi yang jauh dari titik awal. Contoh: sedimentasi di sedimen dapat menghambat pasokan fosfor alami ke daerah hilir, mengganggu ekosistem perairan (Schindler et al., 2010).

Keunggulan IWRM: Masih Relevan di Skala Mikro dan Meso

Schreier dkk. tetap menekankan bahwa IWRM paling efektif jika diterapkan pada skala kecil hingga menengah. Misalnya:

  • Sub-DAS Saguling (Indonesia) : Analisis interaksi sungai dan pemukiman di daerah ini memungkinkan model spasial yang realistis.
  • Kampung Kota di Jakarta : IWRM skala mikro dapat mengintegrasikan data kualitas air limbah domestik, infiltrasi, dan tata ruang dalam satu sistem.

Kritik Utama terhadap IWRM

Proses Multi-Stakeholder yang Tidak Efisien

Partisipasi luas sering dipuji, tapi dalam praktik, proses memakan waktu lama dan sering menghasilkan kompromi yang setengah hati. Tanpa pendanaan jangka panjang dan kepemimpinan yang kuat, rencana besar ini sering kali hanya berhenti di atas kertas.

Model Terlalu Kompleks, Minim Pengawasan

Model IWRM sering kali rumit secara teknis dan tidak disertai mekanisme pemantauan setelah implementasi. Lahan basah buatan di kota besar, misalnya, sering dibangun tanpa efektivitasnya terhadap beban polusi secara berkala.

Nexus sebagai Solusi: Jalan Tengah yang Realistis

Pendekatan nexus mencoba menyambungkan udara, pangan, dan energi dalam satu sistem. Bukan berarti menciptakan model “super rumit”, tetapi menggerakkan proses dengan fokus pada koneksi esensial yang dapat dieksekusi. Misalnya:

  • Contoh Global : Nexus Platform dari SEI (2011) tekanan efisiensi udara dalam pertanian dan pembangkit listrik.
  • Studi Kasus Indonesia : Di Pulau Lombok, pengelolaan air untuk pertanian bisa dikaitkan langsung dengan krisis energi (pompa diesel) dan krisis pangan (gagal panen akibat salinitas).

Strategi Nyata Menuju IWRM yang Lebih Adaptif

1. Pilah Masalah Utama Terlebih Dahulu

Daripada mencoba menyelesaikan semua masalah dalam satu waktu, mulai dari hal yang paling mendesak dan berdampak besar, seperti polusi rumah tangga atau konversi lahan sawah.

2. Libatkan Aktor Kunci, Bukan Semua Pihak

Pendekatan spektrum yang lebih efektif: ajak pihak yang benar-benar berperan dalam penyebab dan solusi. Misalnya, perusahaan sawit, petani, dan PDAM.

3. Kembangkan Model Modular

Gunakan model adaptif: jika data terbatas, mulai dari pendekatan semi-empiris. Tambahkan modul ketika data bertambah. Model seperti MODFLOW-SWAT cukup cocok untuk ini.

4. Monitoring Kolaboratif

Contoh sukses: CABIN Environment Kanada. Komunitas lokal mengambil sampel, data kemudian divalidasi oleh ahli. Ini bisa direplikasi di DAS Ciliwung dengan universitas lokal.

Mengatasi Tantangan Kebijakan: Sinergi Top-Down dan Bottom-Up

Pemerintah pusat sering ragu mendistribusikan otoritas ke daerah. Padahal, desentralisasi bisa mempercepat inovasi dan menambah ketahanan terhadap bencana iklim.

Langkah praktis:

  • Buat Dewan Daerah Aliran Sungai (DAS) beranggotakan dinas daerah dan komunitas.
  • Kembangkan dashboard data digital dan interaktif.
  • Tawarkan insentif fiskal untuk daerah yang sukses menurunkan konsumsi udara atau memperbaiki kualitas sungai.

Visualisasi Data: Senjata Efektif dalam Komunikasi Publik

Data yang kompleks harus tertanam dalam bentuk visual. Contohnya:

  • Peta interaktif DAS dan kualitas udara
  • Simulasi trade-off antara pengambilan udara dan produksi pangan
  • Video animasi siklus udara lokal

Hal ini penting agar IWRM tidak hanya dipahami oleh teknokrat, tetapi juga masyarakat awam.

Kesimpulan: IWRM Harus Fleksibel, Fokus, dan Kolaboratif

IWRM masih relevan, tetapi harus dirombak agar lebih pragmatis:

  • Skala implementasi sebaiknya terbatas pada mikro dan meso
  • Fokus pada keterkaitan udara–energi–pangan yang nyata
  • Pemantauan dan evaluasi harus menjadi bagian integral sejak awal
  • Keterlibatan masyarakat penting, tetapi harus terstruktur dan terfasilitasi

IWRM bukan soal idealisme manajemen udara, tetapi strategi realistik menghadapi tantangan nyata di era perubahan iklim dan krisis sumber daya.

Sumber:
Schreier, H., Kurian, M., & Ardakanian, R. (2014). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Solusi Praktis untuk Mengatasi Kompleksitas dengan Menggunakan Pendekatan Nexus . Makalah Kerja No. 2. Institut Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengelolaan Terpadu Aliran Material dan Sumber Daya (UNU-FLORES).

Selengkapnya
Nexus dalam Praktik: Resensi Kritis terhadap Pendekatan IWRM Terintegrasi dari UNU-FLORES

Sumber Daya

Menghadapi Krisis Lingkungan di Indonesia: Resensi Kritis atas Laporan DRN tentang Pembangunan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025


Pendahuluan: Di Ambang Krisis atau Peluang?

Indonesia berada di titik kritis: laju kerusakan lingkungan meningkat, sementara eksploitasi sumber daya terus berlanjut atas nama pembangunan. Namun, di balik tantangan tersebut, tersimpan peluang transformatif yang dapat menjadikan negeri ini pionir pembangunan berkelanjutan. Artikel ini mengupas laporan Dewan Riset Nasional (DRN) tahun 2003 berjudul Tantangan dan Peluang Lingkungan dalam Pembangunan yang Berkelanjutan, dengan parafrase dan analisis tambahan yang lebih relevan untuk konteks masa kini.

Pembangunan Tidak Selalu Berarti Kemajuan

Ketergantungan pada Luar Negeri

Laporan ini mengungkap fakta suram: Indonesia terlalu menggantungkan pembangunan pada pinjaman luar negeri, teknologi asing, dan ekspor bahan mentah. Hal ini menggerus kemandirian dan menciptakan ketergantungan struktural. Data impor beras (2 juta ton), kedelai (1 juta ton), dan gandum (4,3 juta ton) menunjukkan betapa rapuhnya ketahanan pangan negeri ini.

Pembangunan Belum Berkelanjutan

Menurut DRN, Indonesia mengalami "depresiasi SDA sebesar 17% dari PDB". Sementara itu, tabungan bersih yang diperoleh hanya 15% dari PDB. Artinya, kita kehilangan lebih banyak dari yang kita simpan. Ini adalah indikator pembangunan yang merugikan generasi masa depan.

Konservasi & Rehabilitasi: Misi yang Terlupakan

Eksploitasi Tanpa Reklamasi

Sebanyak 138 izin tambang di hutan lindung ditolak, namun 15 lainnya tetap diizinkan beroperasi karena izin terbit sebelum penetapan kawasan. Dampaknya? Kerusakan ekologis permanen.

Reboisasi yang Tertunda

Dengan laju kerusakan hutan mencapai 2,1 juta ha/tahun dan total kerusakan hingga 43 juta ha, upaya rehabilitasi masih minim. Padahal, dibutuhkan Rp 1,6 triliun untuk menanam ulang 300 ribu ha hutan, namun dana pembangunan hutan hanya Rp 8,3 triliun.

Pendidikan & SDM: Investasi Masa Depan

Minimnya Tenaga Ahli Lingkungan

Kurangnya integrasi pendidikan lingkungan ke semua sektor pembangunan menghambat adopsi prinsip berkelanjutan. Mayoritas tenaga kerja ada di sektor pertanian (44,9%), namun produktivitas dan kontribusinya terhadap PDB sangat kecil (0,4%).

Usulan Pendidikan Lingkungan Terpadu

DRN mendorong pembentukan Sekolah Tinggi Ilmu Lingkungan serta kursus berjenjang dari penyusun AMDAL hingga auditor lingkungan, yang penting untuk memperkuat kapasitas institusional.

Peluang Strategis: Dari SDA ke Nilai Tambah

Masih Mengekspor Mentah

Data menunjukkan Indonesia mengekspor 422 juta kg produk laut, tapi konsumsi protein domestik masih rendah (±4 kg/kapita/tahun). Artinya, rakyat belum mendapatkan gizi cukup dari kekayaan lautnya sendiri.

Optimalisasi SDA: Redesign dan Biosafety

DRN menyarankan prinsip "9R": Reduce, Reuse, Replace, Recycle, dan sebagainya, demi memaksimalkan efisiensi SDA. Biosafety juga penting untuk menghadapi tantangan GMO dan eksploitasi hayati.

Kritik dan Perbandingan

Perlu Integrasi dengan IWRM dan Nexus Pendekatan

Laporan DRN belum membahas integrasi tata kelola air dan energi-pangan (Nexus). Dibandingkan dengan pendekatan seperti IWRM (Integrated Water Resource Management), strategi DRN masih sektoral dan kurang konvergen.

Minimnya Studi Kasus Lapangan

Meskipun ada beberapa data kuantitatif, laporan ini lemah dalam studi kasus atau pembelajaran praktik terbaik dari daerah. Padahal, banyak inovasi lokal yang bisa jadi inspirasi, seperti konservasi partisipatif di Gunung Kidul atau restorasi mangrove di Demak.

Rekomendasi Kebijakan Tambahan

  1. Moratorium Eksploitasi SDA Tanpa Rencana Reklamasi
  2. Insentif Fiskal untuk Industri Berbasis Daur Ulang
  3. Integrasi Pendidikan Lingkungan ke Kurikulum Wajib Nasional
  4. Pendanaan Hijau Daerah Berbasis Nilai Ekosistem
  5. Kewajiban Audit Lingkungan untuk Proyek Skala Besar

Dampak Industri dan Tren Global

  • ESG Investing: Laporan ini bisa menjadi dasar untuk menciptakan indikator ESG lokal.
  • Green Jobs: Potensi 4 juta pekerjaan hijau di sektor pertanian, energi terbarukan, dan daur ulang.
  • Ekonomi Sirkular: Jika rekomendasi DRN dijalankan, Indonesia bisa menghemat Rp 300 triliun/tahun dari pengolahan limbah dan efisiensi SDA.

Kesimpulan: Laporan Lama, Relevansi Baru

Laporan DRN tahun 2003 tetap relevan. Bahkan, dengan krisis iklim dan tekanan populasi saat ini, isinya menjadi semakin mendesak. Namun perlu diperbarui dengan data dan pendekatan terkini. Dengan mengadopsi teknologi, reformasi regulasi, dan partisipasi masyarakat, Indonesia punya peluang emas untuk memimpin transformasi hijau di Asia Tenggara.

Sumber: Dewan Riset Nasional. (2003). Tantangan dan Peluang Lingkungan dalam Pembangunan yang Berkelanjutan. Forum Kerja Lingkungan DRN. November 2003.

Selengkapnya
Menghadapi Krisis Lingkungan di Indonesia: Resensi Kritis atas Laporan DRN tentang Pembangunan Berkelanjutan

Sumber Daya

Pengelolaan Sumber Daya Air Terintegrasi – Solusi Terintegrasi untuk Krisis Air Global?

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 22 Mei 2025


Pendahuluan: Udara, Sumber Kehidupan yang Kini Terancam

Air adalah sumber daya vital yang menopang kehidupan, pembangunan, dan ekosistem. Namun kenyataannya, lebih dari dua miliar manusia kini hidup dalam tekanan udara tinggi, dan 700 juta lainnya diprediksi akan mengungsi akibat kelangkaan udara pada tahun 2030 (UN Environment, 2018). Krisis ini bukan hanya soal ketersediaan fisik air, melainkan cara kita mengelolanya.

Di akhir konsep Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) mengambil peran penting. Makalah yang ditulis oleh Alesia Dedaa Ofori dan Anna Mdee (2021) membedah pendekatan holistik ini dengan detail mendalam, membahas sejarah, konsep, praktik, serta tantangan aktualnya dalam konteks pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 6).

Apa Itu IWRM? Memahami Inti Konsepnya

Definisi dan Pilar Utama

IWRM adalah pendekatan yang mengintegrasikan seluruh aspek pengelolaan udara—baik dari sisi sosial, ekonomi, ekologi, maupun institusional. Tujuannya adalah memastikan pemanfaatan udara yang efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan. Konsep ini dirumuskan dengan prinsip empat utama dalam Konferensi Dublin 1992:

  1. Udara adalah sumber daya terbatas dan rentan
  2. Pengelolaan udara harus partisipatif
  3. Perempuan memegang peran sentral
  4. Udara memiliki nilai sosial dan ekonomi

Prinsip-prinsip ini bukan sekedar idealisme teoritis, melainkan dasar untuk reformasi kebijakan di berbagai negara.

Evolusi Pengelolaan Air: Dari Sektor Tertutup ke Pendekatan Terintegrasi

Dari Praktik Terfragmentasi ke Kebutuhan Integrasi

Sebelum era IWRM, pengelolaan air kerap terpecah-pecah. Misalnya, di Amerika Serikat dan Tiongkok, udara permukaan dan udara tanah dikelola oleh lembaga yang berbeda tanpa koordinasi. Hasilnya? Konflik antarsektor, inefisiensi, dan ketidakadilan dalam alokasi.

IWRM hadir menjawab masalah ini dengan semangat kolaboratif lintas sektor, mulai dari energi, pertanian, hingga lingkungan hidup. Namun sebagaimana dijelaskan dalam makalah, transisi ini tidak mudah.

Studi Kasus Ghana: Implementasi IWRM di Dunia Nyata

Reformasi Struktural dan Tantangan Lapangan

Ghana merupakan salah satu negara di Sub-Sahara Afrika yang menerapkan IWRM secara progresif. Sejak tahun 1996, negara ini membentuk Komisi Sumber Daya Air (WRC) dan mengembangkan rencana IWRM di berbagai wilayah sungai seperti Densu, Pra, dan White Volta.

Prosesnya melibatkan pemetaan pemangku kepentingan, studi sosial-ekonomi, hingga penguatan kapasitas lokal. Dewan Basin dibentuk secara inklusif, melibatkan aktor negara dan non-negara, termasuk tokoh adat, pemuda, perempuan, LSM, dan sektor swasta.

Namun, dalam praktiknya, banyak tantangan muncul:

  • Koordinasi antarlembaga masih lemah
  • Partisipasi masyarakat cenderung simbolik
  • Kesenjangan kekuasaan menghambat keadilan distribusi

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun struktur sudah dibangun, implementasi substansial masih menjadi PR besar .

Tantangan Global dalam Mengarusutamakan IWRM

Kompleksitas Lintas Lembaga dan Sektor

Menurut laporan UNEP (2012), hanya 50% negara yang benar-benar mampu menerapkan IWRM secara efektif. Tiga tantangan utama yang muncul adalah:

  1. Keterbatasan finansial dan infrastruktur teknis
  2. Kurangnya kapasitas kelembagaan dan SDM
  3. Ketimpangan kekuasaan antar pemangku kepentingan

Lebih jauh lagi, makalah ini mengkritisi bahwa banyak negara hanya menyesuaikan kebijakan di atas kertas untuk memenuhi syarat bantuan donor internasional, tanpa komitmen nyata di lapangan.

IWRM vs Nexus: Saling Lengkap atau Saling Gantikan?

IWRM sering dibandingkan dengan pendekatan water-energy-food nexus . Nexus menempatkan udara, pangan, dan energi dalam bobot yang seimbang. Sebaliknya, IWRM tetap menjadikan udara sebagai pusat, namun menyerap dimensi lain dalam kerangka integratif.

Alih-alih bersaing, pendekatan ini seharusnya dipandang sebagai strategi sinergi , terutama dalam konteks perubahan iklim dan krisis multidimensi.

Dimensi Sosial IWRM: Inklusi, Keadilan, dan Gender

Perempuan sebagai Agen Kunci

Dalam banyak budaya, perempuan bertanggung jawab atas rumah tangga. IWRM mengakui peran penting ini dan menempatkan perempuan sebagai aktor penting dalam pengambilan keputusan. Ini menjadi sorotan yang kuat di dalam kertas, sebagai kemajuan signifikan dalam tata kelola sumber daya alam yang sensitif gender .

Keadilan Sosial dan Akses Air

Udara adalah hak dasar manusia. Namun kenyataannya, distribusi udara masih sangat timpang. IWRM berupaya merespons dengan mendorong tarif udara yang adil, perizinan transparan, dan melindungi kelompok rentan. Hal ini sejalan dengan dimensi sosial SDG 6.

Pelajaran Kebijakan dan Rekomendasi Strategi

Kunci Sukses Implementasi IWRM

Dari hasil kajian dan praktik di Ghana serta negara-negara lain, berikut beberapa pelajaran penting:

  • Fleksibilitas kelembagaan : desain kelembagaan harus adaptif terhadap konteks lokal.
  • Kapasitas lokal : pembangunan kapasitas masyarakat harus berkelanjutan, bukan proyek dalam waktu dekat.
  • Koordinasi multisektor dan multilevel : diperlukan harmonisasi antara kebijakan nasional dan lokal.
  • Pemantauan & evaluasi : diperlukan sistem pemantauan kualitas udara dan efektivitas kebijakan berbasis data.

Tantangan Masa Depan

  • Meningkatnya tekanan perubahan iklim
  • Urbanisasi cepat yang mengganggu siklus hidrologi
  • Politisasi distribusi sumber daya alam
  • Perluasan peran sektor swasta yang berpotensi konflik

Penutup: IWRM Bukan Sekadar Teknokrasi, tapi Perjuangan Kolektif

Seperti yang ditegaskan Ofori dan Mdee, IWRM bukanlah solusi instan, melainkan proses panjang yang politis, partisipatif, dan penuh negosiasi. Pendekatan ini menawarkan harapan untuk masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan dalam pengelolaan udara—tetapi hanya jika dijalankan secara inklusif dan konsisten.

Sumber Utama:
Ofori, AD, & Mdee, A. (2021). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu . Dalam W. Leal Filho dkk. (Eds.), Air Bersih dan Sanitasi, Ensiklopedia Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB . Springer.

Selengkapnya
Pengelolaan Sumber Daya Air Terintegrasi – Solusi Terintegrasi untuk Krisis Air Global?

Sumber Daya

Strategi Masa Depan Kelola Air Berkelanjutan di Tengah Krisis Global

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025


Menghadapi Krisis Air Global: Saatnya Manajemen Terintegrasi

Pengelolaan Sumber Daya Air Udara adalah kebutuhan mendasar yang semakin langka. Meski 70% permukaan bumi tertutup udara, hanya sebagian kecil yang dapat dikonsumsi manusia, dan itupun terancam oleh kontaminasi, perubahan iklim, serta tata kelola yang buruk. Dalam konteks inilah, konsep Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) muncul sebagai pendekatan strategi yang menyatukan berbagai sektor dan pemangku kepentingan untuk menjamin pengelolaan air yang efisien, adil, dan berkelanjutan.

Dalam makalah berjudul “Integrated Water Resources Management: A Tool for Sustainable Development” , Dr. Helene Hanna Jazi dari Lebanese University menjabarkan bagaimana IWRM tidak hanya menjadi solusi teknis, tetapi juga alat transformasi sosial dan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang seperti Lebanon.

Apa Itu IWRM? Pendekatan Holistik untuk Masalah Kompleks

IWRM didefinisikan sebagai proses pengelolaan udara, tanah, dan sumber daya terkait secara terkoordinasi demi memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara adil tanpa mengorbankan ekosistem vital. Konsep ini muncul dari konteks global yang berkembang sejak Konferensi Air Dunia di Mar del Plata tahun 1977 dan terus diperkuat dalam forum-forum seperti World Water Forum dan UNCED (Rio Summit 1992).

Prinsip-Prinsip Utama IWRM:

  • Udara sebagai sumber ekonomi dan sosial.
  • Pendekatan partisipatif melibatkan masyarakat.
  • Pengakuan akan peran penting perempuan dalam pengelolaan udara.
  • Keseimbangan antara konservasi dan eksploitasi sumber daya udara.

Dengan pendekatan lintas sektor, IWRM mendorong kolaborasi antara lembaga pemerintah, swasta, masyarakat sipil, dan pengguna air secara langsung.

Data Global: Mengapa IWRM Mendesak?

Meski dunia punya cukup air untuk 7 miliar orang, distribusinya sangat tidak merata. Laporan PBB tahun 2009 mencatat bahwa 2,3 miliar orang telah mendapat akses udara yang layak antara tahun 1990–2012, namun jutaan lainnya masih hidup di wilayah rentan. Ditambah lagi, perubahan iklim memicu kelangkaan udara secara fisik dan kualitas.Di kawasan Mediterania, contohnya, terjadi konflik antara memunculkan kebutuhan di musim panas dengan ketersediaan air yang justru tinggi di musim hujan. Ketimpang musiman ini menjadi alasan mengapa strategi seperti IWRM diperlukan — bukan hanya untuk mengatur pasokan, tetapi juga membentuk sistem adaptif terhadap pemanasan iklim.

Dampak IWRM: Sosial, Ekonomi, dan Ekologis

1. Sosial:

IWRM memperluas akses ke air bersih dan sanitasi yang bermanfaat, meningkatkan kesehatan, dan mengurangi ketergantungan pada bantuan luar. Di wilayah-wilayah terpencil seperti pulau kecil, pendekatan ini melindungi masyarakat dari guncangan iklim dan krisis pasokan udara.

2. Ekonomi:

Penelitian menunjukkan bahwa pasokan udara yang stabil berkontribusi pada pertumbuhan PDB. Negara-negara seperti Lebanon menghadapi dampak ekonomi dari kekurangan udara yang meningkat di musim panas, terutama dalam sektor pertanian dan pariwisata. Implementasi IWRM membantu menjaga produktivitas usaha kecil dan menengah serta mencegah biaya besar dari pembangunan infrastruktur reaktif.

3. Ekologis:

IWRM juga menjaga kelestarian ekosistem udara, mengurangi eksploitasi berlebih pada akuifer dan polusi dari limbah domestik. Misalnya, laporan IPCC menyebutkan bahwa strategi IWRM mampu memperkuat ketahanan terhadap kekeringan di wilayah-wilayah semi-kering seperti Afrika Timur.

Studi Kasus: IWRM di Lebanon — Harapan dan Hambatan

Lebanon adalah contoh penerapan IWRM di negara berkembang. Meski memiliki pasokan udara 1.000 m³/kapita/tahun—salah satu yang tertinggi di Timur Tengah—negara ini menghadapi tantangan besar: hanya 6% dari total hujan udara yang dapat disimpan dan digunakan saat musim kering.

Faktor penyebabnya:

  • Topografi curam yang menyebabkan air cepat mengalir ke laut.
  • Infrastruktur penyimpanan udara yang minim.
  • Jaringan distribusi udara yang boros (tingkat kebocoran tinggi).
  • Kesenjangan pasokan antara wilayah dan musim.

Melalui kerjasama dengan Global Water Partnership (GWP) dan MED EUWI, Lebanon merumuskan National Water Sector Strategy (NWSS) yang mengintegrasikan prinsipyang mengintegrasikan prinsip IWRM. Strategi ini mencakup:

  • Peningkatan efisiensi WEs (Perusahaan Air Minum).
  • Optimalisasi infrastruktur pengolahan air limbah.
  • Modernisasi irigasi dengan teknologi hemat udara.
  • Penyusunan tarif air berbasis konsumsi aktual.

Namun, tantangannya masih besar: lemahnya kapasitas lembaga teknis, rendahnya insentif penghematan bagi konsumen, dan tumpang tindihnya otoritas antarlembaga menjadi penghambat implementasi nyata.

Tantangan Umum Implementasi IWRM

Penulis menggarisbawahi bahwa penerapan IWRM bukanlah proses instan. Ia merupakan siklus berkelanjutan yang mencakup:

  1. Perencanaan:rencana Identifikasi permasalahan, tujuan nasional, dan pembuatan rencana aksi.
  2. Implementasi: Penguatan kapasitas kelemb3Penguatan kapasitas kelembagaan dan pelibatan pemangku kepentingan.
  3. Evaluasi: Pemantauan indikator keberPemantauan indikator keberhasilan dan penyusunan kebijakan tindak lanjut.

Tantangan terbesar datang dari fragmentasi struktur birokrasi dan rendahnya sinergi lintas sektor. Banyak negara yang masih menjalankan pengelolaan udara secara sektoral: pertanian sendiri, perkotaan sendiri, lingkungan sendiri — padahal air adalah medium lintas sektor.

Kritik & Bandingan: Apakah IWRM Realistis?

Meski secara teori IWRM sangat ideal, beberapa sejarawan menyebut pendekatan ini terlalu normatif dan sulit diukur. Dibandingkan pendekatan teknokratik seperti pembangunan atau teknologi desalinasi, IWRM membutuhkan lebih banyak waktu, kesabaran, dan komitmen politik.

Namun keunggulannya justru terletak pada keinginan jangka panjang. Misalnya, proyek WEAP di Lebanon memungkinkan simulasi berbagai skenario dan meramalkan dampaknya terhadap pasokan udara di masa depan. Ini jauh lebih preventif dibandingkan pendekatan reaktif.

Relevansi IWRM dengan Tren Global

Dengan krisis iklim yang semakin nyata dan target SDG 6 (akses air bersih untuk semua) semakin dekat, IWRM bisa menjadi pendekatan sistemik yang dibutuhkan banyak negara. Hal ini sejalan dengan strategi transisi menuju ekonomi hijau, di mana sumber daya alam dikelola secara bijak dan kolaboratif.

Kesimpulan: Membangun Ketahanan Air Melalui Kolaborasi

Makalah ini menunjukkan bahwa manajemen udara terintegrasi bukan hanya pilihan, tetapi keharusan di era modern. Dengan tantangan air yang semakin kompleks, solusi pun harus holistik. IWRM menawarkan pendekatan yang tidak hanya mengatasi kekurangan air, tetapi juga memperkuat ketahanan masyarakat, ekonomi, dan ekosistem.

Namun, implementasinya menuntut:

  • Reformasi kelembagaan.
  • Ketersediaan data dan sistem informasi.
  • Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, pelajaran dari Lebanon dapat menjadi cermin: bahwa investasi pada sistem, bukan hanya infrastruktur, adalah kunci pengelolaan udara yang berkelanjutan.

Sumber Referensi:

Sistem Air Jazi, HH (2021). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Alat untuk Pembangunan BerkelanjutanJurnal Teknik T. Jurnal Teknik Masa Depan, 2(1), Artikel 1.

Selengkapnya
Strategi Masa Depan Kelola Air Berkelanjutan di Tengah Krisis Global

Sumber Daya

Belajar dari Kenya: Kekuatan dan Kelemahan WRUA dalam Mengelola Sumber Daya Air Komunitas

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 20 Mei 2025


Mengapa Manajemen Air Komunitas Penting?

Air adalah urat nadi kehidupan. Namun dalam banyak kasus, pengelolaannya masih sentralistik dan jauh dari komunitas yang terdampak langsung. Di sinilah muncul konsep Community-Based Natural Resources Management (CBNRM), termasuk di Kenya dengan inisiatif Water Resources Users Associations (WRUAs). Dalam studi mendalam oleh Richards dan Syallow (2018), WRUA diteliti secara kritis di Mara Basin, Kenya—sebuah kawasan yang secara ekologis penting dan sosial-ekonomi kompleks.

WRUA: Solusi Desentralisasi yang Diuji di Lapangan

WRUA merupakan bentuk kelembagaan lokal yang dimandatkan untuk mengelola sub-catchment sungai secara kolaboratif. Di Kenya, ini didorong oleh regulasi seperti Water Act 2002 dan Water Act 2016, yang menekankan partisipasi masyarakat dan perlindungan environmental flows.

Namun, apakah pelibatan komunitas ini benar-benar berhasil? Richards dan Syallow membedah empat WRUA di Mara Basin (Amala, Leshuta, Isei, dan Naikarra) menggunakan kerangka keadilan dari Schreckenberg et al. (2016), yaitu: recognition, procedure, dan distribution.

Studi Kasus Mara Basin: Apa yang Bisa Dipelajari?

1. Amala WRUA: Partisipasi yang Digerakkan Donor

Didirikan dengan dukungan WWF, Amala WRUA berupaya menanam pohon bernilai ekonomi (alpukat, mangga) di wilayah riparian. Sayangnya, banyak aktivitasnya lebih ditentukan oleh agenda donor dibanding kebutuhan lokal.

2. Leshuta WRUA: Partisipasi Tinggi, Implemetasi Lemah

Berada di wilayah semi-kering, WRUA ini mengandalkan CBO dan diskusi komunitas. Namun, kegiatan nyata seperti rehabilitasi sumber mata air atau perlindungan sempadan sungai seringkali belum terwujud karena ketergantungan pada pihak luar.

3. Isei WRUA: Kepemimpinan Lokal yang Transformatif

Dipimpin oleh seorang mantan pelaku pariwisata, WRUA ini sukses menghubungkan konservasi dengan kesejahteraan ekonomi. Anggotanya menanam 500 bibit teh, melakukan konservasi sumber air, dan bahkan berhasil meningkatkan pendapatan melalui penjualan madu dan susu.

4. Naikarra WRUA: Infrastruktur Jalan Tengah

Dibentuk oleh donor, WRUA ini membangun infrastruktur konservasi seperti gabion dan saluran air untuk memisahkan akses ternak dan manusia. Fokus utamanya adalah perlindungan environmental flows dibanding pendekatan berbasis penghasilan.

Tiga Pilar Evaluasi WRUA: Analisis Kritis

A. Recognition (Pengakuan)

Sebagian besar WRUA masih menghadapi masalah elite capture. Agenda sering datang dari luar, bukan dari bawah. Namun, contoh Isei menunjukkan bahwa jika masyarakat diberi ruang dan kepercayaan, hasilnya bisa jauh lebih kuat.

B. Procedure (Prosedur dan Partisipasi)

Meskipun ada upaya inklusif, partisipasi sering bersifat formalitas. WRUA idealnya menjadi jembatan antara komunitas dan otoritas air seperti WRA, tetapi koordinasi dan kejelasan peran masih minim.

C. Distribution (Distribusi Manfaat dan Beban)

Manfaat konservasi tidak selalu adil. Misalnya, donor memberikan sapi perah atau pelatihan lebah kepada kelompok aktif, tapi kelompok marjinal atau petani miskin bisa tertinggal. Ini menciptakan ketimpangan baru dalam nama konservasi.

Tantangan Umum WRUA: Apa yang Harus Diwaspadai?

  • Ketergantungan pada donor
  • Kurangnya kapasitas administratif dan teknis
  • Ketiadaan indikator yang jelas soal keberhasilan konservasi
  • Minimnya inklusi dalam pengambilan keputusan
  • Overlapping kelembagaan antara WRUA dan pemerintah desa

Refleksi Global: Pelajaran bagi Dunia

Model WRUA sangat relevan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, Nepal, dan Tanzania. Namun, seperti yang ditunjukkan studi ini, keberhasilannya sangat bergantung pada:

  1. Kepemimpinan lokal yang kuat dan kredibel
  2. Desain kelembagaan yang adaptif dan berbasis kebutuhan nyata
  3. Pendampingan teknis yang berkelanjutan, bukan jangka pendek
  4. Keseimbangan antara konservasi dan kesejahteraan ekonomi

WRUA harus bisa menjawab pertanyaan: Apakah komunitas benar-benar merasa memiliki dan mendapatkan manfaat dari konservasi ini?

Opini Penulis: WRUA Masih Perlu Disempurnakan

Studi ini sangat bermanfaat untuk menunjukkan kompleksitas tata kelola air berbasis komunitas. Namun, masih ada ruang untuk menyempurnakan:

  • Perlu integrasi teknologi (misal: aplikasi pemantauan air berbasis warga)
  • WRUA harus diberi otoritas legal dan fiskal yang lebih kuat
  • Harus ada evaluasi tahunan berbasis indikator sosial dan ekologis

Jika tidak, WRUA hanya akan menjadi formalitas administratif belaka.

Kesimpulan: WRUA adalah Harapan yang Butuh Dukungan

WRUA bukan solusi sempurna, tapi bisa menjadi jalan keluar dari kegagalan pendekatan top-down. Ketika komunitas diberdayakan secara inklusif, adil, dan berkelanjutan, pengelolaan sumber daya air bisa jadi lebih efektif dan manusiawi.

Sumber:
Richards, N., & Syallow, D. (2018). Water Resources Users Associations in the Mara Basin, Kenya: Pitfalls and Opportunities for Community Based Natural Resources Management. Frontiers in Environmental Science, 6:138.

 

Selengkapnya
Belajar dari Kenya: Kekuatan dan Kelemahan WRUA dalam Mengelola Sumber Daya Air Komunitas
page 1 of 1