Mengapa IWRM Butuh Evolusi?
Selama tiga dekade, Integrated Water Resources Management (IWRM) dikembangkan sebagai pendekatan holistik yang mampu menyatukan udara, tanah, dan sumber daya lainnya dalam satu sistem pengelolaan berkelanjutan. Namun dalam praktiknya, IWRM sering mandek. Dalam makalah “Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Solusi Praktis untuk Mengatasi Kompleksitas dengan Menggunakan Pendekatan Nexus” (Schreier et al., 2014), penulis mengundang hambatan-hambatan besar IWRM dan menawarkan solusi berbasis nexus —sebuah pendekatan yang menjembatani udara, energi, pangan, dan kebijakan secara lintas sektoral. Resensi ini membedah gagasan-gagasan dalam makalah tersebut, memperkuatnya dengan studi kasus, analisis tambahan, serta refleksi kontekstual untuk negara berkembang seperti Indonesia.
IWRM: Konsep Mulia, Realita Rumit
Kompleksitas Ilmiah dan Kelembagaan
Udara bukanlah sumber daya pasif. Ia bergerak secara dinamis, mengalami berbagai perubahan fase dan membawa serta kontaminasi dalam siklusnya. Sementara itu, institusi yang mengelola air sering terbagi-bagi: satu lembaga untuk kualitas, lainnya untuk kuantitas, dan yang lain lagi untuk alokasi atau pemantauan. Menyatukan lembaga-lembaga ini secara terkoordinasi adalah tantangan nyata, terutama di negara dengan birokrasi kompleks seperti Indonesia.
Masalah Skala dan Lintas Batas
Implementasi IWRM pada skala besar (seperti DAS lintas negara) sulit dilakukan. Terfragmentasi data, kebijakan berbeda antar wilayah, dan dampak suatu intervensi bisa baru terasa belasan tahun kemudian di lokasi yang jauh dari titik awal. Contoh: sedimentasi di sedimen dapat menghambat pasokan fosfor alami ke daerah hilir, mengganggu ekosistem perairan (Schindler et al., 2010).
Keunggulan IWRM: Masih Relevan di Skala Mikro dan Meso
Schreier dkk. tetap menekankan bahwa IWRM paling efektif jika diterapkan pada skala kecil hingga menengah. Misalnya:
- Sub-DAS Saguling (Indonesia) : Analisis interaksi sungai dan pemukiman di daerah ini memungkinkan model spasial yang realistis.
- Kampung Kota di Jakarta : IWRM skala mikro dapat mengintegrasikan data kualitas air limbah domestik, infiltrasi, dan tata ruang dalam satu sistem.
Kritik Utama terhadap IWRM
Proses Multi-Stakeholder yang Tidak Efisien
Partisipasi luas sering dipuji, tapi dalam praktik, proses memakan waktu lama dan sering menghasilkan kompromi yang setengah hati. Tanpa pendanaan jangka panjang dan kepemimpinan yang kuat, rencana besar ini sering kali hanya berhenti di atas kertas.
Model Terlalu Kompleks, Minim Pengawasan
Model IWRM sering kali rumit secara teknis dan tidak disertai mekanisme pemantauan setelah implementasi. Lahan basah buatan di kota besar, misalnya, sering dibangun tanpa efektivitasnya terhadap beban polusi secara berkala.
Nexus sebagai Solusi: Jalan Tengah yang Realistis
Pendekatan nexus mencoba menyambungkan udara, pangan, dan energi dalam satu sistem. Bukan berarti menciptakan model “super rumit”, tetapi menggerakkan proses dengan fokus pada koneksi esensial yang dapat dieksekusi. Misalnya:
- Contoh Global : Nexus Platform dari SEI (2011) tekanan efisiensi udara dalam pertanian dan pembangkit listrik.
- Studi Kasus Indonesia : Di Pulau Lombok, pengelolaan air untuk pertanian bisa dikaitkan langsung dengan krisis energi (pompa diesel) dan krisis pangan (gagal panen akibat salinitas).
Strategi Nyata Menuju IWRM yang Lebih Adaptif
1. Pilah Masalah Utama Terlebih Dahulu
Daripada mencoba menyelesaikan semua masalah dalam satu waktu, mulai dari hal yang paling mendesak dan berdampak besar, seperti polusi rumah tangga atau konversi lahan sawah.
2. Libatkan Aktor Kunci, Bukan Semua Pihak
Pendekatan spektrum yang lebih efektif: ajak pihak yang benar-benar berperan dalam penyebab dan solusi. Misalnya, perusahaan sawit, petani, dan PDAM.
3. Kembangkan Model Modular
Gunakan model adaptif: jika data terbatas, mulai dari pendekatan semi-empiris. Tambahkan modul ketika data bertambah. Model seperti MODFLOW-SWAT cukup cocok untuk ini.
4. Monitoring Kolaboratif
Contoh sukses: CABIN Environment Kanada. Komunitas lokal mengambil sampel, data kemudian divalidasi oleh ahli. Ini bisa direplikasi di DAS Ciliwung dengan universitas lokal.
Mengatasi Tantangan Kebijakan: Sinergi Top-Down dan Bottom-Up
Pemerintah pusat sering ragu mendistribusikan otoritas ke daerah. Padahal, desentralisasi bisa mempercepat inovasi dan menambah ketahanan terhadap bencana iklim.
Langkah praktis:
- Buat Dewan Daerah Aliran Sungai (DAS) beranggotakan dinas daerah dan komunitas.
- Kembangkan dashboard data digital dan interaktif.
- Tawarkan insentif fiskal untuk daerah yang sukses menurunkan konsumsi udara atau memperbaiki kualitas sungai.
Visualisasi Data: Senjata Efektif dalam Komunikasi Publik
Data yang kompleks harus tertanam dalam bentuk visual. Contohnya:
- Peta interaktif DAS dan kualitas udara
- Simulasi trade-off antara pengambilan udara dan produksi pangan
- Video animasi siklus udara lokal
Hal ini penting agar IWRM tidak hanya dipahami oleh teknokrat, tetapi juga masyarakat awam.
Kesimpulan: IWRM Harus Fleksibel, Fokus, dan Kolaboratif
IWRM masih relevan, tetapi harus dirombak agar lebih pragmatis:
- Skala implementasi sebaiknya terbatas pada mikro dan meso
- Fokus pada keterkaitan udara–energi–pangan yang nyata
- Pemantauan dan evaluasi harus menjadi bagian integral sejak awal
- Keterlibatan masyarakat penting, tetapi harus terstruktur dan terfasilitasi
IWRM bukan soal idealisme manajemen udara, tetapi strategi realistik menghadapi tantangan nyata di era perubahan iklim dan krisis sumber daya.
Sumber:
Schreier, H., Kurian, M., & Ardakanian, R. (2014). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Solusi Praktis untuk Mengatasi Kompleksitas dengan Menggunakan Pendekatan Nexus . Makalah Kerja No. 2. Institut Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengelolaan Terpadu Aliran Material dan Sumber Daya (UNU-FLORES).