Sumber Air

Membangun SDM Unggul untuk Tata Kelola Air Berkelanjutan: Refleksi Kritis dari Kolaborasi Spanyol–Argentina

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 20 Mei 2025


Air Sebagai Sumber Kehidupan dan Tantangan Global Abad ke-21

Air adalah sumber daya yang lebih penting dari minyak di abad ke-21. Namun, ironisnya, sebagian besar masyarakat dan pemerintah di berbagai belahan dunia masih gagal menempatkan isu tata kelola air sebagai prioritas. Artikel ilmiah karya Juan Bautista Grau dan kolega dari Universidad Politécnica de Madrid bersama mitra mereka dari UCASAL, Argentina, menyoroti tantangan ini secara tajam dengan mengajukan solusi: pendidikan tingkat tinggi berbasis kerja sama internasional.

Latar Belakang: Dua Realitas, Satu Tujuan

Spanyol dan Argentina menghadapi tantangan berbeda namun saling melengkapi. Spanyol memiliki sejarah panjang dalam pengelolaan air, bahkan memiliki lembaga seperti Tribunal de las Aguas de Valencia yang sudah berusia 500 tahun. Di sisi lain, Argentina baru beberapa dekade terakhir mengembangkan kerangka hukum dan kebijakan pengelolaan air, khususnya di wilayah NOA (Northwest Argentina).

Meski berbeda, kedua negara menghadapi tekanan yang sama: pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan konflik antar sektor pengguna air (pertanian, industri, domestik). Di tengah kebutuhan infrastruktur, muncul kebutuhan mendesak akan SDM profesional yang memahami perencanaan, kualitas, dan keberlanjutan pengelolaan air.

Solusi: Program Master Ganda Lintas Negara

Artikel ini merinci rancangan program master ganda antara Universidad Politécnica de Madrid dan Universidad Católica de Salta. Program ini tidak hanya menyatukan dua kurikulum pendidikan, tetapi juga menggabungkan dua perspektif geografis, sosial, dan teknis.

Tujuan Utama:

  • Membangun tenaga ahli profesional di bidang manajemen sumber daya air
  • Meningkatkan kualitas perencanaan dan tata kelola di negara berkembang
  • Mendorong pertukaran akademik dan budaya antar institusi

Program ini ditujukan bagi lulusan teknik sipil, agronomi, geologi, lingkungan, dan sejenisnya yang ingin memperdalam keahlian dalam tata kelola air secara terpadu.

Isi Kurikulum dan Struktur Program

Semester 1: Perencanaan Sumber Daya Air (30 ECTS)

  • Sumber air permukaan & bawah tanah
  • Jaringan transmisi dan peralatan pengumpulan data
  • Sistem pemrosesan data & manajemen risiko
  • Metodologi pengambilan keputusan multikriteria (MCDM)

Semester 2: Kualitas Air dan Keberlanjutan Lingkungan

  • Pengolahan limbah domestik dan organik
  • Analisis kualitas air dan kontrol erosi
  • Perencanaan wilayah berkelanjutan

Semester 3: Tata Kelola dan Infrastruktur

  • Sistem irigasi dan distribusi air
  • Regulasi dan lembaga pengelola air
  • Tugas akhir master (tesis)

Studi Kasus: Masalah Nyata, Solusi Praktis

1. Sungai Arenales, Salta

Sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan, kini menjadi penyebab penyakit. Program ini mendorong pemulihan ekosistem sungai secara holistik.

2. Sistem Irigasi Sungai Toro

Dihadapkan pada manajemen air yang buruk dan sistem pertanian monokultur, studi ini menunjukkan pentingnya perencanaan berbasis data dan masyarakat.

3. DAS Arroyos Menores, Córdoba

Mengalami erosi parah dan degradasi lahan. Melalui DSS (Decision Support System) dan metode multikriteria seperti PROMETHEE dan AHP, area ini bisa dirancang ulang untuk produktivitas dan keberlanjutan.

Nilai Tambah: Pendidikan Sebagai Alat Perubahan

Program ini tidak sekadar akademik. Ia menjawab masalah nyata:

  • Defisit ahli sumber daya air di Argentina
  • Tantangan integrasi antar lembaga di Spanyol
  • Kurangnya kapasitas lokal di wilayah terpencil

Dengan pendekatan lintas sektor, lintas negara, dan lintas disiplin, program ini membawa harapan baru bagi pengelolaan air global.

Kritik dan Opini: Jalan Masih Panjang

Kekuatan:

  • Kurikulum kontekstual: disesuaikan dengan kebutuhan lokal
  • Kolaboratif: memperkuat kerja sama akademik dan industri
  • Akses dua negara: memperluas jaringan profesional dan akademik

Tantangan:

  • Biaya tinggi dan akses terbatas bagi mahasiswa kurang mampu
  • Kalender akademik berbeda utara-selatan menyulitkan sinkronisasi
  • Ketimpangan kapasitas pengajar antara UPM dan UCASAL

Relevansi Global: Menginspirasi Kawasan Lain

Program serupa bisa direplikasi di kawasan lain seperti Asia Tenggara, Afrika, dan Timur Tengah. Negara-negara dengan tantangan serupa bisa mengadopsi prinsip:

  • Pendidikan teknis berbasis kebutuhan lokal
  • Kolaborasi institusi kuat dan berkembang
  • Integrasi kurikulum dengan studi lapangan nyata

Penutup: Air Butuh Lebih dari Sekadar Infrastruktur

Air tidak cukup dikelola dengan bendungan dan pipa. Ia butuh pemikiran, analisis, dan SDM yang terlatih. Program master ini menunjukkan bahwa pendidikan tinggi bukan hanya ruang akademik, tapi juga alat perubahan untuk masa depan yang berkelanjutan.

Sumber: Grau, J.B., Tarquis, A.M., Martín-Sotoca, J.J., & Antón, J.M. (2019). High level education on integrated water resources management for sustainable development. Journal of Technology and Science Education, 9(3), 295-307. https://doi.org/10.3926/jotse.361

 

Selengkapnya
Membangun SDM Unggul untuk Tata Kelola Air Berkelanjutan: Refleksi Kritis dari Kolaborasi Spanyol–Argentina

Sumber Air

Resensi Kritis UU No. 17 Tahun 2019: Menata Ulang Mekanisme Perizinan Pemanfaatan Sumber Daya Air

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 15 Mei 2025


Pendahuluan: Air Sebagai Hak dan Tantangan Global

Di tengah krisis air bersih yang semakin meluas, negara dituntut hadir sebagai regulator sekaligus pelindung hak atas air. Undang-Undang No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air menjadi respons strategis atas ketimpangan pengelolaan dan eksploitasi sumber daya air, sekaligus penegasan bahwa air adalah hak asasi manusia dan bagian dari cabang produksi penting yang dikuasai negara.

Paper karya Fauzan Ramon dan Abdul Halim secara kritis membedah bagaimana mekanisme perizinan dalam pemanfaatan sumber daya air bekerja di bawah regulasi ini. Penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan memetakan peran hukum dalam melindungi air sebagai sumber daya strategis sekaligus rentan.

Konteks Kelahiran UU No. 17 Tahun 2019

UU ini lahir sebagai respons atas kekosongan hukum setelah pembatalan UU No. 7 Tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, UU No. 11 Tahun 1974 dinilai tidak lagi relevan dalam menjawab kompleksitas dan dinamika pengelolaan air di era modern. Dalam pertimbangannya, UU No. 17 Tahun 2019 menegaskan bahwa pengelolaan air harus mempertimbangkan tiga fungsi utama:

  • Fungsi sosial
  • Fungsi lingkungan
  • Fungsi ekonomi

Prosedur Perizinan: Dimensi Hukum Administratif

Unsur-Unsur Perizinan

Menurut kajian hukum administrasi, sebuah izin harus memenuhi unsur:

  • Wewenang yang sah
  • Ketetapan konstitutif
  • Peristiwa konkret
  • Prosedur dan persyaratan administratif

Izin menjadi bentuk kontrol negara atas pemanfaatan sumber daya alam. Dalam konteks air, izin memastikan bahwa penggunaan air, khususnya untuk usaha komersial, dilakukan secara legal, proporsional, dan memperhatikan daya dukung lingkungan.

Jenis Perizinan dalam UU No. 17 Tahun 2019:

  • Tanpa izin: Untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam skala kecil.
  • Izin bukan usaha: Jika mengubah kondisi alami sumber air atau digunakan oleh kelompok.
  • Izin usaha: Untuk kegiatan ekonomi skala besar seperti PDAM, industri minuman, atau pembangkit listrik.

Studi Kasus: Eksploitasi Air Tanpa Izin di Lombok

Penulis menyoroti kasus nyata di Kabupaten Lombok Tengah, di mana individu melakukan pengeboran air dalam (hingga >30 meter) lalu mendistribusikan air secara komersial kepada warga sekitar. Praktik ini:

  • Tidak memiliki izin resmi
  • Melanggar asas keadilan dan keberlanjutan
  • Mengindikasikan lemahnya pengawasan dan sosialisasi hukum oleh pemerintah daerah

Kasus ini menjadi cerminan bagaimana krisis air memunculkan bentuk-bentuk privatisasi liar atas sumber daya publik.

Keadilan Sosial vs Komersialisasi Air

Dalam UU ini ditegaskan bahwa:

“Air adalah hak rakyat dan tidak boleh dikuasai secara sewenang-wenang oleh pihak tertentu.”

Namun, realita di lapangan menunjukkan masih maraknya praktik penguasaan privat atas air, baik oleh individu maupun korporasi, yang:

  • Membebani akses masyarakat kecil
  • Mengancam keberlanjutan sumber daya
  • Menimbulkan ketimpangan struktural

Contoh ekstrem keberhasilan pengelolaan ditunjukkan oleh Singapura, melalui Deep Tunnel Sewerage System (DTSS) yang memungkinkan air limbah diolah kembali menjadi air layak minum (newater). Sementara Jakarta, dengan 13 sungai besar, hanya mampu memenuhi 2,2% kebutuhan air bersih warganya—menunjukkan bahwa kunci bukan pada potensi, tapi pada tata kelola dan hukum yang efektif.

Konsekuensi Hukum: Dari Administrasi ke Pidana

UU No. 17 Tahun 2019 dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup membuka jalan penerapan sanksi:

Sanksi Administratif:

  • Teguran lisan/tertulis
  • Paksaan pemerintah (pemulihan/penghentian kegiatan)
  • Denda administrasi
  • Pencabutan izin

Sanksi Pidana:

  • Hukuman penjara hingga 2 tahun
  • Denda maksimal Rp5.000.000

Sementara UU Lingkungan Hidup lebih progresif dengan ancaman penjara hingga 3 tahun dan denda hingga Rp3 miliar.

Penekanan pada delik formil dalam penegakan hukum air menunjukkan pendekatan preventif: pelanggaran dikenai sanksi meski belum menyebabkan kerusakan fisik, agar kerusakan dapat dicegah sedini mungkin.

Kritik & Opini: Antara Regulasi dan Implementasi

Kelebihan UU No. 17 Tahun 2019:

  • Menekankan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan
  • Memberikan kerangka perizinan yang komprehensif
  • Menempatkan negara sebagai penjaga hak atas air

Kekurangan dan Tantangan:

  • Lemahnya sosialisasi regulasi ke masyarakat bawah
  • Inkonsistensi antar wilayah dalam pelaksanaan
  • Minimnya sinergi antar lembaga pusat dan daerah
  • Masih membuka peluang komersialisasi melalui BUMN/BUMD sebelum memastikan ketersediaan publik

Penutup: Regulasi Tak Cukup, Butuh Kesadaran dan Tindakan

UU No. 17 Tahun 2019 memberi arah hukum yang jelas soal hak, kewajiban, dan prosedur perizinan air. Namun, regulasi saja tidak cukup. Dibutuhkan:

  • Pendidikan hukum kepada masyarakat
  • Penguatan kapasitas pemerintah daerah
  • Partisipasi publik dalam pengawasan
  • Integrasi teknologi (seperti DTSS Singapura

Tanpa itu, krisis air akan terus membesar dan hukum hanya menjadi teks tanpa daya. Air, sebagai sumber kehidupan, tak boleh dikorbankan demi keuntungan sesaat.

Sumber:
Ramon, F., & Halim, A. (2021). Mekanisme Perizinan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Air Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam, Indonesia. Journal Vol. 9 No. 2.

 

Selengkapnya
Resensi Kritis UU No. 17 Tahun 2019: Menata Ulang Mekanisme Perizinan Pemanfaatan Sumber Daya Air
« First Previous page 5 of 5