Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 23 Oktober 2025
Bagian I: Membedah Temuan Mengejutkan di Jalan Bethesda, Manado (Resensi Jurnalistik)
Mitos Kelancaran Jalan Satu Arah yang Terpatahkan
Di tengah deru mesin dan lautan kendaraan yang menyesaki kota-kota besar Indonesia, ada satu keyakinan yang seolah menjadi mantra sakti para perencana kota: jika macet, buatlah jalan satu arah. Logikanya sederhana, dengan menghilangkan konflik dari arah berlawanan, arus kendaraan akan melaju lebih cepat dan lancar. Namun, bagaimana jika solusi yang selama ini kita anggap sebagai obat mujarab justru dalam kondisi tertentu bisa menjadi racun yang memperparah penyakit?
Sebuah penelitian yang cermat dan mendetail dari jantung kota Manado, Sulawesi Utara, mengguncang asumsi lama ini. Tim peneliti dari Program Studi Teknik Sipil Universitas Sam Ratulangi, yang dipimpin oleh Gerwin Wa'Bone, melakukan sebuah investigasi mendalam di Jalan Bethesda, sebuah koridor vital di Kecamatan Sario.1 Jalan ini unik karena memiliki dua segmen yang bersebelahan: satu menerapkan sistem dua arah, dan satu lagi sistem satu arah. Kondisi ini menjadikannya laboratorium perkotaan yang sempurna untuk menjawab pertanyaan fundamental: di antara keduanya, manakah yang benar-benar lebih efektif dalam memerangi kemacetan? Jawabannya, yang terungkap melalui data lapangan dan simulasi digital canggih, ternyata sangat mengejutkan dan berpotensi mengubah cara kita memandang manajemen lalu lintas di seluruh Indonesia.
Di Balik Angka: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Jantung Kota Manado?
Untuk membongkar realitas lalu lintas di Jalan Bethesda, para peneliti tidak hanya duduk di belakang meja. Mereka melakukan "investigasi" lapangan yang intensif. Selama tiga hari—mencakup dua hari kerja dan satu hari libur—tim ini secara manual menghitung setiap kendaraan yang melintas, mengukur kecepatannya, dan mencatat setiap gangguan kecil yang terjadi di tepi jalan, mulai dari pejalan kaki yang menyeberang hingga mobil yang parkir sembarangan.1
Dari ribuan data yang terkumpul, mereka mengidentifikasi momen paling kritis: jam puncak pada hari Kamis, 15 September 2022, antara pukul 12.00 hingga 13.00 WITA. Pada satu jam genting ini, total 4.282 kendaraan membanjiri persimpangan tersebut.1 Bayangkan, setiap jamnya, lebih dari empat ribu kendaraan—cukup untuk membuat antrean sepanjang 20 kilometer jika dijejerkan—berdesakan di satu titik. Ini adalah potret nyata dari tekanan luar biasa yang dialami infrastruktur perkotaan kita setiap hari.
Namun, data mentah saja tidak cukup. Untuk memahami dinamika yang kompleks, tim peneliti membawa "medan perang" lalu lintas ini ke dalam dunia digital. Mereka menggunakan PTV Vissim, sebuah perangkat lunak simulasi mikro yang diakui secara global, untuk menciptakan kembaran virtual (digital twin) dari Jalan Bethesda.1 Ini bukan sekadar animasi biasa. Para peneliti dengan teliti memasukkan semua data lapangan—volume kendaraan, kecepatan rata-rata, hingga perilaku pengemudi lokal—ke dalam model.
Langkah krusial berikutnya adalah kalibrasi dan validasi. Model digital ini "diuji" berulang kali, dan parameternya disesuaikan hingga perilakunya cocok dengan kondisi nyata di lapangan. Keakuratannya diukur menggunakan rumus statistik bernama GEH. Hasilnya, setelah kalibrasi, model simulasi mereka terbukti sangat akurat, dengan nilai GEH jauh di bawah ambang batas toleransi.1 Langkah ini memberikan bobot ilmiah yang luar biasa pada temuan mereka, memastikan bahwa kesimpulan yang ditarik bukan berasal dari spekulasi, melainkan dari model yang telah terverifikasi secara ketat.
Mengurai Misteri Kinerja Jalan
Hasil dari laboratorium digital ini kemudian dianalisis menggunakan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, sebuah panduan standar untuk mengukur kesehatan jalan raya.1 Ada dua indikator utama yang menjadi fokus: "Tingkat Pelayanan" (Level of Service - LOS) dan "Derajat Kejenuhan" (Degree of Saturation - DS).
Bayangkan Tingkat Pelayanan (LOS) sebagai rapor kinerja sebuah jalan, dengan skala dari A (sangat lancar) hingga F (macet total). Sementara itu, Derajat Kejenuhan (DS) bisa diibaratkan sebagai tingkat kepenuhan sebuah botol air; angka 1.0 (atau 100%) berarti botol itu sudah penuh sesak dan tidak bisa menampung air lagi.
Di sinilah letak temuan yang tak terduga itu:
Angka 0,813 ini adalah sebuah alarm bahaya. Menurut standar MKJI 1997, nilai DS di atas 0,75 menandakan bahwa jalan tersebut sudah berada di ambang kolaps.4 Sedikit saja ada gangguan tambahan—seperti mobil mogok atau angkot berhenti mendadak—dapat memicu kemacetan total yang merambat dengan cepat. Dengan kata lain, segmen jalan satu arah di Bethesda hidup di tepi jurang kemacetan setiap saat, sementara "saudaranya" yang dua arah justru bernapas lebih lega. Temuan ini secara telak mematahkan mitos bahwa sistem satu arah secara otomatis lebih unggul.
Bukan Arah Jalannya, Tapi Aktivitas di Tepiannya
Lalu, apa yang menyebabkan anomali ini? Jika secara teori jalan satu arah seharusnya lebih efisien, mengapa di Jalan Bethesda justru sebaliknya? Para peneliti menemukan "tersangka utamanya" bukan pada desain arah jalan itu sendiri, melainkan pada faktor yang sering kali terabaikan: hambatan samping.
Hambatan samping adalah istilah teknis untuk segala aktivitas di tepi jalan yang mengganggu kelancaran arus lalu lintas. Ini mencakup pejalan kaki yang menyeberang sembarangan, kendaraan yang parkir di badan jalan, angkutan umum yang berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, serta kendaraan yang keluar-masuk dari properti seperti toko atau rumah makan.1
Dalam studi ini, kedua segmen Jalan Bethesda—baik yang satu arah maupun dua arah—diklasifikasikan memiliki tingkat hambatan samping Sangat Tinggi (VH). Data menunjukkan lebih dari 2.000 "insiden" pengganggu terjadi setiap harinya di masing-masing segmen, menciptakan "gesekan" konstan yang memperlambat laju kendaraan.1
Namun, dampak dari gesekan ini ternyata berbeda secara signifikan antara kedua sistem:
Dengan kata lain, jalan satu arah ibarat seorang pelari cepat yang bisa dengan mudah tersandung oleh kerikil kecil, sementara jalan dua arah lebih seperti seorang pejalan yang stabil, yang meskipun lebih lambat, tidak mudah jatuh saat menghadapi rintangan serupa.
Kritik dan Konteks: Seberapa Luas Dampak Temuan Ini?
Tentu saja, penting untuk melihat temuan ini dengan kacamata yang jernih. Seperti yang diakui oleh para peneliti, ini adalah potret mendalam dari satu ruas jalan di satu kota.1 Kondisi geometrik, komposisi kendaraan, dan perilaku pengemudi di kota lain mungkin akan menghasilkan dinamika yang berbeda. Namun, pelajaran yang diungkap sangat universal.
Satu kritik yang bisa diajukan, bukan terhadap penelitiannya tetapi pada standar yang digunakan, adalah ketergantungan pada MKJI 1997. Panduan ini dirilis lebih dari seperempat abad yang lalu, jauh sebelum ledakan populasi sepeda motor dan kemunculan fenomena ojek dan taksi online yang kini mendominasi jalanan Indonesia.6 Karakteristik lalu lintas modern yang jauh lebih cair dan acak mungkin tidak sepenuhnya terwakili oleh model-model lama. Pertanyaan yang diajukan oleh studi ini, meskipun secara tidak langsung, menjadi sangat relevan: Apakah standar yang kita gunakan untuk merancang kota kita masih sesuai dengan kekacauan lalu lintas abad ke-21?
Pelajaran dari Manado untuk Seluruh Indonesia
Pada akhirnya, penelitian di Jalan Bethesda ini memberikan sebuah pesan yang kuat dan jelas: solusi untuk kemacetan perkotaan tidak sesederhana mengubah panah arah di rambu lalu lintas. Mengubah jalan menjadi satu arah tanpa mengatasi masalah fundamental di tepiannya—yaitu hambatan samping—sering kali hanya akan memindahkan masalah atau bahkan memperburuknya.
Temuan ini adalah panggilan bagi para perencana kota dan pembuat kebijakan di seluruh Indonesia untuk berpikir lebih holistik. Penegakan aturan parkir, penyediaan fasilitas pejalan kaki yang aman, desain halte yang efisien, dan penataan aktivitas ekonomi informal di pinggir jalan bukan lagi sekadar "pelengkap", melainkan elemen krusial dalam manajemen lalu lintas yang efektif.
Jika pemerintah kota di seluruh Indonesia mulai mengaudit ulang sistem jalan satu arah mereka dengan mempertimbangkan faktor hambatan samping yang dominan, temuan dari Manado ini bisa menjadi kunci untuk merancang ulang jalanan yang tidak hanya lebih lancar, tetapi juga lebih hidup, aman, dan ekonomis bagi warganya dalam lima tahun ke depan. Ini bukan lagi soal memilih antara satu atau dua arah, tetapi tentang memilih untuk merancang kota bagi manusia, bukan hanya untuk kendaraan.
Bagian II: Debat Global Sistem Satu Arah vs. Dua Arah: Perspektif Internasional
Temuan mengejutkan dari Jalan Bethesda di Manado bukanlah sebuah anomali yang terisolasi. Sebaliknya, ia merupakan bagian dari percakapan global yang lebih besar dan perdebatan sengit dalam dunia perencanaan kota yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Keputusan untuk menerapkan sistem jalan satu arah atau mengembalikannya menjadi dua arah mencerminkan pergeseran fundamental dalam filosofi tentang untuk siapa sebenarnya jalanan kota dirancang.
Sejarah Singkat Rekayasa Lalu Lintas: Dari Arus Kendaraan ke Kualitas Hidup
Pada pertengahan abad ke-20, terutama di era pasca-Perang Dunia II, kota-kota di seluruh dunia, khususnya di Amerika Serikat, menghadapi tantangan baru: ledakan kepemilikan mobil pribadi. Jalanan yang dirancang untuk kereta kuda dan pejalan kaki tiba-tiba dipenuhi oleh kendaraan bermotor. Respons dari para insinyur lalu lintas saat itu adalah pragmatis dan berfokus pada satu tujuan tunggal: memaksimalkan kecepatan dan volume kendaraan.7 Dalam paradigma ini, sistem jalan satu arah dianggap sebagai sebuah inovasi brilian. Dengan menghilangkan konflik belok kiri dan lalu lintas dari arah berlawanan, kapasitas jalan dapat ditingkatkan secara dramatis, dan sinyal lalu lintas dapat disinkronkan untuk menciptakan "gelombang hijau" yang melancarkan arus.9
Namun, kebijakan yang sangat berorientasi pada mobil ini secara tidak sengaja melahirkan serangkaian "efek samping" yang merusak. Jalan-jalan di pusat kota berubah menjadi "jalan raya urban" (urban highways), yang mendorong kecepatan berbahaya, memutus konektivitas antar lingkungan, dan menciptakan lingkungan yang tidak ramah bagi pejalan kaki serta mematikan bisnis lokal yang bergantung pada lalu lintas pejalan kaki.10 Efisiensi yang dicapai dalam pergerakan kendaraan harus dibayar mahal dengan penurunan kualitas hidup perkotaan.
Menjelang akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, sebuah paradigma baru mulai muncul sebagai respons atas kegagalan model lama. Konsep seperti "Livable Streets" (Jalan yang Layak Huni) dan "Complete Streets" (Jalan Lengkap) mulai mendapatkan perhatian.13 Filosofi baru ini mengubah pertanyaan fundamental dari "Bagaimana cara memindahkan mobil secepat mungkin?" menjadi "Bagaimana cara menciptakan jalan yang aman, nyaman, dan produktif untuk semua orang—termasuk pejalan kaki, pesepeda, pengguna transportasi publik, anak-anak, dan lansia?". Dalam kerangka berpikir baru ini, sistem jalan satu arah yang dirancang semata-mata untuk kecepatan mulai dipertanyakan secara serius.
Studi Kasus Internasional: Ketika Kota-Kota Memilih "Putar Balik"
Pergeseran paradigma ini bukan hanya sekadar wacana teoretis. Banyak kota di seluruh dunia telah mulai mengambil langkah nyata untuk mengkonversi kembali jalan-jalan satu arah mereka menjadi dua arah, dan hasilnya didokumentasikan dengan baik, memberikan bukti empiris yang kuat.
Salah satu contoh paling menonjol adalah Louisville, Kentucky. Pada tahun 2011, kota ini mengembalikan dua jalan utama, 1st Street dan Brook Street, menjadi sistem dua arah. Sebuah studi komprehensif yang membandingkan kondisi sebelum dan sesudah konversi mengungkapkan hasil yang menakjubkan. Meskipun volume lalu lintas di kedua jalan tersebut justru meningkat (karena menjadi rute yang lebih logis dan langsung), total angka kecelakaan lalu lintas menurun drastis sebesar 49%. Lebih dari itu, angka kejahatan di sepanjang koridor tersebut juga turun sebesar 23%. Penurunan ini membantah argumen klasik bahwa jalan satu arah lebih aman dan menunjukkan bahwa kecepatan yang lebih terkontrol di jalan dua arah menciptakan lingkungan yang lebih aman secara keseluruhan.12 Dari sisi ekonomi, konversi ini juga memicu peningkatan nilai properti dan vitalitas bisnis di sekitarnya, membuktikan adanya hubungan langsung antara desain jalan yang ramah manusia dan kemakmuran ekonomi.16
Kisah serupa juga terjadi di kota-kota lain. Di Vine Street, Cincinnati, sebuah studi mencatat bahwa 40% bisnis di jalan tersebut tutup setelah diubah menjadi sistem satu arah, karena aksesibilitas dan visibilitas bagi pelanggan menurun drastis.17 Sebaliknya, di Vancouver, jalanan utama yang dikembalikan ke sistem dua arah dilaporkan kembali "hidup" hampir dalam semalam, dengan peningkatan aktivitas pejalan kaki dan bisnis.17 Analisis ekonomi yang dilakukan untuk kota Fargo, North Dakota, bahkan memproyeksikan bahwa konversi kembali ke dua arah dapat menghasilkan peningkatan penjualan ritel jangka pendek sebesar 10% hingga 13%.17
Data-data ini secara kolektif membangun sebuah argumen yang kuat: efisiensi yang ditawarkan oleh jalan satu arah adalah efisiensi yang didefinisikan secara sempit dari sudut pandang pergerakan kendaraan. Ketika metrik efisiensi diperluas untuk mencakup keselamatan publik, kesehatan ekonomi lokal, dan kualitas hidup secara umum, sistem jalan dua arah sering kali terbukti jauh lebih unggul di lingkungan perkotaan yang padat.
Dampak Tersembunyi: Ekonomi Lokal, Pejalan Kaki, dan Keadilan Spasial
Debat antara sistem satu dan dua arah pada dasarnya adalah perdebatan tentang dampak orde kedua dan ketiga dari sebuah desain infrastruktur. Dampak-dampak ini sering kali tidak terlihat dalam analisis lalu lintas konvensional, namun sangat dirasakan oleh penduduk kota.
Ekonomi Skala Mikro: Jalan dua arah secara inheren lebih menguntungkan bagi bisnis kecil dan ritel. Kecepatan kendaraan yang lebih lambat memberikan pengemudi lebih banyak waktu untuk mengamati etalase toko dan membuat keputusan impulsif untuk berhenti. Akses yang mudah dari kedua arah juga menghilangkan hambatan bagi calon pelanggan yang mungkin enggan untuk berputar-putar satu blok hanya untuk mengunjungi sebuah toko.8 Jalan satu arah, dengan fokusnya pada kecepatan, mengubah jalanan dari "destinasi" menjadi sekadar "koridor transit", yang merugikan bisnis yang bergantung pada visibilitas dan aksesibilitas.
Keselamatan Pejalan Kaki: Jalan satu arah terbukti lebih berbahaya bagi pejalan kaki. Desainnya yang sering kali lebih lebar dan lurus mendorong pengemudi untuk melaju lebih cepat. Selain itu, pengemudi yang berbelok ke jalan satu arah cenderung hanya melihat ke satu arah sumber datangnya lalu lintas kendaraan, sering kali mengabaikan pejalan kaki yang mungkin menyeberang dari arah yang tidak terduga.11 Lingkungan yang didominasi oleh kendaraan berkecepatan tinggi ini menciptakan rasa tidak aman dan mengintimidasi, yang pada akhirnya mengurangi keinginan orang untuk berjalan kaki.
Keadilan Spasial dan Transportasi Publik: Dampak sistem satu arah juga sangat dirasakan oleh operator dan pengguna transportasi publik. Sebuah studi kasus dari Bogor, Indonesia, memberikan gambaran yang jelas. Penerapan sistem satu arah memaksa angkutan kota (angkot) untuk menempuh rute yang lebih panjang dan berputar-putar. Hal ini tidak hanya meningkatkan konsumsi bahan bakar, tetapi juga mengurangi jumlah perjalanan pulang-pergi (Round Trip Time - RTT) yang dapat diselesaikan dalam sehari. Akibatnya, pendapatan harian para supir angkot terpangkas hingga 25-50%.18 Ini adalah contoh nyata bagaimana sebuah keputusan rekayasa lalu lintas dapat memiliki implikasi keadilan sosial dan ekonomi yang signifikan, membebani kelompok masyarakat yang paling bergantung pada efisiensi rute transportasi publik.
Secara keseluruhan, pengalaman internasional menunjukkan bahwa konversi kembali ke jalan dua arah bukanlah sebuah langkah mundur, melainkan sebuah langkah maju menuju pemahaman yang lebih matang tentang fungsi jalan dalam ekosistem perkotaan. Ini adalah pengakuan bahwa jalan bukanlah sekadar saluran untuk kendaraan, tetapi ruang publik multifungsi yang harus menyeimbangkan kebutuhan mobilitas, ekonomi, dan interaksi sosial. Temuan dari Manado, oleh karena itu, sangat sejalan dengan narasi global ini, memperkuat argumen bahwa evaluasi ulang terhadap sistem jalan satu arah yang ada adalah langkah yang mendesak dan perlu.
Bagian III: Arah Baru Perencanaan Transportasi Urban di Indonesia
Studi kasus di Jalan Bethesda, Manado, dan pelajaran dari berbagai kota di dunia memberikan momentum krusial untuk mengevaluasi kembali arah perencanaan transportasi perkotaan di Indonesia. Temuan-temuan ini bukan lagi sekadar data akademis, melainkan sebuah peringatan keras sekaligus peta jalan menuju kota-kota yang lebih efisien, aman, dan manusiawi. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita perlu berubah, tetapi bagaimana kita harus berubah.
Relevansi Studi Manado dalam Konteks Indonesia: Sebuah Peringatan Keras
Keunikan dan kekuatan utama dari penelitian di Manado adalah relevansinya yang luar biasa bagi konteks perkotaan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Faktor "hambatan samping" yang menjadi biang keladi penurunan kinerja jalan satu arah di Manado adalah cerminan dari realitas sehari-hari di jalanan kota-kota Indonesia.1
Konteks "Hambatan Samping" yang Unik: Aktivitas ekonomi informal yang meluber hingga ke badan jalan, budaya parkir liar yang sulit ditertibkan, perilaku angkutan umum dan ojek online yang berhenti di sembarang tempat, serta arus keluar-masuk kendaraan dari properti komersial adalah karakteristik endemik lalu lintas kita.19 Karakteristik ini menciptakan tingkat "gesekan" yang sangat tinggi dan tidak terduga, yang sering kali membuat model-model rekayasa lalu lintas teoretis yang diadopsi dari negara maju menjadi tidak efektif. Studi Manado secara empiris membuktikan bahwa dalam kondisi gesekan tinggi seperti ini, sistem satu arah yang seharusnya cepat justru menjadi sangat rapuh.
Dominasi Sepeda Motor: Faktor lain yang membuat konteks Indonesia berbeda adalah dominasi sepeda motor dalam komposisi lalu lintas. Standar lama seperti MKJI 1997 tidak sepenuhnya dirancang untuk mengakomodasi perilaku lalu lintas campuran dengan proporsi sepeda motor yang sangat tinggi.6 Kelincahan sepeda motor dalam mengisi setiap celah kosong dan melakukan manuver menyalip yang agresif dapat memperburuk "gelombang kejut" kemacetan pada sistem satu arah yang sudah terganggu oleh hambatan samping. Kecepatan tinggi yang difasilitasi oleh jalan satu arah justru meningkatkan risiko kecelakaan fatal yang melibatkan pengendara sepeda motor.
Studi Manado sebagai "Canary in the Coal Mine": Dengan demikian, penelitian ini dapat dipandang sebagai "burung kenari di tambang batu bara"—sebuah peringatan dini tentang bahaya yang tersembunyi. Jika di Manado, di mana sistem satu arah diterapkan secara berdampingan dengan dua arah, kinerjanya terbukti lebih buruk, maka ada kemungkinan yang sangat besar bahwa banyak sistem jalan satu arah lain di kota-kota besar Indonesia juga tidak seefektif yang diasumsikan. Kebijakan tersebut mungkin hanya berhasil memindahkan titik kemacetan dari satu ruas jalan ke ruas jalan lain di dalam jaringan, tanpa benar-benar menyelesaikan masalah kapasitas secara keseluruhan, persis seperti yang terjadi dalam studi kasus di Depok dan Semarang.4
Rekomendasi Kebijakan: Menuju "Jalan Lengkap" (Complete Streets) ala Indonesia
Berangkat dari pemahaman ini, diperlukan sebuah pergeseran paradigma dalam kebijakan transportasi perkotaan di Indonesia. Fokus harus beralih dari solusi rekayasa tunggal (seperti mengubah arah jalan) ke pendekatan yang lebih holistik dan berpusat pada manusia.
1. Audit Nasional Sistem Satu Arah: Langkah pertama yang paling mendesak adalah melakukan audit komprehensif terhadap efektivitas semua sistem jalan satu arah yang ada di kota-kota besar. Audit ini harus melampaui metrik tradisional seperti volume dan kecepatan kendaraan. Ia harus mencakup analisis dampak ekonomi terhadap bisnis lokal, evaluasi tingkat kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki dan pesepeda, serta pengukuran efisiensi dan aksesibilitas transportasi publik. Penggunaan alat modern seperti simulasi mikro PTV Vissim, seperti yang dilakukan dalam studi Manado, harus menjadi standar untuk mendapatkan gambaran yang akurat dan dinamis.1
2. Prioritaskan Manajemen Hambatan Samping: Studi Manado dengan jelas menunjukkan bahwa akar masalah sering kali bukan terletak pada arah arus, melainkan pada kekacauan di tepi jalan.1 Oleh karena itu, sebelum mempertimbangkan rekayasa lalu lintas yang mahal dan disruptif, prioritas utama pemerintah kota seharusnya adalah manajemen hambatan samping. Ini adalah "buah yang menggantung rendah" yang dapat memberikan perbaikan signifikan dengan biaya yang relatif lebih kecil. Langkah-langkah konkret meliputi:
3. Adopsi Formal Prinsip "Jalan Lengkap" (Complete Streets): Indonesia perlu secara formal mengadopsi kebijakan "Jalan Lengkap" (Complete Streets) dan mengintegrasikannya ke dalam dokumen perencanaan yang mengikat, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan panduan desain infrastruktur nasional dan daerah.13 Prinsip ini menegaskan bahwa jalan harus dirancang untuk melayani semua pengguna secara aman dan nyaman. Implementasinya dapat berupa:
4. Pembaruan Standar Nasional: Ketergantungan pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 sudah tidak dapat dipertahankan lagi.1 Pemerintah, melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perhubungan, harus mempercepat adopsi dan implementasi penuh dari Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (PKJI) versi terbaru (misalnya PKJI 2023).6 Standar baru ini harus secara eksplisit mencakup:
Kesimpulan: Bukan Sekadar Mengatur Lalu Lintas, Tetapi Membangun Kota untuk Manusia
Studi di Jalan Bethesda, Manado, meskipun berskala kecil, memberikan pelajaran yang sangat besar bagi Indonesia. Ia menjadi bukti empiris bahwa solusi teknokratis yang diimpor tanpa penyesuaian terhadap konteks sosial, ekonomi, dan perilaku lokal akan menemui kegagalan. Ia menunjukkan bahwa jalanan yang paling efisien bukanlah jalanan yang paling cepat, melainkan jalanan yang paling seimbang dalam melayani berbagai fungsi dan pengguna.
Pada akhirnya, pilihan antara sistem satu arah atau dua arah, atau antara standar MKJI 1997 dan PKJI 2023, bukanlah sekadar pilihan teknis. Ini adalah pilihan fundamental tentang visi masa depan kota-kota kita. Apakah kita ingin terus membangun kota yang dirancang untuk memindahkan kotak-kotak logam (mobil) secepat mungkin dari titik A ke B, dengan mengorbankan keselamatan, vitalitas ekonomi lokal, dan kualitas ruang publik? Ataukah kita ingin mulai membangun kota yang dirancang sebagai tempat tinggal, berinteraksi, berjalan kaki, dan berbisnis bagi manusia?
Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan kualitas hidup jutaan warga perkotaan Indonesia untuk dekade-dekade yang akan datang. Pelajaran dari Manado sudah ada di depan mata; sekarang saatnya untuk bertindak.
Sumber Artikel:
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 Oktober 2025
Sebuah tinjauan literatur sistematis yang komprehensif telah memetakan kondisi terkini dan arah masa depan perawatan jalan kerikil, sebuah komponen infrastruktur yang sering kali terabaikan namun memegang peranan krusial dalam perekonomian global. Dipublikasikan dalam Transportation Research Record, penelitian yang meninjau 105 publikasi ini tidak hanya menyoroti tantangan yang ada, tetapi juga membuka tabir inovasi teknologi yang berpotensi merevolusi cara kita mengelola arteri vital pedesaan ini. Temuan ini menjanjikan efisiensi anggaran yang luar biasa, peningkatan keselamatan, dan keberlanjutan lingkungan yang lebih baik.
Jaringan Arteri Tersembunyi yang Menopang Perekonomian Global
Ketika kita membicarakan infrastruktur jalan, imajinasi kita sering kali tertuju pada jalan tol megah berlapis aspal mulus yang membelah kota-kota besar. Namun, di balik bayang-bayang kemegahan tersebut, terdapat jaringan jalan yang jauh lebih luas, sunyi, namun tak kalah vital: jalan kerikil. Penelitian ini membuka mata kita pada skala masif dari jaringan yang sering dianggap kelas dua ini. Fakta mengejutkan menunjukkan bahwa sekitar 35% dari total jaringan jalan publik di negara maju seperti Amerika Serikat dan Swedia adalah jalan tak beraspal.1 Di Swedia, angkanya bahkan lebih dramatis, di mana jalan kerikil mencakup sekitar 75% dari seluruh jaringan jalan nasional.1
Jalan-jalan ini bukanlah sekadar jalur pedesaan yang sepi. Mereka adalah urat nadi perekonomian yang sesungguhnya, menjadi tulang punggung bagi sektor-sektor fundamental seperti pertanian, kehutanan, pariwisata, hingga layanan darurat seperti pemadam kebakaran dan tim penyelamat.1 Tanpa akses yang layak melalui jalan kerikil, rantai pasok pangan akan terganggu, hasil hutan tidak dapat diangkut, potensi wisata alam terisolasi, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan akan terhambat.
Di sinilah letak sebuah paradoks besar. Meskipun sering dikategorikan sebagai "jalan bervolume rendah" (low-volume roads), yang umumnya dilalui kurang dari 400 kendaraan per hari, dampak ekonomi dan sosial dari jalan-jalan ini justru sangat tinggi (high-impact).1 Kegagalan dalam merawat jalan ini dapat melumpuhkan seluruh ekosistem ekonomi lokal. Sayangnya, kondisi ini diperparah oleh fenomena yang dapat disebut sebagai "kebutaan infrastruktur". Para pembuat kebijakan dan lembaga pengelola jalan cenderung memfokuskan alokasi anggaran dan perhatian pada jalan raya utama di perkotaan, sementara jalan kerikil sering kali terabaikan.1 Kebutaan ini bukan hanya soal prioritas, tetapi juga soal data. Metode penilaian kondisi jalan kerikil yang selama ini dominan adalah inspeksi visual yang sangat subjektif.1 Akibatnya, tidak ada data kuantitatif yang kuat untuk dijadikan argumen dalam perebutan anggaran. Lingkaran setan pun terbentuk: tanpa data yang baik, tidak ada argumen kuat untuk investasi, dan tanpa investasi, kondisi jalan terus memburuk, memperdalam isolasi ekonomi pedesaan.
Wabah Kerusakan Sunyi: Debu, Lubang, dan Biaya Tersembunyi dari Metode Lama
Penelantaran sistematis terhadap jalan kerikil melahirkan wabah kerusakan yang dampaknya jauh melampaui sekadar ketidaknyamanan berkendara. Penelitian ini mengkatalogkan serangkaian "penyakit" kronis yang menggerogoti jalan-jalan ini, masing-masing dengan biaya tersembunyi yang sangat besar.
Akar dari semua masalah ini adalah ketergantungan pada metode perawatan yang reaktif dan subjektif. Keputusan perbaikan sering kali didasarkan pada keluhan warga atau pertimbangan politik, bukan pada analisis data yang objektif.1 Pendekatan "yang paling parah, diperbaiki lebih dulu" (worst first) ini secara fundamental tidak efisien. Biaya untuk memperbaiki kerusakan yang sudah parah jauh lebih mahal daripada melakukan intervensi pencegahan sejak dini. Studi ini menegaskan sebuah prinsip krusial: "biaya dari perawatan yang buruk bahkan lebih besar" daripada biaya perawatan rutin itu sendiri.1 Biaya tersembunyi—seperti peningkatan biaya operasional kendaraan, kerusakan kargo, hilangnya waktu produktif, dan dampak kesehatan—jauh melampaui angka yang tertera dalam anggaran perawatan jalan.
Fajar Era Baru: Bagaimana Ponsel Pintar dan Drone Mengubah Cara Kita "Membaca" Jalan
Di tengah tantangan yang tampak suram, penelitian ini menyoroti fajar era baru yang didorong oleh teknologi. Konsep "Maintenance 4.0", yang merupakan aplikasi dari Revolusi Industri 4.0, menjanjikan pergeseran paradigma dari perawatan yang reaktif menjadi prediktif dan proaktif, semuanya digerakkan oleh data.1 Teknologi yang dulunya dianggap fiksi ilmiah kini menjadi alat praktis yang dapat mengubah cara kita "membaca" dan merawat jalan.
Informasi yang sebelumnya tersembunyi dalam laporan teknis yang rumit kini diubah menjadi narasi yang dapat diakses. Bayangkan setiap kendaraan yang melintas di jalan pedesaan berubah menjadi sensor berjalan. Inilah yang dimungkinkan oleh aplikasi ponsel pintar seperti Roadroid, yang menggunakan sensor akselerometer di dalam ponsel untuk mengukur tingkat kekasaran dan getaran permukaan jalan secara objektif.1 Data ini dapat dikumpulkan secara massal dan real-time, memberikan gambaran kondisi jalan yang jauh lebih akurat daripada inspeksi visual sesekali.
Teknologi lain yang menjadi sorotan utama adalah penggunaan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau drone. Sebuah studi oleh Zhang dan Elaksher pada tahun 2012, yang menjadi salah satu publikasi paling berpengaruh dengan 190 kutipan, menunjukkan bagaimana drone dapat digunakan untuk menciptakan model tiga dimensi (3D) permukaan jalan dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi.1 Ini seperti beralih dari sekadar melihat foto jalan yang buram menjadi melakukan pemindaian MRI yang mendetail, memungkinkan identifikasi dini terhadap retakan, lubang, dan deformasi lainnya.
Inovasi tidak berhenti di situ. Para peneliti bahkan telah mengembangkan metode untuk "mendengarkan" kondisi jalan. Dengan menganalisis data akustik—yaitu, suara kerikil yang menghantam bagian bawah mobil—mereka dapat secara objektif mengklasifikasikan jumlah kerikil lepas di permukaan jalan.1 Ini adalah metode yang sangat hemat biaya dan efisien untuk mendiagnosis salah satu masalah paling umum pada jalan kerikil. Teknologi yang lebih canggih seperti LiDAR (pemindai laser) dan Ground-Penetrating Radar (GPR) bahkan memungkinkan kita untuk "melihat" ke bawah permukaan jalan, menilai kondisi struktural dan lapisan fondasi tanpa perlu melakukan penggalian.1
Kemunculan teknologi ini membawa implikasi yang mendalam: demokratisasi data infrastruktur. Pengumpulan data kondisi jalan tidak lagi menjadi monopoli lembaga pemerintah atau kontraktor besar dengan peralatan mahal. Melalui pendekatan participatory sensing (penginderaan partisipatif), di mana pengguna jalan biasa dapat berkontribusi data melalui ponsel pintar mereka, atau dengan melengkapi armada kendaraan lokal (seperti truk perusahaan kayu atau mobil dinas pertanian) dengan sensor sederhana, kita dapat membangun sistem pemantauan yang jauh lebih komprehensif, cepat, dan murah.1 Hal ini tidak hanya akan menghasilkan data yang lebih kaya, tetapi juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah kepada warganya.
Mengapa Ini Penting? Dampak Nyata di Balik Inovasi Teknologi
Penerapan Metode Berbasis Data (Data-Driven Methods atau DDM) bukan hanya soal kecanggihan teknologi, melainkan tentang dampak nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Manfaatnya merentang dari penghematan anggaran negara hingga peningkatan kualitas hidup di pedesaan.
Pertama, DDM memungkinkan perencanaan perawatan yang optimal. Alih-alih mengandalkan jadwal yang kaku atau menunggu laporan kerusakan, pengelola jalan dapat mengetahui secara presisi tindakan apa yang perlu diambil, kapan waktu yang paling tepat untuk melakukannya, dan di lokasi mana intervensi tersebut akan memberikan dampak terbesar.1 Dengan memprediksi kerusakan sebelum menjadi parah, biaya siklus hidup jalan dapat ditekan secara signifikan. Ini adalah pergeseran dari sekadar "menghabiskan anggaran" menjadi "melakukan investasi cerdas" dalam aset infrastruktur.
Kedua, data objektif membuka pintu bagi model kontrak yang revolusioner, yaitu Performance-Based Contracting (PBC) atau Kontrak Berbasis Kinerja. Dalam model tradisional, kontraktor dibayar berdasarkan volume pekerjaan yang mereka lakukan (misalnya, berapa kilometer jalan yang diratakan). Dalam PBC, kontraktor dibayar berdasarkan hasil atau kinerja yang mereka capai, misalnya, memastikan tingkat kekasaran jalan tetap berada di bawah ambang batas tertentu selama periode kontrak.1 Skema ini mendorong kontraktor untuk lebih inovatif dan efisien dalam bekerja, karena mereka berbagi risiko dan bertanggung jawab atas hasil akhir, bukan hanya proses.
Lebih jauh lagi, implementasi DDM secara efektif menciptakan "kembaran digital" (digital twin) dari jaringan jalan. Jaringan jalan tidak lagi dipandang sebagai sekumpulan aset fisik yang statis, tetapi sebagai aset data yang dinamis dan hidup.1 Data yang terus mengalir dari berbagai sensor dapat dimasukkan ke dalam model prediksi untuk melakukan simulasi, meramalkan tingkat kerusakan di masa depan, dan mengoptimalkan strategi perawatan jangka panjang.1 Ini adalah perubahan paradigma fundamental: pengelola jalan tidak lagi hanya mengelola kerikil dan tanah, tetapi mereka mengelola sistem informasi. Potensi yang terbuka sangat besar, mulai dari optimisasi rute logistik berdasarkan kondisi jalan real-time hingga pembuatan keputusan investasi yang jauh lebih rasional, seperti kapan waktu yang tepat untuk meningkatkan jalan kerikil menjadi jalan beraspal ringan seperti Otta seal.1
Kritik Realistis: Jalan Terjal Menuju Modernisasi
Meskipun prospeknya sangat cerah, transisi menuju manajemen jalan berbasis data bukanlah tanpa hambatan. Penelitian ini secara jujur memaparkan sejumlah tantangan signifikan yang harus diatasi.
Hambatan terbesar adalah finansial. Biaya investasi awal untuk membeli peralatan canggih, mengembangkan perangkat lunak, dan melatih personel bisa sangat tinggi, terutama bagi pemerintah daerah atau komunitas kecil dengan anggaran yang sangat terbatas.1 Ini menciptakan sebuah paradoks yang ironis: pihak yang paling membutuhkan efisiensi dari teknologi ini justru yang paling tidak mampu untuk berinvestasi di dalamnya.
Selain itu, terdapat jurang yang lebar antara penelitian akademis yang menjanjikan dengan implementasi praktis di lapangan. Sebagian besar metode objektif yang dibahas dalam literatur masih berada pada tahap prototipe atau pengembangan konsep, dan belum siap untuk diadopsi secara massal.1 Keberhasilan adopsi juga sangat bergantung pada faktor non-teknis, seperti komitmen dari manajemen puncak dan kemauan politik untuk mengubah budaya kerja yang sudah mapan. Tanpa dukungan ini, proyek-proyek inovatif berisiko menjadi pajangan semata.1
Tantangan lain terletak pada data itu sendiri. Kualitas data yang buruk, ketiadaan data historis yang dapat diandalkan, serta isu privasi dan keamanan data (terutama dalam skema participatory sensing) merupakan rintangan teknis dan etis yang harus ditangani dengan serius.1
Namun, salah satu temuan yang paling mengkhawatirkan dari penelitian ini adalah adanya kesenjangan geografis yang tajam dalam riset. Mayoritas penelitian (lebih dari 50%) terkonsentrasi di Amerika Utara (khususnya AS) dan Eropa Utara (khususnya Swedia), sementara publikasi dari Asia dan Amerika Selatan hampir tidak ditemukan.1 Ini bukan sekadar catatan akademis; ini adalah sinyal peringatan dini akan munculnya "kesenjangan digital infrastruktur" global. Negara-negara yang sudah maju dalam penelitian akan lebih cepat menuai manfaat ekonomi dari DDM, sementara negara-negara berkembang, yang ekonominya sangat bergantung pada jalan pedesaan, berisiko semakin tertinggal. Solusi yang dikembangkan di iklim Swedia mungkin tidak relevan untuk kondisi tropis di Indonesia tanpa adanya penelitian dan adaptasi lokal. Ketiadaan riset lokal akan menghambat lahirnya solusi yang sesuai, menciptakan siklus keterbelakangan infrastruktur yang sulit dipatahkan.
Peta Jalan Menuju Masa Depan yang Lebih Mulus
Tinjauan literatur ini melukiskan gambaran yang jelas: kita berada di titik krusial dalam sejarah pengelolaan infrastruktur. Kita telah bergerak dari mengabaikan jalan kerikil, menyadari kegagalan metode lama, menemukan solusi teknologi yang revolusioner, hingga memahami potensi dan tantangan yang menyertainya. Jalan ke depan menuntut lebih dari sekadar teknologi; ia menuntut kolaborasi.
Rekomendasi utama dari penelitian ini adalah perlunya kemitraan yang lebih erat antara para peneliti, pemerintah di semua tingkatan, sektor swasta, dan masyarakat lokal.1 Kemitraan semacam ini adalah kunci untuk mengatasi hambatan biaya melalui skema pendanaan bersama, serta untuk memastikan bahwa solusi yang dikembangkan benar-benar menjawab kebutuhan nyata di lapangan.
Masa depan perawatan jalan kerikil tidak lagi terletak pada lebih banyak truk atau lebih banyak kerikil, tetapi pada data yang lebih cerdas. Dengan merangkul revolusi digital ini, kita memiliki kesempatan untuk mengubah jalanan yang terlupakan menjadi jaringan infrastruktur yang efisien, tangguh, dan berkelanjutan. Jika diterapkan secara luas, pendekatan berbasis data ini berpotensi menghemat anggaran publik dalam jumlah masif dalam dekade mendatang, secara drastis mengurangi jejak karbon dari kegiatan perawatan infrastruktur, dan yang terpenting, membuka potensi ekonomi penuh bagi jutaan masyarakat pedesaan yang selama ini terhubung oleh jalanan yang rapuh.
Sumber Artikel:
Mbiyana, K., Kans, M., Campos, J., & Håkansson, L. (2022). Literature Review on Gravel Road Maintenance: Current State and Directions for Future Research. Transportation Research Record, 2677(5), 506–522. https://doi.org/10.1177/03611981221133102
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Oktober 2025
Infrastruktur jalan adalah urat nadi perekonomian sebuah bangsa. Ia mengalirkan barang, jasa, dan manusia, menentukan laju pertumbuhan, dan menjadi cerminan dari kemampuan sebuah pemerintahan dalam melayani warganya. Namun, di balik mulusnya aspal yang kita lalui setiap hari, tersimpan sebuah krisis senyap yang mengancam stabilitas ini. Sebuah penelitian terbaru dari Provinsi Jawa Tengah membongkar sebuah realita yang mengkhawatirkan: kesenjangan masif antara kebutuhan pemeliharaan jalan dan anggaran yang tersedia, sebuah bom waktu yang berpotensi melumpuhkan konektivitas regional. Namun, di tengah keterbatasan itu, riset ini juga mengungkap sebuah kisah inspiratif tentang inovasi, teknologi, dan kebangkitan semangat gotong royong modern sebagai jawabannya.
Krisis Senyap di Balik Aspal: Ketika Anggaran Tak Sanggup Lagi Menopang Jalanan Jawa Tengah
Setiap tahun, pemerintah dihadapkan pada tugas berat untuk menjaga ribuan kilometer jalan dalam kondisi prima. Tugas ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, yang perhitungannya didasarkan pada analisis teknis mendalam untuk memastikan setiap rupiah yang dikeluarkan memberikan hasil maksimal. Di Jawa Tengah, sistem canggih bernama Planning, Programming, and Budgeting (P/KRMS) menjadi panduan utama dalam menentukan kebutuhan anggaran ideal ini.
Pada tahun 2023, sistem P/KRMS menghitung bahwa untuk menjaga seluruh jalan provinsi tetap dalam kondisi mantap, dibutuhkan dana pemeliharaan rutin sebesar $Rp\ 441.246.000.000,00$.1 Angka ini bukanlah angka yang fantastis, melainkan sebuah kalkulasi teknis yang presisi untuk menambal lubang, merapikan bahu jalan, dan memastikan drainase berfungsi baik—pekerjaan-pekerjaan kecil yang mencegah kerusakan besar.
Namun, data realisasi anggaran pada tahun yang sama menunjukkan gambaran yang sangat berbeda. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah hanya mampu mengalokasikan dana sebesar $Rp\ 125.686.108.000,00$.1 Artinya, hanya 28,48% dari kebutuhan ideal yang terpenuhi. Ini ibarat mencoba menjalankan sebuah mesin industri raksasa selama setahun penuh, tetapi hanya dibekali bahan bakar yang cukup untuk tiga bulan. Cepat atau lambat, mesin itu pasti akan melambat dan akhirnya berhenti.
Kesenjangan finansial yang kritis ini bukanlah sebuah kegagalan yang terjadi dalam satu tahun. Ia adalah puncak dari sebuah masalah alokasi anggaran yang bersifat sistemik dan kronis. Meskipun data menunjukkan adanya tren kenaikan nominal anggaran dari tahun ke tahun, peningkatannya tidak pernah sebanding dengan laju kerusakan dan kebutuhan ideal yang terus membengkak. Ini mengindikasikan adanya pertarungan prioritas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), di mana pemeliharaan infrastruktur—sebuah pekerjaan krusial namun seringkali dianggap kurang "glamor"—kerap kali harus mengalah. Angka-angka ini bukan sekadar statistik dalam laporan keuangan; ia adalah fondasi dari masalah yang lebih besar yang dirasakan langsung oleh jutaan warga setiap hari: penurunan kualitas layanan publik, ancaman keselamatan lalu lintas, dan terhambatnya kelancaran distribusi barang dan jasa.
Retak yang Semakin Lebar: Dampak Nyata Defisit Anggaran pada Kondisi Jalan Raya
Defisit anggaran yang mencapai lebih dari 70% tentu saja meninggalkan jejak yang nyata di atas aspal. Penelitian ini secara kuantitatif memotret bagaimana keterbatasan dana secara langsung menggerus kualitas jalan provinsi. Secara keseluruhan, tingkat kemantapan jalan—sebuah indikator kunci yang diukur menggunakan International Roughness Index (IRI)—mengalami penurunan sebesar 1,61% dari 92,49% pada tahun 2022 menjadi 90,88% pada tahun 2023.1
Sekilas, angka penurunan 1,61% mungkin terdengar kecil dan tidak signifikan. Namun, di balik angka agregat tersebut, tersembunyi sebuah krisis kualitas yang jauh lebih dalam dan mengkhawatirkan. Ketika data kondisi permukaan jalan dibedah lebih lanjut, sebuah cerita yang lebih dramatis terungkap. Pada tahun 2022, sebanyak 83,60% dari total panjang jalan provinsi berada dalam kondisi "Baik", kategori paling ideal yang menjamin kenyamanan dan keamanan pengguna. Namun, hanya dalam kurun waktu satu tahun, persentase ini anjlok secara drastis menjadi hanya 69,50% pada tahun 2023.1 Ini berarti Jawa Tengah kehilangan lebih dari 14 poin persentase dari aset jalan terbaiknya dalam waktu singkat.
Lalu, ke mana perginya jalan-jalan yang tadinya "Baik" ini? Mereka tidak langsung menjadi "Rusak Berat". Sebaliknya, mereka turun kelas ke kondisi "Sedang". Persentase jalan dalam kondisi "Sedang" membengkak lebih dari dua kali lipat, dari hanya 8,89% pada tahun 2022 menjadi 21,38% pada tahun 2023.1 Fenomena ini mengungkap sebuah strategi yang terpaksa diambil oleh pemerintah: menjaga agar jalan tidak sampai masuk kategori "Tidak Mantap" (dengan nilai IRI di atas 8), tetapi dengan mengorbankan kualitas premiumnya. Jalanan tidak lagi "Baik", melainkan hanya "cukup baik untuk sementara". Ini adalah strategi menunda bencana, bukan mencegahnya. Erosi kualitas masif yang terjadi dari dalam ini adalah sinyal peringatan bahwa sistem infrastruktur jalan provinsi sedang mendekati titik kritis, di mana perbaikan-perbaikan kecil tidak akan lagi cukup untuk membendung kerusakan yang lebih fundamental.
Suara Warga Menjadi Peta Digital: Inovasi "Jalan Cantik" sebagai Mata dan Telinga Pemerintah
Menghadapi tembok keterbatasan anggaran, Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Cipta Karya Provinsi Jawa Tengah tidak tinggal diam. Mereka beralih ke salah satu sumber daya paling berharga namun seringkali terabaikan: partisipasi aktif warganya. Melalui pengembangan aplikasi "Jalan Cantik", pemerintah membuka kanal komunikasi langsung bagi masyarakat untuk melaporkan kerusakan jalan secara cepat dan akurat.
Hasilnya sungguh di luar dugaan. Data menunjukkan adanya ledakan partisipasi publik yang fenomenal. Jumlah laporan kerusakan jalan provinsi yang masuk melalui aplikasi "Jalan Cantik" meroket dari hanya 44 laporan sepanjang tahun 2022 menjadi 227 laporan pada tahun 2023.1 Ini adalah sebuah lompatan partisipasi sebesar 5,16 kali lipat hanya dalam satu tahun.
Lonjakan ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: jika sebelumnya pemerintah hanya memiliki 44 pasang mata di lapangan yang tersebar di seluruh provinsi, kini mereka mendadak memiliki lebih dari 200 pasang mata tambahan yang secara sukarela dan tanpa biaya memetakan titik-titik kritis di jaringan jalan. Informasi yang masuk secara real-time ini memungkinkan tim perbaikan bekerja dengan presisi layaknya seorang ahli bedah, menargetkan sumber masalah sebelum menyebar luas. Aplikasi ini secara efektif mengubah model kerja pemerintah dari pemantauan terjadwal yang mahal dan lambat, menjadi sistem penentuan prioritas yang dinamis, efisien, dan berbasis bukti dari masyarakat.
Namun, lonjakan laporan ini memiliki makna ganda. Di satu sisi, ia menunjukkan keberhasilan adopsi teknologi dan meningkatnya kesadaran publik. Di sisi lain, ia juga berfungsi sebagai proksi langsung dari meningkatnya tingkat kerusakan jalan dan frustrasi yang dirasakan warga. Korelasi waktu antara penurunan drastis kondisi jalan "Baik" dengan meroketnya jumlah laporan di aplikasi "Jalan Cantik" sangatlah kuat. Dengan demikian, aplikasi ini secara cerdas berhasil menjadi katup pengaman sosial, menyalurkan keluhan dan keresahan publik menjadi data konstruktif yang bisa ditindaklanjuti, sekaligus meredam potensi gejolak sosial yang lebih luas akibat infrastruktur yang buruk.
Tangan-Tangan Komunitas: "Mas BIMA" sebagai Pasukan Cepat Tanggap Gotong Royong Modern
Jika aplikasi "Jalan Cantik" adalah sistem saraf digital yang mendeteksi masalah, maka program "Mas BIMA" (Masyarakat Bina Marga) adalah tangan dan kaki yang bergerak untuk menyelesaikannya. Program ini adalah perwujudan cemerlang dari semangat gotong royong yang dilembagakan untuk menjawab tantangan infrastruktur modern. "Mas BIMA" adalah sebuah inisiatif padat karya yang merekrut warga lokal, seperti pekerja atau petani, untuk menjadi pasukan cepat tanggap di wilayah mereka.
Data menunjukkan bahwa program ini terus tumbuh dan diterima dengan baik di tingkat akar rumput. Jumlah anggota "Mas BIMA" menunjukkan tren peningkatan yang solid dan berkelanjutan:
Pasukan inilah yang menjadi ujung tombak di lapangan. Ketika sebuah laporan masuk melalui "Jalan Cantik", informasi tersebut diteruskan ke tim "Mas BIMA" terdekat. Mereka kemudian bergerak cepat untuk melakukan penanganan darurat, seperti menambal lubang-lubang kecil atau membersihkan saluran air yang tersumbat. Karena mereka adalah warga setempat yang mendedikasikan waktu luangnya, respons yang diberikan menjadi jauh lebih cepat dan efisien. Tidak perlu lagi menunggu mobilisasi alat berat dan tim dari kantor pusat yang memakan waktu dan biaya.
Lebih dari itu, "Jalan Cantik" dan "Mas BIMA" bukanlah dua program yang berjalan sendiri-sendiri. Keduanya membentuk sebuah ekosistem simbiosis yang saling menguatkan. Laporan digital dari "Jalan Cantik" menjadi "perintah kerja" yang jelas bagi tim "Mas BIMA". Kecepatan dan efektivitas respons dari "Mas BIMA" kemudian memvalidasi kegunaan aplikasi di mata publik, yang pada gilirannya mendorong lebih banyak warga untuk berpartisipasi dan melapor. Ini adalah sebuah model tata kelola hibrida yang secara brilian mengintegrasikan high-tech (aplikasi seluler) dengan high-touch (partisipasi komunitas), menciptakan sebuah siklus umpan balik positif di mana pemerintah dan warga menjadi mitra aktif dalam merawat aset bersama.
Sebuah Model Harapan dengan Catatan Kritis yang Realistis
Model yang dikembangkan di Jawa Tengah ini tidak diragukan lagi adalah sebuah terobosan. Di tengah himpitan fiskal, pemerintah berhasil menciptakan sebuah sistem yang tidak hanya efisien dalam menambal jalan, tetapi juga berhasil meningkatkan partisipasi publik, menumbuhkan rasa memiliki, dan bahkan memberdayakan ekonomi lokal melalui skema padat karya. Ini adalah sebuah cetak biru yang patut dipelajari oleh daerah lain yang menghadapi tantangan serupa.
Namun, model ini memiliki keterbatasan fundamental. Program "Mas BIMA" sangat efektif untuk menangani pemeliharaan rutin—tindakan-tindakan kecil dan reaktif seperti menambal lubang. Akan tetapi, mereka tidak dirancang dan tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pemeliharaan periodik (seperti pelapisan ulang aspal satu ruas jalan) atau rehabilitasi struktural (perbaikan fondasi jalan), yang merupakan pekerjaan skala besar dan membutuhkan investasi modal yang signifikan. Tanpa pendanaan yang cukup untuk intervensi skala besar ini, strategi saat ini ibarat memberikan pertolongan pertama pada luka gores, sementara pendarahan internal pada struktur jalan terus berlanjut tanpa tertangani.
Risiko jangka panjangnya adalah terciptanya "utang pemeliharaan" (maintenance debt). Dengan hanya berfokus pada perbaikan permukaan yang bersifat reaktif, kerusakan struktural yang lebih dalam pada fondasi jalan akan terus terakumulasi dari tahun ke tahun. Suatu saat, kerusakan ini akan mencapai titik di mana penambalan sederhana tidak lagi berguna, dan jalan tersebut memerlukan rekonstruksi total yang biayanya bisa berkali-kali lipat lebih mahal daripada biaya pemeliharaan periodik yang seharusnya dilakukan. Oleh karena itu, solusi ini, meskipun sangat cerdas, secara inheren tidak berkelanjutan jika tidak diimbangi dengan komitmen politik untuk meningkatkan alokasi anggaran pemeliharaan secara signifikan di masa depan.
Visi ke Depan: Pelajaran dari Jawa Tengah untuk Masa Depan Infrastruktur Indonesia
Penelitian ini memberikan pelajaran yang sangat berharga. Ia menunjukkan bahwa di era keterbatasan, kreativitas dan kolaborasi dapat menjadi senjata paling ampuh. Jawa Tengah telah membuktikan bahwa kombinasi cerdas antara teknologi digital untuk pengumpulan data, partisipasi publik untuk pengawasan, dan pemberdayaan komunitas untuk eksekusi cepat dapat menjadi strategi pertahanan yang efektif dalam menghadapi krisis anggaran infrastruktur.
Model ini mentransformasi hubungan antara pemerintah dan warganya dari yang bersifat transaksional menjadi kemitraan sejati. Warga tidak lagi hanya menjadi pengguna pasif yang mengeluh, tetapi menjadi mitra aktif yang berkontribusi pada solusi. Ini adalah sebuah modal sosial yang tak ternilai harganya.
Jika model terintegrasi "Jalan Cantik" dan "Mas BIMA" ini dapat dipertahankan dan diperkuat dengan peningkatan alokasi anggaran secara bertahap untuk pemeliharaan periodik, temuan ini menunjukkan potensi untuk memperlambat laju kerusakan infrastruktur secara signifikan. Dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, strategi ini bisa menghemat triliunan rupiah biaya rekonstruksi total yang jauh lebih mahal, sambil membangun modal sosial dan kepercayaan publik yang menjadi fondasi bagi pembangunan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Triyono, A. R., Hermani, W. T., Amrulloh, N. S., & Setyawan, A. (2024). Improved road performance through the implementation of routine road maintenance management system. Journal of Applied Engineering Science, 22(3).
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Oktober 2025
Setiap kali langit menggelap dan hujan deras mengguyur, kota-kota di Indonesia seolah memasuki sebuah ritual tahunan yang melumpuhkan. Jalanan berubah menjadi sungai dadakan, lalu lintas membeku dalam kemacetan total, dan ribuan rumah terendam air keruh. Banjir bukan lagi sekadar bencana, melainkan sebuah keniscayaan musiman yang dampaknya merambat ke setiap sendi kehidupan: aktivitas ekonomi terhenti, kerugian materiil membengkak, dan ancaman penyakit mengintai di setiap genangan.1 Selama bertahun-tahun, kita menyaksikan triliunan rupiah digelontorkan untuk proyek-proyek pengendalian banjir—normalisasi sungai, pembangunan kanal, dan perbaikan saluran. Namun, mengapa ritual tahunan ini seolah tak pernah berakhir? Apakah kita hanya sibuk menambal gejala, tanpa pernah menyentuh akar penyakitnya?
Sebuah buku komprehensif berjudul Drainase Perkotaan, yang disusun oleh kolaborasi para akademisi dan praktisi rekayasa sipil, menawarkan sebuah jawaban yang radikal sekaligus mencerahkan. Buku ini bukan sekadar manual teknis, melainkan sebuah investigasi mendalam yang membongkar kegagalan filosofis dalam cara kita mengelola air di lingkungan perkotaan. Para penulisnya berargumen bahwa masalah banjir bukanlah sekadar kegagalan infrastruktur, melainkan kegagalan paradigma. Melalui analisis data dan kajian mendalam, buku ini tidak hanya membedah mengapa sistem yang ada selalu kalah, tetapi juga menyajikan sebuah peta jalan menuju solusi yang berkelanjutan, sebuah konsep yang bisa mengubah wajah kota kita selamanya.1
Mengapa Sistem Drainase Kita Seringkali Kalah Melawan Hujan? Membedah Paradigma yang Gagal
Untuk memahami mengapa banjir terus berulang, kita harus melihat filosofi yang mendasari sistem drainase konvensional yang diadopsi hampir di seluruh kota di Indonesia. Buku Drainase Perkotaan menjelaskan bahwa esensi dari paradigma lama ini sangat sederhana: "mengatuskan, mengeringkan, atau membuang air".1 Tujuannya adalah mengalirkan air hujan yang berlebih secepat mungkin dari permukaan tanah, masuk ke dalam saluran, dan membuangnya ke badan air terdekat seperti sungai atau laut. Di atas kertas, konsep ini terdengar logis. Namun, dalam praktiknya, pendekatan ini justru menjadi resep bencana di tengah laju urbanisasi yang tak terkendali.
Urbanisasi adalah musuh utama dari sistem ini. Setiap meter persegi lahan hijau yang diubah menjadi jalan aspal, lahan parkir beton, atau bangunan secara drastis mengubah siklus hidrologi alami. Lahan yang tadinya berfungsi sebagai spons alami, kini berubah menjadi permukaan kedap air (impervious surface) yang menolak air meresap ke dalam tanah.1 Buku ini melukiskan gambaran yang gamblang: sebuah taman hijau mungkin hanya melepaskan 10-20% air hujan sebagai aliran permukaan, sementara kawasan pusat bisnis yang didominasi beton dan aspal bisa menumpahkan lebih dari 90% air hujan langsung ke selokan. Ini berarti, setiap pembangunan mal atau jalan baru tanpa mitigasi adalah seperti membuka keran raksasa yang bebannya harus ditanggung oleh sistem drainase yang sama tuanya.1
Konsekuensinya, volume limpasan permukaan (runoff) meningkat secara eksponensial, jauh melampaui kapasitas saluran yang ada. Sistem yang dirancang puluhan tahun lalu kini harus menanggung beban air yang berkali-kali lipat lebih besar. Lebih buruk lagi, paradigma "buang secepatnya" ini pada dasarnya hanya memindahkan masalah. Air yang "berhasil" dialirkan dari kawasan perumahan elit di dataran yang lebih tinggi akan menjadi gelombang banjir bandang yang menerjang permukiman padat penduduk di wilayah hilir. Kita tidak menyelesaikan masalah, kita hanya mengekspornya ke tetangga kita.1
Ironisnya, sistem yang dirancang untuk mengatasi masalah kelebihan air ini secara tidak langsung menciptakan krisis lainnya. Dengan membuang air hujan—sumber daya air tawar yang berharga—langsung ke laut, kita mencegah proses pengisian ulang cadangan air tanah (groundwater recharge). Akibatnya, kota-kota kita menghadapi dua krisis sekaligus: krisis kelebihan air berupa banjir saat musim hujan, dan krisis kekurangan air yang memanifestasikan diri dalam bentuk kekeringan, penurunan muka air tanah, dan intrusi air laut saat musim kemarau. Banjir dan kekeringan bukanlah dua masalah terpisah; mereka adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu salah urus siklus air perkotaan yang fundamental.1
Revolusi Senyap di Bawah Tanah: Membedah Konsep Ecodrainage
Menghadapi kegagalan paradigma konvensional, buku Drainase Perkotaan memperkenalkan sebuah alternatif yang transformatif: Ecodrainage atau Drainase Ramah Lingkungan. Ini bukan sekadar perbaikan atau penambahan kapasitas saluran, melainkan sebuah perubahan filosofis yang mendasar. Konsep utamanya adalah membalik logika lama: alih-alih membuang air secepatnya, tujuannya adalah "meresapkan air sebanyak-banyaknya ke dalam tanah secara alamiah" dan menahannya selama mungkin di lokasi ia jatuh.1
Filosofi baru ini memperlakukan air hujan sebagai aset berharga yang harus dikelola, bukan sebagai limbah yang harus diusir. Tujuannya adalah meniru siklus hidrologi alami di dalam lingkungan buatan kota. Jika drainase konvensional dapat diibaratkan sebagai jalan tol satu arah yang lurus menuju laut, maka Ecodrainage adalah sebuah jaringan kompleks yang terdiri dari "area peristirahatan", "kolam resapan", dan "stasiun pengisian ulang" yang memastikan setiap tetes air hujan diberi kesempatan untuk bermanfaat sebelum melanjutkan perjalanannya. Pendekatan ini berdiri di atas tiga pilar utama:
Lebih dari sekadar rekayasa teknis, Ecodrainage pada hakikatnya adalah sebuah upaya desain perkotaan yang restoratif. Pembangunan kota modern telah menghilangkan fungsi-fungsi ekologis vital dari lanskap, seperti kemampuan lahan basah menyerap air atau peran hutan kota dalam mengatur siklus air. Ecodrainage bertujuan untuk merekayasa kembali fungsi-fungsi yang hilang tersebut ke dalam tatanan kota. Lubang biopori, misalnya, secara fungsional meniru aktivitas fauna tanah dalam menciptakan pori-pori untuk infiltrasi air. Kolam retensi berfungsi layaknya rawa atau danau kecil yang secara alami menampung luapan air. Dengan demikian, Ecodrainage adalah sebuah langkah ambisius untuk mendesain ulang kota agar dapat berfungsi kembali seperti ekosistem yang sehat, yang mampu mengatur dan menyembuhkan siklus airnya sendiri.1
Inovasi Cerdas untuk Kota Tahan Air: Dari Biopori hingga Sistem Polder
Buku ini memaparkan serangkaian "senjata" dalam arsenal Ecodrainage yang dapat diterapkan di berbagai skala, dari halaman belakang rumah hingga seluruh bentang kota. Setiap inovasi ini dirancang untuk bekerja secara sinergis, menciptakan sebuah sistem pertahanan air yang berlapis dan tangguh.
Kekuatan utama dari pendekatan Ecodrainage terletak pada sifatnya yang modular dan terdesentralisasi. Berbeda dengan proyek kanal raksasa yang bersifat monolitik dan sentralistik, Ecodrainage adalah jaringan solusi yang terdistribusi. Sumur resapan dan biopori dapat dibuat oleh individu dan komunitas, sementara kolam retensi dan polder menjadi tanggung jawab pengembang dan pemerintah kota. Hal ini secara fundamental mengubah peran warga dari korban pasif banjir menjadi agen aktif dalam mitigasi. Keberhasilan sistem ini tidak hanya bergantung pada proyek pemerintah berskala besar, tetapi pada akumulasi jutaan tindakan kecil yang dilakukan di seluruh penjuru kota.1
Sebuah Kritik Realistis dan Tantangan di Depan Mata
Meskipun menyajikan cetak biru yang menjanjikan, buku Drainase Perkotaan secara implisit juga mengakui bahwa transisi menuju Ecodrainage bukanlah jalan yang mudah. Ada tantangan-tantangan besar yang harus dihadapi, yang lebih bersifat sosio-politis ketimbang teknis.
Tantangan pertama adalah ketersediaan lahan. Di kota-kota yang sudah padat, menemukan ruang untuk membangun kolam retensi atau fasilitas penampungan air lainnya adalah sebuah kemewahan. Ini menuntut kreativitas dalam perencanaan tata ruang, seperti mengintegrasikan fungsi penampungan air ke dalam taman kota, lapangan olahraga, atau ruang terbuka hijau lainnya.
Kedua, biaya dan investasi. Meskipun solusi seperti biopori relatif murah, sistem yang lebih besar seperti polder atau kolam retensi membutuhkan investasi awal yang signifikan. Diperlukan komitmen anggaran jangka panjang dari pemerintah daerah, serta insentif bagi sektor swasta untuk turut berinvestasi.
Ketiga, dan mungkin yang paling krusial, adalah regulasi dan penegakan hukum. Konsep Ecodrainage hanya akan menjadi wacana jika tidak didukung oleh peraturan yang kuat dan penegakan yang tegas. Pemerintah kota harus mewajibkan setiap pembangunan baru—baik perumahan, komersial, maupun infrastruktur—untuk mengintegrasikan fasilitas Ecodrainage sebagai syarat mutlak perizinan. Tanpa "gigi" hukum yang tajam terhadap pelanggaran Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), alih fungsi lahan resapan akan terus terjadi.1
Terakhir, tantangan perubahan perilaku. Teknologi secanggih apa pun akan sia-sia jika saluran drainase masih dianggap sebagai tempat sampah raksasa. Mengubah kebiasaan masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan mendorong partisipasi aktif dalam pemeliharaan drainase lingkungan adalah perjuangan budaya jangka panjang yang membutuhkan edukasi berkelanjutan.1 Tantangan terbesar mungkin bukan terletak pada aspek teknis yang telah diuraikan dengan baik dalam buku ini, melainkan pada kemauan politik dan kohesi sosial untuk melaksanakannya secara konsisten.
Membangun Kota sebagai Spons, Bukan Talang Air
Buku Drainase Perkotaan pada akhirnya menyampaikan sebuah pesan yang kuat dan mendesak: kita harus berhenti membangun kota kita sebagai "talang air" raksasa dari beton yang dirancang hanya untuk membuang air. Sebaliknya, kita harus mulai membangunnya sebagai "spons" hidup yang cerdas, yang mampu menyerap, menyimpan, dan beradaptasi dengan siklus air alami.
Solusi atas krisis banjir tahunan tidak terletak pada pembangunan saluran yang lebih besar dan lebih mahal, yang pada akhirnya hanya akan memindahkan masalah ke tempat lain. Solusinya terletak pada pergeseran paradigma fundamental menuju Ecodrainage—sebuah pendekatan yang menghormati air sebagai sumber kehidupan, bukan sebagai ancaman.
Jika diterapkan secara komprehensif, pendekatan yang diuraikan dalam buku ini berpotensi tidak hanya mengurangi frekuensi dan dampak banjir tahunan secara signifikan, tetapi juga meningkatkan ketahanan air kota dalam menghadapi musim kemarau yang semakin kering. Ini adalah sebuah investasi ganda yang cerdas: melindungi kota dari kelebihan air hari ini, sambil memastikan ketersediaan air yang cukup untuk hari esok. Ini adalah jalan menuju kota yang tidak hanya lebih aman, tetapi juga lebih sehat, lebih hijau, dan lebih berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Sumber Artikel:
Saidah, H., Nur, N. K., Rangan, P. R., Mukrim, M. I., Tamrin, Miswar Tumpu, Nanda, A. R., Jamal, M., Mansida, A., & Sindagamanik, F. D. (2021). Drainase Perkotaan. Yayasan Kita Menulis.