Buku Ini Mengungkap Paradigma Baru Drainase Perkotaan – Solusi Tersembunyi untuk Mengakhiri Banjir Tahunan!

Dipublikasikan oleh Hansel

16 Oktober 2025, 10.37

unsplash.com

Setiap kali langit menggelap dan hujan deras mengguyur, kota-kota di Indonesia seolah memasuki sebuah ritual tahunan yang melumpuhkan. Jalanan berubah menjadi sungai dadakan, lalu lintas membeku dalam kemacetan total, dan ribuan rumah terendam air keruh. Banjir bukan lagi sekadar bencana, melainkan sebuah keniscayaan musiman yang dampaknya merambat ke setiap sendi kehidupan: aktivitas ekonomi terhenti, kerugian materiil membengkak, dan ancaman penyakit mengintai di setiap genangan.1 Selama bertahun-tahun, kita menyaksikan triliunan rupiah digelontorkan untuk proyek-proyek pengendalian banjir—normalisasi sungai, pembangunan kanal, dan perbaikan saluran. Namun, mengapa ritual tahunan ini seolah tak pernah berakhir? Apakah kita hanya sibuk menambal gejala, tanpa pernah menyentuh akar penyakitnya?

Sebuah buku komprehensif berjudul Drainase Perkotaan, yang disusun oleh kolaborasi para akademisi dan praktisi rekayasa sipil, menawarkan sebuah jawaban yang radikal sekaligus mencerahkan. Buku ini bukan sekadar manual teknis, melainkan sebuah investigasi mendalam yang membongkar kegagalan filosofis dalam cara kita mengelola air di lingkungan perkotaan. Para penulisnya berargumen bahwa masalah banjir bukanlah sekadar kegagalan infrastruktur, melainkan kegagalan paradigma. Melalui analisis data dan kajian mendalam, buku ini tidak hanya membedah mengapa sistem yang ada selalu kalah, tetapi juga menyajikan sebuah peta jalan menuju solusi yang berkelanjutan, sebuah konsep yang bisa mengubah wajah kota kita selamanya.1

 

Mengapa Sistem Drainase Kita Seringkali Kalah Melawan Hujan? Membedah Paradigma yang Gagal

Untuk memahami mengapa banjir terus berulang, kita harus melihat filosofi yang mendasari sistem drainase konvensional yang diadopsi hampir di seluruh kota di Indonesia. Buku Drainase Perkotaan menjelaskan bahwa esensi dari paradigma lama ini sangat sederhana: "mengatuskan, mengeringkan, atau membuang air".1 Tujuannya adalah mengalirkan air hujan yang berlebih secepat mungkin dari permukaan tanah, masuk ke dalam saluran, dan membuangnya ke badan air terdekat seperti sungai atau laut. Di atas kertas, konsep ini terdengar logis. Namun, dalam praktiknya, pendekatan ini justru menjadi resep bencana di tengah laju urbanisasi yang tak terkendali.

Urbanisasi adalah musuh utama dari sistem ini. Setiap meter persegi lahan hijau yang diubah menjadi jalan aspal, lahan parkir beton, atau bangunan secara drastis mengubah siklus hidrologi alami. Lahan yang tadinya berfungsi sebagai spons alami, kini berubah menjadi permukaan kedap air (impervious surface) yang menolak air meresap ke dalam tanah.1 Buku ini melukiskan gambaran yang gamblang: sebuah taman hijau mungkin hanya melepaskan 10-20% air hujan sebagai aliran permukaan, sementara kawasan pusat bisnis yang didominasi beton dan aspal bisa menumpahkan lebih dari 90% air hujan langsung ke selokan. Ini berarti, setiap pembangunan mal atau jalan baru tanpa mitigasi adalah seperti membuka keran raksasa yang bebannya harus ditanggung oleh sistem drainase yang sama tuanya.1

Konsekuensinya, volume limpasan permukaan (runoff) meningkat secara eksponensial, jauh melampaui kapasitas saluran yang ada. Sistem yang dirancang puluhan tahun lalu kini harus menanggung beban air yang berkali-kali lipat lebih besar. Lebih buruk lagi, paradigma "buang secepatnya" ini pada dasarnya hanya memindahkan masalah. Air yang "berhasil" dialirkan dari kawasan perumahan elit di dataran yang lebih tinggi akan menjadi gelombang banjir bandang yang menerjang permukiman padat penduduk di wilayah hilir. Kita tidak menyelesaikan masalah, kita hanya mengekspornya ke tetangga kita.1

Ironisnya, sistem yang dirancang untuk mengatasi masalah kelebihan air ini secara tidak langsung menciptakan krisis lainnya. Dengan membuang air hujan—sumber daya air tawar yang berharga—langsung ke laut, kita mencegah proses pengisian ulang cadangan air tanah (groundwater recharge). Akibatnya, kota-kota kita menghadapi dua krisis sekaligus: krisis kelebihan air berupa banjir saat musim hujan, dan krisis kekurangan air yang memanifestasikan diri dalam bentuk kekeringan, penurunan muka air tanah, dan intrusi air laut saat musim kemarau. Banjir dan kekeringan bukanlah dua masalah terpisah; mereka adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu salah urus siklus air perkotaan yang fundamental.1

 

Revolusi Senyap di Bawah Tanah: Membedah Konsep Ecodrainage

Menghadapi kegagalan paradigma konvensional, buku Drainase Perkotaan memperkenalkan sebuah alternatif yang transformatif: Ecodrainage atau Drainase Ramah Lingkungan. Ini bukan sekadar perbaikan atau penambahan kapasitas saluran, melainkan sebuah perubahan filosofis yang mendasar. Konsep utamanya adalah membalik logika lama: alih-alih membuang air secepatnya, tujuannya adalah "meresapkan air sebanyak-banyaknya ke dalam tanah secara alamiah" dan menahannya selama mungkin di lokasi ia jatuh.1

Filosofi baru ini memperlakukan air hujan sebagai aset berharga yang harus dikelola, bukan sebagai limbah yang harus diusir. Tujuannya adalah meniru siklus hidrologi alami di dalam lingkungan buatan kota. Jika drainase konvensional dapat diibaratkan sebagai jalan tol satu arah yang lurus menuju laut, maka Ecodrainage adalah sebuah jaringan kompleks yang terdiri dari "area peristirahatan", "kolam resapan", dan "stasiun pengisian ulang" yang memastikan setiap tetes air hujan diberi kesempatan untuk bermanfaat sebelum melanjutkan perjalanannya. Pendekatan ini berdiri di atas tiga pilar utama:

  1. Memperlambat Aliran: Menahan laju air hujan agar tidak secara serentak membebani sistem drainase hilir.
  2. Meresapkan ke Tanah: Mengembalikan air ke siklus alaminya dengan mengisi kembali akuifer atau cadangan air tanah.
  3. Memanfaatkan Kembali: Mengumpulkan dan menyimpan air hujan untuk digunakan sebagai sumber air alternatif, misalnya untuk menyiram tanaman atau kebutuhan non-potabel lainnya.1

Lebih dari sekadar rekayasa teknis, Ecodrainage pada hakikatnya adalah sebuah upaya desain perkotaan yang restoratif. Pembangunan kota modern telah menghilangkan fungsi-fungsi ekologis vital dari lanskap, seperti kemampuan lahan basah menyerap air atau peran hutan kota dalam mengatur siklus air. Ecodrainage bertujuan untuk merekayasa kembali fungsi-fungsi yang hilang tersebut ke dalam tatanan kota. Lubang biopori, misalnya, secara fungsional meniru aktivitas fauna tanah dalam menciptakan pori-pori untuk infiltrasi air. Kolam retensi berfungsi layaknya rawa atau danau kecil yang secara alami menampung luapan air. Dengan demikian, Ecodrainage adalah sebuah langkah ambisius untuk mendesain ulang kota agar dapat berfungsi kembali seperti ekosistem yang sehat, yang mampu mengatur dan menyembuhkan siklus airnya sendiri.1

 

Inovasi Cerdas untuk Kota Tahan Air: Dari Biopori hingga Sistem Polder

Buku ini memaparkan serangkaian "senjata" dalam arsenal Ecodrainage yang dapat diterapkan di berbagai skala, dari halaman belakang rumah hingga seluruh bentang kota. Setiap inovasi ini dirancang untuk bekerja secara sinergis, menciptakan sebuah sistem pertahanan air yang berlapis dan tangguh.

  • Sumur Resapan: Ini adalah solusi skala mikro yang dapat diterapkan di setiap bangunan. Konsepnya sederhana: air hujan yang jatuh di atap tidak dialirkan ke selokan, melainkan disalurkan melalui pipa ke sebuah sumur yang dirancang khusus untuk meresapkan air langsung ke dalam tanah. Setiap sumur resapan berfungsi seperti "rekening tabungan air" pribadi, "menyetorkan" air hujan yang berharga kembali ke dalam bumi untuk mengisi cadangan air tanah, alih-alih membiarkannya terbuang sia-sia.1
  • Lubang Resapan Biopori (LRB): Jika sumur resapan adalah solusi rekayasa, maka biopori adalah solusi yang terinspirasi dari alam. LRB adalah lubang-lubang silinder vertikal yang diisi dengan sampah organik. Sampah ini mengundang "pasukan" cacing tanah dan mikroorganisme untuk datang dan beraktivitas, menciptakan jejaring terowongan alami (biopori) di dalam tanah. Setiap lubang menjadi "pabrik kompos mini" yang tidak hanya mengelola sampah organik, tetapi juga secara dramatis meningkatkan kapasitas tanah untuk menyerap air. Ini adalah cara merekrut alam untuk membantu menggemburkan tanah kota yang padat dan keras.1
  • Kolam Retensi dan Detensi: Untuk skala yang lebih besar, buku ini menyoroti pentingnya kolam retensi dan detensi. Ini adalah "kantong-kantong pengaman" raksasa—bisa berupa taman kota yang didesain cekung atau danau buatan—yang tersebar di titik-titik strategis. Saat hujan deras, kolam ini berfungsi seperti danau sementara yang secara efektif "memotong puncak banjir". Gelombang air bah ditahan untuk sementara waktu, kemudian dilepaskan kembali secara perlahan ke sistem drainase setelah aliran di sungai utama mereda. Ini mencegah terjadinya luapan dahsyat yang seringkali menjadi penyebab utama banjir besar.1
  • Sistem Polder: Untuk kawasan pesisir atau dataran sangat rendah yang rentan terhadap banjir rob (pasang air laut), diperlukan solusi rekayasa tingkat lanjut. Sistem polder, yang terinspirasi dari keahlian Belanda selama berabad-abad, adalah jawabannya. Ini adalah sebuah "benteng pertahanan air" terpadu yang mengisolasi suatu area dengan tanggul keliling, dan mengelola ketinggian air di dalamnya menggunakan kombinasi pintu air dan stasiun pompa. Air hujan dikumpulkan di dalam polder dan dipompa keluar ke laut saat kondisi memungkinkan, mencegah air pasang masuk dan menahan air hujan agar tidak menggenang.1

Kekuatan utama dari pendekatan Ecodrainage terletak pada sifatnya yang modular dan terdesentralisasi. Berbeda dengan proyek kanal raksasa yang bersifat monolitik dan sentralistik, Ecodrainage adalah jaringan solusi yang terdistribusi. Sumur resapan dan biopori dapat dibuat oleh individu dan komunitas, sementara kolam retensi dan polder menjadi tanggung jawab pengembang dan pemerintah kota. Hal ini secara fundamental mengubah peran warga dari korban pasif banjir menjadi agen aktif dalam mitigasi. Keberhasilan sistem ini tidak hanya bergantung pada proyek pemerintah berskala besar, tetapi pada akumulasi jutaan tindakan kecil yang dilakukan di seluruh penjuru kota.1

 

Sebuah Kritik Realistis dan Tantangan di Depan Mata

Meskipun menyajikan cetak biru yang menjanjikan, buku Drainase Perkotaan secara implisit juga mengakui bahwa transisi menuju Ecodrainage bukanlah jalan yang mudah. Ada tantangan-tantangan besar yang harus dihadapi, yang lebih bersifat sosio-politis ketimbang teknis.

Tantangan pertama adalah ketersediaan lahan. Di kota-kota yang sudah padat, menemukan ruang untuk membangun kolam retensi atau fasilitas penampungan air lainnya adalah sebuah kemewahan. Ini menuntut kreativitas dalam perencanaan tata ruang, seperti mengintegrasikan fungsi penampungan air ke dalam taman kota, lapangan olahraga, atau ruang terbuka hijau lainnya.

Kedua, biaya dan investasi. Meskipun solusi seperti biopori relatif murah, sistem yang lebih besar seperti polder atau kolam retensi membutuhkan investasi awal yang signifikan. Diperlukan komitmen anggaran jangka panjang dari pemerintah daerah, serta insentif bagi sektor swasta untuk turut berinvestasi.

Ketiga, dan mungkin yang paling krusial, adalah regulasi dan penegakan hukum. Konsep Ecodrainage hanya akan menjadi wacana jika tidak didukung oleh peraturan yang kuat dan penegakan yang tegas. Pemerintah kota harus mewajibkan setiap pembangunan baru—baik perumahan, komersial, maupun infrastruktur—untuk mengintegrasikan fasilitas Ecodrainage sebagai syarat mutlak perizinan. Tanpa "gigi" hukum yang tajam terhadap pelanggaran Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), alih fungsi lahan resapan akan terus terjadi.1

Terakhir, tantangan perubahan perilaku. Teknologi secanggih apa pun akan sia-sia jika saluran drainase masih dianggap sebagai tempat sampah raksasa. Mengubah kebiasaan masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan mendorong partisipasi aktif dalam pemeliharaan drainase lingkungan adalah perjuangan budaya jangka panjang yang membutuhkan edukasi berkelanjutan.1 Tantangan terbesar mungkin bukan terletak pada aspek teknis yang telah diuraikan dengan baik dalam buku ini, melainkan pada kemauan politik dan kohesi sosial untuk melaksanakannya secara konsisten.

 

Membangun Kota sebagai Spons, Bukan Talang Air

Buku Drainase Perkotaan pada akhirnya menyampaikan sebuah pesan yang kuat dan mendesak: kita harus berhenti membangun kota kita sebagai "talang air" raksasa dari beton yang dirancang hanya untuk membuang air. Sebaliknya, kita harus mulai membangunnya sebagai "spons" hidup yang cerdas, yang mampu menyerap, menyimpan, dan beradaptasi dengan siklus air alami.

Solusi atas krisis banjir tahunan tidak terletak pada pembangunan saluran yang lebih besar dan lebih mahal, yang pada akhirnya hanya akan memindahkan masalah ke tempat lain. Solusinya terletak pada pergeseran paradigma fundamental menuju Ecodrainage—sebuah pendekatan yang menghormati air sebagai sumber kehidupan, bukan sebagai ancaman.

Jika diterapkan secara komprehensif, pendekatan yang diuraikan dalam buku ini berpotensi tidak hanya mengurangi frekuensi dan dampak banjir tahunan secara signifikan, tetapi juga meningkatkan ketahanan air kota dalam menghadapi musim kemarau yang semakin kering. Ini adalah sebuah investasi ganda yang cerdas: melindungi kota dari kelebihan air hari ini, sambil memastikan ketersediaan air yang cukup untuk hari esok. Ini adalah jalan menuju kota yang tidak hanya lebih aman, tetapi juga lebih sehat, lebih hijau, dan lebih berkelanjutan untuk generasi mendatang.

 

Sumber Artikel:

Saidah, H., Nur, N. K., Rangan, P. R., Mukrim, M. I., Tamrin, Miswar Tumpu, Nanda, A. R., Jamal, M., Mansida, A., & Sindagamanik, F. D. (2021). Drainase Perkotaan. Yayasan Kita Menulis.