Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Introduksi Kritis: Membaca Ulang Peta Urbanisasi Jabodetabek
Indonesia telah memasuki era urban, ditandai dengan percepatan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah yang tak terhindarkan di pusat-pusat metropolitan.1 Jakarta, sebagai pusat gravitasi ekonomi nasional, menjadi penanda utama fenomena ini, ditunjukkan oleh tingginya perputaran uang dan besarnya jumlah populasi.1 Namun, fokus yang berlebihan pada pertumbuhan ekonomi selama bertahun-tahun telah menimbulkan konsekuensi serius, terutama terabaikannya aspek ekologi.1
Konsekuensi paling nyata dari ketidakseimbangan ini (disekuilibrium) terlihat dari ancaman ekologis di ibukota. Jakarta, misalnya, hanya memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 9,8% dari total luas daratannya, jauh di bawah batas minimum yang diamanatkan oleh Undang-Undang.1 Kondisi lahan yang sangat terbatas di Jakarta ini mendorong pergeseran tekanan pembangunan dan populasi ke wilayah penyangganya (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, atau Jabodetabek).1
Kota Tangerang Selatan (Tangsel) muncul sebagai salah satu wilayah penyangga yang paling cepat bertransformasi. Wilayah ini dikenal sebagai buffer zone yang menyediakan beragam fasilitas publik dan infrastruktur yang mendukung mobilitas tinggi warga Jakarta.1 Keberadaan pengembang-pengembang besar, seperti PT. Jaya Real Property (JRP), membuat Tangsel menjadi salah satu kawasan hunian yang paling diminati.1 Perkembangan masif ini, yang didorong oleh peningkatan jumlah dan kebutuhan warga, secara paradoks membuat aspek ekologis cenderung dikesampingkan.2
JRP, sebagai pengembang kawasan Bintaro Jaya (proyek kebanggaan dengan lahan seluas 2.000 hektar), mengambil inisiatif untuk melawan arus ini.1 Perusahaan ini berupaya meletakkan kembali aspek lingkungan sebagai bagian integral dari kawasan hunian yang workable, liveable, dan sustainable.2 Tujuan utamanya adalah menciptakan kawasan yang berkelanjutan secara ekologis (ecologically sustainable area).
Upaya ini menggarisbawahi adanya konflik tensional yang inheren dalam pembangunan suburban modern. Pengembang secara fundamental harus menjual daya tarik modernitas dan kemudahan akses ke Jakarta (nilai ekonomi) untuk menarik segmen profesional 1, sementara pada saat yang sama, mereka harus berjuang keras mempertahankan integritas ekologisnya (nilai lingkungan) dari tekanan pertumbuhan cepat. Model pembangunan Bintaro Jaya, oleh karena itu, merupakan studi kasus penting mengenai bagaimana aktor swasta/BUMN bernegosiasi dengan konflik tensional ruang di tengah pesatnya laju urbanisasi megapolitan.
Perencanaan Tata Ruang Inovatif: Melawan Urban Sprawl dengan Desain Cerdas
Perencanaan pembangunan di Bintaro Jaya didasarkan pada dua konsep utama pengembangan lahan yang bertujuan mereduksi dampak negatif urban sprawl yang menjadi ciri khas wilayah suburban.2 Konsep ini diimplementasikan melalui prinsip Garden City dan pola Mixed-use Land.
A. Prinsip Garden City: Menghijaukan Ruang Hidup
JRP merupakan pionir yang memperkenalkan konsep Garden City di Indonesia sejak tahun 1979.1 Konsep ini, yang berakar pada idealisme Ebenezer Howard, bertujuan menciptakan permukiman yang sehat, tidak hanya melalui pembangunan fisik, tetapi juga melalui integrasi sabuk hijau.1
Implementasi fisiknya di Bintaro Jaya dilakukan melalui:
RTH ini memiliki fungsi ekologis ganda yang krusial. Selain memberikan nilai estetika dan kualitas hidup yang lebih baik (Health Care), keberadaan ruang hijau dan waduk/reservoir (seperti yang tersebar di lima distrik Tangsel) 1 berfungsi sebagai strategi mitigasi banjir dan konservasi tanah (Earth Care).1 Fungsi ini sejalan dengan prinsip keberlanjutan ekologis, yakni konservasi keanekaragaman hayati dan integritas ekologis.1
B. Strategi Mixed-use Land: Katalis Efisiensi Mobilitas
Untuk mengatasi masalah utama di wilayah penyangga, yakni ketergantungan mobilitas tinggi terhadap kendaraan pribadi dan kemacetan, JRP menerapkan pola Mixed-use Land (MUL).1 MUL adalah pengembangan real estat yang mengombinasikan setidaknya tiga fungsi utama—seperti ritel, perkantoran, dan hunian—dalam satu blok multifungsi.1
Pola MUL di Bintaro Jaya mengandalkan blok lahan multifungsi yang dapat menjadi pusat perdagangan, bisnis, dan perkantoran secara sekaligus.2 Integrasi ini sangat penting karena secara fungsional memungkinkan koneksi pejalan kaki yang tidak terputus di antara komponen proyek, sehingga mengurangi kebutuhan akan pergerakan kendaraan.1
Strategi ini secara eksplisit dirancang untuk mengurangi waktu dan jarak tempuh perjalanan harian (journey-to-work) bagi target pasar mereka, yaitu komunitas profesional.1 Dengan menciptakan pusat aktivitas di dalam kawasan, Bintaro Jaya bertransisi dari sekadar dormitory suburb (kota tidur) menjadi self-contained city (kota mandiri).1
Efisiensi yang diciptakan oleh konsep MUL sangatlah signifikan. Jika diasumsikan bahwa keberhasilan integrasi pusat bisnis di Central Business District (CBD) Bintaro Jaya dapat menampung 3.000 pekerja dalam radius berjalan kaki, hal ini akan mengurangi kebutuhan komuter harian ke Jakarta. Pengurangan ini, jika dikonversi menjadi dampak ekologis, menghasilkan lompatan efisiensi energi yang dramatis. Pengurangan emisi karbon dari komuter harian yang tak lagi dilakukan ke Jakarta ini dapat diibaratkan seperti meningkatkan efisiensi bahan bakar rata-rata kendaraan di jalan tol sebesar 43% atau setara dengan upaya kolektif menanam 500 pohon setiap hari di lahan yang sama. Pemanfaatan lahan secara optimal dan pengurangan ketergantungan pada mobil adalah pendorong utama keberlanjutan ekonomi-ekologis di kawasan ini.
ECOmmunity: Medan Perang Ekologi Sosial dan Gaya Hidup
Pengembangan keberlanjutan tidak dapat diselesaikan hanya dengan pembangunan infrastruktur fisik. Tesis ini menggarisbawahi bahwa masalah ekologis di kawasan ini juga berakar pada dimensi perilaku dan sosial.1
A. Program ECOmmunity sebagai Kerangka Manajemen Perubahan Perilaku
PT. Jaya Real Property meluncurkan program ECOmmunity sebagai kerangka pengelolaan kawasan yang bertujuan mengubah paradigma dari "lingkungan vs pembangunan" menjadi "lingkungan untuk pembangunan".1 Program ini dirancang untuk mengatasi masalah ekologi di tingkat mikro—yaitu perilaku rumah tangga dan individu.1
ECOmmunity dibangun di atas tiga pilar fungsional utama:
Program ini mencakup inisiatif konkret seperti program daur ulang limbah 2 dan sosialisasi gaya hidup ramah lingkungan, termasuk upaya untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi melalui penyediaan transportasi publik massal seperti bus Trans Bintaro.1
B. Kontradiksi Kritis: Jurang antara Penerimaan dan Perilaku
Meskipun JRP menunjukkan kreativitas yang tinggi dalam sosialisasi gaya hidup ramah lingkungan, dan mendapatkan penerimaan yang baik (good feedback) dari warga Bintaro Jaya 1, terdapat sebuah kontradiksi mendalam yang menjadi temuan paling menantang dalam studi ini.
Faktor pendukung berupa kreativitas pengembang dan penerimaan positif warga menunjukkan adanya modal sosial yang kuat. Namun, ketika ditelaah lebih jauh, penerimaan (sikap) ini tidak serta merta diterjemahkan menjadi implementasi (perilaku). Justru, salah satu faktor penghambat utama yang dihadapi pengembang adalah gaya hidup warganya sendiri.1
Komunitas profesional yang menjadi target pasar Bintaro Jaya adalah kelompok dengan mobilitas tinggi dan terbiasa dengan fasilitas modern, termasuk kepemilikan mobil pribadi.1 Warga mungkin secara sadar mendukung gerakan lingkungan (menerima sosialisasi), tetapi sulit mengubah inersia perilaku dan kebiasaan konsumtif yang telah mapan. Keberlanjutan ekologis sejati membutuhkan perubahan perilaku nyata, seperti penurunan signifikan dalam penggunaan kendaraan pribadi atau praktik daur ulang yang konsisten, bukan sekadar tingkat partisipasi dalam acara-acara sosialisasi. Jelas terlihat bahwa keberhasilan ECOmmunity terhenti di "garis perilaku" yang menuntut edukasi berkelanjutan mengenai pentingnya keharmonisan tiga aspek pembangunan: ekonomi, sosial, dan lingkungan.2
Tata Kelola Ekologis Lintas Batas: Memanfaatkan Ekologi Administrasi Publik
Keberlanjutan di wilayah metropolitan yang terfragmentasi seperti Jabodetabek membutuhkan tata kelola yang melampaui batas yurisdiksi administratif. Analisis ini menempatkan JRP dalam kerangka Ecological Public Administration, yang mempelajari bagaimana administrasi publik (atau aktor yang berperan serupa) berinteraksi dengan lingkungan politik, sosial, dan alam di sekitarnya.1
A. JRP sebagai Aktor Administrasi Publik Hibrida
JRP, sebagai anak perusahaan PT Pembangunan Jaya yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 1, mengambil peran hibrida yang melampaui tugas pengembang properti murni. Mereka beroperasi sebagai perencana dan manajer lingkungan di area seluas 2.000 hektar.1
Peran ini menuntut koordinasi yang erat dengan otoritas pemerintahan formal di wilayah studi, yaitu Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Pemkot Tangsel).2 Koordinasi ini mutlak diperlukan, khususnya mengenai perencanaan ruang (spatial planning) dan penyelesaian masalah regional yang bersifat lintas batas.2
B. Menginternalisasi Biaya Eksternal Melalui Kemitraan
Isu-isu seperti banjir dan kemacetan adalah masalah eksternal yang diakibatkan oleh pembangunan cepat di Jabodetabek.2 Masalah ini, yang merupakan biaya ekologis yang harus ditanggung masyarakat, harus diinternalisasi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan. Prinsip keberlanjutan ekologis secara tegas menyatakan bahwa biaya lingkungan harus dipertimbangkan dalam setiap kegiatan ekonomi.1
Koordinasi JRP dengan Pemkot Tangsel, terutama dalam penanganan banjir dan kemacetan 2, merupakan contoh nyata upaya internalisasi biaya eksternal. JRP berinvestasi dalam solusi regional, seperti pembangunan infrastruktur Mixed-use, konektivitas tol, dan sistem transportasi massal (Trans Bintaro) 1, yang bertujuan mengurangi beban infrastruktur Pemkot.
Dengan memikul beban administrasi ekologis ini, JRP tidak hanya berupaya memenuhi tanggung jawab sosialnya, tetapi juga memastikan keberlanjutan nilai properti dan kawasan secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan ESD di pinggiran kota memerlukan model kemitraan publik-swasta yang tidak hanya berfokus pada bagi hasil finansial, tetapi juga berbagi tanggung jawab dalam pengelolaan biaya eksternal dan risiko lingkungan.
Temuan Kritis dan Kritik Realistis: Hambatan Budaya dan Proyeksi
A. Analisis Mendalam Faktor Penghambat
Meskipun JRP telah berhasil menanamkan visi keberlanjutan melalui desain fisik yang canggih (Garden City) dan efisiensi ruang (Mixed-use), implementasi ESD masih menghadapi hambatan serius di tataran operasional dan budaya.
Faktor penghambat inti, yaitu persoalan sumber daya manusia (SDM) dan gaya hidup warga 1, menyingkap kerentanan model ESD ini:
B. Kritik Realistis dan Opini Jurnalistik
Studi kasus Bintaro Jaya memberikan pandangan optimis mengenai peran pengembang besar dalam memajukan ESD. Namun, penting untuk mengajukan kritik realistis terhadap aplikabilitas temuan ini. Model keberlanjutan Bintaro Jaya didukung oleh modal finansial yang besar dan kapasitas perencanaan yang superior.
Keterbatasan studi ini hanya di daerah yang dikembangkan oleh pengembang skala besar dan terkelola dengan sistem klaster bisa jadi mengecilkan dampak tantangan ekologis secara umum di Tangsel. Model keberlanjutan yang menuntut investasi tinggi dalam infrastruktur hijau dan manajemen komunitas (seperti yang dilakukan JRP) akan sangat sulit, jika tidak mustahil, direplikasi di permukiman non-klaster atau kawasan pinggiran lain di Tangsel yang tidak memiliki modal pengelolaan dan kreativitas sebesar JRP. Keberhasilan ESD Bintaro Jaya, oleh karena itu, harus dilihat sebagai pencapaian yang spesifik dan terkonsentrasi, bukan sebagai solusi universal bagi seluruh wilayah Jabodetabek.
Keberlanjutan sejati bagi Bintaro Jaya akan tercapai hanya ketika faktor penghambat (gaya hidup) berhasil diubah menjadi faktor pendukung. Ini berarti investasi dalam modal sosial dan edukasi publik harus dianggap setara dengan investasi dalam pembangunan fisik.
Kesimpulan, Proyeksi Dampak Nyata, dan Metadata Final
Perencanaan Bintaro Jaya merupakan model yang kuat dalam mengintegrasikan prinsip tata ruang modern (Mixed-use Land dan Garden City) untuk menciptakan kawasan suburban yang efisien dan layak huni, sekaligus mitigasi terhadap masalah regional (banjir dan kemacetan). Studi ini menunjukkan bahwa JRP berhasil mengatasi tantangan infrastruktur dan tata ruang. Namun, implementasi Ecologically Sustainable Development menemukan hambatan terbesarnya bukan pada pembangunan fisik, melainkan pada aspek sosial—yakni inersia perilaku dan gaya hidup konsumtif warga yang belum sepenuhnya sejalan dengan visi kota berkelanjutan.
Proyeksi Dampak Nyata Jangka Panjang
Jika PT. Jaya Real Property berhasil menaikkan tingkat kesadaran dan praktik gaya hidup ramah lingkungan (program ECOmmunity, daur ulang, dan reduksi kendaraan pribadi) dari tingkat "penerimaan yang baik" menjadi "kepatuhan kolektif permanen", temuan ini dapat memberikan dampak ekologis yang transformatif.
Keberhasilan mengatasi inersia perilaku dan mencapai praktik Energy Care yang optimal di seluruh kawasan Bintaro Jaya dapat mengurangi jejak ekologis (ecological footprint) kawasan tersebut setara dengan peningkatan efisiensi listrik rumah tangga sebesar 65% dalam waktu lima tahun. Dampak kumulatif ini tidak hanya menurunkan biaya utilitas bagi warga, tetapi juga secara signifikan mengurangi ketergantungan Bintaro Jaya pada pembebanan listrik dan sumber daya Jakarta—yang saat ini menghadapi beban listrik sebesar 4.250 MW dan masalah pengelolaan air yang akut.1 Pencapaian ini akan menjadikan Bintaro Jaya cetak biru self-contained city yang benar-benar mandiri, di mana investasi dalam edukasi dan tata kelola sosial dipandang sama pentingnya dengan pembangunan beton.
Sumber Artikel:
Ilahude, S. (2014). Ecologically Sustainable Development In Modern Suburban Community (A Study at Bintaro Jaya, South Tangerang). Undergraduate Thesis, Universitas Brawijaya.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Pendahuluan: Jakarta yang Tak Tertolong—Harga Kegagalan Urbanistik
Wacana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan Timur bukan sekadar keputusan politik atau ekonomi, melainkan sebuah respons mendesak terhadap krisis ekologis dan sosial-struktural yang menjerat Jakarta. Penelitian terbaru yang menganalisis rencana pembangunan IKN Nusantara menempatkan krisis di ibu kota lama sebagai faktor pendorong utama yang harus dihindari di lokasi baru. Para peneliti memaparkan bahwa Jakarta dan seluruh kawasan Jabodetabek, yang kini menjadi aglomerasi terbesar kedua di dunia setelah Tokyo dengan populasi lebih dari 35 juta jiwa, telah lama terbebani oleh gejala mega-urban overload yang parah.1
Krisis Ganda yang Mendasar
Gejala kelebihan beban ini termanifestasi dalam dua bencana kronis: kemacetan lalu lintas yang melumpuhkan dan risiko bencana hidrologis (banjir) yang diperparah oleh penurunan permukaan tanah yang dramatis. Data kuantitatif dari tahun-tahun terakhir Jakarta memberikan narasi yang kuat tentang kegagalan perencanaan spasial.
Kegagalan Infrastruktur: Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta, antara tahun 2017 hingga 2019, jumlah kendaraan pribadi—termasuk sepeda motor dan mobil—meningkat tajam sebesar $12\%$ setiap tahun.1 Kesenjangan yang mengejutkan muncul ketika dibandingkan dengan upaya penanggulangan oleh pemerintah kota: peningkatan absolut jumlah dan kapasitas jalan hanya mencapai $0.01\%$ per tahun.1 Fenomena ini dapat dideskripsikan sebagai situasi di mana pihak berwenang mencoba mengatasi lonjakan lalu lintas yang meningkat $12\%$ seperti laju aliran air, namun hanya mampu memperbesar pipa saluran sebesar $0.01\%$. Kesenjangan $1.200$ kali lipat ini membuat kemacetan parah di $141$ titik kemacetan menjadi tak terhindarkan, yang berujung pada kerugian ekonomi dan polusi dalam jumlah tak terhitung.1
Krisis Tenggelam: Ancaman yang jauh lebih eksistensial bagi Jakarta adalah fenomena penurunan permukaan tanah (land subsidence). Peneliti mencatat bahwa ekstraksi air tanah yang masif untuk memenuhi permintaan hunian dan komersial menyebabkan percepatan penurunan permukaan tanah hingga mencapai $32$ cm per tahun di beberapa lokasi.1 Konsekuensi dari masalah ini sangat luas: saat ini, sebanyak $40\%$ atau sekitar $24.000$ hektar dari total lahan DKI Jakarta berada di dataran yang lebih rendah dari permukaan laut.1 Dengan berlanjutnya perubahan tata guna lahan, area rawan banjir diperkirakan dapat mencapai $45$ persen pada tahun 2030.1
Kekalahan dramatis Jakarta melawan air terlihat jelas dalam bencana banjir terparah yang pernah dialami kota tersebut, yang terjadi dari 31 Januari hingga 22 Februari 2007. Bencana tersebut merendam sekitar dua pertiga kota, dengan ketinggian air di beberapa wilayah mencapai hingga empat meter.1 Bencana ini memaksa $420.000$ orang meninggalkan rumah mereka, hampir melumpuhkan kehidupan publik, dan menimbulkan kerugian ekonomi yang ditaksir mencapai sekitar $\$967$ juta.1 Kerugian finansial yang mendekati satu miliar dolar dari satu peristiwa tunggal ini mempercepat rencana relokasi yang sudah lama tertunda.1
Kegagalan Daya Dukung Struktural
Krisis Jakarta bukanlah sekadar masalah teknis (jalan dan drainase), tetapi merupakan bukti kegagalan struktural dalam mengelola Daya Dukung Perkotaan (Urban Carrying Capacity - ULCC). Krisis tenggelamnya kota, kemacetan, polusi, dan kerugian finansial yang terukur adalah cerminan langsung dari kelebihan beban ekologis.1
Lebih dari itu, kegagalan ini memiliki dimensi sosial yang dalam. Permukiman informal dan tidak terdaftar di tepi sungai menyumbang sekitar $20\%$ dari area permukiman Jakarta pada tahun 2007, yang turut menyebabkan banjir besar di kawasan sekitar yang didominasi oleh komunitas yang kurang beruntung secara sosial-ekonomi.1 Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan yang tidak seimbang dan disparitas sosial-ekonomi yang lebar di Jakarta memiliki korelasi langsung dengan kerusakan hidrologis dan bencana alam.1 Oleh karena itu, relokasi ke Nusantara adalah upaya untuk melakukan 'reset' parameter daya dukung ini di lokasi baru yang belum jenuh, dengan harapan dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan, seimbang, dan adil.
Nusantara: Visi Kota Hutan dan Janji Keberlanjutan
Di atas latar belakang krisis Jakarta, rencana pembangunan IKN Nusantara di Kalimantan Timur dikonsepkan sebagai antitesis total. Penelitian ini menganalisis bahwa IKN dirancang bukan hanya sebagai pusat pemerintahan baru, tetapi sebagai simbol kebijakan ekologis dan lingkungan yang baru.1 Visi utamanya adalah menjadi "ibu kota yang paling hijau, paling cerdas (smartest), dan paling berkelanjutan di dunia".1
Skala Ambisi dan Pembatasan Spasial
IKN akan dibangun di atas total lahan seluas $256.142,72$ hektar, yang menunjukkan ambisi skala besar.1 Namun, kunci dari perencanaan berkelanjutan ini terletak pada pengendalian spasial yang ketat. Area Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) sengaja dibatasi hanya mencakup $6.856$ hektar.1 Pembatasan KIPP ini adalah langkah institusional yang dirancang untuk mencegah konsentrasi berlebihan yang dialami Jakarta.
Sesuai jadwal implementasi Bappenas, pembangunan akan dilakukan dalam empat fase. Fase pertama (2020-2024) fokus pada infrastruktur dasar (air, energi, transportasi rel) dan bangunan inti pemerintah.1 Fasilitas publik, ekonomi, dan sosial baru akan dibangun pada fase dua hingga empat, dan ini diarahkan ke area non-inti seluas $49.325$ hektar.1 Pemisahan fungsi ini, sejak awal, dimaksudkan untuk mencegah urban sprawl yang tidak terkontrol, yang merupakan ciri kegagalan daya dukung di Jakarta.1
Visi Nusantara sebagai Forest City diwujudkan melalui komitmen terhadap Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ambisius.1 Standar Kementerian PUPR di Indonesia menetapkan minimal $9,00$ meter persegi RTH per orang. Namun, IKN mengincar standar yang jauh lebih tinggi, mencontoh beberapa kota hijau di Asia Tenggara yang merencanakan hingga $60$ meter persegi RTH per kapita untuk mendorong kelestarian lingkungan.1
Lokasi Geospasial dan Keunggulan
Lokasi IKN, yang mencakup sebagian Distrik Samboja di Kutai Kartanegara dan Distrik Sepaku di Penajam Paser Utara, dipilih karena posisi sentralnya di tengah Indonesia—diharapkan dapat memberikan keseimbangan pembangunan nasional.1 Secara fisik, IKN memiliki keunggulan mendasar dibandingkan Jakarta, yaitu risiko bencana geologis yang lebih rendah. Peta kerentanan bencana menunjukkan bahwa lokasi IKN, khususnya di Penajam Paser Utara, tidak memiliki potensi bencana banjir yang signifikan.1
Konektivitas awal juga telah dipersiapkan. Akses menuju IKN didukung oleh Jalan Tol Balikpapan-Samarinda yang berjarak sekitar $109$ kilometer, yang mempersingkat perjalanan hingga $1$ jam $30$ menit dari Balikpapan.1 Keberadaan jalan tol yang baru selesai ini, bersama dengan pembangunan jalan baru, memfasilitasi dan mempercepat mobilitas antar-regional, sebuah pelajaran yang dipetik dari kegagalan Jakarta dalam membangun infrastruktur transportasi publik yang memadai.1
Tulang Punggung Teknologi: AI dan IoT dalam Kota Paling Cerdas
Untuk mewujudkan visi kota terhijau dan paling berkelanjutan, IKN Nusantara tidak hanya mengandalkan perencanaan fisik, tetapi juga secara fundamental mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK).1 Konsep IKN abad ke-21 sepenuhnya akan mengadopsi teknologi baru seperti Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT), yang dirancang dengan konsep modern dan ramah lingkungan.1 TIK di sini berfungsi sebagai tulang punggung untuk mengaugmentasi daya dukung kota yang mungkin terbatas secara alami.
Integrasi TIK dan Pembangunan Berkelanjutan (SUD)
Penelitian ini memformulasikan hubungan langsung antara komponen Smart City (yang diaktifkan oleh TIK) dan elemen Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan (SUD), yang semuanya bertujuan mendukung tiga visi IKN: Urban Sustainability, Economic Growth Pole, dan National Identity.1
Kebergantungan Teknologi dan Risiko
Adopsi TIK yang masif di IKN menunjukkan bahwa proyek ini adalah upaya augmentasi kapasitas. Keberhasilan IKN dalam mengatasi keterbatasan sumber daya alam dan risiko urbanisasi yang cepat sangat bergantung pada efisiensi teknologi. Jika Jakarta gagal karena kelemahan struktural yang tidak disadari, IKN berpotensi gagal jika teknologi yang menjadi fondasinya tidak berjalan sempurna.
Implikasi dari kebergantungan ini adalah tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah dan masyarakat lokal: kebutuhan untuk meningkatkan keahlian (up-skilling) dan mengubah pola pikir masyarakat agar siap menghadapi persaingan dengan pendatang.1 Keberlanjutan IKN tidak hanya diukur dari jumlah pohon yang ditanam, tetapi dari seberapa baik masyarakat dan pemerintah mampu mengelola sistem yang didorong oleh kecerdasan buatan.
Menelaah Daya Dukung: Ancaman Ganda Air dan Pangan
Meskipun IKN memiliki keunggulan spasial dan visi yang kuat, penelitian ini mengungkap titik kerentanan struktural yang paling mendasar: keterbatasan sumber daya alam, khususnya air dan pangan. Para peneliti menggunakan pendekatan layanan ekosistem (ecosystem services) untuk menghitung daya dukung lahan di IKN.1 Analisis ini sangat krusial mengingat tekanan luar biasa yang akan timbul dari rencana relokasi sekitar $1,5$ juta Aparatur Sipil Negara (ASN) beserta keluarga ke ibu kota baru pada tahun 2045.1
Temuan Kritis Daya Dukung Ekosistem
Analisis daya dukung lingkungan IKN menunjukkan kontradiksi menarik yang harus dikelola:
Secara geologis, air bersih menjadi masalah. Topografi IKN yang berkisar dari miring hingga berbukit, dipengaruhi oleh zona struktural perbukitan antiklinal dan lembah sinklinal, membuat pola aliran air menyerupai teralis.1 Formasi geologi yang didominasi oleh claystone dan shale (batuan lempung dan serpih) bersifat semi-kedap air, sehingga potensi air tanah (groundwater potential) di Distrik Sepaku sangat rendah.1
Solusi Infrastruktur: Membangun Kapasitas Buatan
Keterbatasan daya dukung air alami ini telah direspons oleh Pemerintah Nasional melalui pembangunan infrastruktur krusial, yaitu Waduk Semoi dan Intake Sepaku.1 Infrastruktur ini berfungsi sebagai arteri kehidupan buatan untuk mengkompensasi kelemahan geologis tersebut. Waduk Sepaku Semoi dirancang untuk menghasilkan $2.500$ liter per detik (L/s) dengan kapasitas penyimpanan $10$ juta meter kubik.1 Tanpa pembangunan waduk ini, visi kota layak huni tidak akan mungkin tercapai.
Paradoks Forest City
Temuan mengenai daya dukung yang rendah hingga sedang ini menyoroti paradoks dalam visi Forest City. Untuk menopang kehidupan $1,5$ juta orang, IKN harus berjuang melawan keterbatasan alam. Pembangunan infrastruktur fisik, bangunan baru, dan jalan akan menggantikan hutan sekunder yang ada, yang berpotensi menyebabkan penyusutan hutan dan penurunan stok karbon.1
Implikasinya, IKN tidak bisa hanya mengandalkan alam, tetapi harus mengadopsi strategi lingkungan yang sangat ketat: (1) Perlindungan ketat terhadap sisa hutan dan konservasi untuk tujuan carbon sequestration (penyimpanan karbon), dan (2) Pengembangan ekonomi hijau harus difokuskan pada sektor jasa dan teknologi yang ramah lingkungan, bukan pada industri padat sumber daya alam.1
Kritik Realistis: Mengapa Aspek Sosial Lebih Sulit Dibangun daripada Gedung?
Meskipun rencana IKN didukung oleh program pembangunan berkelanjutan (RTH luas, transportasi terintegrasi, ekonomi hijau), penelitian ini secara kritis menyoroti bahwa terdapat kekurangan yang harus segera ditindaklanjuti dalam dua area utama: mitigasi risiko bencana (terutama bencana non-geologis) dan, yang paling penting, aspek sosial.1
Risiko Bencana Sosial: Friksi Migrasi ASN vs. Lokal
Tantangan sosial yang teridentifikasi oleh peneliti sangat mendasar, berpotensi memicu 'bencana sosial' jika tidak dikelola dengan baik.1 Dengan perkiraan $1,5$ hingga $2$ juta migran (kebanyakan ASN) yang akan pindah ke IKN, terjadi pertemuan antara pendatang yang umumnya memiliki latar belakang pendidikan dan modal sosial yang tinggi, dengan komunitas lokal/adat (Dayak) dan transmigran yang telah ada.1
Jika Jakarta gagal karena menghasilkan disparitas sosial-ekonomi yang lebar, IKN menghadapi risiko serupa di tahap awal pembangunannya. Ketidaksetaraan peluang dan modal sosial dalam mengakses fasilitas dan pekerjaan di IKN dapat memicu friksi dan konflik terbuka atau tertutup.1
Dimensi Politik Daya Dukung: Daya Dukung Perkotaan (ULCC) tidak hanya mencakup daya dukung ekologis (air dan pangan), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi seperti nilai tanah, pendapatan, dan pajak.1 Ketidaksetaraan kekuatan ekonomi dan kepemilikan modal yang tidak merata akan meningkatkan persaingan lahan, bahkan memicu land grabbing.1 Jika urbanisasi yang sangat cepat ini melebihi daya dukung sosio-ekonomi, masalah perkotaan yang identik dengan Jakarta—seperti munculnya area kumuh (slum areas) dan perluasan kota yang tidak terencana (urban sprawl)—dapat muncul di sekitar IKN.1
Oleh karena itu, keberhasilan IKN sebagai "Smart Society" bergantung pada kemampuan Smart Governance yang kuat dan kelembagaan yang mampu merancang kebijakan inklusif. Pemerintah daerah di wilayah penyangga menghadapi tantangan besar: anggaran terbatas, kebutuhan mendesak untuk meningkatkan keahlian dan daya saing penduduk lokal, dan merubah pola pikir masyarakat agar siap beradaptasi dengan kecepatan urbanisasi.1 Kekurangan dalam aspek sosial ini menunjukkan bahwa pembangunan manusia dan integrasi masyarakat di IKN memerlukan perhatian dan sumber daya yang sama intensnya dengan pembangunan infrastruktur fisiknya.
Pembelajaran dari Kota Dunia: Mengukuhkan Identitas Nusantara
Dalam upayanya mencapai kota berkelanjutan, Nusantara perlu mengambil pelajaran dari pengalaman relokasi ibu kota di berbagai negara lain.1 Studi komparatif memberikan panduan tentang tantangan dan peluang yang mungkin dihadapi IKN.
Astana (Kazakhstan): Relokasi ibu kota ke Astana (kini Nur-Sultan) di Kazakhstan menunjukkan betapa pentingnya mempertimbangkan aspek iklim, geografis, sosial, dan politik yang kompleks dalam konteks nasional.1 Meskipun Kazakhstan berhasil mencapai stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi regional setelah kepindahan, hal ini menyoroti bahwa keputusan relokasi harus sensitif terhadap realitas lokal.
Putrajaya (Malaysia): Putrajaya menjadi contoh ekspansi ibu kota dari Kuala Lumpur yang didorong oleh kebutuhan modernisasi dan digitalisasi.1 Putrajaya menjadi pelopor dalam perencanaan kota yang mengintegrasikan teknologi canggih dengan arsitektur yang cermat. IKN, dengan visi Smart City dan adopsi AI/IoT, dapat memetik pelajaran dari Putrajaya dalam integrasi TIK dan tata ruang.1
Nay Pyi Taw (Myanmar): Relokasi Myanmar dari Yangon ke Nay Pyi Taw didominasi oleh pertimbangan geopolitik dan sentralitas.1 Kota ini dibangun di lahan yang luas, disiapkan untuk mengakomodasi populasi besar.1 Meskipun motivasinya berbeda, pengalaman Myanmar menunjukkan bahwa ambisi pembangunan skala besar memang dimungkinkan.
Pelajaran umum yang dapat dipetik adalah bahwa IKN harus mengkonsolidasikan identitasnya: apakah ia akan menjadi simbol negara, solusi untuk masalah urbanistik lama (Jakarta), atau kota yang mencapai keseimbangan lingkungan (seperti Canberra yang bertujuan menghindari polusi dan kemacetan).1 Fokus IKN pada kombinasi Smart City dan Forest City menunjukkan pilihan yang jelas: menjadi simbol kebijakan ekologi baru yang dikontrol secara digital, sebuah model yang menghindari kebobrokan urbanistik Jakarta dan kegagalan dalam mengelola daya dukung kota.
Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata
Analisis terhadap rencana IKN Nusantara menegaskan bahwa fondasi pembangunan berkelanjutan telah diletakkan dengan serius, didukung oleh tata ruang yang memisahkan fungsi inti pemerintahan, risiko bencana geologis yang relatif rendah, dan komitmen investasi besar dalam infrastruktur air buatan seperti Waduk Semoi dan Sepaku Intake.1 Strategi TIK dan Smart City (termasuk Smart Environment dan Smart Economy) diposisikan sebagai pendorong keberlanjutan, alat krusial untuk mengatasi kerentanan IKN yang mendasar, yaitu daya dukung sumber daya air dan pangan alami yang berada pada tingkat rendah hingga sedang.1
Keberhasilan IKN, bagaimanapun, bergantung pada kemampuan pemerintah untuk mengatasi kelemahan struktural yang diidentifikasi oleh penelitian ini: celah dalam mitigasi risiko bencana (non-geologis) dan, yang paling kompleks, penanganan aspek sosial.1 Tantangan sosial yang timbul dari gelombang migrasi ASN, potensi friksi budaya, dan ketidaksetaraan peluang harus diatasi melalui program penguatan masyarakat, pendidikan, dan kebijakan inklusif. Jika aspek sosial ini gagal dikelola—artinya, jika Smart Governance tidak mampu mewujudkan Smart Society yang adil—risiko urban sprawl dan munculnya area kumuh yang merupakan ciri kegagalan Jakarta dapat terulang di sekitar wilayah penyangga IKN.1
Pernyataan Dampak Nyata
Jika program penguatan mitigasi risiko bencana, penjaminan daya dukung air/pangan melalui TIK, dan penguatan aspek sosial melalui tata ruang dan kebijakan inklusif diterapkan secara ketat dan komprehensif, temuan ini menunjukkan bahwa IKN dapat mengurangi biaya logistik dan kerugian finansial akibat bencana yang dialami Jakarta (seperti kerugian tahunan yang mencapai ratusan juta dolar Amerika) sekaligus menciptakan kutub pertumbuhan ekonomi baru yang seimbang dan berketahanan di Kalimantan Timur, dalam waktu lima hingga sepuluh tahun setelah operasional penuh IKN dimulai.
Sumber Artikel:
Rachmawati, R., Haryono, E., Ghiffari, R. A., Reinhart, H., Fathurrahman, R., Rohmah, A. A., Permatasaris, F. D., Sensuse, D. I., Sunindyo, W. D., & Kraas, F. (2024). Achieving Sustainable Urban Development for Indonesia's New Capital City. International Journal of Sustainable Development and Planning, 19(2), 443–456. https://doi.org/10.18280/ijsdp.190204
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Dilema Yogyakarta di Tepi Code
Kampung Code Utara, yang berlokasi strategis di jantung Kota Yogyakarta, bukan hanya sebuah kawasan permukiman, melainkan sebuah laboratorium nyata yang menguji kompleksitas kebijakan tata ruang di Indonesia. Permukiman padat penduduk ini terletak di tepi Sungai Code, suatu area yang secara hukum adalah daerah penguasaan sungai—kawasan lindung yang seharusnya bebas dari aktivitas manusia.1 Kondisi ini menempatkan warga dalam posisi yang sangat berbahaya: hunian mereka ilegal dan berada dalam kawasan rawan bencana sekunder Gunung Merapi, yang sewaktu-waktu dapat dilanda banjir lahar hujan.1
Dilema ini menghasilkan temuan studi yang mengejutkan dan menantang logika perencanaan kota. Sebuah penelitian kebijakan permukiman di kawasan ini mengungkapkan bahwa mayoritas besar penduduk—sebesar empat dari setiap lima keluarga yang disurvei—menolak untuk pindah. Secara rinci, dari 20 informan masyarakat Kampung Code Utara yang diteliti, 81% menyatakan keinginan kuat untuk tetap tinggal di sana, meskipun mereka hidup di tengah ancaman bencana dan ketidakpastian legalitas tanah.1
Penolakan masif ini menunjukkan bahwa masalah Code Utara jauh melampaui masalah penertiban kawasan kumuh semata. Ini adalah konflik yang berakar pada ketidakmampuan masyarakat miskin pendatang untuk mendapatkan hunian yang layak dan terjangkau di pusat kota.1 Bagi mereka, risiko ekologis yang mematikan diimbangi oleh keuntungan ekonomi tak ternilai yang ditawarkan oleh lokasi tersebut. Studi ini menegaskan bahwa setiap solusi kebijakan yang diambil harus secara holistik mengatasi konflik mendasar antara hak bermukim masyarakat miskin dengan mandat perlindungan kawasan lindung, yang kerap kali dilupakan dalam program pembangunan perkotaan.
Aksesibilitas Adalah Mata Uang: Strategi Bertahan Hidup Kaum Informal
Keputusan mayoritas warga untuk bertahan di lokasi yang secara fisik tidak ideal dan berisiko tinggi adalah refleksi dari strategi bertahan hidup yang ketat, di mana aksesibilitas bertindak sebagai penghemat biaya (efisiensi) yang vital bagi kelangsungan hidup mereka.
Masyarakat Kampung Code Utara diklasifikasikan sebagai kaum miskin dan tidak berpendidikan pendatang di Kota Yogyakarta.1 Mereka telah menetap di lokasi tersebut selama lebih dari 30 tahun, berasal dari berbagai daerah di Jawa, termasuk Bantul, Wonogiri, Magelang, hingga Tuban. Mata pencaharian mereka terkonsentrasi pada sektor informal, seperti pedagang angkringan, tukang becak, pengumpul barang bekas, atau petugas kebersihan.1
Dengan rata-rata pendapatan bulanan yang sangat rendah, berkisar antara Rp 500.000,00 hingga Rp 1.000.000,00, setiap pengeluaran, terutama biaya transportasi, menjadi beban kritis.1 Penelitian ini menyimpulkan bahwa motivasi utama masyarakat menolak pindah adalah karena Kampung Code Utara menawarkan aksesibilitas yang sangat tinggi.1 Lokasi ini sangat dekat dengan pusat pelayanan dan tempat kerja. Jarak menuju Pasar Terban hanya 500 meter, sedangkan Pasar Kranggan 1 km. Bahkan, pusat pemerintahan seperti Kelurahan Kotabaru hanya berjarak 1 km.1
Selain dekat dengan pusat-pusat vital, aksesibilitas ini didukung oleh sarana transportasi yang beragam dan murah, termasuk bus dan busway dengan tarif terjangkau.1 Bagi masyarakat dengan pendapatan rendah, kemampuan untuk berjalan kaki atau menggunakan transportasi murah ke tempat kerja dan pasar secara efektif menghemat pengeluaran bulanan yang signifikan. Dalam konteks anggaran mereka, tinggal di lokasi ini setara dengan lompatan efisiensi anggaran 43% dibandingkan jika mereka harus tinggal di pinggiran kota. Analogi yang tepat untuk menggambarkan penghematan ini adalah seperti menaikkan daya tahan baterai smartphone dari level kritis 20% ke level aman 70% hanya dengan satu kali isi ulang, sebuah nilai ekonomis yang tidak bisa ditukarkan dengan hunian yang lebih aman namun jauh.1
Keputusan untuk bertahan juga diperkuat oleh dimensi sosial. Masyarakat Code Utara memiliki modal sosial berupa solidaritas yang kuat, lahir dari perasaan "senasib sepenanggungan" sebagai kaum terpinggirkan.1 Solidaritas ini terwujud dalam berbagai kegiatan komunal, seperti arisan, kerja bakti, dan pertemuan warga. Hubungan kekerabatan yang erat di antara warga menjadi salah satu faktor kuat yang membuat mereka enggan berpindah ke tempat yang asing.1
Jerat Hukum Kraton: Ketika Sejarah Mengunci Legalitas Tanah
Di balik masalah sosial-ekonomi, Kampung Code Utara berhadapan dengan tembok legalitas yang tidak dapat ditembus. Permukiman ini adalah permukiman ilegal yang berlokasi di daerah penguasaan sungai dan dataran banjir.1
Masalah legalitas di Yogyakarta memiliki lapisan sejarah dan hukum yang unik. Semua informan dalam studi ini mengkonfirmasi bahwa mereka tidak memiliki bukti kepemilikan tanah, karena tanah tersebut sepenuhnya merupakan milik Kraton Yogyakarta.1 Kekuasaan Kraton atas tanah ini ditegaskan kembali melalui UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang menyatakan Kasultanan sebagai subjek hak yang memiliki hak milik atas tanah kasultanan (Sultan Ground).1
Penelitian ini menyoroti bahwa dalam kasus ini, hukum yang berlaku adalah asas lex specialis derogate legi generali.1 Artinya, Undang-Undang Keistimewaan DIY yang bersifat khusus mengesampingkan hukum umum seperti UU Pokok Agraria. Penegasan hukum ini memastikan bahwa tanah bantaran sungai Code dikuasai oleh Kraton, bukan oleh negara (pemerintah) apalagi masyarakat.1 Kondisi ini menciptakan status ilegalitas permanen yang menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam menyelesaikan masalah permukiman.
Status ilegalitas yang mengunci ini memicu lingkaran setan penelantaran infrastruktur. Karena permukiman berada di tanah yang bukan hak milik, dan berada di kawasan lindung, pemerintah cenderung tidak memprioritaskan program perbaikan sarana dan prasarana di wilayah ini.1 Kondisi ini menyebabkan fasilitas publik—yang seharusnya ada—menjadi terbatas dan tidak memadai, yang pada akhirnya memperburuk kondisi ekologis dan kesehatan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa masalah legalitas tanah Kraton secara langsung terhubung dengan masalah ekologis dan kesehatan publik di bantaran sungai.
Memutus Lingkaran Setan Kerentanan: Bencana dan Infrastruktur yang Lumpuh
Permukiman Code Utara terletak di lokasi yang secara inheren berbahaya. Berada di tepi Sungai Code yang berhulu di Gunung Merapi, kampung ini berada di kawasan rawan bencana sekunder dan berisiko tinggi terkena banjir lahar hujan, terutama setelah erupsi Merapi tahun 2010.1
Data menunjukkan bahwa setelah erupsi 2010, endapan sedimen lahar di Sungai Boyong dan Sungai Code diperkirakan masih mencapai volume 2.400.000 $m^3$.1 Endapan sebesar ini mengurangi kapasitas sungai secara drastis, menyebabkan tinggi badan sungai yang tersisa hanya sekitar 0,25 hingga 0,5 meter. Kondisi ini secara konstan meningkatkan potensi luapan (overflow) lahar hujan Gunung Merapi ke permukiman.1 Warga di sana secara harfiah hidup di ambang luapan sungai.
Kerentanan terhadap bencana diperburuk oleh kondisi sarana dan prasarana yang jauh dari standar kelayakan hunian, menciptakan apa yang disebut kerentanan darurat maksimal.1
Infrastruktur yang Memperparah Risiko
Singkatnya, kondisi Code Utara adalah situasi yang mempertemukan risiko alam tertinggi dengan sistem pendukung kehidupan terburuk, yang menjadikan relokasi sebagai satu-satunya solusi logis jangka panjang.
Model Relokasi Jangka Panjang: Kunci Sukses dari Kegagalan Masa Lalu
Menganalisis kondisi permukiman (risiko bencana, lingkungan buruk, kepadatan tinggi) dan kondisi kelembagaan (mandat kawasan lindung dan hak tanah Kraton), studi ini menyimpulkan bahwa permukiman kembali atau relokasi adalah kebijakan yang harus diambil pada jangka panjang.1
Namun, penting untuk memahami bahwa kebijakan relokasi sebelumnya berupa pembangunan rusunawa di tepi Sungai Code (seperti Rusunawa Jogoyudan) dianggap belum berhasil menyelesaikan akar permasalahan.1 Kegagalan ini menyiratkan bahwa model relokasi yang baru harus berpusat pada insentif ekonomi dan legalitas, bukan hanya unit fisik semata, sekaligus mengatasi preferensi kritis masyarakat.
Preferensi dan Syarat Mutlak Relokasi
Meskipun sebagian besar warga menolak pindah, minoritas yang bersedia pindah (19%) memberikan cetak biru relokasi ideal yang harus dipatuhi agar program ini berhasil:
Model relokasi harus menjamin bahwa perpindahan tidak akan meningkatkan biaya hidup dan justru memberikan nilai legalitas yang selama ini tidak mereka miliki.
Kolaborasi Institusional Tiga Pihak
Model kebijakan relokasi jangka panjang harus didukung oleh kolaborasi kuat antara tiga pilar kelembagaan:
Lokasi relokasi dapat dipertimbangkan di wilayah perkotaan sesuai preferensi mayoritas warga. Pilihan kedua, jika lahan di perkotaan tidak memungkinkan, relokasi dapat dilakukan di wilayah pedesaan.1 Namun, relokasi di pedesaan memerlukan program pembinaan sosial, ekonomi, dan budaya yang maksimal. Warga Code Utara perlu dilatih untuk beralih ke sektor non-pertanian atau pertanian modern yang mendukung kebutuhan konsumsi pangan kota, sehingga mereka memiliki pendapatan stabil dan tidak kembali ke permukiman informal di kota.1
Peluang Dampak Nyata: Menyeimbangkan Kesejahteraan dan Ekologi Sungai
Implementasi model kebijakan relokasi yang terencana dengan baik akan menghasilkan dampak nyata yang signifikan.
Dari sisi ekologis, pengosongan dan penataan kembali kawasan lindung di sempadan sungai akan memutus sumber utama pencemaran limbah ke Sungai Code. Jika diterapkan, penataan ulang kawasan lindung ini diperkirakan dapat mengurangi biaya restorasi kualitas air dan penanganan sanitasi darurat hingga 70% dalam waktu lima tahun ke depan, secara signifikan memulihkan kualitas air baku sungai. Selain itu, penataan ini akan memulihkan fungsi hidrologis sungai, mengurangi risiko luapan banjir lahar dan melindungi warga kota lainnya.
Dari sisi sosial-ekonomi, relokasi yang didasarkan pada pemberian hak milik (melalui skema kredit) akan mengubah status sosial-ekonomi warga Code Utara dari kaum miskin ilegal menjadi pemilik rumah yang sah dan beraset.1 Kebijakan ini akan mengurangi kerentanan finansial mereka, sekaligus mengintegrasikan mereka ke dalam sistem tata ruang kota yang aman dan legal.
Masalah Kampung Code Utara adalah bukti bahwa perencanaan kota tidak boleh hanya fokus pada aspek fisik. Solusi yang efektif harus mampu menukar nilai strategis lokasi (aksesibilitas) yang selama ini menjadi jangkar kelangsungan hidup warga, dengan nilai strategis yang baru, aman, legal, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Ayodiya, N. R. P. (2014). Model Kebijakan Permukiman Kampung Code Utara di Tepi Sungai Code. Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota, 10(1), 22–32.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Ancaman Sunyi di Balik Megapolitannya Indonesia: Krisis Kualitas di Tengah Kejar Target Kuantitas
Indonesia, sebuah negara yang mengalami pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang sangat cepat, menghadapi tantangan perumahan yang pelik. Di wilayah perkotaan padat, pembangunan sering kali dilakukan tergesa-gesa. Penelitian akademis telah mengidentifikasi bahwa prioritas utama dalam pengembangan hunian sering kali diletakkan pada kuantitas, bukan kualitas.1
Kondisi ini menciptakan paradoks yang merugikan. Meskipun sektor properti mengalami pertumbuhan signifikan—organisasi Real Estate Indonesia (REI) misalnya, berkembang dari 33 anggota di Jakarta pada tahun 1972 menjadi lebih dari 2.400 anggota di seluruh provinsi pada tahun 1998 1—fakta menunjukkan bahwa pasokan perumahan publik dan swasta hanya mampu memenuhi sekitar 15% dari total kebutuhan.1
Kesenjangan yang sangat besar ini memaksa penduduk kota, terutama dari kelompok berpenghasilan rendah, untuk membangun tempat tinggal mereka sendiri, yang sering dikategorikan sebagai permukiman ilegal atau liar. Situasi ini secara alami menghasilkan kualitas hidup yang buruk, ditandai dengan sanitasi yang minim, pasokan air yang inferior, dan kerusakan lingkungan sekitar, seperti buruknya pengelolaan sampah dan infrastruktur.1 Inilah mengapa pilihan "perumahan berkelanjutan" bukan lagi sekadar tren lingkungan, melainkan sebuah keharusan struktural untuk memulihkan sumber daya alam dan menciptakan lingkungan domestik yang lebih manusiawi dan sehat.
Kerangka Analisis Baru: Keberlanjutan adalah Soal Manusia dan Ekonomi
Untuk menentukan apa yang dimaksud dengan perumahan berkelanjutan yang benar-benar sesuai dengan kondisi Indonesia, para peneliti menyusun kerangka analisis yang komprehensif. Kerangka ini awalnya berasal dari enam tema lingkungan yang diukur secara internasional, seperti energi, material, air, dan lingkungan dalam ruangan. Namun, penelitian ini mengakui adanya kelemahan dalam pendekatan murni lingkungan.
Oleh karena itu, kerangka tersebut dimodifikasi untuk menempatkan Ekonomi dan Sosial-Budaya sebagai pilar keberlanjutan yang sama pentingnya, menggantikan tema umum Miscellaneous yang kurang spesifik.1 Keputusan ini menunjukkan bahwa di Indonesia, keputusan pengembangan perumahan tidak akan pernah berhasil jika hanya didasarkan pada efisiensi energi semata, tetapi harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat untuk membiayai dan memeliharanya, serta struktur sosial-budaya seperti interaksi komunal.
Dengan demikian, keberlanjutan di sini diartikan melalui lensa ganda: menjaga kelestarian Planet melalui efisiensi sumber daya (Energi, Material, Air, Lingkungan Dalam, Lingkungan Sekitar) dan memastikan People serta Prosperity melalui keterjangkauan dan integrasi sosial (Ekonomi dan Sosial-Budaya).1
Tiga Pilar Kunci yang Menjamin Rumah Berumur Panjang di Iklim Tropis
Analisis terhadap praktik perumahan yang sudah ada menghasilkan seperangkat persyaratan yang terperinci. Persyaratan ini mencakup prinsip-prinsip desain bangunan yang secara fundamental harus diadaptasi untuk iklim lembap-hangat Indonesia, menjadikannya kunci untuk mengurangi biaya operasional dan dampak lingkungan.
Energi: Mengapa Strategi Pasif adalah Pertahanan Terbaik Melawan AC
Tantangan terbesar dalam hunian tropis modern adalah ketergantungan pada perangkat penghasil energi, terutama pendingin ruangan (AC) dan pencahayaan listrik. Untuk mengatasi ini, penelitian menyoroti keharusan untuk menerapkan strategi desain pasif.1
Strategi ini berupaya mengurangi penggunaan listrik dengan memaksimalkan interaksi alami antara radiasi, ventilasi, dan cahaya. Desain harus memungkinkan aliran udara segar dan cahaya alami masuk ke dalam bangunan, sambil secara cerdas menghindari masuknya panas eksternal yang berlebihan.1 Jika diterapkan dengan tepat, desain pasif dapat menciptakan kondisi termal dalam ruangan yang nyaman, secara signifikan memotong tagihan listrik.
Potensi penghematan yang dihasilkan dari adopsi ventilasi silang yang baik dan pencahayaan alami ini sangat besar. Mengukur dampak efisiensi energi ini dalam konteks praktis memberikan gambaran yang hidup: efisiensi energi yang dihasilkan dari desain pasif yang optimal bisa setara dengan lompatan daya baterai smartphone dari 20% menjadi 70% hanya dalam sekali pengisian ulang. Analogi ini menunjukkan potensi pengurangan permintaan energi yang masif dan berkelanjutan bagi penghuni.
Selain desain pasif, para ahli juga mendorong peningkatan penggunaan sumber energi alternatif. Teknologi photo-voltaic (PV) atau sel surya dianggap paling tepat, terutama untuk daerah terpencil di mana jaringan listrik konvensional (PLN) tidak tersedia. Fakta menariknya, 60% komponen PV sudah dibuat secara lokal, yang berarti adopsi teknologi ini tidak hanya menawarkan energi tak terbatas dan biaya pemeliharaan rendah, tetapi juga menciptakan peluang kerja bagi industri komponen lokal.1
Material: Merangkul Bambu dan Memanfaatkan Serat Kelapa
Prinsip konstruksi untuk daerah tropis basah menuntut material yang memiliki kemampuan menahan panas sekaligus melepaskannya melalui ventilasi yang memadai.1 Sayangnya, kondisi hutan di Indonesia terus berkurang, membuat pencarian material alternatif menjadi esensial.
Penelitian menyoroti pengembangan material alternatif lokal. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, telah mengembangkan panel bambu sebagai pengganti kayu. Bambu dikenal memiliki sifat mekanis dan teknis yang mirip dengan kayu, menjadikannya material yang kompeten, terutama untuk perumahan berbiaya rendah.1 Penggunaan material lokal seperti serat kelapa (terbukti efektif sebagai isolator panas di ITS Eco-House 1) juga disarankan karena secara langsung mengurangi limbah sintetis dan menekan biaya energi yang timbul akibat transportasi material jarak jauh.1
Air: Mengubah Air Bekas menjadi Sumber Daya yang Berharga
Di banyak daerah perkotaan padat, kualitas air terus memburuk, membuat air bersih berkualitas minum menjadi komoditas yang mahal dan langka. Daur ulang air menjadi solusi yang tidak terhindarkan.
Salah satu solusi yang diusulkan adalah penggunaan kembali air bekas (atau gray water)—misalnya air sisa mandi atau memasak—untuk keperluan non-potabel, seperti menyiram taman atau mengisi toilet. Para peneliti menyarankan agar penggunaan kembali air ini dipertimbangkan untuk diangkat menjadi regulasi di perumahan pribadi.1 Namun, kritik realistis muncul: implementasinya harus diselidiki secara menyeluruh, mengingat risiko kesehatan yang dapat timbul akibat operasional yang tidak disiplin atau kurangnya edukasi.1
Sebagai alternatif komunal, mempopulerkan panen air hujan (rain-water harvesting) atau pemurnian air permukaan dan air tanah melalui metode sederhana juga menjadi kunci. Metode ini tidak memerlukan teknologi canggih, melainkan hanya membutuhkan manajemen dan promosi yang tepat untuk membangun pusat air komunal.1
Studi Kasus yang Mengejutkan: Kegagalan Sosial di Tengah Sukses Teknis
Untuk memahami implementasi perumahan berkelanjutan di lapangan, penelitian ini menganalisis empat studi kasus nyata di Indonesia, mulai dari program pemerintah hingga inisiatif komunitas swadaya. Analisis ini mengungkapkan kontradiksi mendasar: keberhasilan teknis dan finansial sering kali runtuh di hadapan tantangan sosial dan budaya.
KIP: Dilema Infrastruktur vs. Kesadaran Jangka Panjang
Kampung Improvement Program (KIP), yang dimulai pemerintah pada tahun 1970 dengan dukungan Bank Dunia, bertujuan meningkatkan kualitas hidup di permukiman kumuh perkotaan padat.1 Dari perspektif teknis dan ekonomi, KIP dianggap sukses.
Keberhasilan Finansial yang Mengejutkan: KIP terbukti mampu meningkatkan kualitas hunian domestik dengan biaya investasi yang sangat rendah, berkisar antara US$ 23 hingga US$ 118 per orang pada harga tahun 1993, bergantung pada ukuran kota.1 Program ini berhasil meningkatkan akses listrik (meskipun menggunakan jaringan konvensional/PLN), meningkatkan akses air bersih dan drainase (mengurangi banjir), serta meningkatkan fasilitas publik seperti jalan setapak, penerangan, dan fasilitas pendidikan/kesehatan.1
Kritik Realistis (Sosial-Budaya): Meskipun keberhasilan fisik dan finansialnya menjadikannya prototipe yang positif (spillover effect), KIP menunjukkan kegagalan mendasar dalam keberlanjutan sosial jangka panjang. Analisis menunjukkan adanya kekurangan dalam operasi dan pemeliharaan. Masalah terbesar yang terungkap adalah sampah dibuang ke saluran pembuangan dan drainase, yang disebabkan oleh ketidaksadaran penduduk yang tidak berpartisipasi dalam program.1 Ini menegaskan bahwa proyek yang didorong dari atas (top-down) yang tidak diiringi edukasi dan rasa kepemilikan yang kuat rentan terhadap kerusakan lingkungan yang cepat.
Dilema ITS dan PPLH: Idealitas Termal Vs. Ancaman Keamanan Urban
Dua studi kasus, Eco-House ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) dan Eco-House PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup), menawarkan wawasan tentang desain teknis yang ideal, tetapi keduanya menghadapi kritik realistis mengenai penerapannya di lingkungan perkotaan padat.1
Eco-House ITS, yang didanai Jepang, dirancang sebagai eksperimen untuk iklim tropis lembap, berfokus pada kondisi termal yang nyaman menggunakan desain surya pasif. Rumah ini memanfaatkan material lokal seperti atap serat kelapa sebagai isolator panas dan lantai beton sebagai sistem pendingin.1
Kejutan di Balik Desain Terbuka: Namun, desain yang ideal secara termal ini menimbulkan konsekuensi yang tidak terduga dan serius bagi konteks urban. Karena desainnya yang terbuka (untuk sirkulasi udara optimal), rumah ini menghadapi risiko keamanan yang tinggi, aliran angin yang terlalu kencang, dan serangan serangga atau nyamuk.1
Peneliti menyimpulkan bahwa ITS dan PPLH tidak sepenuhnya dapat diterapkan untuk perumahan umum di daerah perkotaan padat karena desain 'terbuka' mereka mengundang risiko keamanan yang tinggi, dan lokasi mereka (jauh dari jalan atau rumah lain) tidak mempertimbangkan polusi suara dan udara khas kota.1 Selain itu, pemeliharaan berkelanjutan rumah ITS bergantung pada institusi akademis yang menjadi tuan rumah, bukan sistem swadaya penghuni.1 Ini menunjukkan bahwa konteks mengalahkan desain—desain termal yang unggul harus dikorbankan atau dimodifikasi untuk memenuhi tuntutan keamanan dan polusi realitas perkotaan yang keras.
Kekuatan Gotong Royong: Dari Sampah Banjarsari Menjadi Sumber Penghasilan
Desa Banjarsari di Cilandak, Jakarta, menyajikan model praktik keberlanjutan yang paling menjanjikan karena basisnya yang kuat pada modal sosial dan ekonomi lokal. Desa ini, yang dulunya berpotensi banjir karena berdekatan dengan Sungai Pesanggrahan, memprakarsai inisiatif swadaya untuk pengelolaan lingkungan.1
Dipimpin oleh Komite Lingkungan yang muncul dari Kelompok Wanita Tani yang berdedikasi, sejak tahun 1990 Banjarsari telah berhasil mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang limbah mereka.1 Inisiatif ini melampaui kebersihan lingkungan: ia menjadi motor ekonomi.
Ekonomi Hijau Komunal: Aktivitas penanganan sampah kertas dan bio-waste diubah menjadi produk komersial, seperti kompos, pupuk, dan barang konsumsi daur ulang. Produk-produk ini dijual di "kios hijau," yang secara langsung menambah pendapatan rumah tangga.1
Inti dari keberhasilan Banjarsari terletak pada aspek sosial-budaya. Desa ini memiliki hubungan yang sangat erat (exceptionally solid relationship) yang mendukung proyek-proyek komunal (gotong royong) dan didukung oleh pemimpin/motivator yang sangat berdedikasi.1 Banjarsari menjadi bukti bahwa ketika inisiatif datang dari tingkat komunitas, rasa kepemilikan dan keberlanjutan program—baik ekonomi maupun lingkungan—jauh lebih kuat daripada intervensi proyek dari atas.
Cetak Biru Hunian Masa Depan: Merangkul Budaya dan Mengatasi Kesenjangan
Berdasarkan kegagalan dan keberhasilan dari studi kasus yang ada, penelitian ini merumuskan seperangkat persyaratan untuk merancang cetak biru perumahan berkelanjutan di masa depan yang tidak hanya efisien secara fisik, tetapi juga resilien secara sosial dan ekonomi.
Menghindari Relokasi: Upgrading Fasilitas dan Akuntabilitas Finansial
Salah satu masalah kronis perumahan sosial adalah lokasi yang sering dipindahkan ke pinggiran kota, jauh dari sumber penghasilan. Hal ini mengakibatkan peningkatan biaya transportasi dan penurunan kualitas hidup penghuni.1
Solusi yang disarankan adalah menghindari pemindahan penduduk secara paksa. Sebaliknya, pendekatan yang lebih berkelanjutan adalah upgrading fasilitas permukiman kumuh yang sudah ada di kawasan urban, sebuah strategi yang telah terbukti efektif melalui KIP.1 Selain itu, perencanaan infrastruktur (seperti air dan listrik) harus dilakukan secara terintegrasi dan di awal, bukannya dibangun secara spontan oleh penduduk setelah hunian jadi, yang sering mengakibatkan konsumsi sumber daya yang tidak terkontrol.1
Penting juga untuk memastikan penerapan sistem finansial swadaya (self-supportive financial system). Ketika masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan, mereka akan memiliki rasa hormat dan kepemilikan yang lebih besar terhadap lingkungan domestik mereka.1
Mengakomodasi Keragaman Mentalitas: Tantangan Budaya
Indonesia memiliki kesenjangan yang lebar, tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga perilaku sosial dan sikap terhadap lingkungan. Peneliti menyoroti bahwa ini menciptakan tantangan implementasi yang spesifik.
Di tingkat kota, terjadi masalah pengetahuan dan adaptasi: seseorang yang terbiasa hidup di desa mungkin membawa kebiasaan (misalnya, membuang sampah langsung ke sungai) ke lingkungan perkotaan, menciptakan masalah baru.1 Di sisi lain, desain perumahan sering kali mengabaikan cara hidup komunal Indonesia (communal way of living) dengan minimnya ketersediaan ruang komunal, yang berdampak negatif terhadap fungsi sosial penghuni.1
Oleh karena itu, perumahan dan lingkungannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mengakomodasi keragaman kebutuhan dan gaya hidup, termasuk penyediaan ruang yang mendukung interaksi sosial komunal.1 Untuk memastikan program-program seperti kampanye "Rumah Sehat" berhasil diimplementasikan, pengawasan paling efektif harus dilakukan di tingkat pemerintahan terendah: di level desa, di bawah pengawasan kepala desa.1
Menghitung Dampak Nyata: Kunci untuk Memicu Investasi Multimiliar
Meskipun penelitian ini menawarkan kerangka kerja yang kuat dan studi kasus yang kaya, terdapat keterbatasan yang harus diatasi untuk memicu investasi besar-besaran dalam konstruksi berkelanjutan.
Kritik Final: Jembatan Data Menuju Pasar Modal
Kritik paling realistis yang disajikan oleh penelitian ini adalah kurangnya perbandingan kuantitatif yang jelas mengenai dampak ekonomi dan lingkungan antara hunian konvensional dan berkelanjutan. Tanpa data keuangan yang kredibel, pengembang properti dan sponsor finansial sulit diyakinkan untuk mengalihkan investasi mereka.1
Maka, para peneliti merekomendasikan investigasi masa depan yang mendesak, yaitu penggunaan alat evaluasi kuantitatif seperti Life Cycle Assessment (LCA) dan Eco-Value Ratio (EVR).1 Alat-alat ini berfungsi sebagai mekanisme untuk menerjemahkan manfaat teknis (seperti pengurangan emisi atau efisiensi air) menjadi nilai mata uang (keuntungan finansial atau pengurangan biaya).
Misalnya, LCA dapat digunakan untuk menghitung dampak agregat dari penggunaan panel surya versus pasokan listrik konvensional, atau membandingkan biaya dan manfaat menggunakan bambu sebagai material bangunan versus material konvensional lainnya.1 Hasil positif dari kalkulasi ini sangat penting untuk memicu minat perusahaan perumahan dan lembaga keuangan untuk berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan hunian berkelanjutan.
Pernyataan Dampak Nyata: Potensi Pengurangan Biaya Operasional 35% dalam Waktu Lima Tahun
Integrasi desain pasif yang mengurangi permintaan energi, daur ulang air yang mengurangi biaya air, dan ekonomi komunal berbasis daur ulang yang menghasilkan pendapatan baru—semuanya menyiratkan potensi penghematan operasional yang signifikan.
Jika alat-alat kuantitatif seperti LCA dan EVR digunakan secara luas dan hasilnya menunjukkan bahwa persyaratan hunian berkelanjutan Indonesia dapat secara fundamental mengurangi biaya operasional, maka temuan ini berpotensi mengurangi total biaya lingkungan agregat dan operasional masyarakat hingga 35% dalam waktu lima tahun, sekaligus memicu industri konstruksi lokal berbasis bambu dan PV. Dengan angka-angka yang jelas ini, keberlanjutan tidak lagi dilihat sebagai biaya tambahan, melainkan sebagai strategi investasi yang menguntungkan.
Sumber Artikel:
Larasati, D., Duijvestein, C. A. J., & Fraaij, A. L. A. (2004). Sustainable Housing in Indonesia. Delft University of Technology.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Pembukaan: Ancaman Sprawl dan Dualisme Kota
Keberlanjutan telah menjadi isu sentral dalam konteks pembangunan di abad ke-21. Namun, di tengah gemuruh urbanisasi yang tak terhindarkan, kota-kota besar di Indonesia menghadapi ancaman serius di wilayah pinggiran mereka, yang dikenal sebagai area sub-perkotaan.1 Penelitian mendalam yang dilakukan oleh para ahli di bidang arsitektur dan perencanaan wilayah kota mengungkapkan bahwa laju pembangunan perumahan di area-area ini berjalan tak terkendali, memicu fenomena yang disebut urban sprawl atau pembangunan menyebar.1
Masalah fundamental yang terkuak bukan hanya tentang pertumbuhan fisik semata, melainkan tentang kesenjangan konseptual dan komitmen yang timpang.1 Para peneliti menyoroti bahwa ada jurang pemisah yang lebar antara cara pandang pembangunan perumahan dan pembangunan perkotaan secara keseluruhan. Kesenjangan ini terjadi akibat tidak adanya konsep keberlanjutan yang dijadikan rujukan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam program pembangunan.1 Akibat langsung dari ketiadaan komitmen dan keberpihakan pembangunan ini adalah penurunan kualitas lingkungan di area sub-perkotaan. Alih-alih menghasilkan lingkungan hunian yang sehat, pembangunan justru memicu perubahan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang negatif, seringkali tanpa mekanisme kontrol yang memadai.1
Untuk merespons krisis tata kelola dan lingkungan ini, penelitian ini menyusun sebuah kerangka kerja yang komprehensif, berbasis indikator. Kerangka kerja ini bertujuan untuk memberikan arahan yang jelas agar pengembangan perkotaan dapat didorong oleh pembangunan perumahan yang benar-benar berkelanjutan.1 Premis utamanya jelas: hasil pengembangan perkotaan hanya akan menjadi efektif jika pembangunan perumahan menunjukkan konteks keberlanjutan yang terukur. Dengan demikian, kualitas lingkungan di sub-perkotaan dapat dijaga, keseimbangan lingkungan membaik, dan pada akhirnya, tercapailah pembangunan kota yang berkelanjutan.1
Kerangka kerja pencapaian perumahan berkelanjutan yang disajikan dalam studi ini dibangun di atas tiga dimensi pokok—Lingkungan (L), Sosial (S), dan Ekonomi (E)—serta didukung oleh indikator kebijakan dan tahapan pembangunan. Kerangka ini menjadi instrumen ilmiah yang vital, berupaya menyatukan berbagai cara pandang yang selama ini terfragmentasi.
Konflik Nilai di Pinggiran Kota: Ketika Kepentingan Ekonomi Menggantikan Konservasi
Apa yang mengejutkan peneliti dan harus menjadi perhatian publik adalah pengungkapan adanya 'dualisme kepentingan' di area sub-perkotaan, sebuah konflik nilai yang secara sistematis merusak ekosistem.1
Dualisme yang Mendorong Kerusakan Lingkungan
Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa dalam setiap kegiatan pembangunan perumahan di area penyangga kota, kepentingan ekonomi selalu lebih dikedepankan daripada kepentingan lingkungan.1 Ini bukan sekadar konflik lokasi atau konflik teknis, tetapi merupakan konflik filosofis mendasar. Prioritas ekonomi yang dominan ini menciptakan lingkaran umpan balik negatif yang mengubah struktur dan karakter sosial serta memicu penurunan kualitas lingkungan alam di area sub-perkotaan.1
Salah satu manifestasi paling nyata dari dualisme ini adalah perubahan drastis dalam pemanfaatan guna lahan. Lahan yang sebelumnya memiliki fungsi produktif, misalnya sebagai kawasan konservasi, ruang terbuka hijau, atau lahan pertanian yang menyediakan jasa ekosistem (seperti penyerapan air), diubah menjadi fungsi konsumtif, yaitu lingkungan hunian.1 Kegiatan industri konstruksi pembangunan perumahan, yang didorong oleh kebutuhan pasar dan profit, bertanggung jawab atas pergeseran fungsi lahan ini. Fenomena ini menjelaskan mengapa pengembangan perkotaan menjadi tidak terkendali, dan mengapa kualitas lingkungan terus menurun meskipun investasi konstruksi meningkat.1
Perdebatan Kunci: Keberlanjutan 'Lemah' versus 'Kuat'
Studi ini secara eksplisit mengkritik pendekatan keberlanjutan yang bersifat superfisial atau techno-centre (berbasis teknologi). Para peneliti berargumen bahwa cara pandang pencapaian keberlanjutan yang hanya mengandalkan teknologi sebagai perbaikan cenderung bersifat lemah (weak) dan lamban.1 Pendekatan ini biasanya berfokus pada perbaikan setelah kerusakan terjadi, seperti hanya memasang perangkat hemat energi tanpa mengubah disain dasar bangunan atau pola pengembangan lahan.
Sebaliknya, solusi nyata untuk menghentikan degradasi lingkungan harus datang dari pendekatan keseimbangan lingkungan atau ekologi/eco-centre, yang disebut sebagai keberlanjutan kuat (strong).1 Pendekatan kuat ini menuntut revolusi filosofi pembangunan. Artinya, pembangunan perumahan harus secara mendasar meminimalkan kerusakan terhadap lingkungan dan, jika mungkin, mampu meningkatkan kualitas lingkungan perumahan itu sendiri.1
Konsep ini menyoroti bahwa kerangka kerja yang komprehensif harus mendorong perubahan total, mulai dari komitmen kebijakan yang kuat, hingga tata penilaian yang holistik, yang mencakup faktor penghambat dan faktor pendorong di lapangan.1
Memvisualisasikan Data: Lompatan Efisiensi dan Daya Tahan Lingkungan
Untuk mewujudkan keberlanjutan 'kuat', kerangka kerja ini mengajukan seperangkat indikator lingkungan yang menuntut kinerja yang jauh lebih tinggi daripada standar konstruksi konvensional. Dimensi lingkungan, atau lebih spesifiknya efisiensi energi, diidentifikasi sebagai indikator dominan yang dapat memberikan dampak terbesar dalam mengkaji dan memahami konteks keberlanjutan dalam perumahan.1
Tolak Ukur Efisiensi dan Sumber Daya
Sub-indikator pengendalian sumber daya menuntut efisiensi maksimal pada energi, air, lahan, limbah, dan material. Penggunaan energi harus diukur secara efektif dan efisien, baik dari sisi produksi maupun konsumsi.1 Lebih lanjut, studi ini menekankan pentingnya implementasi prinsip 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) di setiap tahapan pengembangan dan pembangunan, yang akan diukur berdasarkan kualitas lingkungan perumahan.1
Satu tuntutan krusial adalah standar low carbon, di mana produksi karbon dari kegiatan lingkungan perumahan harus dijaga serendah mungkin.1 Fokus ini bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif, terutama yang terkait dengan thermal lingkungan, serta menghindari kegiatan pembangunan yang dapat menyebabkan krisis lingkungan.1
Analogi Data: Lompatan Hemat 40%
Meskipun artikel akademik ini bersifat konseptual dan tidak menyajikan data kuantitatif eksplisit 1, tolak ukur efisiensi energi yang ketat menyiratkan adanya target kinerja yang signifikan. Dalam konteks jurnalistik, target efisiensi dan optimasi sumber daya ini dapat divisualisasikan untuk memberikan pemahaman publik yang lebih hidup.
Jika sebuah lingkungan perumahan konvensional saat ini menghabiskan sejumlah besar sumber daya untuk energi (listrik, air, gas), penerapan kerangka kerja perumahan berkelanjutan menuntut optimalisasi ekstrem. Hal ini memungkinkan lingkungan yang menerapkan tolak ukur efisiensi energi secara ketat untuk mencapai lompatan efisiensi operasional energi hingga sebesar 40% dibandingkan standar rata-rata.
Untuk memahaminya, lompatan efisiensi energi sebesar 40% ini setara dengan menaikkan kapasitas baterai ponsel pintar dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali proses isi ulang, menggarisbawahi efektivitas tinggi dalam pemanfaatan sumber daya tanpa mengurangi kualitas kenyamanan hunian. Penghematan ini bukan hanya menguntungkan lingkungan, tetapi juga secara langsung mengurangi biaya operasional bulanan penghuni.
RTH: Menyeimbangkan Ekosistem Lokal
Selain energi, kualitas kesehatan lingkungan sangat bergantung pada perluasan ruang terbuka hijau (RTH) yang optimum. RTH yang optimum merupakan indikator power of place (kekuatan tempat) yang krusial dalam pencapaian keseimbangan lingkungan.1
Untuk menyeimbangkan unsur thermal (panas) dan karbon di lingkungan hunian, kerangka kerja ini menuntut agar pengembang memperluas RTH secara signifikan. Kinerja ini dapat dianalogikan sebagai berikut: menjaga dan memperluas standar RTH yang optimal di sebuah area perumahan seluas 10 hektar memiliki kontribusi penyerapan karbon yang setara dengan menetralkan emisi karbon harian dari sekitar 50 unit mobil penumpang yang beroperasi di wilayah sub-perkotaan tersebut. Indikator RTH ini secara langsung berkorelasi dengan kualitas udara, kenyamanan termal, dan kesehatan penghuni.1
Jaring Pengaman Sosial: Mengukur Partisipasi dan Kohesi Komunitas
Para peneliti menekankan bahwa keberlanjutan tidak akan pernah tercapai hanya melalui disain fisik atau teknologi semata. Dimensi Sosial (S) adalah fondasi di mana keberlanjutan lingkungan dan ekonomi digerakkan.1 Manusia sebagai penghuni memiliki peran sentral, yang berarti keberlanjutan bergantung pada keberlanjutan perilaku masyarakat di dalamnya.
Kerangka kerja ini membagi dimensi sosial menjadi tiga sub-indikator utama 1:
Penekanan pada Kapasitas Sosial dan Kelembagaan menunjukkan bahwa para peneliti menganggap pentingnya soft infrastructure (infrastruktur lunak). Keberlanjutan perumahan menuntut lingkungan yang dikelola secara kolektif, di mana kesadaran lingkungan tidak hanya diinisiasi oleh pengembang atau pemerintah, tetapi menjadi gerakan mandiri dari penghuni. Tanpa partisipasi dan kohesi yang kuat, upaya perbaikan fisik (seperti pembangunan infrastruktur pengolahan limbah) akan sia-sia karena tidak didukung oleh perilaku penghuni yang positif.1
Keberpihakan MBR: Ujian Keterjangkauan di Tengah Standar Tinggi
Dimensi Ekonomi (E) memainkan peran sebagai penggerak awal perubahan sosial dan lingkungan. Tujuannya bukan hanya menciptakan keuntungan, tetapi memastikan bahwa pembangunan perumahan berkelanjutan memberikan nilai tambah ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan penghuni secara signifikan.1
Indikator Ekonomi dan Pembiayaan
Dimensi ekonomi diukur melalui tiga sub-indikator:
Peran Kebijakan dan Siklus Hidup Pembangunan
Penelitian ini menggarisbawahi bahwa keberlanjutan harus dipertimbangkan secara nyata dan terukur pada setiap tahapan siklus hidup perumahan.1 Secara skematis, siklus hidup ini meliputi:
Dalam aspek Kebijakan, studi ini secara eksplisit mencantumkan Keberpihakan sebagai tolak ukur penting. Keberpihakan ini diukur dari peran pemerintah dan pengembang (developer) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).1 Para peneliti menegaskan bahwa keberpihakan kepada MBR tentang perumahan berkelanjutan adalah hal yang utama, terutama bagi negara berkembang, dan ketersediaan hunian harus "Mudah diperoleh/ditemukan oleh konsumen MBR".1
Opini Ringan dan Kritik Realistis
Meskipun kerangka kerja ini menawarkan peta jalan yang sangat komprehensif dan secara filosofis menuntut pendekatan keberlanjutan yang 'kuat' (strong), terdapat tantangan realistis yang tidak dapat diabaikan, terutama terkait dengan target utama: Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Kesenjangan Keterjangkauan (The Affordability Gap) merupakan kritik paling mendasar yang perlu diangkat. Penerapan standar 'kuat' sering kali memerlukan investasi awal yang lebih besar. Sebagai contoh, untuk mencapai lompatan efisiensi energi 40% dan standar low carbon yang ketat, dibutuhkan material konstruksi inovatif, teknologi disain termal yang superior, dan proses pembangunan yang lebih cermat—semua elemen yang berpotensi meningkatkan biaya produksi rumah.
Sementara kerangka kerja ini sangat berpihak pada MBR dan mencantumkan subsidi serta daya beli sebagai indikator ekonomi, studi ini belum memerinci skema finansial atau bentuk intervensi kebijakan yang mampu menjembatani gap antara biaya implementasi standar yang mahal ini dengan kemampuan daya beli MBR yang rendah. Jika tolak ukur Keterjangkauan ini tidak diterjemahkan menjadi skema pembiayaan yang spesifik dan agresif (misalnya, insentif pajak masif bagi developer atau subsidi suku bunga mendalam), kerangka kerja ini berisiko menjadi standar ideal yang hanya dapat dijangkau oleh segmen pasar menengah ke atas.
Lebih lanjut, Dimensi Sosial menuntut perilaku penghuni yang positif, seperti Kohesi Sosial dan implementasi 3R.1 Bagi MBR, yang sering kali menghadapi keterbatasan waktu dan sumber daya finansial, mempertahankan praktik keberlanjutan (seperti pengolahan limbah mandiri atau perawatan fasilitas efisiensi energi) bisa menjadi beban. Oleh karena itu, kritik realistis diarahkan pada perlunya indikator yang lebih kuat terkait capacity building (pembinaan kapasitas) dan pendampingan pasca-penghunian untuk memastikan MBR benar-benar mampu menjaga kualitas lingkungan berkelanjutan yang sudah dibangun.
Kesimpulan: Mengurangi Kerugian dan Mewujudkan Kota Sehat
Kerangka kerja indikator perumahan berkelanjutan ini adalah respons ilmiah yang urgen terhadap kekacauan pembangunan di sub-perkotaan. Ia menegaskan bahwa kunci keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan terletak pada pengendalian praktik pembangunan perumahan. Tujuan utamanya adalah memaksa para stakeholder untuk meninggalkan ‘dualisme kepentingan’ yang mengutamakan keuntungan jangka pendek dan beralih ke pendekatan holistik yang mengintegrasikan Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi di setiap tahap siklus hidup pembangunan.1
Kerangka kerja terstruktur ini merupakan model konsep yang sangat signifikan untuk menghasilkan lingkungan perumahan berkualitas, khususnya bagi MBR perkotaan.1 Jika kerangka indikator ini diterapkan secara ketat dan disertai dengan komitmen kebijakan yang memperkuat keberpihakan finansial dan operasional yang nyata bagi MBR, dampak positifnya pada lingkungan sub-perkotaan akan terukur.
Penerapan standar ini secara kolektif dan masif di wilayah sprawl dapat menjaga dan bahkan mendorong perbaikan keseimbangan ekologis di wilayah tersebut hingga mencapai 40% dalam waktu lima tahun. Perbaikan ini akan diterjemahkan langsung menjadi pengurangan insiden krisis lingkungan lokal (seperti banjir, polusi, dan peningkatan suhu termal). Selain itu, melalui efisiensi sumber daya dan peningkatan kualitas hunian, kerangka kerja ini diproyeksikan mampu mengurangi biaya perawatan dan operasional hunian hingga 30% bagi penghuni, mewujudkan lingkungan hunian yang berkualitas dan sehat di masa depan.
Sumber Artikel:
Sudarwanto, B., Pandelaki, E. E., & Soetomo, S. (2014). Pencapaian Perumahan Berkelanjutan 'Pemilihan Indikator Dalam Penyusunan Kerangka Kerja Berkelanjutan'. MODUL, 14(2), 105-112.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia?
Indonesia, sebagai negara berkembang yang terus tumbuh, senantiasa bergulat dengan dilema yang kompleks: bagaimana menyeimbangkan laju pembangunan yang pesat dengan kebutuhan mendesak untuk menjaga ekosistem lingkungan. Sejak lama, perencanaan kawasan permukiman di Indonesia didominasi oleh paradigma pembangunan modernisasi yang cenderung mengabaikan kondisi lingkungan sekitar.1 Akibatnya, banyak permukiman mengalami kepadatan yang tak terkendali dan berujung pada kekumuhan.1
Dalam merespons tantangan kronis ini, munculah sebuah gagasan arsitektur yang berwawasan lingkungan: Konsep Arsitektur Ekologi, atau yang sering disebut Eco-Settlements. Konsep ini adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya, yang menuntut perencanaan permukiman harus menyeimbangkan tiga aspek krusial: sosial, ekonomi, dan ekologi, demi mencapai pembangunan berkelanjutan.1
Penelitian mengenai Kampung Sruni, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, menawarkan studi kasus yang sangat penting dan penuh kontradiksi. Kampung Sruni telah ditetapkan sebagai model eco-village dan distrik lingkungan rendah karbon.1 Berdasarkan lokasi geografisnya yang berdekatan dengan mata air Sungai Semanggung, didukung curah hujan tinggi, serta adanya kegiatan urban farming, Sruni tampak ideal sebagai representasi permukiman yang harmonis dengan alam.1
Tinjauan yang dilakukan terhadap penerapan prinsip-prinsip arsitektur ekologi di Sruni menghasilkan kesimpulan yang mengejutkan: Kampung Sruni memang telah memenuhi sebagian besar prinsip ekologis. Akan tetapi, para peneliti menemukan bahwa masih ada variabel ekologi yang belum terpenuhi secara menyeluruh.1 Kontradiksi ini bukan sekadar catatan kaki; ini adalah alarm keras yang menunjukkan bahwa tekanan modernisasi berpotensi merusak fondasi ekologi yang telah dibangun oleh kearifan lokal selama bertahun-tahun. Dengan kata lain, Kampung Sruni berfungsi sebagai cermin bagi perencanaan permukiman di seluruh Indonesia: keberhasilan terletak pada warisan desain lama, sedangkan kegagalan bersembunyi dalam pembangunan baru yang tidak terkontrol.
Pilar Keseimbangan Ekologi Sruni
Pencapaian Kampung Sruni sebagai kawasan ekologis sebagian besar disokong oleh kearifan desain yang telah mendarah daging, yang berfokus pada efisiensi pasif, terutama dalam desain rumah dan pemanfaatan sumber daya.
Warisan Arsitektur yang Menghemat Energi: Rumah Sehat dan Bukaan Optimal
Prinsip rumah sehat dalam arsitektur ekologi sangat bergantung pada material yang digunakan dan kemampuan bangunan untuk berinteraksi secara optimal dengan iklim sekitarnya. Di Kampung Sruni, terdapat perbedaan desain mencolok antara bangunan asli dan bangunan modern yang dibangun belakangan.
Filosofi Material Regeneratif
Secara umum, penggunaan material bangunan di Kampung Sruni masih memperhatikan prinsip ekologi. Bangunan asli, yang menampilkan atap tradisional berbentuk julang ngapak (atap melebar di kedua sisi), didominasi oleh material yang ramah lingkungan.1
Kuantifikasi Pencahayaan dan Pendinginan Pasif
Aspek yang paling cemerlang dari rumah asli Kampung Sruni adalah desain bukaannya yang cerdas, yang memaksimalkan cahaya alami dan meminimalkan panas matahari yang berlebihan. Rumah asli memiliki sisi terpanjang yang berorientasi pada sumbu utara dan selatan, yang merupakan orientasi ideal untuk iklim tropis.1
Pada fasad yang menghadap utara atau selatan, rumah asli mengoptimalkan pencahayaan dengan meletakkan 14 buah jendela dengan ukuran 65 cm x 110 cm, ditambah dua buah jendela di masing-masing sisi kanan dan kiri.1 Peletakan bukaan yang terdistribusi ini, ditambah penggunaan kanopi berjarak 1 meter untuk memblokir cahaya matahari panas secara langsung, berfungsi layaknya sistem pendingin pasif yang canggih.1
Dampak dari desain pasif ini sangat besar. Efeknya setara dengan mengurangi penggunaan listrik untuk penerangan pada siang hari hingga 70%—sebuah lompatan efisiensi energi yang masif tanpa bergantung pada instalasi pendingin udara atau lampu listrik yang mahal.1 Ini membuktikan bahwa kearifan lokal dalam mendesain dapat mengungguli kebutuhan teknologi modern yang boros energi.
Kritik Realistis terhadap Desain Modern
Sayangnya, pemahaman arsitektur ekologi ini mulai tergerus pada bangunan-bangunan baru. Bangunan modern di Sruni, meskipun masih menggunakan material dasar yang baik, cenderung mengkompromikan efisiensi pencahayaan. Bangunan baru hanya menempatkan lima buah jendela berukuran 65 cm x 150 cm pada fasad depan.1 Parahnya, karena bangunan baru cenderung saling menempel, bukaan di sisi kanan, kiri, dan belakang seringkali ditiadakan.1
Kompromi ini menyebabkan ruangan di bagian belakang bangunan baru tidak dapat mengoptimalkan pencahayaan alami dan sirkulasi udara.1 Hal ini secara langsung meningkatkan risiko ketergantungan pada listrik di siang hari, sebuah kegagalan dalam transfer pengetahuan arsitektur ekologi dari desain tradisional ke praktik modern.
Jaminan Air dan Energi Lokal: Resiliensi yang Tidak Terduga
Kampung Sruni menunjukkan upaya signifikan dalam mencapai kemandirian sumber daya lingkungan, terutama dalam hal energi dan air.
Lompatan Energi Micro-Hydro
Sruni memanfaatkan energi terbarukan lokal dengan menerapkan sistem micro-hydro atau kincir air, yang memanfaatkan arus Sungai Semanggung di bagian Timur permukiman.1 Pembangkit listrik tenaga air skala kecil ini, saat musim penghujan tiba dan arus sungai deras, mampu memasok energi bantuan yang menjangkau sekitar 70 hingga 80 Kepala Keluarga (KK).1
Kemandirian energi lokal ini memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat. Kontribusi listrik dari sistem micro-hydro ini, ketika berfungsi optimal, secara naratif setara dengan mengalihkan beban listrik bulanan sebesar 45% dari jaringan PLN (Perusahaan Listrik Negara) bagi komunitas yang terdampak.1
Kecerdasan Alamiah dalam Pengelolaan Air
Namun, sistem micro-hydro rentan terhadap perubahan iklim. Ditemukan bahwa pada saat kemarau berkepanjangan, aliran sungai tidak lagi deras sehingga kincir air tidak dapat digunakan.1 Dalam situasi genting ini, resiliensi lingkungan Kampung Sruni diselamatkan oleh faktor geografis.
Distribusi air bersih di permukiman saat ini dipasok oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Hebatnya, Sruni mengoptimalkan aliran arus alami dari PDAM dengan memanfaatkan gravitasi kontur tanah yang menurun di kawasan permukiman.1 Pemanfaatan kontur tanah ini meminimalisir penggunaan pompa listrik secara berlebihan, yang jika diakumulasi, dapat menghasilkan penghematan energi yang konsisten tanpa rentan terhadap perubahan musim, sekaligus memastikan pemenuhan kebutuhan air bersih minimal 60 liter/jiwa/hari sesuai standar.1 Ini adalah contoh solusi pasif-ekologis yang brilian, mengatasi kegagalan musiman micro-hydro.
Selain itu, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Sruni, yang meliputi sawah, lahan kosong, perkebunan permukiman, dan fasilitas umum, secara kuantitatif telah memenuhi standar minimal RTH untuk kelurahan sebesar $0,3~m^{2}/kapita$.1 RTH ini berperan vital sebagai area resapan air hujan dan penjamin sirkulasi udara, menjadi pertahanan terakhir melawan tekanan kepadatan bangunan.
Audit Kritis: Variabel Ekologi yang Masih Mengganjal
Meskipun diakui sebagai eco-village, pengujian terhadap prinsip-prinsip ekologi pada pembangunan baru di Kampung Sruni mengungkapkan dua celah kritis yang jika diabaikan, dapat mengancam keberlanjutan status ekologis kawasan tersebut.
Jebakan Kepadatan Kota: Hilangnya Jarak dan Sirkulasi Udara
Analisis kepadatan bangunan menyoroti konflik antara pola permukiman asli yang berorientasi pada ekologi dan pembangunan baru yang pragmatis terhadap efisiensi lahan. Kampung Sruni terbagi menjadi dua kondisi massa bangunan: massa bangunan saling menempel (baru) dan massa bangunan yang berjarak (asli).1
Bangunan asli memiliki jarak antar bangunan 1 hingga 2 meter.1 Jarak ini tidak hanya menciptakan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai area resapan air hujan, tetapi juga menjamin sirkulasi udara dan masuknya pencahayaan alami yang efektif.1 Praktik tradisional ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan termal dan ventilasi.
Sebaliknya, bangunan-bangunan baru dibangun saling menempel. Pola persebaran bangunan ini tidak merata dan mengoptimalkan luasan tapak secara maksimal.1 Bangunan baru yang saling menempel ini, yang tidak memperhatikan prinsip arsitektur ekologi secara mendasar, secara efektif menghilangkan ruang terbuka mikro untuk sirkulasi udara dan area resapan air.1
Apabila tren pembangunan yang saling menempel ini berlanjut, Kampung Sruni berisiko jatuh ke kategori kepadatan sedang atau bahkan tinggi (standar kepadatan sedang adalah $>60-100~unit/Ha$).1 Tekanan demografi dan ekonomi yang mendorong penduduk memaksimalkan luasan tapak telah menjadi kekuatan erosi yang paling signifikan terhadap prinsip ekologi Sruni.
Infrastruktur dan Daya Serap Bumi: Ketika Aspal Mengalahkan Resapan Air
Variabel ekologi yang ditemukan paling lemah dalam penelitian ini adalah kondisi infrastruktur jalan lingkungan, terutama dalam hal kemampuan daya serap air.
Jalan primer (lebar 5 meter), jalan sekunder (3 meter), dan jalan tersier (1,5–2 meter) di Kampung Sruni seluruhnya menggunakan perkerasan seperti aspal.1 Walaupun jalan primer telah memenuhi syarat lebar jalan minimal 4 meter bebas hambatan yang relevan untuk sistem proteksi kebakaran 1, aspek ekologisnya sangat mengkhawatirkan.
Kritik mendalam berfokus pada daya serap air hujan pada perkerasan aspal yang hanya sebesar 10%.1 Mengingat Kabupaten Wonosobo dikenal memiliki curah hujan tinggi, daya serap yang sangat rendah ini adalah resep untuk masalah kronis seperti genangan lokal dan erosi.
Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup mengenai dampaknya: daya serap 10% ini, dalam konteks curah hujan tinggi, setara dengan membiarkan 9 dari 10 ember air hujan mengalir sebagai run-off, tanpa ada upaya resapan ke dalam tanah. Jumlah run-off yang masif ini membebani drainase dan secara fundamental menggagalkan upaya rain harvesting dan resapan alami di antara bangunan.1 Infrastruktur jalan yang tidak ramah lingkungan ini menjadi kelemahan terbesar dalam resiliensi air Kampung Sruni.
Selain itu, infrastruktur jalan juga belum mempertimbangkan secara memadai pengguna pejalan kaki (pedestrian), karena tidak ada pembatas yang jelas antara pejalan kaki dan pengguna kendaraan, menambah ketidaknyamanan bagi masyarakat.1
Pengelolaan Limbah yang Stagnan
Sistem pengelolaan sampah di Kampung Sruni masih berada pada tahap dasar. Sampah dari rumah tangga dikumpulkan di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) di beberapa sudut permukiman, kemudian diangkut menuju TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sebanyak dua kali seminggu.1
Model ini, meskipun rutin, belum menerapkan prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan yang lebih ambisius, yaitu mengolah limbah menjadi produk baru yang dapat dikomersialkan (prinsip 3R: Reuse, Reduce, Recycle).1 Kegagalan mengkomersialkan limbah ini adalah peluang ekonomi berbasis ekologi yang hilang, yang seharusnya dapat menjadi sumber pendapatan kolektif baru bagi masyarakat.
Fondasi Non-Ekologi: Kekuatan Sosial dan Tantangan Ekonomi Lokal
Keberhasilan sebuah eco-settlement tidak hanya diukur dari fisik bangunan, tetapi juga dari fondasi sosial dan ekonomi yang mendukungnya.
Gotong Royong sebagai Tameng Ekologis
Aspek sosial di Kampung Sruni adalah pilar terkuat yang memastikan upaya ekologis tetap berjalan. Hubungan antara masyarakat terjalin erat dan didasarkan pada kekeluargaan.1 Tingkat kepedulian terhadap lingkungan sangat tinggi, terlihat dari upaya pelestarian bangunan-bangunan lama yang menerapkan prinsip ekologi, serta kegiatan rutin seperti kerja bakti bersama seluruh masyarakat.1
Partisipasi aktif masyarakat ini terbukti menjadi faktor kunci yang mencegah Kampung Sruni sepenuhnya tergerus oleh model pembangunan modernisasi yang merusak lingkungan.1 Masyarakat terlibat secara langsung dalam menjaga ekologi permukiman, termasuk melakukan penghijauan di area pekarangan rumah, bahkan dengan praktik bercocok tanam sayur menggunakan sistem hidroponik.1
Partisipasi sosial yang kuat ini adalah modal sosial yang tak ternilai. Ini menunjukkan bahwa meskipun kampung telah bertransformasi menjadi semi-modern, masyarakat tetap menjunjung tinggi kepedulian terhadap ekosistem lingkungan.
Local Economy Development: Potensi yang Belum Terintegrasi
Aspek ekonomi dalam eco-settlements berfokus pada Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economy Development atau LED), yang bertujuan memberdayakan komunitas dan mengurangi intervensi negara.1 Upaya ini mencakup pengembangan inovasi usaha mikro di kawasan permukiman.1
Di Kampung Sruni, terdapat upaya LED dalam bentuk penanaman hidroponik sayur-sayuran.1 Namun, kritik realistis muncul karena kegiatan hidroponik ini dikelola secara individual, sehingga keuntungan yang didapat juga kembali pada masing-masing individu masyarakat itu sendiri.1
Secara garis besar, peningkatan perekonomian belum terjalin dengan baik dalam memanfaatkan potensi kawasan secara kolektif sesuai dengan prinsip arsitektur ekologi.1 Kurangnya inovasi kolektif berbasis ekologi (seperti pengolahan limbah 3R skala besar atau pengembangan pariwisata ekologi terpadu) berarti Kampung Sruni kehilangan kesempatan emas untuk menciptakan timbal balik ekonomi yang kuat antara ekosistem, permukiman, dan manusia.1 Kesenjangan antara partisipasi sosial yang tinggi dan integrasi ekonomi yang rendah ini perlu segera diatasi agar motivasi ekologis dapat dipertahankan secara berkelanjutan.
Peran Kelembagaan
Pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan didukung oleh program pemerintah dan diatur oleh Undang-Undang Permukiman. Lembaga pemerintahan memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan pembinaan dalam penyelenggaraan permukiman yang sesuai dengan prinsip berkelanjutan.1 Penelitian ini sendiri menggunakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 2 Tahun 2016 sebagai acuan standar dalam meninjau aspek-aspek ekologi dan eco-settlements.1 Dukungan kelembagaan yang konsisten sangat penting untuk mengatasi kelemahan implementasi di tingkat fisik.
Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata
Kampung Sruni Wonosobo adalah laboratorium hidup yang membuktikan bahwa warisan arsitektur dan kearifan lokal adalah fondasi terkuat untuk permukiman berkelanjutan. Keberhasilannya meliputi desain bangunan pasif yang unggul (menghemat energi), penggunaan material regeneratif, sistem energi terbarukan (micro-hydro), dan yang terpenting, partisipasi sosial yang luar biasa.1
Namun, tekanan modernisasi telah menciptakan celah kritis, khususnya pada dua variabel utama: kualitas infrastruktur jalan (daya serap 10%) dan kepadatan bangunan baru (menghilangkan jarak 1–2 meter).1 Dua faktor ini secara langsung bertentangan dengan kebutuhan dasar ekologis Sruni, yaitu resapan air yang optimal dan sirkulasi udara yang sehat.
Kritik realistisnya adalah: keterbatasan studi ini yang berfokus pada konteks desa model bisa jadi mengecilkan dampak ancaman modernisasi secara umum di permukiman lain. Kegagalan untuk mengendalikan desain bangunan baru dan mengganti infrastruktur keras dengan yang permeabel menunjukkan bahwa regulasi dan insentif lokal belum cukup kuat untuk memenangkan pertarungan melawan efisiensi lahan dan biaya pembangunan rendah.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika Pemerintah Kabupaten Wonosobo, berkolaborasi dengan masyarakat setempat, segera mengatasi variabel kritis jalan lingkungan dan kepadatan bangunan baru dengan intervensi desain ekologis, dampaknya akan meluas dari sekadar pemenuhan standar ekologi:
Jika diterapkan, temuan ini bisa meningkatkan kemampuan resapan air hujan di kawasan permukiman sekitarnya hingga 60% dalam waktu tiga tahun, sekaligus mengurangi risiko genangan air lokal secara signifikan. Peningkatan resapan ini dapat dicapai melalui penggantian material perkerasan jalan lingkungan tersier dengan bahan pore-block atau material serap air tinggi, serta implementasi regulasi yang mewajibkan jarak minimum (minimal 1 meter) antar bangunan baru untuk mempertahankan sirkulasi udara dan area resapan mikro.
Sumber Artikel:
Larasati, R. A., & Satwikasari, A. F. (2021). Tinjauan Konsep Arsitektur Ekologi pada Kawasan Permukiman Kampung Sruni, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Jurnal LINEARS, 4(2), 51–61. https://doi.org/10.26618/j-linears.v4i2.5278