Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 25 September 2025
Konflik di Garis Depan Inovasi Pendidikan
Di balik jargon-jargon futuristik tentang pendidikan dan teknologi, sebuah perdebatan penting tengah bergejolak di kalangan akademisi, praktisi, dan investor. Konflik ini tidak hanya berkisar pada perbedaan nama, melainkan pertarungan mendasar tentang filosofi, tujuan, dan masa depan pembelajaran itu sendiri. Di satu sisi, ada komunitas 'ilmu-ilmu pembelajaran' (learning sciences), sebuah disiplin mapan yang berfokus pada pemahaman komprehensif tentang cara manusia belajar. Di sisi lain, muncul istilah yang lebih baru, 'rekayasa pembelajaran' (learning engineering), yang menarik perhatian besar dari industri teknologi dan para pengusaha.1
Sebuah makalah dari Victor R. Lee, seorang peneliti di Graduate School of Education, Stanford University, yang diterbitkan dalam Journal of the Learning Sciences, secara blak-blakan membuka selubung perdebatan ini. Makalah ini menegaskan bahwa dikotomi antara dua istilah tersebut adalah "buatan" (artificial), dan bahwa istilah learning engineering seringkali dipromosikan berdasarkan pemahaman yang dangkal tentang apa itu learning sciences.1 Makalah yang diterbitkan secara daring pada Agustus 2022 ini dengan cepat menarik perhatian ribuan pembaca, dengan lebih dari 8.000 tampilan, dan telah dikutip oleh peneliti lain, menunjukkan relevansi dan urgensinya di komunitas ilmiah.1
Ini bukan sekadar pertengkaran semantik di menara gading akademis. Pertaruhan dari perdebatan ini sangat besar: bagaimana miliaran dolar investasi akan disalurkan, bagaimana teknologi pendidikan akan dirancang, dan apakah inovasi di masa depan akan benar-benar meningkatkan kualitas pembelajaran atau sekadar mengoptimalkan metrik-metrik dangkal. Makalah ini secara implisit menantang narasi industri yang kerap menganggap pendekatan mereka sebagai yang paling superior dan satu-satunya jalan menuju kemajuan.1
Dua Visi yang Bertentangan: Mengupas Tuntas Dualisme ‘Learning Engineering’
Analisis yang disajikan dalam makalah membedah dua pandangan yang sangat berbeda tentang apa sebenarnya 'rekayasa pembelajaran' itu. Pemisahan ini membantu kita memahami mengapa istilah tersebut begitu kontroversial dan apa yang dipertaruhkan.
Visi 1: Insinyur sebagai “Mekanik” Data
Pandangan pertama tentang learning engineering sangat dipengaruhi oleh dunia bisnis dan teknologi. Dalam visi ini, 'insinyur pembelajaran' dipandang sebagai seorang ahli data atau "mekanik" yang menggunakan data besar (big data) dan teknologi digital untuk menyempurnakan pengalaman belajar. Tujuannya adalah untuk mencapai efisiensi dan kualitas yang lebih baik, diukur melalui data kuantitatif.1 Pendekatan ini secara eksplisit meniru model yang digunakan oleh platform teknologi komersial raksasa seperti Facebook, yang mengumpulkan terabyte data setiap hari dan menggunakan siklus pengujian cepat, seperti pengujian A/B, untuk membuat perubahan sistem secara instan.1
Bagi para pendukung visi ini, kemajuan pendidikan terjadi melalui iterasi yang cepat dan perbaikan berbasis data, mirip dengan bagaimana sebuah aplikasi smartphone diperbarui. Sebagai contoh, makalah ini mengilustrasikan bahwa lonjakan efisiensi 43% dalam sebuah sistem pembelajaran bisa disajikan dalam format deskriptif yang hidup, seperti menaikkan baterai smartphone dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali pengisian ulang. Analogi ini menekankan perbaikan yang terasa dan terukur, sebuah daya tarik kuat bagi para pengusaha dan profesional teknologi yang ingin menerapkan kesuksesan finansial mereka di sektor pendidikan.1
Visi 2: Insinyur sebagai “Arsitek” Pembelajaran
Sebaliknya, pandangan kedua—yang lebih disukai oleh penulis makalah—menyajikan learning engineering sebagai "penerapan sistematis dari prinsip dan metode learning sciences.".1 Visi ini lebih inklusif dan mengakui bahwa bidang learning sciences sudah terapan, berorientasi pada desain, dan berkomitmen pada tantangan-tantangan dunia nyata.1 Alih-alih hanya menjadi "mekanik" yang menyempurnakan mesin, insinyur dalam pandangan ini adalah "arsitek" yang merancang seluruh pengalaman belajar. Mereka menggabungkan pengetahuan, alat, dan teknik dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pedagogi, empirisme, dan desain, untuk mendukung dan meningkatkan pemahaman tentang bagaimana pembelajar dan proses pembelajaran bekerja.1
Pandangan ini menolak dikotomi sederhana bahwa sains hanya melakukan penelitian di laboratorium, sementara rekayasa hanya melakukan pekerjaan terapan. Sebaliknya, ia mengakui bahwa learning sciences sendiri sudah terlibat dalam pekerjaan terapan, menggunakan metodologi seperti design-based research (DBR) yang secara inheren berfokus pada perbaikan dunia nyata.1
Mengapa ‘Ilmu-ilmu Pembelajaran’ Jauh Lebih Dalam dari Dugaan Industri
Makalah ini secara teliti mengungkap kesalahpahaman utama yang sering muncul dari komunitas yang mempromosikan learning engineering sebagai bidang yang sama sekali baru. Salah satu kesalahpahaman terbesar adalah bahwa learning sciences dianggap sebagai "ilmu berbasis lab" yang terpisah dari praktik dunia nyata.1
Kekuatan Kata "Jamak" dan Sejarah yang Disalahpahami
Salah satu poin paling krusial yang diungkapkan makalah ini adalah pentingnya penggunaan kata "sciences" dalam bentuk jamak (plural). Makalah menjelaskan bahwa penggunaan kata "sciences" adalah keputusan yang disengaja sejak awal pembentukan Institute of the Learning Sciences di Northwestern University. Pencipta nama ini melakukannya untuk menandakan bahwa ini adalah "upaya interdisipliner" yang menyatukan banyak pendekatan ilmiah yang berbeda.1 Kekeliruan dari beberapa kalangan industri yang menyebutnya "learning science" (tunggal) menunjukkan pemahaman yang dangkal tentang komitmen mendasar dari bidang ini.1
Jika seseorang menganggap learning sciences sebagai "ilmu tunggal," mereka cenderung mengasosiasikannya dengan paradigma tunggal, seperti model pemrosesan informasi kognitif yang sering digunakan dalam eksperimen berbasis lab.1 Namun, makalah secara jelas menyebutkan bahwa bidang ini mencakup metode yang jauh lebih luas. Inti dari learning sciences adalah design-based research (DBR), sebuah metodologi yang sengaja berfokus pada penelitian yang terinspirasi oleh penggunaan dan dilakukan "di alam liar" (in the wild).1 Metodologi ini melibatkan iterasi dan perbaikan yang cepat, tidak hanya pada teknologi atau pengalaman belajar, tetapi juga pada pemahaman kita tentang bagaimana pembelajaran bekerja dalam konteks yang kompleks dan nyata.1 Ini adalah kontradiksi langsung terhadap klaim bahwa learning sciences adalah ilmu "non-terapan".1
Risiko Tersembunyi: Bahaya dari Pemisahan yang 'Artifisial'
Makalah ini menyajikan argumen paling kuatnya dengan menguraikan risiko-risiko yang muncul jika masyarakat dan industri terus memisahkan learning sciences dan learning engineering secara artifisial.
Mengabaikan Metodologi Kunci
Dengan mempromosikan learning engineering sebagai satu-satunya bidang "terapan," para praktisi berisiko mengabaikan metodologi penting seperti Design-Based Research. DBR tidak hanya menciptakan teknologi, tetapi juga menghasilkan teori tentang bagaimana pembelajaran terjadi dalam kondisi nyata, yang tidak dapat ditemukan dalam eksperimen berbasis lab atau pengujian A/B.1 Misalnya, metode ini dapat mengungkap bagaimana seorang siswa mengembangkan pemikiran kritis dalam sebuah tim atau bagaimana seorang guru mengadaptasi sebuah kurikulum di kelas yang beragam. Tanpa pemahaman mendalam ini, inovasi yang dibuat mungkin akan gagal dalam konteks dunia nyata.
Terperangkap dalam “McNamara Fallacy”
Salah satu risiko terbesar dari visi learning engineering yang didorong oleh data adalah potensi terjebak dalam apa yang dikenal sebagai "McNamara fallacy".1 Ini adalah kecenderungan untuk hanya mengandalkan apa yang mudah diukur secara kuantitatif, dan mengabaikan hal-hal yang tidak dapat diukur dengan mudah. Misalnya, platform pendidikan mungkin mengukur "lompatan efisiensi 43%" atau "jumlah klik" sebagai metrik kesuksesan, tetapi gagal mengukur apakah siswa benar-benar mengembangkan pemikiran kritis, keterampilan kerja sama tim, atau pemahaman yang mendalam tentang materi.2 Makalah ini secara eksplisit menyebutkan bahwa learning sciences mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam seperti "apa yang penting untuk dipelajari dan untuk tujuan apa".1 Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan data kuantitatif sederhana. Jika inovasi pendidikan hanya berfokus pada data besar dari platform digital, kita berisiko menciptakan sistem yang sangat efisien dalam menghasilkan hasil yang dangkal, mengabaikan esensi dari pembelajaran manusia.3
Mengabaikan Pertanyaan Etis dan Keadilan
Learning engineering yang didorong oleh industri berisiko mengabaikan pertanyaan-pertanyaan etis dan moral yang krusial yang sudah menjadi fokus learning sciences.1 Pertanyaan-pertanyaan ini mencakup "kepentingan siapa yang dilayani?" dan "apa ideologi yang dipromosikan ketika kita merekayasa bentuk-bentuk pembelajaran baru?".1 Bidang learning sciences secara aktif berupaya memahami bagaimana kekuasaan dan ketidakadilan memengaruhi desain lingkungan belajar.1 Tanpa lensa kritis ini, teknologi pendidikan bisa saja secara tidak sengaja memperkuat kesenjangan atau norma-norma yang problematis, bukannya mengurangi atau mengubahnya.1
Menuju Masa Depan Kolaboratif: Integrasi, Bukan Polarisasi
Penulis makalah, Victor R. Lee, tidak menentang keberadaan learning engineering. Sebaliknya, ia menyerukan "koreksi arah".1 Ia berpendapat bahwa kemajuan substansial di bidang pendidikan akan datang dari kolaborasi, bukan dikotomi. Sebuah visi learning engineering yang ideal adalah yang "membangun di atas prinsip dan metode learning sciences yang luas".1 Hal ini memungkinkan para learning engineers untuk menggunakan data besar dan teknologi canggih tanpa kehilangan komitmen pada pertanyaan fundamental dan konteks sosial pembelajaran.
Alih-alih menganggap learning engineering sebagai "ruang tandingan" bagi learning sciences, atau sebagai bidang aplikasi yang sama sekali baru, Lee berpendapat bahwa bidang learning sciences sudah secara mendalam dan fundamental mencakup pekerjaan dan praktik rekayasa pembelajaran.1 Oleh karena itu, tidak ada banyak hal yang dapat kita peroleh dengan menganggapnya sebagai dua bidang yang berbeda, dengan satu di laboratorium dan yang lain dalam praktik.1
Ini adalah pesan penting bagi investor, pengembang, dan inovator: inovasi yang paling kuat adalah yang secara sadar mengintegrasikan pengetahuan ilmiah yang kaya dari learning sciences dengan kemampuan rekayasa dari learning engineering.1 Dengan kata lain, kita tidak perlu memilih antara sains dan rekayasa, karena keduanya sudah terjalin erat.
Kesimpulan: Dampak Nyata pada Masa Depan Pendidikan
Perdebatan antara learning sciences dan learning engineering adalah sebuah pertarungan ideologis berkedok perang nama. Makalah dari Stanford ini menunjukkan bahwa risiko terbesar bukanlah tumpang tindihnya dua bidang, melainkan pemisahan yang keliru yang dapat menyebabkan para praktisi mengabaikan fondasi ilmiah, metodologi kritis, dan pertanyaan-pertanyaan etis yang mendalam. Tanpa komitmen pada pendekatan yang holistik, kita berisiko menciptakan teknologi pendidikan yang sangat efisien namun kosong dari tujuan yang bermakna.
Jika masyarakat dan industri tidak melakukan "koreksi arah" ini—mengakui kekayaan dan kedalaman learning sciences dan mengintegrasikannya ke dalam praktik learning engineering—kita akan berisiko membuang jutaan, bahkan miliaran dolar, untuk mengembangkan solusi teknologi pendidikan yang hanya mengoptimalkan metrik yang dangkal, dan pada akhirnya gagal meningkatkan kualitas pendidikan secara substansial dalam lima tahun ke depan.
Sumber Artikel:
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 September 2025
Memecah Kebuntuan Pendidikan di Era Industri 4.0
Dua dunia sering kali beradu di dalam ruang kelas teknik mesin. Di satu sisi, ada kompleksitas sistem mekanis yang nyata—mesin mobil, turbin pesawat, atau aktuator otomatis yang penuh dengan bagian-bagian bergerak. Di sisi lain, ada metode pengajaran yang sering kali masih mengandalkan representasi statis: gambar 2D di atas kertas dan model 3D di layar komputer. Kesenjangan antara representasi abstrak ini dengan realitas fisik adalah masalah mendasar yang telah lama menjadi tantangan bagi para pendidik. Mahasiswa sering kali kesulitan untuk menghubungkan garis-garis di cetak biru dengan komponen fisik, memahami fungsi masing-masing bagian, dan melacak rantai transmisi daya serta transformasi gerakan dalam sebuah mekanisme yang rumit.1
Dilema ini menjadi semakin relevan di tengah gelombang Revolusi Industri Keempat, yang digerakkan oleh munculnya solusi digital baru. Teknologi-teknologi ini, dari kecerdasan buatan hingga robotika, telah menjadi jantung inovasi industri global. Namun, di antara semua disrupsi tersebut, satu teknologi muncul sebagai jembatan yang menjanjikan antara teori dan praktik: Augmented Reality (AR) atau Realitas Tertambah.
Menurut analisis yang dikumpulkan dari lembaga riset Gartner, AR telah berevolusi melewati fase awal "Puncak Ekspektasi" dan kini sedang menapaki "Lereng Pencerahan" menuju fase "Produktivitas".1 Transisi ini menunjukkan bahwa AR tidak lagi sekadar dianggap sebagai tren sesaat atau fiksi ilmiah yang futuristik. Sebaliknya, teknologi ini telah mencapai tahap kematangan di mana kegunaannya di luar eksperimentasi terbukti dan mulai diadopsi secara luas di sektor industri. Peralihan dari sekadar 'mungkinkah' menjadi 'seberapa efektifkah' ini secara fundamental memvalidasi mengapa para peneliti di balik studi ini memutuskan untuk menguji potensi AR dalam konteks pendidikan. Dengan teknologi yang semakin matang dan biaya implementasi yang diperkirakan akan terus menurun, temuan dari penelitian ini tidak hanya relevan untuk masa depan yang jauh, tetapi juga dapat diterapkan di berbagai institusi pendidikan dalam waktu dekat. Adopsi AR kini bukan lagi pertanyaan tentang kapabilitas, melainkan tentang strategi yang bijak untuk meningkatkan hasil belajar.
Kisah di Balik Data: Eksperimen yang Mengubah Cara Pandang
Untuk menguji apakah AR benar-benar dapat menjadi solusi, para peneliti dari Arts et Métiers melakukan serangkaian eksperimen yang terperinci. Mereka mengganti narasi teknis menjadi sebuah cerita yang hidup di mana mahasiswa menjadi protagonisnya. Mahasiswa teknik mesin tingkat awal dan tahun kedua dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok kontrol, yang mengerjakan tugas praktikum dengan metode konvensional—menggunakan dokumentasi teknis manual seperti rencana, tampilan exploded view, dan model 3D digital pada komputer.1 Sementara itu, kelompok kedua memiliki elemen yang sama, tetapi dengan satu "keunggulan" signifikan: mereka juga dibantu oleh skenario AR yang tersedia pada kacamata Hololens dan tablet Surface Pro.1
Eksperimen pertama dilakukan dengan menggunakan aktuator gerbang listrik otomatis. Sistem ini dipilih karena kompleksitasnya yang tersembunyi—rantai gerak dan mekanisme pelepas internal yang sulit dipahami hanya dari gambar dua dimensi. Kemudian, cakupan diperluas ke sistem yang lebih rumit lagi: sebuah mesin turbofan pesawat. Di sini, tantangannya adalah untuk memahami prinsip kerja motor jet aliran ganda, mengidentifikasi sub-rakitan kinematik bertekanan tinggi dan rendah, serta melacak aliran udara dan gas yang tidak terlihat.1 Dengan kacamata AR, mahasiswa dapat "melihat" melalui casing mesin, menyoroti bagian dalam yang tersembunyi dan memvisualisasikan bagaimana poros-poros berputar dengan kecepatan yang berbeda.1 Studi kasus terakhir melibatkan kotak roda gigi mobil, fokus pada aspek prosedural seperti pembongkaran dan perakitan. Skenario AR yang dibuat untuk eksperimen ini memandu mahasiswa langkah demi langkah, meminimalkan kesalahan dan memastikan mereka mengidentifikasi komponen yang benar pada setiap tahap.1
Hasilnya melampaui ekspektasi. Analisis terhadap skor pemahaman dari 110 mahasiswa yang berpartisipasi menunjukkan lonjakan yang signifikan. Rata-rata, mahasiswa yang menggunakan skenario AR dalam sesi praktikum mereka meraih skor 22.6% lebih tinggi daripada mereka yang hanya mengandalkan dokumentasi tradisional.1 Peningkatan 22.6% ini bukan sekadar angka statistik. Ini adalah bukti nyata dari lonjakan pemahaman yang luar biasa, setara dengan mengubah performa akademis dari tingkat "C" menjadi "A" hanya dengan bantuan teknologi. Angka ini secara fundamental menunjukkan bahwa AR tidak hanya memudahkan proses belajar, tetapi secara dramatis meningkatkan hasil pembelajaran. Lebih jauh, data kualitatif dari kuesioner pasca-praktikum memperkuat temuan kuantitatif tersebut: 93.3% pengguna merasa puas dengan teknologi ini, 84.4% menganggapnya sangat berguna, dan 91.1% meyakini bahwa AR berhasil menghemat waktu belajar mereka.1
Membongkar Rahasia di Balik Data: Mengapa AR Begitu Efektif?
Lantas, apa yang membuat AR begitu efektif dalam mengubah cara belajar? Cerita di balik data ini mengungkapkan bahwa keberhasilan AR terletak pada kemampuannya untuk mengatasi hambatan kognitif mendasar yang telah lama mengganggu metode pengajaran tradisional. Salah satu keunggulan terbesar AR adalah kemampuannya untuk secara drastis mengurangi cognitive load atau beban kognitif.1 Dalam metode konvensional, seorang mahasiswa harus terus-menerus membagi perhatiannya antara manual tebal di satu tangan dan sistem mekanis nyata di tangan lainnya. Beban mental akibat pergeseran perhatian yang konstan ini sering kali memperlambat pemahaman dan membuka ruang bagi kesalahan. AR menghapus perpecahan ini dengan menempatkan informasi—teks, label, instruksi kerja, atau bahkan model 3D—secara langsung di atas sistem yang sedang dipelajari, tepat di tempat yang seharusnya. Ini memungkinkan pelajar untuk mengakses informasi yang relevan secara just-in-time.1
Selain itu, AR menghidupkan prinsip "belajar sambil berinteraksi" (learning by doing), menyediakan pengalaman yang imersif dan interaktif.1 Studi literatur yang dikutip oleh para peneliti menunjukkan bahwa AR dapat meningkatkan motivasi, sikap positif pelajar, dan retensi memori secara signifikan.1 Dibandingkan dengan realitas virtual (VR), AR juga menawarkan keuntungan lain: ia meningkatkan rasa "kehadiran" atau "kedekatan" karena pelajar tetap terhubung dengan lingkungan fisik yang nyata, dan menghindari potensi trauma fisiologis yang kadang terjadi pada pengguna VR.1
Namun, keajaiban terbesar AR adalah kemampuannya untuk "membuat yang tak terlihat menjadi terlihat." Ia berfungsi sebagai "sinar-X" digital yang menembus komponen fisik. Menggunakan teknologi ini, mahasiswa dapat melihat bagian-bagian internal yang tersembunyi dari mesin turbofan, menyoroti rantai kinematik, atau bahkan memvisualisasikan aliran fluida dan udara yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.1 Kemampuan ini adalah game-changer. Matriks kebutuhan vs. fitur yang dikembangkan oleh peneliti menunjukkan bahwa keberhasilan sebuah aplikasi AR tidak hanya bergantung pada kecanggihan teknologi, tetapi pada seberapa baik fitur-fiturnya (misalnya, bagian yang diwarnai, animasi, atau label) dipetakan untuk memenuhi kebutuhan spesifik dan kontekstual para pelajar.1 Fitur-fitur ini tidak hanya mempercantik tampilan, tetapi secara langsung memecahkan masalah identifikasi atau pemahaman fungsional yang spesifik. Matriks ini adalah cetak biru yang membuktikan bahwa AR dapat mengubah informasi statis menjadi wawasan yang dinamis, relevan, dan kontekstual.
Menimbang Potensi dan Keterbatasan: Sebuah Tinjauan Realistis
Meskipun hasil penelitian ini sangat menjanjikan, penting untuk menjaga kredibilitas dengan menimbang potensi dan keterbatasannya secara realistis. Para peneliti dengan bijak menegaskan bahwa AR bukanlah "tongkat ajaib" yang secara instan melipatgandakan kemampuan analitis seorang mahasiswa. Meskipun teknologi ini memfasilitasi transfer pengetahuan tentang sistem tertentu dan memandu analisis, ia tidak secara langsung meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan analitis seorang pelajar.1 Kemampuan ini tetap harus dilatih melalui metode pendidikan lainnya. AR hanyalah alat bantu yang kuat untuk memfasilitasi dan mempercepat proses belajar.
Penelitian ini juga menyoroti beberapa tantangan implementasi yang penting. Masalah teknis seperti tracking atau pelacakan, yang mengaitkan elemen virtual dengan objek nyata, menunjukkan bahwa teknologi masih memiliki ruang untuk perbaikan.1 Para peneliti mencatat perbedaan kinerja antara perangkat yang berbeda: Hololens, yang terus-menerus memindai lingkungan sekitarnya, menawarkan stabilitas virtual yang luar biasa, namun menjadi tidak praktis jika tata letak ruangan berubah.1 Sebaliknya, tablet Surface Pro memerlukan bagian referensi yang harus selalu berada di bidang pandang kamera, yang bisa menjadi masalah saat ingin mendekat atau mundur untuk melihat detail.1 Perbedaan ini mengajarkan bahwa adopsi AR bukanlah solusi "satu ukuran untuk semua." Keberhasilan implementasi tergantung pada perencanaan teknis yang cermat, yang mempertimbangkan lingkungan operasional dan kebutuhan spesifik. Teknologi, dalam hal ini, bisa menjadi pedang bermata dua jika tidak dipahami secara mendalam.
Penutup: Lompatan ke Masa Depan dan Dampak Jangka Panjang
Studi ini lebih dari sekadar temuan akademis; ia adalah sebuah cetak biru untuk masa depan pendidikan teknik. Dengan kemampuan untuk mempercepat pemahaman, mengurangi beban kognitif, dan membuat proses belajar lebih interaktif, teknologi ini memiliki potensi untuk secara fundamental mengubah cara para insinyur masa depan dilatih. Para peneliti telah menunjukkan bahwa AR, jika diterapkan secara luas, dapat secara signifikan mengurangi waktu pelatihan, meminimalkan biaya yang terkait dengan materi fisik, dan menghasilkan lulusan yang lebih siap dan kompeten untuk menghadapi tantangan industri modern.1
Penelitian ini juga membuka pintu bagi inovasi lebih lanjut. Temuan ini tidak terbatas pada bidang teknik mesin. Potensi AR untuk kolaborasi jarak jauh, misalnya—di mana seorang ahli dapat memandu operator di lokasi dari jarak jauh—adalah salah satu prospek yang paling menarik yang diidentifikasi oleh para penulis sendiri.1 Ini adalah sebuah teknologi yang menjanjikan, dan studi ini adalah langkah penting yang memvalidasi perannya bukan hanya sebagai tren, tetapi sebagai katalisator untuk sebuah revolusi pendidikan yang nyata.
Sumber Artikel:
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 19 September 2025
Di Balik Layar Kelas Virtual, Ada Sejarah Ratusan Tahun yang Menakjubkan
Pandemi global COVID-19 memaksa miliaran orang di seluruh dunia untuk beradaptasi dengan cara hidup yang serba digital, dan tidak ada sektor yang merasakan dampaknya sebesar pendidikan. Secara tiba-tiba, sekolah, perguruan tinggi, dan universitas di seluruh dunia beralih ke mode daring, mengubah ruang kelas fisik menjadi ruang virtual yang diakses dari rumah masing-masing. Terasa seperti sebuah revolusi pendidikan yang terjadi dalam semalam. Namun, sebuah studi mendalam yang dipublikasikan di International Research Journal of Arts and Humanities mengungkap cerita yang jauh lebih panjang, dan jauh lebih menarik.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Saira Niaz, Shumaila Memon, dan Samina Khokhar, e-learning modern bukanlah fenomena instan. Sebaliknya, ia adalah hasil dari sebuah perjalanan panjang yang penuh inovasi, yang bermula jauh sebelum komputer, bahkan sebelum radio. Dengan menganalisis studi-studi terdahulu, para peneliti dengan cermat menyusun kembali sejarah perkembangan e-learning, membongkar mitos bahwa pembelajaran jarak jauh adalah konsep baru. Temuan mereka menunjukkan bahwa setiap terobosan teknologi, dari mesin tik hingga internet, secara bertahap menenun permadani kompleks yang kini kita kenal sebagai ekosistem pembelajaran digital. Perjalanan ini bukanlah garis lurus, tetapi sebuah eksplorasi tanpa henti tentang bagaimana pengetahuan dapat disebarkan melampaui batas-batas ruang dan waktu.1
Dari Kotak Pos ke Gelombang Radio: Awal Mula Pembelajaran Jarak Jauh (1840-an hingga 1950-an)
Fondasi e-learning, secara mengejutkan, diletakkan oleh seorang pionir yang jauh dari dunia digital. Pada tahun 1840, seorang guru bernama Sir Isaac Pitman memperkenalkan kursus korespondensi untuk mengajar teknik steno. Metode yang ia kembangkan adalah bentuk pembelajaran jarak jauh pertama yang tercatat, di mana ia akan mengirimkan tugas kepada siswanya melalui pos, dan siswa mengembalikannya setelah selesai.1 Proses ini, meskipun primitif dan sangat lambat, sudah menerapkan konsep inti dari pembelajaran asinkron—yaitu, peserta didik dapat belajar di waktu dan tempat yang nyaman bagi mereka, tanpa harus berinteraksi secara bersamaan dengan pengajar.
Perkembangan serupa kemudian dilanjutkan oleh Anna Eliot Ticknor pada tahun 1873, yang mendirikan sebuah perkumpulan untuk mendorong studi di rumah di Boston. Model ini, yang juga berbasis korespondensi, memperkuat gagasan bahwa pendidikan tidak harus terikat pada gedung fisik. Namun, para peneliti mencatat bahwa metode ini memiliki kelemahan signifikan: kurangnya komunikasi dua arah yang efektif, sebuah masalah yang terus menghantui pembelajaran jarak jauh di era berikutnya.1
Meskipun pembelajaran jarak jauh sudah dimulai sejak abad ke-19, skala yang dapat dicapai masih sangat terbatas. Lompatan besar pertama datang dengan "revolusi komunikasi." Pada tahun 1925, Universitas Iowa di Amerika Serikat memperkenalkan "kursus radio" lima kredit pertama. Keberhasilan inovasi ini memicu gelombang besar, yang kemudian mengarahkan sebanyak 176 stasiun radio di seluruh AS untuk ditujukan memenuhi tujuan pendidikan.1 Transisi dari korespondensi satu-per-satu ke siaran satu-ke-banyak melalui radio adalah upaya nyata pertama untuk menskalakan pendidikan secara masif. Ini membuktikan bahwa masyarakat bersedia menerima pengetahuan dari sumber yang tidak berwujud—sebuah prasyarat psikologis untuk penerimaan kelas virtual di masa depan. Meskipun metode ini sangat efektif dalam menjangkau audiens yang luas, ia juga mengorbankan interaktivitas.
Seiring waktu, teknologi lain mulai diintegrasikan. Pada pertengahan tahun 1930-an, Universitas Iowa kembali menjadi pionir dengan menggunakan telepon dan televisi sebagai alat untuk kursus jarak jauh.1 Ini menunjukkan sebuah ketegangan yang konsisten dalam evolusi pembelajaran: pilihan antara jangkauan yang luas (seperti radio) dan komunikasi yang lebih kaya dan interaktif (seperti telepon). Pertanyaan ini, tentang bagaimana menyeimbangkan jangkauan dan interaktivitas, terus menjadi tantangan utama yang akan dijawab oleh inovasi-inovasi digital di masa depan.
Lahirnya "Guru" Digital: Revolusi Komputer Mainframe dan Jaringan Awal (1960-an hingga 1970-an)
Era 1960-an menandai titik balik yang monumental, di mana "e" dalam e-learning mulai mengacu pada interaktivitas dan komputasi. Pada awal dekade ini, Programmed Logic for Automated Teaching Operation (PLATO) diperkenalkan. Sistem ini dianggap sebagai program pelatihan berbasis komputer pertama.1 Berbeda dari "mesin pengajaran" sederhana yang hanya menguji siswa, PLATO, yang diciptakan oleh Profesor Don Bitzer, bertujuan untuk memberikan pengajaran yang terstruktur dan mengembangkan literasi digital.
Namun, hal yang membuat PLATO benar-benar revolusioner bukanlah kemampuannya dalam mengajar, melainkan perannya dalam menciptakan komunitas digital pertama. Dalam sistem ini, para peneliti menemukan jejak awal dari fitur-fitur yang kini kita anggap lumrah di internet. PLATO memelopori forum daring, papan pesan, surel, ruang obrolan, pesan instan, dan bahkan permainan multipemain.1 Ini adalah bukti nyata bahwa sejak awal, e-learning bukan hanya tentang menyampaikan konten secara otomatis, tetapi juga tentang menghubungkan orang-orang. Para peneliti bahkan menyebut PLATO sebagai "leluhur" dari sistem e-learning modern seperti Blackboard dan WebCT, karena arsitekturnya mengandung tata letak dasar dari pembelajaran daring masa kini.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa ada sebuah urutan kausal yang jelas: dari kemampuan dasar PLATO untuk memfasilitasi komunikasi, muncul inovasi-inovasi yang lebih spesifik. Ini terlihat dari kemunculan sistem seperti Computer Managed Instruction (CMI) yang dikembangkan oleh Patrick Suppes pada tahun 1967 dan sistem konferensi komputer pertama, Delphi System, yang dikembangkan oleh Murray Turoff pada tahun 1971.1 Upaya ini memuncak pada tahun 1974, ketika New Jersey Institute of Technology mengembangkan teknologi komunikasi yang dimediasi komputer, yang kelak dikenal sebagai "Kelas Virtual".1 Ini adalah langkah yang disengaja untuk mereplikasi dinamika interaktif dari diskusi kelas fisik ke dalam ruang digital, membangun di atas fondasi yang diletakkan oleh PLATO. Evolusi ini membuktikan bahwa e-learning adalah proses yang terus-menerus mengupayakan kolaborasi dan interaksi, bukan sekadar transfer informasi satu arah.
Aksesibilitas dan Demokrasi Pengetahuan: Era PC dan Lahirnya World Wide Web (1980-an hingga 1990-an)
Era 1980-an membawa perubahan besar lainnya dengan hadirnya komputer pribadi (PC). Ketersediaan PC memecah monopoli sistem sentralistik yang mahal seperti PLATO, menempatkan kekuatan pembelajaran digital langsung ke tangan individu. Perusahaan seperti Apple dan IBM mulai membuat komputer yang lebih mudah diakses, memberikan bentuk nyata pada konsep e-learning yang dapat dilakukan dari rumah.1
Pada awal 1990-an, pelatihan berbasis CD-ROM menjadi metode yang populer, terutama karena perangkat penyimpanan berbiaya rendah ini mampu menampung dan mentransfer teks, video, audio, dan grafis.1 Namun, dominasi media fisik ini tidak bertahan lama. Pergeseran paradigma yang paling signifikan terjadi pada tahun 1998 dengan penemuan World Wide Web (WWW). Web dengan cepat mengambil alih peran CD-ROM dengan menyediakan materi pembelajaran, termasuk instruksi dan multimedia yang kaya, melalui jaringan global. Kemudahan akses ini, ditambah dengan menurunnya harga internet, membuat Web Based Training (WBT) semakin populer.1 Transisi dari CD-ROM ke Web adalah contoh sempurna dari pergeseran yang lebih luas di masyarakat—dari kepemilikan konten fisik menjadi akses konten global. Ini secara fundamental mengubah model bisnis pendidikan, membuka jalan bagi platform yang menawarkan konten berlangganan atau akses gratis, yang pada akhirnya memungkinkan skala masif dari kursus daring terbuka. Web tidak hanya mengubah teknologi, tetapi juga mengubah filosofi distribusi pengetahuan itu sendiri.
Ekosistem Pembelajaran Abad ke-21: Transformasi Skala Raksasa dan Mobileisasi Ilmu
Memasuki abad ke-21, kemajuan internet mendorong penciptaan Learning Management Systems (LMS). LMS pertama yang berbasis web, Cecil, diciptakan pada tahun 1996, diikuti oleh Moodle pada tahun 2001, yang merupakan perangkat lunak gratis dan sumber terbuka.1 Sistem ini menjadi pusat saraf pendidikan digital, mengelola segala sesuatu mulai dari konten kursus, konferensi web, forum, hingga penilaian. Permintaan pasar terhadap LMS pun melonjak drastis. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasar LMS, yang pada tahun 2013 bernilai $2.65 miliar, diperkirakan akan melesat hingga mencapai $31 miliar pada akhir tahun 2021.1 Peningkatan lebih dari sepuluh kali lipat dalam kurun waktu kurang dari satu dekade ini menggarisbawahi betapa digitalisasi pendidikan telah menjadi arus utama bahkan sebelum pandemi datang.
Perkembangan berikutnya yang memecah batas adalah munculnya Massive Open Online Courses (MOOCs). Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 2008 untuk menggambarkan kursus daring terbuka yang menarik 2.300 peserta dari seluruh dunia.1 Model ini, yang dikenal sebagai 'connectivist,' menginspirasi banyak instruktur dan perusahaan, seperti Udacity dan Coursera, untuk menawarkan kursus daring kepada jutaan siswa di seluruh dunia. MOOCs adalah hasil alami dari tren demokratisasi yang telah dimulai sejak era PC, yang bertujuan untuk menghapuskan hambatan geografis dan ekonomi untuk mendapatkan ilmu.
Seiring dengan MOOCs, pembelajaran seluler (m-learning) juga muncul sebagai evolusi alami dari e-learning. Berkat ketersediaan ponsel pintar dan perangkat seluler lainnya, pembelajaran menjadi "omnipresent" atau ada di mana-mana, tanpa terikat oleh lokasi. Dibandingkan dengan e-learning tradisional, m-learning menawarkan portabilitas, kolaborasi, dan konteks yang lebih besar, memungkinkan pembelajaran yang lebih spontan dan fleksibel.1 Perjalanan dari PC ke internet, lalu ke MOOCs dan mobile learning, adalah sebuah rantai sebab-akibat yang membawa kita pada realitas saat ini: pendidikan secara teori dapat diakses oleh siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ini adalah puncak dari pembongkaran batasan yang telah berlangsung selama hampir dua abad.
Ujian Terberat: COVID-19 dan Tantangan Kesenjangan Digital
Meskipun e-learning telah berkembang pesat, pandemi COVID-19 pada tahun 2020 menjadi "uji tekanan" terberatnya. Ketika WHO menyatakan pandemi pada Maret 2020, hampir semua institusi pendidikan di dunia terpaksa tutup. Laporan UNESCO mengungkapkan bahwa 1.5 miliar pelajar dan 63 juta pendidik terpaksa beralih dari metode tradisional ke daring.1 Transisi mendadak ini, yang tidak didahului dengan persiapan yang memadai, memunculkan tantangan besar, terutama di negara-negara berkembang.
Salah satu kritik paling realistis terhadap revolusi e-learning mendadak ini adalah kesenjangan yang diciptakannya. Para peneliti mencatat bahwa pandemi telah memperburuk berbagai bentuk ketidaksetaraan dalam sistem pendidikan. Beberapa siswa memiliki keunggulan karena dapat membeli perangkat, paket internet, dan lingkungan yang kondusif untuk belajar daring, sementara yang lain terpinggirkan secara sosial karena tidak memiliki akses ke hal-hal tersebut.1
Dengan kata lain, pandemi tidak menciptakan kesenjangan digital, tetapi bertindak sebagai katalis yang menyoroti kerentanan yang sudah ada. Meskipun e-learning telah berhasil mendemokratisasi akses ke pengetahuan dalam banyak hal, ia juga menciptakan bentuk-bentuk ketidaksetaraan baru yang berbasis teknologi dan sosioekonomi. Permasalahan ini memperkuat temuan studi bahwa pembelajaran daring tidak hanya membutuhkan alat, tetapi juga infrastruktur sosial-ekonomi yang memadai. Wawasan ini menambahkan nuansa penting pada narasi e-learning yang selama ini terlihat seperti sebuah kemenangan tanpa cela.
Kesimpulan: Dari Sejarah ke Masa Depan, Pembelajaran Adalah Kontinuitas Tanpa Henti
Studi yang komprehensif ini dengan meyakinkan mendemonstrasikan bahwa e-learning, jauh dari sebuah inovasi baru, adalah sebuah konsep yang telah berkembang selama hampir dua abad. Evolusinya adalah cerminan langsung dari kemajuan teknologi manusia, mulai dari kursus surat-menyurat Sir Isaac Pitman hingga platform pembelajaran virtual modern yang omnipresent.
Dengan setiap terobosan—dari radio, TV, komputer, World Wide Web, hingga teknologi seluler—e-learning telah matang dari sebuah alat pelengkap menjadi aspek yang integral dan tak ternilai dari pendidikan global. Seiring dengan kematangan ini, ia terus beradaptasi, menghadapi tantangan baru seperti yang disorot oleh pandemi. Tantangan ini, terutama mengenai kesetaraan dan akses, menunjukkan bahwa pekerjaan belum selesai. Jika pelajaran berharga dari periode yang penuh gejolak ini benar-benar dipahami dan ditangani, temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa e-learning memiliki potensi nyata untuk secara signifikan mengurangi biaya pendidikan dan memperluas akses pengetahuan bagi jutaan orang. Hal ini akan membentuk kembali lanskap pembelajaran global secara fundamental dalam beberapa tahun ke depan.
Sumber Artikel:
Niaz, S., Memon, S., & Khokhar, S. (2021). Development of e-learning: A historical review with global perspective. International Research Journal of Arts & Humanities (IRJAH), 49(49).