Pertanian

Menggali Lebih Dalam tentang Hutan Tanaman

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 16 Mei 2024


Hutan tanaman, hutan tanaman industri, hutan tanaman, hutan tanaman industri, hutan tanaman kayu, atau kebun pohon adalah hutan yang ditanam untuk produksi kayu dalam jumlah besar, biasanya dengan menanam satu jenis pohon sebagai hutan monokultur. Istilah hutan tanaman juga digunakan untuk menyebut pembibitan pohon dan perkebunan pohon Natal.

Hutan tanaman dapat menghasilkan kayu dalam jumlah besar dalam waktu singkat. Hutan tanaman ditanam oleh otoritas kehutanan negara (misalnya, Komisi Kehutanan di Inggris) dan/atau industri kertas dan kayu serta pemilik lahan swasta lainnya (seperti Weyerhaeuser, Rayonier, dan Sierra Pacific Industries di Amerika Serikat atau Asia Pulp & Paper di Indonesia). Pohon Natal sering kali ditanam di perkebunan, dan di Asia selatan dan tenggara, perkebunan jati baru-baru ini telah menggantikan hutan alam.

Sebuah perkebunan cemara Douglas di Washington, A. S.

Hutan tanaman industri dikelola secara aktif untuk produksi komersial hasil hutan. Hutan tanaman industri biasanya berskala besar. Setiap blok biasanya berumur genap dan seringkali hanya terdiri dari satu atau dua spesies. Spesies-spesies tersebut dapat berupa spesies eksotik atau spesies asli. Tanaman yang digunakan untuk hutan tanaman industri sering kali telah diubah secara genetik untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan, seperti pertumbuhan dan ketahanan terhadap hama dan penyakit secara umum dan sifat-sifat khusus, misalnya dalam hal jenis kayu, produksi kayu volumetrik dan kelurusan batang. Sumber daya genetik hutan adalah dasar untuk perubahan genetik. Individu-individu terpilih yang ditanam di kebun benih merupakan sumber benih yang baik untuk mengembangkan bahan tanam yang memadai.

Produksi kayu di hutan tanaman umumnya lebih tinggi daripada hutan alam. Sementara hutan yang dikelola untuk produksi kayu umumnya menghasilkan antara 1 dan 3 meter kubik per hektar per tahun, hutan tanaman dengan spesies yang tumbuh cepat umumnya menghasilkan antara 20 dan 30 meter kubik atau lebih per hektar per tahun; hutan tanaman Grand Fir di Skotlandia memiliki tingkat pertumbuhan 34 meter kubik per hektar per tahun, dan hutan tanaman Pinus Monterey di Australia selatan dapat menghasilkan hingga 40 meter kubik per hektar per tahun. Pada tahun 2000, meskipun hutan tanaman menyumbang 5% dari hutan global, diperkirakan hutan tanaman memasok sekitar 35% kayu bulat dunia.

Pangsa hutan tanaman tertinggi berada di Amerika Selatan, di mana jenis hutan ini mewakili 99 persen dari total area hutan yang ditanami dan 2 persen dari total area hutan. Pangsa hutan tanaman terendah berada di Eropa, di mana hutan tanaman mewakili 6 persen dari kawasan hutan yang ditanami dan 0,4 persen dari total kawasan hutan. Secara global, 44 persen dari hutan tanaman sebagian besar terdiri dari spesies yang diintroduksi. Terdapat perbedaan yang besar di antara wilayah-wilayah tersebut: sebagai contoh, hutan tanaman di Amerika Utara dan Tengah sebagian besar terdiri dari spesies asli, sementara di Amerika Selatan hampir seluruhnya terdiri dari spesies introduksi.

Siklus pertumbuhan

  • Pada tahun pertama, tanah biasanya disiapkan dengan kombinasi pembakaran, penyemprotan herbisida, dan/atau penanaman, dan kemudian anakan ditanam oleh tenaga manusia atau mesin. Anakan biasanya diperoleh dalam jumlah besar dari pembibitan industri, yang mungkin mengkhususkan diri dalam pembibitan selektif untuk menghasilkan galur yang cepat tumbuh dan tahan terhadap penyakit dan hama.
  • Pada beberapa tahun pertama hingga kanopi menutup, anakan dipelihara, dan dapat ditaburi atau disemprot dengan pupuk atau pestisida hingga tumbuh dengan baik.
  • Setelah kanopi menutup, dengan tajuk pohon yang saling bersentuhan, perkebunan menjadi lebat dan padat, dan pertumbuhan pohon melambat karena adanya persaingan. Tahap ini disebut sebagai 'tahap tiang'. Ketika persaingan menjadi terlalu ketat (untuk pohon pinus, ketika tajuk hidup kurang dari sepertiga dari total tinggi pohon), inilah saatnya untuk melakukan penjarangan. Ada beberapa metode untuk penjarangan, namun jika topografi memungkinkan, metode yang paling populer adalah 'penjarangan baris', di mana setiap baris pohon ketiga atau keempat atau kelima ditebang, biasanya dengan mesin pemanen. Banyak pohon yang ditebang, menyisakan jalur-jalur yang bersih dan teratur di bagian tersebut sehingga pohon-pohon yang tersisa memiliki ruang untuk tumbuh lagi. Pohon yang telah ditebang ditebang, dibawa ke jalan hutan, dimuat ke dalam truk, dan dikirim ke pabrik. Pohon hutan tanaman tahap tiang umumnya berdiameter 7-30 cm setinggi dada (dbh). Pohon-pohon seperti ini terkadang tidak cocok untuk diambil kayunya, tetapi digunakan sebagai bubur kertas untuk kertas dan papan partikel, dan sebagai serpihan untuk papan serat.
  • Ketika pohon-pohon tersebut tumbuh dan menjadi lebat dan padat kembali, proses penjarangan diulangi. Tergantung pada tingkat pertumbuhan dan spesiesnya, pohon-pohon pada usia ini mungkin cukup besar untuk penggilingan kayu; jika tidak, mereka akan kembali digunakan sebagai pulp dan serpih.
  • Sekitar tahun ke 10-60, hutan tanaman sudah mulai matang dan (secara ekonomi) jatuh dari sisi belakang kurva pertumbuhannya. Dengan kata lain, hutan tanaman ini telah melewati titik pertumbuhan kayu maksimum per hektar per tahun, dan siap untuk panen akhir. Semua pohon yang tersisa ditebang, ditebang, dan dibawa untuk diproses.
  • Tanah dibersihkan, dan siklus dapat dimulai kembali.

Beberapa pohon perkebunan, seperti pinus dan eukaliptus, dapat berisiko mengalami kerusakan akibat kebakaran karena minyak dan resin daunnya sangat mudah terbakar. Sebaliknya, perkebunan yang terserang hama dalam beberapa kasus dapat dibersihkan dari spesies hama dengan biaya yang murah melalui penggunaan pembakaran yang telah ditentukan, yang dapat membunuh semua tanaman yang masih muda namun tidak merusak pohon yang sudah dewasa secara signifikan.

Jenis-jenis

  • Kayu putih

Pada abad ke-20, para ilmuwan di seluruh dunia bereksperimen dengan spesies Eucalyptus. Mereka berharap dapat menanamnya di daerah tropis, tetapi sebagian besar hasil percobaan gagal hingga terobosan pada tahun 1960-1980-an dalam pemilihan spesies, silvikultur, dan program pemuliaan "membuka" potensi kayu putih di daerah tropis. Sebelum itu, seperti yang dicatat oleh Brett Bennett dalam sebuah artikel tahun 2010, eukaliptus merupakan "El Dorado" kehutanan. Saat ini, Eucalyptus adalah jenis pohon yang paling banyak ditanam di perkebunan di seluruh dunia, di Amerika Selatan (terutama di Brasil, Argentina, Paraguay, dan Uruguay), Afrika Selatan, Australia, India, Galicia, Portugal, dan masih banyak lagi.

  • Jati

Jati hutan tanaman adalah pohon kayu keras tropis dari genus Tectona, endemik Asia Tenggara yang secara eksklusif ditanam untuk tujuan pengelolaan kehutanan, baik untuk hutan tanaman komersial maupun restorasi ekologi. Meskipun genus Tectona berasal dari daerah tropis Asia Tenggara, terutama Indonesia, Myanmar, India, Bangladesh, dan Thailand, budidaya jati hutan tanaman juga layak secara ekonomi di daerah tropis lainnya seperti Amerika Tengah.

  • Perkebunan pohon Natal

Seorang petani pohon Natal di negara bagian Florida, Amerika Serikat, menjelaskan proses pemangkasan dan penebangan pohon Natal kepada seorang pegawai pemerintah.

Budidaya pohon Natal adalah pekerjaan pertanian, kehutanan, dan hortikultura yang melibatkan penanaman pohon pinus, cemara, dan cemara khusus untuk digunakan sebagai pohon Natal.

Perkebunan pohon Natal pertama didirikan pada tahun 1901, tetapi sebagian besar konsumen terus mendapatkan pohon mereka dari hutan sampai tahun 1930-an dan 1940-an. Perkebunan pohon Natal dulunya hanya dipandang sebagai alternatif yang layak untuk lahan pertanian berkualitas rendah, tetapi persepsi itu telah berubah dalam industri pertanian. Untuk hasil dan kualitas yang optimal, lahan harus datar atau bergelombang lembut dan relatif bebas dari puing-puing dan semak belukar.

Berbagai macam spesies pinus dan cemara ditanam sebagai pohon Natal, meskipun ada beberapa varietas yang sangat populer. Di Amerika Serikat, cemara Douglas, cemara Skotlandia, dan cemara Fraser semuanya laku keras. Cemara Nordmann dan cemara Norwegia laris manis di Inggris, dan yang terakhir ini populer di seluruh Eropa. Seperti semua tumbuhan runjung, pohon Natal rentan terhadap berbagai hama.

Tahap akhir dari budidaya, pemanenan, dilakukan dengan beberapa cara; salah satu metode yang lebih populer adalah kebun pohon petik sendiri, di mana pelanggan diizinkan untuk berkeliaran di kebun, memilih pohon mereka, dan menebangnya sendiri. Petani lain membudidayakan pohon dalam pot, dengan akar yang digulung, yang dapat ditanam kembali setelah Natal dan digunakan lagi pada tahun berikutnya.

Peran dalam mitigasi perubahan iklim

Hutan menyerap karbon di dalam pepohonan. Hutan menghilangkan karbon dioksida dari udara saat pohon tumbuh dan mengembalikannya ke udara saat pohon mati dan membusuk atau terbakar. Selama hutan mengalami pertumbuhan bersih, hutan mengurangi jumlah karbon dioksida, gas rumah kaca utama, dari udara. Selain itu, jika kayu secara teratur diambil dari hutan dan diubah menjadi produk kayu yang tahan lama, produk tersebut akan terus menyerap karbon, sementara pohon-pohon yang ditanam di hutan tanaman industri akan menyerap lebih banyak karbon dioksida, sehingga berdampak pada pengurangan gas rumah kaca secara terus menerus.

Karena hutan tanaman dikelola untuk meningkatkan pertumbuhan yang cepat, hutan tanaman cenderung menyerap karbon lebih cepat daripada hutan yang tidak dikelola, dengan hanya mempertimbangkan sisi penyerapan dan bukan pelepasan karbon akibat pembusukan, kebakaran, atau panen.

Meskipun hutan tanaman menyerap CO2 dalam jumlah besar, penyerapan jangka panjang dari karbon ini bergantung pada apa yang dilakukan dengan bahan yang dipanen. Hutan akan terus menyerap karbon di atmosfer selama berabad-abad jika dibiarkan tanpa gangguan.

USDA memiliki kalkulator online untuk mengetahui berapa banyak karbon yang diserap di berbagai jenis hutan.

Hilangnya hutan alam

Banyak ahli kehutanan menyatakan bahwa pendirian perkebunan akan mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk mengeksploitasi hutan alam untuk produksi kayu. Pada prinsipnya hal ini benar karena dengan produktivitas yang tinggi dari perkebunan, maka lahan yang dibutuhkan lebih sedikit. Banyak yang menunjuk contoh Selandia Baru, di mana 19% dari kawasan hutannya menyediakan 99% pasokan kayu bulat untuk industri. Diperkirakan bahwa kebutuhan dunia akan serat kayu dapat dipenuhi hanya dengan 5% dari hutan dunia (Sedjo & Botkin 1997). Namun, pada praktiknya, hutan tanaman menggantikan hutan alam, misalnya di Indonesia. Menurut FAO, sekitar 7% dari hutan tertutup alami yang hilang di daerah tropis adalah lahan yang dikonversi menjadi perkebunan. Sisanya, 93% dari kehilangan tersebut merupakan lahan yang dikonversi menjadi lahan pertanian dan penggunaan lainnya. Di seluruh dunia, diperkirakan 15% dari perkebunan di negara-negara tropis didirikan di atas hutan alam dengan kanopi tertutup.

Dalam Protokol Kyoto, ada proposal yang mendorong penggunaan perkebunan untuk mengurangi tingkat karbon dioksida (meskipun ide ini ditentang oleh beberapa kelompok dengan alasan bahwaCO2 yang diserap pada akhirnya akan dilepaskan setelah panen).

Masalah

  • Monokultur

Berbeda dengan hutan yang beregenerasi secara alami, perkebunan biasanya ditanam sebagai monokultur berumur genap, terutama untuk produksi kayu. Hutan tanaman selalu merupakan hutan yang masih muda secara ekologis. Biasanya, pohon-pohon yang ditanam di perkebunan dipanen setelah 10 hingga 60 tahun, jarang sampai 120 tahun. Hal ini berarti bahwa hutan yang dihasilkan oleh perkebunan tidak memiliki jenis pertumbuhan, tanah, atau satwa liar yang khas dari ekosistem hutan alam yang sudah tua. Yang paling mencolok adalah tidak adanya kayu mati yang membusuk, sebuah komponen penting dari ekosistem hutan alam.

Perkebunan biasanya merupakan monokultur yang hampir atau seluruhnya monokultur. Artinya, spesies pohon yang sama ditanam di suatu area tertentu, sedangkan hutan alam memiliki spesies pohon yang jauh lebih beragam.

Pada tahun 1970-an, Brasil mulai membangun perkebunan dengan hasil tinggi, dikelola secara intensif, dan memiliki rotasi pendek. Jenis perkebunan ini kadang-kadang disebut perkebunan kayu cepat atau perkebunan serat dan sering kali dikelola dengan rotasi pendek, hanya 5 hingga 15 tahun. Jenis perkebunan ini semakin meluas di Amerika Selatan, Asia, dan daerah lainnya. Dampak lingkungan dan sosial dari jenis perkebunan ini telah menyebabkannya menjadi kontroversial. Di Indonesia, misalnya, perusahaan bubur kertas multinasional besar telah menebang hutan alam secara besar-besaran tanpa memperhatikan regenerasi. Dari tahun 1980 hingga 2000, sekitar 50% dari 1,4 juta hektar hutan tanaman industri pulp di Indonesia telah dibangun di lahan yang dulunya merupakan lahan hutan alam.

  • Masalah sosial

Penggantian hutan alam dengan hutan tanaman juga menyebabkan masalah sosial. Di beberapa negara, khususnya Indonesia, konversi hutan alam dilakukan dengan sedikit memperhatikan hak-hak masyarakat setempat. Hutan tanaman yang didirikan hanya untuk produksi serat kayu memberikan layanan yang jauh lebih sempit dibandingkan dengan hutan alam asli bagi masyarakat setempat. India telah berusaha untuk membatasi kerusakan ini dengan membatasi jumlah lahan yang dimiliki oleh satu entitas dan, sebagai akibatnya, perkebunan-perkebunan yang lebih kecil dimiliki oleh para petani lokal yang kemudian menjual kayunya kepada perusahaan-perusahaan yang lebih besar. Beberapa organisasi lingkungan hidup yang besar mengkritik perkebunan-perkebunan dengan hasil yang tinggi ini dan menjalankan kampanye anti perkebunan, terutama Rainforest Action Network dan Greenpeace.

  • Spesies yang diperkenalkan

Di Amerika Selatan, Oseania, dan Afrika Timur dan Selatan, hutan tanaman didominasi oleh spesies introduksi: Masing-masing 88%, 75%, dan 65%. Di Amerika Utara, Asia Barat dan Tengah, serta Eropa, proporsi spesies introduksi di hutan tanaman jauh lebih rendah, yaitu masing-masing 1%, 3%, dan 8% dari total area yang ditanami.

Perkebunan dapat mencakup spesies pohon yang secara alami tidak akan muncul di daerah tersebut. Jenis-jenis tersebut dapat mencakup jenis-jenis yang tidak konvensional seperti hibrida, dan pohon-pohon yang dimodifikasi secara genetik mungkin akan digunakan di masa depan. Karena kepentingan utama perkebunan adalah untuk memproduksi kayu atau pulp, jenis pohon yang ditemukan di perkebunan adalah jenis pohon yang paling cocok untuk aplikasi industri. Sebagai contoh, pinus, cemara, dan eukaliptus ditanam secara luas di luar wilayah alaminya karena tingkat pertumbuhannya yang cepat, toleransinya terhadap lahan pertanian yang subur maupun yang terdegradasi, serta potensinya dalam menghasilkan bahan baku dalam jumlah besar untuk keperluan industri.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Menggali Lebih Dalam tentang Hutan Tanaman

Pertanian

Mengenal Kopi Lampung: Ini Wilayah Penghasil dan Merek Topnya

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 16 Mei 2024


Lampung termasuk wilayah penghasil kopi di Indonesia. Sejumlah kopi Lampung yang dihasilkan juga terkenal punya cita rasa yang khas dan nikmat.

Dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kopi Indonesia mencapai 794,8 ribu ton pada tahun 2022. Adapun Lampung merupakan provinsi penghasil kopi terbanyak kedua di Indonesia, dengan produksi kopinya sejumlah 124,5 ribu ton atau 15,6 persen dari total produksi kopi nasional.

Kopi bisa dibilang menjadi komoditas perkebunan unggulan Provinsi Lampung. Selain itu, sebagian besar biji kopi yang diproduksi, diekspor ke sejumlah negara-negara di dunia.

Wilayah penghasil kopi Lampung

Dengan produksi kopinya yang tak sedikit, Lampung punya area perkebunan kopi yang luas. Mengutip laman lampungprov.go.id, kebun kopi Lampung memiliki perkiraan luas 156.458 ha di tahun 2020. Berikut deretan wilayah sentra perkebunan kopi di Lampung:

1. Kabupaten Lampung Barat
Lampung Barat menjadi daerah yang punya perkebunan kopi rakyat terluas di Provinsi Lampung, yakni 54.106 ha atau sekitar 34,5 persen dari total luas perkebunan yang ada di provinsi ini.

Biji kopi yang dihasilkan wilayah Lampung Barat pun berjenis kopi robusta, dengan jumlah sebanyak 57.930 ton pada tahun 2020.

2. Kabupaten Tanggamus
Posisi kedua wilayah perkebunan kopi Lampung adalah Tanggamus. Di kabupaten ini, terdapat 41.510 ha area kebun kopi. Produksi kopi Kabupaten Tanggamus sejumlah 34.129 ton di tahun 2020.

3. Kabupaten Lampung Utara
Kabupaten Lampung Utara menyumbang produksi kopi 9.961 ton di tahun 2020. Adapun luas perkebunan kopi di Lampung Utara sebesar 25.679 ha.

4. Kabupaten Way Kanan
Way Kanan menjadi wilayah terbesar keempat penghasil kopi Lampung dengan total produksi 8.705 ton pada tahun 2020. Di kabupaten ini, area kebun kopi seluas 21.655 ha.

5. Kabupaten Pesisir Barat
Pesisir Barat juga termasuk wilayah sentra perkebunan kopi Lampung dengan kebun kopi yang ada seluas 6.704 ha, dan menghasilkan 3.466 ton kopi di tahun 2020.

Merek populer kopi Lampung

Untuk merek-merek kopi Lampung sendiri ada banyak. Tapi Pemprov Lampung sendiri memilih top 10 brand kopi bubuk robusta asli Lampung pada tahun 2022.

Masih dari laman lampungprov.go.id, kesepuluh merek kopi asli Lampung yang punya rasa dan kualitas yang terbaik, yakni Koptan, Mowning, Tugu Liwa, Naire, Kopi 49, De Lampoeng Coffee, Blikopi, DR. Koffie, Ratu Luwak, dan Lambarco.

Adapun merek Kopi Bubuk Sinar Baru Cap Bola Dunia, merupakan brand kopi Lampung kemasan tertua yang masih bertahan sejak tahun 1917. Kopi ini pula yang menjadi kebanggaan masyarakat lokal.

Selain itu, merek-merek lain seperti Kopi Robusta Semut, Kopi Lanang, Kopi Bubuk Cap Jempol Unggul, hingga EL'S Coffee juga menjadi kopi Lampung yang banyak digemari.

Itulah informasi lengkap mengenai kopi Lampung, semoga menjadi informasi bermanfaat!

Sumber: https://www.detik.com/


 

Selengkapnya
Mengenal Kopi Lampung: Ini Wilayah Penghasil dan Merek Topnya

Pertanian

Bintang Jatuh dan Kisah Tuan Kebun Belanda Sang Raja Teh

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 15 Mei 2024


Ki Topa, 106 tahun, warga Cianjur dekat selatan Bandung, Jawa Barat masih bugar saat menceritakan awal pembukaan Perkebunan Bintang di selatan Jawa Barat (Jabar).

Perkebunan Bintang di pekarangan rumahnya diambil dari nama kejadian 'bintang jatuh' atau meteor yang berhasil ditemukan kembali lokasinya di hutan pinus di sekitar Perkebunan Bintang, oleh CNBC Indonesia dan warga sekitar pada April 2023 lalu.

Ki Topa menceritakan bahwa kejadian 'bintang jatuh' terjadi pada era tuan kebun 'Adiwar' atau diduga sebagai Edward atau Eduard. Namun, Ki Topa hanya tahu nama itu sebagai pembuka lahan teh dan kina saat dugaan saat kejadian waktu meteor jatuh di Jabar selatan, di kampung halamannya.

CNBC Indonesia sulit memastikan siapa yang dimaksud Adiwar atau Edward/Eduard oleh Ki Topa. Namun, berdasarkan pencarian literasi sejarah soal perkebunan teh di selatan Jawa Barat pada masa silam, memang ditemukan keluarga tuan kebun bernama Eduard. Selain itu, pada periode akhir abad ke-19 (1885-1898), Kebun Kina Rancabali juga dibuka yang lokasinya berdekatan dengan situs kawah meteor. 

Di daerah Jawa Barat ada tiga nama keluarga kaya pemilik kebun teh terbesar, antara lain keluarga Holle yang memiliki Perkebunan Teh Waspada di daerah Garut, keluarga Bosscha yang mengembangkan Perkebunan Teh Malabar di daerah Pangalengan, dan keluarga Kerkhoven yang menguasai Perkebunan Teh Sinagar dan Parakan Salak di Sukabumi dan Perkebunan Teh Gambung dan Arjasari di Bandung.

Dua nama terakhir merupakan nama besar di sektor teh daerah Priangan. Bagaimana ceritanya?

Rudolf Eduard Kerkhoven (1848-1918) adalah paman dari Karel Albert Bosscha (1865-1928). Dalam buku biografi astronom Belanda Jacobus C. Kapteyn berjudul Pioneer of Galactic Astronomy (2021) diketahui, Kerkhoven sangat berjasa bagi perkembangan kebun teh Bosscha di Pangalangen.

Sebab, Kerkhoven menjadi orang Belanda pertama yang membuka perkebunan teh di Pangalengan. Dia membuka kebun teh karena keberhasilan ayahnya membuka kebun teh di daerah Banjaran pada 1869 dan Ciwidey pada 1873. 

Keberanian Kerkhoven membuka lahan teh sebagai pendatang baru di Hindia Belanda disebabkan karena dukungan kuat dari seorang tokoh besar bernama S. J. W Van Buuren dan bantuan dana dari firma John Peet dan Co. Ditambah lagi, saat itu pun sudah diberlakukan liberalisasi pertanian lewat UU Agraria 1870 yang membuat pihak swasta bebas membuka lahan baru untuk perkebunan.

Namun, peran Kerkhoven di daerah utara Bandung ini tidak lama. Dia hanya sebatas membuka perizinan lahan teh baru sebelum akhirnya diteruskan oleh sepupunya Bosscha. 

Dia kemudian fokus pada membangun kebun di daerah Jawa Barat Selatan dan sekitar Bandung. Beruntung berkat UU Agraria itu, dia mendapat hak erfpacht yang membuat bisa menambah luas tanah dari tahun ke tahunnya. Jadi, tak heran kalau Kerkhoven punya banyak kebun teh dan mampu mendirikan kerajaan bisnis bernama, Kerkhoven dan  Co.

Setelah meninggal pada 1918 dan dimakamkan di Gambung, Ciwidey, kerajaan bisnis teh itu kemudian diteruskan oleh anak-cucunya. Khusus jabatan komisaris, selalu dipegang turun-temurun oleh keluarga Kerkhoven. Siti Julaeha dalam Perkebunan Teh di Hindia Belanda Studi Kasus Perkebunan Teh Malabar (2010) mencatat, secara bergantian A.R.W Kerkhoven, Johannes Kerkhoven, dan Eduard Julis Kerkhoven.

Mereka inilah yang kemudian mengurus perkebunan dalam situasi sulit, seperti ketidakseimbangan harga dan tingkat produksi teh di pasaran global, serta depresi ekonomi 1930-an. Beban pengelolaan ini berkurang ketika kebun tehnya mulai diambil alih pemerintah kolonial yang kemudian berlanjut dipegang pemerintahan republik.

Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/

Selengkapnya
Bintang Jatuh dan Kisah Tuan Kebun Belanda Sang Raja Teh

Pertanian

Menengok Keasrian dan Produksi Kebuh Teh Tertinggi Kedua di Dunia

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 15 Mei 2024


Hamparan hijau perkebunan teh yang memanjakan mata dengan alunan embusan udara sejuk menjadi pereda rasa pegal setelah menempuh perjalanan jauh.

Perjalanan darat yang melelahkan selama hampir 12 jam dari Kota Jambi terbayar dengan keindahan perkebunan teh yang terletak di kaki Gunung Kerinci.

Perkebunan teh di Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi, menjadi surga sekaligus merupakan anomali, di provinsi Sumatera bagian timur yang terkenal dengan hasil produksi sawit maupun batu bara ini.

Perkebunan yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara VI (Persero) atau PTPN VI sejak 1996 ini terletak di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut dan menjadi yang tertinggi kedua di dunia setelah perkebunan Darjeeling Tea di Himalaya, India.

PTPN VI mendapatkan kepercayaan untuk mengelola kebun unit usaha Kayu Aro yang seluruhnya mempunyai luas hampir mencapai 3.014,6 hektare (HGU), mencakup kebun teh seluas 2.126,48 hektare dan kopi kurang lebih 500 hektare.

Suasana asri ikut menyambut kehadiran Tim Antara ketika berkunjung untuk melihat proses pemotongan daun teh di perkebunan yang telah termasyhur sejak era pemerintahan Hindia Belanda ini.

Dalam kesempatan itu, pemotongan daun teh dilakukan di kebun teh Desa Sungai Arang dalam cuaca pagi hari yang menjadi karakteristik iklim di dataran tinggi, yaitu dingin nan berkabut.

Manager Unit Usaha Kayu Aro PTPN VI Fahran turut menjelaskan bahwa proses pemetikan daun teh saat ini lebih banyak menggunakan mesin pemotong dan sudah jarang memanfaatkan tenaga manusia.

Dengan alasan kendala peminatan kerja, efisiensi, dan kecepatan, pemotongan daun teh dilakukan oleh mesin yang dikelola oleh satu grup berisi lima orang, dengan area pemangkasan seluas 1,1 hektare per hari.

"Sekarang lulusan SMA sudah tidak mau melakukan pemetikan. Mekanisasi itu juga untuk meng-handle kekurangan orang," katanya.

Dalam kondisi berangin dengan suhu mencapai 19 derajat celcius, grup pemangkas tersebut dengan cekatan memotong pucuk daun, dalam barisan tanaman yang mempunyai lebar masing-masing 1-2 meter, secara bolak-balik.

Pengelola kebun tercatat mempunyai 317 tenaga pemangkas yang sebagian besar merupakan penduduk setempat, dengan masing-masing pekebun dalam grup mendapatkan rata-rata jatah pemotongan kurang lebih 0,23 hektare atau 2.300 meter persegi.

Penimbangan berat langsung dilakukan di tempat, setelah pucuk daun teh terkumpul dalam puluhan karung, masing-masing seberat 15-20 kilogram. Penimbangan lanjutan juga dilaksanakan di pabrik mengingat adanya penyusutan berat.

"Ini harus cepat masuk pabrik, kalau menunggu semua, sudah rusak, 2 jam petik harus segera ditimbang, tidak boleh lebih dari 3 jam. Karena itu tidak bisa jarak jauh, maka pabrik ada di sini juga," ujar Fahran.

Untuk menjaga kualitas tanaman, kebun juga mendapatkan perawatan secara berkala agar teh dapat tumbuh dengan baik dan kualitasnya terjaga, salah satunya melalui pemupukan secara rutin.

Asisten Kepala Wilayah I Unit Usaha Kayu Aro Abdul Rahman Darma Putra memastikan pemupukan ataupun perawatan daun teh dilakukan 10 hari sebelum pemetikan melalui metode penyemprotan.

"Kalau pupuk tanah juga sudah ada, sesuai rekomendasi satu tahun tiga kali. Kita juga melakukan penyemprotan untuk mencegah munculnya blister blight, penyakit cacar daun teh," ujarnya.

Seusai kegiatan pemangkasan dan penimbangan, maka daun teh hasil pemotongan langsung dibawa ke pabrik yang terletak tidak jauh dari perkebunan untuk menjalani proses pengolahan.

Pabrik

Tidak diketahui alasan pasti Belanda membuka perkebunan di Kerinci, yang merupakan wilayah terpencil pada masanya, selain karena dataran tinggi merupakan tempat yang baik untuk menghasilkan teh bermutu prima.

Meski demikian, jejaknya bisa ditelusuri dari awal pembukaan kebun teh oleh perusahaan swasta Belanda yang beroperasi di Amsterdam yaitu NV. HVA (Namlodse Venotchaaf Handle Veriniging Amsterdam) pada tahun 1920.

Setelah itu, penanaman teh di Kayu Aro dimulai pada 1923 dan pabrik pengolahan teh, tidak jauh dari area perkebunan, dibuka dua tahun kemudian, pada 1925, yang masih bertahan hingga saat ini.

Pada tahun yang sama, pemerintahan Hindia Belanda juga membuka jalan darat seiring dengan perluasan lahan perkebunan, khususnya akses menuju pelabuhan Teluk Bayur di Padang yang terletak sekitar 300 kilometer arah utara Kayu Aro.

Sisa-sisa kejayaan kolonial dalam membangun jalan di jalur pegunungan itu terlihat dengan kehadiran stoomwals atau mesin penggilas jalan bertenaga uap buatan Jerman tahun 1923 yang saat ini menjadi koleksi pabrik.

Dalam foto kuno tahun 1930 yang terpajang di salah satu ruangan pabrik, terlihat bangunan pabrik pengolahan yang sudah kokoh berdiri dan beroperasi penuh, dengan beberapa mobil Buick milik pembesar Hindia Belanda ikut terparkir.

Keberadaan pabrik seluas 3 hektare yang berusia nyaris seabad ini sangat krusial untuk mengolah hasil teh secara cepat, mengingat penggarapan harus dilakukan sebelum adanya penyusutan daun teh.

Fahran mengatakan pabrik--memiliki bentuk bangunan yang tidak mengalami perubahan berarti sejak era kolonial--telah menghasilkan rata-rata 5.000 ton produksi teh kering per tahun.

Ia memastikan salah satu upaya menjaga kualitas produk adalah dengan memastikan mesin penggiling selalu layak jalan dan tidak mengalami kerusakan, melalui perawatan berkala setiap minggu.

Selain itu, bahan baku atau hasil potongan daun harus dipastikan dalam kondisi yang baik dan tidak terkena penyakit tanaman seperti blister blight atau penyakit cacar daun teh.

Tidak hanya itu, ia juga menegaskan pelatihan operator mesin maupun tester produk jadi terus dilakukan untuk memperkuat keterampilan sumber daya manusia (SDM) di pabrik agar hasil akhir produk tetap bermutu tinggi.

"Kita sekarang juga tinggal melakukan intensifikasi karena pengembangan areal (tanam) sudah tidak lagi. Jadi upaya menjaga bahan baku itu harus dilakukan agar hasilnya juga bagus," kata Fahran.

Dengan pembenahan secara berkelanjutan, tidak mengherankan pabrik ini menghasilkan produksi teh hitam alami berkualitas tinggi dan layak ekspor yang kualitasnya sudah terjaga selama bertahun-tahun.

Pengolahan teh hitam dilakukan menggunakan metode orthodox dengan cara-cara seperti proses pelayuan terlebih dulu, disusul penggulungan, fermentasi, pengeringan, sortasi, hingga akhirnya terbentuk teh jadi.

Tidak hanya itu, pabrik juga menyiapkan pengolahan dengan sistem CTC (crush-tear-curl) yang mempunyai sifat penggulungan keras. Proses produksi ini akan menghasilkan teh yang menyerupai butiran-butiran kecil seperti kristal.

Pada saat yang sama, sejumlah truk terlihat parkir di halaman pabrik bersiap untuk mengirim produk teh olahan ke pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, yang selanjutnya siap kirim ke pasar Eropa.

Potensi agrowisata

Selain perkebunan dan pabrik, PTPN VI juga mewarisi bangunan peninggalan masa kolonial seperti rumah administratur, sekolah maupun klub, termasuk penginapan dan kedai kopi yang dikelola oleh pihak ketiga.

Berbagai wasiat tersebut dapat dioptimalkan untuk menarik kunjungan wisatawan lebih banyak, mengingat kawasan ini mempunyai pemandangan dataran tinggi yang tidak kalah cantik dengan wisata gunung lainnya.

Salah satu potensi wisata yang dapat dikembangkan adalah kegiatan agrowisata dengan kehadiran beragam aktivitas di kawasan perkebunan yang dapat memperluas wawasan bagi para pengunjung.

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno turut mendukung pengembangan destinasi agrowisata karena dapat memberikan dampak positif untuk kebangkitan ekonomi dan terbukanya lapangan kerja bagi warga.

Beberapa manfaat dari pengelolaan wilayah agrowisata adalah adanya peningkatan konservasi lingkungan, kenaikan nilai estetika alam, peningkatan kegiatan ilmiah, kehadiran kawasan rekreasi dan pengembangan ekonomi masyarakat sekitar.

Pembangunan ekosistem agrowisata tersebut dapat dipadukan dengan wisata sejarah mengingat masih banyak peninggalan sisa kejayaan pengelolaan kebun di era kolonial yang bisa mengundang masuknya turis mancanegara.

Saat ini, Kayu Aro yang juga memiliki banyak homestay maupun tempat kuliner lainnya sangat berpotensi menjadi destinasi wisata nasional karena mempunyai sumber daya, keramahan penduduk, atraksi serta keunikan tersendiri.

Selain perkebunan, kegiatan wisata alam yang ada di wilayah ini adalah wisata bukit cinta di Desa Mekar Sari, Bukit Tirai Embun, air terjun Telun Berasap serta aktivitas mendaki Gunung Tujuh atau Gunung Kerinci.

Namun, satu-satunya jalan darat terdekat melalui Padang, Sumatera Barat dengan jarak tempuh sekitar 300 kilometer selama enam jam untuk menuju Kayu Aro, menjadi persoalan tersendiri.

Kesibukan di Bandara Depati Parbo (sekitar 40 kilometer di selatan Kayu Aro) yang masih terhenti karena pandemi, turut menjadi alasan gairah pariwisata di wilayah Kabupaten Kerinci belum tergali secara optimal.

Tentunya, dibutuhkan sinergi para pemangku kepentingan terkait antara pemerintah pusat, daerah, BUMN, BUMD maupun swasta agar wisatawan kembali hadir menikmati suasana di kaki Gunung Kerinci yang indah.

Karena dampak positifnya tidak hanya memengaruhi kenaikan pendapatan asli daerah (PAD), tetapi juga melancarkan denyut nadi perekonomian lokal serta kehidupan masyarakat sekitar di Kayu Aro.

Sumber: https://www.antaranews.com/

Selengkapnya
Menengok Keasrian dan Produksi Kebuh Teh Tertinggi Kedua di Dunia

Pertanian

Wonogiri Jadi Penghasil Kopi sejak 1800-an, Awalnya dari Kebun di Bulukerto

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 15 Mei 2024


Wonogiri menjadi salah satu daerah penghasil kopi di Indonesia yang jika ditelusur sejarahnya sudah berlangsung selama ratusan tahun.

Seperti diketahui, Indonesia memiliki banyak wilayah yang kaya dengan tanaman kopi dan produk kopi yang memiliki cita rasa khas, mulai dari kopi Aceh Gayo, kopi Toraja milik Sulawesi, kopi Kintamani dari daerah Bali, dan lain-lainnya.

Di Pulau Jawa, tanaman kopi tidak semelejit tanaman kopi daerah lain, namun bukan berarti Pulau Jawa tidak memiliki kopi khas. Salah satu kopi di Pulau Jawa yang mulai banyak didengar orang yaitu kopi Wonogiri.

Dilansir Indonesia.go.id, Wonogiri sebagai daerah penghasil kopi di masa lalu ditandai dengan penemuan ratusan pohon kopi jenis Libercia berusia tua di area hutan pinus Dusun Ngroto, Desa Sukoharjo, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri.

Ratusan pohon kopi ini ditemukan pada pertengahan Februari 2019. Keberadaan ratusan tanaman kopi di area hutan ini ternyata adalah peninggalan dari Kadipaten Mangkunegaran. Tetapi ternyata bukan di Tirtomoyo kebun kopi pertama di Wonogiri bermula, melainkan di Bulukerto.

Pada era 1800-an, wilayah Wonogiri khususnya daerah Kecamatan Bulukerto dipilih oleh Kadipaten Mangkunegaran untuk dijadikan sebagai pusat lokasi pembibitan dan pembudidayaan perkebunan kopi.

Laman resmi Pemerintah Kecamatan Girimarto, Wonogiri, kec.girimarto.wonogiri.go.id, menyebutkan wilayah Gondosini di Kecamatan Bulukerto, Wonogiri, menjadi tempat pembibitan kopi pada era kejayaan Kadipaten Mangkunegaran.

Melanjutkan Tradisi Menanam Kopi

Laman resmi Puro Mangkunegaran juga menyebutkan penanaman kopi dimulai pada 1814 dengan bibit kopi yang diperoleh dari kebun kopi di Gondosini. Saat itu, Pangeran Arya Gandakusuma masih menjabat sebagai patih di Kadipaten Mangkunegaran.

Setelah sang pangeran menduduki takhta dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunagoro IV, perkebunan kopi itu diperluas. Perluasan dilakukan ke wilayah Honggobayan, Keduwang, dan Karangpandan, di luar Kota Solo.

Dipilihnya daerah Wonogiri sebagai pusat pembibitan menandakan Wonogiri memiliki kapasitas mumpuni untuk menjadi penghasil kopi lokal yang berkualitas. Pengetahuan itu tak disia-siakan oleh warga Wonogiri yang kemudian melanjutkan tradisi menanam kopi.

Saat ini, komunitas setempat telah berupaya mengajak para petani kopi untuk mulai mencari pengetahuan tentang tanaman kopi. Hal itu supaya kualitas hasil panen kopi para petani dapat meningkat dan mendapat harga jual yang layak di pasaran.

Desa Conto, Kecamatan Bulukerto, misalnya menjadi daerah yang memiliki ribuan tanaman kopi subur. Hal ini dilatarbelakangi kontur tanah Bulukerto yang terdiri dari perbukitan dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut.

Kopi Robusta

Di samping itu tanah Desa Conto menyimpan banyak pasokan air yang menjadikannya daerah ideal untuk tanaman kopi varietas Arabica. Dilansir jatengprov.go.id, kopi daerah Wonogiri telah menduduki posisi tiga besar di Provinsi Jawa Tengah dalam Penilaian Inovasi Penghargaan Pembangunan Daerah (PPD) Tahun 2023.

Kabupaten Wonogiri sebagai daerah penghasil kopi memiliki berbagai varietas, salah satunya kopi robusta. Laman dgip.go.id menyebut robusta Wonogiri ditanam di beberapa kecamatan.

Jenis ini dapat tumbuh pada ketinggian antara 400-900 meter di atas permukaan laut. Tanaman kopi ini berada di kebun atau lahan perkarangan milik warga dan hutan milik Perhutani.

Daerah persebaran kopi robusta Wonogiri ini antara lain di Girimarto, Jatipurno, Slogohimo, Bulukerto, Puhpelem, Krismantoro, Jatiroto, Karangtengah, dan Tirtomoyo. Beberapa tahun belakangan, berkat usaha keras para petani dan komunitas pencinta kopi, kopi Wonogiri terus berkembang.

Kopi tidak hanya dijual mentah ke pabrik, tapi juga diolah sendiri oleh para pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) dengan kemasan yang menarik. Saat Lebaran 2023 lalu, kopi menjadi salah satu oleh-oleh yang banyak diburu pemudik atau pengunjung di Wonogiri. Coffee shop atau kafe di kawasan Wonogiri pun banyak yang menggunakan kopi lokal untuk menu sajian mereka.

Sumber: https://soloraya.solopos.com/

Selengkapnya
Wonogiri Jadi Penghasil Kopi sejak 1800-an, Awalnya dari Kebun di Bulukerto

Pertanian

Punya Potensi Besar: Penelitian Sawit Pantas Dilirik

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 15 Mei 2024


Indonesia memiliki lahan perkebunan kelapa sawit seluas 16,8 juta ha (berdasarkan audit tahun 2022), dengan hasil sawit yang bisa digunakan baik untuk pangan, kesehatan, kecantikan, hingga bahan bakar. Luasnya area perkebunan dan banyaknya turunan pada kelapa sawit membuat komoditas perkebunan strategis nasional ini pantas dilirik, terutama dari sisi penelitian dan pengembangan.

Penelitian dan pengembangan/riset sawit dibutuhkan untuk mengembangkan industri kelapa sawit nasional yang berkelanjutan maupun sebagai bahan pengambil kebijakan dan melawan kampanye hitam terhadap sawit. Diketahui, masih banyak isu negatif bertebaran terkait sawit dan melawan kampanye hitam terhadap sawit. Diketahui, masih banyak isu negatif bertebaran terkait sawit dan salah satu yang bisa menangkal isu tersebut adalah dengan pembuktian dari hasil riset dan penelitian. Karena sesungguhnya, masih banyak kebaikan- kebaikan sawit yang belum diketahui banyak orang dan itu bisa dimunculkan dengan adanya penelitian dan pengembangan.

Melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang berdiri sejak 2015, penelitian dan pengembangan sawit pun mendapat dukungan. Menurut Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman Program Penelitian dan Pengembangan Sawit merupakan salah satu upaya BPDPKS untuk melakukan penguatan, pengembangan dan peningkatan pemberdayaan perkebunan dan industri sawit yang saling bersinergi di sektor hulu dan hilir.

"Kami mulai dari mahasiswa Indonesia agar minat meneliti kelapa sawit ditumbuhkembangkan sejak dini demi terwujudnya industri sawit nasional yang tangguh dan berkelanjutan," kata Eddy saat membuka Pekan Riset Sawit Indonesia 2023 (PERISAI 2023) yang berlangsung di Surabaya 25-26 Oktober 2023.

Untuk menarik minat mahasiswa atau generasi milenial agar mau meriset dan meneliti sawit, BPDPKS rutin menggelar Lomba Riset Sawit Tingkat Mahasiswa (LRSTM). Sementara untuk tahan (LRSTM). Sementara untuk tahap selanjutnya dengan dukungan dana penelitian yang lebih fantastis, tersedia Grant Riset Sawit (GRS) yang terdiri dari jalur seleksi dan jalur inisiatif.

"Program GRS telah dilaksanakan sejak tahun 2015 dimana BPDPKS telah mendanai sebanyak 329 kontrak perjanjian kerjasama dengan 88 lembaga litbang dengan keterlibatan 1.202 peneliti yang tersebar di 19 provinsi," kata Eddy.

Program GRS, lanjut Eddy, merupakan program untuk penelitian dan pengembangan Kelapa Sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek peningkatan produktivitas/efisiensi, peningkatan aspek sustainability, mendorong penciptaan produk/pasar baru dan peningkatan kesejahteraan petani.

Melanjuti program GRS, BPDPKS bekerja sama dengan Asosiasi Inventor Indonesia (AII) melaksanakan Valuasi Kesiapan Teknologi untuk Komersialisasi terhadap invensi hasil riset. Terdapat 30 invensi hasil riset GRS yang siap komersialisasi dan beberapa sudah mendapatkan pernyataan minat dari investor dengan komitmen dalam bentuk Letter of Intent (LoI) dan/atau perjanjian kerahasiaan teknologi berupa non-disclosure agreement (NDA). Komersialisasi itu pun diselenggarakan melalui kegiatan PERISAI.

"Diharapkan dari kegiatan PERISAI menciptakan kolaborasi antara pemerintah, industri, lembaga penelitian/perguruan tinggi dan seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan industri kelapa sawit Indonesia yang ramah lingkungan dan berkelanjutan demi tercapainya Sustainable Development Goals (SDG's)," kata Eddy.

Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia Prof (R). Ir. H. Didiek Hadjar Goenadi, M.Sc., Ph.D., APU., INV mengatakan, penelitian kelapa sawit tergolong yang paling maju. Hal ini dikarenakan sejak 1911 Belanda telah mendirikan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan, Sumatera Utara.

Namun, jika dulu lebih banyak peneliti di PPKS yang tertarik meneliti sawit, ketika BPDPKS berdiri tahun 2015 salah satu mandatnya adalah melakukan kegiatan riset untuk bisa mendorong terciptanya penguatan daya saing dari industri sawit nasional. "Nawaitu-nya itu untuk membuka peluang periset Indonesia tertarik untuk meneliti tentang kelapa sawit."

Maka, kata Didiek, disosialisasikanlah ke perguruan tinggi-perguruan tinggi untuk melihat sawit sebagai bahan penelitian dan dapat mengembangkan industri yang tangguh. "Yang dimaksud industri tidak hanya pengelolaan, tapi juga termasuk Termasuk perkebunan dan petaninya."

Dengan adanya GRS, ketertarikan untuk meriset sawit naik signifikan. "Memang masih belum sampai ke empat digit, masih tiga digit. Tetapi dari tahun ke tahun minat mereka cukup menggembirakan," kata Didiek.

Koordinator Komite Penelitian dan Pengembangan BPDPKS ini menuturkan, apa yang ditawarkan oleh komoditas kelapa sawit sangat luar biasa luasnya. Mulai dari pemanfaatan minyak yang terdiri dari minyak sawit dan minyak inti sawit. "Biomassa misalnya, tidak hanya dalam bentuk aspek bioenergy bahan bakar biomassa, tapi juga bisa diproses untuk menghasilkan berbagai macam produk turunan termasuk misalnya dimanfaatkan sebagai bahan pengganti kapas. Bikin baju itu nanti bisa dari limbah kelapa sawit, dari tandan kosong kelapa sawit."

Tandan kosong kelapa sawit juga dapat saat mengajukan proposal, peneliti juga memikirkan hasil penelitian bermanfaat bagi industri. "Di dalam pendanaan riset kelapa sawit itu agak unik. Pertama komoditinya satu tidak berdasarkan keilmuan dan berdasarkan komoditi. Kemudian kedua yang dituntut itu selain scientific merit juga scientific approach itu adalah azas manfaat," ucap Didiek.

Hal itu dikarenakan dana riset diperoleh dari himpunan dana yang dikumpulkan dari para pelaku industri kelapa sawit nasional termasuk petani, sehingga riset yang dihasilkan itu harus mengacu pada manfaat para pelaku industri sawit. "Tujuan utamanya adalah memanfaatkan dana perkebunan kelapa sawit itu untuk kemajuan industri sawit nasional."

Sementara PERISAI, merupakan platform program riset untuk menampilkan hasil-hasil riset yang tampak prospektif. "Risetnya belum selesai tetapi menunjukkan arah bahwa ini berpotensi secara komersial khususnya kepada yang mengarah teknologi. Itu coba kita tampilkan."

BPDPKS, kata Didiek, mengundang para industri untuk mencermati dan mempersiapkan kalau mereka tertarik dengan teknologi tertentu, mereka sudah punya ancang-ancang. Para periset yang tampil tidak mengajukan proposal, tetapi berdasarkan monitoring dan evaluasi dari Komite Litbang.

BPDPKS juga melakukan Kerjasama dengan AII yang bertugas mengevaluasi hasil riset-riset yang sudah dilakukan oleh para periset di BPDPKS untuk bisa digandengkan dengan industri. "Kami mengevaluasi teknologi-teknologi kemudian kita carikan industri mana yang cocok. Akhirnya nanti mereka akan mengarah kepada lisensi teknologinya."

Sementara itu, sebagai seorang peneliti, Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, M.Si menilai sawit bisa dijadikan apa saja. Meneliti sawit sejak 1998, Erliza memulainya dengan membuat sabun dari sawit. Setelah itu penelitiannya berkembang ke surfaktan hingga membuat Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi di Institut Pertanian Bogor.

Sebelum ada BPDPKS, dia kerap mendapatkan pendanaan dari Kemenristek, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kemendikbud, dan bahkan Pertamina. Dia pun bersyukur, ketika BPDPKS berdiri, hasil pengembangan penelitiannya terkait surfaktan pun diberikan pendanaan.

"BPDPKS itu senangnya memberi dana kalau ada mitra industri, patnernya. Saya sudah terbiasa, riset selalu menggandeng mitra industri, karena kan selalu mencari siapa sih pengguna riset ini nantinya, jadi pendanaan mudah dan enggak susah," kata dia.

Menurut dia, semakin banyak dana periset yang didapatkan untuk pengembangan sawit, semakin bagus. "Dari riset itu 5-10 persen saja yang berhasil dikomersialkan lebih bagus. Riset itu perjalanannya panjang, tidak bisa instan."

"Bayangkan kita ingin menggantikan semua produk-produk turunan yang basisnya minyak bumi kemudian diganti sawit. Jadi tidak usah khawatir kalau produksi over, kitanya yang harus giat riset," tambah dia.

Sebagian besar mahasiswa Indonesia, kata perempuan yang memiliki julukan Ratu Peneliti Hilir Sawit ini, memilih limbah sawit sebagai penelitiannya. "Limbah memang perlu dipikirkan, tapi yang perlu utama dipikirkan, minyaknya ini diproses menjadi apa saja. Sebenarnya bagus sih, tetapi terkadang anak-anak lupa yang utamanya."

Dia pun berharap, para perguruan tinggi memasukkan tambahan kurikulum terkait turunan sawit yaitu oleokimia terutama perguruan tinggi yang berada di daerah penghasil sawit. 

"Banyak universitas mau negeri mau swasta atau sekolah vokasi, itu harus ditambah mata kuliahnya tentang oleokimia," kata dia.

Dalam kegiatan PERISAI di Surabaya, dia pun berkesempatan memaparkan hasil penelitian terkait oleokimia kepada industri. "Adanya kegiatan PERISAI, membantu peneliti untuk sisi komersialisasi."

Sumber: https://koran.tempo.co/

Selengkapnya
Punya Potensi Besar: Penelitian Sawit Pantas Dilirik
« First Previous page 8 of 27 Next Last »