Pertanian
Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 23 April 2024
Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tumbuhan yang termasuk dalam famili Elaeis dan famili Arecaceae. Tanaman ini digunakan di pertanian komersial untuk menghasilkan minyak sawit. Keluarga ini mencakup dua anggota. Kelapa sawit Elaeis guineensis merupakan spesies kelapa sawit yang paling banyak dibudidayakan di dunia, khususnya di Indonesia, dan merupakan sumber minyak kelapa sawit terpenting di dunia. Kelapa sawit Elaeis oleifera berasal dari daerah tropis Amerika Selatan dan Tengah dan digunakan secara lokal untuk produksi minyak.
Kelapa sawit merupakan tanaman industri yang digunakan sebagai bahan baku produksi minyak nabati, minyak industri dan bahan bakar. Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. Di Indonesia mencapai wilayah Aceh, pantai timur Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Terdapat beberapa spesies tanaman kelapa sawit yaitu E. guineensis Jacq., E. oleifera dan E. odora. Kultivar atau jenis kelapa sawit diklasifikasikan berdasarkan dua cirinya, yaitu ketebalan endokarp dan warna buah.
Menurut ketebalan endokarpnya, tanaman kelapa sawit dibedakan menjadi tiga varietas yaitu Dura, Pisifera dan Tenera, sedangkan menurut warna buahnya dibedakan menjadi tiga: Nigrescens, Virescens dan Albescens. Secara umum tanaman kelapa sawit terdiri dari beberapa bagian yaitu akar, batang, daun, bunga dan buah. Bagian minyak sawit yang disuling menjadi minyak adalah buahnya.
Ciri ciri:
Tanaman dewasa dari Arecaceae bertangkai tunggal dan dapat tumbuh setinggi lebih dari 20 meter. Daunnya menyirip dan panjang 3–5 m (10–16 kaki). Bunga diproduksi dalam bentuk padat; setiap bunga berukuran kecil, dengan tiga sepal dan tiga kelopak. Buahnya berwarna kemerahan, seukuran buah plum besar, dan tumbuh dalam tandan besar. Setiap buah terdiri dari lapisan luar yang kaya minyak (pericarp) dengan satu biji (inti sawit) yang juga kaya akan minyak.
Kelapa sawit bentuknya seperti pohon. Tingginya bisa mencapai 24 meter. Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan ke samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar pernapasan yang tumbuh ke atas agar aerasi lebih banyak. Seperti spesies palem lainnya, daunnya berbulu. Daunnya berwarna hijau tua dan garis tengahnya sedikit lebih terang. Penampilannya agak mirip dengan tanaman asin, hanya saja durinya tidak begitu keras dan tajam. Batang tanaman ditutupi duri tengah hingga berumur 12 tahun. Setelah berumur 12 tahun, daun yang kering rontok dan terlihat seperti kelapa.
Bunga jantan dan betina terpisah, tetapi pada pohon yang sama (monoecious diclin) dan waktu masaknya berbeda, sehingga penyerbukan sendiri sangat jarang terjadi. Bunga jantan berbentuk runcing dan panjang, sedangkan bunga betina lebih besar dan berbunga-bunga. Tanaman kelapa sawit cangkang pisifera bersifat betina mandul sehingga jarang menghasilkan buah tandan dan digunakan sebagai induk jantan untuk produksi benih yang lebih baik.
Warna buah palem bervariasi, ada yang hitam, ungu, hingga merah, tergantung biji yang digunakan. Buah-buahan dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok yang muncul dari masing-masing media. Buahnya menghasilkan minyak. Kandungan minyak meningkat seiring dengan matangnya buah. Setelah matang, konsentrasi asam lemak bebas (FFA) meningkat dan buah turun dengan sendirinya.
Buah terdiri dari tiga lapisan:
Inti sawit (kernel, yang sebetulnya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi. Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula). Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS).
Budi daya
Karena minyak kelapa sawit mengandung lebih banyak lemak jenuh daripada minyak yang terbuat dari kanola, jagung, biji rami, kacang kedelai, safflower, dan bunga matahari, minyak kelapa sawit dapat tahan terhadap panas yang ekstrem dan tahan terhadap oksidasi. Ini tidak mengandung lemak trans, dan penggunaannya dalam makanan telah meningkat sebagai hukum pelabelan makanan dan telah mengubah dalam penentuan kandungan lemak trans. Minyak dari Elaeis guineensis juga digunakan sebagai biofuel.
Penggunaan minyak kelapa sawit telah dilakukan sekitar 5.000 tahun yang lalu di pesisir barat Afrika. Minyak kelapa sawit juga ditemukan pada akhir abad ke-19 oleh para arkeolog di sebuah makam di Abydos yang berasal dari 3000 SM. Diperkirakan pedagang Arab membawa kelapa sawit ke Mesir. Elaeis guineensis sekarang banyak dibudidayakan di negara-negara tropis di luar Afrika, khususnya Malaysia dan Indonesia yang bersama-sama menghasilkan minyak kelapa sawit dan menjadi pemasok besar dunia.
Kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua spesies: E. guineensis dan E. oleifera. Spesies pertama yang terluas dibudidayakan orang. Dari kedua spesies kelapa sawit ini memiliki keunggulan masing-masing. E. guineensis memiliki produksi yang sangat tinggi dan E. oleifera memiliki tinggi tanaman yang rendah. Banyak orang sedang menyilangkan kedua spesies ini untuk mendapatkan spesies yang tinggi produksi dan mudah dipanen. E. oleifera sekarang mulai dibudidayakan pula untuk menambah keanekaragaman sumber daya genetik.
Penangkar sering kali melihat spesies kelapa sawit berdasarkan ketebalan cangkang, yang terdiri dari:
Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya, tandan buahnya berukuran besar dan kandungan minyak per tandannya berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang, sehingga tidak memiliki inti (kernel) yang menghasilkan minyak ekonomis dan bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan jantan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul memiliki persentase daging per buahnya mencapai 90% dan kandungan minyak per tandannya dapat mencapai 28%.
Kelapa sawit biasa ditemukan di daerah semak belukar dengan berbagai jenis tipe tanah seperti podzolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial atau regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai. Jenis tanah tersebut memengaruhi tingkat produksi kelapa sawit, di mana produktivitas kelapa sawit yang ditumbuhkan di tanah podzolik lebih tinggi dibandingkan ditumbuhkan di tanah berpasir dan gambut. Kelapa sawit kurang optimal jika ditumbuhkan di Pulau Jawa karena jenis tanahnya yang kurang sesuai dengan jenis tanah yang mendukung pertumbuhan kelapa sawit.
Temperatur optimal untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 24-28 °C dengan ketinggian 1-500 mdpl dan tingkat kelembapan 80-90%. Kecepatan angin yang optimal adalah 5–6 km/jam, di mana kecepatan angin akan membantu proses penyerbukan bunga kelapa sawit. Kelapa sawit membutuhkan curah hujan yang sangat tinggi yaitu sekitar 1500–4000 mm per tahun. Tingkat curah hujan memengaruhi jumlah pelepah yang dihasilkan oleh kelapa sawit. Pola curah hujan tahunan memengaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit. Kebutuhan penyinaran kelapa sawit berada pada rentang normal yaitu 5-7 jam/hari, sehingga dalam perkebunan kelapa sawit jarak tanam dibuat dengan ukuran 9x9 meter agar setiap tumbuhan mendapatkan cukup cahaya.
Inovasi Dalam Produksi
Biji kelapa sawit tidak berkecambah secara cepat karena adanya sifat dormansi. Batang kelapa sawit memiliki kecepatan tumbuh sekitar 35–75 cm per tahunnya. Untuk meningkatkan kecepatan produksi, maka dilakukan beberapa inovasi. Metode pertama yang dilakukan adalah pengecambahan biji kelapa sawit. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan dormansi benih dan meningkatkan persentasi daya kecambah. Metode kedua adalah pemupukan. Pupuk yang dapat ditambahkan dapat berupa pupuk organik maupun anorganik. Pupuk organik dimanfaatkan dalam memperbaiki struktur tanah dan memberikan pasokan zat hara bagi tanaman. Pupuk anorganik yang biasa ditambahkan adalah pupuk NPK. Efektivitas pemupukan akan tinggi jika pupuk diberikan dalam dosis yang rendah secara kontinu.
Metode ketiga adalah pengendalian gulma. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara manual, kimiawi, dan biologis. Secara manual dapat dilakukan melalui penyiangan piringan kelapa sawit dengan memotong rerumputan. Pengendalian gulma secara kimiawi dilakukan dengan pemberian herbisida dengan memperhatikan beberapa faktor yaitu mekanisme kerja herbisida, cara pemberian dan sifat gulma. Herbisida memiliki berbagai macam mekanisme kerja seperti mempengaruhi respirasi dan fotosintesis gulma, serta menghambat perkecambahan gulma, menghambat sintesis asam amino dan metabolisme lipid. Metode keempat adalah pengendalian hama. Hama yang umum menyerang kelapa sawit antara lain ulat api, ulat kantong, tikus, rayap, kumbang bahkan babi hutan. Pengendalian hama dapat dilakukan dengan pemberian insektisida atau menggunakan predator alaminya.
Pengembangan
Metabolomik merupakan strategi penting dalam meningkatkan kualitas minyak kelapa sawit. Melalui analisis metabolit dengan UHPLC-MS, kita dapat memahami komposisi minyak dan menentukan varian kualitas terbaik. Salah satu tantangan serius dalam budidaya kelapa sawit adalah penyakit BSR yang disebabkan oleh Ganoderma boninense. Penyakit ini merusak pertumbuhan dan hasil panen, sehingga diperlukan strategi pengendalian yang efektif. Salah satunya adalah dengan pendekatan metabolomik untuk mengidentifikasi biomarker resistensi terhadap G. boninense.
Pendekatan ini telah berhasil mengidentifikasi tujuh metabolit yang berkontribusi terhadap kerentanan kelapa sawit terhadap G. boninense. Hasil ini membantu kita memahami mekanisme pertahanan kelapa sawit dan dapat digunakan dalam pemilihan bibit unggul dan tahan BSR.
Selain itu, peningkatan kualitas dan keberlanjutan kelapa sawit juga dapat dicapai melalui pendekatan proteomik dan metabolomik, atau PROMET. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi sifat-sifat yang penting secara ekonomi dalam budidaya tanaman, seperti kandungan asam lemak yang tinggi dan hasil kelapa sawit yang tinggi. Dengan demikian, melalui penelitian dan inovasi ini, kita dapat meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan kelapa sawit dalam jangka panjang.
Sumber: id.wikipedia.org
Pertanian
Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 23 April 2024
Perkebunan Inti Rakyat (PIR) merupakan model pengembangan perkebunan rakyat pada lahan terbuka baru yang inti merupakan perkebunan besar yang membangun dan menguasai perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma dalam kerjasama yang saling menguntungkan, holistik dan berkelanjutan. Tanaman inti manusia adalah salah satu bentuk pertanian kontrak. Perkebunan inti sering dikaitkan dengan program imigrasi, seperti di Indonesia dan Papua Nugini, di mana tanaman seperti kelapa sawit, karet, teh, dll. Pembangunan pembibitan dan fasilitas umum seperti jalan, sekolah, tempat ibadah, klinik. dan lainnya terlibat dalam proyek pembangkit listrik tenaga nuklir manusia.
Salah satu tujuan model pertanian skala kecil adalah untuk memobilisasi keunggulan atau keahlian teknis dan manajerial dari pertanian besar untuk membantu mengembangkan pertanian plasma bagi pemukim yang tidak memiliki tanah di lahan yang cocok untuk ditanami.
Konsep
Peternakan besar seperti inti dan petani kecil seperti plasma mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Tanggung Jawab Inti Perusahaan:
Kewajiban petani plasma:
Sejarah pelaksanaan pola PIR di Indonesia
Pengembangan perkebunan tipe PIR di Indonesia diawali dengan beberapa proses persiapan, yang dimulai dengan penguatan perusahaan perkebunan nasional bantuan dengan Bank Dunia hingga menjadi perusahaan inti yang potensial. Pengembangan model PIR dimulai dengan rangkaian proyek Assisted PIR yang kemudian menjadi SPN dengan bantuan Bank Dunia, disusul oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Jerman. Pada awal pengembangan model PIR diterapkan oleh 7 PTP yang kini menjadi PT Perkebunan Nusantara (lihat Daftar Badan Usaha Milik Negara Indonesia), proses validasi model PTP dilaksanakan dalam tiga tahap.
Sumber: id.wikipedia.org
Pertanian
Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 23 April 2024
Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian mencatat perkebunan sawit rakyat berkontribusi besar terhadap industri kelapa sawit nasional, yang telah berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja dan kinerja ekspor. Kemenko Perekonomian mencatat kontribusi sawit nasional yaitu di antaranya mengentaskan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk lebih dari 16 juta tenaga kerja. Selain itu, industri komoditas tersebut memiliki kontribusi terbesar terhadap ekspor non migas dengan menyumbang 15,6 persen dari total ekspor non migas 2020.
Hal itu dinilai menjadi faktor utama untuk kelapa sawit menjadi tulang punggung perekonomian nasional dan primadona komoditas sektor industri ekspor. Terkait pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), peran minyak sawit dalam mencapai target yang telah disepakati secara global, antara lain sebagai sumber energi bersih dan terbarukan yang mendukung ketahanan energi nasional; penyediaan bahan makanan; penciptaan lapangan kerja; pengentasan kemiskinan; serta pengurangan ketimpangan sosial dan ekonomi.
Hasil rekonsiliasi luas tutupan kelapa sawit nasional yang dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian tahun 2019 telah mengidentifikasi seluas 16,38 juta ha, dengan distribusi luas perkebunan rakyat (baik swadaya maupun kemitraan) sebesar 6,72 juta ha (41 persen); perkebunan besar negara sebesar 0,98 juta ha (6 persen); dan perkebunan besar swasta sebesar 8,68 juta ha (53 persen).
Para ahli juga telah memproyeksikan sampai dengan tahun 2030 distribusi luas tutupan kelapa sawit akan didominasi oleh perkebunan rakyat mencapai 60 persen; perkebunan besar swasta sebesar 36 persen; dan perkebunan besar negara sebesar 4 persen. Data-data di atas menunjukan bahwa peranan perkebunan rakyat memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Sebagai negara produsen terbesar yang menguasai sekitar 55 persen pangsa pasar minyak sawit dunia, serta memanfaatkan tidak lebih dari 10 persen dari total global land bank for vegetable oil, Indonesia mampu menghasilkan 40 persen dari total minyak nabati dunia. “Keunggulan kelapa sawit dibanding komoditi pesaing minyak nabati lainnya adalah mempunyai produktivitas yang lebih tinggi, sehingga luas lahan yang digunakan untuk memproduksi minyak sawit lebih sedikit,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam sambutannya pada webinar “Perkuat Kemitraan Petani Sawit dengan Pola Terkini untuk Masa Depan Sawit Indonesia Berkelanjutan” seperti dikutip dari siaran resmi, Selasa (5/10/2021).
Untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit hanya membutuhkan lahan 0,3 ha, sementara rapeseed oil butuh lahan seluas 1,3 ha, sunflower oil seluas 1,5 ha dan soybean oil seluas 2,2 ha. “Industri ini sangat strategis. Kami berharap semua komponen masyarakat termasuk juga Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR - Indonesia terus mengembangkan dan menjaga sustainability industri ini,” tutur Airlangga. Pemerintah juga tetap berkomitmen untuk melakukan peremajaan (replanting) sebanyak 540.000 ribu hektar kebun kelapa sawit milik petani sampai dengan tahun 2024. Tantangan yang dihadapi minyak sawit Indonesia dalam kompetisi perdagangan minyak nabati dunia saat ini semakin kompleks. Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO) diharapkan dapat menjadi hal yang bisa diterima secara global.
Di samping itu, pengembangan pola-pola kemitraan perlu dilakukan guna menjawab tantangan dan tentunya untuk memperkuat supply chain, serta agar petani kebun juga mendapatkan fasilitas terutama untuk meningkatkan produktivitas sekaligus bisa mendapatkan pembiayaan. Peranan asosiasi petani kelapa sawit dan asosiasi pengusaha kelapa sawit diharapkan dapat duduk bersama dengan Pemerintah untuk mencari titik temu dalam menjawab tantangan pola kemitraan perkebunan kelapa sawit sehingga tercipta iklim usaha yang sehat di masa yang akan datang.
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat, atau ASPEKPIR-Indonesia , juga dapat berkontribusi dengan membangun awareness dan persepsi positif industri kelapa sawit dengan menyampaikan informasi yang akurat dan benar terkait pembangunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia kepada khalayak umum. “Saya yakin, ASPEKPIR-Indonesia mampu berperan secara nyata bersama pemerintah serta stakeholder untuk membangun industri ini agar kuat, berkelanjutan, dan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia,” tutup Airlangga.
Sumber: ekonomi.bisnis.com
Pertanian
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 22 April 2024
Secara geografis, mutu produk pertanian dipengaruhi oleh penanganan yang dilakukan terhadap produk pertanian pasca panen. Proses penanganan yang tidak tepat akan menyebabkan penurunan kualitas hasil pertanian. Menurunnya mutu produk pertanian disebabkan oleh mikroorganisme, kadar air, suhu, enzim, dan faktor lainnya. Pertumbuhan mikroba sendiri dipengaruhi oleh faktor intrinsik, seperti pH, kandungan nutrisi, dan struktur biologis; dan faktor ekstrinsik, termasuk kelembaban dan suhu. Untuk mencegah atau meminimalkan faktor-faktor tersebut maka perlu dilakukan pengawetan makanan.
Beberapa metode yang digunakan untuk memperpanjang umur simpan produk pertanian atau makanan adalah metode iradiasi fotonik. Metode iradiasi menggunakan energi radiasi pengion seperti radiasi gamma mengubah atom netral menjadi ion bermuatan positif dan elektron yang bersifat radikal yang akan membunuh mikroba kontaminan sehingga memperpanjang kesegaran produk pertanian. Namun, iradiasi cahaya pengion menghilangkan beberapa nutrisi dari makanan. Cahaya non-ionisasi juga dapat digunakan untuk mengurangi bakteri kontaminan.
Selain itu metode kimia untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen pada buah dan sayur diberi paparan klorin. Penggunaan klorin hanya menghilangkan mikroorganisme yang ada di permukaan benda. Selain itu, klorin dikhawatirkan akan bereaksi dengan pestisida dan membentuk senyawa baru yang bersifat racun bagi manusia. Alternatif metode pengawetan yang lain adalah dengan paparan ozon. Teknologi ozonisasi ialah salah satu teknologi yang dapat memperpanjang umur simpan buah, menjaga kesegaran produk, tidak mempengaruhi nilai gizi dan mampu melarutkan beberapa jenis pestisida dan ozon sendiri adalah antimikroba yang tidak meninggalkan residu. Ozon (O3) merupakan gas tidak stabil dan mudah terdekomposisi menjadi oksigen. Pemanfaatan teknologi ozonisasi sangat menguntungkan dan potensial untuk dikembangkan karena murah (low cost), mudah dalam pengoperasiannya (easy process), aman (safety) dan ramah lingkungan (eco friendly).
Dua jenis proses pembentukan ozon adalah proses tumbukan dan proses penyerapan partikel cahaya. Dalam proses penyerapannya, ozon terbentuk dari sinar ultraviolet (UV) sinar matahari. Proses tumbukan digunakan dalam pembentukan ozon dengan metode pelepasan plasma kerdil dielektrik. Ozon adalah oksidan radikal hidroksida yang dapat digunakan untuk mendegradasi oksida logam berat dan senyawa organik. Oleh karena itu dapat membunuh mikroorganisme sehingga memperpanjang umur simpan bahan pangan. Berdasarkan penelitian sebelumnya ozon mampu mengurangi kontaminan mikroba dan menjaga kesegaran produk nabati.
Hasil penelitian pemanfaatan ozon melalui metode air menghasilkan masa simpan wortel yang lebih lama berdasarkan hasil uji organoleptik, susut massa, kekerasan, pH dan kadar vitamin C. Fungsi ozon sebagai pengoksida dan disinfektan mampu mengurangi pertumbuhan mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan pada buah dan sayur, dan sebagai bahan pengoksidasi pada proses oksidasi produk hasil pertanian, sehingga dapat mempertahan kualitas fisik dan memperpanjang umur simpannya. Selain itu, penggunaan ozon untuk penanganan produk hasil pertanian sangat efektif dan aman. Dengan demikian, teknologi ozon dapat direkomendasikan sebagai teknologi yang sesuai untuk penanganan produk hasil pertanian, sehingga akan mengurangi kehilangan (losses) dan kualitas selama proses pascapanen.
Sumber: https://unair.ac.id
Pertanian
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 22 April 2024
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada sekaligus Anggota Tim Penilai dan Pendaftaran Varietas Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementan RI, Prof. Dr. Ir. Aziz Purwantoro, mengatakan industri benih hortikultura di Indonesia semakin tumbuh dan berkembang dengan banyaknya jenis varietas baru untuk tanaman sayuran dan buah-buahan yang dirilis ke publik. “Selama 13 tahun saya menjadi anggota penilai, lebih dari seratus produsen benih yang tumbuh dan telah merilis 400 hingga 500 varietas baru untuk tanaman hortikultura dan sekitar 60-70 persen lebih banyak sayuran,” karta Aziz Purwantoro kepada wartawan usai mengisi pelatihan Best Practice dalam Pemuliaan Tanaman di ruang pertemuan Pusat Inovasi Agroindustri (PIAT) UGM, Berbah, Sleman, Yogyakarta, Kamis (21/9).
Menurut Aziz, sebagian besar produsen penghasil benih ini didominasi pelaku usaha UMKM yang umumnya pemiliknya adalah orang yang telah lama berkecimpung di perusahan yang bergerak dalam bidang pertanian. “Mereka mau berkecimpung dalam bidang pertanian, karena industri benih ini tidak membutuhkan modal besar. Mereka umumnya jebolan dari perusahaan, paling tidak tahu soal pemasarannya,” paparnya.
Industri benih hortikultura ini menurut pandangan Aziz merupakan bisnis di bidang pertanian yang saat ini prospek bisnisnya cukup menjanjikan bagi pelaku usahanya. “Di bidang pertanian, industri perbenihan ini yang paling menopang, satu kilo benih saja bisa dijual hingga ratusan ribu rupiah,” jelasnya.
Untuk varietas baru yang dirilis oleh produsen benih ini menurut Aziz didominasi jenis tanaman sayuran seperti cabai, terong, bawang merah dan sebagainya. Sedangkan untuk tanaman buah ada melon dan semangka. “Untuk tanaman buah berbentuk pohon biasanya diakui oleh yang bekerja sama dengan pemilik,” katanya.
Menjawab pertanyaan wartawan, Aziz menjelaskan untuk melepas jenis varietas baru tanaman hortikultura memerlukan waktu pemuliaan tanaman sekitar 3-4 tahun. “Kadang dua tahun saja bisa. Karena sayuran itu sekitar 3-4 bulan sudah panen. Umumnya varietas baru ini memiliki keunggulan dari sisi produksi lebih tinggi atau lebih tahan terhadap hama,” katanya.
Kepala PIAT UGM sekaligus pakar pemuliaan tanaman dari Fakultas Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Taryono, mengatakan setiap varietas baru yang dirilis ke publik hendaknya memberi nilai tambah bagi produk pertanian dan memiliki keunggulan dari tanaman sejenis di pasaran. “Harus ada sesuatu yang berbeda dari sisi keunggulannya agar kita memiliki kekayaan sumber daya genetik,” katanya.
Salah satu pelaku bisnis industri benih, Mulyono Herlambang, mengatakan sebagian besar benih pertanian di Indonesia masih impor sehingga pemerintah menurutnya perlu mendorong agar industri benih terus tumbuh dan berkembangn. Menurutnya teknologi perbenihan atau breeding bertujuan untuk memperoleh varietas dengan produktivitas tinggi dan kualitas tinggi. “Produktivitas yang tinggi justru akan laku di pasaran,” paparnya.
Seorang breeder, kata Mulyono, harus jeli untuk memperoleh performa varietas tanaman yang unggul dari sisi kualitas dan kuantitas serta tahan terhadap hama penyakit, cuaca ekstrim dan memiliki kandungan zat tertentu seperti vitamin. “Tugas breeder itu mengisi dan mampu menyilang dari sisi keunggulan yang paling dominan dari satu jenis tanaman,” kata eksportir benih asal Karanganyar Jawa Tengah ini.
Sumber: https://ugm.ac.id
Pertanian
Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 18 April 2024
BANDUNG, itb.ac.id—Salah satu akibat dari bertambahnya populasi manusia di muka bumi adalah permintaan pangan yang semakin meningkat. Tantangannya, luas lahan pertanian semakin berubah fungsinya menjadi pemukiman sebagai tempat tinggal manusia. Solusi yang dapat diterapkan salah satunya adalah teknologi hidroponik yang dapat dilakukan di lahan yang sempit sekalipun.
Peningkatan produksi akan sejalan dengan keuntungan yang didapat pada teknologi hidroponik. Oleh karena itu, tim peneliti yang terdiri atas Maman Budiman, Ph.D. (KK Fisika Instrumentasi dan Komputasi, FMIPA ITB), Dr. Nina Siti Aminah (KK Fisika Instrumentasi dan Komputasi, FMIPA ITB), dan Ant. Ardath Kristi, S.T., (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dengan dua mahasiswanya, Efraim Partogi dan Prianka Anggara, melakukan penelitian dengan merancang purwarupa sistem instrumentasi berbasis Internet of Things (IoT) pada pertanian berteknologi hidroponik.
Lewat sistem ini, parameter fisis dipantau untuk mengetahui pengaruh proses produksi sehingga dapat dikendalikan. Tak hanya itu, tim peneliti juga menggunakan Machine Learning (ML) sehingga dapat diprediksi hasil produksi dari hidroponik yang diuji. Program ML yang digunakan adalah algoritma dari random forest regression, linear regression, dan polynomial regression.
Dikutip dari laman LPPM ITB, tanaman yang diteliti adalah pakcoy (Brassica rapa subsp. Chinensis) dan kangkung (Ipomoea aquatic) dengan sistem hidroponik Nutrient Film Technique (NFT).
“Penelitian ini dilakukan pada hidroponik ‘Blessing Farm’ di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Intensitas cahaya yang digunakan untuk penelitian kali ini diatur sedemikian rupa dengan atap, sehingga intensitas cahaya yang masuk tidak sama dengan yang keluar. Sedangkan sistem nutrisinya bertumpu pada satu tangki nutrisi untuk keseluruhan tanaman,” ujar tim peneliti.
Artikel ini telah dipublikasikan di Rubrik Rekacipta ITB Media Indonesia. Artikel lengkapnya dapat dibaca melalui tautan berikut: https://research.lppm.itb.ac.id/information/hidroponik_komersial_berbasis_internet_of_things
Untuk dapat memantau parameter fisis dari pertumbuhan tanaman hidroponik, diperlukan sistem instrumentasi yang tersusun dari sensor dan komponen. Keseluruhan sensor dihubungkan dengan mikrokontroler yang masing-masingnya memiliki modul wi-fi untuk menghubungkan sensor ke server. Kemudian, data yang didapat diolah dan disimpan dalam basis data dan dibagi menjadi data training dan data testing. Data training digunakan untuk membuat model prediksi, yang kemudian diuji performanya menggunakan data testing. Jika tingkat performa belum sesuai dengan kriteria performa yang diinginkan, ataupun jika terdapat penambahan data, maka dilakukan training kembali hingga model dapat mencapai tingkat performa yang diinginkan.
Dari data temperatur udara dan larutan, kelembapan udara, intensitas cahaya, hingga total dissolved solid (TDS) yang diamati sebagai variabel independen, didapat luas dan banyaknya daun serta tinggi tanaman sebagai variabel dependen yang diprediksi.
Koefisien determinasi tertinggi pada prediksi proses produksi tanaman pakcoy tertinggi didapat dari program algoritma random forest regression senilai 0,933. Selain itu, diperoleh data variabel independen pada produksi pakcoy dan kangkung yang paling mempengaruhi pertumbuhan tanaman –yang dengan begitu dapat menjadi variabel kontrol yang didapat, adalah TDS dan intensitas cahaya. Tidak berhenti sampai disini, sistem control TDS akan dibuat dari hasil beberapa model dengan menerapkan program random forest regression. Dengan begitu, produksi daun dapat tumbuh secara optimal pada berbagai cuaca.
Sumber: www.itb.ac.id