Kepala Laboratorium Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwidjono Hadi Darwanto, mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap gandum semakin mengkhawatirkan. Tiap tahun, konsumsi gandum Indonesia terus meningkat, padahal 100 persen kebutuhan gandum dalam negeri berasal dari impor.
Tahun 2021 silam, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor gandum Indonesia mencapai 11,17 juta ton dengan nilai impor 3,55 miliar USD atau sekitar Rp 51,45 triliun (kurs= Rp 14.500). Jumlah ini tentu sangat membebani keuangan negara, terlebih harga gandum saat ini semakin tinggi seiring dengan kebijakan 22 negara produsen gandum yang menghentikan ekspornya.
“Sebagai negara yang tingkat konsumsi gandumnya tinggi tapi tidak bisa memproduksi gandum, situasinya sangat mengkhawatirkan,” kata Dwidjono Hadi Darwanto saat dihubungi Pandangan Jogja @Kumparan, Rabu (13/7).
Tak hanya akan membebani keuangan negara, situasi ini juga membuat Indonesia ikut terancam krisis pangan. Mengingat semua mie, roti, bahkan gorengan yang banyak dijual di Indonesia masih bergantung pada bahan baku terigu atau tepung gandum.
Untuk mencegah situasi makin memburuk, Indonesia mesti segera melakukan diversifikasi terigu dengan bahan pangan lokal. Misalnya yang memiliki potensi besar menurut Dwidjono adalah tepung singkong atau mocaf.
Tepung mocaf menurutnya bisa menjadi bahan substitusi terigu dalam pembuatan mie. Memang belum bisa 100 persen memakai bahan mocaf, tapi porsinya bisa mencapai 60 sampai 70 persen.
“Dan itu tidak mempengaruhi rasa, rasanya sama seperti mie dari gandum, begitu juga jika dipakai untuk membuat roti, sama,” ujarnya.
Artinya, negara bisa hemat antara Rp 32 triliun sampai Rp 36 triliun per tahun jika bisa melakukan substitusi 60 sampai 70 persen tepung gandum dengan tepung mocaf.
“Nilai yang fantastis itu, bisa digunakan untuk mendukung pemenuhan bahan lokalnya,” lanjutnya.
Jika tepung mocaf atau singkong masih kurang, masih banyak juga bahan lain yang punya potensi besar. Seperti ubi jalar, talas, sorgum, hingga porang, yang semuanya bisa dijadikan substitusi tepung gandum asalkan diolah dengan benar.
Tapi untuk melakukan diversifikasi, tak bisa hanya mendorong petani menanam singkong, ubi jalar, atau sorgum. Justru yang perlu disiapkan menurutnya adalah pasar dan industrinya. Industri-industri pangan yang saat ini menggunakan bahan baku terigu, mesti didorong untuk mulai mensubstitusi dengan tepung mocaf atau bahan lain yang berasal dari pangan lokal.
Di sisi lain, produk-produk makanan berbahan baku pangan lokal, misalnya mie dan roti dari tepung singkong, mesti lebih intens diperkenalkan ke masyarakat.
“Nanti kalau pasarnya sudah ada, petani pasti mau nanam tanpa disuruh. Tapi kalau tidak ada yang menyerap, mana mau petani nanam,” kata Dwidjono.
Dewan Pembina Institut Agroekologi Indonesia (INAgri), Achmad Yakub, mengatakan bahwa jika pemerintah berhasil melakukan substitusi tepung gandum, katakanlah 50 persen saja, merupakan capaian yang luar biasa. Artinya akan Rp 26 triliun tambahan uang yang beredar di dalam negeri yang akan sangat membantu pergerakan ekonomi nasional.
Hal ini juga akan membuat dampak positif lain, misalnya mengurangi laju konversi lahan pertanian, sebab jika lahan pertanian produktif maka petani tidak akan menjual lahannya. Industri lokal juga akan bergeliat, misalnya industri pengolahan umbi-umbian menjadi tepung yang bisa dipakai sebagai bahan berbagai jenis makanan. Kemudian industri manufaktur akan tumbuh dan diikuti dengan terbukanya lapangan pekerjaan yang semakin besar.
“Dampaknya akan berganda banget, tidak hanya Rp 26 triliun, lebih dari itu nanti,” kata Achmad Yakub.
Rencana program diversifikasi pangan ini menurutnya layak untuk didukung. Dengan catatan, tidak sekadar jadi proyek pemerintah yang hanya menguntungkan elit saja, atau sekadar menjadi ajang lip service bagi pemerintah saja.
“Nanti giliran harga gandum turun, pindah ke gandum lagi. Kan percuma, hanya lip service saja,” ujarnya.
Sumber: kumparan.com