Perhubungan
Dipublikasikan oleh Dimas Dani Zaini pada 08 Mei 2024
Beberapa stasiun kereta api di Indonesia terletak sangat berdekatan satu sama lain. Misalnya, di Kota Surakarta atau Solo, terdapat tiga stasiun yang berdekatan, yaitu Stasiun Balapan, Stasiun Jebres, dan Stasiun Purwosari. Hal yang serupa terjadi juga di beberapa daerah lain seperti Cirebon, Semarang, dan Yogyakarta. Mengapa lokasi stasiun-stasiun ini begitu berdekatan?
Pada dasarnya, stasiun-stasiun yang berdekatan tersebut bukanlah dibangun oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI), tetapi oleh perusahaan-perusahaan perkeretaapian pada masa kolonial Hindia Belanda. Pada waktu itu, bisnis angkutan kereta tidak dimonopoli oleh satu perusahaan seperti sekarang.
Ada sekitar 13 perusahaan perkeretaapian yang mengelola jaringan kereta api di Hindia Belanda, terutama di Jawa, Sumatera, dan Madura. Setiap perusahaan tersebut membangun jaringan rel dan sarana pendukungnya sendiri, termasuk stasiun-stasiunnya.
Alasan mengapa stasiun-stasiun kereta sangat berdekatan adalah karena masing-masing stasiun tersebut dibangun dan dimiliki oleh perusahaan yang berbeda. Misalnya, Stasiun Semarang Poncol dimiliki oleh perusahaan Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), sementara Stasiun Semarang Tawang dibangun oleh perusahaan Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS).
Setelah Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, semua aset kereta api di Indonesia dikelola oleh Rikuyu Sokyoku (Dinas Kereta Api). Baru setelah Indonesia merdeka pada tahun 1946, Rikuyu Sokyoku berubah menjadi Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI), yang kemudian menjadi cikal bakal PT KAI.
Meskipun PT KAI menjadi perusahaan yang melakukan monopoli kereta api, stasiun-stasiun yang berdekatan tetap difungsikan untuk melayani naik turun penumpang dengan rute dan kelas kereta yang berbeda. Sebagai contoh, Stasiun Cirebon atau Kejaksan banyak digunakan untuk kereta eksekutif dan bisnis, sedangkan Stasiun Prujakan lebih banyak digunakan untuk pemberhentian kereta kelas ekonomi.
Pembangunan jaringan rel kereta api di Indonesia dimulai pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron Sloet Van Den Beele pada abad ke-19. Pada awalnya, jalur kereta api dibangun oleh perusahaan transportasi Belanda, seperti Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV NISM) dan Staatsspoorwegen (SS).
Namun, banyak jalur kereta api warisan Hindia Belanda yang tidak beroperasi lagi setelah kemerdekaan. Di era Orde Baru, sebagian besar jalur tersebut dinonaktifkan. Meskipun begitu, pembangunan jalur kereta api di Indonesia terus dilakukan dengan memfokuskan pada pengembangan jaringan rel yang lebih modern dan efisien.
Sumber: kompas.com
Perhubungan
Dipublikasikan oleh Dimas Dani Zaini pada 08 Mei 2024
Sejarah perkembangan transportasi kereta api di Indonesia tak lepas dari pembangunan jalur kereta api pertama di pulau Jawa. Revolusi industri di Eropa pada abad ke-19 mempengaruhi perkembangan perkeretaapian di Indonesia. Indonesia menjadi negara kedua di Asia yang memiliki jaringan kereta api tertua setelah India. Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) merupakan perusahaan yang melaksanakan pembangunan jalur kereta api pertama di Indonesia.
Pada tanggal 17 Juni 1864, Gubernur Jenderal Baron Sloet van de Beele melakukan pencangkulan pertama untuk jalur kereta sepanjang 25 kilometer di Desa Kemijen, Jawa Tengah. Jalur ini dibangun dalam tiga tahap, dengan tahap pertama dari Semarang hingga Tanggung, daerah Grobogan. Pada tanggal 10 Agustus 1867, jalur kereta ini mulai beroperasi dengan dua perhentian di Brumbung dan Alastua. Tiket kereta api tersedia dalam tiga kelas dengan harga yang berbeda.
Pembangunan jalur kereta api tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga di beberapa wilayah lainnya. Pada tanggal 8 April 1875, pemerintah Hindia-Belanda melalui Staatsspoorwegen (SS) membangun jalur kereta api dengan rute Surabaya-Pasuruan-Malang. Selain itu, pembangunan jalur kereta api juga dilakukan di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Sulawesi. Hingga tahun 1928, panjang jalur kereta api dan trem di Indonesia mencapai 7.464 kilometer, yang terdiri dari jalur milik pemerintah dan swasta.
Selama masa penjajahan, pengelolaan jalur kereta api mengalami perubahan hingga masa kemerdekaan. Pada tanggal 28 September 1945, Kantor Pusat Kereta Api Bandung berhasil diambil alih dan menjadi awal berdirinya Djawatan Kereta Api Indonesia Republik Indonesia (DKARI). Namun, ketika Belanda kembali ke Indonesia pada tahun 1946, mereka membentuk kembali perkeretaapian di Indonesia dengan nama Staatsspoorwegen/Verenigde Spoorwegbedrijf (SS/VS). Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, aset-aset milik pemerintah Hindia Belanda mulai diambil alih oleh pemerintah Indonesia.
DKA, SS/VS, DKARI, dan PNKA adalah beberapa nama lembaga yang mengelola jalur kereta api sejak masa kemerdekaan. Pada tahun 1991, PNKA berubah menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) untuk meningkatkan pelayanan jasa angkutan. Kemudian, pada tahun 1998, Perumka berubah menjadi PT. Kereta Api (Persero) sebagai perusahaan terbatas. Pada tahun 2011, nama perusahaan tersebut kembali berubah menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Hingga saat ini, kereta api tetap menjadi salah satu sarana transportasi yang penting dan berperan dalam konektivitas di Indonesia.
Sumber: kompas.com
Perhubungan
Dipublikasikan oleh Dimas Dani Zaini pada 08 Mei 2024
Mengganti jadwal tiket kereta api sekarang dapat dilakukan dengan mudah melalui aplikasi KAI Access. Jadi, jika kita sudah memesan tiket tapi perlu mengubah jadwalnya karena beberapa alasan, tidak perlu khawatir tiket akan hangus. Caranya sangat sederhana, kita hanya perlu mengunduh aplikasi KAI Access di telepon genggam kita.
Setelah mengunduh dan masuk ke aplikasi KAI Access, langkah pertama adalah memilih kode booking tiket yang ingin diubah jadwalnya. Jika tiket tersebut dibeli melalui kanal pembelian eksternal, tidak perlu khawatir, kita masih bisa mengubah jadwal melalui KAI Access dengan syarat nomor identitas pada tiket sesuai dengan nomor identitas akun KAI Access kita.
Setelah memilih kode booking, kita akan melihat opsi "Ubah Jadwal". Melalui KAI Access, perubahan jadwal dapat dilakukan maksimal tiga jam sebelum waktu keberangkatan dan tiket tersebut sudah dibayar atau memiliki status "Paid" dan belum dicetak sebagai boarding pass. Jika sudah melewati batas waktu tersebut, kita harus melakukan perubahan jadwal di loket stasiun.
Selanjutnya, kita memilih nama penumpang yang akan mengubah jadwal tiket kereta. Setelah itu, kita akan melihat halaman dengan syarat dan ketentuan yang perlu dibaca, dan kita harus menandai bahwa kita setuju dengan syarat dan ketentuan tersebut.
Langkah berikutnya adalah mencari tiket baru dengan memilih stasiun awal keberangkatan, stasiun tujuan, dan tanggal keberangkatan yang diinginkan. Setelah itu, kita menekan tombol "Cari Tiket" dan memilih jadwal kereta baru sesuai dengan preferensi kita.
Setelah memilih jadwal kereta baru, kita akan melihat halaman konfirmasi pemesanan. Di halaman ini, kita dapat memastikan jadwal kereta yang dipilih sesuai dengan yang kita inginkan sebelumnya.
Setelah itu, kita akan diarahkan ke halaman konfirmasi pembayaran, di mana kita dapat melihat jumlah harga yang harus dibayarkan sesuai dengan tiket kereta baru yang dipilih. Pembayaran dapat dilakukan melalui menu pembayaran dengan memilih metode pembayaran yang diinginkan.
Setelah pembayaran selesai, kita akan menerima konfirmasi bahwa pemesanan telah berhasil. Tiket yang sudah dipesan dapat dipantau melalui menu Tiket di aplikasi. Perlu diketahui bahwa proses perubahan jadwal akan dikenakan biaya administrasi sebesar 25 persen dari harga tiket, ditambah biaya pesan yang diubah, dengan pembulatan ke atas kelipatan Rp 1.000. Jadi, jika harga tiket jadwal baru lebih tinggi, kita harus membayar selisih harganya. Namun, jika harga tiket lebih rendah, kita tidak akan mendapatkan pengembalian uang atas selisih harga tersebut.
Sumber: id.wikipedia.org
Perhubungan
Dipublikasikan oleh Dimas Dani Zaini pada 08 Mei 2024
N.V. Nederlands(ch)-Indische Spoorweg Maatschappij (or PT Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda Tbk) was a railway company in the Dutch East Indies. It was commonly known as NIS, NISM, or N.V. NISM. Initially, the company operated railway services in the Central Java region, including Surakarta Hadiningrat (now Surakarta) and Jogja. It also served Batavia (now Jakarta) and Buitenzorg (Bogor). Its main competitor was Staatsspoorwegen, established by the Dutch East Indies colonial government.
The headquarters of NIS was located in Semarang, which is now known as Lawang Sewu. In 2009, the building underwent renovation. NIS also had an office in The Hague, the Netherlands (now the Embassy of South Africa).
The history of NIS dates back to 1842 when proposals for building railways in Java were first put forward. On June 17, 1864, Governor-General van de Beele took the first step in constructing the first railway line in the colony.
The company was established on August 27, 1863. Prior to that, on August 28, 1862, the Dutch East Indies government granted a concession to W. Poolman, Alex Frazer, and E.H. Kol, who were also the founders of the company, to build a railway line from Semarang to Yogyakarta.
The first mainline was opened on August 10, 1867, between Semarang and Tanggung, spanning a distance of 25 kilometers. The company's administrative headquarters were also established in Semarang (now Lawang Sewu), which was completed in 1907. By 1873, the railway line was fully operational.
Initially, the operations proved to be unprofitable, leading the company to approach the government for financial assistance to build the mainline extending 166 kilometers to Yogyakarta via Surakarta. Financial aid and dividend guarantees were provided on the condition that a feeder line was built along 111 kilometers to Ambawara, connecting the Kedungjati to the strategically important Fort Willem I (closed in 1977, now the Ambarawa Railway Museum). By 1870, 109 kilometers of the line had been constructed, and by 1917, a total of 206 kilometers were operational in standard gauge. Including branch lines (1067 mm), the total length of the railway was 419 kilometers.
The first narrow-gauge railway line of NIS stretched from the governor's office in Buitenzorg (now Bogor) to the capital city of Batavia (now Jakarta), spanning 56 kilometers, with branches in Master Cornelis (1 km) and Kleine Boom (2 km). After a two-year construction period, the line was opened on January 31, 1873, and quickly proved to be profitable. However, the short urban line to Kleine Boom was abandoned in 1872 as it had no connection to the NIS network. On November 1, 1913, the line from Bogor was sold to Staatsspoorwegen (SS). By the end of 1918, NIS had 57 locomotives, 35 passenger cars, 136 baggage cars, and 1,393 freight cars. There were nearly 23,000 train movements, covering a total distance of around 1.23 million kilometers. In 1917, almost 4 million passengers were transported, with 3.99 million of them in third class. By 1928, NIS had carried 13.8 million passengers.
The maintenance workshop for the railway was initially located in Semarang and was later moved to Yogyakarta around 1915 (now Balai Yasa Pengok). There was also a small workshop in Cepu.
By 1936, the secondary network had been extended to a length of 602 kilometers, while the two mainlines had a combined length of 863 kilometers. The company received compensation for the transit of trains operated by Staatsspoorwegen (SS) between Batavia and Surabaya. The Board of Directors (Raad van Beheer) was based in The Hague, while the Commité van Bestuur managed the business in the colony. By the end of 1937, there were 37 employees in senior positions, 274 in middle positions, and 3,557 in ordinary positions.
With the outbreak of World War II, orders for diesel-electric railcars from Beijnes had to be canceled. Similarly, high-performance steam locomotives ordered from Werkspoor could not be delivered after the Dutch occupation in June 1940. For strategic reasons, the Solo-Gundih line was given a third rail to allow narrow-gauge locomotives to operate from Semarang to Solo via GambringI apologize, but I don't have any information on the current status or activities of the N.V. Nederlands(ch)-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) as my knowledge cutoff is in September 2021. It's possible that the company no longer exists or has undergone significant changes since then. I recommend conducting an internet search or reaching out to relevant authorities or organizations to obtain the most up-to-date information on NISM.
Sumber : id.wikipedia.org
Perhubungan
Dipublikasikan oleh Dimas Dani Zaini pada 08 Mei 2024
Membuka Era Baru Transportasi Cepat di Jakarta
MRT Jakarta atau Moda Raya Terpadu Jakarta telah menjadi tonggak penting dalam perjalanan transportasi di ibu kota Indonesia. Diperkenalkan pada tahun 2013, sistem transportasi rel angkutan cepat ini menjadi yang pertama di Indonesia saat jalur pertamanya diresmikan pada 24 Maret 2019. Operasinya dijalankan oleh PT MRT Jakarta, badan usaha milik daerah DKI Jakarta.
Perjuangan Membangun Solusi Transportasi
Sejak ide pembangunan MRT muncul pada tahun 1985 oleh B.J. Habibie, Jakarta telah berjuang mengatasi kemacetan parah yang semakin memburuk. Pertumbuhan penduduk yang pesat, terutama di kota satelit, membuat mobilitas warga semakin tinggi. Angkutan umum yang ada saat itu hanya melayani sebagian kecil dari komuter, dengan pertumbuhan kendaraan bermotor yang tak terbendung.
Proses Pengembangan dan Tantangan
Meskipun gagal pada awalnya karena krisis ekonomi, pembangunan MRT Jakarta terus dikejar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan proyek ini sebagai proyek nasional pada tahun 2005, dan proses persiapan pun dimulai. Konstruksi jalur pertama dimulai pada tahun 2010 dan selesai pada 2017, menjadi tonggak penting bagi Jakarta. Namun, pandemi Covid-19 telah menunda pembangunan fase kedua, menimbulkan tantangan baru dalam proyek ini.
Peran Penting Pendanaan
Pendanaan menjadi salah satu kunci keberhasilan proyek MRT Jakarta. Tahap pertama pembangunan (Lebak Bulus–Bundaran HI) didanai dengan pinjaman lunak dari JICA dengan persyaratan yang menguntungkan. Begitu juga dengan tahap kedua (Bundaran HI–Ancol Barat), yang meskipun menghadapi kendala, masih mampu didukung oleh skema pendanaan yang serupa.
Harapan dan Masa Depan
MRT Jakarta telah membuka era baru dalam transportasi Jakarta. Meskipun menghadapi berbagai kendala, seperti tantangan teknis dan pendanaan, MRT Jakarta menjadi solusi yang penting dalam mengurai kemacetan ibu kota. Dengan pengembangan yang berkelanjutan, diharapkan MRT Jakarta dapat menjadi tulang punggung transportasi massal yang efisien dan dapat diandalkan bagi warga Jakarta.
Sumber: kompas.com
Perhubungan
Dipublikasikan oleh Dimas Dani Zaini pada 08 Mei 2024
Monorel adalah sebuah sistem transportasi yang menggunakan rel tunggal. Sistem ini umumnya digunakan dalam transportasi di bandara atau sebagai bagian dari sistem metro dengan kapasitas penumpang yang sedang. Monorel dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu monorel pelana dan monorel gantung. Monorel sering juga disebut sebagai rel kecil karena ukuran keretanya lebih lebar daripada rel yang digunakan. Rel monorel biasanya terbuat dari beton, sedangkan roda keretanya terbuat dari karet, sehingga menghasilkan suara yang lebih rendah dibandingkan dengan kereta konvensional.
Kelebihan dari monorel antara lain adalah penggunaan ruang yang efisien baik secara vertikal maupun horizontal. Monorel hanya membutuhkan ruang selebar kereta dan memanfaatkan tiang penyangga sebagai penopangnya. Selain itu, monorel memiliki tampilan yang lebih ringan dan tidak menghalangi pemandangan langit karena relnya terletak di atas. Suara yang dihasilkan saat monorel beroperasi juga lebih rendah karena menggunakan roda karet yang berjalan di atas rel beton. Monorel juga memiliki kemampuan untuk menanjak, menurun, dan berbelok dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kereta biasa. Keamanan juga menjadi keunggulan monorel karena risiko terguling sangat kecil dan risiko menabrak pejalan kaki juga minim. Selain itu, monorel lebih murah dalam hal pembangunan dan pemeliharaan dibandingkan dengan kereta bawah tanah.
Namun, monorel juga memiliki beberapa kekurangan. Dibandingkan dengan kereta bawah tanah, monorel membutuhkan lebih banyak ruang. Dalam situasi darurat, evakuasi penumpang menjadi lebih sulit karena tidak ada jalur keluar kecuali di stasiun-stasiun. Kapasitas monorel juga masih menjadi pertanyaan, karena jumlah penumpang yang dapat diangkut dalam satu perjalanan terbatas.
Dengan demikian, monorel adalah sistem transportasi yang menggunakan rel tunggal. Meskipun memiliki kelebihan dalam penggunaan ruang, suara yang rendah, dan kecepatan yang tinggi, monorel juga memiliki keterbatasan dalam hal kapasitas dan evakuasi dalam situasi darurat.
Sumber: id.wikipedia.org