Pendidikan

"PTN, UTBK, dan Dilema Pendidikan Tinggi"

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 11 Mei 2024


Lagu-lagu Paramitha Rusady dan Obbie Messakh tentang nostalgia lagu masa SMA agaknya harus direfleksikan kembali dengan kenyataan saat ini. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah lapangan kerja, mencari kerja menjadi makin sulit. Oleh sebab itu, kualifikasi sumber daya manusia menjadi hal yang amat krusial.

Lulusan perguruan tinggi negeri cenderung digadang-gadang sehingga masa persiapan SNPMB (Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru) menjadi momok menakutkan bagi kebanyakan siswa pada masa akhir SMA-nya. Dibandingkan dengan akhir 1980-an, ketika lagu-lagu tentang indahnya masa SMA berjaya, masa-masa SMA kini dikenang sebagai sesuatu yang sarat akan tekanan dan ketidakpastian.
Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidojo pernah mengungkapkan bahwa kebanyakan siswa Kelas XII menghadapi stres saat memasuki musim SNPMB. Angka yang tinggi ini mendorong banyak orang untuk menjadikan siswa "kambing hitam". Biasanya, siswalah yang dituduh tidak bisa mengelola stres. Nasihat agar siswa mampu mengkondusifkan lingkungan belajar dan mengatur waktu agar tidak mengalami stres kerap dilontarkan.

Padahal, sebenarnya, tekanan psikologis yang dialami siswa Kelas XII bersumber dari dua faktor sosial utama. Pertama, adanya stereotip toksik bahwa melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) merupakan satu-satunya penjamin kesuksesan. Kedua, salah kaprah bahwa Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) adalah tolok ukur akurat terhadap kecerdasan siswa.

PTN di atas segalanya

Benarkah bahwa PTN adalah penjamin kesuksesan yang absolut? Ide ini sebenarnya wajar saja. Lulusan perguruan tinggi negeri biasanya memiliki jaringan koneksi yang luas yang mempermudah mereka mencari pekerjaan. Apalagi, PTN dianggap kompeten dalam menghadirkan pendidikan yang berkualitas karena sudah berpengalaman sejak lama. Sebut saja Universitas Indonesia (UI) yang diprakarsai pada 1849, atau Institut Teknologi Bandung (ITB) yang cikal bakalnya muncul pada 1920.

Siswa SMA yang tidak melanjutkan pendidikan ke PTN sering dianggap bodoh dan memiliki masa depan yang tidak terjamin. Masih banyak mahasiswa perguruan tinggi swasta (PTS) yang mengalami kesulitan saat mencari kerja, atau mendapat komentar negatif dari keluarga karena melanjutkan pendidikan ke PTS.

Sebagaimana dicetuskan oleh sosiolog Max Weber, PTN ditafsirkan sebagai simbol yang melambangkan prestise. Melalui PTN, seseorang dapat menaikkan strata sosial dan citranya di mata orang-orang sekitar. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak orang rela mati-matian mengikuti jadwal belajar yang ketat demi lulus UTBK, yaitu tes seleksi masuk PTN.

Pola pikir "PTN di atas segalanya" ini dapat digambarkan melalui sebuah anekdot (yang konon, terinspirasi dari fenomena nyata): di suatu perusahaan, seorang atasan akan menyuruh HRD memilah berkas para pelamar kerja dengan cara memisahkan berkas pelamar lulusan PTN dan PTS.

Berkas pelamar lulusan PTS akan ditaruh di bawah tumpukan berkas-berkas lainnya sehingga tidak dilirik. Padahal, bukan berarti lulusan PTS tidak kredibel. Dewasa ini, makin banyak PTS yang menerapkan ujian masuk bagi calon mahasiswanya. Bahkan, banyak lulusan PTS turut memberdayakan masyarakat lokal atau menjadi diaspora dengan kontribusi positif.

UTBK sebagai tolok ukur kecerdasan

Dihapuskannya Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang meliputi mata pelajaran yang diajarkan di sekolah seperti Biologi, Kimia, Sejarah, dan Geografi dalam UTBK 2023 merupakan inovasi yang problematik. Kebijakan ini, konon, diterapkan supaya kecerdasan siswa dapat dinilai secara lebih objektif sesuai jurusannya di SMA.

Namun, soal-soal matematika dan literasi dalam tes terstandardisasi (standardized test) seperti UTBK tetap saja tidak mampu menggambarkan kemampuan siswa secara akurat ataupun holistik.

Howard Garner (1983) berpendapat bahwa manusia memiliki delapan jenis kecerdasan. Melalui UTBK, definisi kecerdasan dikerucutkan menjadi satu jenis saja: bisa menjawab soal dengan model yang sudah ditentukan secara cepat dan tepat.

Klaim Mendikbud Nadiem Makarim bahwa dengan diterapkannya sistem baru UTBK yang hanya mengujikan kemampuan skolastik, siswa tidak perlu lagi mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah juga terbukti salah. Buktinya, bimbingan-bimbingan belajar masih terus dicari. Bimbingan belajar justru berinovasi untuk mengakomodasi perubahan-perubahan dalam sistem pelaksanaan UTBK.

Dalih orangtua yang rela menguras dompet demi mendaftarkan anaknya di bimbingan belajar selalu sama: sekolah saja tidak cukup. Tidak seperti sistem UTBK pada tahun-tahun sebelumnya yang masih mengujikan mata pelajaran TKA yang dipelajari selama tiga tahun duduk di bangku SMA, kini materi UTBK benar-benar asing.

Materi tes potensi skolastik (TPS) yang meliputi penalaran umum, kemampuan matematika, dan kemampuan berbahasa digadang-gadang sebagai kemampuan-kemampuan yang penting karena sering dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, justru hal-hal itu tidak diajarkan di sekolah. Kalaupun diajarkan, pentingnya kemampuan skolastik tidak terlalu dititik beratkan.

Matematika, misalnya, diajarkan sebagai rangkaian rumus dan angka yang perlu dihafalkan tanpa benar-benar diresapi hakikat dan contoh penerapannya. Sistem pembelajaran di sekolah yang, ibaratnya, tidak menghubungkan titik-titik menjadi satu garis bermakna, tetapi sekadar menekan siswa agar sekadar menghapal letak titik-titik tersebut telah "mencemarkan" hakikat pendidikan yang sesungguhnya.

Diterapkannya sistem penilaian item response theory (IRT) juga berpotensi menjadi kelemahan lain dalam pelaksanaan UTBK. Ringkasnya, komputer akan memberi bobot penilaian yang berbeda untuk setiap soal, tergantung tingkat kesulitannya. Soal yang sulit akan mendapat skor yang lebih besar daripada soal yang mudah. Jika banyak peserta berhasil menjawab suatu soal dengan benar, hal itu berarti bahwa soal tersebut termasuk dalam kategori mudah, dan begitu pula sebaliknya.

Sistem penilaian ini berbeda dengan sistem penilaian ujian lain pada umumnya yang bersifat absolut (misalnya, jawaban benar mendapat skor 4, jawaban salah mendapat skor -1, dan jawaban kosong mendapat nilai 0). Alhasil, tidak ada soal yang mendapat nilai 0 pada UTBK. Aturan ini kerap "dimanipulasi" oleh siswa untuk mendapat skor setinggi-tingginya.

Beredarnya video-video di media sosial yang membagikan cara-cara "menembak" jawaban dengan akurat serta berita siswa yang mendapat skor tinggi dari hasil "menembak" jawaban mengundang polemik: apakah "kecanggihan" sistem pelaksanaan UTBK benar-benar efektif atau di atas kertas saja?

Jika sistem pelaksanaan UTBK benar-benar sudah efektif, seharusnya kecurangan peserta UTBK dapat diantisipasi. Nyatanya, banyak siswa yang bukannya menghabiskan waktu untuk mempersiapkan diri, melainkan untuk menyiapkan alat berteknologi tinggi untuk mencontek. Dari tahun ke tahun, kecurangan siswa saat UTBK menjadi pokok bahasan klasik.

Kecurangan pada UTBK menunjukkan celah pada sistem pendidikan SMA di Indonesia. Banyaknya siswa yang kehilangan motivasi belajar pada tahun terakhir SMA menjadi bukti bahwa pendidikan Indonesia masih digerogoti pola pikir "sekolah adalah formalitas" yang sudah jelas keliru. Siswa jadi enggan belajar bukan karena malas, tetapi karena sadar bahwa PTN adalah target yang harus diutamakan sehingga pembelajaran di sekolah ibarat halal hukumnya untuk disisihkan sementara.

Sumber: news.detik.com

Selengkapnya
"PTN, UTBK, dan Dilema Pendidikan Tinggi"

Pendidikan

Daya Tampung Program Pendidikan Sarjana dan Vokasi Bertambah pada Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru 2024

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 11 Mei 2024


Universitas Indonesia (UI) melaksanakan sosialisasi jalur penerimaan mahasiswa baru bagi lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat tahun 2024 di Balai Purnomo Prawiro, Kampus UI Depok. Sosialisasi tersebut dihadiri sekitar 500 perwakilan pimpinan sekolah, Kepala Sekolah, dan Guru Bimbingan Konseling (BK). Tidak hanya berasal dari Jakarta dan sekitarnya, perwakilan pimpinan sekolah dari Semarang, Jawa Tengah juga turut hadir dalam sosialisasi ini.

Sekretaris Universitas UI, dr. Agustin Kusumayati, M.Sc., Ph.D. mengatakan, “Tujuan utama kami adalah mengkomunikasikan jalur masuk dan seleksi mahasiswa baru ke UI kepada masyarakat yang sangat berkepentingan, yang terdiri atas sekolah, pimpinan sekolah, para guru, dan tentunya anak-anak calon mahasiswa beserta orangtua dan keluarga. Saya berpesan kepada seluruh calon mahasiswa supaya tidak ragu memilih UI karena UI terus berkomitmen memberikan akses yang ‘adil’ kepada calon mahasiswa dari seluruh wilayah di Indonesia dan dari seluruh tingkatan sosial ekonomi.”

Hadir sebagai narasumber, yaitu Sekretaris Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB), Bekti Cahyo Hidayanto, S.Si., M.Kom., dan Kepala Kantor Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) UI, Dr. Gunawan, ST., MT. Jalannya sosialisasi dipimpin oleh Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) UI, Dra. Amelita Lusia, M.Si.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 62 Tahun 2023, jalur masuk penerimaan mahasiswa baru program diploma dan program sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN), termasuk UI, terbagi menjadi dua skema, yaitu jalur nasional dan jalur mandiri.

Untuk jalur nasional, UI menyediakan 50 persen dari total daya tampung, dengan rincian 20 persen melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) dan 30 persen melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Sementara itu, 50 persen dari total daya tampung UI akan diperebutkan melalui jalur mandiri.

Jalur mandiri UI terbagi ke dalam dua jalur, yaitu jalur ujian dan jalur tanpa ujian. Jalur ujian UI yang terdiri atas Sarjana dan Vokasi,  Sarjana Kelas Internasional, dan Sarjana dan Vokasi dengan Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL). Sementara itu, jalur tanpa ujian UI yang dapat ditempuh adalah jalur Prestasi dan Pemerataan Kesempatan Belajar (PPKB) untuk Sarjana dan Vokasi, jalur Talent Scouting (TS) untuk Sarjana Kelas Internasional, dan Seleksi Jalur Prestasi (SJP) untuk Sarjana.

Pada tahun 2024, UI menambahkan daya tampungnya untuk mengakomodasi lebih banyak calon mahasiswa baru. Kepala PMB UI, Gunawan, mengatakan, “Pada 2024, kami menerima 10.473 calon mahasiswa dari Sarjana dan Vokasi, naik dibandingkan tahun 2023 yang saat itu daya tampungnya 10.159.”

Ia menambahkan, dari daya tampung total Sarjana Vokasi tersebut, terdiri atas Sarjana 8.823 dan Vokasi 1.650. Sementara itu, daya tampung total SNBP sebanyak 2.105 dengan rincian Sarjana 1.775 dan Vokasi 330.

Lalu, pada jalur SNBT akan menerima sebanyak 3.164 mahasiswa yang terdiri dari 2.666 Sarjana dan 498 Vokasi. Tahun ini, UI mengikutisertakan 64 program studi Sarjana dan 15 program studi Vokasi (9 Diploma III dan 6 Diploma IV).

Saat ini, masa Pengisian Pangkalan Data Sekolah Dan Siswa (PDSS) untuk Seleksi SNBP 2024 bagi sekolah tengah berlangsung dan akan berakhir pada 9 Februari 2024. Selanjutnya, akan disusul oleh Pendaftaran SNBP oleh siswa mulai 14 Februari hingga 28 Februari 2024. UI juga akan segera membuka jalur Talent Scouting pada 28 Februari hingga 22 Maret 2024 untuk Sarjana Kelas Internasional.

Sekretaris SNPMB Bekti menegaskan, “Siswa yang dinyatakan lulus seleksi SNBP 2024 tidak dapat mendaftar seleksi jalur mandiri di PTN manapun. Peserta yang dinyatakan lulus melalui jalur SNBT 2024 dan telah mendaftar ulang atau registrasi di PTN yang dituju juga tidak dapat diterima pada seleksi Jalur Mandiri 2024.” Bekti mengimbau calon mahasiswa baru untuk menunggu pengumuman hasil SNBT terlebih dahulu sebelum mendaftar jalur mandiri pada PTN tujuan.

Disadur dari: ui.ac.id

 

Selengkapnya
Daya Tampung Program Pendidikan Sarjana dan Vokasi Bertambah pada Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru 2024

Pendidikan

Pekerjaan Hijau Hadirkan Peluang Bagi Lulusan Sekolah Vokasi

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 11 Mei 2024


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa pekerjaan hijau dalam model pembangunan ekonomi hijau membuka peluang bagi lulusan SMK di Indonesia.

Peneliti Kebijakan Publik BRIN Renny Savitri menyatakan bahwa pekerjaan hijau membutuhkan keterampilan baru untuk mencegah peningkatan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim.

“Pekerjaan hijau membutuhkan keterampilan dasar berupa analisis data dan informasi, berpikir kreatif, menginterpretasikan informasi untuk orang lain, dan kemampuan interpersonal,” katanya dalam presentasi penelitian yang dipantau di Jakarta, Kamis.

“Melatih dan membimbing orang lain yang dikombinasikan dengan pengetahuan khusus tentang keberlanjutan dan analisis siklus hidup,” tambahnya.

Savitri menjelaskan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan hijau harus memiliki keterampilan hijau untuk mendukung operasi bisnis yang berkelanjutan dan hemat sumber daya, karena perusahaan berfokus pada pengurangan jejak karbon atau emisi gas yang mereka hasilkan.

Melalui penelitian tentang pendidikan kejuruan dan pengembangan keterampilan untuk ekonomi biru, ekonomi hijau, dan ekonomi digital di tahun 2023, BRIN meneliti beberapa sekolah kejuruan di Indonesia yang mempersiapkan siswanya untuk memasuki lapangan kerja hijau.

Beberapa sekolah tersebut antara lain SMKN 2 Banjarbaru, SMKN 3 Mataram, SMKN 1 Salam di Magelang, SMKN Pertanian Pacet di Cianjur, dan SMKN Pertanian Terpadu di Riau.

Penguatan pendidikan vokasi, termasuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), bertujuan untuk merespons momentum bonus demografi. Terlebih lagi, sebagian besar peminat SMK berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Savitri mengatakan bahwa model ekonomi hijau berperan untuk menggantikan model ekonomi hitam yang menyebabkan pemborosan melalui konsumsi bahan bakar fosil, batu bara, dan gas alam.

Intervensi pembangunan ekonomi hijau berfokus pada tiga aspek yaitu mitigasi perubahan iklim, penghematan energi fosil, dan penciptaan lapangan kerja berbasis green jobs.

“Dengan lahirnya pendekatan ekonomi hijau, pasti akan muncul lapangan kerja baru, yaitu green jobs,” ujar Savitri.

Menurutnya, pekerjaan hijau memiliki prospek yang cukup cerah, karena berbagai pekerjaan baru bermunculan sebagai dampak dari krisis iklim.

Beberapa pekerjaan yang termasuk dalam green jobs antara lain adalah pekerjaan di bidang Energi Baru dan Terbarukan (EBT), teknisi EBT, dan manajer keberlanjutan.

Disadur dari: en.antaranews.com

Selengkapnya
Pekerjaan Hijau Hadirkan Peluang Bagi Lulusan Sekolah Vokasi

Pendidikan

Kejatuhan Dosen karena Tidak Adanya Persatuan

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 09 Mei 2024


“Yang menyulitkan, tugas dosen tidak hanya mengajar tapi juga meneliti,” keluh Suci Lestari Yuana. Hal ini tidak hanya terjadi pada Suci; Konflik peran juga merupakan masalah umum yang dihadapi dosen lainnya. Artinya dosen mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukan, baik sebagai dosen maupun peneliti. Suci yang mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai hal tersebut akan berdampak pada menurunnya kinerja dosen.

Pekerjaan dosen sebagai pendidik sangat menyita waktu. Akibatnya, proyek penelitian harus dilaksanakan di luar jam pengajaran. “Saya mengorbankan waktu saya di luar jam kerja untuk melakukan penelitian. Biasanya malam hari, setelah jam 10 malam sampai jam 2 pagi,” keluh Suci. Menurutnya, kondisi tersebut terpaksa terjadi karena manajemen waktu penelitian di UGM masih belum diatur secara tegas.

Selain konflik peran, rendahnya pendapatan seringkali memaksa dosen melakukan berbagai pekerjaan lain. Randy Nandyatama mengungkapkan hal tersebut berdasarkan pengalamannya selama menjadi dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Menurut Randy, gaji pokok dosen tergolong rendah, terutama bagi dosen baru. “Pendapatan rendah seringkali menyebabkan dosen mengerjakan proyek apa pun yang tidak ada kesinambungan profesinya sebagai dosen,” kata Randy.

Fakta ini menjadi salah satu kekhawatiran Randy. “Hal ini dapat merugikan dan berdampak pada mahasiswa karena dosen hanya berorientasi pada proyek penelitian.” Menurutnya, jika proyek penelitian tidak dikorelasikan dengan pembelajaran di kelas, maka kinerja mereka sebagai pendidik akan berdampak buruk. Bahkan Randy prihatin dengan dosen yang hanya melakukan proyek penelitian untuk kepentingan pribadi.

Status kepegawaian juga menjadi permasalahan bagi dosen. “Saya merasakan banyak ketidakpastian mengenai hak-hak saya sebagai dosen,” kata Suci. Ia menyadari status kepegawaiannya masih dalam masa transisi sehingga belum bisa disamakan dengan dosen yang berstatus tetap. Namun menurutnya, sistem rekrutmen dosen di UGM masih belum efektif berdasarkan aspek senioritas yang mengutamakan dosen terkemuka bergelar Pegawai Negeri Sipil (PNS). Apalagi, proses pengangkatan dosen PNS di departemennya terakhir kali terjadi pada tahun 2015 sehingga menimbulkan ketidakpastian wacana baru.

Randy pun merasa prihatin dengan status dosen tetap UGM. Berdasarkan pengalamannya sejak tahun 2012, UGM berjanji akan menyamakan kedudukan dosen tetap kampus dengan dosen PNS yang memiliki pensiun. Namun Randy belum menerima bukti pernyataan tersebut hingga program dana pensiun tersebut berjalan selama dua tahun terakhir. Statusnya masih menjadi dosen tetap UGM tanpa pensiun. Ia merasa bahwa jawaban atas kekhawatiran ini adalah dengan membentuk serikat pekerja untuk mendorong transparansi dan klarifikasi.

Menanggapi keluhan dosen tersebut, Suadi selaku Direktur Sumber Daya Manusia UGM mengungkapkan mekanisme penyampaian keluhan dosen telah diatur tergantung pada tingkat permasalahannya. Dengan demikian, proses penyelesaiannya dapat dilakukan secara hierarkis melalui program studi, departemen, fakultas, atau universitas berdasarkan kesesuaian permasalahan. Ia juga menambahkan bahwa permasalahan hukum mengenai kegiatan belajar mengajar selama ini diistilahkan dengan audit internal. Mekanismenya dilakukan melalui evaluasi terhadap keseluruhan proses pengajaran khususnya lingkup program studi oleh asesor untuk melihat berbagai permasalahan pembelajaran, lanjut Suadi. 

Namun Suadi sendiri masih perlu memastikan efektivitasnya. “Apakah dilaksanakan atau tidak, saya tidak bisa memberikan jawaban secara kuantitatif,” ujarnya. Ia juga tidak bisa menjamin fungsinya dapat menampung seluruh pengaduan yang ada karena beragamnya sifat permasalahan. Selain itu, Suadi juga menjelaskan bahwa tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan mekanisme penyelesaian tersebut.

Dalam bayangan egosentrisme

Menurut pandangan Jimmy Irwansyah, dosen Universitas Indonesia (UI), berdasarkan konteks yang telah disebutkan sebelumnya, serikat dosen harus dibentuk untuk menggalang kekuatan dalam mengadvokasi hak-hak dosen sebagai pekerja. Menurutnya, permasalahan yang dihadapi dosen memerlukan upaya kolektif karena pekerjaan dosen melampaui individu. “Saya bisa mengajar di depan kelas karena dukungan teman-teman. Jelas ada masalah kolektif, ada kepentingan kolektif,” kata Jimmy yang aktif di komunitas Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik.

Melalui serikat dosen, menurut Dhiah Al-Uyyun, dosen hukum Universitas Brawijaya, permasalahan yang terjadi dapat diselesaikan secara kolektif sehingga menambah kekuatan dibandingkan penyelesaian individu. Untuk itu, menurutnya, serikat dosen merupakan salah satu cara untuk membebaskan hak-hak dosen yang direnggut.

Persoalannya, dosen cenderung tutup mulut dan menahan diri untuk tidak menyampaikan keluh kesah dan aspirasinya. “Dosen sejak awal dibekali perasaan takut, gelar pahlawan tanpa medali, terpaksa menerima apapun, sehingga mengakibatkan mereka tidak mau melawan,” ujarnya. Menurutnya, kecenderungan dosen untuk tutup mulut juga dipengaruhi oleh persepsi bahwa dosen adalah tenaga profesional yang memiliki status sosial lebih tinggi dibandingkan pekerjaan lain.

Selain itu, pembentukan serikat dosen di luar negeri sudah menjadi hal yang lumrah. Di Belanda, dosen bergerak secara kolektif ketika menghadapi permasalahan. Menurut Herlambang, dosen Fakultas Hukum UGM, ribuan dosen dan mahasiswa melakukan aksi protes untuk memperjuangkan haknya. Ia mengungkapkan, massa seperti itu efektif menghalangi diterimanya suatu usulan dan mengubah suatu keputusan.

Sayangnya, kondisi seperti itu tidak ada dalam iklim akademik di Indonesia. “Di sini dosen masih egosentris sehingga belum mampu membentuk kesadaran kolektif,” kata Uyyun. Ia menilai solidaritas belum terbentuk karena mereka masih bergerak secara individual dan menyampaikan gagasan secara sporadis. Selain itu, Uyyun menambahkan, para dosen tidak ada keinginan untuk menyampaikan pendapat atau permasalahan melalui forum.

Pendapat Jimmy memperkuat pernyataan ini: “Dosen adalah salah satu profesi yang paling individualistis.” Lebih lanjut, menurutnya seringkali dosen merasa dirinya bukan pekerja. Namun, mereka menerima penerimaan pajak tahunan yang menunjukkan bahwa mereka adalah pekerja bergaji. “Hal ini terlihat saat melakukan protes terhadap penetapan UU Cipta Kerja. Dalam hal ini kampus memposisikan dirinya sebagai sampel, bukan sebagai kritikus,” kata Jimmy.

Menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia, termasuk para dosen, tentu sulit dilakukan. Menurut Herlambang, hal ini terjadi karena tidak semua orang mengetahui pentingnya organisasi. Untuk menumbuhkan pemahaman kolektif, menurutnya bisa dimulai dari hal-hal kecil, “Kita bisa memulainya dengan mengamalkan tradisi kebebasan akademik di sekitar kita, seperti mengatakan apa yang perlu dikatakan,” ujarnya. 

Berdasarkan pengalaman Uyyun, banyak dosen yang ingin membentuk serikat pekerja. Namun, sebagian dari mereka merasa hal tersebut sulit untuk diwujudkan. “Perkumpulan dosen ini masih dianggap tabu di sebagian kalangan universitas,” jelasnya. Faktor lainnya, menurut Uyyun, adalah keengganan dosen menyelesaikan permasalahan yang menyangkut haknya dengan melakukan perlawanan melalui organisasi. Lebih lanjut, ia menilai hal ini disebabkan karena terbatasnya ruang kebebasan akademik yang dimiliki universitas.

Disadur dari: www.balairungpress.com

Selengkapnya
Kejatuhan Dosen karena Tidak Adanya Persatuan

Pendidikan

Pendidikan Kejuruan

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 09 Mei 2024


Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan manusia untuk mempunyai keterampilan sebagai perajin , berdagang , atau bekerja sebagai teknisi. Pendidikan kejuruan juga dapat dilihat sebagai jenis pendidikan yang diberikan kepada seseorang untuk mempersiapkan individu tersebut agar dapat bekerja atau bekerja mandiri dengan keterampilan yang diperlukan. Pendidikan kejuruan dikenal dengan berbagai nama, tergantung negara yang bersangkutan, antara lain pendidikan karir dan teknik, atau akronim seperti TVET (pendidikan dan pelatihan teknis dan kejuruan) dan TAFE (pendidikan teknis dan lanjutan).

Sekolah kejuruan adalah suatu jenis lembaga pendidikan yang dirancang khusus untuk menyelenggarakan pendidikan kejuruan. Pendidikan kejuruan dapat berlangsung pada jenjang pasca sekolah menengah , pendidikan lanjutan , atau pendidikan tinggi dan dapat berinteraksi dengan sistem pemagangan.

Pada tingkat pasca sekolah menengah, pendidikan kejuruan sering kali diberikan oleh sekolah perdagangan yang sangat terspesialisasi , sekolah teknik , community college , perguruan tinggi pendidikan lanjutan (UK), universitas kejuruan , dan institut teknologi (sebelumnya disebut institut politeknik).

Ringkasan 

Secara historis, hampir semua pendidikan kejuruan berlangsung di ruang kelas atau di tempat kerja, dengan siswa mempelajari keterampilan perdagangan dan teori perdagangan dari instruktur terakreditasi atau profesional yang sudah mapan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan kejuruan online semakin populer, membuat pembelajaran berbagai keterampilan perdagangan dan soft skill dari para profesional yang sudah mapan menjadi lebih mudah bagi siswa, bahkan mereka yang mungkin tinggal jauh dari sekolah kejuruan tradisional.

Tren telah muncul dalam penerapan TVET dan pengembangan keterampilan di seluruh dunia. Sejak akhir tahun 1980an dan seterusnya, sejumlah pemerintah mulai menekankan peran pendidikan dalam mempersiapkan peserta didik secara efektif untuk memasuki dunia kerja.

Aliran pemikiran ini, yang disebut "vokasionalisme baru", menempatkan kebutuhan keterampilan industri sebagai pusat diskusi mengenai tujuan pendidikan publik. TVET dan pengembangan keterampilan dipandang sebagai komponen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara umum dan mengatasi pengangguran kaum muda pada khususnya.

Sistem pendidikan umum belum efektif dalam mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan oleh banyak remaja dan orang dewasa untuk mendapatkan pekerjaan di industri. Pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an terjadi pengenalan dan perluasan kurikulum dan kursus kejuruan baru, yang seringkali dikembangkan melalui kerja sama dengan industri, dan peningkatan variasi jalur pembelajaran berbasis kerja yang ditawarkan kepada generasi muda.

Disadur dari: en.m.wikipedia.org

Selengkapnya
Pendidikan Kejuruan

Pendidikan

Permasalahan Pengangguran Menjadi Kenyataan Pahit Bagi Lulusan SMK Di Indonesia

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 09 Mei 2024


Lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) diharapkan memiliki keterampilan dan keahlian khusus sehingga lebih cepat mendapatkan pekerjaan setelah menyelesaikan studi. Namun kenyataannya, angka pengangguran di Indonesia didominasi oleh lulusan sekolah menengah kejuruan. Di sisi lain, jumlah tenaga kerja di Indonesia sebagian besar diisi oleh lulusan sekolah dasar.

Mengutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), SMK merupakan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada tingkat menengah sebagai perpanjangan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat. Tujuan pendidikan di SMK adalah membentuk lulusan yang siap memasuki dunia kerja, bekerja, atau berwirausaha.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terdapat 219.485 sekolah di Indonesia pada tahun ajaran 2022/2023. Dari jumlah tersebut, SMK berjumlah 14.265 unit, artinya naik tipis 0,46 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 14.199 unit.

Lulusan SMK diharapkan mampu bersaing dalam mendapatkan pekerjaan. Namun kenyataannya berkata sebaliknya. Berdasarkan data BPS hingga Februari 2023, terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Pengangguran tertinggi masih lulusan SMK sebesar 9,60 persen, sedangkan lulusan SMA sebesar 7,69 persen.

Pada tahun 2021, lulusan vokasi tertinggi menyumbang 11,45 persen dari total 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Pada tahun 2023 turun menjadi 9,60 persen. Artinya, selama dua tahun terakhir upaya pemerintah menggenjot pendidikan vokasi hanya berhasil menurunkan 1,85 persen pengangguran SMK.

Menurut Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud Anindito Aditomo mengatakan, banyaknya angka pengangguran lulusan SMK disebabkan oleh multifaktor. Yang pertama adalah ketersediaan pekerjaan itu sendiri. Diakui Anindito, pandemi COVID-19 berdampak pada perekonomian, namun selain itu kesenjangan pendidikan di sekolah dengan kebutuhan dunia kerja juga menjadi salah satu faktornya.

“Dari segi pendidikan sendiri masih terjadi amiss match, kesenjangan. Jadi masih belum menghubungkan apa yang dipelajari di SMK dengan apa yang dibutuhkan di dunia kerja,” kata Anindito.

Untuk itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Kurikulum Merdeka melakukan penyempurnaan kurikulum guna memenuhi kompetensi lulusan vokasi yang dibutuhkan dunia kerja.

“Kalau kurikulumnya kaku, lulusan SMK tidak bisa cepat beradaptasi dengan dunia kerja atau dunia industri,” jelasnya. “Kurikulum mandiri memberikan lebih banyak ruang praktik dan praktisi untuk mengajar,” kata Anindito lagi.

Di sisi lain, Koordinator Nasional Persatuan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyayangkan tiga calon presiden yakni Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo tidak menyinggung persoalan tersebut pada Debat Kelima Pilpres 2024. Pemilu. Padahal debat terakhir mengangkat tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kebudayaan, teknologi informasi, serta kesejahteraan dan inklusi sosial.

Melihat perdebatan calon presiden mengenai persoalan pendidikan, P2G menilai belum menyentuh persoalan fundamental pendidikan nasional, kata Satriwan. Selain itu, Debat Capres pada akhir pekan lalu juga tidak memberikan solusi atas fakta bahwa saat ini tenaga kerja lulusan sekolah dasar masih mendominasi.

BPS menunjukkan hingga tahun 2023, secara angkatan, angkatan kerja lulusan SD 39,76 persen, lulusan SMA 19,18 persen, lulusan SMP 18,24 persen, sisanya lulusan Perguruan Tinggi D1-3 2,20 persen dan D4, S1, S2, S3 sebesar 9,13 persen. . Artinya produktivitas tenaga kerja Indonesia masih dihasilkan oleh lulusan sekolah dasar.

"Mengapa penyerapan tenaga kerja lulusan SD masih dominan? Semakin tinggi jenjangnya maka angkatan kerja semakin banyak. Seharusnya ini bisa dijawab di Debat Capres, tapi jangan disentuh," kata Satriwan lagi.

Sementara itu, menurut Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari, hal tersebut menjadi tantangan pemerintah dalam mengatasi pengangguran intelektual yang kini marak terjadi di Indonesia.

“Pengangguran masyarakat terpelajar, itu yang kita hadapi sekarang, jadi pendidikan rendah tidak bisa lebih sejahtera, sedangkan pendidikan sulit mendapat pekerjaan, itu masalahnya,” kata Dita.

Selain itu, Dita juga mengatakan, alasan lulusan SD dan SMP lebih sedikit pengangguran karena mereka memiliki daya bertahan hidup yang lebih tinggi sehingga lebih mudah menerima pekerjaan apa pun.

“Jadi SD dan SMP punya daya bertahan lebih besar, punya kemampuan menerima pekerjaan apa pun, jangan terlalu memilih, yang penting bekerja, itulah yang membuat angka pengangguran didominasi oleh jenjang SMA, SMK,” ucap Dita menjelaskan.

Disadur dari: voi.id

Selengkapnya
Permasalahan Pengangguran Menjadi Kenyataan Pahit Bagi Lulusan SMK Di Indonesia
« First Previous page 9 of 46 Next Last »