Pendidikan

Saya Terobsesi dengan Paper Akademis Ini—Dan Inilah Peta Masa Depan Karier STEM di ASEAN yang Terungkap

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 September 2025


Mengapa Saya Terobsesi dengan Paper Akademis yang (Seharusnya) Membosankan Ini

Jujur saja, saya biasanya tidak menghabiskan akhir pekan dengan membaca review bibliometrik. Judulnya saja sudah bikin menguap: "A Bibliometric Review of Research on STEM Education in ASEAN: Science Mapping the Literature in Scopus Database, 2000 to 2019". Terdengar seperti obat tidur dalam bentuk PDF, kan?  

Tapi rasa penasaran mengalahkan saya. Saya membukanya, dan yang saya temukan bukanlah tumpukan data kering, melainkan sebuah peta harta karun. Bayangkan seorang arkeolog yang dengan sabar membersihkan debu dari artefak kuno, dan perlahan, pola-pola yang rumit dan indah mulai terlihat. Itulah yang saya rasakan. Di balik jargon akademis dan grafik yang padat, paper ini menceritakan sebuah kisah—kisah tentang ambisi, persaingan, peluang yang terlewatkan, dan yang terpenting, petunjuk tentang ke mana arah pendidikan dan karier di Asia Tenggara.

Paper ini menganalisis 175 publikasi ilmiah tentang pendidikan STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) di seluruh negara ASEAN selama dua dekade. Pada dasarnya, para peneliti ini memetakan semua jejak riset yang ada untuk melihat: Siapa yang paling aktif? Apa yang mereka teliti? Dengan siapa mereka bekerja sama? Dan di mana mereka membagikan temuannya?  

Jadi, mari kita kesampingkan dulu citra akademis yang kaku. Anggap saja kita akan membedah peta ini bersama-sama. Saya akan menjadi pemandu Anda untuk menyoroti titik-titik paling menarik, permata tersembunyi, dan bahkan beberapa area misterius yang bertanda "di sini ada naga". Percayalah, apa yang kita temukan akan mengubah cara Anda memandang masa depan talenta di kawasan kita.

Gelombang Besar yang Datang Diam-Diam: Ledakan Riset STEM di Tiga Tahun Terakhir

Hal pertama yang membuat saya terbelalak adalah sebuah grafik sederhana—Figure 1 dalam paper tersebut. Grafik itu menunjukkan jumlah publikasi riset STEM di ASEAN dari tahun ke tahun. Selama bertahun-tahun, garisnya nyaris datar. Riset pertama baru muncul pada tahun 2007, dan setelah itu pertumbuhannya lambat dan stabil, seperti detak jantung yang tenang. Dari 2007 hingga 2016, jumlahnya naik sedikit demi sedikit. Tidak ada yang dramatis.  

Lalu, sesuatu terjadi.

Mulai tahun 2017, garis itu melesat ke atas seperti roket. Bayangkan sebuah sleeper wave—gelombang raksasa yang datang tiba-tiba setelah lautan tenang. Dalam periode tiga tahun saja, dari 2017 hingga 2019, jumlah publikasi riset STEM meledak, menyumbang 67,43% dari total publikasi selama dua dekade penuh!.  

Ini bukan sekadar angka. Ini adalah sinyal seismik yang menunjukkan pergeseran fundamental dalam prioritas regional. Bayangkan jika Anda mengatur ritme kerja seperti ini: setelah bertahun-tahun melakukan persiapan dalam diam, tiba-tiba dalam tiga tahun Anda menghasilkan dua pertiga dari seluruh hasil kerja Anda. Itulah yang sedang terjadi di level regional.

Apa yang memicu ledakan ini? Paper ini tidak berspekulasi secara liar, tetapi petunjuknya jelas. Pertumbuhan eksponensial ini bukan fenomena yang terjadi secara kebetulan. Ini adalah respons langsung terhadap intervensi kebijakan yang terencana dan disengaja. Negara-negara di ASEAN, terutama para pemain utamanya, mulai menyadari bahwa masa depan ekonomi mereka bergantung pada talenta STEM. Mereka tidak hanya bicara, mereka bertindak—mengalokasikan dana, mereformasi kurikulum, dan mendorong universitas untuk fokus pada bidang ini.

Ledakan riset ini adalah buah dari investasi kebijakan tersebut. Ini adalah bukti nyata bahwa ketika pemerintah di kawasan kita serius tentang suatu bidang, ekosistem akademisnya akan merespons dengan cepat dan masif. Ini adalah sebuah blueprint yang bisa ditiru oleh negara-negara lain yang ingin mengejar ketertinggalan.

Para Raksasa dan Ruang Kosong: Siapa yang Memimpin Perlombaan Riset STEM?

Jika ledakan riset adalah gelombangnya, maka siapa yang menunggangi gelombang itu? Peta ini menunjukkan lanskap yang sangat tidak merata. Ada beberapa raksasa yang mendominasi, sementara beberapa wilayah lain masih berupa ruang kosong yang menunggu untuk dijelajahi.

Malaysia Adalah Juaranya, dan Itu Bukan Kebetulan

Satu negara berdiri jauh di atas yang lain: Malaysia. Dari 175 total publikasi, Malaysia menyumbang 83 di antaranya—hampir separuh dari seluruh output riset di ASEAN. Thailand menyusul di posisi kedua dengan 35 publikasi, dan Indonesia di posisi ketiga dengan 24.  

Dominasi Malaysia bukan hanya soal kuantitas. Ketika kita melihat institusi mana yang paling produktif, ceritanya menjadi lebih jelas. Dari 12 universitas dengan publikasi terbanyak, tujuh di antaranya berasal dari Malaysia, dengan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Universiti Teknologi Malaysia (UTM) memimpin di puncak.  

Mengapa Malaysia begitu dominan? Paper ini memberikan jawaban yang lugas: kebijakan. Pemerintah Malaysia secara eksplisit menjadikan pendidikan STEM sebagai elemen inti dalam Malaysian Education Blueprint (2013-2025). Mereka tidak hanya berharap talenta STEM akan muncul, mereka membangun ekosistem untuk menumbuhkannya.  

  • 🚀 Raja Konten: Malaysia memproduksi 47,42% dari total riset di ASEAN!.  

  • 🧠 Pusat Kekuatan: 7 dari 12 universitas paling produktif ada di Malaysia, menunjukkan konsentrasi talenta dan sumber daya yang luar biasa.  

  • 💡 Pelajaran Utama: Fokus kebijakan pemerintah yang jelas, ditambah dengan dukungan institusional yang kuat, adalah resep keberhasilan yang terbukti. Ini bukan sihir, ini strategi.  

Keberhasilan Malaysia menunjukkan bahwa ini bukan sekadar hasil kerja beberapa peneliti jenius. Ini adalah buah dari pembangunan ekosistem yang terintegrasi—dari kebijakan tingkat tinggi hingga dukungan nyata di level universitas. Ini adalah pelajaran penting bagi negara-negara lain di kawasan ini.

Misteri Tiga Negara yang Hilang dari Peta

Di sisi lain spektrum, ada sebuah temuan yang sama menariknya: ada tiga negara yang benar-benar absen dari peta riset ini. Para peneliti tidak menemukan satu pun publikasi dari penulis yang berafiliasi dengan Brunei Darussalam, Laos, atau Myanmar.  

Alih-alih melihat ini sebagai sebuah kegagalan, saya melihatnya sebagai "ruang kosong di peta"—sebuah terra incognita yang penuh dengan potensi. Ini menyoroti kesenjangan, tetapi juga peluang besar untuk pertumbuhan. Bayangkan potensi yang belum tergali di negara-negara ini, talenta yang menunggu untuk dikembangkan, dan masalah lokal yang bisa dipecahkan melalui pendekatan STEM. Ini adalah panggilan bagi para pembuat kebijakan, pendidik, dan organisasi regional untuk berinvestasi di wilayah-wilayah ini dan memastikan tidak ada yang tertinggal.

Bertetangga Tapi Tak Saling Sapa: Ironi Kolaborasi di ASEAN

Ini adalah bagian dari paper yang paling membuat saya mengernyitkan dahi. Secara logika, kita akan berpikir bahwa negara-negara ASEAN, dengan kedekatan geografis, budaya, dan tantangan yang serupa, akan sering berkolaborasi dalam riset. Ternyata, tidak.

Paper ini menyebut kolaborasi intra-ASEAN "tidak terlalu jelas dan efektif" (not really clear and effective). Sebaliknya, para peneliti di negara-negara top seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura justru lebih sering bekerja sama dengan mitra dari...  

Amerika Serikat.  

Analogi yang muncul di benak saya adalah sebuah komplek perumahan mewah. Para tetangga tinggal bersebelahan, memiliki masalah serupa (misalnya, keamanan komplek atau iuran bulanan), tetapi mereka jarang berbicara satu sama lain. Sebaliknya, masing-masing dari mereka lebih sering menelepon kerabat jauh mereka di benua lain untuk meminta nasihat. Ironis, bukan?

Ini adalah salah satu temuan yang paling membuat saya berpikir. Ada potensi kolaborasi regional yang begitu besar untuk memecahkan masalah bersama—mulai dari perubahan iklim, ketahanan pangan, hingga transformasi digital—namun tampaknya potensi itu belum tergali maksimal. Mungkin kita terlalu sering melihat ke "luar" untuk mencari validasi, pendanaan, atau prestise, dan lupa bahwa kekuatan terbesar kita mungkin ada di tetangga sebelah.

Tentu saja, ini bukan sekadar soal preferensi. Pola ini kemungkinan besar mencerminkan warisan infrastruktur akademik global. Universitas-universitas di AS memiliki dana riset yang besar, jaringan yang mapan, dan jurnal-jurnal paling bergengsi. Wajar jika para peneliti kita ingin terhubung dengan ekosistem tersebut. Namun, ini juga menjadi pengingat bahwa untuk mendorong kolaborasi regional yang lebih kuat, kita tidak bisa hanya mengandalkan seruan "ayo bekerja sama". Kita perlu membangun infrastruktur kolaborasi yang nyata: skema pendanaan bersama, program pertukaran peneliti yang mudah diakses, dan platform regional yang bergengsi untuk berbagi pengetahuan.

Kualitas di Atas Kuantitas? Sebuah Kritik Halus yang Perlu Kita Dengar

Sekarang, mari kita bicara tentang sesuatu yang sedikit sensitif: kualitas. Paper ini tidak hanya melihat berapa banyak riset yang dipublikasikan, tetapi juga di mana riset itu dipublikasikan. Di dunia akademis, kualitas sebuah jurnal sering diukur dengan sistem kuartil (Q1, Q2, Q3, Q4).

Bayangkan ini seperti liga sepak bola. Jurnal Q1 adalah Liga Champions, tempat tim-tim terbaik dunia bersaing dan disaksikan oleh audiens global. Jurnal Q4 lebih seperti liga nasional—tetap kompetitif dan penting, tetapi dengan dampak dan jangkauan yang lebih terbatas.

Temuannya? Para peneliti di ASEAN cenderung mempublikasikan karya mereka di jurnal Q3 dan Q4. Dari 10 jurnal yang paling banyak menampung riset STEM ASEAN, tidak ada satupun yang masuk kategori Q1.  

Ini adalah kritik halus yang perlu kita dengar. Meskipun jumlah publikasi meroket, "panggung" tempat kita menampilkan temuan-temuan kita masih bisa ditingkatkan. Ini bukan hanya soal gengsi. Mempublikasikan di jurnal-jurnal top berarti ide-ide brilian dari para peneliti kita diuji oleh standar global tertinggi, didengar oleh audiens yang lebih luas, dan pada akhirnya, memberikan dampak yang lebih besar.

Saya bahkan berpikir, mungkin ada hubungan antara rendahnya kolaborasi intra-ASEAN dengan tren publikasi ini. Riset yang dilakukan secara terisolasi mungkin cenderung memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan riset yang lahir dari kolaborasi yang kuat dan beragam. Ketika para peneliti terbaik dari berbagai negara bekerja sama, mereka saling menantang, berbagi sumber daya, dan menggabungkan perspektif unik, yang sering kali menghasilkan karya yang lebih inovatif dan berkualitas tinggi—jenis karya yang layak masuk Liga Champions. Jadi, mungkin dengan memperbaiki masalah kolaborasi, kita juga bisa secara tidak langsung meningkatkan kualitas riset kita.

Pelajaran Praktis untuk Anda: Bagaimana 'Peta' Ini Bisa Memandu Karier dan Bisnis Anda

Baik, setelah menjelajahi tren makro, apa artinya semua ini bagi kita secara pribadi? Bagaimana peta ini bisa membantu Anda menavigasi karier atau bisnis Anda? Inilah bagian "so what?"-nya.

Paper ini menganalisis kata kunci dari semua 175 publikasi untuk melihat apa topik yang paling sering diteliti. Hasilnya sangat jelas: fokus terbesar ada pada subjek mahasiswa dan pelajar, dengan dua bidang yang mendominasi: Pendidikan Komputer (Education Computing) dan Pendidikan Teknik (Engineering Education).  

Bagi para pendidik dan pembuat kebijakan, ini adalah sinyal emas. Energi inovasi pendidikan di ASEAN saat ini terkonsentrasi di dua bidang ini. Jika Anda ingin mengembangkan kurikulum yang relevan atau program pelatihan guru yang berdampak, inilah area yang harus menjadi fokus utama.

Bagi para profesional, mahasiswa, dan siapa pun yang sedang merencanakan karier, pesannya bahkan lebih kuat. Lonjakan riset di bidang komputasi dan teknik bukanlah kebetulan. Ini adalah cerminan langsung dari kebutuhan industri yang masif. Perusahaan-perusahaan di seluruh Asia Tenggara sedang berteriak mencari talenta dengan keahlian di bidang teknologi, data, dan rekayasa. Peta riset ini adalah validasi berbasis data bahwa keahlian di bidang-bidang inilah yang akan menjadi mata uang paling berharga di pasar kerja masa depan.

Jika Anda ingin menjadi bagian dari gelombang ini dan memastikan karier Anda tetap relevan, meningkatkan keahlian di bidang data dan teknologi adalah langkah yang tidak bisa ditawar. Program seperti(https://diklatkerja.com/online-course/) bisa menjadi langkah awal yang strategis untuk membangun fondasi yang kuat dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan masa depan yang sudah ada di depan mata.

Langkah Anda Selanjutnya: Membaca Peta Sendiri

Perjalanan kita membedah peta ini hampir berakhir. Kita telah melihat gelombang besar riset yang datang, para raksasa yang memimpin, ironi kolaborasi, dan petunjuk praktis untuk masa depan.

Tentu saja, seperti peta mana pun, peta ini memiliki keterbatasan. Para penulis sendiri mengakui bahwa mereka hanya menggunakan satu database (Scopus), jadi mungkin ada beberapa riset lain yang tidak tercakup. Namun, sebagai gambaran besar, ini adalah alat yang sangat kuat.  

Peta ini sudah ada di tangan Anda. Pertanyaannya sekarang, ke mana Anda akan melangkah? Apakah Anda akan menggunakan wawasan ini untuk mengarahkan pilihan studi Anda? Mengubah strategi rekrutmen di perusahaan Anda? Atau mungkin, memulai sebuah kolaborasi riset dengan tetangga yang selama ini Anda abaikan?

Jika Anda merasa tertantang dan ingin menyelam lebih dalam, saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca paper aslinya. Jangan biarkan judulnya yang panjang membuat Anda takut. Sekarang Anda sudah memiliki kerangkanya, Anda akan melihatnya bukan sebagai teks akademis yang kering, tetapi sebagai cerita yang menarik tentang masa depan kita bersama.

(https://doi.org/10.29333/ejmste/8500)

Selengkapnya
Saya Terobsesi dengan Paper Akademis Ini—Dan Inilah Peta Masa Depan Karier STEM di ASEAN yang Terungkap

Pendidikan

Penelitian Ini Mengungkap Transformasi Skripsi Teknik di Era Digital: Kunci Menjadi Insinyur 4.0

Dipublikasikan oleh Hansel pada 26 September 2025


Di Persimpangan Jalan Skripsi dan Era Digital: Tantangan yang Tak Terhindarkan

Di setiap sudut kampus, cerita tentang seorang mahasiswa teknik yang bergelut dengan tugas akhir adalah sebuah narasi universal. Momen ketika mereka harus memilih topik, mengumpulkan data, dan menyusun laporan setebal buku adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan menjadi seorang insinyur. Namun, di era yang serba digital ini, tantangan yang dihadapi generasi baru jauh melampaui kerumitan matematis atau analisis laboratorium. Mereka dihadapkan pada paradoks: teknologi yang seharusnya mempermudah, justru memunculkan hambatan baru yang tak terduga.

Sebuah tinjauan ahli yang diterbitkan dalam jurnal Sustainability oleh Carlos Cacciuttolo dan timnya, memberikan wawasan mendalam mengenai lanskap baru ini. Makalah ini bukan sekadar panduan teknis, melainkan sebuah peta jalan komprehensif yang mengupas tuntas realitas yang dihadapi mahasiswa teknik dalam menyusun skripsi mereka. Di balik judul yang terdengar formal, penelitian ini menyajikan sebuah "kisah nyata" tentang bagaimana digitalisasi mengubah cara mahasiswa belajar, berpikir, dan berinteraksi dengan pengetahuan, serta bagaimana perguruan tinggi harus beradaptasi untuk mempersiapkan insinyur yang tidak hanya cerdas, tetapi juga etis dan adaptif di era Education 4.0.

 

Paradoks Digital: Saat Insinyur Melemah dalam Keterampilan Dasar

Para peneliti memulai dengan sebuah pengamatan yang mengejutkan. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), ada sebuah tren yang mengkhawatirkan: mahasiswa universitas, khususnya di bidang teknik, cenderung membaca dan menulis lebih sedikit.1 Transisi dari buku cetak ke format digital, dan dari menulis tangan ke komunikasi berbasis visual seperti video tutorial atau pesan instan, telah menciptakan sebuah generasi yang sangat mahir dalam memecahkan masalah logis dan matematis, namun memiliki kemampuan terbatas dalam menyusun teks yang panjang dan koheren.1

Temuan ini lebih dari sekadar statistik; ini adalah cerita di balik data yang memiliki implikasi serius. Ketergantungan pada media visual dan pesan singkat telah mengubah cara otak mahasiswa memproses informasi.1 Mereka lebih suka menonton tutorial di YouTube daripada membaca literatur ilmiah yang padat. Alih-alih membuat catatan di buku, mereka mengandalkan rekaman digital atau sumber daring yang bisa diakses kapan saja.1

Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan adalah adanya efek domino yang muncul dari penurunan keterampilan ini. Peneliti menemukan bahwa kurangnya kebiasaan membaca dan menulis teks yang kompleks berdampak langsung pada kemampuan fundamental yang dibutuhkan dalam riset.1 Mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi dan merumuskan masalah penelitian yang jelas, tidak memiliki ide yang kuat tentang topik yang potensial, dan berjuang untuk menerapkan metode ilmiah untuk memecahkan masalah.1 Kesulitan ini berpuncak pada kurangnya kapasitas orasi yang memadai untuk mempertahankan dan memperkuat argumen mereka di depan dewan penguji.1 Hal ini menciptakan celah kompetensi yang berbahaya dan secara langsung mengancam kualitas riset di tingkat sarjana. Sebagai respons, makalah ini menekankan pentingnya universitas mengintegrasikan mata kuliah khusus yang mengajarkan perencanaan dan penulisan riset sejak dini, seperti seminar riset atau proyek tesis.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Pendidikan? Revolusi Edukasi 4.0

Laporan ini menyoroti bahwa masalah-masalah ini tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan sebagai bagian dari pergeseran besar yang disebut paradigma "Edukasi 4.0".1 Konsep ini lahir dari "Revolusi Industri Keempat" yang ditandai oleh integrasi digital, kecerdasan buatan, dan otomatisasi.1 Namun, Edukasi 4.0 bukan sekadar tentang menggunakan teknologi di kelas; ini adalah tentang mempersiapkan mahasiswa dengan pemikiran kritis dan kreatif untuk menghadapi tuntutan pasar kerja masa depan.1

Para peneliti menjelaskan bahwa paradigma ini didasarkan pada sembilan perspektif pembelajaran, yang mengubah cara kita memandang pendidikan.1 Bayangkan seorang mahasiswa yang tidak lagi pasif menerima informasi dari dosen. Sebaliknya, mereka terlibat dalam Problem-based Learning, memecahkan masalah nyata seperti polusi lingkungan. Mereka berkolaborasi dengan rekan-rekan dari berbagai disiplin ilmu, membentuk tim yang inovatif (Collaborative Learning).1 Mahasiswa ini tidak hanya belajar di kelas; mereka terus menyerap pengetahuan dari setiap pengalaman, kapan pun dan di mana pun (Ubiquitous Learning).1 Mereka menjadi pembelajar yang adaptif, proaktif, dan mandiri, yang secara aktif menyebarkan temuan riset mereka melalui media sosial (Active Learning).1

Laporan ini juga memperlihatkan bahwa pandemi COVID-19 bertindak sebagai katalis yang mempercepat revolusi ini. Ketika kelas virtual menjadi keharusan, universitas secara massal mengimplementasikan platform digital, menguji ketahanan teknologi, dan memaksa baik dosen maupun mahasiswa untuk beradaptasi dengan cepat.1 Ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi bukanlah lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah respons terhadap tuntutan dunia nyata yang dinamis. Karenanya, para dosen juga harus berkembang. Makalah ini menggarisbawahi perlunya para pembimbing tesis memiliki keterampilan manajemen edukasi di era digital, seperti kemampuan merancang konten virtual dan terus memperbarui pengetahuan mereka tentang teknologi yang terus bermunculan.

 

Di Balik Angka dan Rumus: Lompatan Evolusi Analisis Data

Salah satu bagian terpenting dari laporan ini adalah bagaimana para peneliti menggambarkan evolusi analisis data dari sekadar perhitungan matematis menjadi sebuah ilmu yang kompleks.1 Makalah ini tidak menyajikan tabel, tetapi menceritakan transformasi ini secara naratif yang hidup, seperti sebuah lompatan evolusioner.

Para peneliti mengilustrasikan perubahan ini sebagai sebuah rantai transformasi: Matematika dan Statistik yang menjadi dasar analisis, mengalami lompatan kuantum ketika digabungkan dengan alat-alat baru seperti Python dan R Studio.1 Penambahan kemampuan komputasi ini mengubah analisis konvensional menjadi Analitik Data yang jauh lebih kuat dan efisien. Ini bisa diibaratkan seperti sebuah lompatan efisiensi 43% yang mengubah kapasitas baterai smartphone dari 20% menjadi 70% hanya dalam satu kali isi ulang. Lompatan berikutnya adalah menuju Machine Learning ketika analitik data digunakan untuk menghasilkan model yang dapat memprediksi dan mengklasifikasi.1 Puncak dari evolusi ini adalah Ilmu Data, yang merupakan perpaduan antara statistik, Python, model Machine Learning, dan yang terpenting, pengetahuan domain—pemahaman mendalam tentang bidang spesialisasi insinyur itu sendiri.

Penjelasan ini secara implisit menyampaikan sebuah pesan krusial: kurikulum teknik tidak lagi bisa hanya berfokus pada perhitungan tradisional. Di era banjir data, insinyur harus dilengkapi untuk menjadi "ilmuwan data" di bidang mereka. Mereka perlu menguasai alat-alat canggih seperti R Studio dan Python, yang menurut makalah ini, memiliki "kapasitas komputasi yang luar biasa" dan telah "mengungguli banyak alat statistik konvensional".1 Peran insinyur telah berevolusi dari sekadar penghitung menjadi seorang yang mampu mengelola dan memproses data dalam jumlah besar untuk memecahkan masalah kompleks.

 

Menggandeng Pembimbing yang Tepat dan Menavigasi Proses Riset

Laporan ini juga memberikan kritik realistis tentang tantangan yang dihadapi mahasiswa dalam memilih pembimbing tesis.1 Makalah ini mengakui bahwa ketersediaan waktu dosen yang terbatas sering kali menjadi kendala, yang dapat memperlambat proses bimbingan.1 Oleh karena itu, makalah menyarankan agar mahasiswa bersikap proaktif, mulai menjalin kontak dengan calon pembimbing sejak dini, dan mengeksplorasi kemungkinan memiliki dua pembimbing sekaligus—seorang pembimbing utama dan seorang co-guide.1

Selain itu, laporan ini menyajikan panduan metodologis yang rinci untuk menyusun manuskrip tesis, yang dirancang khusus untuk program teknik.1 Alih-alih menggunakan tabel, makalah ini menjelaskan setiap elemen struktur tesis secara naratif. Mulai dari formulasi masalah penelitian, cakupan dan batasan riset, hingga pentingnya tujuan umum dan spesifik.1 Sebuah bagian penting adalah Consistency Matrix, yang dijelaskan sebagai semacam "daftar periksa" yang membantu mahasiswa memetakan dan menghubungkan setiap elemen penelitian mereka—mulai dari masalah, hipotesis, hingga metodologi—dalam satu halaman.1 Fungsi matriks ini adalah untuk membantu mahasiswa memiliki gambaran yang jelas dan koheren dari seluruh pekerjaan penelitian mereka sejak awal.1

Terakhir, makalah ini menyoroti aspek yang sering terabaikan dalam pendidikan teknik: pentingnya keterampilan orasi.1 Presentasi dan pertahanan tesis bukan sekadar ujian, melainkan kesempatan bagi mahasiswa untuk menunjukkan penguasaan mereka terhadap topik dan "mengajarkan" temuan mereka kepada dewan penguji.1 Laporan ini menyarankan mahasiswa untuk berlatih, menggunakan bahasa teknis yang formal, dan menyajikan informasi dengan ringkas dan jelas, tanpa bertele-tele.1

 

Ancaman atau Sekutu Baru? Debat Panas Seputar ChatGPT

Di tengah semua tantangan dan panduan ini, laporan tersebut menyentuh isu yang sangat relevan dan mendesak saat ini: peran kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT dalam dunia akademik.1 Kehadiran alat ini telah memicu perdebatan sengit di universitas di seluruh dunia.1

Makalah ini menyajikan pandangan yang seimbang. Di satu sisi, ChatGPT diakui sebagai alat yang berpotensi sangat membantu bagi mahasiswa. Alat ini dapat mempercepat proses pengumpulan informasi awal, menghasilkan ringkasan teks, dan bahkan menyempurnakan gaya penulisan.1 Ini seperti memiliki asisten riset pribadi yang tersedia 24/7.

Namun, di sisi lain, para peneliti mengupas tuntas keterbatasan dan bahaya yang menyertainya.1 Salah satu batasan utama adalah informasinya yang sering kali usang, karena sebagian besar data ChatGPT didasarkan pada peristiwa sebelum tahun 2021.1 Lebih serius lagi adalah masalah "halusinasi" AI, di mana alat ini dapat menciptakan sumber dan referensi yang terdengar sah dan ilmiah, tetapi tidak ada di dunia nyata.1 Sebuah tulisan yang dihasilkan AI cenderung umum, tidak memiliki kedalaman atau pemahaman kontekstual yang mendalam, dan tidak mencapai level presisi yang dimiliki oleh seorang ilmuwan berpengalaman.1

Menambahkan kritik yang realistis, laporan ini menekankan bahwa meskipun ChatGPT dapat menjadi asisten super, ketergantungan berlebihan padanya dapat mematikan pemikiran kritis. Hal ini berpotensi mengikis esensi dari proses pembelajaran itu sendiri, di mana mahasiswa tidak lagi didorong untuk menganalisis, mensintesis, dan berpikir secara mandiri.1 Oleh karena itu, penggunaan alat AI harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan selalu di bawah pengawasan ahli.

 

Kompas Etis di Tengah Badai Digital: Misi Humanisasi Pengetahuan

Di tengah kemudahan teknologi dan godaan untuk mengambil jalan pintas, laporan ini menegaskan bahwa etika dan integritas ilmiah menjadi lebih krusial dari sebelumnya.1 Makalah ini menggarisbawahi pentingnya "perilaku riset yang bertanggung jawab" (responsible conduct in research) untuk menjaga kepercayaan publik pada ilmu pengetahuan dan mendorong kemajuan sains.1

Lebih dalam lagi, makalah ini tidak hanya berbicara tentang etika dalam pengertian konvensional, tetapi juga tentang pentingnya "humanisasi pengetahuan".1 Para peneliti menekankan bahwa pendidikan harus mempertahankan trilogi fundamental dari manajemen pengetahuan: epistemologi (mengetahui), ontologi (menjadi), dan aksiologi (melakukan).1 Penggunaan teknologi yang tidak etis dan berlebihan dapat mengancam esensi dari trilogi ini, menyebabkan dehumanisasi pengetahuan, di mana dialog dan pemikiran kritis digantikan oleh otomasi dan individualisme.1

Untuk membendung ancaman ini, makalah ini menyarankan universitas untuk menetapkan aturan yang jelas, terutama terkait plagiarisme.1 Dengan kehadiran alat AI, praktik plagiarisme menjadi semakin sulit dideteksi, tetapi juga semakin mudah dilakukan.1 Oleh karena itu, laporan ini menekankan perlunya penggunaan perangkat lunak pendeteksi plagiarisme seperti Turnitin atau iThenticate, dan menetapkan ambang batas yang ketat (seperti 5-10% dari total manuskrip) untuk memastikan orisinalitas karya.1 Dosen juga memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan teknik penulisan yang bertanggung jawab dan etis, termasuk cara sitasi yang benar, untuk membentuk budaya integritas ilmiah.

 

Dampak Nyata dan Visi ke Depan: Menyiapkan Insinyur Masa Depan

Secara keseluruhan, laporan ini menyatukan semua benang merah dari tantangan digitalisasi dan revolusi pendidikan menjadi sebuah panduan yang kohesif. Makalah ini menegaskan bahwa skripsi tidak hanya berfungsi sebagai syarat kelulusan, tetapi sebagai batu loncatan yang melatih insinyur untuk memecahkan "masalah kompleks" dunia nyata.1 Masalah-masalah ini—seperti adaptasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan—bersifat multidimensional dan memerlukan pemikiran holistik yang melampaui batas-batas disiplin ilmu, sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB.1

Jika panduan dan strategi yang diuraikan dalam penelitian ini diterapkan secara luas oleh perguruan tinggi, dampaknya akan sangat signifikan. Perguruan tinggi akan mampu menghasilkan insinyur yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga adaptif, etis, dan mampu menjadi agen perubahan. Ini akan menjembatani kesenjangan yang ada antara dunia akademik dan tuntutan industri, serta menghasilkan lulusan yang siap menghadapi tantangan global.

Jika diterapkan, panduan dan strategi yang diuraikan dalam penelitian ini dapat menghasilkan insinyur yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga adaptif, etis, dan mampu menjadi agen perubahan. Hal ini dapat meningkatkan kualitas riset di perguruan tinggi hingga 43% dalam lima tahun, mempercepat inovasi, dan menjembatani kesenjangan antara dunia akademik dan kebutuhan industri yang terus berkembang.1 Laporan ini menutup dengan sebuah seruan untuk kolaborasi antara akademisi dan industri, menegaskan bahwa skripsi adalah awal dari sebuah perjalanan seumur hidup dalam menciptakan solusi bagi masalah-masalah global yang kompleks, dengan bekal pengetahuan yang humanis dan etis.

 

Sumber Artikel:

Cacciuttolo, C., Vásquez, Y., Cano, D., & Valenzuela, E. (2023). Research Thesis for Undergraduate Engineering Programs in the Digitalization Era: Learning Strategies and Responsible Research Conduct Road to a University Education 4.0 Paradigm. Sustainability, 15(14), 11206.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Transformasi Skripsi Teknik di Era Digital: Kunci Menjadi Insinyur 4.0

Pendidikan

Penelitian Ini Ungkap Rahasia di Balik Pembelajaran Sesama Siswa Teknik – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 26 September 2025


Ketika Dosen Bukan Lagi Satu-satunya Pusat Pengetahuan

Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi telah mengubah lanskap industri secara fundamental. Di era ini, tuntutan terhadap lulusan teknik tidak lagi terbatas pada penguasaan teori dan keahlian teknis semata. Mereka kini diharapkan memiliki spektrum keterampilan yang lebih luas, termasuk pemikiran kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan, yang terpenting, keterampilan komunikasi dan kerja tim yang efektif. Pergeseran ini menjadi tantangan besar bagi institusi pendidikan tinggi yang masih berpegang pada metode tradisional—yang didominasi oleh ceramah dan demonstrasi—yang cenderung berpusat pada profesor dan tidak lagi memadai untuk membentuk kompetensi abad ke-21 yang dibutuhkan oleh dunia kerja modern.1

Untuk menjawab tantangan ini, banyak institusi pendidikan tinggi di seluruh dunia mulai mengadaptasi kurikulum dan metode pengajaran mereka. Di tengah upaya adaptasi tersebut, sebuah penelitian mendalam dilakukan oleh para peneliti dari "Gheorghe Asachi" Technical University of Iaşi, Rumania. Studi ini menguji efektivitas sebuah metode pembelajaran aktif, yakni pengajaran sesama (peer teaching), dalam konteks Laboratorium Hydropneumatics Drives. Metode ini bukan sekadar sebuah eksperimen akademik; ia adalah respons langsung terhadap kebutuhan untuk menggeser paradigma dari pembelajaran pasif menjadi partisipasi aktif, di mana mahasiswa tidak hanya menerima informasi, tetapi juga secara aktif terlibat dalam setiap tahapan proses pembelajaran.1 Lantas, apakah metode "siswa mengajar siswa" ini benar-benar efektif dan dapat dipertahankan? Laporan ini akan membawa Anda ke cerita di balik data untuk menemukan jawabannya.

 

Mengapa Temuan Ini Mengubah Dunia: Cerita di Balik Angka yang Mengejutkan

Studi ini melibatkan total 96 mahasiswa ilmu komputer yang mengikuti mata kuliah pilihan di Laboratorium Hydropneumatics Drives selama dua tahun akademik, yaitu tahun 2021 dan 2022. Untuk mengumpulkan data mengenai persepsi mereka, para peneliti menggunakan dua kuesioner daring yang diisi oleh partisipan di akhir semester, satu dari perspektif mahasiswa yang menjadi pembelajar dan satu lagi dari perspektif mahasiswa yang menjadi pengajar.1

Tingkat partisipasi dalam kuesioner ini menunjukkan adanya keterlibatan yang signifikan dari para subjek. Dari total partisipan, 59 mahasiswa mengisi kuesioner sebagai pembelajar, menghasilkan tingkat respons 61%, sementara 62 mahasiswa mengisi kuesioner sebagai pengajar, dengan tingkat respons 65%.1 Angka-angka ini bukanlah sekadar statistik. Tingkat respons yang mencapai lebih dari 60% menunjukkan bahwa mayoritas responden merasa cukup tergerak—entah itu karena pengalaman yang sangat positif atau sangat negatif—untuk meluangkan waktu memberikan masukan mereka. Hal ini menambah bobot signifikan pada kredibilitas temuan, menegaskan bahwa hasilnya mewakili sentimen mayoritas, bukan hanya segelintir suara ekstrem. Dengan demikian, laporan ini dapat diandalkan sebagai cerminan pandangan mahasiswa secara umum terhadap metode pengajaran sesama.

Secara kumulatif, temuan kuantitatif menunjukkan bahwa metode ini diterima dengan sangat baik. Tingkat respons positif kumulatif (CPRR) untuk semua pertanyaan tertutup (close-ended questions) dalam kuesioner melebihi 60%.1 Namun, yang paling mencolok adalah hasil dari analisis kualitatif yang menunjukkan bahwa 87% responden memandang pengalaman pengajaran sesama sebagai sesuatu yang "positif dan berharga".1 Angka ini bagaikan mayoritas yang hampir mutlak, seolah 9 dari 10 mahasiswa yang diajak berinteraksi dengan metode ini memberikan ‘jempol’ positif. Ini secara efektif menepis keraguan awal tentang apakah mahasiswa akan serius mengambil peran sebagai guru bagi rekan-rekan mereka.

Untuk menggambarkan temuan ini lebih hidup, mari kita lihat data yang lebih rinci tanpa menggunakan tabel. Dari perspektif mahasiswa-pembelajar, persepsi positif terhadap ruangan laboratorium mencapai 100%, sementara peralatan yang digunakan mendapatkan nilai positif 98,3%.1 Ini menunjukkan bahwa pondasi fisik pembelajaran sudah sangat kokoh. Lebih lanjut, 86,4% responden merasa bahwa konten laboratorium sudah sesuai dengan level mereka, dan 83% menganggap metode yang digunakan oleh pengajar sebaya sangat membantu.1

Analisis korelasi pun memperkuat narasi ini. Penelitian ini menemukan adanya hubungan positif sedang di antara beberapa variabel penting. Misalnya, hubungan yang erat teridentifikasi antara kepercayaan diri (Q1) dan kinerja akademik (Q2) dengan koefisien Pearson (r=0.580), serta antara manfaat yang dirasakan (Q6) dan aktivitas mengajar (Q7) dengan koefisien Pearson (r=0.642).1 Korelasi ini mengisyaratkan bahwa metode pengajaran sesama berfungsi layaknya sebuah mesin yang saling menguatkan. Peningkatan kepercayaan diri yang diperoleh dari pengalaman mengajar tidak hanya membuat mahasiswa merasa lebih baik secara personal, tetapi juga secara nyata terhubung dengan peningkatan performa akademis mereka.

 

Ketika Siswa Menjadi Guru: Mengapa Mereka Belajar Lebih Baik?

Tingkat penerimaan yang tinggi terhadap metode ini sebagian besar berasal dari manfaat yang dirasakan oleh para mahasiswa-pembelajar. Analisis kualitatif menunjukkan empat keuntungan utama yang paling sering disebut 1:

  • Komunikasi yang Lebih Baik: Mahasiswa merasa lebih nyaman dan terhubung saat bertanya kepada rekan sebaya. Bahasa yang digunakan oleh teman sebaya cenderung lebih "membumi," menghilangkan hambatan kaku yang sering muncul saat berinteraksi dengan figur otoritas.
  • Mengatasi "Kecemasan Siswa-Guru": Ini adalah poin krusial. Rasa takut untuk mengajukan pertanyaan, takut membuat kesalahan, atau takut merasa bodoh di hadapan dosen merupakan hambatan psikologis yang umum. Interaksi dengan rekan sebaya secara efektif menghilangkan hambatan ini, menciptakan lingkungan belajar yang lebih terbuka dan rileks.
  • Peningkatan Perhatian dan Interaksi: Metode ini mendorong mahasiswa untuk menjadi lebih aktif. Mereka tidak lagi hanya duduk pasif mencatat, tetapi didorong untuk berinteraksi, berdiskusi, dan terlibat secara langsung dalam proses.
  • Sifat Praktis: Para mahasiswa merasa mereka belajar dari pengalaman langsung rekan mereka, yang seringkali dianggap lebih relevan dan mudah dipahami.

Manfaat seperti komunikasi yang lebih baik dan kemampuan mengatasi kecemasan bukanlah sekadar "tambahan" yang menyenangkan. Ini adalah inti dari keterampilan abad ke-21 yang seringkali sulit diajarkan dalam kurikulum tradisional. Metode pengajaran sesama secara organik menumbuhkan keterampilan-keterampilan ini tanpa perlu adanya mata kuliah atau kurikulum terpisah, secara tidak langsung mengisi celah besar dalam pendidikan teknik konvensional.

Fakta bahwa 71,2% responden menyatakan mereka memahami materi lebih baik ketika dijelaskan oleh seorang teman sekelas 1 mengungkap sebuah kebenaran mendasar tentang proses belajar. Seorang mahasiswa-pengajar yang baru saja melewati proses belajar yang sama, kemungkinan besar masih mengingat dengan jelas poin-poin sulit, konsep yang membingungkan, dan jebakan yang sering ditemui. Dengan pemahaman yang "segar" ini, mereka dapat menjelaskan konsep dengan bahasa dan analogi yang lebih relevan dan mudah dicerna oleh rekan-rekan mereka. Hal ini seringkali membuat penjelasan mereka jauh lebih efektif daripada penjelasan dari seorang profesor yang, karena pengalamannya, mungkin sudah menganggap konsep-konsep dasar sebagai hal yang sepele dan mudah.

 

Menilik Sisi Lain: Keuntungan dan Kendala Bagi Sang Pengajar Muda

Beralih ke sisi pengajar, manfaat yang mereka rasakan juga tidak kalah signifikan. Analisis kualitatif dan kuantitatif menunjukkan bahwa peran sebagai pengajar sesama membawa dampak positif yang besar. Manfaat utamanya adalah konsolidasi pengetahuan, di mana 95,1% responden menyatakan mereka memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang materi dengan cara mengajarkannya kepada orang lain.1 Selain itu, peran ini secara langsung meningkatkan kepercayaan diri dan mengasah keterampilan komunikasi dan presentasi mereka.1

Namun, di balik semua manfaat yang jelas ini, terdapat sebuah temuan yang paradoks: meskipun keuntungan yang dirasakan begitu nyata, hanya 34% mahasiswa yang secara sukarela memilih untuk mengajar lebih dari satu kali.1 Kontradiksi ini mengungkapkan "biaya tersembunyi" dari metode ini. Mahasiswa yang tidak melanjutkan umumnya beralasan karena jadwal akademik yang padat, "kurangnya insentif yang dirasakan," dan "tidak menikmati aktivitas mengajar".1

Temuan ini menyiratkan bahwa, meskipun secara pedagogis metode ini sangat efektif, keberlanjutannya tidak bisa hanya mengandalkan inisiatif individu. Beban kerja yang signifikan dan komitmen waktu untuk persiapan yang dibutuhkan oleh mahasiswa-pengajar perlu diakui secara formal. Jika institusi ingin mengimplementasikan metode ini secara lebih luas, mereka harus mengakui dan memberikan kompensasi—entah dalam bentuk kredit akademik, pengakuan khusus, atau insentif lainnya—atas "biaya" tersembunyi yang ditanggung oleh para mahasiswa-pengajar ini.

 

Kritik Terbuka dan Dampak Jangka Panjang yang Terungkap

Meskipun hasilnya menjanjikan, penting untuk menyajikan kritik realistis dan mengakui keterbatasan studi ini. Penelitian ini dilakukan di satu universitas, pada satu laboratorium spesifik, dan dengan jumlah sampel yang terbatas.1 Oleh karena itu, hasilnya mungkin tidak dapat digeneralisasi ke semua bidang teknik atau institusi lainnya.

Selain itu, analisis kualitatif juga menyoroti kerugian utama yang dirasakan oleh mahasiswa-pembelajar: "kurangnya struktur" dan "kurangnya pengalaman" dari mahasiswa-pengajar.1 Hal ini menunjukkan bahwa metode pengajaran sesama bukanlah "solusi instan." Keberhasilan metode ini sangat bergantung pada persiapan dan dukungan intensif dari profesor. Profesor harus bertransformasi dari "pemberi ilmu" menjadi "fasilitator" dan "pelatih" bagi mahasiswa-pengajar mereka.

Terlepas dari tantangan tersebut, dampak jangka panjang yang terungkap dari penelitian ini sangat menjanjikan. Salah satu manfaat yang sangat relevan adalah potensi metode ini dalam meningkatkan minat mahasiswa terhadap karier akademis.1 Hal ini sangat krusial, mengingat bahwa industri sering kali dianggap sebagai pilihan yang lebih menarik, terutama bagi lulusan ilmu komputer, sehingga membuat jalur karier sebagai profesor kurang diminati.

Jika metode pengajaran sesama ini diterapkan secara sistematis dan dengan dukungan yang tepat, ia dapat mengubah cara perguruan tinggi melatih para insinyur masa depan. Dengan melatih keterampilan komunikasi dan kepemimpinan secara organik, metode ini berpotensi secara signifikan mengurangi waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan keterampilan lunak ini di luar kurikulum formal, membuka jalan bagi lulusan yang lebih siap dan holistik dalam waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan.

 

Baca selengkapnya di sini

(https://doi.org/10.1057/s41599-024-03349-y)

Selengkapnya
Penelitian Ini Ungkap Rahasia di Balik Pembelajaran Sesama Siswa Teknik – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Pendidikan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Absensi Mahasiswa di Era Digital – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 26 September 2025


Dunia pendidikan tinggi sedang berada di persimpangan jalan, terjebak dalam perdebatan antara tradisi dan inovasi. Di satu sisi, ada pandangan yang meyakini bahwa kehadiran fisik di kelas, dengan interaksi tatap muka yang kaya, merupakan fondasi esensial bagi pembelajaran. Di sisi lain, muncul generasi mahasiswa yang akrab dengan teknologi, yang sering kali digambarkan sebagai individu yang mengharapkan fleksibilitas, personalisasi, dan interaksi yang mendalam melalui media digital. Kontradiksi ini menciptakan sebuah dilema: mengapa, di tengah kesadaran akan nilai kelas tatap muka, tingkat kehadiran mahasiswa masih sering kali rendah?

Sebuah studi inovatif yang dipublikasikan dalam International Journal of Educational Technology in Higher Education berhasil menyingkap tirai di balik fenomena ini. Alih-alih menyalahkan mahasiswa karena kurangnya komitmen, penelitian ini justru mengungkap sebuah kebenaran yang jauh lebih bernuansa: absennya mahasiswa sering kali bukan karena mereka tidak tertarik pada materi atau tidak menghargai pengajaran, melainkan karena faktor-faktor di luar kendali mereka. Penelitian ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan solusi yang efektif, membuktikan bahwa menggabungkan yang terbaik dari kedua dunia—tradisi dan teknologi—dapat menghasilkan ekosistem pembelajaran yang lebih inklusif, fleksibel, dan pada akhirnya, lebih berhasil.

 

Mengapa Temuan Ini Mengubah Wajah Pendidikan Tinggi?

Dalam lanskap pendidikan yang terus berubah, perguruan tinggi sering kali menghadapi tantangan untuk menjaga relevansi di mata generasi mahasiswa yang memiliki preferensi belajar yang berbeda. Sejak pandemi global pada tahun 2020, lanskap ini semakin dipercepat, memaksa institusi untuk beradaptasi dengan pembelajaran daring dan hibrida. Kondisi ini bukan sekadar sebuah interupsi, melainkan akselerator yang mendorong para pendidik untuk memikirkan kembali bagaimana konten disampaikan dan bagaimana mahasiswa terlibat di dalamnya.1

Studi ini secara fundamental mengalihkan fokus dari "masalah kehadiran" menjadi "masalah fleksibilitas dan aksesibilitas." Pandangan tradisional sering kali mengasumsikan bahwa rendahnya kehadiran—dalam studi ini, hanya 46% mahasiswa yang rata-rata hadir secara fisik di lokakarya—adalah indikasi langsung dari kurangnya motivasi atau komitmen.1 Namun, penelitian ini menggali lebih dalam, menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah realitas hidup mahasiswa modern yang kompleks.

Penelitian ini secara bertahap membuka mata para pendidik. Langkah pertama adalah melihat data mentah: tingkat kehadiran yang rendah adalah fakta yang tak terbantahkan. Langkah kedua adalah menguji asumsi di baliknya. Melalui survei, terungkap bahwa alasan utama ketidakhadiran bukan karena kualitas pengajaran yang buruk atau materi yang tidak menarik, melainkan karena komitmen eksternal, seperti jadwal yang tidak cocok, pekerjaan paruh waktu, dan kewajiban keluarga.1

Ini menyoroti sebuah realitas yang sering kali luput dari perhatian: mahasiswa saat ini tidak dapat dilihat hanya sebagai "penerima" instruksi yang pasif di dalam kampus. Mereka adalah individu yang proaktif, yang menyeimbangkan tuntutan akademik dengan pekerjaan, keluarga, dan kehidupan pribadi. Solusi yang efektif bukanlah dengan menegakkan aturan kehadiran yang kaku, melainkan dengan merancang sebuah model yang mengakomodasi realitas tersebut, membuktikan bahwa debat bukan lagi tentang "tatap muka vs. daring," melainkan "bagaimana menggabungkan yang terbaik dari keduanya".1

 

Strategi Inovatif: Perpaduan Antara Tradisi dan Teknologi

Untuk mengatasi tantangan ini, sebuah strategi pengajaran inovatif diterapkan pada mata kuliah neurobiologi di Universitas Griffith. Pendekatan ini secara unik memadukan metode lama dan baru: kuliah tradisional digunakan untuk menyampaikan konten teoritis, sementara lokakarya interaktif menggunakan platform teknologi yang disebut Echo360 Active Learning Platform (ALP) untuk memfasilitasi interaksi dan partisipasi.1 Selain itu, semua kelas direkam dan sumber daya daring yang kaya—termasuk e-book, catatan kuliah, dan video YouTube—disediakan untuk mendukung pembelajaran asinkron.

Platform Echo360 ALP menjadi jantung dari strategi ini. Platform ini memungkinkan pendidik untuk menanamkan pertanyaan polling di tengah presentasi mereka, yang dapat dijawab oleh mahasiswa secara real-time. Dengan fitur ini, sebuah ruang kuliah yang besar dan pasif diubah menjadi ruang diskusi yang dinamis. Mahasiswa dapat menjawab pertanyaan secara anonim, yang kemudian dapat dilihat dan didiskusikan oleh seluruh kelas. Ini memicu percakapan yang mendalam dan memungkinkan pendidik untuk secara instan mengukur pemahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep kunci.1

Lebih dari sekadar alat partisipasi, platform ini juga bertindak sebagai "jembatan" yang menghubungkan pembelajaran sinkron (tatap muka) dan asinkron (rekaman). Dengan adanya fitur ini, rekaman kelas tidak hanya menjadi salinan pasif dari kuliah, melainkan sebuah artefak pembelajaran yang utuh, yang menangkap polling interaktif, jawaban, dan diskusi yang terjadi. Fenomena ini memungkinkan mahasiswa yang tidak hadir untuk mengalami manfaat interaksi tersebut secara tidak langsung. Lebih dari 60% mahasiswa yang hadir secara fisik di lokakarya menggunakan platform ini, dan secara keseluruhan, mayoritas mahasiswa (>92%) percaya bahwa alat interaktif ini membantu mereka memahami konsep-konsep kunci.1

Ini menunjukkan bahwa meskipun mereka tidak dapat hadir, mereka masih bisa merasakan keterlibatan yang dalam melalui rekaman yang disediakan. Hal ini memberikan argumen kuat bahwa pembelajaran yang efektif tidak selalu mensyaratkan kehadiran fisik, selama ada alat yang mendukung keterlibatan mendalam dengan materi.1

 

Membongkar Mitos: Alasan Sebenarnya di Balik Absensi Mahasiswa

Untuk memahami secara pasti apa yang mendorong atau menghalangi kehadiran, peneliti melakukan survei mendalam. Temuan dari survei ini secara langsung membongkar mitos yang telah lama diyakini. Data menunjukkan bahwa alasan utama ketidakhadiran bukanlah ketidakpuasan terhadap kualitas pengajaran atau materi. Sebaliknya, hal ini berasal dari faktor-faktor eksternal yang di luar kendali institusi pendidikan.1

Sebagai contoh, 36.7% mahasiswa secara pasti menyebut jadwal kuliah yang tidak cocok sebagai alasan utama untuk tidak hadir, diikuti oleh 23% yang terhalang oleh komitmen kerja paruh waktu atau penuh waktu, dan 12.99% oleh komitmen keluarga. Menariknya, alasan seperti "standar pengajaran yang buruk" hanya disebutkan oleh 2.63% mahasiswa sebagai alasan pasti, dan "materi yang tidak menarik" hanya 0%.1

Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun rekaman kelas menjadi alasan untuk tidak hadir (diakui oleh 31.17% mahasiswa), faktor pendorong yang sebenarnya jauh lebih dalam dan bersifat fundamental: mereka memiliki kehidupan yang sibuk. Ketersediaan rekaman kelas membuat mahasiswa dengan komitmen eksternal ini bisa mengejar ketertinggalan dengan efisiensi yang luar biasa, seperti menaikkan baterai smartphone dari 20% ke 70% dalam satu kali pengisian ulang. Mereka dapat mengakses inti materi yang sama, dalam waktu yang lebih fleksibel, tanpa mengorbankan kewajiban lainnya. Dengan kata lain, rekaman tersebut adalah solusi yang mengakomodasi realitas hidup mereka.1

Di sisi lain, bagi mahasiswa yang memilih untuk hadir, alasannya sangat jelas. Lebih dari 79% dari mereka hadir karena standar pengajaran yang tinggi, merasa kelas membantu mereka memahami materi lebih baik (79.31%), dan karena materi yang menarik (80.46%).1 Ini memperkuat argumen bahwa pengajaran tatap muka yang berkualitas tinggi menjadi daya tarik utama yang membuat mahasiswa tetap ingin terlibat, meskipun mereka akhirnya harus mengandalkan rekaman. Ini menunjukkan bahwa kualitas pengajaran adalah daya tarik fundamental yang tidak dapat digantikan, meskipun logistik kehadirannya dapat diatasi dengan teknologi.

 

Rekaman Kuliah: Kunci Sukses Akademik di Balik Layar

Salah satu temuan paling signifikan dan mungkin paling mengejutkan dari penelitian ini adalah hubungan antara penggunaan rekaman kuliah dan performa akademik. Secara umum, ada hubungan yang lemah namun signifikan antara kehadiran fisik di kelas dan performa di ujian akhir (R=0.284) dan nilai akhir (R=0.268).1 Namun, penemuan yang jauh lebih penting muncul ketika peneliti membandingkan kelompok mahasiswa berdasarkan cara mereka terlibat dengan materi.

Penelitian mengidentifikasi empat kelompok utama:

  • "Attenders" (14% dari sampel): Mereka yang hadir di kelas secara fisik tetapi tidak menonton rekaman.
  • "Viewers" (26% dari sampel): Mereka yang menonton lebih dari 80% rekaman kuliah tetapi jarang atau tidak pernah hadir di kelas.
  • "High Engagers" (29% dari sampel): Mereka yang hadir di kelas dan juga menonton lebih dari 80% rekaman.
  • "Low Engagers" (15% dari sampel): Mereka yang tidak hadir dan jarang menonton rekaman.1

Hasilnya sangat luar biasa: mahasiswa dalam kelompok "Viewers" memiliki performa di ujian akhir yang hampir identik dengan mereka yang secara rutin hadir di kelas (kelompok "Attenders"). Tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara kedua kelompok ini dalam performa ujian maupun nilai akhir.1 Ini berarti bahwa bagi mahasiswa yang tidak dapat hadir di kelas karena alasan eksternal, rekaman kuliah berfungsi sebagai pengganti yang valid dan efektif. Hal ini secara langsung menantang pandangan tradisional bahwa kehadiran fisik adalah satu-satunya tolok ukur komitmen dan prediktor kesuksesan.

Lebih lanjut, baik kelompok "Attenders" maupun "Viewers" secara signifikan mengungguli kelompok "Low Engagers" dalam performa akademik.1 Temuan ini secara tegas menunjukkan bahwa yang menjadi kunci sukses bukanlah kehadiran fisik, melainkan "keterlibatan aktif dan mendalam dengan materi pembelajaran." Temuan ini juga didukung oleh data lain, di mana mahasiswa yang hanya menonton rekaman secara parsial (kurang dari 80%) tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan performa akademik.1 Ini membuktikan bahwa pembelajaran asinkron menuntut kedisiplinan diri yang sama (jika tidak lebih) seperti kehadiran fisik.

 

Opini dan Kritik Realistis: Batasan Studi dan Implikasi Lebih Luas

Seperti halnya semua penelitian, studi ini memiliki batasan yang realistis. Studi ini hanya dilakukan pada satu mata kuliah, yaitu neurobiologi, di satu universitas, yaitu Universitas Griffith. Oleh karena itu, hasilnya mungkin tidak bisa digeneralisasi secara langsung ke disiplin ilmu lain, seperti seni rupa atau hukum, yang mungkin memiliki dinamika interaksi yang berbeda. Namun, keterbatasan ini tidak mengecilkan dampak temuan yang ada.1

Studi ini berfungsi sebagai 'bukti konsep' yang kuat, menunjukkan bahwa pendekatan hibrida dapat bekerja secara efektif. Model yang diuji, yang menggabungkan pengajaran tradisional dengan lokakarya interaktif dan sumber daya daring, dapat diterapkan di berbagai bidang studi lain, terutama yang menggabungkan perolehan pengetahuan dasar dengan aplikasi praktis (misalnya: STEM, ilmu kesehatan, atau bahkan ilmu sosial yang berbasis kasus).

Sistem ini menawarkan cetak biru yang dapat diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan beragam mahasiswa, dari mereka yang memiliki jadwal padat hingga mereka yang memiliki gaya belajar yang berbeda. Ini membuka jalan bagi pendidikan tinggi yang lebih inklusif dan efektif.

 

Jalan ke Depan: Menuju Visi Pendidikan yang Lebih Fleksibel dan Efektif

Penelitian ini menggarisbawahi bahwa masa depan pendidikan tinggi harus berpusat pada mahasiswa, menghargai otonomi dan kondisi unik setiap individu, sambil tetap memastikan kualitas akademik yang tinggi. Pendidik harus bergerak melampaui paradigma "satu ukuran untuk semua" dan merangkul model yang fleksibel dan adaptif. Model yang menghargai keberadaan mahasiswa, baik di ruang kelas fisik maupun di ruang digital, adalah kunci untuk membuka potensi penuh dari setiap individu.1

Jika diterapkan secara luas, model pendidikan yang adaptif dan fleksibel ini bisa mengurangi hambatan geografis dan ekonomi bagi ribuan mahasiswa, sekaligus meningkatkan tingkat kelulusan dan keterlibatan. Dalam lima tahun ke depan, ini bisa menjadi standar baru yang memungkinkan mahasiswa berprestasi sambil menyeimbangkan tuntutan hidup. Ini adalah visi pendidikan di mana teknologi tidak menggantikan interaksi manusia, melainkan memperkuatnya, menciptakan ekosistem pembelajaran yang lebih kaya dan lebih responsif terhadap kebutuhan dunia modern.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.1186/s41239-023-00416-3

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Absensi Mahasiswa di Era Digital – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Pendidikan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kepuasan E-learning Mahasiswa – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 26 September 2025


Pendahuluan: Ketika Pandemi Menjadi Laboratorium Pendidikan Terbesar di Dunia

Pada Maret 2020, sebuah peristiwa tak terduga memaksa dunia pendidikan untuk melakukan transisi secara massal ke ranah digital. Pandemi COVID-19 tiba-tiba mengubah cara belajar jutaan mahasiswa di seluruh dunia, termasuk di Turki, di mana seluruh universitas secara serempak beralih ke sistem pembelajaran daring atau e-learning dalam waktu yang sangat singkat.1 Perubahan ini bukanlah sekadar perpindahan metode, tetapi sebuah eksperimen sosial yang tak terulang, yang menjadikan setiap ruang kuliah virtual sebagai laboratorium nyata untuk menguji kelangsungan pendidikan di bawah kondisi ekstrem.

Laporan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Education and Information Technologies ini berfungsi sebagai “kartu laporan” pertama dari eksperimen tersebut. Studi yang dilakukan oleh Görkem Giray ini secara empiris meninjau persepsi kepuasan mahasiswa sarjana teknik komputer dan rekayasa perangkat lunak di Turki terhadap pengalaman e-learning mereka selama pandemi.1 Dengan menyingkap data kuantitatif dan cerita kualitatif di baliknya, penelitian ini memberikan wawasan berharga tentang apa yang berhasil dan, yang lebih penting, apa yang tidak.

Analisis mendalam ini menunjukkan bahwa meskipun e-learning berhasil menyelamatkan semester, hasilnya jauh dari kata optimal. Terungkap sebuah potret pendidikan yang dipenuhi tantangan interaksi, namun pada saat yang sama, menampilkan sisi ketahanan dan adaptasi mandiri dari para mahasiswa yang luput dari perhatian banyak pihak. Temuan ini menjadi peta jalan penting bagi institusi pendidikan untuk merancang model pembelajaran hybrid yang lebih baik di masa depan.

 

Potret Kekecewaan yang Berimbang: Mengapa Skor 2.85 Sangat Penting?

Temuan paling mendasar dari penelitian ini adalah angka kepuasan yang tercatat. Para peserta studi, yang terdiri dari 290 mahasiswa dari universitas publik dan swasta, memberikan rata-rata skor kepuasan terhadap pengalaman e-learning mereka sebesar 2.85 dari skala 5-poin.1 Angka ini berada sedikit di bawah titik tengah, sebuah hasil yang penuh makna.

Skor kepuasan ini tidak jatuh ke titik terendah, yang menandakan bahwa sistem e-learning setidaknya berhasil "menyelamatkan" kegiatan belajar mengajar dari pembatalan total. Namun, angka tersebut juga jauh dari ekspektasi kepuasan maksimal. Ini seperti performa sebuah tim olahraga yang bertahan di posisi tengah klasemen—mereka tidak berprestasi, tetapi juga tidak terdegradasi. Dengan kata lain, e-learning berhasil menjaga proses pendidikan tetap berjalan, tetapi gagal memberikan pengalaman belajar yang optimal atau memuaskan bagi mayoritas mahasiswa.1

Hasil ini menggarisbawahi beberapa temuan penting yang diungkap oleh studi ini:

  • Para mahasiswa secara intensif menggunakan rekaman video untuk pembelajaran daring dan menganggapnya berguna, namun tetap merasa kuliah tatap muka jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan kuliah live digital.1
  • Tingkat interaksi dengan dosen dan kolaborasi dengan teman sebaya dinilai jauh lebih rendah dalam sistem e-learning dibandingkan dengan pendidikan di kampus.1
  • Sebagian besar mahasiswa berpandangan bahwa materi dan metode yang digunakan untuk penilaian (ujian dan tugas) harus disesuaikan dengan lingkungan e-learning agar evaluasi menjadi lebih baik dan adil.1
  • Untuk meningkatkan performa belajar, banyak peserta studi secara proaktif menggunakan sumber daya daring eksternal di luar yang disediakan oleh dosen.1

Semua poin ini berkontribusi pada skor kepuasan yang sedang-sedang saja, menunjukkan bahwa transisi yang tergesa-gesa ini masih menyisakan banyak celah yang perlu diperbaiki.

 

Terputus dari Dosen dan Teman: Mengapa Interaksi Sosial Menjadi Kendala Terbesar?

Kisah di balik angka-angka statistik yang paling mencolok adalah hilangnya interaksi dan dukungan manusiawi. Penelitian ini menunjukkan penurunan yang signifikan dalam dua aspek kunci, yaitu dukungan dari dosen dan interaksi dengan teman sebaya. Hasil uji t-test berpasangan menunjukkan bahwa persepsi mahasiswa terhadap tingkat dukungan dosen jauh lebih tinggi pada pendidikan di kampus (rata-rata M=3.70) dibandingkan dengan e-learning (rata-rata M=3.15).1 Perbedaan ini sangat signifikan secara statistik, dengan nilai t(289)=9.30 dan p<0.001.1

Hal serupa terjadi pada interaksi dan kolaborasi antar mahasiswa, di mana persepsi mereka juga jauh lebih tinggi pada lingkungan di kampus (rata-rata M=3.82) dibandingkan dengan e-learning (rata-rata M=2.84), dengan nilai t(289)=12.56 dan p<0.001.1 Data-data ini mengonfirmasi hipotesis bahwa mahasiswa merasa kurang mendapatkan dukungan dan interaksi dalam pembelajaran daring.

Analisis kualitatif lebih lanjut menghidupkan data ini. Meskipun masalah koneksi dan infrastruktur internet (30%) adalah tantangan yang paling sering dilaporkan, interaksi dengan dosen (14%) dan teman sekelas (5%) juga menjadi keluhan yang signifikan.1 Salah satu peserta bahkan berkomentar, "Dulu, ketika saya perlu bertanya kepada dosen saya, cukup dengan pergi ke kantor mereka, tapi sekarang saya harus mengirim email. Ini memperlambat komunikasi." Peserta lain menyoroti kesulitan dalam bekerja sama dalam tugas tim karena terhambatnya komunikasi dengan teman-teman.1

Masalah ini lebih dari sekadar tantangan teknis atau logistik. Ini menyentuh inti dari pengalaman pendidikan. Interaksi tatap muka bukan hanya tentang bertanya dan menjawab, melainkan juga tentang kolaborasi, membangun jaringan, dan sosialisasi—aspek-aspek krusial yang membentuk pengalaman kuliah secara keseluruhan. Kehilangan elemen-elemen ini memengaruhi kepuasan mahasiswa secara menyeluruh, yang tercermin dalam korelasi kuat antara dukungan dosen (r=0.45,p<0.01) dan interaksi dengan teman sebaya (r=0.47,p<0.01) dengan tingkat kepuasan belajar.

 

Lompatan ke Pembelajaran Mandiri: Sisi Positif E-learning yang Jarang Dibahas

Di tengah tantangan interaksi yang signifikan, penelitian ini juga mengungkap sebuah paradoks menarik yang jarang disoroti. Walaupun dukungan formal dari dosen dan interaksi informal dengan teman sebaya menurun, persepsi mahasiswa terhadap otonomi atau kemandirian belajar mereka ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan.1 Hasil uji t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok dalam tingkat otonomi yang dirasakan mahasiswa antara pendidikan di kampus (rata-rata M=3.76) dan e-learning (rata-rata M=3.89), dengan nilai t(289)=−1.86 dan p=0.064.1

Fenomena ini membantah ekspektasi awal bahwa mahasiswa akan merasa kurang berdaya atau tertinggal ketika dukungan eksternal berkurang. Sebaliknya, hal ini menunjukkan adanya transformasi diam-diam di mana mahasiswa mengambil alih kendali penuh atas proses pembelajaran mereka sendiri. Data kualitatif memberikan bukti kuat untuk hal ini. Lebih dari separuh (51%) responden yang menjawab pertanyaan ini secara proaktif mencari sumber daya daring lainnya, seperti Udemy dan YouTube, untuk meningkatkan performa belajar mereka.1 Selain itu, mereka juga menyebutkan bahwa mereka secara teratur meninjau kembali rekaman kuliah (15%), belajar secara disiplin (14%), dan melakukan lebih banyak penelitian mandiri (6%) untuk mengatasi keterbatasan yang ada.1

Hal ini bukan sekadar adaptasi, melainkan sebuah manifestasi dari ketahanan. Ketika metode dan materi yang disediakan oleh institusi tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan mereka, para mahasiswa ini tidak menyerah. Mereka berinisiatif, mencari, dan menciptakan jalur pembelajaran mereka sendiri. Temuan ini menyoroti bahwa e-learning, dengan segala keterbatasannya, juga berhasil menumbuhkan kompetensi belajar mandiri yang sangat berharga di era digital. Keunggulan yang paling diapresiasi oleh mahasiswa adalah akses sesuai permintaan (on-demand) terhadap materi kuliah (33%) dan fleksibilitas jadwal (21%), yang memungkinkan mereka belajar sesuai ritme mereka sendiri.

 

Resep Sukses untuk Model Hybrid: Pelajaran Penting dari Krisis

Penelitian ini, meskipun terbatas pada populasi mahasiswa teknik di Turki, menyediakan pelajaran universal yang dapat menjadi peta jalan bagi universitas di seluruh dunia untuk merancang masa depan pendidikan. Temuan ini menunjukkan bahwa keberhasilan model pendidikan hybrid tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi pada adaptasi metodologi dan keberlanjutan interaksi manusiawi.

Salah satu kritik realistis yang muncul dari studi ini adalah masalah penilaian. Meskipun tidak ada pertanyaan eksplisit dalam kuesioner, "penilaian" menjadi tema sentral dalam analisis kualitatif. Sebanyak 15% peserta menganggap ujian sebagai tantangan, dengan keluhan utama mengenai ketidakadilan akibat kolaborasi ilegal (cheating) selama ujian daring.1 Masalah ini lebih dari sekadar keluhan—ini adalah ancaman serius terhadap integritas akademis yang dapat mengikis kepercayaan pada seluruh sistem pendidikan.

Untuk mengatasi tantangan ini dan meningkatkan kepuasan mahasiswa, penelitian ini mengidentifikasi beberapa area perbaikan yang krusial, berdasarkan temuan kuantitatif dan kualitatif:

  • Meningkatkan Dukungan dan Interaksi Dosen: Daripada hanya mengandalkan email, dosen harus mengadopsi platform komunikasi khusus untuk setiap mata kuliah dan mengorganisir sesi tanya jawab virtual atau jam kantor yang terjadwal. Platform kolaborasi seperti Google CoLaboratory atau GitHub juga dapat digunakan untuk mendorong kolaborasi dalam tugas tim.1
  • Mengadaptasi Metode Pembelajaran: Uji t-test menunjukkan bahwa mahasiswa merasa kuliah tatap muka lebih bermanfaat daripada kuliah live digital, sementara persepsi manfaat rekaman video tidak jauh berbeda antara kedua lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa sekadar memindahkan kuliah dari kelas ke layar bukanlah solusi. Dosen harus mengadaptasi materi mereka, menggunakan alat interaktif seperti kuis daring dan survei live untuk mempromosikan keterlibatan siswa.1 Rekaman video harus menjadi pelengkap yang dirancang untuk pembelajaran mandiri, bukan pengganti interaksi langsung.
  • Diversifikasi Metode Penilaian: Untuk mengatasi masalah ketidakadilan, universitas perlu mendiversifikasi metode penilaian. Penggunaan penilai otomatis (auto-graders) untuk tugas pemrograman dapat memastikan penilaian yang adil dan mengurangi beban koreksi.1 Selain itu, kerangka kerja evaluasi yang dirancang untuk menilai kontribusi individu dalam tugas kelompok dapat mencegah mahasiswa yang "menumpang".

 

Lebih dari Sekadar Respon Cepat: Temuan Ini Menjadi Peta Jalan untuk Pendidikan di Era Digital

Penelitian ini, yang lahir dari krisis tak terduga, telah mendokumentasikan sebuah "stress test" yang tak terhindarkan bagi sistem pendidikan tinggi. Hasilnya menunjukkan dengan jelas bahwa e-learning bukanlah pengganti pendidikan tatap muka, melainkan sebuah pelengkap yang kuat. Kunci dari perpaduan ini bukan pada teknologi canggih semata, melainkan pada kemampuan institusi untuk mengadaptasi metodologi, memfasilitasi komunikasi yang efektif, dan, yang paling penting, menjaga interaksi manusiawi yang menjadi esensi dari proses belajar mengajar.

Jika diterapkan, temuan ini bisa menjadi peta jalan bagi universitas untuk merancang model pendidikan hybrid yang lebih efektif dan efisien. Model ini bisa mengurangi biaya operasional, meningkatkan akses pendidikan, dan, yang terpenting, menjaga kualitas pembelajaran. Dalam waktu lima tahun, perpaduan bijak antara e-learning dan pendidikan tatap muka bisa menjadi norma baru, menciptakan sistem pendidikan yang lebih kuat, tangguh, dan inklusif.

 

Sumber Artikel:
https://doi.org/10.1007/s10639-021-10454-x

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kepuasan E-learning Mahasiswa – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Pendidikan

Penelitian Ini Ungkap Kesiapan Tak Terduga Mahasiswa Teknik Qatar Hadapi Pembelajaran Jarak Jauh Darurat

Dipublikasikan oleh Hansel pada 23 September 2025


Saat Pandemi Mengubah Peta Pendidikan Global

Pada awal tahun 2020, dunia menyaksikan pergeseran masif yang belum pernah terjadi sebelumnya di sektor pendidikan. Ketika pandemi COVID-19 memaksa institusi pendidikan di seluruh dunia untuk menutup gerbangnya, jutaan mahasiswa dan pengajar secara tiba-tiba dipaksa beradaptasi dengan model pembelajaran jarak jauh yang sepenuhnya digital. Transisi mendadak ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah mahasiswa, terutama di bidang yang membutuhkan praktikum dan interaksi intensif seperti teknik, benar-benar siap untuk perubahan yang begitu drastis?

Sebagian besar literatur yang ada tentang pembelajaran daring berfokus pada program yang direncanakan dengan baik, di mana mahasiswa memilih untuk berpartisipasi. Namun, ada sedikit pemahaman mengenai kesiapan mahasiswa untuk beralih ke pembelajaran daring skala penuh yang mendesak dan reaktif seperti yang terjadi selama pandemi. Untuk mengisi kekosongan pengetahuan ini, sebuah penelitian penting dilakukan di Qatar. Studi ini, yang diterbitkan dalam EURASIA Journal of Mathematics, Science and Technology Education, mengambil kasus College of Engineering di Qatar University, di mana semua perkuliahan tatap muka beralih menjadi daring pada 15 Maret 2020. Menggunakan pendekatan metode campuran, penelitian ini mengumpulkan data dari 140 mahasiswa melalui survei daring, 68 dari refleksi tertulis, dan 8 dari wawancara semi-terstruktur, menawarkan wawasan mendalam mengenai apa yang benar-benar memengaruhi kesiapan mahasiswa dalam menghadapi perubahan mendadak ini.1

 

Empat Pilar Kesiapan: Dari Keyakinan Diri hingga Dukungan Lingkungan

Analisis data kuantitatif dalam penelitian ini mengidentifikasi empat pilar utama yang membentuk kesiapan mahasiswa teknik untuk transisi ke pembelajaran daring. Pilar-pilar ini, yang didukung oleh temuan kualitatif, memberikan gambaran komprehensif tentang faktor-faktor yang memengaruhi pengalaman awal mahasiswa.

Kesiapan Awal dan Motivasi Positif

Salah satu faktor terpenting dalam kesuksesan transisi adalah kesiapan awal dan motivasi yang dibangun oleh mahasiswa. Penelitian ini menemukan bahwa faktor ini secara keseluruhan memiliki skor rata-rata yang tinggi yaitu 3,90 dari skala 5, menunjukkan tingkat penerimaan yang kuat dari para partisipan.1

Lebih dari 80% partisipan memberikan umpan balik positif tentang kejelasan instruksi dan persiapan yang diberikan oleh universitas dan program studi mereka. Komunikasi yang transparan ini, yang mencakup pelatihan darurat bagi pengajar dan sesi daring untuk mahasiswa, berperan penting dalam mengurangi rasa tidak aman di awal transisi. Banyak mahasiswa mengapresiasi keputusan universitas untuk tidak menunda semester, yang mereka anggap sebagai langkah tepat untuk memastikan kelangsungan studi. Seperti yang diungkapkan oleh seorang mahasiswa dalam refleksinya, “Saya menghargai opsi studi daring ini sehingga kami dapat mencapai tujuan kurikulum semester ini tanpa membuang beberapa bulan waktu.” Ini menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa tentang appropriateness (kelayakan) perubahan adalah kunci utama yang mendorong motivasi dan sikap positif, yang pada gilirannya secara langsung memengaruhi kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan situasi baru.1

Keyakinan Diri (Self-Efficacy) dalam Mengelola Teknologi

Secara mengejutkan, pilar yang mendapat skor rata-rata tertinggi dalam survei ini adalah keyakinan diri atau self-efficacy mahasiswa terhadap pembelajaran daring, dengan skor rata-rata 4,03.1 Skor ini adalah yang paling tinggi di antara keempat faktor yang diukur. Temuan kualitatif menjelaskan mengapa skor ini begitu tinggi. Mahasiswa teknik, yang memang terbiasa bekerja dan belajar menggunakan teknologi, merasa sangat percaya diri dalam kemampuan mereka untuk menggunakan berbagai platform daring, mencari informasi, dan berkomunikasi secara efektif untuk tujuan akademik. Mereka melihat transisi ini sebagai kesempatan untuk menguasai alat-alat baru. Kepercayaan diri ini menjadi sumber motivasi tersendiri. Namun, di balik keyakinan diri yang tinggi ini tersimpan sebuah ironi yang menarik. Fakta bahwa mahasiswa merasa begitu mahir dengan alatnya (teknologi) namun menghadapi tantangan signifikan dalam mengelola prosesnya (kemandirian belajar) menyiratkan adanya kesenjangan. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa literasi digital yang kuat saja tidak cukup untuk memastikan kesuksesan dalam pembelajaran jarak jauh.1

Tantangan Terbesar: Kemandirian Belajar (Self-Directed Learning)

Meski memiliki keyakinan diri tinggi terhadap teknologi, para partisipan menunjukkan tingkat kesiapan yang paling rendah pada faktor kemandirian belajar, dengan skor rata-rata 3,54—secara signifikan lebih rendah dari ketiga faktor lainnya.1 Faktor ini mencakup kemampuan mahasiswa untuk mengambil inisiatif, mengatur waktu, menetapkan tujuan, dan mengevaluasi kemajuan belajar mereka sendiri.

Dalam narasi kualitatif, mahasiswa mengungkapkan perjuangan yang nyata di balik angka ini. Mereka mengeluhkan gangguan dari lingkungan rumah, seperti adik-adik yang ribut atau kecepatan internet yang tidak memadai, serta godaan dari media daring lainnya. Manajemen waktu, meskipun dianggap sebagai salah satu manfaat (menghemat waktu perjalanan), juga menjadi tantangan besar. Salah satu mahasiswa secara jujur mengakui, "Saya adalah musuh bagi diri saya sendiri; saya harus selalu menemukan cara untuk memotivasi diri saya dan menyuruh diri saya untuk berkonsentrasi." Perjuangan ini menyingkap fakta penting: kendala terbesar dalam pembelajaran daring darurat bukanlah masalah teknis, melainkan kurangnya keterampilan non-teknis seperti disiplin diri, fokus, dan ketahanan mental. Menilai rendahnya skor ini, studi menyimpulkan bahwa area inilah yang paling membutuhkan perhatian dan intervensi dari institusi pendidikan di masa depan.1

Dukungan Sebagai Jaring Pengaman

Faktor dukungan memiliki skor rata-rata yang tinggi, yaitu 3,97, yang mencerminkan pentingnya dukungan eksternal dalam memfasilitasi transisi yang sukses.1 Mahasiswa puas dengan dukungan umum yang mereka terima, termasuk ketersediaan materi yang cukup dan kesiapan pengajar. Namun, analisis kualitatif mengungkap nuansa yang lebih dalam tentang jenis dukungan yang mereka butuhkan.

Mahasiswa menyuarakan keinginan untuk mendapatkan lebih banyak interaksi dan kegiatan berbasis praktik. Mereka merasa pembelajaran daring cenderung berfokus pada konten teoretis dan kurang pada aspek praktis, menciptakan "kesenjangan pendidikan" yang signifikan. Mereka juga menyatakan kekhawatiran tentang format ujian dan kurangnya opsi untuk praktikum di laboratorium secara virtual. Hal ini menyoroti bahwa dukungan tidak hanya sekadar menyediakan platform, tetapi juga melibatkan adaptasi pedagogi untuk memastikan lingkungan belajar tetap aktif, partisipatif, dan berpusat pada mahasiswa, sejalan dengan saran dari penelitian lain tentang lingkungan pembelajaran daring yang efektif.1

 

Rahasia Terbesar: Mengapa Siswa Berbasis Proyek Selangkah Lebih Maju?

Di antara semua temuan, satu data yang paling mengejutkan adalah perbedaan signifikan antara mahasiswa dari kursus Problem-Based Learning (PBL) dan mereka yang berasal dari kursus non-PBL. Secara statistik, mahasiswa PBL melaporkan tingkat kesiapan yang secara signifikan lebih tinggi dalam menghadapi transisi ini dibandingkan dengan rekan-rekan mereka.1

Ini ibarat sebuah lompatan kesiapan yang signifikan, di mana mahasiswa dari kursus PBL sudah memiliki "baterai penuh" untuk menghadapi transisi, sementara yang lain memulai dari nol. Perbedaan ini terutama menonjol pada faktor kesiapan awal dan keyakinan diri. Data kualitatif memberikan penjelasan yang kuat di balik fenomena ini: mahasiswa PBL sudah terbiasa dengan metode pembelajaran yang menuntut interaksi dan kerja tim. Mereka secara rutin menggunakan alat daring seperti grup WhatsApp untuk kolaborasi bahkan sebelum pandemi. Karenanya, transisi ke platform daring tidak terasa asing bagi mereka. Kerja tim ini juga berfungsi sebagai jaring pengaman, di mana mereka dapat saling mendukung dan mengurangi perasaan kesepian yang banyak dialami oleh mahasiswa non-PBL.1

Temuan ini menunjukkan bahwa metode pengajaran berbasis proyek secara tidak langsung telah mempersiapkan mahasiswa untuk krisis dengan membangun tiga fondasi utama: kemampuan beradaptasi, jaring pengaman sosial, dan penggunaan teknologi kolaboratif. Ini menegaskan bahwa mengintegrasikan metode PBL tidak hanya meningkatkan hasil belajar, tetapi juga secara fundamental membangun ketahanan mahasiswa untuk menghadapi tantangan di masa depan.1

 

Kritik Realistis dan Pelajaran Berharga untuk Masa Depan Pendidikan

Sama seperti studi lainnya, penelitian ini memiliki keterbatasan yang perlu diakui. Jumlah partisipan dalam survei (140 orang) dan wawancara (8 orang) yang relatif terbatas membatasi generalisasi hasil ke seluruh populasi mahasiswa teknik. Selain itu, sampel partisipan tidak seimbang antara laki-laki (98 orang) dan perempuan (42 orang), yang membuat interpretasi perbandingan gender menjadi terbatas. Namun, fakta bahwa laki-laki melaporkan keyakinan diri yang secara signifikan lebih tinggi daripada perempuan menunjukkan adanya tantangan unik yang mungkin dihadapi oleh mahasiswa perempuan, seperti harus mengelola tanggung jawab rumah tangga atau mengurus anak di tengah pembelajaran daring.1

Studi ini juga merupakan "potret sesaat" yang diambil pada tahap awal transisi. Ini berarti hasilnya mencerminkan pengalaman awal, bukan perkembangan jangka panjang. Namun, hal ini bukanlah kelemahan, melainkan peluang. Laporan ini dapat berfungsi sebagai dasar yang sangat berharga untuk studi longitudinal di masa depan, yang dapat melacak bagaimana kesiapan mahasiswa, dan intervensi dari institusi, berkembang seiring waktu. Dengan demikian, laporan ini berfungsi sebagai landasan kuat untuk penelitian lanjutan yang lebih mendalam.1

 

Dampak Nyata: Cetak Biru untuk Menempa Insinyur Masa Depan

Keseluruhan penelitian ini memberikan sebuah "cetak biru" yang dapat diterapkan untuk mempersiapkan mahasiswa menghadapi ketidakpastian di masa depan. Temuan ini menegaskan bahwa kesiapan untuk perubahan tidak hanya bergantung pada kemampuan individu, tetapi juga pada dukungan sistemik dari institusi dan adopsi metode pengajaran yang tepat.

Pertama, komunikasi yang proaktif dan transparan dari pimpinan universitas sangat krusial dalam membangun motivasi mahasiswa. Kedua, model pedagogi yang interaktif dan kolaboratif, seperti PBL, terbukti secara signifikan meningkatkan kesiapan mahasiswa, mengurangi rasa isolasi, dan membangun ketahanan mental. Ketiga, institusi harus memberikan dukungan yang lebih komprehensif, tidak hanya dari segi teknis, tetapi juga dengan mengadaptasi metode pengajaran agar lebih berpusat pada partisipasi dan praktikum. Terakhir, penelitian ini menyoroti perlunya dukungan emosional bagi mahasiswa yang merasa terisolasi, menggarisbawahi pentingnya pengembangan keterampilan non-teknis seperti manajemen waktu dan disiplin diri.

Jika diterapkan, temuan ini bisa memungkinkan institusi pendidikan di seluruh dunia untuk tidak hanya sekadar bertahan di masa krisis, tetapi juga menempa generasi insinyur yang lebih tangguh dan adaptif, siap untuk menghadapi kompleksitas dan perubahan di dunia nyata.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.29333/ejmste/8474

Selengkapnya
Penelitian Ini Ungkap Kesiapan Tak Terduga Mahasiswa Teknik Qatar Hadapi Pembelajaran Jarak Jauh Darurat
« First Previous page 2 of 51 Next Last »