Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kepuasan E-learning Mahasiswa – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

26 September 2025, 02.14

unsplash.com

Pendahuluan: Ketika Pandemi Menjadi Laboratorium Pendidikan Terbesar di Dunia

Pada Maret 2020, sebuah peristiwa tak terduga memaksa dunia pendidikan untuk melakukan transisi secara massal ke ranah digital. Pandemi COVID-19 tiba-tiba mengubah cara belajar jutaan mahasiswa di seluruh dunia, termasuk di Turki, di mana seluruh universitas secara serempak beralih ke sistem pembelajaran daring atau e-learning dalam waktu yang sangat singkat.1 Perubahan ini bukanlah sekadar perpindahan metode, tetapi sebuah eksperimen sosial yang tak terulang, yang menjadikan setiap ruang kuliah virtual sebagai laboratorium nyata untuk menguji kelangsungan pendidikan di bawah kondisi ekstrem.

Laporan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Education and Information Technologies ini berfungsi sebagai “kartu laporan” pertama dari eksperimen tersebut. Studi yang dilakukan oleh Görkem Giray ini secara empiris meninjau persepsi kepuasan mahasiswa sarjana teknik komputer dan rekayasa perangkat lunak di Turki terhadap pengalaman e-learning mereka selama pandemi.1 Dengan menyingkap data kuantitatif dan cerita kualitatif di baliknya, penelitian ini memberikan wawasan berharga tentang apa yang berhasil dan, yang lebih penting, apa yang tidak.

Analisis mendalam ini menunjukkan bahwa meskipun e-learning berhasil menyelamatkan semester, hasilnya jauh dari kata optimal. Terungkap sebuah potret pendidikan yang dipenuhi tantangan interaksi, namun pada saat yang sama, menampilkan sisi ketahanan dan adaptasi mandiri dari para mahasiswa yang luput dari perhatian banyak pihak. Temuan ini menjadi peta jalan penting bagi institusi pendidikan untuk merancang model pembelajaran hybrid yang lebih baik di masa depan.

 

Potret Kekecewaan yang Berimbang: Mengapa Skor 2.85 Sangat Penting?

Temuan paling mendasar dari penelitian ini adalah angka kepuasan yang tercatat. Para peserta studi, yang terdiri dari 290 mahasiswa dari universitas publik dan swasta, memberikan rata-rata skor kepuasan terhadap pengalaman e-learning mereka sebesar 2.85 dari skala 5-poin.1 Angka ini berada sedikit di bawah titik tengah, sebuah hasil yang penuh makna.

Skor kepuasan ini tidak jatuh ke titik terendah, yang menandakan bahwa sistem e-learning setidaknya berhasil "menyelamatkan" kegiatan belajar mengajar dari pembatalan total. Namun, angka tersebut juga jauh dari ekspektasi kepuasan maksimal. Ini seperti performa sebuah tim olahraga yang bertahan di posisi tengah klasemen—mereka tidak berprestasi, tetapi juga tidak terdegradasi. Dengan kata lain, e-learning berhasil menjaga proses pendidikan tetap berjalan, tetapi gagal memberikan pengalaman belajar yang optimal atau memuaskan bagi mayoritas mahasiswa.1

Hasil ini menggarisbawahi beberapa temuan penting yang diungkap oleh studi ini:

  • Para mahasiswa secara intensif menggunakan rekaman video untuk pembelajaran daring dan menganggapnya berguna, namun tetap merasa kuliah tatap muka jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan kuliah live digital.1
  • Tingkat interaksi dengan dosen dan kolaborasi dengan teman sebaya dinilai jauh lebih rendah dalam sistem e-learning dibandingkan dengan pendidikan di kampus.1
  • Sebagian besar mahasiswa berpandangan bahwa materi dan metode yang digunakan untuk penilaian (ujian dan tugas) harus disesuaikan dengan lingkungan e-learning agar evaluasi menjadi lebih baik dan adil.1
  • Untuk meningkatkan performa belajar, banyak peserta studi secara proaktif menggunakan sumber daya daring eksternal di luar yang disediakan oleh dosen.1

Semua poin ini berkontribusi pada skor kepuasan yang sedang-sedang saja, menunjukkan bahwa transisi yang tergesa-gesa ini masih menyisakan banyak celah yang perlu diperbaiki.

 

Terputus dari Dosen dan Teman: Mengapa Interaksi Sosial Menjadi Kendala Terbesar?

Kisah di balik angka-angka statistik yang paling mencolok adalah hilangnya interaksi dan dukungan manusiawi. Penelitian ini menunjukkan penurunan yang signifikan dalam dua aspek kunci, yaitu dukungan dari dosen dan interaksi dengan teman sebaya. Hasil uji t-test berpasangan menunjukkan bahwa persepsi mahasiswa terhadap tingkat dukungan dosen jauh lebih tinggi pada pendidikan di kampus (rata-rata M=3.70) dibandingkan dengan e-learning (rata-rata M=3.15).1 Perbedaan ini sangat signifikan secara statistik, dengan nilai t(289)=9.30 dan p<0.001.1

Hal serupa terjadi pada interaksi dan kolaborasi antar mahasiswa, di mana persepsi mereka juga jauh lebih tinggi pada lingkungan di kampus (rata-rata M=3.82) dibandingkan dengan e-learning (rata-rata M=2.84), dengan nilai t(289)=12.56 dan p<0.001.1 Data-data ini mengonfirmasi hipotesis bahwa mahasiswa merasa kurang mendapatkan dukungan dan interaksi dalam pembelajaran daring.

Analisis kualitatif lebih lanjut menghidupkan data ini. Meskipun masalah koneksi dan infrastruktur internet (30%) adalah tantangan yang paling sering dilaporkan, interaksi dengan dosen (14%) dan teman sekelas (5%) juga menjadi keluhan yang signifikan.1 Salah satu peserta bahkan berkomentar, "Dulu, ketika saya perlu bertanya kepada dosen saya, cukup dengan pergi ke kantor mereka, tapi sekarang saya harus mengirim email. Ini memperlambat komunikasi." Peserta lain menyoroti kesulitan dalam bekerja sama dalam tugas tim karena terhambatnya komunikasi dengan teman-teman.1

Masalah ini lebih dari sekadar tantangan teknis atau logistik. Ini menyentuh inti dari pengalaman pendidikan. Interaksi tatap muka bukan hanya tentang bertanya dan menjawab, melainkan juga tentang kolaborasi, membangun jaringan, dan sosialisasi—aspek-aspek krusial yang membentuk pengalaman kuliah secara keseluruhan. Kehilangan elemen-elemen ini memengaruhi kepuasan mahasiswa secara menyeluruh, yang tercermin dalam korelasi kuat antara dukungan dosen (r=0.45,p<0.01) dan interaksi dengan teman sebaya (r=0.47,p<0.01) dengan tingkat kepuasan belajar.

 

Lompatan ke Pembelajaran Mandiri: Sisi Positif E-learning yang Jarang Dibahas

Di tengah tantangan interaksi yang signifikan, penelitian ini juga mengungkap sebuah paradoks menarik yang jarang disoroti. Walaupun dukungan formal dari dosen dan interaksi informal dengan teman sebaya menurun, persepsi mahasiswa terhadap otonomi atau kemandirian belajar mereka ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan.1 Hasil uji t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok dalam tingkat otonomi yang dirasakan mahasiswa antara pendidikan di kampus (rata-rata M=3.76) dan e-learning (rata-rata M=3.89), dengan nilai t(289)=−1.86 dan p=0.064.1

Fenomena ini membantah ekspektasi awal bahwa mahasiswa akan merasa kurang berdaya atau tertinggal ketika dukungan eksternal berkurang. Sebaliknya, hal ini menunjukkan adanya transformasi diam-diam di mana mahasiswa mengambil alih kendali penuh atas proses pembelajaran mereka sendiri. Data kualitatif memberikan bukti kuat untuk hal ini. Lebih dari separuh (51%) responden yang menjawab pertanyaan ini secara proaktif mencari sumber daya daring lainnya, seperti Udemy dan YouTube, untuk meningkatkan performa belajar mereka.1 Selain itu, mereka juga menyebutkan bahwa mereka secara teratur meninjau kembali rekaman kuliah (15%), belajar secara disiplin (14%), dan melakukan lebih banyak penelitian mandiri (6%) untuk mengatasi keterbatasan yang ada.1

Hal ini bukan sekadar adaptasi, melainkan sebuah manifestasi dari ketahanan. Ketika metode dan materi yang disediakan oleh institusi tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan mereka, para mahasiswa ini tidak menyerah. Mereka berinisiatif, mencari, dan menciptakan jalur pembelajaran mereka sendiri. Temuan ini menyoroti bahwa e-learning, dengan segala keterbatasannya, juga berhasil menumbuhkan kompetensi belajar mandiri yang sangat berharga di era digital. Keunggulan yang paling diapresiasi oleh mahasiswa adalah akses sesuai permintaan (on-demand) terhadap materi kuliah (33%) dan fleksibilitas jadwal (21%), yang memungkinkan mereka belajar sesuai ritme mereka sendiri.

 

Resep Sukses untuk Model Hybrid: Pelajaran Penting dari Krisis

Penelitian ini, meskipun terbatas pada populasi mahasiswa teknik di Turki, menyediakan pelajaran universal yang dapat menjadi peta jalan bagi universitas di seluruh dunia untuk merancang masa depan pendidikan. Temuan ini menunjukkan bahwa keberhasilan model pendidikan hybrid tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi pada adaptasi metodologi dan keberlanjutan interaksi manusiawi.

Salah satu kritik realistis yang muncul dari studi ini adalah masalah penilaian. Meskipun tidak ada pertanyaan eksplisit dalam kuesioner, "penilaian" menjadi tema sentral dalam analisis kualitatif. Sebanyak 15% peserta menganggap ujian sebagai tantangan, dengan keluhan utama mengenai ketidakadilan akibat kolaborasi ilegal (cheating) selama ujian daring.1 Masalah ini lebih dari sekadar keluhan—ini adalah ancaman serius terhadap integritas akademis yang dapat mengikis kepercayaan pada seluruh sistem pendidikan.

Untuk mengatasi tantangan ini dan meningkatkan kepuasan mahasiswa, penelitian ini mengidentifikasi beberapa area perbaikan yang krusial, berdasarkan temuan kuantitatif dan kualitatif:

  • Meningkatkan Dukungan dan Interaksi Dosen: Daripada hanya mengandalkan email, dosen harus mengadopsi platform komunikasi khusus untuk setiap mata kuliah dan mengorganisir sesi tanya jawab virtual atau jam kantor yang terjadwal. Platform kolaborasi seperti Google CoLaboratory atau GitHub juga dapat digunakan untuk mendorong kolaborasi dalam tugas tim.1
  • Mengadaptasi Metode Pembelajaran: Uji t-test menunjukkan bahwa mahasiswa merasa kuliah tatap muka lebih bermanfaat daripada kuliah live digital, sementara persepsi manfaat rekaman video tidak jauh berbeda antara kedua lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa sekadar memindahkan kuliah dari kelas ke layar bukanlah solusi. Dosen harus mengadaptasi materi mereka, menggunakan alat interaktif seperti kuis daring dan survei live untuk mempromosikan keterlibatan siswa.1 Rekaman video harus menjadi pelengkap yang dirancang untuk pembelajaran mandiri, bukan pengganti interaksi langsung.
  • Diversifikasi Metode Penilaian: Untuk mengatasi masalah ketidakadilan, universitas perlu mendiversifikasi metode penilaian. Penggunaan penilai otomatis (auto-graders) untuk tugas pemrograman dapat memastikan penilaian yang adil dan mengurangi beban koreksi.1 Selain itu, kerangka kerja evaluasi yang dirancang untuk menilai kontribusi individu dalam tugas kelompok dapat mencegah mahasiswa yang "menumpang".

 

Lebih dari Sekadar Respon Cepat: Temuan Ini Menjadi Peta Jalan untuk Pendidikan di Era Digital

Penelitian ini, yang lahir dari krisis tak terduga, telah mendokumentasikan sebuah "stress test" yang tak terhindarkan bagi sistem pendidikan tinggi. Hasilnya menunjukkan dengan jelas bahwa e-learning bukanlah pengganti pendidikan tatap muka, melainkan sebuah pelengkap yang kuat. Kunci dari perpaduan ini bukan pada teknologi canggih semata, melainkan pada kemampuan institusi untuk mengadaptasi metodologi, memfasilitasi komunikasi yang efektif, dan, yang paling penting, menjaga interaksi manusiawi yang menjadi esensi dari proses belajar mengajar.

Jika diterapkan, temuan ini bisa menjadi peta jalan bagi universitas untuk merancang model pendidikan hybrid yang lebih efektif dan efisien. Model ini bisa mengurangi biaya operasional, meningkatkan akses pendidikan, dan, yang terpenting, menjaga kualitas pembelajaran. Dalam waktu lima tahun, perpaduan bijak antara e-learning dan pendidikan tatap muka bisa menjadi norma baru, menciptakan sistem pendidikan yang lebih kuat, tangguh, dan inklusif.

 

Sumber Artikel:
https://doi.org/10.1007/s10639-021-10454-x