Pendidikan

Berkat Publikasi Ilmiah Versi Nature Index, UI Kembali Raih Top Institutions di Indonesia

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 09 Mei 2024


Setelah mendapatkan penghargaan awal tahun ini dari The Conversation Indonesia sebagai Institusi Terproduktif karena Penulisan Artikel Ilmiah Populer dari para akademisinya, Universitas Indonesia (UI) kembali dinyatakan sebagai yang terunggul di Indonesia oleh Nature Index. Nature Index adalah open-source database mengenai afiliasi penulis yang bertujuan melacak kontribusi mereka pada sebuah artikel penelitian. Selain unggul di antara institusi pendidikan, UI juga unggul di lembaga riset.

Tahun ini, UI mengalami kenaikan signifikan pada nilai Share (sebaran kontribusi) penelitian, yakni dari 1,18 menjadi 3,52. Nilai Share tersebut diperoleh dari 16 artikel UI di jurnal internasional berkualitas tinggi yang terbit pada periode 1 September 2022–31 August 2023.

Nature Index menetapkan 145 jurnal di bidang ilmu pengetahuan alam dan kesehatan sebagai acuan untuk penilaian artikel riset. Jurnal-jurnal tersebut dipilih berdasarkan reputasinya oleh kelompok peneliti independen.

Sebanyak 16 artikel UI yang merupakan luaran hasil penelitian dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Kedokteran, dan Fakultas Teknik, masuk di dalam empat subject riset, yakni Biological Sciences, Chemistry, Health Sciences, dan Physical Sciences. UI mengalami kenaikan nilai Share untuk subject Health Sciences (dari 0,28 menjadi 0,56) dan Physical Sciences (0,8 menjadi 2,85).

Adapun keenam belas artikel tersebut terbit di beberapa jurnal internasional, antara lain Nature, Nature Communications, Neuron, Chemical Communications, Gut, Journal of Infectious Diseases, The Lancet Global Health, The New England Journal of Medicine, ACS Nano, Applied Physics Letters, European Physical Journal C, dan Physical Review B.

Di antara artikel tersebut, artikel berjudul “Strong Lensing and Shadow of Ayon-Beato–Garcia (ABG) Nonsingular Black Hole” yang terbit di jurnal European Physical Journal C memperoleh nilai Share tertinggi. Artikel ini ditulis oleh tim peneliti dari Departemen Fisika, FMIPA UI, dibawah koordinasi Dr. Handika S. Ramadhan.

Selain itu, artikel lain yang berjudul “Towards Precise Constraints in Modified Gravity: Bounds on Alternative Coupling Gravity Using White Dwarf Mass-Radius Measurements”—ditulis oleh tim peneliti yang diketuai oleh Prof. Anto Sulaksono dari Departemen Fisika—memperoleh nilai Share yang tinggi, yakni 0,75.

Menurut Direktur Riset dan Pengembangan UI, Munawar Khalil, S.Si., M.Eng.Sc., Ph.D., Nature Index, dalam pemeringkatannya, tidak hanya menjadikan kuantitas riset sebagai ukuran, tetapi juga melihat seberapa besar kontribusi peneliti dalam sebuah penelitian. Jika sebuah penelitian dikerjakan oleh puluhan peneliti, tentu kontribusi yang diberikan masing-masing peneliti lebih kecil dibandingkan penelitian yang dikerjakan oleh dua atau empat orang. Karena itu, kuantitas bukan menjadi satu-satunya ukuran dalam Nature Index.

“Meski sebuah institusi menerbitkan banyak riset, namun jika kontribusi peneliti kecil, tentu nilai Share-nya juga kecil. Oleh sebab itu, UI terus mendorong para penelitinya agar semakin banyak artikel penelitian yang mampu menembus jurnal-jurnal terbaik dunia, sehingga kontribusi UI di kancah internasional semakin besar,” ujar Khalil.

Disadur dari: ui.ac.id

Selengkapnya
Berkat Publikasi Ilmiah Versi Nature Index, UI Kembali Raih Top Institutions di Indonesia

Pendidikan

Indonesia Harus Memperluas Inisiatif MBKM di Tingkat ASEAN

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 09 Mei 2024


Lanskap angkatan kerja di Indonesia mencerminkan realitas yang kompleks yang mencakup berbagai faktor sosial, ekonomi, dan demografi. Pertumbuhan penduduk yang cepat, tingkat urbanisasi yang tinggi, dan kesempatan kerja yang tidak merata merupakan beberapa isu yang mempengaruhi lingkungan kerja di Indonesia.

Pertama, populasi Indonesia terus tumbuh dengan cepat. Populasi Indonesia diperkirakan akan mencapai sekitar 275 juta jiwa pada tahun 2023. Pertumbuhan penduduk yang cepat memberikan tekanan besar pada angkatan kerja, dan jumlah orang yang memasuki pasar tenaga kerja meningkat setiap tahun. Dalam konteks ini, menciptakan lapangan kerja yang cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk usia kerja merupakan tantangan besar.

Kedua, urbanisasi yang kuat juga mempengaruhi lingkungan kerja di Indonesia. Banyak masyarakat pedesaan bermigrasi ke kota-kota besar untuk mencari peluang ekonomi yang lebih baik. Namun, daerah perkotaan seringkali tidak dapat menampung imigran dalam jumlah besar karena keterbatasan infrastruktur dan kesempatan kerja. Akibatnya, pengangguran dan tenaga kerja tidak terampil di sektor informal menjadi masalah serius.

Selain itu, ketidaksetaraan kesempatan kerja merupakan masalah serius dalam lingkungan kerja di Indonesia. Terbatasnya kesempatan kerja di sektor publik menjadi hambatan untuk meningkatkan tingkat perlindungan sosial. Banyak perusahaan lebih memilih untuk menggunakan pekerja kontrak atau pekerja sementara untuk mengurangi biaya dan kewajiban hukum. Bagi banyak pekerja, hal ini menyebabkan akses yang lebih rendah terhadap perlindungan sosial, upah yang lebih rendah, dan kurangnya jaminan pekerjaan. Terdapat juga kesenjangan ekonomi antara daerah perkotaan dan pedesaan, dan kesempatan kerja yang layak sering kali terkonsentrasi di kota-kota besar.

Pendidikan di Indonesia menghadapi banyak masalah yang mempengaruhi kualitas dan aksesibilitasnya. Salah satu masalah utama adalah rendahnya kualitas pendidikan. Meskipun jumlah sekolah dan jumlah siswa meningkat, standar pendidikan masih belum memadai. Kurikulum yang tidak relevan dan metode pengajaran tradisional seringkali tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang berkualitas.

Selain itu, kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan telah menjadi masalah utama. Fasilitas pendidikan di daerah pedesaan terbatas dan seringkali tidak memadai. Karena sulitnya mencari guru yang berkualitas di daerah pedesaan, prestasi akademik siswa di daerah terpencil seringkali lebih rendah daripada siswa di daerah perkotaan.

Kurikulum yang tidak memadai dan kurangnya reformasi kurikulum merupakan masalah yang perlu diatasi. Reformasi kurikulum yang relevan dan selaras dengan tuntutan zaman, teknologi, dan dunia kerja merupakan kunci untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan di masa depan.

Munculnya perkembangan teknologi telah memberikan dampak positif bagi dunia pendidikan, namun masih ada tantangan dalam memanfaatkan teknologi secara maksimal. Banyak sekolah yang tidak memiliki akses yang memadai terhadap teknologi, guru tidak terbiasa menggunakan teknologi pendidikan, dan aksesibilitas digital untuk siswa yang berada di daerah terpencil juga menjadi masalah.

Masalah pendanaan menjadi kendala dalam pengembangan sistem pendidikan di Indonesia. Meskipun anggaran pendidikan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, anggaran tersebut masih terbatas dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur berkualitas, pelatihan guru dan pengembangan kurikulum.

Sistem pemantauan dan evaluasi pendidikan yang tidak efektif juga merupakan masalah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Kurangnya mekanisme pemantauan yang ketat dan penilaian yang akurat dapat menyebabkan standar pendidikan yang lebih rendah.

Selain ketidaksetaraan akses, terdapat juga perbedaan kualitas pendidikan antar wilayah di Indonesia. Sekolah-sekolah di daerah perkotaan umumnya memiliki fasilitas yang lebih baik, guru yang lebih berkualitas, dan lingkungan belajar yang lebih baik daripada sekolah-sekolah di daerah pedesaan.

Hal ini menyebabkan perbedaan hasil pendidikan antara siswa di daerah perkotaan dan pedesaan. Terlepas dari upaya-upaya untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, Indonesia masih menghadapi masalah rendahnya angka partisipasi dan retensi siswa. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain kemiskinan, kerawanan sosial, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Banyak anak di Indonesia yang terpaksa putus sekolah atau berjuang untuk menyelesaikan pendidikan mereka.

Langkah ke depan: saran untuk Internasionalisasi

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa tenaga kerja di Indonesia sangat dinamis. Jumlah penduduk yang terus meningkat, urbanisasi yang tinggi, dan kesempatan kerja yang tidak merata di negara ini memberikan dampak dan kekhawatiran yang signifikan bagi masa depan bangsa.

Pendidikan adalah tulang punggung masa depan bangsa. Pendidikan perlu menjadi pemecah masalah dalam dinamika angkatan kerja di Indonesia. Namun pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia juga mengalami masalah yang serupa. Selain kesenjangan pendidikan antar golongan masyarakat dan perbedaan pendidikan di perkotaan dan pedesaan, masalah lain seperti kurikulum menjadi tantangan besar. Kurikulum pendidikan di Indonesia sejauh ini kurang fleksibel dalam menghadapi perkembangan zaman.

Saat ini, pemerintah telah berusaha untuk mengatasi masalah ini melalui program MBKM. Program ini menghubungkan mahasiswa di perguruan tinggi dengan pihak eksternal. Pihak eksternal tidak terbatas pada perusahaan swasta, tetapi juga instansi pemerintah melalui program magang. Mahasiswa juga diberikan kebebasan untuk melakukan kegiatan lain selain magang, seperti studi mandiri, kampus mengajar, dan pertukaran pelajar.

Mengambil contoh pertukaran pelajar, ada program IISMA (Indonesia International Student Mobility Awards) yang mengirimkan pelajar Indonesia untuk merasakan pengalaman pertukaran pelajar ke luar negeri. Program pengiriman mahasiswa Indonesia untuk merasakan pengalaman di luar negeri sejauh ini baru ada di program ini.

Penulis menyarankan agar program-program MBKM lainnya juga perlu didorong untuk diinternasionalisasikan. Program magang, studi mandiri, dan kampus mengajar perlu didorong oleh pemerintah untuk menciptakan tenaga kerja Indonesia yang tangguh, dan integrasi lebih lanjut di ASEAN.

Pendidikan, dalam hal ini, merupakan aspek utama dalam pembangunan bangsa dan daerah di kawasan ASEAN. Integrasi pendidikan tinggi yang kuat di kawasan ini diharapkan dapat menciptakan iklim pertumbuhan regional yang kondusif dan memberikan akses pendidikan yang setara bagi seluruh negara di ASEAN.

Disadur dari: moderndiplomacy.eu

Selengkapnya
Indonesia Harus Memperluas Inisiatif MBKM di Tingkat ASEAN

Pendidikan

Refleksi hari pendidikan nasional: mengurai permasalahan pendidikan tinggi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 09 Mei 2024


Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dirayakan setiap tahun pada tanggal 2 Mei, bertepatan dengan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh penting yang berjuang demi hak pendidikan untuk semua lapisan masyarakat Indonesia.

Berbicara tentang pendidikan di Indonesia, khususnya di tingkat perguruan tinggi, banyak sekali masalah yang timbul belakangan ini. Mulai dari kasus pencatutan nama yang dilakukan oleh Kumba Digdowiseiso, tagar #JanganJadiDosen yang membahas rendahnya gaji tenaga pengajar, hingga biaya kuliah yang semakin tinggi.

Untuk menggali lebih dalam mengenai permasalahan pendidikan tinggi di Indonesia, dalam episode SuarAkademia edisi khusus Hari Pendidikan Nasional, kami berbincang dengan Abdil Mughis Mudhoffir, Humboldt research fellow dari GIGA Institute of Asian Studies, Australia.

Mughis berpendapat, muara dari permasalahan ini adalah kontrol yang berlebihan dari pemerintah ditengah era neoliberalisme.

Mughis menjelaskan bahwa kontrol negara mencakup berbagai aspek seperti anggaran pendidikan, pendanaan penelitian, manajemen perguruan tinggi, dan evaluasi kinerja. Hal ini menyebabkan kebijakan kampus yang terbit justru kental akan unsur politik daripada perkembangan kampus itu sendiri.

Situasi ini semakin rumit di tengah era neoliberalisme. Mughis menjelaskan bahwa neoliberalisasi yang diperkenalkan pada 1980-an memiliki tujuan untuk mengurangi kontrol negara dan intervensi dalam pendidikan tinggi, yang mengarah ke privatisasi kebijakan pendidikan tinggi.

Pergeseran ini bertujuan untuk membuat pendidikan tinggi lebih fleksibel, kompetitif, dan dapat diakses oleh investasi swasta. Namun privatisasi perguruan tinggi ini juga menimbulkan beberapa masalah, salah satunya kemungkinan penurunan akses untuk kelompok tertentu.

Dalam melihat situasi di Indonesia, Mughis menyoroti kompleksitas menyeimbangkan kapasitas akademik dengan pertimbangan politik. Mughis menunjukkan bahwa meski neoliberalisasi bertujuan untuk mengurangi kontrol negara, intervensi belum sepenuhnya hilang.

Karena itu, ia membahas juga pentingnya membangun kekuatan politik komunitas akademik sendiri untuk mendorong perubahan dan lebih mewakili kepentingan rakyat, serta mengembangkan keterampilan penelitian dan publikasi di antara para dosen.

Sumber: theconversation.com

Selengkapnya
Refleksi hari pendidikan nasional: mengurai permasalahan pendidikan tinggi di Indonesia

Pendidikan

Pendidikan Tinggi Tidak Murah, Biaya Kuliah Indonesia Butuh Gotong Royong

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 09 Mei 2024


Penyiapan sumber daya manusia unggul dan berdaya saing tinggi di perguruan tinggi ini membutuhkan biaya yang tidak murah. Oleh karena itu, harus dipenuhi secara bergotong royong oleh pemerintah, industri, dan masyarakat. 

Akses pendidikan tinggi di Indonesia beberapa dasawarsa terakhir terus meningkat. Namun, masyarakat mengeluhkan biaya di perguruan tinggi yang dianggap mahal. 

“Di seluruh dunia, pendidikan tinggi pun tidak murah. Jika dibandingkan dengan berbagai negara tetangga, apalagi dengan negara maju, di Indonesia relatif rendah atau tertinggal,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nizam di acara bincang edukasi secara hybrid bertajuk Mengupas Skema Terbaik dan Ringankan Pendanaan Mahasiswa di Universitas Yarsi.

Bincang edukasi tersebut digagas Study Club Edukasi Media Peliput Akademi (CEMPAKA) berkolaborasi dengan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Hadir sebagai narasumber lainnya secara luring yakni Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kemendikburitek, Sri Suning Kusumawardani; Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Handayani; Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Didin Muhafidin, serta penanggap Rektor Universitas Yarsi Fasli Jalal.

Nizam memaparkan rata-rata biaya total pendidikan Indonesia sekitar USD 2.000 atau sekitar Rp 28 juta per mahasiswa. Jika dibandingkan India yang berkisar USD 3.000 per mahasiswa, biaya di Indonesia berkisar 75 persennya.

Jika dibandingkan Malaysia baru seperempatnya karena biaya kuliah di sana sekitar USD 7.000 per mahasiswa. Di Singapuara mencapai USD 25.000 per mahasiswa sedangkan di Australia berkisar USD 20.000 per mahasiswa, dan Amerika USD 23.000 per mahasiswa. 

Di negara Skandinavia, biaya pendidikan memang ditanggung negara, karena masyarakat membayar pajak penghasilan tinggi. Adapun di Indonesia, pembayaran pajak masih rendah.  

“Pembiayaan pendidikan secara gotong royong, dilakukan di Indonesia dan juga negara-negara maju.  Ada subsidi pemerintah dan dari mahasiswa,” ujar Nizam. 

Nizam menyebut model pendanaan kuliah berkeadilan diterapkan bagi mahasiswa, sesuai kemampuan ekonomi keluarga. Bahkan untuk mahasiswa dari keluarga miskin/tidak mampu ada Kartu Indonesia Pintar (KIP ) Kuliah yang anggarannya lebih dari Rp 13 triliun.

“Ada tantangan bagi  kelompok masyarakat menengah. Untuk membiayai kuliah berat,  tetapi tidak eligble mendapat KIP Kuliah. Untuk itu, kita perlu mencari skema pendanaan yang baik, yang tidak membuat mahasiswa terjerat utang seumur hidup,” ujar Nizam.

Pemerintah, kata Nizam, melalui Kementerian Keuangan sedang mengkaji skema student loans yang ramah dan tidak menyebabkan lulusan dijerat utang, serta tidak gagal bayar. Salah satu skema student loans yang dikaji intens yakni Income Contingent Loans yang diterapkan di Australia, yang juga direplikasi di Inggris dan beberapa negara lain.

“Mudah-mudahan dengan skema tersebut, akses ke perguruan tinggi tidak lagi terkendala kemampuan ekonomi orang tua,” kata Nizam.  

Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI) Handayani mengatakan sitausi inflasi biaya pendidikan tidak terhindarkan. Rata-rata inflasi biaya pendidikan  di kisaran 3,8 – 5 persen. Bahkan di perguruan tinggi utama, inflasi biaya pendidikan bisa di kisaran 8-10 persen.

Menurut Handayani, perbankan dapat memfasiliatsi kebutuhan pembiayaan pendidikan dari tingkat awal pendidikan hingga perguruan tinggi. “BRI sebagai salah satu BUMN milik pemerintah dan go public, sebagai tanggung jawab, juga menaruh perhatian pada pendidikan. Kami menyalurkan bantuan untuk meningkatkan kompetensi SDM,” kata Handayani.

Terkait pinjaman daring atau online sebenarnya tidak salah, tetapi jika berbunga tinggi tentunya memberatkan peminjam. Berdasarkan data, kalangan pelajar juga ada yang terjerat pinjaman daring, bahkan untuk kalangan guru termasuk tinggi, hingga 42 persen. 

Sumber: m.jpnn.com

Selengkapnya
Pendidikan Tinggi Tidak Murah, Biaya Kuliah Indonesia Butuh Gotong Royong

Pendidikan

Liberalisasi Pendidikan Tinggi Sulit Dihindari

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 09 Mei 2024


ISU liberalisasi pendidikan tinggi atau komersialisasi pendidikan tinggi akibat penerapan PTN-BH mencuat saat ini, ditambah juga terdapat kejadian mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) kesulitan membayar UKT yang mahal. Isu ini juga dibahas dalam debat capres terakhir beberapa hari yang lalu, tapi tidak ada solusi konkret yang dipaparkan oleh para capres.

Pengamat Pendidikan sekaligus Sekretaris Komnas Pendidikan Andreas Tambah menilai bahwa liberalisasi pendidikan tinggi saat ini memang sulit dihindari. Di sini lah peran pemerintah dibutuhkan untuk melakukan kontrol. “Sebab bisnis pendidikan memang sangat menggiurkan dan tidak ada matinya sekalipun di masa krisis.

Dalam hal pengelolaan keuangan PTN-BH, pemerintah tentu perlu membuat standar pengelolaannya, di mana SOP tersebut seharus memiliki keberpihakan terhadap masyarakat dan PTN-BH perlu diaudit secara berkala,” ungkapnya kepada Media Indonesia.

Secara terpisah, Rektor Universitas Airlangga sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Prof Mohammad Nasih mengungkapkan hal yang berbeda. Menurutnya saat ini tidak ada liberalisasi pendidikan. “Semua PTN ternasuk PTN-BH terikat pada peraturan dan ketentuan dari pemerintah dalam hal ini Direktorat Pendidikan Tinggi termasuk soal UKT,” ujar Prof Nasih.

Hal yang terjadi saat ini justru menurutnya PTN merasakan terlalu banyak aturan. PTN khususnya PTN-BH ditarget harus menjadi WCU (World Class University), tapi diikat dengan aturan termasuk mengenai UKT. “Ya pasti negara harus hadir memperbanyak alokasi untuk pendidikan. KIP Kuliah at cost ditambah, beasiswa S2 dan S3 ditambah juga, BPPTNBH dilipatgandakan, pajak untuk PTNBH dieliminasi dan seterusnya,” tuturnya. Dia berharap ke depannya pemerintah harus bisa lebih selektif dalam mentransformasikan PTN ke PTN-BH.

Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menegaskan saat ini tidak ada solusi konkret untuk mengentikan agenda liberalisasi di pendidikan tinggi, termasuk dari para capres.

“Pertanyaan soal UKT mahal di perguruan tinggi negeri ini juga gagal dimanfaatkan oleh para kandidat untuk membuat kebijakan baru dan skema baru dalam pembiayaan di perguruan tinggi. Semua main aman dan tidak punya keberpihakan yang jelas,” kata Ubaid.

“Misalnya Ganjar bilang, Hentikan liberalisasi pendidikan. Sementara Anies mengatakan, urusan pembiayaan adalah tanggung jawab negara dan orangtua, sedangkan perguruan tinggi fokus ke pendidikan dan urusan akademik. Saya justru mempertanyakan, bagaimana ini ide semua bisa terwujud, jika status perguruan tinggi kita masih PTNBH yang payungi oleh UU No.12 tahun 2012,” sambungnya.

Dia menekankan, jika para kandidat capres menginginkan perubahan sistem yang kini dianggap sebagai liberalisasi pendidikan, maka ide terobosannya adalah harus berani menghapus status PTN-BH, sebagai biang kerok mahalnya biaya kuliah. Sayangnya, tidak ada satu pun kandidat yang mempersoalkan status PTN-BH dan sistem yang tidak berkeadilan yang termaktub dalam UU No.12 tahun 2012.

Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri menegaskan bahwa keberadaan PTN-BH masih menjadi penghalang akses pendidikan bagi masyarakat ekonomi lemah dan harus dibenahi. “Sayangnya ini tidak dibicarakan oleh para capres,” pungkas Iman.

Sumber: mediaindonesia.com

Selengkapnya
Liberalisasi Pendidikan Tinggi Sulit Dihindari

Pendidikan

Menantang Neoliberalisasi: Membiayai Pendidikan Tinggi secara Adil dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 09 Mei 2024


Pendidikan tinggi (mestinya) menjadi public good

Pendidikan tinggi memang telah lama menanggalkan amanat sebagai wahana demokratisasi dan bersekongkol dengan logika pasar (neoliberalisasi), ungkap Henry Giroux, akademisi asal Amerika Serikat. 

Dalam konteks Indonesia, persoalan neoliberalisasi pendidikan tinggi juga sudah jamak diulas oleh beberapa akademisi yang fokus pada ilmu pendidikan (pedagogi), seperti oleh Ben Laksana, Andrew Rosser, dan  Joko Susilo. Semua studi sepakat bahwa wujud nyata neoliberalisasi pendidikan tinggi dapat juga disebut sebagai korporatisasi kampus.

Neoliberalisasi maupun korporasi kampus bukan hanya menyangkut masalah aksesibilitas, tetapi sesungguhnya juga suasanatakademik yang membungkusnya, yaitu kurikulum pendidikan tinggi yang cenderung disusun ‘hanya’ untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. 

Di Indonesia, gejala ini semakin jelas ketika pemerintah memberikan otonomi kepada PTN melalui skema BHMN (Badan Hukum Milik Negara) pada 2000 dan kemudian PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum) pada 2012 melalui pengesahan UU No. 12 tahun 2012 (UU Pendidikan Tinggi – Dikti). Pemerintah memang tetap akan membiayai PTN, namun mereka konsisten bersikeras bahwa pendidikan tinggi bukan barang publik (public good) yang harus dibiayai penuh oleh negara. 

Hal ini terlihat dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003-2010 yang disusun pada 2004 atau delapan tahun sebelum pemerintah meresmikan UU Dikti. Pada halaman 9 dokumen tersebut, tertera pernyataan, “Pendidikan tinggi lebih bersifat sebagai barang privat daripada barang publik. Oleh karena itu, sebagai pihak yang akan mendapatkan manfaat langsung, mahasiswa yang mampu harus ikut berpartisipasi membiayai pendidikannya.”

Padahal, di saat yang sama, pemerintah juga meratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) melalui UU No.11 Tahun 2005. Dalam pasal 13 ayat (2) huruf c kovenan yang diformulasikan unit kerja PBB untuk Hak Asasi Manusia (UNOHCR) tersebut dikatakan, “Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap.

”Seharusnya, dengan meratifikasi Kovenan Ekosob sebagai dasar hukum yang mengikat selayaknya undang-undang, kewajiban negara terkait penyediaan pendidikan tidak hanya berhenti pada pendidikan dasar atau menengah, tetapi juga mencakup akses pada pendidikan tinggi."

Semenjak empat PTN (Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Pertanian Bogor) diresmikan menjadi BHMN pada 2000, biaya pendidikan dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terus meningkat dengan porsi pembiayaan yang mayoritas bersumber dari dana masyarakat.

Contohnya, sejak adanya otonomi pendidikan tinggi dalam bentuk PTN-BH, universitas mencari pemasukan utama dari penambahan jumlah mahasiswa, bukan dari sumber produktif lainnya. Berdasarkan data Bappenas pada 2019, pemasukan utama pembiayaan PTN-BH bersumber dari masyarakat (37%), baru disusul dana pemerintah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara – APBN) sebesar 33%.

Seorang mantan petinggi Dikti pada 2016 pernah memberi gambaran ideal bahwa PTN-BH sebaiknya didanai sebesar 40% dari negara, 30% dari uang kuliah mahasiswa, dan sisa 30% dari pemasukan internal PTN yang bersangkutan. Kebutuhan dana operasional Universitas Indonesia pada 2019 misalnya, mencapai angka Rp 293,8 Miliar yang sebagian besar dipenuhi melalui alokasi BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri) dan non-APBN. Hanya jika biaya operasional rutin ini terpenuhi, PTN dapat berkreasi untuk mencari dana bagi kegiatan riset, kolaborasi, dan program inovasi lainnya. 

Alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20% tidak boleh dijadikan lip service (omong kosong) belaka, tetapi harus benar-benar diwujudkan dalam bentuk investasi pendidikan. Angka 20% tidak dimaksudkan untuk membayar gaji pegawai, melainkan diperhitungkan untuk menutup student unit cost (Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi – SSBOPT). Dengan itu, kampus tidak perlu membebankan biaya tersebut ke mahasiswa, apalagi sampai membuat mahasiswa harus mencari pinjaman dana ke lembaga pemberi pinjaman online

Besarnya dana operasional perguruan tinggi yang tidak didanai secara memadai oleh pemerintah dan otonomi keuangan membuat PTN-BH kembali pada skema pembiayaan lama (tetapi baru), yaitu pinjaman mahasiswa atau student loan. Skema ini sudah pernah dijalankan di era 1980 dengan nama Kredit Mahasiswa Indonesia dan kini kita lihat kembali dalam kasus di ITB.

Bedanya, kasus di ITB melibatkan pihak ketiga berupa perusahaan penyedia jasa pinjaman online yang memberikan bunga pinjaman cukup mencekik. Pinjaman online semacam itu juga memiliki reputasi buruk di Indonesia, karena lebih banyak menyengsarakan masyarakat akibat bunga yang mereka bebankan.

Berbagai contoh gagal skema student loan bisa kita pelajari bersama. Implementasi student loan terburuk bisa kita lihat di Amerika Serikat yang membebaskan skema student loan ke pasar dengan bunga pinjaman variatif. Dalam studi yang dirilis oleh Brookings Institution tahun 2017, sebanyak 28-29% penerima pinjaman kuliah bahkan tidak mampu membayar kembali pinjaman yang telah diterimanya (default).

Mencari Itikad pembiayaan yang adil dan berkelanjutan?

Beberapa skema yang terbukti berhasil, seperti pemanfaatan dana abadi ala LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang mengumpulkan dana beasiswa di luar APBN, patut dipertimbangkan. Jika strategi penggunaan dana abadi dialihkan untuk keperluan biaya operasional rutin, kebutuhan untuk terus mengandalkan biaya kuliah dari mahasiswa dapat ditekan. 

Dengan kata lain, jika pemanfaatan dana abadi diestimasi dengan rata-rata biaya operasional PTN, praktik seperti perlombaan menambah jalur mandiri dan menambah jumlah mahasiswa bisa ditekan dan masyarakat tidak dibebankan dengan biaya kuliah yang tinggi. Keterampilan dalam mengelola dana abadi ini juga akan berpengaruh dalam hal kemampuan menggaji dosen dengan layak.

Selain itu, peran pemerintah daerah seharusnya lebih dioptimalkan dalam pembiayaan pendidikan tinggi ke depan, ketimbang hanya mengandalkan kenaikan UKT atau jalur mandiri yang tidak diawasi pemerintah pusat. Ini penting, sebab berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah, pemerintah daerah masih sangat minim berperan dalam mendanai penyelenggaraan pendidikan tinggi. 

Meskipun berbagai PTN-BH memiliki otonomi, pemerintah daerah tetap tidak memiliki tanggung jawab terhadap berbagai perguruan tinggi yang terdapat di wilayahnya. Kendala bagi pemerintah daerah dalam membiayai pendidikan tinggi juga terletak di beberapa regulasi yang membatasi kontribusi mereka sebatas dalam bentuk pemberian aset.

Padahal, dalam jangka panjang, pembiayaan pendidikan tinggi yang hanya mengandalkan dana pemerintah pusat tidak lagi strategis dan berkelanjutan. Apalagi, ketika pembuat kebijakan tidak memiliki orientasi untuk melihat pendidikan tinggi sebagai sebuah hak yang harus diupayakan negara.

Sumber: anotasi.org

 

Selengkapnya
Menantang Neoliberalisasi: Membiayai Pendidikan Tinggi secara Adil dan Berkelanjutan
« First Previous page 11 of 46 Next Last »