Pendidikan dan Pelatihan

Membangun Metodologi Desain Pembelajaran untuk Program Pendek di Pendidikan Lanjutan dan Berkelanjutan: Telaah Konseptual dan Reflektif

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 14 Agustus 2025


Pendahuluan: Latar dan Fokus Penelitian

Paper karya Lillian Buus dan Marianne Georgsen ini membahas metodologi desain pembelajaran untuk mengembangkan program pembelajaran pendek (short learning programmes) di lingkungan pendidikan lanjutan dan berkelanjutan. Konteksnya adalah School of Continuing Education, VIA University College, Denmark, yang selama lima tahun terakhir berfokus pada kursus berbasis blended learning dengan siklus desain yang cepat: perancangan, penyelenggaraan, dan penyelesaian dalam waktu singkat.

Isu utama yang diangkat adalah kesenjangan keterampilan dan peran guru ketika berpindah dari pengajaran tatap muka tradisional ke pembelajaran daring dan campuran. Meskipun ada dukungan dari desainer pembelajaran profesional, para pengajar kerap memusatkan desain pada konten, kurikulum, dan teknis, sementara aspek peran guru dan proses belajar siswa sering terabaikan.

Vignette: Potret Nyata Tantangan di Lapangan

Paper ini diawali dengan vignette yang menggambarkan dua dosen sedang merancang ulang modul “Practical Methods in Social Science”.
Dalam workshop bersama desainer pembelajaran:

  • Fokus utama mereka: menambahkan materi bacaan baru, memanfaatkan video, dan mempertahankan pola tatap muka.

  • Yang terabaikan: alur proses belajar siswa, integrasi aktivitas daring, dan inovasi berbasis potensi teknologi.

  • Resistensi: muncul ketika diminta mengurangi jam tatap muka, karena diyakini hanya interaksi langsung yang dapat mengamati pembelajaran terjadi.

Vignette ini merepresentasikan hambatan kognitif dan budaya—guru melihat teknologi sebagai “tambahan” alih-alih kesempatan mendesain ulang proses pembelajaran.

Rumusan Masalah Penelitian

Penulis mengajukan pertanyaan utama:

Bagaimana sebuah metodologi desain pembelajaran dapat menggabungkan tingkat strategis, taktis, dan operasional sehingga memfasilitasi kerja desain guru, terlepas dari pengalaman mereka sebelumnya?

Pertanyaan ini mengandung tiga tantangan:

  1. Inklusi guru tanpa pengalaman daring.

  2. Membangun kerangka profesional yang menghargai keahlian tiap pihak.

  3. Desain efektif untuk program pendek.

  4. Mendukung transformasi identitas guru menjadi fasilitator online.

Kerangka Teori: Definisi dan Pendekatan Desain Pembelajaran

Penulis mendefinisikan learning design sebagai metodologi yang memungkinkan pengajar (dengan atau tanpa latar teknologi) merancang, menggambarkan, dan membagikan struktur proses pembelajaran secara eksplisit. Tiga dimensi inti yang perlu diintegrasikan adalah:

  1. Konten – materi ajar dan kurikulum.

  2. Pedagogi – prinsip dan strategi pembelajaran.

  3. Teknologi – media dan alat digital.

Pendekatan ini menuntut kolaborasi antara guru, desainer pembelajaran, dan produser kursus. Dengan demikian, desain bukan sekadar tugas individual, tetapi bagian dari strategi organisasi.

Metodologi Desain: Tiga Tingkat Kegiatan

Metodologi yang diusulkan memadukan tiga tingkat:

1. Tingkat Strategis

  • Menentukan visi organisasi terkait digitalisasi.

  • Menetapkan kerangka kerja yang mendukung adopsi blended learning.

  • Menyediakan sumber daya dan waktu bagi pengajar.

2. Tingkat Taktis

  • Menerjemahkan strategi menjadi rencana pengembangan modul atau program.

  • Memilih pendekatan blended learning yang sesuai konteks.

  • Mengatur workshop kolaboratif.

3. Tingkat Operasional

  • Implementasi desain oleh tim (guru, desainer, teknisi).

  • Uji coba, evaluasi, dan revisi desain.

  • Fokus pada pengalaman belajar siswa dan peran fasilitasi guru.

Proses Kolaboratif dan Teknik Partisipatif

Penulis menekankan workshop desain sebagai ruang utama untuk:

  • Menyusun storyboard yang menggabungkan aktivitas guru dan siswa.

  • Mengidentifikasi titik kritis peran guru dalam lingkungan daring.

  • Mengeksplorasi potensi teknologi untuk membentuk pengalaman belajar.

Teknik ini mendorong co-creation—guru bukan hanya “pengguna akhir” desain, tetapi kontributor aktif.

Temuan dan Hasil Studi

Meskipun paper ini tidak berisi data kuantitatif masif, ada temuan kunci:

  • Perubahan peran guru: dari penyampai materi menjadi fasilitator dan pengelola interaksi daring.

  • Gap keterampilan: banyak guru kesulitan mengartikulasikan prinsip pedagogis dan mengimajinasikan penggunaan teknologi.

  • Efektivitas workshop: ketika guru didampingi desainer pembelajaran, desain menjadi lebih berorientasi pada proses belajar siswa.

Refleksi dari implementasi menunjukkan bahwa desain kolaboratif dapat mempercepat adopsi blended learning bahkan untuk guru yang awalnya skeptis.

Makna Teoretis dari Temuan

Secara konseptual, penelitian ini menguatkan gagasan bahwa:

  • Transformasi digital di pendidikan tidak bisa hanya fokus pada infrastruktur dan konten, tetapi harus menyentuh role identity guru.

  • Desain pembelajaran adalah proses sosial-kognitif yang memerlukan dialog antara visi organisasi, kapasitas individu, dan realitas teknis.

  • Pengalaman langsung dalam proyek kolaboratif lebih efektif membangun keterampilan desain daripada pelatihan teoretis semata.

Kritik terhadap Pendekatan

Beberapa catatan kritis:

  1. Keterbatasan data kuantitatif
    Paper ini lebih bersifat konseptual-reflektif, sehingga klaim efektivitas metode belum diperkuat angka hasil pembelajaran.

  2. Potensi bias institusional
    Karena studi diambil dari konteks satu institusi, ada risiko hasilnya tidak sepenuhnya generalisable.

  3. Kurang eksplorasi teknologi spesifik
    Meskipun teknologi disebut penting, detail platform atau fitur yang paling efektif tidak dibahas mendalam.

Implikasi Praktis

Dari sisi implementasi, pendekatan ini:

  • Cocok untuk organisasi pendidikan yang ingin mengubah program tatap muka menjadi blended learning dalam waktu singkat.

  • Memerlukan komitmen manajemen untuk memberi ruang kolaborasi guru-desainer.

  • Dapat mengurangi resistensi guru melalui keterlibatan aktif dalam proses desain.

Potensi dan Arah Penelitian Selanjutnya

Penulis menyarankan untuk:

  • Mengembangkan studi longitudinal tentang dampak metodologi ini terhadap hasil belajar siswa.

  • Mengeksplorasi adaptasi metode di sektor atau negara lain.

  • Memperdalam pemetaan keterampilan guru yang diperlukan di era pembelajaran digital.

Secara ilmiah, temuan ini membuka peluang untuk mengintegrasikan desain pembelajaran, pengembangan profesional guru, dan strategi organisasi menjadi satu kerangka kerja yang saling memperkuat.

Kesimpulan

Paper ini menyumbang wawasan penting tentang metodologi desain pembelajaran kolaboratif untuk program pendek di pendidikan lanjutan dan berkelanjutan. Pendekatan tiga tingkat (strategis, taktis, operasional) memberi struktur yang memfasilitasi guru dari berbagai latar belakang pengalaman, sekaligus menempatkan peran mereka sebagai fasilitator daring di pusat desain.

Implikasinya bagi dunia pendidikan adalah jelas: tanpa kerangka desain yang melibatkan guru secara aktif, inovasi digital cenderung terjebak dalam adaptasi parsial yang tidak mengubah esensi proses belajar. Metodologi ini memberi arah bagaimana transisi itu bisa dilakukan secara sistematis dan inklusif.

Selengkapnya
Membangun Metodologi Desain Pembelajaran untuk Program Pendek di Pendidikan Lanjutan dan Berkelanjutan: Telaah Konseptual dan Reflektif

Pendidikan dan Pelatihan

Meningkatkan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia dalam Menghadapi Bencana Gempa: Analisis Program Pelatihan SMARTQuake UNS

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025


Pendahuluan

Indonesia sebagai negara yang berada di jalur cincin api (ring of fire) dunia sangat rentan terhadap gempa bumi. Dalam rentang 2009 hingga 2019 saja, tercatat lebih dari 71.000 kejadian gempa di tanah air. Situasi ini menjadi tantangan serius bagi sektor konstruksi, karena kegagalan struktur akibat gempa dapat menimbulkan kerugian besar, baik dari sisi materi maupun korban jiwa.

Tantangan tersebut diperparah oleh kenyataan bahwa mayoritas tenaga kerja konstruksi di Indonesia, seperti tukang dan mandor, lebih banyak mengandalkan pengalaman dan belajar secara autodidak. Pelatihan formal dan sistematis mengenai teknik bangunan tahan gempa sangat jarang diakses oleh mereka. Menjawab kebutuhan tersebut, Grup Riset SMARTQuake dari Universitas Sebelas Maret (UNS) menggagas program pelatihan peningkatan kompetensi tenaga kerja konstruksi yang berfokus pada kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bencana gempa.

Latar Belakang Program

Dengan menggandeng Dinas PUPR Kabupaten Pacitan, Jawa Timur—daerah dengan risiko gempa tinggi—program ini menargetkan peningkatan kualitas tukang, mandor, hingga pelayan tukang di wilayah tersebut. Pacitan sendiri pernah mengalami gempa besar (7.8 Mw) pada 1994 dan kembali diguncang gempa berkekuatan 5.3 Mw pada 2016.

Kegiatan pelatihan dirancang dalam tiga tahap:

  1. Tahap pertama (2022): Edukasi dasar mengenai seismisitas Indonesia dan mitigasi bencana.

  2. Tahap kedua: Teknik pencampuran material beton sesuai standar bangunan tahan gempa.

  3. Tahap ketiga: Pekerjaan detailing baja tulangan untuk struktur sederhana.
     

Metodologi Program

Program ini dilaksanakan dalam empat tahapan:

  1. Identifikasi masalah mitra melalui dialog dengan Dinas PUPR Pacitan.

  2. Persiapan selama tiga bulan: penyusunan materi, undangan peserta, hingga kuisioner pre dan post-test.

  3. Pelaksanaan pelatihan selama satu hari di Kantor Dinas PUPR.

  4. Monitoring dan evaluasi berbasis pre-test dan post-test untuk mengukur peningkatan kompetensi.
     

Sebanyak 39 peserta dari berbagai usia dan profesi hadir. Peserta paling dominan berasal dari rentang usia 41–50 tahun, yang diasumsikan memiliki pengaruh sosial di lingkungan kerja masing-masing.

Hasil Program dan Data Kunci

Pelatihan menghasilkan peningkatan rata-rata skor post-test sebesar 33% dibandingkan pre-test:

  • Rerata pre-test: 50 (rentang nilai 20–80)

  • Rerata post-test: 66 (rentang nilai 30–100)
     

Grafik persebaran skor menunjukkan peningkatan kompetensi merata di hampir semua peserta, terutama dalam pengetahuan seismik dasar, karakteristik gempa bumi, dan strategi mitigasi. Hasil ini menegaskan bahwa penyampaian materi yang sistematis dan aplikatif memberikan dampak positif.

Studi Kasus: Dampak Nyata

Seorang kepala tukang berusia 47 tahun dari Kecamatan Punung mengaku bahwa sebelumnya ia tidak tahu pentingnya detailing tulangan untuk menghindari keruntuhan bangunan. Setelah mengikuti pelatihan, ia mengadopsi teknik pengikatan yang lebih rapi dan kuat, dan membagikannya kepada 6 rekan tukangnya. Efek domino seperti ini menandakan keberhasilan program tidak hanya pada peserta langsung, tetapi juga menyebar ke lingkungan kerjanya.

Kritik dan Nilai Tambah

A. Kelebihan Program:

  • Menargetkan kelompok rentan (pekerja informal) yang selama ini terabaikan dalam pelatihan resmi.

  • Menggunakan pendekatan terstruktur dan berbasis riset.

  • Mengedepankan kolaborasi pemerintah daerah dan universitas.
     

B. Keterbatasan:

  • Cakupan geografis terbatas (hanya Kabupaten Pacitan).

  • Materi tahap lanjut belum terlaksana (hanya tahap 1 terealisasi pada 2022).

  • Tidak mengukur perubahan praktik kerja di lapangan pasca pelatihan.
     

Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

Penelitian serupa di Palu (Amir et al., 2013) dan Merauke (Doloksaribu et al., 2019) juga menunjukkan bahwa pelatihan berbasis mitigasi gempa sangat diperlukan di daerah rawan. Namun, model SMARTQuake unggul karena dibangun dalam kurikulum bertahap dan memiliki rencana keberlanjutan jangka panjang.

Implikasi dan Rekomendasi

  • Untuk Pemerintah Daerah: Replikasi program ke wilayah lain dengan risiko seismik tinggi seperti Lombok, Padang, dan Jayapura.

  • Untuk Sektor Konstruksi Swasta: Menjadikan pelatihan ini sebagai prasyarat perekrutan.

  • Untuk Akademisi: Mendorong keterlibatan mahasiswa teknik sipil dalam program pelatihan berbasis masyarakat.
     

Kesimpulan

Program pelatihan kompetensi tenaga kerja konstruksi oleh SMARTQuake UNS merupakan contoh ideal sinergi antara akademisi dan pemerintah dalam menghadapi tantangan gempa bumi di sektor konstruksi. Meski masih berada pada tahap awal, keberhasilan program ini menunjukkan arah yang benar dalam membentuk tenaga kerja yang tidak hanya mahir secara teknis, tetapi juga sadar risiko bencana.

Dengan kelanjutan ke tahap teknis dan perluasan wilayah, program ini berpotensi menjadi model nasional pelatihan konstruksi berbasis mitigasi gempa di Indonesia.

 

Sumber:
Erik Wahyu Pradana, dkk. (2022). Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi untuk Menumbuhkan Kesadaran dan Kesiapsiagaan terhadap Bencana Gempa. Jurnal Masyarakat Mandiri, 6(6), 4689–4699. DOI: 10.31764/jmm.v6i6.11075

Selengkapnya
Meningkatkan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia dalam Menghadapi Bencana Gempa: Analisis Program Pelatihan SMARTQuake UNS

Pendidikan dan Pelatihan

Mitigasi Gempa Lewat Pelatihan Tenaga Kerja Konstruksi: Studi Kasus Kabupaten Pacitan

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025


Mengapa Kesiapsiagaan Bencana di Sektor Konstruksi Begitu Mendesak?

Indonesia adalah negara dengan risiko gempa bumi tertinggi di dunia karena berada di atas tiga lempeng aktif: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Dari tahun 2009 hingga 2019, tercatat lebih dari 71.000 kejadian gempa. Gempa besar seperti Aceh (2004), Yogyakarta (2006), dan Padang (2009) adalah pengingat keras bahwa kesiapsiagaan tidak bisa ditunda—terutama dalam sektor konstruksi.

Namun sayangnya, banyak tenaga kerja konstruksi Indonesia masih bertumpu pada pengalaman dan pembelajaran otodidak, dengan partisipasi minim dalam pelatihan teknis. Hal ini menjadi tantangan besar, terlebih di tengah ambisi besar pemerintah dalam membangun infrastruktur nasional.

Pelatihan SMARTQuake di Pacitan: Upaya Nyata dari Akademisi

Latar Belakang

Kabupaten Pacitan, salah satu wilayah dengan aktivitas seismik tinggi di Indonesia, menjadi lokasi pilot project pelatihan mitigasi bencana gempa untuk tenaga kerja konstruksi. Kegiatan ini diinisiasi oleh Grup Riset SMARTQuake dari Universitas Sebelas Maret (UNS), bekerja sama dengan Dinas PUPR Pacitan.

Tujuan Pelatihan

  • Meningkatkan kompetensi teknis tenaga kerja konstruksi

  • Menumbuhkan kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bahaya gempa

  • Mendorong partisipasi aktif dalam pembangunan infrastruktur tahan gempa

Struktur Pelatihan dan Strategi Implementasi

Tahapan Pelaksanaan:

  1. Identifikasi Permasalahan: Kolaborasi UNS dan Dinas PUPR untuk merancang solusi kompetensi.

  2. Persiapan: Penyusunan materi, pemilihan peserta, dan pembuatan instrumen evaluasi (pre-test & post-test).

  3. Pelaksanaan: Dilakukan dalam satu hari dengan 39 peserta dari kontraktor, mandor, tukang, hingga pelayan tukang.

  4. Evaluasi: Pengukuran dampak pelatihan secara kuantitatif dengan metode pre-post test.

Temuan Utama: Dampak Signifikan Pelatihan

Statistik Pre dan Post-Test

  • Rerata nilai pre-test: 50 (rentang nilai: 20–80)

  • Rerata nilai post-test: 66 (rentang nilai: 30–100)

  • Peningkatan kompetensi: 33%

Data ini menunjukkan bahwa bahkan pelatihan satu hari yang dirancang dengan baik mampu menghasilkan peningkatan signifikan dalam pemahaman peserta terkait gempa dan mitigasinya.

Profil Peserta

  • Usia dominan: 41–50 tahun

  • Implikasi: Peserta dianggap sebagai senior di lingkungan kerja, sehingga berpotensi menjadi agen pengetahuan yang menyebarkan informasi ke rekan kerja yang lebih muda.

Analisis Kritis dan Nilai Tambah

Kelebihan Program:

  • Terstruktur dan terukur

  • Kolaboratif antara kampus dan pemerintah daerah

  • Mendorong keberlanjutan kompetensi melalui tahapan pelatihan lanjutan

Kekurangan dan Tantangan:

  • Durasi pelatihan terlalu singkat untuk cakupan materi penting

  • Perluasan cakupan peserta (misal: konsultan perencana & pengawas) belum terealisasi

  • Materi teknis (beton & baja tulangan) baru akan diberikan di pelatihan tahap berikutnya

Peluang Strategis:

  • Replikasi program di wilayah rawan gempa lain (Palu, Malang, Bireuen, dll)

  • Integrasi materi mitigasi gempa dalam pelatihan bersertifikasi nasional

  • Digitalisasi materi pelatihan untuk skala yang lebih luas

Perbandingan dengan Program Serupa di Indonesia

Pelatihan sejenis juga dilakukan di berbagai daerah:

  • Kota Palu: Pelatihan membangun rumah sederhana tahan gempa (Amir et al., 2013)

  • Magelang & Wonosobo: Fokus pada penguatan struktur dan pengetahuan teknis

  • Merauke & Pekanbaru: Pelatihan beton dan teknik campuran

Kegiatan di Pacitan melengkapi mosaik upaya nasional dalam menciptakan ekosistem tenaga kerja konstruksi yang sadar bencana.

Implikasi Industri dan Kebijakan

  1. Urgensi Sertifikasi Mitigasi Bencana bagi tukang dan mandor

  2. Revitalisasi kurikulum pelatihan konstruksi oleh kementerian terkait

  3. Pentingnya kemitraan akademisi–pemerintah–industri dalam menyiapkan tenaga kerja berdaya saing

Kesimpulan: Mitigasi Bencana Dimulai dari Lapangan

Pelatihan yang dilaksanakan oleh Grup Riset SMARTQuake membuktikan bahwa pendekatan berbasis komunitas, jika dijalankan dengan strategi dan dukungan yang tepat, mampu menghasilkan dampak nyata. Dengan peningkatan nilai post-test sebesar 33%, pelatihan ini tidak hanya meningkatkan pemahaman teknis, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya konstruksi tahan gempa.

Langkah selanjutnya adalah replikasi, pelatihan lanjutan, dan integrasi dalam kebijakan pelatihan nasional.

Sumber Jurnal:
Pradana, E. W., Sangadji, S., Bhayusukma, M. Y., dkk. (2022). Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi untuk Menumbuhkan Kesadaran dan Kesiapsiagaan terhadap Bencana Gempa. Jurnal Masyarakat Mandiri, Vol. 6, No. 6, Hal. 4689–4699.
DOI: https://doi.org/10.31764/jmm.v6i6.11075

Selengkapnya
Mitigasi Gempa Lewat Pelatihan Tenaga Kerja Konstruksi: Studi Kasus Kabupaten Pacitan
page 1 of 1