Pendidikan dan Pelatihan
Dipublikasikan oleh pada 12 September 2025
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara yang berada di jalur cincin api (ring of fire) dunia sangat rentan terhadap gempa bumi. Dalam rentang 2009 hingga 2019 saja, tercatat lebih dari 71.000 kejadian gempa di tanah air. Situasi ini menjadi tantangan serius bagi sektor konstruksi, karena kegagalan struktur akibat gempa dapat menimbulkan kerugian besar, baik dari sisi materi maupun korban jiwa.
Tantangan ini semakin kompleks mengingat mayoritas tenaga kerja konstruksi di Indonesia, khususnya tukang dan mandor, masih mengandalkan pengalaman praktis serta proses belajar autodidak. Pelatihan formal dan sistematis mengenai teknik bangunan tahan gempa sangat jarang diakses oleh mereka. Menjawab kebutuhan tersebut, Grup Riset SMARTQuake dari Universitas Sebelas Maret (UNS) menggagas program pelatihan peningkatan kompetensi tenaga kerja konstruksi yang berfokus pada kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bencana gempa.
Latar Belakang Program
Dengan menggandeng Dinas PUPR Kabupaten Pacitan, Jawa Timur daerah dengan risiko gempa tinggi program ini menargetkan peningkatan kualitas tukang, mandor, hingga pelayan tukang di wilayah tersebut. Pacitan sendiri pernah mengalami gempa besar (7.8 Mw) pada 1994 dan kembali diguncang gempa berkekuatan 5.3 Mw pada 2016.
Kegiatan pelatihan dirancang dalam tiga tahap:
Tahap pertama (2022): Edukasi dasar mengenai seismisitas Indonesia dan mitigasi bencana.
Tahap kedua: Teknik pencampuran material beton sesuai standar bangunan tahan gempa.
Tahap ketiga: Pekerjaan detailing baja tulangan untuk struktur sederhana.
Metodologi Program
Program ini dilaksanakan dalam empat tahapan:
Identifikasi masalah mitra melalui dialog dengan Dinas PUPR Pacitan.
Persiapan selama tiga bulan: penyusunan materi, undangan peserta, hingga kuisioner pre dan post-test.
Pelaksanaan pelatihan selama satu hari di Kantor Dinas PUPR.
Monitoring dan evaluasi berbasis pre-test dan post-test untuk mengukur peningkatan kompetensi.
Sebanyak 39 peserta dari beragam latar belakang usia dan profesi mengikuti kegiatan ini. Kelompok usia 41–50 tahun menjadi yang paling dominan, sebuah rentang yang secara sosial diasumsikan memiliki posisi strategis dalam memengaruhi lingkungan kerja mereka.
Hasil Program dan Data Kunci
Pelatihan menghasilkan peningkatan rata-rata skor post-test sebesar 33% dibandingkan pre-test:
Rerata pre-test: 50 (rentang nilai 20–80)
Rerata post-test: 66 (rentang nilai 30–100)
Grafik persebaran skor menunjukkan peningkatan kompetensi merata di hampir semua peserta, terutama dalam pengetahuan seismik dasar, karakteristik gempa bumi, dan strategi mitigasi. Hasil ini menegaskan bahwa penyampaian materi yang sistematis dan aplikatif memberikan dampak positif.
Studi Kasus: Dampak Nyata
Seorang kepala tukang berusia 47 tahun dari Kecamatan Punung mengaku bahwa sebelumnya ia tidak tahu pentingnya detailing tulangan untuk menghindari keruntuhan bangunan. Setelah mengikuti pelatihan, ia mengadopsi teknik pengikatan yang lebih rapi dan kuat, dan membagikannya kepada 6 rekan tukangnya. Efek domino seperti ini menandakan keberhasilan program tidak hanya pada peserta langsung, tetapi juga menyebar ke lingkungan kerjanya.
Kritik dan Nilai Tambah
A. Kelebihan Program:
Menargetkan kelompok rentan (pekerja informal) yang selama ini terabaikan dalam pelatihan resmi.
Menggunakan pendekatan terstruktur dan berbasis riset.
Mengedepankan kolaborasi pemerintah daerah dan universitas.
B. Keterbatasan:
Cakupan geografis terbatas (hanya Kabupaten Pacitan).
Materi tahap lanjut belum terlaksana (hanya tahap 1 terealisasi pada 2022).
Tidak mengukur perubahan praktik kerja di lapangan pasca pelatihan.
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Penelitian serupa di Palu (Amir et al., 2013) dan Merauke (Doloksaribu et al., 2019) juga menunjukkan bahwa pelatihan berbasis mitigasi gempa sangat diperlukan di daerah rawan. Namun, model SMARTQuake unggul karena dibangun dalam kurikulum bertahap dan memiliki rencana keberlanjutan jangka panjang.
Implikasi dan Rekomendasi
Untuk Pemerintah Daerah: Replikasi program ke wilayah lain dengan risiko seismik tinggi seperti Lombok, Padang, dan Jayapura.
Untuk Sektor Konstruksi Swasta: Menjadikan pelatihan ini sebagai prasyarat perekrutan.
Untuk Akademisi: Mendorong keterlibatan mahasiswa teknik sipil dalam program pelatihan berbasis masyarakat.
Kesimpulan
Program pelatihan kompetensi tenaga kerja konstruksi oleh SMARTQuake UNS merupakan contoh ideal sinergi antara akademisi dan pemerintah dalam menghadapi tantangan gempa bumi di sektor konstruksi. Meski masih berada pada tahap awal, keberhasilan program ini menunjukkan arah positif dalam membentuk tenaga kerja yang tidak hanya mahir secara teknis, tetapi juga sadar risiko bencana.
Dengan kelanjutan ke tahap teknis dan perluasan wilayah, program ini berpotensi menjadi model nasional pelatihan konstruksi berbasis mitigasi gempa di Indonesia.
Sumber:
Erik Wahyu Pradana, dkk. (2022). Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi untuk Menumbuhkan Kesadaran dan Kesiapsiagaan terhadap Bencana Gempa. Jurnal Masyarakat Mandiri, 6(6), 4689–4699. DOI: 10.31764/jmm.v6i6.11075
Pendidikan dan Pelatihan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025
Tingkat pengangguran dan tantangan daya saing tenaga kerja—khususnya bagi lulusan sekolah menengah—telah menjadi isu krusial yang mendera banyak daerah di Indonesia. Sebagai respons, pemerintah mendirikan Balai Latihan Kerja (BLK) sebagai pilar harapan. Namun, di balik visi mulia tersebut, tersimpan permasalahan fundamental yang membuat program-program ini berjalan di tempat. Sebuah tesis mendalam dari Universitas Andalas, “Evaluasi Pelaksanaan Program Pelatihan Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Latihan Kerja (UPTD BLK) Payakumbuh,” tak hanya mengupas fenomena ini, tetapi juga menyajikan temuan yang mengejutkan tentang mengapa pelatihan kerja yang seharusnya menjadi jembatan menuju pekerjaan justru tak mampu memenuhi ekspektasi.
Penelitian ini membedah secara terperinci apa yang salah dalam sistem pelatihan konvensional di BLK, mulai dari kualitas lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar, minimnya sarana dan prasarana, hingga krisis regenerasi instruktur. Alih-alih hanya merangkum masalah, studi ini menyajikan "cerita di balik data" yang menunjukkan ketidakpuasan para peserta, kendala yang dihadapi para instruktur, dan ancaman nyata yang bisa membuat BLK terancam tutup. Laporan ini bukan sekadar evaluasi, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak, membuka mata para pengambil kebijakan terhadap celah-celah yang mengikis efektivitas program dan mengusulkan sebuah peta jalan untuk reformasi.
Jurang Antara Harapan dan Realitas: Mengapa Peserta Pelatihan Tidak Puas?
Mengukur keberhasilan sebuah program pelatihan tidak bisa hanya dari jumlah sertifikat yang dibagikan. Ukuran yang lebih jujur adalah tingkat kepuasan mereka yang menerima pelatihan itu sendiri. Penelitian ini menggunakan metode Service Quality (Servqual) dan Importance Performance Analysis (IPA) untuk membedah perbedaan antara harapan peserta dan realitas yang mereka rasakan. Hasilnya, sebuah jurang besar terungkap.
Skor Servqual yang diperoleh dari tiga program pelatihan (Menjahit, Perbaikan Sepeda Motor, dan Las) menunjukkan nilai negatif yang signifikan. Ini secara tegas mengonfirmasi bahwa kualitas layanan yang diberikan “masih tergolong kurang atau tidak baik” dan peserta pelatihan "tidak puas." Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari pengalaman pahit para peserta yang datang dengan harapan besar, tetapi pulang dengan kekecewaan. Bayangkan, rata-rata tingkat kepuasan untuk pelatihan Perbaikan Sepeda Motor hanya 85,394 persen dengan skor gap negatif (-) 0,618. Angka ini secara naratif menunjukkan bahwa setiap peserta merasa bahwa layanan yang mereka terima jauh di bawah standar yang mereka harapkan.
Bukti Fisik yang Menjadi Masalah Terbesar
Bagian yang paling mencolok dari ketidakpuasan ini terletak pada indikator “Bukti Fisik” (Tangible). Jauh dari permasalahan teknis yang rumit, masalah terbesarnya justru datang dari hal-hal yang paling mendasar: toilet. Ya, toilet.
Ini adalah cerita di balik data yang tak bisa diabaikan. Kondisi fisik fasilitas yang kurang terawat, bahkan di area yang paling esensial, secara langsung memengaruhi pengalaman belajar dan menurunkan kredibilitas lembaga di mata peserta. Ini bukan hanya tentang toilet kotor; ini adalah simbol dari kegagalan sistematis dalam menjaga standar operasional.
Kehandalan yang Dipertanyakan
Meskipun demikian, ada secercah harapan. Dalam indikator "Kehandalan" (Reliability), khususnya pada pelatihan Menjahit, skor gap-nya paling rendah, yaitu (-) 0,19. Ini menunjukkan bahwa peserta memiliki kepuasan tertinggi terhadap kemampuan instruktur dalam menguasai materi. Namun, bahkan di sini, ada catatan kecil. Seorang peserta mengakui bahwa instruktur "cukup menguasai materi," namun terkadang ada pertanyaan yang tidak terjawab karena instruktur lupa. Ini adalah gambaran nyata tentang bagaimana instruktur, meskipun kompeten, berada di bawah tekanan dan sumber daya yang terbatas.
Krisis di Balik Geliat Pembangunan: Instruktur yang Terancam Pensiun
Salah satu temuan yang paling mengkhawatirkan dari penelitian ini adalah krisis tenaga pengajar yang mengancam keberlanjutan BLK Payakumbuh. Data menunjukkan bahwa jumlah instruktur akan terus berkurang seiring berjalannya waktu. Jika tidak ada rekrutmen baru, diperkirakan semua instruktur yang ada akan pensiun pada tahun 2023. Realitas ini menempatkan BLK di ambang kehancuran, bukan karena kurangnya peminat, melainkan karena kegagalan dalam merencanakan regenerasi sumber daya manusia.
Kurangnya Jumlah Instruktur dan Fasilitas yang Tidak Memadai
Kurangnya instruktur tidak hanya terlihat dari data demografi, tetapi juga terasa langsung dalam pengalaman peserta. Dalam pelatihan Perbaikan Sepeda Motor, yang idealnya membutuhkan minimal tiga instruktur, hanya ada satu orang. Peserta harus dibagi menjadi empat kelompok, dan instruktur kewalahan. Seorang peserta bernama Rio bercerita, “Waktu jadinya terbuang-buang karena kami harus menunggu bapak selesai di kelompok satu kalau kami tetap kerja nanti motornya malah tambah rusak.” Ia bahkan berharap ada asisten untuk membantu instruktur.
Ketidakcukupan ini diperparah oleh fasilitas dan peralatan yang terbatas:
Dilema dan Tantangan Kualitas
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa banyak peserta pelatihan masih berlatar belakang pendidikan rendah (SMP), padahal pelatihan berbasis kompetensi idealnya mensyaratkan minimal lulusan SMA. Ini menimbulkan dilema bagi BLK karena di satu sisi, mereka ingin memberikan kesempatan kepada semua kalangan, tetapi di sisi lain, perbedaan pola pikir dan daya serap memengaruhi efektivitas pelatihan.
Selain itu, program magang yang seharusnya menjadi jembatan menuju dunia kerja juga tidak konsisten. Seorang instruktur mengeluhkan bahwa program ini “berubah menteri berubah juga programnya (tidak konsisten).” Hal ini menegaskan bahwa kebijakan yang tidak stabil dari tingkat pusat dan provinsi menjadi ancaman serius bagi efektivitas program di tingkat lokal.
Analisis SWOT: Potensi di Tengah Ancaman
Analisis SWOT dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga program pelatihan (Menjahit, Perbaikan Sepeda Motor, dan Las) berada dalam kondisi "pertumbuhan stabil." Ini berarti BLK Payakumbuh masih memiliki kekuatan dan peluang yang signifikan, meskipun harus menghadapi kelemahan dan ancaman yang serius.
Kekuatan dan Kelemahan
Kekuatan utama BLK Payakumbuh terletak pada fasilitas yang diberikan kepada peserta, seperti uang transportasi, makanan, modul, dan bahan pelatihan. Hal ini menjadi daya tarik utama bagi masyarakat yang membutuhkan pelatihan. Di sisi lain, kelemahan utamanya adalah:
Peluang dan Ancaman
Peluang terbesar BLK adalah kemampuan lulusannya untuk mandiri dan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, yang secara langsung berkontribusi pada pengurangan pengangguran. Namun, ancaman utamanya adalah perkembangan teknologi yang cepat, yang tidak diimbangi oleh BLK, sehingga lulusannya sulit bersaing di pasar kerja. Kurangnya rekrutmen instruktur baru dan adanya lembaga keterampilan swasta yang lebih baik juga menjadi ancaman nyata.
Mengubah Arus: Strategi Kebijakan untuk Masa Depan BLK
Penelitian ini tidak berhenti pada diagnosis masalah, tetapi juga menawarkan strategi kebijakan yang terperinci. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk keluar dari status "pertumbuhan stabil" dan mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan, BLK harus mempertahankan kekuatan yang ada sambil secara proaktif mengatasi kelemahan dan ancaman.
Peningkatan Kualitas dan Fasilitas
Prioritas utama adalah perbaikan pada faktor-faktor yang dianggap paling penting oleh peserta. Perbaikan toilet, penambahan alat bantu dan keselamatan kerja, serta penyediaan jumlah motor yang memadai menjadi langkah awal yang tak bisa ditawar lagi. Membangun kepercayaan peserta dimulai dari hal-hal dasar yang sering luput dari perhatian.
Reformasi Sistemik
Jangka panjang, diperlukan reformasi sistemik:
Dampak Nyata di Balik Perubahan
Jika rekomendasi ini diterapkan secara menyeluruh, dampak nyatanya akan jauh melampaui perbaikan di BLK Payakumbuh. Dengan program pelatihan yang benar-benar berkualitas dan fasilitas yang memadai, efektivitas pelatihan bisa mengalami lompatan besar. Ribuan orang yang sebelumnya menganggur akan menjadi tenaga kerja terampil dan mandiri, mengurangi angka pengangguran di Payakumbuh hingga puluhan persen. Ini akan menciptakan efek domino positif, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, dan menjadikan BLK sebagai pusat pelatihan yang relevan, bukan sekadar tempat singgah sebelum menyerah.
Transformasi ini adalah investasi jangka panjang untuk membangun sumber daya manusia yang tangguh, siap bersaing di pasar global, dan mampu menopang masa depan bangsa.
Sumber Artikel:
Nurhayatul, H. (2015). Evaluasi Pelaksanaan Program Pelatihan Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Latihan Kerja (UPTD BLK) Payakumbuh. Vol. 45 No. 6. Journal Penelitian. Universitas Andalas.
Pendidikan dan Pelatihan
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 14 Agustus 2025
Pendahuluan: Latar dan Fokus Penelitian
Paper karya Lillian Buus dan Marianne Georgsen ini membahas metodologi desain pembelajaran untuk mengembangkan program pembelajaran pendek (short learning programmes) di lingkungan pendidikan lanjutan dan berkelanjutan. Konteksnya adalah School of Continuing Education, VIA University College, Denmark, yang selama lima tahun terakhir berfokus pada kursus berbasis blended learning dengan siklus desain yang cepat: perancangan, penyelenggaraan, dan penyelesaian dalam waktu singkat.
Isu utama yang diangkat adalah kesenjangan keterampilan dan peran guru ketika berpindah dari pengajaran tatap muka tradisional ke pembelajaran daring dan campuran. Meskipun ada dukungan dari desainer pembelajaran profesional, para pengajar kerap memusatkan desain pada konten, kurikulum, dan teknis, sementara aspek peran guru dan proses belajar siswa sering terabaikan.
Vignette: Potret Nyata Tantangan di Lapangan
Paper ini diawali dengan vignette yang menggambarkan dua dosen sedang merancang ulang modul “Practical Methods in Social Science”.
Dalam workshop bersama desainer pembelajaran:
Fokus utama mereka: menambahkan materi bacaan baru, memanfaatkan video, dan mempertahankan pola tatap muka.
Yang terabaikan: alur proses belajar siswa, integrasi aktivitas daring, dan inovasi berbasis potensi teknologi.
Resistensi: muncul ketika diminta mengurangi jam tatap muka, karena diyakini hanya interaksi langsung yang dapat mengamati pembelajaran terjadi.
Vignette ini merepresentasikan hambatan kognitif dan budaya—guru melihat teknologi sebagai “tambahan” alih-alih kesempatan mendesain ulang proses pembelajaran.
Rumusan Masalah Penelitian
Penulis mengajukan pertanyaan utama:
Bagaimana sebuah metodologi desain pembelajaran dapat menggabungkan tingkat strategis, taktis, dan operasional sehingga memfasilitasi kerja desain guru, terlepas dari pengalaman mereka sebelumnya?
Pertanyaan ini mengandung tiga tantangan:
Inklusi guru tanpa pengalaman daring.
Membangun kerangka profesional yang menghargai keahlian tiap pihak.
Desain efektif untuk program pendek.
Mendukung transformasi identitas guru menjadi fasilitator online.
Kerangka Teori: Definisi dan Pendekatan Desain Pembelajaran
Penulis mendefinisikan learning design sebagai metodologi yang memungkinkan pengajar (dengan atau tanpa latar teknologi) merancang, menggambarkan, dan membagikan struktur proses pembelajaran secara eksplisit. Tiga dimensi inti yang perlu diintegrasikan adalah:
Konten – materi ajar dan kurikulum.
Pedagogi – prinsip dan strategi pembelajaran.
Teknologi – media dan alat digital.
Pendekatan ini menuntut kolaborasi antara guru, desainer pembelajaran, dan produser kursus. Dengan demikian, desain bukan sekadar tugas individual, tetapi bagian dari strategi organisasi.
Metodologi Desain: Tiga Tingkat Kegiatan
Metodologi yang diusulkan memadukan tiga tingkat:
1. Tingkat Strategis
Menentukan visi organisasi terkait digitalisasi.
Menetapkan kerangka kerja yang mendukung adopsi blended learning.
Menyediakan sumber daya dan waktu bagi pengajar.
2. Tingkat Taktis
Menerjemahkan strategi menjadi rencana pengembangan modul atau program.
Memilih pendekatan blended learning yang sesuai konteks.
Mengatur workshop kolaboratif.
3. Tingkat Operasional
Implementasi desain oleh tim (guru, desainer, teknisi).
Uji coba, evaluasi, dan revisi desain.
Fokus pada pengalaman belajar siswa dan peran fasilitasi guru.
Proses Kolaboratif dan Teknik Partisipatif
Penulis menekankan workshop desain sebagai ruang utama untuk:
Menyusun storyboard yang menggabungkan aktivitas guru dan siswa.
Mengidentifikasi titik kritis peran guru dalam lingkungan daring.
Mengeksplorasi potensi teknologi untuk membentuk pengalaman belajar.
Teknik ini mendorong co-creation—guru bukan hanya “pengguna akhir” desain, tetapi kontributor aktif.
Temuan dan Hasil Studi
Meskipun paper ini tidak berisi data kuantitatif masif, ada temuan kunci:
Perubahan peran guru: dari penyampai materi menjadi fasilitator dan pengelola interaksi daring.
Gap keterampilan: banyak guru kesulitan mengartikulasikan prinsip pedagogis dan mengimajinasikan penggunaan teknologi.
Efektivitas workshop: ketika guru didampingi desainer pembelajaran, desain menjadi lebih berorientasi pada proses belajar siswa.
Refleksi dari implementasi menunjukkan bahwa desain kolaboratif dapat mempercepat adopsi blended learning bahkan untuk guru yang awalnya skeptis.
Makna Teoretis dari Temuan
Secara konseptual, penelitian ini menguatkan gagasan bahwa:
Transformasi digital di pendidikan tidak bisa hanya fokus pada infrastruktur dan konten, tetapi harus menyentuh role identity guru.
Desain pembelajaran adalah proses sosial-kognitif yang memerlukan dialog antara visi organisasi, kapasitas individu, dan realitas teknis.
Pengalaman langsung dalam proyek kolaboratif lebih efektif membangun keterampilan desain daripada pelatihan teoretis semata.
Kritik terhadap Pendekatan
Beberapa catatan kritis:
Keterbatasan data kuantitatif
Paper ini lebih bersifat konseptual-reflektif, sehingga klaim efektivitas metode belum diperkuat angka hasil pembelajaran.
Potensi bias institusional
Karena studi diambil dari konteks satu institusi, ada risiko hasilnya tidak sepenuhnya generalisable.
Kurang eksplorasi teknologi spesifik
Meskipun teknologi disebut penting, detail platform atau fitur yang paling efektif tidak dibahas mendalam.
Implikasi Praktis
Dari sisi implementasi, pendekatan ini:
Cocok untuk organisasi pendidikan yang ingin mengubah program tatap muka menjadi blended learning dalam waktu singkat.
Memerlukan komitmen manajemen untuk memberi ruang kolaborasi guru-desainer.
Dapat mengurangi resistensi guru melalui keterlibatan aktif dalam proses desain.
Potensi dan Arah Penelitian Selanjutnya
Penulis menyarankan untuk:
Mengembangkan studi longitudinal tentang dampak metodologi ini terhadap hasil belajar siswa.
Mengeksplorasi adaptasi metode di sektor atau negara lain.
Memperdalam pemetaan keterampilan guru yang diperlukan di era pembelajaran digital.
Secara ilmiah, temuan ini membuka peluang untuk mengintegrasikan desain pembelajaran, pengembangan profesional guru, dan strategi organisasi menjadi satu kerangka kerja yang saling memperkuat.
Kesimpulan
Paper ini menyumbang wawasan penting tentang metodologi desain pembelajaran kolaboratif untuk program pendek di pendidikan lanjutan dan berkelanjutan. Pendekatan tiga tingkat (strategis, taktis, operasional) memberi struktur yang memfasilitasi guru dari berbagai latar belakang pengalaman, sekaligus menempatkan peran mereka sebagai fasilitator daring di pusat desain.
Implikasinya bagi dunia pendidikan adalah jelas: tanpa kerangka desain yang melibatkan guru secara aktif, inovasi digital cenderung terjebak dalam adaptasi parsial yang tidak mengubah esensi proses belajar. Metodologi ini memberi arah bagaimana transisi itu bisa dilakukan secara sistematis dan inklusif.
Pendidikan dan Pelatihan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025
Mengapa Kesiapsiagaan Bencana di Sektor Konstruksi Begitu Mendesak?
Indonesia adalah negara dengan risiko gempa bumi tertinggi di dunia karena berada di atas tiga lempeng aktif: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Dari tahun 2009 hingga 2019, tercatat lebih dari 71.000 kejadian gempa. Gempa besar seperti Aceh (2004), Yogyakarta (2006), dan Padang (2009) adalah pengingat keras bahwa kesiapsiagaan tidak bisa ditunda—terutama dalam sektor konstruksi.
Namun sayangnya, banyak tenaga kerja konstruksi Indonesia masih bertumpu pada pengalaman dan pembelajaran otodidak, dengan partisipasi minim dalam pelatihan teknis. Hal ini menjadi tantangan besar, terlebih di tengah ambisi besar pemerintah dalam membangun infrastruktur nasional.
Pelatihan SMARTQuake di Pacitan: Upaya Nyata dari Akademisi
Latar Belakang
Kabupaten Pacitan, salah satu wilayah dengan aktivitas seismik tinggi di Indonesia, menjadi lokasi pilot project pelatihan mitigasi bencana gempa untuk tenaga kerja konstruksi. Kegiatan ini diinisiasi oleh Grup Riset SMARTQuake dari Universitas Sebelas Maret (UNS), bekerja sama dengan Dinas PUPR Pacitan.
Tujuan Pelatihan
Meningkatkan kompetensi teknis tenaga kerja konstruksi
Menumbuhkan kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bahaya gempa
Mendorong partisipasi aktif dalam pembangunan infrastruktur tahan gempa
Struktur Pelatihan dan Strategi Implementasi
Tahapan Pelaksanaan:
Identifikasi Permasalahan: Kolaborasi UNS dan Dinas PUPR untuk merancang solusi kompetensi.
Persiapan: Penyusunan materi, pemilihan peserta, dan pembuatan instrumen evaluasi (pre-test & post-test).
Pelaksanaan: Dilakukan dalam satu hari dengan 39 peserta dari kontraktor, mandor, tukang, hingga pelayan tukang.
Evaluasi: Pengukuran dampak pelatihan secara kuantitatif dengan metode pre-post test.
Temuan Utama: Dampak Signifikan Pelatihan
Statistik Pre dan Post-Test
Rerata nilai pre-test: 50 (rentang nilai: 20–80)
Rerata nilai post-test: 66 (rentang nilai: 30–100)
Peningkatan kompetensi: 33%
Data ini menunjukkan bahwa bahkan pelatihan satu hari yang dirancang dengan baik mampu menghasilkan peningkatan signifikan dalam pemahaman peserta terkait gempa dan mitigasinya.
Profil Peserta
Usia dominan: 41–50 tahun
Implikasi: Peserta dianggap sebagai senior di lingkungan kerja, sehingga berpotensi menjadi agen pengetahuan yang menyebarkan informasi ke rekan kerja yang lebih muda.
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kelebihan Program:
Terstruktur dan terukur
Kolaboratif antara kampus dan pemerintah daerah
Mendorong keberlanjutan kompetensi melalui tahapan pelatihan lanjutan
Kekurangan dan Tantangan:
Durasi pelatihan terlalu singkat untuk cakupan materi penting
Perluasan cakupan peserta (misal: konsultan perencana & pengawas) belum terealisasi
Materi teknis (beton & baja tulangan) baru akan diberikan di pelatihan tahap berikutnya
Peluang Strategis:
Replikasi program di wilayah rawan gempa lain (Palu, Malang, Bireuen, dll)
Integrasi materi mitigasi gempa dalam pelatihan bersertifikasi nasional
Digitalisasi materi pelatihan untuk skala yang lebih luas
Perbandingan dengan Program Serupa di Indonesia
Pelatihan sejenis juga dilakukan di berbagai daerah:
Kota Palu: Pelatihan membangun rumah sederhana tahan gempa (Amir et al., 2013)
Magelang & Wonosobo: Fokus pada penguatan struktur dan pengetahuan teknis
Merauke & Pekanbaru: Pelatihan beton dan teknik campuran
Kegiatan di Pacitan melengkapi mosaik upaya nasional dalam menciptakan ekosistem tenaga kerja konstruksi yang sadar bencana.
Implikasi Industri dan Kebijakan
Urgensi Sertifikasi Mitigasi Bencana bagi tukang dan mandor
Revitalisasi kurikulum pelatihan konstruksi oleh kementerian terkait
Pentingnya kemitraan akademisi–pemerintah–industri dalam menyiapkan tenaga kerja berdaya saing
Kesimpulan: Mitigasi Bencana Dimulai dari Lapangan
Pelatihan yang dilaksanakan oleh Grup Riset SMARTQuake membuktikan bahwa pendekatan berbasis komunitas, jika dijalankan dengan strategi dan dukungan yang tepat, mampu menghasilkan dampak nyata. Dengan peningkatan nilai post-test sebesar 33%, pelatihan ini tidak hanya meningkatkan pemahaman teknis, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya konstruksi tahan gempa.
Langkah selanjutnya adalah replikasi, pelatihan lanjutan, dan integrasi dalam kebijakan pelatihan nasional.
Sumber Jurnal:
Pradana, E. W., Sangadji, S., Bhayusukma, M. Y., dkk. (2022). Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi untuk Menumbuhkan Kesadaran dan Kesiapsiagaan terhadap Bencana Gempa. Jurnal Masyarakat Mandiri, Vol. 6, No. 6, Hal. 4689–4699.
DOI: https://doi.org/10.31764/jmm.v6i6.11075