Mengapa Pelatihan Kerja Gagal Menciptakan Tenaga Ahli? Riset Ini Ungkap Titik Balik Kualitasnya

Dipublikasikan oleh Hansel

12 September 2025, 13.58

unsplash.con

Tingkat pengangguran dan tantangan daya saing tenaga kerja—khususnya bagi lulusan sekolah menengah—telah menjadi isu krusial yang mendera banyak daerah di Indonesia. Sebagai respons, pemerintah mendirikan Balai Latihan Kerja (BLK) sebagai pilar harapan. Namun, di balik visi mulia tersebut, tersimpan permasalahan fundamental yang membuat program-program ini berjalan di tempat. Sebuah tesis mendalam dari Universitas Andalas, “Evaluasi Pelaksanaan Program Pelatihan Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Latihan Kerja (UPTD BLK) Payakumbuh,” tak hanya mengupas fenomena ini, tetapi juga menyajikan temuan yang mengejutkan tentang mengapa pelatihan kerja yang seharusnya menjadi jembatan menuju pekerjaan justru tak mampu memenuhi ekspektasi.

Penelitian ini membedah secara terperinci apa yang salah dalam sistem pelatihan konvensional di BLK, mulai dari kualitas lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar, minimnya sarana dan prasarana, hingga krisis regenerasi instruktur. Alih-alih hanya merangkum masalah, studi ini menyajikan "cerita di balik data" yang menunjukkan ketidakpuasan para peserta, kendala yang dihadapi para instruktur, dan ancaman nyata yang bisa membuat BLK terancam tutup. Laporan ini bukan sekadar evaluasi, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak, membuka mata para pengambil kebijakan terhadap celah-celah yang mengikis efektivitas program dan mengusulkan sebuah peta jalan untuk reformasi.

 

Jurang Antara Harapan dan Realitas: Mengapa Peserta Pelatihan Tidak Puas?

Mengukur keberhasilan sebuah program pelatihan tidak bisa hanya dari jumlah sertifikat yang dibagikan. Ukuran yang lebih jujur adalah tingkat kepuasan mereka yang menerima pelatihan itu sendiri. Penelitian ini menggunakan metode Service Quality (Servqual) dan Importance Performance Analysis (IPA) untuk membedah perbedaan antara harapan peserta dan realitas yang mereka rasakan. Hasilnya, sebuah jurang besar terungkap.

Skor Servqual yang diperoleh dari tiga program pelatihan (Menjahit, Perbaikan Sepeda Motor, dan Las) menunjukkan nilai negatif yang signifikan. Ini secara tegas mengonfirmasi bahwa kualitas layanan yang diberikan “masih tergolong kurang atau tidak baik” dan peserta pelatihan "tidak puas." Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari pengalaman pahit para peserta yang datang dengan harapan besar, tetapi pulang dengan kekecewaan. Bayangkan, rata-rata tingkat kepuasan untuk pelatihan Perbaikan Sepeda Motor hanya 85,394 persen dengan skor gap negatif (-) 0,618. Angka ini secara naratif menunjukkan bahwa setiap peserta merasa bahwa layanan yang mereka terima jauh di bawah standar yang mereka harapkan.

 

Bukti Fisik yang Menjadi Masalah Terbesar

Bagian yang paling mencolok dari ketidakpuasan ini terletak pada indikator “Bukti Fisik” (Tangible). Jauh dari permasalahan teknis yang rumit, masalah terbesarnya justru datang dari hal-hal yang paling mendasar: toilet. Ya, toilet.

  • Pelatihan Menjahit: Peserta pelatihan menjahit memiliki gap tertinggi pada indikator Bukti Fisik, dengan skor gap (-) 0,78. Pemicu utamanya adalah kondisi toilet yang kotor, tanpa gayung atau tisu. Seorang peserta bahkan menggambarkan pengalamannya sebagai “kurang nyaman.”
  • Pelatihan Perbaikan Sepeda Motor: Kondisi serupa, bahkan lebih buruk, terjadi pada pelatihan Perbaikan Sepeda Motor. Gap tertinggi juga berada di indikator Bukti Fisik dengan skor (-) 0,96. Di sini, peserta mengeluhkan toilet yang kotor dan tidak dilengkapi sabun, padahal mereka sangat membutuhkannya untuk mencuci tangan dari oli setelah praktik. Gap terbesar ditemukan pada pertanyaan tentang "Toilet bersih dan lengkap (tissue dll)" dengan skor (-) 1,56. Angka ini seolah berteriak bahwa BLK Payakumbuh gagal memenuhi standar kebersihan yang paling dasar.

Ini adalah cerita di balik data yang tak bisa diabaikan. Kondisi fisik fasilitas yang kurang terawat, bahkan di area yang paling esensial, secara langsung memengaruhi pengalaman belajar dan menurunkan kredibilitas lembaga di mata peserta. Ini bukan hanya tentang toilet kotor; ini adalah simbol dari kegagalan sistematis dalam menjaga standar operasional.

 

Kehandalan yang Dipertanyakan

Meskipun demikian, ada secercah harapan. Dalam indikator "Kehandalan" (Reliability), khususnya pada pelatihan Menjahit, skor gap-nya paling rendah, yaitu (-) 0,19. Ini menunjukkan bahwa peserta memiliki kepuasan tertinggi terhadap kemampuan instruktur dalam menguasai materi. Namun, bahkan di sini, ada catatan kecil. Seorang peserta mengakui bahwa instruktur "cukup menguasai materi," namun terkadang ada pertanyaan yang tidak terjawab karena instruktur lupa. Ini adalah gambaran nyata tentang bagaimana instruktur, meskipun kompeten, berada di bawah tekanan dan sumber daya yang terbatas.

 

Krisis di Balik Geliat Pembangunan: Instruktur yang Terancam Pensiun

Salah satu temuan yang paling mengkhawatirkan dari penelitian ini adalah krisis tenaga pengajar yang mengancam keberlanjutan BLK Payakumbuh. Data menunjukkan bahwa jumlah instruktur akan terus berkurang seiring berjalannya waktu. Jika tidak ada rekrutmen baru, diperkirakan semua instruktur yang ada akan pensiun pada tahun 2023. Realitas ini menempatkan BLK di ambang kehancuran, bukan karena kurangnya peminat, melainkan karena kegagalan dalam merencanakan regenerasi sumber daya manusia.

 

Kurangnya Jumlah Instruktur dan Fasilitas yang Tidak Memadai

Kurangnya instruktur tidak hanya terlihat dari data demografi, tetapi juga terasa langsung dalam pengalaman peserta. Dalam pelatihan Perbaikan Sepeda Motor, yang idealnya membutuhkan minimal tiga instruktur, hanya ada satu orang. Peserta harus dibagi menjadi empat kelompok, dan instruktur kewalahan. Seorang peserta bernama Rio bercerita, “Waktu jadinya terbuang-buang karena kami harus menunggu bapak selesai di kelompok satu kalau kami tetap kerja nanti motornya malah tambah rusak.” Ia bahkan berharap ada asisten untuk membantu instruktur.

Ketidakcukupan ini diperparah oleh fasilitas dan peralatan yang terbatas:

  • Pelatihan Perbaikan Sepeda Motor: Hanya tersedia sepuluh motor untuk enam belas peserta, jauh dari standar yang dibutuhkan.
  • Pelatihan Las: Meskipun jumlah instrukturnya tiga orang, masih ada kekurangan alat seperti gerinda. Seorang peserta menyebutkan, “Kami menghabiskan 7 (gerinda) sekarang yang dikeluarkan hanya 5.” Mutu alat keselamatan seperti sarung tangan dan helm juga dipertanyakan karena mudah rusak.
  • Kondisi Fisik Lainnya: Ada ruang-ruang workshop yang tidak terawat, bahkan sampah berserakan di belakang kelas pelatihan motor. Makanan yang disediakan juga dikeluhkan, bahkan ada yang basi.

 

Dilema dan Tantangan Kualitas

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa banyak peserta pelatihan masih berlatar belakang pendidikan rendah (SMP), padahal pelatihan berbasis kompetensi idealnya mensyaratkan minimal lulusan SMA. Ini menimbulkan dilema bagi BLK karena di satu sisi, mereka ingin memberikan kesempatan kepada semua kalangan, tetapi di sisi lain, perbedaan pola pikir dan daya serap memengaruhi efektivitas pelatihan.

Selain itu, program magang yang seharusnya menjadi jembatan menuju dunia kerja juga tidak konsisten. Seorang instruktur mengeluhkan bahwa program ini “berubah menteri berubah juga programnya (tidak konsisten).” Hal ini menegaskan bahwa kebijakan yang tidak stabil dari tingkat pusat dan provinsi menjadi ancaman serius bagi efektivitas program di tingkat lokal.

 

Analisis SWOT: Potensi di Tengah Ancaman

Analisis SWOT dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga program pelatihan (Menjahit, Perbaikan Sepeda Motor, dan Las) berada dalam kondisi "pertumbuhan stabil." Ini berarti BLK Payakumbuh masih memiliki kekuatan dan peluang yang signifikan, meskipun harus menghadapi kelemahan dan ancaman yang serius.

 

Kekuatan dan Kelemahan

Kekuatan utama BLK Payakumbuh terletak pada fasilitas yang diberikan kepada peserta, seperti uang transportasi, makanan, modul, dan bahan pelatihan. Hal ini menjadi daya tarik utama bagi masyarakat yang membutuhkan pelatihan. Di sisi lain, kelemahan utamanya adalah:

  • Peralatan yang Belum Berbasis Kompetensi: Peralatan seperti mesin obras di pelatihan menjahit masih terbatas.
  • Kurangnya Promosi: Masih banyak masyarakat yang tidak tahu tentang keberadaan BLK.
  • Penurunan Dana: Terjadi penurunan dana dari APBD dan APBN.
  • Tidak Adanya Monitoring Alumni: BLK tidak memiliki sistem untuk memantau keberhasilan lulusannya.

 

Peluang dan Ancaman

Peluang terbesar BLK adalah kemampuan lulusannya untuk mandiri dan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, yang secara langsung berkontribusi pada pengurangan pengangguran. Namun, ancaman utamanya adalah perkembangan teknologi yang cepat, yang tidak diimbangi oleh BLK, sehingga lulusannya sulit bersaing di pasar kerja. Kurangnya rekrutmen instruktur baru dan adanya lembaga keterampilan swasta yang lebih baik juga menjadi ancaman nyata.

 

Mengubah Arus: Strategi Kebijakan untuk Masa Depan BLK

Penelitian ini tidak berhenti pada diagnosis masalah, tetapi juga menawarkan strategi kebijakan yang terperinci. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk keluar dari status "pertumbuhan stabil" dan mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan, BLK harus mempertahankan kekuatan yang ada sambil secara proaktif mengatasi kelemahan dan ancaman.

 

Peningkatan Kualitas dan Fasilitas

Prioritas utama adalah perbaikan pada faktor-faktor yang dianggap paling penting oleh peserta. Perbaikan toilet, penambahan alat bantu dan keselamatan kerja, serta penyediaan jumlah motor yang memadai menjadi langkah awal yang tak bisa ditawar lagi. Membangun kepercayaan peserta dimulai dari hal-hal dasar yang sering luput dari perhatian.

 

Reformasi Sistemik

Jangka panjang, diperlukan reformasi sistemik:

  • Rekrutmen Instruktur: Pemerintah harus segera merekrut instruktur baru untuk menggantikan mereka yang akan pensiun agar BLK tidak terancam tutup.
  • Pelatihan Berbasis Kompetensi: Pelatihan harus sepenuhnya berbasis kompetensi dengan durasi yang memadai, tidak hanya sebulan.
  • Sinergi Kebijakan: Kebijakan "3 in 1" yang mengintegrasikan pelatihan, sertifikasi, dan penempatan kerja harus konsisten. Perlu ada tim penempatan kerja khusus di BLK untuk memantau alumni dan menjembatani mereka dengan dunia usaha.
  • Peningkatan Dana: Anggaran untuk perawatan peralatan dan pelatihan perlu ditingkatkan, dan sistem penganggaran harus berbasis kinerja, bukan "bagi-bagi kue."

 

Dampak Nyata di Balik Perubahan

Jika rekomendasi ini diterapkan secara menyeluruh, dampak nyatanya akan jauh melampaui perbaikan di BLK Payakumbuh. Dengan program pelatihan yang benar-benar berkualitas dan fasilitas yang memadai, efektivitas pelatihan bisa mengalami lompatan besar. Ribuan orang yang sebelumnya menganggur akan menjadi tenaga kerja terampil dan mandiri, mengurangi angka pengangguran di Payakumbuh hingga puluhan persen. Ini akan menciptakan efek domino positif, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, dan menjadikan BLK sebagai pusat pelatihan yang relevan, bukan sekadar tempat singgah sebelum menyerah.

Transformasi ini adalah investasi jangka panjang untuk membangun sumber daya manusia yang tangguh, siap bersaing di pasar global, dan mampu menopang masa depan bangsa.

Sumber Artikel:

Nurhayatul, H. (2015). Evaluasi Pelaksanaan Program Pelatihan Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Latihan Kerja (UPTD BLK) Payakumbuh. Vol. 45 No. 6. Journal Penelitian. Universitas Andalas.