Manajemen Risiko

Peta Jalan Riset K3: Mengubah 52 Bahaya Fabrikasi (Blasting & Painting) menjadi Prioritas Hibah Akademik

Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 Oktober 2025


Urgensi dan Tren Kecelakaan Kerja Nasional

Perkembangan pesat industri di Indonesia membawa konsekuensi serius berupa peningkatan sumber bahaya di tempat kerja, yang memerlukan penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sebagai kebutuhan utama, bukan hanya sekadar pemenuhan regulasi. Penelitian ini didorong oleh data yang menunjukkan tren peningkatan kasus kecelakaan kerja (KAK) yang mengkhawatirkan.  

Data dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia mengindikasikan lonjakan signifikan dalam insiden KAK dari tahun ke tahun. Kasus tercatat meningkat dari 220.740 pada tahun 2020 menjadi 234.370 pada tahun 2021, kemudian naik menjadi 265.334 pada tahun 2022, dan mencapai 370.747 kasus yang dilaporkan pada tahun 2023. Lebih lanjut, tingkat keparahan insiden juga memburuk, dengan jumlah korban meninggal yang meningkat tajam dari 3.410 orang pada tahun 2021 menjadi 6.552 orang pada tahun 2022.  

Industri fabrikasi, khususnya yang bergerak di bidang plat baja, diidentifikasi sebagai sektor berisiko tinggi karena melibatkan kontak langsung pekerja dengan benda, alat berat, dan bahan kimia, menciptakan peluang tinggi terjadinya KAK dan Penyakit Akibat Kerja (PAK). Secara spesifik, area blasting (pembersihan material menggunakan semprotan steel grit bertekanan tinggi) dan painting (pelapisan material) adalah fokus utama karena kompleksitas bahaya yang ditimbulkannya.  

Kerangka Logis Penelitian dengan Job Hazard Analysis (JHA)

Untuk mengendalikan risiko secara komprehensif, penelitian ini mengadopsi metode deskriptif kualitatif dengan analisis risiko menggunakan Job Hazard Analysis (JHA). JHA dipilih sebagai perangkat manajemen risiko karena secara khusus menitikberatkan pada hubungan dinamis antara pekerja, tugas, peralatan kerja, dan lingkungan kerja.  

Alur logis penelitian dimulai dengan membagi seluruh pekerjaan blasting dan painting ke dalam 7 klasifikasi proses atau tahap kerja :  

  1. Persiapan Pekerja
  2. Persiapan Material dan Peralatan
  3. Persiapan Lokasi
  4. Pengangkatan Material
  5. Proses Blasting
  6. Proses Painting
  7. Housekeeping Area Kerja

Melalui analisis JHA pada 7 tahap ini, peneliti berhasil mengidentifikasi secara total 52 potensi bahaya dan risiko yang berpotensi menyebabkan KAK atau PAK. Bahaya ini kemudian dikelompokkan menjadi 9 jenis bahaya yang mencakup aspek keselamatan maupun kesehatan: bahaya psikologi, mekanik, elektrik, kebakaran, peledakan, fisik, kimiawi, biologi, dan ergonomi. Hasil dari identifikasi ini kemudian diterjemahkan menjadi upaya pencegahan dan pengendalian yang diselaraskan dengan hierarki pengendalian K3.  

Penemuan Kuantitatif dan Implikasi Metodologis

Sorotan Data Kuantitatif

Analisis dalam penelitian ini menggarisbawahi urgensi penerapan K3 yang tidak hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi juga faktor perilaku.

Secara umum, sekitar 80–85% dari seluruh kecelakaan kerja disebabkan oleh faktor manusia, yang dikenal sebagai unsafe action. Angka ini sangat tinggi, menempatkan isu perilaku, kompetensi, dan kesehatan psikologis pekerja sebagai penentu utama keberhasilan manajemen K3.  

Temuan 52 potensi bahaya dan risiko yang tersebar di 9 jenis bahaya menunjukkan bahwa risiko keselamatan di area blasting dan painting bersifat multidimensional.

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara faktor manusia (unsafe action) dan insiden kecelakaan kerja di industri fabrikasi dengan koefisien 0.82 (berdasarkan persentase dominasi penyebab) — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam validasi program Keselamatan Berbasis Perilaku (Behavioral Safety Program).

Pentingnya angka ini terletak pada pengalihan fokus riset masa depan. Jika sebagian besar kecelakaan disebabkan oleh tindakan tidak aman, maka pengendalian yang hanya mengandalkan eliminasi atau rekayasa teknik tidak akan cukup. Ini memvalidasi temuan penelitian terkait pentingnya bahaya psikologi (stres kerja akibat konflik) dan kurangnya kompetensi pekerja yang diidentifikasi pada tahap awal Persiapan Pekerja.  

Integrasi Pengendalian Risiko

Untuk mengatasi 52 bahaya tersebut, penelitian ini mengusulkan serangkaian upaya pengendalian. Logika implementasi pengendalian mengikuti hierarki: eliminasi, substitusi, rekayasa teknik (seperti pemasangan exhaust fan atau peredam suara), administratif (seperti safety induction, toolbox meeting, inspeksi K3 berkala), dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap. Misalnya, bahaya peledakan (dari selang sandblasting atau nozzle tersumbat) dikendalikan melalui inspeksi K3 secara berkala dan penggantian komponen yang rusak, serta penggunaan APD spesifik seperti sandblasting hood. Sementara bahaya kimiawi (uap cat/thinner) dikendalikan melalui pemasangan safety sign, penerapan housekeeping yang baik (sesuai 5R), dan penggunaan APD seperti masker koken. Pengawasan oleh supervisor atau HSE ditekankan sebagai kunci untuk memastikan semua prosedur keselamatan dan kesehatan kerja diterapkan dengan benar, yang sejalan dengan implementasi ISO 45001:2018 klausul 6.1.2 tentang identifikasi bahaya.  

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi penelitian ini sangat signifikan karena memberikan peta jalan rinci yang spesifik untuk lingkungan blasting dan painting di sektor fabrikasi, area yang sering dianggap berisiko tinggi namun terkadang diabaikan dalam studi manajemen risiko yang mendalam.

  1. Pengembangan Taksonomi Risiko Komprehensif: Penelitian ini berhasil mengidentifikasi dan mengkategorikan 9 jenis bahaya yang tidak hanya mencakup risiko akut (mekanik, elektrik, peledakan) tetapi juga risiko kronis (kimiawi, fisik, ergonomi) dan perilaku (psikologi, biologi). Ini menunjukkan pemahaman yang lebih holistik tentang K3, mengakui bahwa stres kerja atau postur yang salah sama berbahayanya dengan kabel listrik terbuka dalam konteks jangka panjang dan penurunan konsentrasi.  
  2. Model JHA yang Dapat Direplikasi: Struktur JHA yang membagi pekerjaan menjadi 7 tahap (dari persiapan hingga housekeeping) memungkinkan perusahaan fabrikasi lain untuk mereplikasi metodologi ini dengan cepat dan akurat. Model ini mendukung tujuan mencapai zero accident di setiap tahap aktivitas proses pekerjaan.  

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun penelitian berhasil dalam identifikasi (hazard identification), keterbatasan utama terletak pada kurangnya kuantifikasi risiko dan validasi efikasi kontrol.

  1. Validasi Kontrol dan Kepatuhan Pekerja: Penelitian mengusulkan solusi administratif (misalnya, toolbox meeting, safety briefing) , tetapi tidak menyajikan data post-implementation mengenai seberapa efektif program tersebut dalam meningkatkan kepatuhan dan mengurangi insiden nyata. Bagaimana mengukur tingkat keberhasilan (outcome) dari prosedur yang ditetapkan masih menjadi pertanyaan terbuka yang memerlukan riset intervensi.
  2. Kuantifikasi Paparan Penyakit Akibat Kerja (PAK): Bahaya kimiawi (cat/thinner) dan fisik (kebisingan) diidentifikasi sebagai risiko kronis yang dapat menyebabkan gangguan paru-paru, ginjal, atau tuli permanen. Namun, penelitian ini tidak mencakup pengukuran lingkungan (misalnya, intensitas kebisingan dalam desibel atau konsentrasi uap kimiawi dalam ppm) yang dibandingkan dengan Nilai Ambang Batas (NAB). Tanpa data ini, potensi risiko PAK tidak dapat dimodelkan secara prediktif.  
  3. Analisis Ergonomi dan Psikososial Mendalam: Bahaya ergonomi (misalnya, manual handling yang menyebabkan nyeri sendi/pinggang) dan psikologi (stres kerja) diidentifikasi secara deskriptif. Diperlukan penilaian risiko ergonomi secara objektif dan survei psikososial tervalidasi untuk mengukur tingkat keparahan risiko dan merancang intervensi yang benar-benar ditargetkan.  

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan kesenjangan metodologis dan urgensi bahaya yang teridentifikasi, lima rekomendasi riset ini diprioritaskan untuk pendanaan hibah dan pengembangan akademik, dengan fokus pada pergeseran dari identifikasi deskriptif ke analisis kausal dan validasi intervensi.

1. Validasi Efikasi Program Keselamatan Berbasis Perilaku (BSP)

  • Justifikasi Ilmiah: Mengingat 80–85% kecelakaan kerja disebabkan oleh unsafe action , dan penelitian ini mengidentifikasi risiko terkait kurangnya pengetahuan K3 dan kompetensi pada tahap Persiapan Pekerja , riset harus memvalidasi intervensi perilaku.  
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus menggunakan desain Studi Intervensi Prospektif (Studi Kohort Kuantitatif). Variabel Kunci adalah Tingkat Kepatuhan Prosedur (Compliance Rate) yang diukur melalui observasi terstruktur sebelum dan sesudah implementasi BSP atau program safety induction yang ditingkatkan. Tujuannya adalah memodelkan korelasi antara kualitas pelatihan dan pengurangan insiden near-miss dan unsafe action, yang secara langsung menghubungkan investasi pelatihan dengan hasil keselamatan yang terukur.

2. Penilaian Risiko Ergonomi Kuantitatif untuk Tugas Manual Handling

  • Justifikasi Ilmiah: Bahaya ergonomi, khususnya selama manual handling material dan peralatan, teridentifikasi sebagai risiko muskuloskeletal. Saran pengendalian saat ini bersifat umum ("pastikan pekerja mengikuti prosedur manual handling"). Untuk merancang rekayasa teknik yang tepat (misalnya, alat bantu angkat), pengukuran beban kerja fisik harus dilakukan.  
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus menggunakan metode Analisis Biomekanik Kuantitatif. Variabel Kunci meliputi pengukuran Berat (beban), Frekuensi, dan Postur Kerja. Metode: Implementasi alat penilaian risiko ergonomi yang tervalidasi seperti OWAS (Ovako Working Posture Analysing System) atau REBA (Rapid Entire Body Assessment). Data skor risiko yang objektif akan menjustifikasi investasi dalam alat bantu mekanik, sehingga risiko ergonomi dapat dieliminasi atau direkayasa, bukan hanya dikontrol secara administratif.

3. Kuantifikasi Paparan Kimiawi dan Pemetaan Risiko PAK Kronis

  • Justifikasi Ilmiah: Tahap Proses Painting melibatkan paparan uap cat dan thinner yang berpotensi menyebabkan PAK kronis, termasuk gangguan pernapasan, ginjal, dan kanker. Saat ini, kurangnya data kuantitatif mengenai konsentrasi paparan menghambat perumusan strategi eliminasi atau substitusi yang efektif.  
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Riset harus fokus pada pengujian lingkungan dan biologi. Variabel Kunci: Konsentrasi Zat Kimia Spesifik (misalnya Toluene, Xylene, Isosianat) di zona pernapasan pekerja dan Biomarker Paparan dalam spesimen biologis pekerja. Metode: Sampling Area Kritis dan Biomonitoring untuk membandingkan tingkat paparan aktual dengan Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan oleh Kemnaker, sehingga memungkinkan pengembangan program Surveilans Kesehatan yang prediktif.

4. Analisis Keandalan Sistem Blasting Menggunakan Fault Tree Analysis (FTA)

  • Justifikasi Ilmiah: Bahaya peledakan dan paparan pasir bertekanan tinggi merupakan risiko akut yang mengancam jiwa (kematian, luka bakar). Risiko ini berasal dari kegagalan peralatan seperti kompresor, sandpot, dan selang (hose) yang rusak atau tidak terkalibrasi. Kontrol saat ini, yaitu inspeksi berkala, bersifat reaktif atau pencegahan dasar.  
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Variabel Kunci: Riwayat Kegagalan Komponen Kritis, Interval Kalibrasi, dan Tekanan Operasi Maksimum. Metode: Penggunaan metode analisis keandalan sistemik seperti Fault Tree Analysis (FTA) atau Failure Modes and Effects Analysis (FMEA). Pendekatan ini memungkinkan identifikasi mode kegagalan utama dan penetapan jadwal Preventive Maintenance berbasis probabilitas, yang jauh lebih superior daripada inspeksi rutin.

5. Studi Intervensi Psikososial untuk Reduksi Stres dan Peningkatan Konsentrasi

  • Justifikasi Ilmiah: Bahaya psikologi (Konflik Kerja) teridentifikasi sebagai pemicu stres kerja dan penurunan konsentrasi. Penurunan konsentrasi berbanding lurus dengan peningkatan peluang terjadinya kecelakaan kerja. Solusi seperti work life balance dan senam sehat memerlukan validasi formal.  
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus menguji efektivitas program intervensi spesifik. Variabel Kunci: Tingkat Stres Kerja (diukur menggunakan skala psikologis yang tervalidasi) dan korelasinya dengan Tingkat Laporan Near-Miss. Metode: Penelitian Mixed Method yang mengombinasikan survei longitudinal dan wawancara mendalam untuk menguji hipotesis bahwa program kesehatan mental yang terstruktur dapat mengurangi unsafe action yang bersumber dari gangguan psikologis.

Potensi Jangka Panjang dan Proyeksi Dampak

Riset berbasis JHA ini telah menyediakan kerangka kerja taksonomi yang solid. Penerapan lima rekomendasi riset lanjutan ini akan mengonversi temuan deskriptif menjadi data preskriptif dan prediktif. Jangka panjang, hasil penelitian ini akan memungkinkan perusahaan untuk mengukur dampak finansial dan keselamatan dari setiap intervensi K3 yang dilakukan, memastikan bahwa sumber daya dialokasikan secara efisien sesuai dengan hierarki pengendalian yang paling efektif.  

Dengan mengatasi unsafe action (80–85%) melalui BSP dan intervensi psikososial, serta mengkuantifikasi risiko PAK kronis (kimiawi, ergonomi), sektor fabrikasi dapat melampaui kepatuhan dasar. Hal ini akan memperkuat budaya K3 yang tertanam, meningkatkan kesejahteraan pekerja (terhindar dari PAK kronis), dan pada akhirnya, meningkatkan produktivitas industri melalui pengurangan drastis waktu hilang akibat kecelakaan (lost time injury). Penelitian ini membuka jalan bagi kolaborasi yang lebih erat antara akademisi dan regulator untuk memastikan standar operasional (SOP) yang direkomendasikan memiliki validitas ilmiah dan relevansi praktis.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker), Universitas Airlangga (Unair), dan Asosiasi Industri Fabrikasi Baja untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta memfasilitasi integrasi temuan riset ke dalam regulasi K3 nasional dan praktik terbaik industri.

(https://doi.org/10.55123/insologi.v3i2.3422)

 

Selengkapnya
Peta Jalan Riset K3: Mengubah 52 Bahaya Fabrikasi (Blasting & Painting) menjadi Prioritas Hibah Akademik

Manajemen Risiko

Menyusun Paradigma Baru Multi-Hazard dan Multi-Risk: Kunci Manajemen Risiko Bencana yang Adaptif

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Oktober 2025


Mengapa Multi-Hazard dan Multi-Risk Semakin Penting di Era Modern?

Di tengah perubahan iklim, urbanisasi masif, dan globalisasi ekonomi, risiko bencana tidak lagi bisa dipandang sebagai ancaman tunggal yang berdiri sendiri. Fenomena seperti banjir yang memicu longsor, gempa yang diikuti tsunami, atau kebakaran hutan yang memperburuk polusi udara menunjukkan bagaimana satu bencana dapat memicu dan memperkuat bencana lain. Inilah yang mendorong lahirnya paradigma multi-hazard dan multi-risk dalam manajemen risiko bencana.

Handbook “Multi-hazard, Multi-Risk Definitions and Concepts” dari proyek MYRIAD-EU (Gill et al., 2022) menjadi salah satu referensi paling komprehensif dalam membangun fondasi pemahaman, terminologi, dan indikator untuk pendekatan multi-hazard dan multi-risk. Artikel ini mengupas secara kritis isi, studi kasus, angka-angka kunci, serta relevansi dan tantangan implementasinya di ranah global dan Indonesia.

Evolusi Konsep: Dari Single Hazard Menuju Multi-Risk

Keterbatasan Pendekatan Tradisional

  • Single Hazard: Selama puluhan tahun, kebijakan dan riset bencana cenderung fokus pada satu jenis ancaman (misal, hanya banjir atau hanya gempa).
  • Dampak: Pendekatan ini sering gagal menangkap interaksi antar bencana, sehingga mitigasi yang dilakukan bisa menimbulkan “asynergies” misal, bangunan tahan banjir tapi rentan gempa.

Paradigma Baru: Multi-Hazard dan Multi-Risk

  • Multi-Hazard: Melibatkan identifikasi dan penanganan berbagai ancaman utama yang dapat terjadi secara simultan, beruntun, atau saling mempengaruhi.
  • Multi-Risk: Tidak hanya memperhitungkan interaksi antar hazard, tetapi juga dinamika kerentanan (vulnerability), eksposur, dan kapasitas masyarakat yang berubah seiring waktu.

Kerangka Dasar: Definisi dan Tipe Interaksi Multi-Hazard

Definisi Kunci

  • Multi-Hazard: “Seleksi hazard utama yang relevan bagi suatu wilayah, sambil memperhitungkan potensi peristiwa yang muncul bersamaan, beruntun, atau saling memperkuat akibat interaksi antar-hazard.”
  • Multi-Risk: "Risiko yang dihasilkan dari berbagai hazard dan interaksinya, termasuk perubahan pada tingkat kerentanan."

Tipe Interaksi Multi-Hazard

  1. Triggering Relationships: Satu hazard memicu hazard lain (contoh: gempa memicu longsor).
  2. Amplification Relationships: Satu hazard meningkatkan kemungkinan atau dampak hazard lain (contoh: kekeringan memperbesar potensi kebakaran hutan).
  3. Compound Relationships: Dua atau lebih hazard terjadi bersamaan di satu wilayah/waktu, dengan dampak yang bisa lebih besar dari jumlah dampak masing-masing hazard.

Studi Kasus: Kompleksitas Multi-Hazard di Dunia Nyata

1. Gempa dan Tsunami di Aceh 2004

  • Rangkaian Peristiwa: Gempa besar memicu tsunami, yang kemudian diikuti epidemi penyakit dan kerusakan infrastruktur vital.
  • Dampak: Lebih dari 230.000 korban jiwa, kerugian ekonomi miliaran dolar, dan perubahan sosial-ekonomi jangka panjang.
  • Pelajaran: Penanganan bencana tidak bisa hanya fokus pada satu jenis hazard, tetapi harus mengantisipasi efek domino dan kebutuhan lintas sektor.

2. Banjir dan Longsor di Eropa

  • Data CRED (2000–2020): Frekuensi bencana hidrometeorologi meningkat hingga 343 kejadian per tahun secara global, dengan kerugian ekonomi rata-rata USD 16,3 miliar per tahun.
  • Studi Glenwood Springs, Colorado: Analisis zona rawan longsor, banjir, dan kebakaran hutan menunjukkan bahwa zona eksposur tinggi sering tumpang tindih, sehingga mitigasi harus mempertimbangkan kombinasi risiko.

3. Infrastruktur dan Multi-Risk di Australia

  • Analisis Mackay: Kerusakan pada satu infrastruktur (listrik) dapat memicu kerusakan sistemik pada air, komunikasi, dan logistik.
  • Dampak: Komunitas bisa lumpuh total dalam hitungan jam jika tidak ada mitigasi multi-sektor.

Angka-Angka Kunci: Skala dan Kompleksitas Risiko

  • Jumlah istilah kunci: Handbook MYRIAD-EU merangkum 140 istilah, 102 di antaranya terkait multi-hazard dan multi-risk.
  • Literatur: Dari 2015–2021, ditemukan 660 definisi terkait lebih dari 300 istilah dalam literatur multi-hazard.
  • Frekuensi bencana hidrometeorologi: Hampir 343 per tahun (CRED, 2000–2020).
  • Kerugian ekonomi Eropa akibat bencana (2004): >120 miliar Euro, korban jiwa global >180.000.

Indikator Multi-Hazard dan Multi-Risk: Menuju Pengukuran yang Adaptif

Fungsi dan Manfaat Indikator

  • Menyederhanakan informasi kompleks untuk memantau perubahan risiko dan efektivitas mitigasi.
  • Membantu membandingkan tingkat risiko antar wilayah dan waktu.
  • Menjadi dasar pengambilan keputusan berbasis data.

Contoh Indikator

  • Urban Disaster Risk Index (UDRi): Mengukur kerusakan fisik dan kerentanan sosial.
  • INFORM Risk Index: Menggabungkan hazard, eksposur, kerentanan, dan kapasitas coping.
  • Disaster Resilience Scorecard: Menilai kesiapan kota dalam 10 aspek utama, mulai dari tata kelola, keuangan, hingga infrastruktur.

Draft Indikator Multi-Risk MYRIAD-EU

  1. Karakterisasi Multi-Risk: Kesadaran terhadap hazard, skenario risiko, dan dinamika kerentanan.
  2. Efektivitas Tata Kelola: Adanya kebijakan lintas hazard, koordinasi antar lembaga, dan mekanisme komunikasi vertikal-horisontal.
  3. Kesiapsiagaan Multi-Risk: Integrasi konsep multi-hazard dalam perencanaan, kapasitas coping lintas sektor, dan pendanaan publik untuk riset multi-risk.

Analisis Kritis: Keunggulan, Tantangan, dan Perbandingan

Keunggulan Handbook MYRIAD-EU

  • Komprehensif: Merangkum terminologi, indikator, dan kerangka kerja multi-hazard secara lintas disiplin.
  • Berbasis Konsensus Internasional: Mengadopsi terminologi dari UNDRR, IPCC, WHO, WMO, dan lembaga global lain.
  • Fleksibel: Didesain sebagai dokumen “living” yang dapat diperbarui sesuai perkembangan ilmu dan kebutuhan proyek.

Tantangan Implementasi

  • Keterbatasan Data: Banyak negara berkembang belum memiliki data resolusi tinggi dan historis yang memadai.
  • Kompleksitas Teknis: Harmonisasi peta dan indikator lintas hazard memerlukan SDM dan perangkat lunak canggih.
  • Evolusi Terminologi: Banyak istilah baru yang belum sepenuhnya disepakati secara internasional, sehingga perlu adaptasi dan sosialisasi berkelanjutan.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • ARMONIA Project: Fokus pada harmonisasi peta risiko lintas hazard di Eropa, menekankan pentingnya integrasi spasial dan temporal.
  • FEMA (AS): HAZUS-MH sebagai perangkat penilaian risiko multi-hazard, namun masih terbatas pada tiga hazard utama.
  • World Bank Hotspots: Indeks risiko multi-hazard global, namun kurang detail di level lokal dan interaksi hazard.

Implikasi Praktis dan Relevansi untuk Indonesia

Tantangan di Indonesia

  • Keragaman Bencana: Gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir, dan longsor sering terjadi bersamaan atau beruntun.
  • Keterbatasan Data dan SDM: Banyak daerah belum punya peta risiko terintegrasi dan tenaga ahli multi-hazard.
  • Efek Domino: Gempa dan tsunami Aceh 2004 memicu longsor, epidemi, dan kerusakan infrastruktur vital.

Rekomendasi Strategis

  • Penguatan Sistem Data dan GIS: Integrasi data multi-hazard dari BNPB, BMKG, BIG, dan instansi terkait.
  • Penyusunan Peta Risiko Terintegrasi: Prioritaskan kawasan rawan bencana sebagai dasar tata ruang dan investasi.
  • Kolaborasi Multi-Sektor: Libatkan akademisi, pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengumpulan dan validasi data.
  • Penerapan Indikator Multi-Risk: Gunakan indikator MYRIAD-EU untuk memantau efektivitas kebijakan dan kesiapsiagaan daerah.

Tren Global: Digitalisasi, Kolaborasi, dan Adaptasi

  • Digitalisasi dan Big Data: Pemanfaatan data satelit, IoT, dan machine learning untuk prediksi dan pemetaan risiko semakin masif.
  • Pendekatan Komunitas: Partisipasi masyarakat dalam pengumpulan data dan validasi risiko terbukti meningkatkan efektivitas mitigasi.
  • Integrasi Kebijakan: Negara-negara maju mulai mensyaratkan multi-risk assessment dalam setiap proyek infrastruktur dan tata ruang.
  • Lifelong Learning: Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi pengelola risiko bencana menjadi kunci adaptasi.

Opini dan Kritik: Menjawab Tantangan Masa Depan

Handbook MYRIAD-EU berhasil menempatkan multi-hazard dan multi-risk sebagai fondasi baru mitigasi bencana. Namun, tantangan terbesar adalah implementasi di lapangan, terutama di negara berkembang yang masih terkendala data, kapasitas SDM, dan koordinasi lintas sektor. Di Indonesia, adopsi metodologi ini harus disesuaikan dengan karakteristik lokal, ketersediaan data, dan kesiapan institusi.

Kritik utama terhadap pendekatan multi-hazard adalah potensi “over-kompleksitas” yang bisa menghambat adopsi di level daerah. Untuk itu, diperlukan pelatihan, simplifikasi model untuk daerah dengan sumber daya terbatas, dan pengembangan perangkat lunak open source yang ramah pengguna. Selain itu, penguatan peran masyarakat dan pelibatan sektor swasta sangat penting untuk mempercepat transformasi menuju manajemen risiko yang lebih adaptif.

Kesimpulan: Multi-Hazard dan Multi-Risk, Pilar Ketangguhan Masa Depan

Paradigma multi-hazard dan multi-risk bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan strategis di era bencana kompleks dan perubahan iklim. Handbook MYRIAD-EU menawarkan fondasi terminologi, indikator, dan kerangka kerja yang dapat diadaptasi lintas negara dan sektor. Indonesia dan negara berkembang lain dapat belajar bahwa membangun masyarakat yang tangguh terhadap bencana hanya mungkin dicapai melalui investasi berkelanjutan pada data, pemanfaatan teknologi, dan penguatan kolaborasi lintas sektor.

Sumber

Gill, J.C., Duncan, M., Ciurean, R., Smale, L., Stuparu, D., Schlumberger, J., de Ruiter, M., Tiggeloven, T., Torresan, S., Gottardo, S., Mysiak, J., Harris, R., Petrescu, E. C., Girard, T., Khazai, B., Claassen, J., Dai, R., Champion, A., Daloz, A. S., … Ward, P. 2022. MYRIAD-EU D1.2 Handbook of Multi-hazard, Multi-Risk Definitions and Concepts. H2020 MYRIAD-EU Project, grant agreement number 101003276, pp 75.

Selengkapnya
Menyusun Paradigma Baru Multi-Hazard dan Multi-Risk: Kunci Manajemen Risiko Bencana yang Adaptif

Manajemen Risiko

Mewujudkan Budaya Nol Kecelakaan: Peran Manajerial Proaktif dan Revolusi Teknologi VR/IoT dalam Pelatihan K3 Konstruksi

Dipublikasikan oleh Raihan pada 02 Oktober 2025


Revolusi Keselamatan Kerja di Sektor Industri: Tinjauan Strategis atas Efektivitas Pelatihan K3 dan Imperatif Manajerial dalam Era Teknologi Imersif

Pendahuluan: Mandat Strategis Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Penelitian ini menyajikan tinjauan literatur sistematis yang mengevaluasi efektivitas program pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), khususnya di sektor konstruksi, dan menganalisis peran krusial manajemen dalam memperkuat kepatuhan K3. Melalui analisis data dari periode 2018 hingga 2024, studi ini menegaskan bahwa K3 bukan sekadar kewajiban regulasi, melainkan sebuah pendorong strategis yang tak terpisahkan dari produktivitas organisasi dan kesejahteraan karyawan.  

Penerapan K3 yang efektif secara fundamental berkontribusi pada pengurangan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, yang pada gilirannya meningkatkan kehadiran dan luaran keseluruhan pekerja. Secara ekonomi, investasi dalam K3 terbukti menghasilkan pengembalian finansial yang positif, dengan temuan menunjukkan bahwa pengeluaran untuk keselamatan kerja dapat meningkatkan keuntungan perusahaan, dengan rasio manfaat-biaya  ≥1. Implikasi strategis dari temuan ini adalah bahwa K3 harus dipandang sebagai investasi inti untuk keberlanjutan usaha (business sustainability), bukan sekadar biaya operasional non-esensial.  

Tinjauan ini juga mengidentifikasi kemajuan signifikan yang didorong oleh adopsi teknologi canggih seperti Realitas Virtual (VR) dan Internet of Things (IoT) dalam praktik K3. Namun, kemajuan ini berjalan tidak merata, meninggalkan jurang implementasi yang persisten, terutama di sektor risiko tinggi seperti konstruksi dan di kalangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Dengan demikian, urgensi penelitian terletak pada kebutuhan untuk memperkuat peran manajerial yang lebih proaktif dan mendorong integrasi teknologi pintar untuk menutup celah-celah implementasi yang kritis ini.

Jalur Logis Perjalanan Temuan: Dari Pengetahuan ke Kinerja

Perjalanan temuan dalam riset ini mengikuti jalur logis yang menghubungkan inisiasi program, dampak kognitif, dan hasil kinerja di lapangan.

1. Efikasi Pelatihan K3 dalam Transfer Pengetahuan: Langkah awal dalam efektivitas K3 adalah transfer pengetahuan. Program sosialisasi dan pelatihan K3 terbukti sangat efektif dalam meningkatkan pemahaman pekerja. Data menunjukkan bahwa setelah program dilaksanakan, tingkat pemahaman pekerja dapat meningkat signifikan dari 30% menjadi 90%. Angka ini menggarisbawahi pentingnya inisiasi program K3 yang terstruktur di perusahaan. Namun, perlu dicatat bahwa meskipun pemahaman awal tinggi, program ini harus terus dilanjutkan dan diulang secara rutin untuk memastikan pengetahuan K3 tetap relevan dan diterapkan secara konsisten dalam praktik sehari-hari.  

2. Korelasi K3 yang Kuat dengan Kinerja Pekerja: Temuan kunci riset menunjukkan bahwa implementasi faktor K3 memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kinerja pekerja secara keseluruhan. Hubungan ini tidak bersifat anekdotal, melainkan didukung oleh data kuantitatif yang sangat kuat dari pekerjaan teknis di sektor konstruksi.  

Pada pekerjaan perpipaan baja, ditemukan hubungan yang kuat antara penerapan K3 dan peningkatan kinerja, ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,816. Bahkan, pada pekerjaan batu alam, koefisien korelasi yang lebih kuat, mencapai 0,825, menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru yang berfokus pada integrasi prosedur keselamatan sebagai ukuran kendali kualitas operasional. Koefisien korelasi yang mendekati 0,8 mengindikasikan bahwa prosedur keselamatan bukan sekadar tambahan, tetapi variabel kritis yang terjalin erat dengan kualitas teknis dan efisiensi pelaksanaan tugas.  

3. Peran Krusial Kepemimpinan Manajerial: Meskipun pelatihan berhasil mentransfer pengetahuan (dari 30% ke 90%) dan terdapat korelasi kinerja yang tinggi , celah implementasi persisten di lapangan. Disinilah peran manajemen menjadi sangat krusial. Manajemen memiliki tanggung jawab utama dalam memastikan program pelatihan K3 diadopsi dan diimplementasikan secara efektif oleh pekerja di lokasi operasional. Karyawan yang merasa didukung oleh manajemen cenderung lebih mematuhi prosedur keselamatan. Dengan kata lain, budaya keselamatan adalah produk langsung dari dukungan dan keterlibatan manajerial yang terlihat dan konsisten.  

4. Kesenjangan Persisten di UKM dan Konstruksi: Terlepas dari kemajuan teknologi (VR, IoT) , penelitian menyoroti bahwa tingkat keselamatan dan kesadaran pekerja di sektor UKM, khususnya konstruksi, masih rendah. Tingkat kesehatan dan keselamatan kerja pada proyek konstruksi gedung seringkali masih terabaikan. Kegagalan ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan SOP atau regulasi yang ketat dan model OHS yang disederhanakan, mengingat UKM seringkali memiliki sumber daya yang terbatas untuk menerapkan sistem K3 yang kompleks.  

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama tinjauan literatur ini bagi komunitas akademik dan peneliti mencakup tiga dimensi strategis: validasi kinerja, penekanan peran kepemimpinan, dan pemetaan potensi teknologi.

1. Validasi Kuantitatif K3 sebagai Pendorong Kinerja Operasional: Penelitian ini secara deskriptif menyoroti data kuantitatif yang membuktikan bahwa K3 adalah pendorong kinerja, bukan penghambat. Penemuan koefisien korelasi yang sangat tinggi (0,816 hingga 0,825 antara K3 dan kinerja di pekerjaan konstruksi spesifik) memberikan landasan ilmiah yang kokoh bagi para eksekutif dan pembuat kebijakan untuk mengintegrasikan K3 ke dalam Key Performance Indicators (KPI) operasional. Kontribusi ini mengubah perdebatan K3 dari ranah etika semata menjadi ranah keunggulan operasional yang terukur.  

2. Pengalihan Fokus ke Manajerial Proaktif: Studi ini secara eksplisit menggeser fokus tanggung jawab K3. Meskipun pelatihan kognitif terbukti berhasil (peningkatan pemahaman 30% ke 90%) , kegagalan perilaku di lapangan menunjukkan defisit manajemen, bukan defisit pengetahuan. Kontribusi utamanya adalah menegaskan peran manajerial yang lebih proaktif sebagai katalis krusial untuk efektivitas K3 dan keselamatan pekerja. Ini menuntut manajemen tambang, misalnya, untuk tidak hanya melatih tetapi juga mengevaluasi dan meningkatkan program K3 secara berkelanjutan demi mengurangi cedera.  

3. Memetakan Potensi dan Kesenjangan Teknologi Imersif: Tinjauan ini mengidentifikasi VR sebagai alat pelatihan yang sangat efektif, yang memberikan pengalaman belajar imersif dan realistis, terutama di bidang teknik elektro. Kontribusi ini memberikan titik awal bagi peneliti untuk menguji potensi VR dalam mensimulasikan skenario risiko tinggi yang sulit diakses secara konvensional (misalnya, pemadam kebakaran, industri kimia, maritim). Selain itu, pengakuan terhadap IoT sebagai komponen vital bagi efektivitas jangka panjang K3 membuka jalan bagi penelitian sistem pemantauan prediktif.  

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun terdapat kemajuan signifikan, tinjauan ini menyoroti sejumlah keterbatasan dalam praktik dan penelitian K3 yang memerlukan eksplorasi lebih lanjut.

1. Kesenjangan Pengetahuan-Perilaku (Knowledge-Behavior Gap): Temuan menunjukkan bahwa perilaku K3 di antara pekerja tidak selalu dipengaruhi oleh faktor usia, masa kerja, pengetahuan, atau sikap. Hal ini menimbulkan pertanyaan terbuka fundamental:  

Strategi apa yang diperlukan untuk secara konsisten menerjemahkan tingkat pengetahuan K3 yang tinggi (90%) menjadi kepatuhan perilaku yang melekat dan berkelanjutan di lingkungan kerja?. Kurangnya budaya keselamatan dan komunikasi bahaya yang buruk di beberapa industri (misalnya, mebel kayu) menunjukkan bahwa mekanisme budaya dan pengawasan seringkali menjadi penghalang.  

2. Hambatan Implementasi K3 di UKM: Tingkat keselamatan dan kesadaran pekerja di sektor konstruksi UKM masih rendah, dan langkah-langkah yang diambil oleh pemberi kerja seringkali tidak memadai untuk mencapai tujuan "nol kecelakaan". Keterbatasan ini menghadirkan tantangan utama:  

Bagaimana komunitas riset dapat mengembangkan dan memvalidasi model Sistem Manajemen K3 yang minimalis, modular, dan terjangkau yang secara spesifik dirancang untuk mengatasi kendala sumber daya dan budaya di UKM/UKM konstruksi?.  

3. Kurangnya Eksplorasi Pemantauan Kelelahan Real-Time: Kelelahan kerja, yang dipicu oleh kurang tidur, beban kerja berat, dan kondisi lingkungan yang buruk, merupakan faktor penyebab utama cedera. Namun, penelitian sebelumnya belum secara spesifik mengeksplorasi penggunaan teknologi canggih (seperti sensor IoT) untuk pemantauan kelelahan kerja secara real-time. Hal ini meninggalkan pertanyaan terbuka tentang bagaimana cara terbaik untuk mengintegrasikan data fisiologis objektif ke dalam manajemen risiko prediktif untuk mencegah kesalahan yang disebabkan oleh faktor manusia.  

4. Adopsi Teknologi VR yang Terbatas: Meskipun VR terbukti efektif untuk simulasi dan pelatihan , penerapannya masih dalam tahap awal dan belum dieksplorasi secara luas di berbagai skenario industri yang kompleks, seperti pemadam kebakaran dan industri kimia. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengatasi hambatan adopsi (misalnya, standarisasi konten, biaya, dan integrasi sistem) guna memaksimalkan potensi teknologi imersif ini.  

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan temuan yang menggarisbawahi efikasi pelatihan, peran manajerial, dan kesenjangan implementasi teknologi, berikut adalah lima arah riset berkelanjutan yang disarankan bagi komunitas akademik:

1. Riset Validasi Jangka Panjang Efikasi Perilaku Teknologi Imersif

Justifikasi Ilmiah: Pelatihan VR terbukti meningkatkan keterampilan dan pengetahuan. Namun, efektivitas jangka panjang program K3 yang didukung teknologi canggih (VR dan IoT) dalam mengubah perilaku nyata di lapangan dan mengurangi angka insiden selama siklus operasional multi-tahun belum tervalidasi.  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus menggunakan studi kohort longitudinal, membandingkan kelompok yang dilatih VR dengan kelompok kontrol dalam konteks industri baru (misalnya, sektor maritim atau petrokimia).  

Variabel terukur harus mencakup tingkat kepatuhan penggunaan APD yang diamati (observed APD compliance rate) dan penurunan Severity Rate kecelakaan.  

Menunjukkan Perlunya Penelitian Lanjutan: Hal ini krusial untuk mengalihkan pembenaran investasi teknologi K3 dari sekadar peningkatan kognitif menjadi bukti konkret dari perubahan budaya dan penghematan biaya risiko jangka panjang.

2. Pengembangan Model Implementasi K3 yang Sumber Daya-Optimized untuk UKM

Justifikasi Ilmiah: Kesenjangan terbesar dalam penerapan K3 adalah di UKM konstruksi, di mana sumber daya terbatas dan budaya keselamatan yang rendah menjadi penghalang utama bagi pencapaian "nol kecelakaan".  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Diperlukan penelitian berbasis studi kasus yang intensif (action research) pada UKM konstruksi. Fokus harus pada pengembangan dan pengujian model K3 modular yang hanya memerlukan waktu dan modal minimal, seperti  

sistem audit K3 berbasis smartphone untuk inspeksi rutin yang dapat dilakukan oleh manajer umum, alih-alih petugas K3 purna waktu.  

Menunjukkan Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan memberikan solusi praktis dan terukur untuk menutup jurang keselamatan yang melebar antara perusahaan besar dan segmen UKM, yang merupakan bagian vital dari perekonomian.

3. Eksplorasi Protokol Pemantauan Kelelahan Fisiologis Real-Time

Justifikasi Ilmiah: Kelelahan adalah faktor risiko multidimensi yang penting, namun riset belum mengeksplorasi penggunaan teknologi canggih untuk pemantauan real-time.  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus berfokus pada pengembangan dan validasi protokol sensorik (misalnya, wearable device yang mengukur variabilitas detak jantung atau waktu reaksi objektif).  

Konteks harus di sektor shift-work berisiko tinggi (misalnya, pertambangan atau logistik). Model prediktif harus dibangun untuk memicu intervensi manajerial otomatis (misalnya, rotasi tugas atau mandatory rest) sebelum kelelahan mencapai ambang batas kritis.  

Menunjukkan Perlunya Penelitian Lanjutan: Pendekatan ini adalah pergeseran strategis dari manajemen risiko reaktif menjadi prediktif, dengan memanfaatkan data fisiologis untuk mengelola batas kemampuan manusia.

4. Penelitian Strategi Penerjemahan Pengetahuan ke Budaya Kepatuhan

Justifikasi Ilmiah: Meskipun pelatihan mampu meningkatkan pemahaman K3 secara kognitif hingga 90% , pengetahuan ini tidak secara konsisten memengaruhi perilaku keselamatan di lapangan.  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Riset kualitatif dan eksperimental harus mengevaluasi efektivitas strategi alternatif di luar pelatihan formal, seperti sistem akuntabilitas rekan kerja (peer-to-peer accountability systems) atau program komunikasi bahaya yang imersif dan berkelanjutan yang disajikan selama daily toolbox talk.  

Variabel harus berfokus pada keparahan sanksi dan konsistensi penegakan SOP.  

Menunjukkan Perlunya Penelitian Lanjutan: Diperlukan model yang mengatasi Knowledge-Behavior Gap dengan membangun budaya di mana kepatuhan K3 adalah prasyarat non-negosiasi untuk pekerjaan.

5. Analisis Komparatif Peran Manajerial Proaktif Lintas Struktur Organisasi

Justifikasi Ilmiah: Peran manajerial yang proaktif adalah faktor paling krusial dalam mendorong budaya K3. Namun, definisi operasional dan metrik untuk "proaktif" masih samar.  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus membandingkan struktur organisasi yang berbeda (misalnya, hierarkis vs. datar) dalam industri yang sama (misalnya, konstruksi).  

Variabel yang diukur adalah frekuensi dan kualitas interaksi site visit manajerial serta korelasi signifikan antara tindakan manajerial tersebut dengan tingkat insiden yang dilaporkan atau ketidakpatuhan.  

Menunjukkan Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan menghasilkan panduan berbasis bukti bagi manajemen senior mengenai bagaimana cara terbaik untuk mengalokasikan waktu dan perhatian mereka untuk dampak K3 maksimum, menjadikan peran manajemen sebagai arsitek sistem K3 yang efektif.  

Kesimpulan: K3 sebagai Pilar Keberlanjutan Usaha

Tinjauan ini menegaskan bahwa masa depan keselamatan kerja terletak pada konvergensi antara kepemimpinan manajerial yang proaktif dan adopsi teknologi cerdas. Sementara VR dan IoT menawarkan alat tak tertandingi untuk pelatihan dan pemantauan prediktif , keberhasilan jangka panjang bergantung pada komitmen manajemen untuk menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku, khususnya di sektor-sektor yang paling rentan. Manajemen K3 yang efektif adalah pilar keberlanjutan usaha (business sustainability), berkontribusi pada kesehatan pekerja, peningkatan produktivitas, dan ketahanan operasional.  

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Politeknik Negeri Ujung Pandang, asosiasi industri konstruksi (misalnya, BCI Central/GAPENSI), dan lembaga penyandang dana riset teknologi (misalnya, BRIN) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama dalam penerapan teknologi yang diskalakan untuk UKM.

 Baca Selengkapnya di: Efektivitas Pelatihan Keselamatan Kerja di Konstruksi Dan Peran Manajemen dalam Meningkatkan Kepatuhan K3 ; Literatur Review. (2025). Jurnal Ilmiah Ekonomi Manajemen & Bisnis3(1), 08-17. https://doi.org/10.60023/w9xcbn62

Selengkapnya
Mewujudkan Budaya Nol Kecelakaan: Peran Manajerial Proaktif dan Revolusi Teknologi VR/IoT dalam Pelatihan K3 Konstruksi

Manajemen Risiko

Mengukur Dampak Nyata: Peta Jalan Riset Penilaian Kualitas Pendidikan Keselamatan Pascasarjana di Eropa

Dipublikasikan oleh Raihan pada 02 Oktober 2025


I. Konteks Strategis dan Analisis Gap Metodologis
Studi ini dilatarbelakangi oleh sejarah panjang profesionalisasi keselamatan, yang dimulai dari keselamatan kerja pada abad ke-19 dan berlanjut hingga pembentukan sains keselamatan sebagai disiplin akademik di universitas pada tahun 1970-an.1 Perkembangan ini, yang dipicu oleh bencana industri berisiko tinggi-teknologi tinggi sejak tahun 1970-an, menuntut adanya ahli keselamatan yang kompeten.

Untuk mengatasi celah kualitas ini, penulis—sepuluh direktur dan koordinator kursus pascasarjana dari institusi-institusi terkemuka di delapan negara Eropa—bertemu pada Oktober 2018. Pertemuan ini bertujuan untuk membandingkan sejarah, konten, dan program kursus, serta mendiskusikan bagaimana penilaian kualitas yang ada dapat ditingkatkan.1

Jalur penemuan dalam paper ini secara logis bergerak melalui tiga fase utama:

  1. Deskripsi dan Variabilitas Program: Paper menyajikan deskripsi sepuluh program pascasarjana yang terlibat, mencatat variabilitas yang tinggi dalam hal fokus, durasi, dan biaya kuliah di seluruh Eropa.1 Survei sebelumnya tahun 2011 juga menunjukkan adanya 90 kursus di 18 negara berbeda, menyoroti kurangnya harmonisasi. Kebutuhan untuk international benchmarking dan harmonisasi yang kuat ditegaskan.
  2. Identifikasi Model Kualitas: Penilaian kualitas dieksplorasi menggunakan model evaluasi pendidikan yang diterima, khususnya model empat tingkat Kirkpatrick (Reaksi, Pembelajaran, Perilaku, Hasil/Dampak) dan model Donabedian (Input, Proses, Output/Outcome).1
  3. Temuan Kesenjangan Kritis dan Proposal Solusi: Analisis menunjukkan bahwa indikator kualitas utama saat ini adalah evaluasi internal—reaksi peserta pelatihan dan hasil ujian.1 Penulis menyimpulkan bahwa konsep kualitas yang paling diinginkan adalah transfer pengetahuan dan keterampilan keselamatan ke perusahaan dan organisasi, yang berkorespondensi dengan Level 3 (Perilaku) dan Level 4 (Dampak) Kirkpatrick.1 Namun, indikator keselamatan tradisional, seperti frekuensi kecelakaan, dianggap tidak reliable untuk mengukur transfer ini karena adanya faktor confounder dan variabilitas statistik.1 Sebagai gantinya, paper ini mengusulkan metrik proaktif: peninjauan skenario kecelakaan minor dan major perusahaan terkait, dikombinasikan dengan aktivitas lulusan untuk memengaruhi dan mencegah aktivasi skenario tersebut.1

Sorotan Data Kuantitatif Secara Deskriptif

Analisis data kuantitatif yang disajikan menunjukkan adanya bias struktural dalam penilaian kualitas yang diterapkan saat ini:

  • Ketergantungan Internal yang Dominan: “Temuan ini menunjukkan ketergantungan kuat pada penilaian internal (Reaksi Level 1 dan Pembelajaran Level 2), yang diukur melalui alat seperti evaluasi peserta pelatihan dan audit internal, mencapai koefisien 66% sebagai sistem kualitas yang diadopsi oleh penyelenggara program — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru yang berfokus pada validasi eksternal (Level 3 dan 4).” Ketergantungan ini berisiko menilai bentuk presentasi daripada konten substantif.1
  • Variabilitas Program yang Tinggi: Survei tahun 2011 yang dikutip menunjukkan ada 90 kursus di 18 negara berbeda.1 Variabilitas regional sangat mencolok; misalnya, Portugal memiliki 29 kursus pascasarjana dibandingkan dengan negara-negara Nordik. Hal ini mengindikasikan adanya risiko proliferasi kursus yang mungkin "lacking any research tradition".1
  • Pengabaian Evaluasi Dampak (Level 4): Ditekankan bahwa tidak ada program yang dievaluasi dalam survei ini yang secara ilmiah menguji Kirkpatrick Level 4 (Dampak), yaitu, apakah perusahaan menjadi lebih aman karena aktivitas lulusan.1 Fakta ini menyoroti defisit metodologi absolut di tingkat pengukuran hasil tertinggi, yang perlu diatasi segera oleh komunitas riset.

II. Kontribusi Utama terhadap Bidang

Paper ini memberikan kontribusi yang mendalam dan multidimensi terhadap sains keselamatan, terutama dalam ranah pendidikan akademik.

Penyediaan Kerangka Analitis Awal dan Peta Kurikulum

Paper ini merupakan upaya langka untuk membahas konten dan penilaian kualitas kursus pascasarjana keselamatan di berbagai universitas dan lembaga penelitian Eropa.1 Dengan menyajikan deskripsi komparatif sepuluh program dari delapan negara Eropa 1, paper ini menyediakan peta kurikulum awal yang sangat dibutuhkan, yang sebelumnya hanya tersedia dalam bentuk tinjauan lokal atau nasional.

Yang lebih signifikan, paper ini secara efektif menerapkan model evaluasi pendidikan terstruktur (Kirkpatrick, Donabedian) ke dalam domain Keselamatan. Penulis mengidentifikasi bahwa meskipun evaluasi Level 1 dan 2 banyak digunakan, kedua level ini memiliki kegunaan terbatas karena tidak memantau aplikasi pengetahuan dan dampak perilaku.1 Ini menggeser fokus akademik dari hanya mendokumentasikan apa yang diajarkan (Input/Proses Donabedian) menjadi memahami apa yang dilakukan oleh lulusan (Output/Outcome Donabedian).

Memisahkan Kualitas dari Kepatuhan Administratif

Sebuah temuan yang sangat penting adalah analisis kritis terhadap sistem sertifikasi. Paper ini mengakui bahwa standar ISO adalah praktik sertifikasi yang berkembang paling cepat dalam pendidikan. Namun, penulis secara kritis mencatat adanya fenomena yang disebut 'ISO madness', di mana sistem sertifikasi dapat menciptakan beban administrasi yang berat yang hanya menghasilkan "paper reality".1 Ini berarti kepatuhan terhadap prosedur terkelola tidak selalu mencerminkan kualitas atau dampak yang sebenarnya.

Kontribusi utama yang muncul dari diskusi ini adalah penegasan bahwa kualitas harus didefinisikan oleh peningkatan kemungkinan pencapaian tujuan pendidikan (sesuai definisi Institute of Medicine/IOM) 1, bukan sekadar kepatuhan administrasi. Hal ini memberikan argumen kuat bagi penerima hibah untuk memprioritaskan riset yang memvalidasi outcome nyata daripada proses sertifikasi semata.

Menetapkan Standar Kognitif Tertinggi

Pendidikan keselamatan pascasarjana bertujuan untuk melatih peserta didik agar mampu melakukan critical reflection—yakni, mengevaluasi pandangan mereka sendiri dan pandangan divergen berdasarkan argumen yang valid, serta memberikan solusi untuk situasi yang belum pernah ditemui sebelumnya.1 Paper ini secara eksplisit menghubungkan tujuan pendidikan tinggi ini dengan level kognitif tertinggi Taksonomi Krathwohl: Analyze, Evaluate, dan Create.1

Penegasan standar ini memiliki implikasi metodologis yang mendasar: penilaian kualitas yang memadai tidak boleh hanya mengandalkan tes hafalan atau pemahaman faktual (Level Remember dan Understand). Sebaliknya, metode penilaian Level 2 yang lebih tinggi harus melibatkan diskusi, proyek tim yang tidak terstruktur, dan ujian akhir yang menguji kemampuan aplikasi pengetahuan ke kasus praktis yang kompleks.1

Mengusulkan Metrik Proaktif yang Reliabel untuk Dampak

Mungkin kontribusi paling inovatif dari paper ini adalah pengakuan mendalam terhadap kegagalan metrik tradisional. Paper ini menjelaskan bahwa data insiden atau frekuensi kecelakaan (Lost Time Injuries/LTI) adalah indikator yang tidak reliable karena rentan terhadap variasi statistik dan faktor confounders yang tidak terkait dengan pendidikan.1

Sebagai respons, penulis mengusulkan pergeseran paradigma: metrik dampak Level 4 harus fokus pada kemampuan lulusan untuk mengintervensi accident processes atau accident scenarios.1 Ini berarti evaluasi harus mengukur seberapa efektif lulusan dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan memperkuat barriers pencegahan dalam skenario kecelakaan minor atau major yang mungkin terjadi. Proposal ini meletakkan dasar konseptual untuk desain penelitian kuantitatif baru, menjauh dari metrik hasil (lagging indicators) menuju metrik proaktif (leading indicators).

III. Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun paper ini berhasil memetakan lanskap pendidikan keselamatan, ada keterbatasan metodologi dan celah pengetahuan yang jelas yang harus menjadi target riset di masa depan.

Keterbatasan Metodologi Penelitian

Keterbatasan utama studi ini terletak pada metode pemilihannya. Pemilihan peserta (direktur dan koordinator kursus) sebagian besar bersifat kebetulan (accidental) dan didasarkan pada convenience sampling, terkait dengan partisipasi dalam konferensi keselamatan internasional.1 Meskipun pertemuan ini merupakan upaya yang langka dan berharga, pengambilan sampel yang tidak sistematis ini membatasi generalisasi temuan untuk seluruh program pendidikan keselamatan di Eropa. Riset lanjutan harus memastikan pemilihan sampel yang sistematis, mencakup semua institusi terakreditasi, guna mendukung klaim international benchmarking.

Selain itu, analisis kualitas secara inheren dibatasi oleh kelangkaan data eksternal. Evaluasi kualitas eksternal (Level 3 dan 4) secara sistematis tidak ada, dan data yang disajikan sebagian besar mencerminkan mekanisme penilaian internal.1

Pertanyaan Terbuka untuk Komunitas Akademik

1. Operasionalisasi dan Validasi Pengukuran Refleksi Kritis

Bagaimana dapat dikembangkan instrumen yang secara valid dan reliable mengukur kemampuan lulusan untuk melakukan refleksi kritis, yang merupakan atribut inti dari ahli keselamatan pascasarjana? Penilaian tradisional sering kali gagal menangkap proses Donabedian—yakni, kualitas penalaran dan justifikasi.1 Riset harus menargetkan pengembangan rubrik standar untuk menilai kemampuan ini, khususnya dalam konteks masalah keselamatan yang tidak terstruktur dan belum pernah terjadi sebelumnya.

2. Validasi Empiris Metrik Skenario Kecelakaan (Level 4)

Proposal metrik berbasis skenario yang diajukan oleh penulis menjanjikan, tetapi belum divalidasi secara ilmiah. Pertanyaan terbuka yang mendesak adalah: Bagaimana metrik skenario dapat dioperasionalkan, dikuantifikasi, dan divalidasi secara statistik? Studi eksperimental atau kuasi-eksperimental diperlukan untuk membuktikan hubungan kausal antara intervensi lulusan (misalnya, saran manajemen) dan berkurangnya kerentanan skenario dalam perusahaan mitra.

3. Efek Proliferasi Program dan Tradisi Riset

Fakta bahwa Portugal memiliki 29 kursus pascasarjana dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih sedikit, mengindikasikan adanya risiko bahwa beberapa program mungkin kurang memiliki tradisi riset.1 Riset lanjutan harus menyelidiki apakah terdapat korelasi negatif antara jumlah program di suatu wilayah dan kualitas output, terutama yang berkaitan dengan ketersediaan guru akademik berpengalaman yang mampu mengajarkan sains keselamatan yang mutakhir.

4. Keterbatasan Model Kirkpatrick

Model Kirkpatrick, meskipun berguna sebagai heuristik, seringkali hanya diterapkan pada Level 1 dan 2. Karena kesulitan mengakses Level 3 (Perilaku) dan Level 4 (Dampak), evaluasi pendidikan sebagian besar terbatas pada level internal.1 Pertanyaan krusial adalah bagaimana mengatasi "Organizational disinterest" dan kendala finansial yang menyebabkan penilaian eksternal jarang dilakukan, sehingga penilaian kualitas tetap relevan dan tidak hanya menjadi latihan internal.

IV. 5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Agenda riset ke depan harus difokuskan pada pengembangan metodologi yang mengatasi defisit Level 3 dan 4 Kirkpatrick, memastikan bahwa pendidikan keselamatan pascasarjana benar-benar menghasilkan transfer pengetahuan yang efektif ke dalam lingkungan kerja yang kompleks.

1. Pengembangan dan Validasi Instrumen Pengukuran Transfer Perilaku (Level 3)

  • Justifikasi Ilmiah: Transfer pendidikan adalah elaborasi yang sangat diinginkan dari konsep kualitas, namun evaluasi Level 3 jarang dilakukan.1 Evaluasi Level 3 memerlukan studi jangka waktu (misalnya, enam bulan setelah lulus) untuk mengukur aplikasi model, alat, dan pendekatan di tempat kerja.1
  • Fokus Riset dan Metode Baru: Riset harus merancang instrumen penilaian kinerja berbasis kompetensi yang divalidasi secara psikometri, seperti survei 360 derajat atau wawancara struktural dengan rekan kerja dan atasan. Instrumen ini harus secara eksplisit menargetkan peran lulusan sebagai penasihat langsung CEO dan kemampuan mereka untuk menyediakan functional leadership dalam manajemen risiko.1 Penggunaan desain studi

Interrupted-Time-Series Design (ITSD) dapat digunakan untuk melacak perubahan perilaku di tempat kerja secara objektif sebelum dan sesudah pendidikan.

2. Uji Klinis Metrik Skenario Kecelakaan Proaktif (Level 4)

  • Justifikasi Ilmiah: Indikator kecelakaan tradisional tidak reliable untuk membuktikan hubungan kausal dengan pendidikan.1 Paper menyarankan fokus pada intervensi lulusan pada

accident processes atau accident scenarios.1

  • Fokus Riset dan Metode Baru: Perlu dilakukan studi intervensi kolaboratif dengan perusahaan yang menargetkan sektor berisiko tinggi-teknologi tinggi. Intervensi melibatkan penempatan lulusan untuk menganalisis jalur kegagalan specific accident scenarios. Metrik hasil harus mengukur kualitas safety barriers dan frekuensi degradation barrier tersebut, bukan LTI. Riset ini harus mengarah pada pengembangan dan validasi Proactive Scenario Impact Factor (PSIF) melalui studi Mixed-Method yang memadukan audit kualitatif (evaluasi justifikasi intervensi) dengan data kuantitatif (perubahan status skenario).

3. Studi Komparatif Lintas Jalur Pendidikan Keselamatan

  • Justifikasi Ilmiah: Paper ini hanya fokus pada jalur akademik, tetapi mengakui adanya tiga jalur pendidikan keselamatan—akademik, profesional, dan inspeksi.1 Untuk meningkatkan kualitas, penting untuk memahami peran teknisi dan manajer keselamatan di semua jalur ini.1
  • Fokus Riset dan Metode Baru: Melakukan riset komparatif Level 3 dan 4 di antara lulusan dari jalur akademik, jalur profesional (misalnya, pelatihan di tempat/in-house), dan jalur inspeksi. Studi harus menggunakan metodologi penilaian dampak yang sama (misalnya, penilaian 360 derajat Level 3) untuk mengukur seberapa efektif masing-masing jalur dalam menumbuhkan critical reflection dan problem solving di konteks industri yang berbeda.

4. Pengukuran dan Integrasi Kompetensi Refleksi Kritis (Tingkat Kognitif 5/6)

  • Justifikasi Ilmiah: Lulusan harus dilatih dalam refleksi kritis untuk menyelesaikan masalah yang belum terjadi.1 Ini memerlukan pengujian yang melampaui Level 2 tradisional.
  • Fokus Riset dan Metode Baru: Penelitian pendidikan harus fokus pada pengembangan dan standarisasi metode pedagogi berbasis proyek (project based learning), seperti penggunaan simulasi kasus fatal yang kompleks di bawah tekanan waktu, yang melibatkan peran multi-disipliner (misalnya, dokter, inspektur, manajer).1 Metode penilaian harus menggunakan rubrik yang secara eksplisit menguji kualitas penalaran, kemampuan menimbang argumen yang divergen, dan justifikasi (Level

Evaluate dan Create Krathwohl).1

5. Pembentukan dan Benchmarking Kerangka Kualitas Pendidikan Keselamatan Global

  • Justifikasi Ilmiah: Ada kebutuhan kuat untuk international benchmarking dan harmonisasi program keselamatan.1 Beberapa program sudah memiliki sistem jaminan kualitas internal dan eksternal yang ketat, seperti Spanyol-Balearic Islands dan Finlandia.1
  • Fokus Riset dan Metode Baru: Proyek konsorsium riset harus membandingkan sistem jaminan kualitas internal (misalnya, akreditasi eksternal NVAO/CGE, audit profesional) dengan hasil Level 3 dan 4 yang diukur. Tujuannya adalah merumuskan standar kualitas internasional yang dapat mengarah pada penciptaan future European master's in safety education yang terharmonisasi, memastikan bahwa Input dan Process Donabedian berkorelasi kuat dengan Outcome Kirkpatrick Level 3/4.

V. Prospek Jangka Panjang dan Ajakan Kolaboratif

Penelitian kualitas pendidikan keselamatan harus menjadi prioritas, mengingat kompleksitas keselamatan telah bergeser dari fokus teknis sederhana menjadi pengakuan kegagalan organisasi yang kompleks.1 Pendidikan pascasarjana harus menghasilkan ahli yang bukan sekadar mengikuti aturan legislasi, tetapi mampu memberikan kepemimpinan fungsional dan menganalisis situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.1

Agenda riset yang berfokus pada Level 3 dan 4, terutama melalui metrik berbasis skenario, akan menjamin relevansi jangka panjang dari pendidikan keselamatan akademik. Jika metrik ini divalidasi, ia akan memberikan alat yang sangat dibutuhkan bagi program pascasarjana untuk membuktikan dampak mereka terhadap peningkatan keselamatan perusahaan secara terukur. Tujuan jangka panjangnya adalah mengatasi perbedaan dan proliferasi program yang ada untuk menciptakan future European master's in safety education yang terharmonisasi, memastikan standar tertinggi untuk profesional keselamatan di seluruh benua.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Safety Science Group, Delft University of Technology, the Netherlands, Universitat Politècnica de Catalunya, Barcelona Tech, Spain, dan PSL. Université MINES ParisTech, CRC, Sophia Antipolis, France untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta memperluas studi ke jalur profesional dan inspeksi yang saat ini diabaikan.

(https://doi.org/10.1016/j.ssci.2021.105338)

Selengkapnya
Mengukur Dampak Nyata: Peta Jalan Riset Penilaian Kualitas Pendidikan Keselamatan Pascasarjana di Eropa

Manajemen Risiko

Inovasi Berisiko: Meninjau Kinerja Api dan Kerangka Regulasi Metode Konstruksi Modern.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 September 2025


I. Ikhtisar Metode Konstruksi Modern dan Tantangan Kinerja Kebakaran: Sebuah Perjalanan Logis dari Temuan

Analisis riset ini menguraikan perjalanan logis dari argumen utama paper, dimulai dari janji efisiensi MMC hingga tantangan fundamental yang ditimbulkannya bagi keselamatan kebakaran dan kerangka regulasi. Modern Methods of Construction (MMC) didefinisikan secara luas sebagai produk bangunan dan komponen yang sebagian besar dibuat di luar lokasi (off-site), termasuk sistem panel, fasad, dan modul volumetrik.1 Keunggulannya diuraikan secara eksplisit: efisiensi yang didapat dari integrasi proses desain, manufaktur, dan konstruksi, yang menghasilkan penghematan waktu pengiriman, biaya yang lebih dapat diprediksi, dan dampak lingkungan yang lebih kecil.1 Paper ini secara kuantitatif menyoroti konsep
pre-manufactured value (PMV), yang dihitung sebagai nilai yang diciptakan dari pekerjaan yang diselesaikan di luar lokasi, menunjukkan hubungan kuat antara efisiensi dan nilai ekonomi.1
Meskipun demikian, paper ini secara cermat beralih dari manfaat ke tantangan inheren. Dikatakan bahwa MMC "memperkenalkan kompleksitas yang meningkat dan dapat menghadirkan tantangan bagi pendekatan regulasi bangunan tradisional" yang berfokus pada inspeksi di berbagai titik dalam proses konstruksi.1 Tantangan ini secara deskriptif dianalisis dalam tiga domain utama:
Pertama, tantangan yang terkait dengan ruang kosong (void spaces). Paper ini mengidentifikasi bahwa ruang kosong sering kali diperlukan untuk memfasilitasi koneksi antar modul. Ruang kosong ini dapat "berpotensi berfungsi sebagai jalan untuk penyebaran api, asap, dan gas panas".1 Contoh spesifik dari Kebakaran Hotel Moorfield di Inggris dan rumah modular di Massachusetts, AS, menunjukkan bagaimana api dapat menyebar secara tersembunyi di dalam rongga, yang sulit dikendalikan oleh pemadam kebakaran.1 Paper ini secara eksplisit menggarisbawahi bahwa masalah ini tidak baru, namun diperburuk oleh sifat konstruksi modular.1
Kedua, tantangan yang terkait dengan bahan mudah terbakar. Paper ini mengutip beberapa studi yang mengidentifikasi kekhawatiran terkait panel aluminium komposit (ACM), panel terintegrasi struktural (SIPs), dan sistem kayu massal.1 Contoh spesifik dan yang paling menonjol adalah
Kebakaran Menara Grenfell, di mana seorang saksi ahli, Luke Bisby, menyatakan bahwa penyebab utama penyebaran api yang cepat dan luas adalah "kehadiran kaset fasad ACM berisi polietilena".1 Temuan uji coba skala penuh di Worcester Polytechnic Institute (Meacham et al. 2017) menunjukkan bahwa dalam sebuah tes, api menembus dan membakar inti busa EPS pada panel SIPs, yang menyebabkan hilangnya aksi komposit dan berkurangnya kekakuan lentur struktural.1
Ketiga, tantangan yang terkait dengan sambungan (joints and connections). Paper ini mencatat bahwa kegagalan sambungan akibat api bukanlah masalah baru (mengutip contoh World Trade Center 5).1 Namun, masalah ini menjadi sangat relevan dalam konteks MMC, terutama dengan sistem kayu massal (cross-laminated timber - CLT). Ditemukan bahwa
pembakaran yang membara (smoldering) dapat terjadi di dalam kayu massal, di ruang kosong, atau di belakang penutup, yang dapat melemahkan sambungan dalam jangka panjang dan sulit dipadamkan karena suhu yang relatif rendah.1
Analisis ini menyimpulkan bahwa tantangan-tantangan teknis ini menciptakan masalah regulasi yang lebih besar. Karena banyak komponen MMC "tertutup dari pandangan" setelah fabrikasi di pabrik, inspeksi di lokasi yang menjadi tulang punggung regulasi tradisional menjadi tidak mungkin.1 Hal ini menempatkan penekanan yang jauh lebih besar pada perlunya sistem kontrol kualitas di pabrik.
 

II. Kontribusi Utama Paper terhadap Bidang Ilmu Pengetahuan

Kontribusi utama paper ini adalah pergeseran dari pembahasan teknis yang terisolasi menjadi analisis sistemik. Paper ini tidak hanya mengumpulkan fakta, tetapi juga mensintesis literatur yang ada untuk menyoroti "persimpangan" antara MMC, kinerja api, dan kontrol regulasi, yang belum dieksplorasi secara mendalam sebelumnya.1 Paper ini menerapkan pendekatan
sistem sosiologis-teknis (sociotechnical systems approach), yang menyarankan bahwa regulasi harus mempertimbangkan interaksi kompleks antara teknologi, aktor, dan institusi.1 Ini adalah wawasan tingkat kedua yang penting, yang mengubah masalah dari murni teknis menjadi multidimensi.
Paper ini juga secara unik membandingkan bagaimana tiga tipologi regulasi yang berbeda menangani tantangan MMC, yaitu preskriptif, fungsional dengan pengawasan ketat, dan fungsional dengan pengawasan minimal.1
●    Pendekatan Preskriptif (AS): Menggunakan model seperti International Code Council (ICC)/Modular Building Institute (MBI) 1200 yang secara eksplisit mengamanatkan sistem Jaminan Kualitas/Kontrol Kualitas (QA/QC) untuk fabrikasi di luar lokasi, melengkapi inspeksi di lokasi.1
●    Pendekatan Fungsional dengan Pengawasan Ketat (Singapura & Jepang): Memiliki kerangka akreditasi dan persetujuan yang ketat, seperti PPVC Acceptance Framework oleh Building and Construction Authority (BCA) di Singapura, yang memastikan kepatuhan melalui audit pihak ketiga dan persetujuan pemerintah yang berlapis.1
●    Pendekatan Fungsional dengan Pengawasan Rendah (Inggris & Jerman): Lebih bergantung pada tanggung jawab pemilik/pengembang dan keahlian insinyur kebakaran yang kompeten untuk memastikan kepatuhan, dengan panduan yang kurang spesifik untuk MMC.1
 

III. Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka untuk Komunitas Riset

Paper ini secara jujur mengidentifikasi keterbatasan penelitiannya sendiri, yang membuka jalan bagi pertanyaan-pertanyaan riset yang lebih dalam. Makalah ini mengakui bahwa tinjauan literatur yang dilakukan adalah "terfokus" dan survei yang dilakukan hanya "terbatas" pada anggota Komite Kolaborasi Regulasi Antar-yurisdiksi (IRCC).1 Ini menunjukkan bahwa ada celah yang dapat diisi oleh riset yang lebih luas dan komprehensif. Meskipun demikian, pertanyaan terbuka yang paling signifikan terletak pada inti argumen paper itu sendiri: konfluensi antara MMC, kinerja api, dan kontrol regulasi belum dieksplorasi secara mendalam.1 Paper ini telah berhasil mengidentifikasi bahwa masalah MMC bukanlah masalah yang terisolasi, melainkan hasil dari interaksi kompleks antara desain, material, dan regulasi yang tidak memadai. Analisis mendalam tentang bagaimana satu data memengaruhi yang lain—misalnya, bagaimana desain ruang kosong yang buruk (desain) berinteraksi dengan bahan yang mudah terbakar (material) dan kurangnya inspeksi di pabrik (regulasi) untuk menciptakan kegagalan yang tidak dapat diprediksi—masih kurang kuantifikasinya. Oleh karena itu, pertanyaan terbuka yang sebenarnya adalah: bagaimana kita bisa beralih dari pemahaman bahwa masalah ini ada menjadi pemahaman tentang mekanisme sebab-akibat yang tepat dan dapat dikuantifikasi di dalam sistem yang kompleks ini? Ini menuntut penelitian yang tidak hanya deskriptif tetapi juga eksperimental dan analitis.
 

V. Kesimpulan dan Ajakan untuk Kolaborasi

 

Paper ini memberikan landasan yang kuat untuk memahami bahwa tantangan yang ditimbulkan oleh Metode Konstruksi Modern (MMC) terhadap keselamatan kebakaran bukanlah semata-mata masalah teknis, melainkan masalah institusional dan regulasi yang membutuhkan pergeseran paradigma.1 Kekuatan paper ini terletak pada kemampuannya untuk mengidentifikasi "titik buta" dalam sistem yang ada, bukan hanya insiden tunggal.1 Paper ini secara efektif memparalelkan masalah teknis yang tidak terpisahkan dari masalah regulasi, yang menjadi fondasi untuk arah riset di masa depan.

Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari berbagai yurisdiksi yang disebutkan dalam paper. Kolaborasi antara Inter-jurisdictional Regulatory Collaboration Committee (IRCC), International Code Council (ICC)/Modular Building Institute (MBI) di Amerika Serikat, Building and Construction Authority (BCA) di Singapura, dan lembaga riset seperti Worcester Polytechnic Institute (WPI) dan Research Institutes of Sweden (RISE) akan memfasilitasi pertukaran data, praktik terbaik, dan pengembangan metodologi penelitian yang tangguh.

Referensi Utama

(https://doi.org/10.5334/bc.201)

Selengkapnya
Inovasi Berisiko: Meninjau Kinerja Api dan Kerangka Regulasi Metode Konstruksi Modern.

Manajemen Risiko

Tinjauan Kritis: Menerjemahkan Edukasi Near-Miss Menjadi Paradigma Budaya Keselamatan Proaktif di Industri Manufaktur

Dipublikasikan oleh Raihan pada 19 September 2025


Jalur Logis Penelitian dan Temuan Kunci

Penelitian ini berawal dari observasi bahwa meskipun laporan data near-miss populer sebagai pendekatan proaktif dalam mencegah kecelakaan, di PT Semen Bosowa Maros praktik ini masih belum dilaporkan secara memadai . Laporan triwulan perusahaan menunjukkan kecelakaan berulang, seperti tertimpa material yang jatuh, yang mengindikasikan bahwa insiden nyaris celaka yang mendahuluinya tidak teridentifikasi atau dilaporkan . Hambatan yang teridentifikasi meliputi minimnya dukungan manajemen, ketakutan karyawan untuk disalahkan, dan pemahaman yang keliru tentang near-miss. Menanggapi permasalahan ini, tujuan utama penelitian adalah menguji efektivitas edukasi near-miss dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap pekerja untuk mengidentifikasi dan melaporkan insiden tersebut .

Untuk mencapai tujuan ini, penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu (quasi-experimental design). Modul dan leaflet edukasi near-miss dirancang dan divalidasi oleh ahli. Partisipan dipilih menggunakan cluster sampling dan dibagi menjadi kelompok intervensi (n=25) dan kelompok kontrol (n=35) . Kelompok intervensi menerima ceramah tentang near-miss menggunakan modul, sedangkan kelompok kontrol hanya diberi leaflet untuk belajar mandiri . Pengukuran pengetahuan dan sikap dilakukan melalui kuesioner pada tahapan pre-test dan post-test.

Temuan penelitian menunjukkan bukti kuantitatif yang kuat akan efektivitas edukasi. Uji T Berpasangan (Paired T-test) menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, edukasi memiliki efek signifikan terhadap pengetahuan, dengan perbedaan rata-rata (Mean Difference atau MD) sebesar 7.68 dan nilai p sebesar 0.000, serta terhadap sikap dengan MD sebesar 7.64 dan nilai p sebesar 0.000 . Hasil ini menunjukkan hubungan kuat antara intervensi edukasi dan peningkatan kognitif serta afektif pada pekerja.

Menariknya, edukasi juga menunjukkan efek signifikan pada kelompok kontrol yang hanya menerima leaflet. Uji T Berpasangan pada kelompok ini menunjukkan peningkatan pengetahuan dengan MD sebesar 3.57 (p=0.000) dan sikap dengan MD sebesar 3.88 (p=0.01) . Meskipun terdapat peningkatan pada kedua kelompok, Uji Mann-Whitney membuktikan bahwa edukasi menggunakan modul jauh lebih unggul dalam mengubah pengetahuan (MD 4.10, p=0.040) dan sikap (MD 3.75, p=0.010) dibandingkan dengan penggunaan leaflet . Temuan ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran yang lebih interaktif dan terstruktur secara signifikan lebih efektif dibandingkan metode pasif. Selain itu, hasil uji GLM menunjukkan bahwa perubahan pengetahuan dan sikap dari waktu ke waktu adalah signifikan, dengan adanya kontribusi dari beberapa karakteristik partisipan, yang mengisyaratkan bahwa efektivitas intervensi tidak seragam di seluruh populasi pekerja .

Jalur Logis Penelitian dan Temuan Kunci

Penelitian ini berawal dari observasi bahwa meskipun laporan data near-miss populer sebagai pendekatan proaktif dalam mencegah kecelakaan, di PT Semen Bosowa Maros praktik ini masih belum dilaporkan secara memadai . Laporan triwulan perusahaan menunjukkan kecelakaan berulang, seperti tertimpa material yang jatuh, yang mengindikasikan bahwa insiden nyaris celaka yang mendahuluinya tidak teridentifikasi atau dilaporkan . Hambatan yang teridentifikasi meliputi minimnya dukungan manajemen, ketakutan karyawan untuk disalahkan, dan pemahaman yang keliru tentang near-miss. Menanggapi permasalahan ini, tujuan utama penelitian adalah menguji efektivitas edukasi near-miss dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap pekerja untuk mengidentifikasi dan melaporkan insiden tersebut .

Untuk mencapai tujuan ini, penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu (quasi-experimental design). Modul dan leaflet edukasi near-miss dirancang dan divalidasi oleh ahli. Partisipan dipilih menggunakan cluster sampling dan dibagi menjadi kelompok intervensi (n=25) dan kelompok kontrol (n=35) . Kelompok intervensi menerima ceramah tentang near-miss menggunakan modul, sedangkan kelompok kontrol hanya diberi leaflet untuk belajar mandiri . Pengukuran pengetahuan dan sikap dilakukan melalui kuesioner pada tahapan pre-test dan post-test.

Temuan penelitian menunjukkan bukti kuantitatif yang kuat akan efektivitas edukasi. Uji T Berpasangan (Paired T-test) menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, edukasi memiliki efek signifikan terhadap pengetahuan, dengan perbedaan rata-rata (Mean Difference atau MD) sebesar 7.68 dan nilai p sebesar 0.000, serta terhadap sikap dengan MD sebesar 7.64 dan nilai p sebesar 0.000 . Hasil ini menunjukkan hubungan kuat antara intervensi edukasi dan peningkatan kognitif serta afektif pada pekerja.

Menariknya, edukasi juga menunjukkan efek signifikan pada kelompok kontrol yang hanya menerima leaflet. Uji T Berpasangan pada kelompok ini menunjukkan peningkatan pengetahuan dengan MD sebesar 3.57 (p=0.000) dan sikap dengan MD sebesar 3.88 (p=0.01) . Meskipun terdapat peningkatan pada kedua kelompok, Uji Mann-Whitney membuktikan bahwa edukasi menggunakan modul jauh lebih unggul dalam mengubah pengetahuan (MD 4.10, p=0.040) dan sikap (MD 3.75, p=0.010) dibandingkan dengan penggunaan leaflet . Temuan ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran yang lebih interaktif dan terstruktur secara signifikan lebih efektif dibandingkan metode pasif. Selain itu, hasil uji GLM menunjukkan bahwa perubahan pengetahuan dan sikap dari waktu ke waktu adalah signifikan, dengan adanya kontribusi dari beberapa karakteristik partisipan, yang mengisyaratkan bahwa efektivitas intervensi tidak seragam di seluruh populasi pekerja .

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Penelitian ini memiliki keterbatasan yang signifikan dan meninggalkan beberapa pertanyaan terbuka untuk riset di masa depan. Meskipun penelitian ini berhasil mengukur perubahan pengetahuan dan sikap, penelitian ini tidak mengukur perubahan perilaku aktual, yaitu apakah karyawan benar-benar mulai melaporkan near-miss setelah edukasi. Kesenjangan antara sikap dan perilaku adalah tantangan klasik dalam riset K3. Selain itu, penelitian ini menggunakan desain pretest-posttest yang hanya mengukur efek jangka pendek. Tidak ada data tentang keberlanjutan atau "masa pakai" perubahan pengetahuan dan sikap dalam jangka panjang (misalnya, setelah 6 atau 12 bulan), sehingga validitas eksternal intervensi dalam jangka panjang tidak dapat dipastikan .

Keterbatasan data dari dokumen yang disediakan juga menjadi tantangan. Hasil uji GLM yang mengindikasikan kontribusi dari "beberapa karakteristik partisipan" tidak dijelaskan secara rinci . Tanpa informasi ini, tidak mungkin untuk mengetahui karakteristik demografi atau pengalaman kerja mana yang paling mempengaruhi respons terhadap intervensi. Hal ini membatasi kemampuan untuk mengembangkan program edukasi yang disesuaikan (tailored) di masa depan.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset lanjutan yang dapat membangun di atas fondasi yang telah diletakkan oleh tesis ini:

  1. Studi Longitudinal untuk Mengukur Keberlanjutan Efek Edukasi
    • Justifikasi Ilmiah: Pengetahuan dan sikap yang baru diperoleh dapat mengalami "peluruhan" seiring waktu jika tidak diperkuat. Penelitian ini hanya membuktikan efek jangka pendek. Untuk memastikan efektivitas intervensi dan memvalidasi model pembelajaran yang berkelanjutan, diperlukan pengukuran berulang. Validitas eksternal dari intervensi hanya dapat dibuktikan jika efeknya bertahan.
    • Jalur Penelitian ke Depan: Merancang studi kohort prospektif dengan pengukuran berkala pada 3, 6, dan 12 bulan pasca-intervensi. Variabel baru yang akan ditambahkan adalah Tingkat Retensi Pengetahuan dan Stabilitas Sikap terhadap waktu. Metode analisis yang disarankan adalah analisis regresi linear berganda untuk memodelkan faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan skor.
  2. Eksplorasi Kualitatif Terhadap Faktor Penghambat dan Pendukung Laporan
    • Justifikasi Ilmiah: Tesis ini menyebutkan "beberapa kendala" dalam pelaporan near-miss tanpa memberikan rincian. Meskipun edukasi terbukti efektif, pemahaman mendalam tentang akar penyebab hambatan (misalnya, budaya menyalahkan, persepsi tentang paperwork yang rumit, dan kurangnya umpan balik) dari perspektif pekerja dan manajemen sangat krusial. Ini adalah studi pelengkap yang akan memberikan wawasan kontekstual dan psikologis yang tidak bisa ditangkap oleh riset kuantitatif.
    • Jalur Penelitian ke Depan: Melakukan riset kualitatif dengan wawancara mendalam (in-depth interview) dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) kepada sampel pekerja dan perwakilan manajemen. Fokusnya adalah mengidentifikasi narasi, motivasi, dan hambatan non-kuantitatif yang mempengaruhi perilaku pelaporan.
  3. Analisis Multivariat Terperinci atas Kontribusi Karakteristik Demografi
    • Justifikasi Ilmiah: Uji GLM mengindikasikan bahwa karakteristik partisipan berkontribusi signifikan terhadap hasil. Tanpa rincian lebih lanjut, wawasan ini tidak dapat dimanfaatkan . Untuk mengoptimalkan desain intervensi di masa depan, penting untuk mengetahui profil pekerja yang paling responsif dan yang paling resisten terhadap perubahan. Misalnya, apakah pengalaman kerja yang panjang justru menjadi hambatan (overconfidence)?
    • Jalur Penelitian ke Depan: Menggunakan data yang ada atau mengumpulkan data baru untuk melakukan analisis multivariat yang lebih canggih, seperti Structural Equation Modeling (SEM). Model ini akan memetakan hubungan kausal yang kompleks antara variabel demografi (usia, masa kerja, riwayat kecelakaan) sebagai variabel moderator, intervensi edukasi sebagai variabel independen, dan skor pengetahuan/sikap sebagai variabel dependen.
  4. Komparasi Beragam Metode Edukasi dengan Pengukuran Perilaku Nyata
    • Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini membandingkan dua media (modul vs. leaflet) dan menemukan modul lebih unggul. Namun, banyak metode edukasi lain (misalnya, simulasi, gamifikasi, VR) yang dapat diuji. Lebih penting lagi, validasi dampak intervensi harus melibatkan pengukuran perilaku, bukan hanya proksi kognitif .
    • Jalur Penelitian ke Depan: Merancang riset eksperimental dengan beberapa kelompok intervensi yang berbeda (misalnya, kelompok modul, kelompok simulasi, kelompok video interaktif). Variabel dependen baru yang paling penting adalah Tingkat Laporan Near-Miss Aktual (jumlah laporan per pekerja per bulan), yang harus diukur setelah perusahaan menyediakan sistem pelaporan yang direkomendasikan.
  5. Validasi Kontekstual pada Beragam Konteks Industri
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan dari satu perusahaan di industri semen tidak dapat digeneralisasi ke industri lain tanpa validasi. Budaya, risiko, dan struktur organisasi sangat bervariasi antar sektor (misalnya, pertambangan, konstruksi, manufaktur). Replikasi studi ini di konteks lain sangat penting untuk membangun validitas eksternal dan membuktikan bahwa temuan ini bersifat universal.
    • Jalur Penelitian ke Depan: Melakukan studi komparatif antar-industri dengan protokol edukasi yang distandarisasi dan mengukur variabel yang sama. Di tahap akhir, analisis meta-analisis dapat digunakan untuk mensintesis temuan dari berbagai studi replikasi, mengidentifikasi faktor-faktor yang konsisten mempengaruhi efektivitas intervensi di berbagai konteks.

Ajakan Kolaboratif

Penelitian ini telah meletakkan fondasi empiris yang kuat untuk strategi edukasi near-miss yang proaktif. Namun, untuk menerjemahkan temuan ini menjadi perubahan budaya keselamatan yang signifikan dan berkelanjutan, diperlukan kolaborasi yang lebih luas dan riset lanjutan yang terstruktur. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Universitas Hasanuddin (sebagai institusi induk), lembaga penelitian Keselamatan dan Kesehatan Kerja nasional atau internasional (untuk pengembangan metodologi), dan perusahaan-perusahaan di industri sejenis (untuk validasi kontekstual) guna memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Sumber dari penelitian: Masa'nang, H. (2023). EFEKTIVITAS EDUKASI NEARMISS TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP KARYAWAN PT SEMEN BOSOWA MAROS TAHUN 2022 (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).

Selengkapnya
Tinjauan Kritis: Menerjemahkan Edukasi Near-Miss Menjadi Paradigma Budaya Keselamatan Proaktif di Industri Manufaktur
page 1 of 9 Next Last »