Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 12 September 2025
Pendahuluan
Menjadi perguruan tinggi kelas dunia (World Class University) adalah visi ambisius yang membutuhkan lebih dari sekadar keunggulan akademik. Hal ini menuntut adanya sistem manajemen yang kuat untuk mengendalikan ketidakpastian dan melindungi institusi dari berbagai ancaman yang kompleks. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), telah mengambil langkah proaktif dengan menyusun pedoman pengelolaan risiko yang terperinci dan terintegrasi dengan visi strategisnya. Pedoman ini, yang berlandaskan pada standar internasional ISO 31000, menjadi alat penting untuk mencapai tata kelola yang baik, keberlanjutan finansial, dan keunggulan kompetitif.
Kerangka dan Prinsip Berbasis ISO 31000
Penerapan pengelolaan risiko di ITS tidak bersifat parsial, melainkan merupakan bagian integral dari semua proses manajemen. Pedoman ini mengadopsi prinsip-prinsip ISO 31000 secara utuh, yang meliputi:
Menciptakan dan Melindungi Nilai: Pengelolaan risiko harus menambah dan menjaga nilai institusi.
Terintegrasi: Proses pengelolaan risiko menyatu dengan proses bisnis utama ITS, mulai dari perencanaan hingga evaluasi.
Dinamis dan Responsif: Pengelolaan risiko harus terus-menerus mengikuti dan menanggapi perubahan internal maupun eksternal.
Transparan dan Inklusif: Seluruh pemangku kepentingan (civitas akademika, manajemen, hingga MWA) dilibatkan dan memiliki pemahaman yang sama tentang risiko.
ITS juga memiliki struktur yang jelas untuk pelaksanaannya. Rektor memegang tanggung jawab utama, sementara unit kerja, seperti Unit Layanan Hukum dan Pengelolaan Risiko, bertugas mengelola dan memfasilitasi proses di semua tingkatan.
Kategorisasi Risiko yang Komprehensif
Untuk memastikan pendekatan yang holistik, ITS mengategorikan risikonya ke dalam empat jenis utama :
Risiko Strategi dan Perencanaan: Risiko yang timbul dari kegagalan dalam menyusun atau mengimplementasikan strategi yang selaras dengan visi dan misi institusi.
Risiko Keuangan: Risiko yang berkaitan dengan penyimpangan hasil transaksi, pengelolaan keuangan, dan potensi kerugian finansial.
Risiko Operasional/Infrastruktur: Risiko yang diakibatkan oleh kegagalan sistem internal, kesalahan manusia, atau faktor eksternal seperti bencana alam.
Risiko Bahaya: Risiko yang berpotensi menyebabkan kerugian besar, termasuk masalah hukum, bahaya fisik, dan penurunan moral.
Dengan kerangka ini, setiap unit kerja dapat secara sistematis mengidentifikasi dan menilai risiko berdasarkan tingkat kemungkinan dan dampak yang disajikan dalam matriks analisis risiko.
Rekomendasi Kebijakan Publik
Pedoman Pengelolaan Risiko ITS menawarkan model yang efektif yang dapat diadopsi oleh lembaga lain. Berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan:
Mandat Manajemen Risiko di Perguruan Tinggi: Pemerintah dapat mewajibkan seluruh perguruan tinggi, terutama PTNBH, untuk menyusun dan mengimplementasikan pedoman manajemen risiko yang serupa dengan ITS. Hal ini akan memastikan tata kelola yang kuat dan akuntabel di sektor pendidikan tinggi secara nasional.
Integrasi Manajemen Risiko dengan Proses Bisnis: Institusi harus didorong untuk mengintegrasikan manajemen risiko ke dalam setiap proses bisnis, mulai dari operasional harian hingga pengambilan keputusan strategis. Dengan demikian, pengelolaan risiko tidak lagi menjadi formalitas, tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kerja.
Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Manusia: Penempatan personel yang kompeten di setiap unit kerja sangat krusial. Institusi harus berinvestasi dalam pelatihan dan sertifikasi profesional di bidang manajemen risiko untuk memastikan seluruh civitas akademika memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mengelola risiko secara efektif.
Kesimpulan
Dokumen Pedoman Pengelolaan Risiko ITS adalah bukti nyata komitmen sebuah institusi pendidikan untuk beradaptasi dengan kompleksitas dunia modern. Melalui adopsi kerangka ISO 31000 yang terstruktur, ITS tidak hanya melindungi diri dari risiko, tetapi juga menciptakan peluang untuk mencapai visinya sebagai perguruan tinggi berkelas dunia. Model ini menjadi cetak biru yang berharga bagi institusi lain yang ingin membangun ketahanan, integritas, dan keunggulan kompetitif.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 12 September 2025
Pendahuluan
Manajemen risiko sering kali hanya dipandang sebagai formalitas yang harus dipenuhi untuk kepatuhan regulasi atau untuk memenangkan penghargaan. Namun, serangkaian studi kasus dari berbagai sektor di Indonesia menunjukkan bahwa penerapan manajemen risiko yang tidak efektif dapat berujung pada bencana korporasi dan kegagalan strategis. Buku ini mengumpulkan pengalaman nyata dari kasus-kasus seperti Pertamina, Jiwasraya, dan BUMN hingga pemerintah daerah untuk memberikan pembelajaran kolektif yang krusial. Analisis ini menegaskan bahwa manajemen risiko harus menjadi bagian integral dari tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance) dan kebijakan publik untuk menciptakan serta melindungi nilai perusahaan, bukan sekadar rutin tanpa makna.
Manajemen Risiko sebagai Fondasi Tata Kelola dan Kepatuhan
Beberapa kasus yang diulas dalam buku ini, seperti kasus gagal bayar nasabah PT Asuransi Jiwasraya dan kegagalan investasi mantan Direktur Utama Pertamina, menyoroti kegagalan dalam tata kelola perusahaan yang pada akhirnya memicu risiko finansial dan hukum. Kasus-kasus ini mengajarkan bahwa masalah tata kelola dapat terjadi ketika organ perusahaan (direksi dan dewan komisaris) tidak solid atau ketika keputusan strategis dibuat tanpa persetujuan yang patut, yang berujung pada kerugian besar.
Lebih lanjut, kasus korupsi PT Duta Graha Indah (DGI) menunjukkan dimensi baru risiko hukum bagi korporasi. Dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016, korporasi kini dapat dihukum pidana jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, bahkan jika personel yang terlibat tidak memperkaya diri sendiri. Oleh karena itu, diperlukan sistem manajemen yang terintegrasi, yang menggabungkan Tata Kelola (Governance), Manajemen Risiko (Risk), dan Kepatuhan (Compliance), atau yang dikenal sebagai GRC, untuk mencegah dampak yang lebih besar.
Pelajaran dari Sektor Publik dan Kesenjangan Kompetensi
Penerapan manajemen risiko juga relevan di sektor publik. Studi kasus tentang prakarsa manajemen risiko fiskal di Kabupaten Bogor dan Merauke menunjukkan upaya pemerintah daerah dalam memantau risiko fiskal. Namun, studi ini menemukan bahwa pendekatannya belum mengikuti panduan penuh SNI ISO 31000 karena hanya berfokus pada indikator kinerja, bukan pada identifikasi risiko berdasarkan kemungkinan dan tingkat keparahannya. Pelajaran pentingnya adalah niat kuat dari pimpinan puncak sangat menentukan keberhasilan implementasi manajemen risiko, baik di sektor swasta maupun publik.
Selain itu, studi tentang sertifikasi manajemen risiko di Indonesia menunjukkan adanya dua pendekatan yang berbeda: Top-Down (didominasi sektor keuangan yang diatur regulasi) dan Bottom-Up (didominasi lembaga pemerintah dan BUMN yang ingin membangun budaya sadar risiko). Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun sertifikasi mulai meluas, tantangan terbesar tetap pada penanaman kesadaran dan kompetensi di semua tingkatan organisasi.
Rekomendasi Kebijakan Publik untuk Memperkuat Manajemen Risiko
Berdasarkan temuan penelitian ini, berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diadopsi oleh pemerintah untuk memperkuat manajemen risiko:
Mengintegrasikan GRC dalam Regulasi Korporasi: Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan perusahaan publik, BUMN, dan lembaga pemerintah untuk mengadopsi kerangka GRC yang terintegrasi. Hal ini dapat merujuk pada standar internasional seperti SNI ISO 37001 (Sistem Manajemen Anti Penyuapan), SNI ISO 31000 (Manajemen Risiko), dan SNI ISO 19600 (Sistem Manajemen Kepatuhan) untuk memastikan tata kelola yang kuat dan mencegah risiko korporasi.
Mendorong Sertifikasi Manajemen Risiko di Semua Tingkatan: Mendorong sertifikasi tidak hanya di tingkat manajemen puncak untuk memenuhi kepatuhan, tetapi juga di tingkat manajer dan pelaksana untuk menumbuhkan budaya sadar risiko. Kebijakan ini harus didukung oleh program pengembangan profesional yang terjangkau dan relevan dengan tanggung jawab masing-masing jabatan.
Mengimplementasikan SNI ISO 31000 secara Utuh di Sektor Publik: Menyempurnakan kebijakan manajemen risiko di sektor publik dengan mengimplementasikan SNI ISO 31000 secara utuh, mulai dari identifikasi risiko hingga perlakuan risiko. Keberhasilan inisiatif ini sangat bergantung pada komitmen kuat dan kepemimpinan yang persisten dari pimpinan puncak, yang harus menjadi fokus utama.
Kesimpulan
Buku studi kasus ini membuktikan bahwa manajemen risiko bukanlah teori semata, melainkan alat strategis yang esensial untuk kelangsungan hidup organisasi. Kegagalan dalam mengelola risiko, yang sering kali berawal dari masalah tata kelola dan kesenjangan kompetensi, dapat berujung pada konsekuensi finansial dan hukum yang fatal. Dengan mengadopsi kebijakan yang terintegrasi, pemerintah dapat mendorong praktik manajemen risiko yang lebih matang, membangun ketahanan korporasi, dan melindungi nilai nasional secara keseluruhan.
Sumber
Antonius Alijoyo, et al. Kumpulan Studi Kasus Manajemen Risiko di Indonesia, Seri Pertama. PT. CIPTA RAYA MEKAR SAHITYA, 2020.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Juli 2025
Mengapa Multi-Hazard dan Multi-Risk Semakin Penting di Era Modern?
Di tengah perubahan iklim, urbanisasi masif, dan globalisasi ekonomi, risiko bencana tidak lagi bisa dipandang sebagai ancaman tunggal yang berdiri sendiri. Fenomena seperti banjir yang memicu longsor, gempa yang diikuti tsunami, atau kebakaran hutan yang memperparah polusi udara adalah contoh nyata bagaimana satu bencana dapat memicu, memperkuat, bahkan berinteraksi dengan bencana lain. Inilah yang mendorong lahirnya paradigma multi-hazard dan multi-risk dalam manajemen risiko bencana.
Handbook “Multi-hazard, Multi-Risk Definitions and Concepts” dari proyek MYRIAD-EU (Gill et al., 2022) menjadi salah satu referensi paling komprehensif dalam membangun fondasi pemahaman, terminologi, dan indikator untuk pendekatan multi-hazard dan multi-risk. Artikel ini mengupas secara kritis isi, studi kasus, angka-angka kunci, serta relevansi dan tantangan implementasinya di ranah global dan Indonesia.
Evolusi Konsep: Dari Single Hazard Menuju Multi-Risk
Keterbatasan Pendekatan Tradisional
Paradigma Baru: Multi-Hazard dan Multi-Risk
Kerangka Dasar: Definisi dan Tipe Interaksi Multi-Hazard
Definisi Kunci
Tipe Interaksi Multi-Hazard
Studi Kasus: Kompleksitas Multi-Hazard di Dunia Nyata
1. Gempa dan Tsunami di Aceh 2004
2. Banjir dan Longsor di Eropa
3. Infrastruktur dan Multi-Risk di Australia
Angka-Angka Kunci: Skala dan Kompleksitas Risiko
Indikator Multi-Hazard dan Multi-Risk: Menuju Pengukuran yang Adaptif
Fungsi dan Manfaat Indikator
Contoh Indikator
Draft Indikator Multi-Risk MYRIAD-EU
Analisis Kritis: Keunggulan, Tantangan, dan Perbandingan
Keunggulan Handbook MYRIAD-EU
Tantangan Implementasi
Perbandingan dengan Studi Lain
Implikasi Praktis dan Relevansi untuk Indonesia
Tantangan di Indonesia
Rekomendasi Strategis
Tren Global: Digitalisasi, Kolaborasi, dan Adaptasi
Opini dan Kritik: Menjawab Tantangan Masa Depan
Handbook MYRIAD-EU berhasil menempatkan multi-hazard dan multi-risk sebagai fondasi baru mitigasi bencana. Namun, tantangan terbesar adalah implementasi di lapangan, terutama di negara berkembang yang masih terkendala data, kapasitas SDM, dan koordinasi lintas sektor. Di Indonesia, adopsi metodologi ini harus disesuaikan dengan karakteristik lokal, ketersediaan data, dan kesiapan institusi.
Kritik utama terhadap pendekatan multi-hazard adalah potensi “over-kompleksitas” yang bisa menghambat adopsi di level daerah. Untuk itu, diperlukan pelatihan, simplifikasi model untuk daerah dengan sumber daya terbatas, dan pengembangan perangkat lunak open source yang ramah pengguna. Selain itu, penguatan peran masyarakat dan pelibatan sektor swasta sangat penting untuk mempercepat transformasi menuju manajemen risiko yang lebih adaptif.
Kesimpulan: Multi-Hazard dan Multi-Risk, Pilar Ketangguhan Masa Depan
Paradigma multi-hazard dan multi-risk bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan strategis di era bencana kompleks dan perubahan iklim. Handbook MYRIAD-EU menawarkan fondasi terminologi, indikator, dan kerangka kerja yang dapat diadaptasi lintas negara dan sektor. Indonesia dan negara berkembang lain dapat mengambil pelajaran penting: investasi pada data, teknologi, dan kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih tangguh menghadapi bencana.
Sumber
Gill, J.C., Duncan, M., Ciurean, R., Smale, L., Stuparu, D., Schlumberger, J., de Ruiter, M., Tiggeloven, T., Torresan, S., Gottardo, S., Mysiak, J., Harris, R., Petrescu, E. C., Girard, T., Khazai, B., Claassen, J., Dai, R., Champion, A., Daloz, A. S., … Ward, P. 2022. MYRIAD-EU D1.2 Handbook of Multi-hazard, Multi-Risk Definitions and Concepts. H2020 MYRIAD-EU Project, grant agreement number 101003276, pp 75.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Mengapa Proyek PPP Sering Gagal di Negara Berkembang?
Dalam 10 tahun terakhir, public–private partnership (PPP) menjadi andalan pembiayaan infrastruktur di negara berkembang. Namun, kenyataannya banyak proyek PPP menghadapi risiko tinggi, mulai dari pembengkakan biaya, konflik kontrak, hingga gagal bayar.
Menurut studi terbaru yang dilakukan oleh Khwaja Mateen Mazher dan tim peneliti multinasional, “Identifying Measures of Effective Risk Management for Public–Private Partnership Infrastructure Projects in Developing Countries” (2022), manajemen risiko yang tidak efektif menjadi salah satu penyebab utama kegagalan proyek PPP. Mereka melakukan analisis mendalam berbasis literatur, wawancara ahli, serta survei pada 90 profesional proyek di Pakistan untuk menyusun langkah konkret dalam mencapai Effective Risk Management (ERM).
Artikel ini membahas temuan kunci dari studi tersebut dan mengaitkannya dengan dinamika proyek infrastruktur terkini, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.
Apa Itu ERM dalam Konteks PPP?
Effective Risk Management (ERM) tidak sekadar mengidentifikasi risiko, tetapi memastikan bahwa setiap langkah manajemen risiko—dari perencanaan, identifikasi, mitigasi, hingga kontrol—terintegrasi secara sistematis dan berdampak positif terhadap keberhasilan proyek.
Dalam proyek PPP yang melibatkan kontrak jangka panjang, modal besar, dan banyak pemangku kepentingan, ERM menjadi tulang punggung untuk mencegah eskalasi risiko yang dapat merusak tujuan proyek secara ekonomi, sosial, bahkan politis.
Metode Penelitian: Gabungan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif
Studi ini menggunakan pendekatan kombinasi:
Survei menggunakan skala Likert 7 poin untuk mengukur tingkat pentingnya 30 indikator ERM, yang kemudian dianalisis menggunakan metode mean score ranking, chi-square, dan factor analysis.
Temuan Utama: Apa Saja Ukuran ERM yang Paling Penting?
6 Ukuran ERM Teratas Berdasarkan Survei
Semua ukuran di atas memiliki skor rata-rata lebih dari 6 (dari 7), menandakan bahwa para praktisi proyek menganggapnya sangat penting dalam menjamin keberhasilan manajemen risiko.
Yang Paling Rendah?
Uniknya, ukuran seperti “kontrak yang fleksibel dan mendukung kolaborasi” justru mendapat skor terendah (rata-rata 4.87). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam konteks negara berkembang seperti Pakistan (dan banyak negara lain), fleksibilitas kontrak justru dipandang sebagai potensi ketidakpastian baru, bukan sebagai peluang adaptasi.
6 Dimensi Kritis Manajemen Risiko PPP
Penelitian ini menyusun 30 indikator ERM menjadi 6 kelompok dimensi utama:
1. Knowledge-Driven Risk Management
Fokus pada keberlanjutan pengetahuan proyek: retensi tim negosiator, pembelajaran dari pengalaman sebelumnya, dan penggunaan konsultan ahli.
2. Comprehensive Requirements and Risk Evaluation
Menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh atas kebutuhan stakeholder, model keuangan, dan kematangan manajemen risiko.
3. Public Sector Risk Management
Peran penting pemerintah dalam pricing risiko, evaluasi tender, dan pengalaman administratif dalam mengelola kontrak PPP.
4. Risk Assessment Quality
Berkaitan dengan ketersediaan data historis, pelatihan personel, dan penggunaan metode analisis risiko yang tepat.
5. Post-Contract Risk Management
Melibatkan penyelesaian sengketa, pengelolaan kontrak jangka panjang, dan kepercayaan antarpihak.
6. Structured Management Approach
Menunjukkan bahwa ERM hanya efektif jika didukung oleh struktur manajemen proyek yang matang dan terdokumentasi dengan baik.
Studi Kasus: Pelajaran dari Pakistan, Relevansi untuk Indonesia
Dalam survei, mayoritas responden (61%) berasal dari sektor swasta, dan hampir 50% memiliki pengalaman lebih dari 5 tahun dalam proyek PPP. Sebanyak 36% telah menangani lebih dari 10 proyek. Ini memberikan bobot kredibel terhadap hasil penelitian.
Pakistan, mirip dengan Indonesia, menghadapi tantangan besar seperti:
Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga, terutama untuk proyek strategis nasional seperti Jalan Tol Trans Jawa, Kereta Cepat Jakarta–Bandung, hingga Ibu Kota Negara (IKN).
Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Banyak studi terdahulu membahas elemen-elemen risiko dalam proyek PPP, seperti:
Namun, hanya sedikit studi yang secara sistematis menyatukan seluruh ukuran ERM dan mengelompokkannya menjadi dimensi yang dapat diimplementasikan secara nyata. Mazher dkk. menutup celah ini dengan pendekatan empiris dan validasi statistik.
Rekomendasi Praktis untuk Negara Berkembang
Kesimpulan: Mengelola Risiko Bukan Sekadar Formalitas, Tapi Strategi Bertahan
Paper ini menunjukkan bahwa manajemen risiko dalam proyek PPP adalah seni dan ilmu sekaligus. Tidak cukup hanya mengikuti panduan atau SOP. Dibutuhkan struktur manajemen, pemahaman mendalam, sistem berbasis data, dan kolaborasi lintas sektor.
Bagi negara berkembang, menerapkan ERM secara efektif bisa menjadi penentu apakah infrastruktur menjadi alat pembangunan atau sumber konflik dan kerugian.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini dapat menjadi standar emas baru dalam pembangunan infrastruktur—terutama ketika APBN terbatas dan peran swasta semakin krusial.
Sumber Asli Artikel:
Mazher, K.M.; Chan, A.P.C.; Choudhry, R.M.; Zahoor, H.; Edwards, D.J.; Ghaithan, A.M.; Mohammed, A.; Aziz, M.
Identifying Measures of Effective Risk Management for Public–Private Partnership Infrastructure Projects in Developing Countries. Sustainability 2022, 14, 14149.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Proyek infrastruktur publik seperti jalur MRT, bendungan, atau pelabuhan udara adalah fondasi pembangunan nasional. Namun, proyek-proyek ini rentan terhadap risiko bencana, kecelakaan kerja, pembengkakan biaya, keterlambatan waktu, hingga kegagalan teknis. Sayangnya, pendekatan manajemen risiko tradisional hanya fokus pada fase konstruksi, sehingga banyak risiko dari tahap perencanaan dan desain yang terbawa tanpa pengendalian hingga eksekusi.
Paper berjudul “Developing a Risk Management Process for Infrastructure Projects Using IDEF0” (Tserng et al., 2021) menawarkan solusi sistematis untuk masalah ini dengan pendekatan terpadu berbasis model IDEF0. Artikel ini meresensi pendekatan tersebut dan menyoroti aplikasinya dalam proyek MRT Taiwan, lengkap dengan data risiko dan solusi berbasis sistem digital.
Apa Itu IDEF0 dan Kenapa Penting untuk Proyek Infrastruktur?
IDEF0 (Integration Definition for Function Modeling) adalah metode pemodelan proses bisnis yang dikembangkan oleh militer AS untuk memetakan aktivitas kompleks secara sistematis dan visual. Dalam konteks manajemen risiko proyek, IDEF0 memudahkan pengelolaan antar-tahap (planning, design, construction) dengan mendefinisikan:
Dengan pendekatan ini, setiap risiko dapat ditelusuri asal-usulnya dan dikelola secara lintas-fase. Sistem ini juga membantu menghindari information asymmetry antar tim perencana, desainer, dan kontraktor.
Masalah Utama dalam Manajemen Risiko Proyek Infrastruktur
Penulis paper mengidentifikasi beberapa masalah sistemik yang sering terjadi:
Tujuan Penelitian dan Kontribusi Penting
Tujuan utama dari penelitian ini adalah:
Studi Kasus: Proyek MRT Bandara Internasional Taoyuan, Taiwan
Latar Belakang Proyek
Proyek ini menghubungkan Kota Taipei dengan Bandara Internasional Taoyuan melalui sistem MRT sepanjang 51,03 km. Total terdapat 22 stasiun: 15 elevated (layang) dan 7 underground (bawah tanah), dengan 2 depo pemeliharaan. Proyek berlangsung selama 7 tahun, melibatkan berbagai metode konstruksi termasuk cut-and-cover dan shield tunnel (TBM).
Tahapan Manajemen Risiko yang Dilakukan
Analisis Risiko: Angka dan Evaluasi Dampak
Setiap risiko diklasifikasi berdasarkan dua parameter:
Dari hasil studi, contoh risiko dengan tingkat tertinggi (R1 – tidak dapat diterima) meliputi:
Setelah mitigasi, risiko-risiko tersebut berhasil diturunkan drastis menjadi tingkat R4 (diabaikan), seperti:
Ini membuktikan bahwa sistem mitigasi berbasis IDEF0 efektif dalam mengurangi risiko tinggi sebelum fase konstruksi.
Implementasi Sistem Digital dan Database Risiko
Tim peneliti merancang sistem database berbasis Entity Relationship Model (E-R) yang mencakup:
Setiap pengguna sistem—mulai dari administrator, departemen perencanaan, desainer, hingga kontraktor—mempunyai hak akses berbeda. Ini memastikan bahwa informasi yang relevan dikelola secara aman dan efisien.
Manfaat Langsung dari Pendekatan Ini
Kritik dan Opini Tambahan
Pendekatan ini memiliki keunggulan besar karena:
Namun demikian, terdapat tantangan implementasi:
Rekomendasi untuk Industri Konstruksi di Indonesia
Kesimpulan: Transformasi Digital Manajemen Risiko Dimulai dari Sekarang
Studi ini menjadi tonggak penting dalam evolusi manajemen proyek infrastruktur. Dengan menggabungkan prinsip sistem, visualisasi proses, evaluasi ahli, dan teknologi database, pendekatan IDEF0 menjawab kebutuhan akan sistem risiko yang adaptif, komprehensif, dan terintegrasi.
Dalam era pembangunan berkelanjutan dan smart infrastructure, pendekatan ini tidak hanya mengurangi kerugian, tapi juga meningkatkan reputasi institusi, transparansi publik, dan keberlanjutan hasil proyek. Saatnya Indonesia belajar dari Taiwan—bahwa risiko bukan hanya untuk dikendalikan, tapi untuk dikelola secara cerdas dan strategis.
Sumber Artikel Asli :
Tserng, H.-P.; Cho, I.-C.; Chen, C.-H.; Liu, Y.-F. Developing a Risk Management Process for Infrastructure Projects Using IDEF0. Sustainability 2021, 13, 6958.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Proyek infrastruktur berskala besar—seperti jalan tol, jalur kereta api cepat, bendungan, atau pelabuhan—selalu mengandung tingkat ketidakpastian yang tinggi. Risiko-risiko tersebut tidak hanya berkaitan dengan cuaca, lingkungan, dan desain teknis, tetapi juga menyangkut birokrasi, pembiayaan, dan tekanan publik.
Berdasarkan penelitian Hartmann dan Ashrafi (2004), sekitar 50% proyek konstruksi besar di dunia mengalami pembengkakan biaya antara 40% hingga 200%. Flyvbjerg dan rekan-rekannya bahkan menyebutkan overbudget bisa mencapai 196%, dan dalam kasus ekstrem proyek rel kereta dapat membengkak hingga 350% seperti yang ditemukan oleh Schach et al. (2006).
Kondisi ini menandakan bahwa pendekatan manajemen risiko konvensional sudah tidak cukup. Dibutuhkan strategi komprehensif yang menyeluruh—yang dikenal sebagai Integrated Risk Management (IRM).
Apa Itu Integrated Risk Management (IRM)?
Integrated Risk Management (IRM) adalah kerangka kerja manajemen risiko yang dirancang untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengurangi, dan mengendalikan risiko sepanjang siklus hidup proyek, dari tahap desain hingga operasional. Pendekatan ini menuntut kolaborasi aktif antara klien, kontraktor, konsultan, dan pemangku kepentingan lainnya.
Berbeda dengan pendekatan tradisional yang hanya fokus pada fase konstruksi, IRM memfokuskan manajemen risiko sebagai proses strategis yang berkelanjutan sejak fase awal. Dalam kerangka IRM, setiap risiko harus ditangani secara terbuka, transparan, dan proporsional sesuai kemampuan masing-masing pihak.
Mengapa Proyek Infrastruktur Sangat Rentan Risiko?
Ada banyak alasan mengapa proyek infrastruktur jauh lebih kompleks dibanding proyek konstruksi biasa:
Semua kondisi di atas memperbesar kemungkinan terjadinya gangguan dan kegagalan yang berdampak pada biaya, waktu, dan kualitas.
Fakta Menarik: Realitas di Lapangan
Studi lapangan dari Jerman dan Eropa (Spang et al., 2009) menemukan bahwa:
Ini membuktikan bahwa manajemen risiko belum menjadi budaya yang tertanam kuat, terutama di fase paling krusial: desain.
Mengapa Fase Desain Sangat Penting?
Fase desain adalah titik awal di mana hampir semua risiko strategis dapat dipetakan dan dicegah. Sayangnya, justru di fase ini manajemen risiko sering diabaikan. Banyak klien belum memiliki pemahaman sistematis mengenai risiko desain, dan kontraktor biasanya baru terlibat saat proyek masuk ke tahap pelaksanaan.
Padahal, menurut penelitian Hertogh et al. (2008), sebagian besar pembengkakan biaya dimulai sejak fase desain. Ketika risiko tidak ditangani sejak awal, dampaknya akan sangat sulit diatasi di tahap berikutnya. IRM menjawab persoalan ini dengan menekankan pentingnya pendekatan siklus hidup—artinya manajemen risiko harus aktif dari awal hingga proyek selesai.
Komponen Utama Integrated Risk Management
Pendekatan IRM terdiri dari sembilan komponen kunci, yang semuanya saling terhubung untuk membentuk sistem manajemen risiko yang kohesif:
Contoh Nyata Penerapan IRM
Bayangkan proyek pembangunan jembatan layang di kota besar. Jika tidak dilakukan manajemen risiko sejak awal, dampak bisa sangat fatal.
Misalnya:
Dengan IRM, sejak awal semua risiko tersebut akan terdaftar. Klien sebagai pemilik proyek akan meminta konsultan melakukan survei lingkungan, dan kontraktor diminta mengusulkan solusi teknis. Jika risiko terlalu besar, proyek bisa diubah, dijeda, atau dikerjakan ulang sebelum kerugian membesar.
Manfaat Jangka Panjang dari IRM
Penerapan IRM yang konsisten memberikan banyak keuntungan jangka panjang:
Tantangan Implementasi dan Solusi Strategis
Meskipun IRM menjanjikan banyak manfaat, tantangannya juga tidak ringan:
Solusinya:
Kesimpulan: Masa Depan Manajemen Proyek Infrastruktur
Melalui pendekatan Integrated Risk Management, proyek infrastruktur bisa lebih terencana, transparan, dan akuntabel. IRM tidak hanya mengurangi risiko finansial, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap pembangunan.
Paper ini menunjukkan bahwa risiko tidak bisa dihindari, tetapi bisa dikelola secara sistematis dan kolaboratif. IRM menjadi pilar penting bagi masa depan pembangunan infrastruktur, terutama di negara berkembang yang sering menghadapi tantangan serupa.
Sumber Asli Artikel:
Dr. Amit Bijon Dutta. Study of Integrated Risk Management in Infrastructure Projects. Journal of Emerging Technologies and Innovative Research (JETIR), Volume 6, Issue 1, Januari 2019. (ISSN-2349-5162)