Manajemen Risiko

Peta Jalan Ketahanan Perkotaan Masa Depan: Integrasi Manajemen Aset, Risiko Bencana, dan Kecerdasan Spasial untuk Kota Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025


Latar Belakang dan Alur Logis Temuan

Tinjauan literatur sistematis ini membahas kebutuhan mendesak untuk meningkatkan Ketahanan Perkotaan (Urban Resilience/UR), yang didefinisikan sebagai kemampuan kota dan komunitas untuk bertahan optimal dari disrupsi dan pulih ke kondisi prapadisrupsi. Latar belakangnya adalah peningkatan pesat populasi perkotaan, yang diproyeksikan melebihi 60% populasi dunia pada tahun 2030, di mana kota-kota ini menghasilkan lebih dari 75% PDB global dan menyumbang 70% emisi gas rumah kaca. Ironisnya, 90% wilayah metropolitan berada di pesisir, sangat rentan terhadap risiko bencana dari perubahan iklim. Disrupsi mengancam fungsi infrastruktur kritikal seperti jalan, rel kereta api, air, energi, dan telekomunikasi.

Penelitian ini menganalisis 68 makalah jurnal yang terindeks Scopus, diterbitkan antara tahun 2011 dan 2022, mencakup tinjauan literatur, model konseptual, dan model analitis. Alur temuan logis dalam penelitian ini berfokus pada integrasi dari tiga komponen utama untuk memaksimalkan dan melindungi nilai aset konstruksi di tengah risiko bencana:

  1. Manajemen Aset dan Risiko Bencana: Manajemen aset (berdasarkan standar ISO 55000) bertujuan memaksimalkan nilai dari aset dengan menyeimbangkan risiko, biaya, peluang, dan kinerja di seluruh siklus hidupnya. Risiko (berdasarkan ISO 31000) didefinisikan sebagai "efek ketidakpastian pada tujuan". Penelitian menegaskan bahwa pendekatan manajemen aset sangat penting untuk pencegahan dan kesiapan aset di tengah peristiwa yang tidak menguntungkan. Ketahanan melengkapi manajemen risiko dengan mempercepat pemulihan sistem, terutama ketika langkah-langkah manajemen risiko konvensional gagal memitigasi disrupsi.
  2. Sistem Informasi Geografis (GIS) dan Alat Pendukung Keputusan: Implementasi konsep UR yang efisien memerlukan pendekatan multidisiplin. GIS, sebagai kemampuan digital untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menampilkan data lokasi, terbukti penting karena memberikan konteks spasial untuk data, yang membantu pengambil keputusan memahami masalah dan mengevaluasi alternatif secara komprehensif. GIS juga dapat digunakan untuk membuat peta bahaya dan kerentanan. Kombinasi GIS dengan metode Multicriteria Decision Making (MCDM), seperti Analytic Hierarchy Process (AHP), memungkinkan pengambil keputusan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang masalah dan mengevaluasi alternatif dengan cara yang lebih komprehensif.
  3. Area Diskusi Utama: Tinjauan tersebut mengidentifikasi tujuh area diskusi utama dalam publikasi UR: perubahan iklim, penilaian dan manajemen risiko bencana, Sistem Informasi Geografis (GIS), infrastruktur perkotaan dan transportasi, pengambilan keputusan dan manajemen bencana, ketahanan komunitas dan bencana, dan infrastruktur hijau dan pembangunan berkelanjutan.

Analisis pemrosesan bahasa alami (NLP) menunjukkan bahwa perubahan iklim adalah istilah yang paling sering muncul (30 kali, dengan relevansi 0.998). Fenomena bencana yang paling banyak disinggung adalah banjir/genangan (74 kali, relevansi 0.285).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari tinjauan ini adalah menyajikan analisis bibliometrik dan NLP untuk secara empiris memetakan tren saat ini dalam riset UR, yang mendukung gagasan UR sebagai topik penting dengan minat akademis yang meluas. Lebih dari 75% dari 67 makalah yang dipilih dipublikasikan antara tahun 2017 dan 2021, dengan peningkatan signifikan pada tahun 2021. Secara disipliner, riset UR didominasi oleh Ilmu Lingkungan (24%), Ilmu Sosial (19%), dan Teknik (17%)—total 60% dari hasil yang tidak disaring, menunjukkan bahwa proyek riset UR wajib mengintegrasikan ketiga disiplin ini secara setara.

Secara substantif, kontribusi terpentingnya adalah usulan bahwa celah-celah riset yang teridentifikasi dapat diatasi dengan bantuan metode manajemen aset dan risiko bencana yang dikombinasikan dengan alat bantu keputusan berbasis GIS untuk meningkatkan UR secara signifikan. Penelitian ini menawarkan kerangka konseptual yang diperkaya yang secara eksplisit menghubungkan aset perkotaan dan risiko bencana dengan upaya untuk mencapai keberlanjutan dan ketahanan perkotaan, didukung oleh alat ilmu keputusan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Tinjauan ini menyoroti sejumlah keterbatasan krusial dalam literatur UR saat ini, yang juga menjadi celah riset utama:

  • Kurangnya Definisi Ketahanan yang Sama dan Analisis Multidisiplin: Ada kurangnya definisi umum tentang ketahanan dan analisis multidisiplin yang memadai. Heterogenitas konsep menghambat perbandingan dan adopsi model secara luas.
  • Kebutuhan akan Model UR yang Terpadu, Skalabel, dan Dapat Diadopsi: Model multidimensi yang ada perlu dibangun ulang setiap kali disesuaikan dengan kebutuhan kota dan bencana yang spesifik, sehingga menuntut model yang lebih canggih, skalabel, dan adaptif.
  • Ruang untuk Peningkatan Aplikasi Alat Multidimensi Berbasis GIS: Ada kebutuhan untuk mengubah semua data menjadi data berlabel-geo yang dapat ditransfer ke lingkungan cloud-based untuk analisis yang lebih baik oleh sistem pendukung keputusan.
  • Analisis Stokastik Kota Virtual: Mengingat akuisisi data yang mahal dan memakan waktu, ada kebutuhan untuk memperluas data yang ada menggunakan analisis stokastik pada kota virtual untuk memberikan wawasan awal sebelum pengambilan keputusan akhir.
  • Simulasi Skenario untuk Mendukung Proses Pengambilan Keputusan: Kota-kota membutuhkan kerangka kerja yang komprehensif dan inklusif untuk secara proaktif mempersiapkan masa depan perkotaan yang lebih baik, terutama melalui mekanisme pengambilan keputusan berbasis skenario.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berikut adalah lima rekomendasi riset lanjutan yang ditujukan kepada komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, dengan fokus pada jalur riset untuk mengatasi celah yang diidentifikasi oleh tinjauan ini:

1. Pengembangan Kerangka Kerja Metrik Konsensus UR Multidisiplin

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara eksplisit menyoroti "kurangnya definisi ketahanan yang sama dan analisis multidisiplin". Heterogenitas konsep menghambat perbandingan dan adopsi model secara luas. Riset perlu menyelaraskan pendekatan dari Ilmu Lingkungan, Ilmu Sosial, dan Teknik, yang bersama-sama menyumbang 60% dari literatur yang ditinjau.

Arah Riset: Penelitian harus menggunakan metode kualitatif ekstensif seperti survei Delphi global multi-putaran yang melibatkan ahli untuk mencapai konsensus tentang metrik dan indikator inti yang dapat diukur secara kuantitatif dalam berbagai konteks geografis. Metrik harus mencakup dimensi adaptif, redundancy, dan pemulihan, bukan hanya resistensi.

2. Perancangan Model UR Terpadu yang Parametrik dan Cloud-Based

Justifikasi Ilmiah: Kebutuhan utama adalah "model UR yang terpadu, skalabel, dan dapat diadopsi". Model yang ada saat ini tidak dapat beradaptasi dan harus dibangun ulang untuk setiap kota atau bencana yang spesifik.

Arah Riset: Riset teknik harus berfokus pada pengembangan Sistem Pendukung Keputusan (DSS) berbasis cloud yang berfungsi sebagai Model UR Parametrik Terbuka. Model ini harus dirancang untuk menerima input dari metrik konsensus dan dapat menyesuaikan pembobotan kriteria menggunakan metode MCDM seperti Fuzzy AHP atau TOPSIS. Model ini harus dapat beroperasi di lingkungan berbasis cloud untuk memfasilitasi integrasi "alat multidimensi berbasis GIS" dan data berlabel-geo (geo-tagged) dari berbagai sumber untuk analisis spasial waktu nyata.

3. Investigasi Efek Berjenjang (Cascading Effects) melalui Analisis Stokastik Kota Virtual

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara eksplisit menyerukan "analisis stokastik kota virtual" untuk mengatasi biaya dan waktu akuisisi data nyata yang membatasi. Penelitian juga perlu mempertimbangkan efek berjenjang (cascading effects) dari kegagalan infrastruktur.

Arah Riset: Penelitian harus menggunakan simulasi kota virtual yang detail, mereplikasi interdependensi infrastruktur kritikal (listrik, air, transportasi). Variabel harus mencakup parameter stokastik (misalnya, simulasi kerusakan acak menggunakan inverse distribution atau reverse sampling dari data kerusakan terbatas) untuk memodelkan kegagalan sistematis yang diakibatkan oleh bencana. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi "sinyal peringatan dini" dari komponen sistem yang rusak, menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru.

4. Kuantifikasi Nilai Non-Moneter Aset dan Risiko Menggunakan Pendekatan RIDM

Justifikasi Ilmiah: Proses pengambilan keputusan dalam manajemen aset kompleks harus mengintegrasikan hasil kuantitatif dengan faktor tidak berwujud dan sulit dikuantifikasi. Faktor-faktor ini, seperti bias, ketidakpastian, dan persepsi, sangat penting untuk keputusan aset yang efektif.

Arah Riset: Fokus harus pada penerapan Risk-Informed Decision-Making (RIDM), sebuah metodologi yang ada, untuk mengintegrasikan nilai non-moneter aset (misalnya, nilai ekologis infrastruktur hijau atau nilai sosial) ke dalam proses manajemen risiko. Variabel baru yang harus diuji adalah bagaimana MCDM dapat memberi bobot pada variabel ketahanan sosial (social resilience), seperti pengetahuan warga dan kesadaran atau tingkat keterlibatan publik, dalam konteks keputusan investasi infrastruktur.

5. Pengembangan Mekanisme Pengambilan Keputusan Berbasis Skenario Adaptif

Justifikasi Ilmiah: Kota-kota membutuhkan kerangka kerja yang sama sekali baru untuk "secara proaktif mempersiapkan" masa depan perkotaan yang lebih baik, terutama melalui "mekanisme pengambilan keputusan berbasis skenario".

Arah Riset: Riset harus mengembangkan kerangka kerja simulasi untuk Scenario-Based Decision Making (SBDM) yang menggunakan model UR yang dapat diadopsi (seperti yang diusulkan dalam Rekomendasi 2) sebagai mesin inti. Mekanisme ini harus memungkinkan para pembuat kebijakan untuk menjalankan serangkaian skenario bencana yang beragam (baik bencana alam maupun buatan manusia) dan secara adaptif menyesuaikan rencana tata ruang, termasuk kode bangunan dan zonasi, untuk mengurangi bahaya. SBDM harus menekankan strategi adaptif (adaptation strategies) di atas strategi resistensi murni.

Penelitian ini secara jelas menggarisbawahi bahwa masa depan Ketahanan Perkotaan tidak terletak pada model tunggal, tetapi pada integrasi sinergis antara manajemen aset, penilaian risiko, dan alat ilmu keputusan spasial. Celah riset yang teridentifikasi menuntut transisi dari analisis deskriptif ke model preskriptif, prediktif, dan adaptif yang mampu mengatasi interdependensi sistem yang kompleks dan sifat bencana yang stokastik.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi teknik (untuk pemodelan aset dan infrastruktur), ilmu lingkungan/perencanaan kota (untuk konteks GIS dan sosial), dan ilmu politik/ekonomi (untuk keputusan dan pendanaan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Peta Jalan Ketahanan Perkotaan Masa Depan: Integrasi Manajemen Aset, Risiko Bencana, dan Kecerdasan Spasial untuk Kota Berkelanjutan

Manajemen Risiko

Pandemi dan Bencana Alam Bertabrakan: Mengapa Risiko ASEAN Meningkat 33%

Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025


Resensi Riset Mendalam: Menuju Ketahanan Bencana Berkelanjutan di Era Compound Risks ASEAN (Instruksi 6–12)

Kawasan Asia Tenggara telah lama diakui sebagai salah satu wilayah yang paling rawan bencana di dunia. Publikasi ASEAN Risk Monitor and Disaster Management Review (ARMOR) Edisi ke-3 ini secara komprehensif membedah tantangan multidimensi ketika krisis kesehatan publik global —khususnya Pandemi COVID-19— berbenturan dengan siklus bencana alam yang terjadi secara rutin di kawasan ini. Tujuan utama riset ini adalah untuk mengukur secara kuantitatif dampak COVID-19 terhadap lanskap risiko bencana ASEAN (disaster riskscape) dan untuk mengeksplorasi secara kualitatif bagaimana organisasi penanggulangan bencana nasional (NDMO) dan AHA Centre beradaptasi. Studi ini tidak hanya penting untuk para pembuat kebijakan, tetapi juga menjadi fondasi krusial bagi komunitas akademik dan penerima hibah dalam merumuskan agenda riset ke depan.

Parafrase Isi Paper dan Jalur Logis Temuan

Jalur logis penelitian dimulai dengan penegasan bahwa periode pandemi (antara 11 Maret 2020 dan 30 November 2021) merupakan masa yang sangat rentan, di mana 48% dari total 3.503 kejadian bencana yang tercatat oleh ADINet sejak 2012 terjadi selama pandemi COVID-19. Peristiwa ini menggarisbawahi realitas risiko berjenjang (cascading risk) yang harus dihadapi kawasan ASEAN.

Untuk mengukur dampak ini, para peneliti memperkenalkan ASEAN Risk Index for Situational Knowledge (ASEAN RISK). ASEAN RISK menggunakan pendekatan model-of-models, yang menyinergikan indeks risiko terkemuka seperti INFORM (Index for Risk Management) dan ASEAN RVA (Risk and Vulnerability Assessment). Model komposit ini mengukur risiko berdasarkan tiga komponen utama: Multi-Hazard Exposure (Paparan Berbagai Bahaya), Vulnerability (Kerentanan), dan Coping Capacity (Kapasitas Penanggulangan). Dengan menggunakan data resolusi spasial tertinggi (30m x 30m) untuk mengukur paparan bahaya alam seperti gempa bumi, siklon tropis, dan banjir, model ini memberikan penilaian yang seimbang mengenai magnitud dan kepentingan paparan di setiap Negara Anggota ASEAN (AMS).

Secara konsisten dengan edisi ARMOR sebelumnya, temuan kuantitatif menunjukkan bahwa Myanmar, Filipina, dan Indonesia tetap menjadi tiga AMS yang paling berisiko terhadap bencana. Namun, analisis yang lebih kritis mengungkapkan bahwa risiko bencana di seluruh kawasan telah meningkat sejak ARMOR edisi pertama pada tahun 2019. Pendorong utama di balik peningkatan risiko ini adalah peningkatan kerentanan dan penurunan kapasitas penanggulangan.

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara bencana alam dan pandemi, di mana Paparan COVID-19 (berdasarkan total kasus, kematian, dan populasi yang tidak divaksinasi) digabungkan dengan risiko bahaya alam untuk menghasilkan nilai akhir yang menunjukkan beban aditif (additive burden). Dampak gabungan ini menghasilkan temuan yang sangat penting: Pandemi COVID-19 memperburuk risiko bencana di kawasan ASEAN rata-rata 33% —menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru tentang compound risk dan sistem kesehatan publik yang terintegrasi dengan manajemen bencana. Secara spesifik, negara seperti Malaysia, Filipina, dan Indonesia mencatat persentase perubahan risiko tertinggi setelah dimasukkannya paparan COVID-19.

Di sisi respons dan operasi, survei kualitatif terhadap NDMO dan AHA Centre mengungkapkan tantangan operasional yang signifikan. Tantangan utama yang dihadapi adalah Logistik (akibat pembatasan pergerakan domestik dan internasional yang melambatkan pengiriman bantuan) dan Sumber Daya Manusia (staf NDMO harus mengemban peran ganda dalam respons kesehatan dan bencana, menyebabkan ketegangan pada sumber daya). Namun, pandemi juga mendorong praktik baik seperti digitalisasi dan virtualisasi operasional (koordinasi daring), serta desentralisasi respons ke otoritas lokal (localisation), terutama di mana ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dinilai paling tidak menantang oleh responden.

Kontribusi Utama, Keterbatasan, dan Arah Riset ke Depan

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Riset ini memberikan kontribusi mendasar terhadap ilmu manajemen bencana, terutama dalam konteks risiko berjenjang:

  1. Penciptaan Metodologi ASEAN RISK: Pengenalan ASEAN RISK sebagai model-of-models yang menggabungkan dua indeks risiko terkemuka menjadi metrik komposit regional yang kuat, meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan.
  2. Kuantifikasi Dampak Krisis Kesehatan: Untuk pertama kalinya, penelitian ini secara eksplisit mengukur beban aditif dari krisis kesehatan terhadap risiko bencana alam. Temuan bahwa COVID-19 memperburuk risiko bencana rata-rata 33% memberikan bukti empiris yang tak terbantahkan tentang perlunya perencanaan terpadu.
  3. Dokumentasi Penyesuaian Operasional: Melalui kuesioner, penelitian ini mendokumentasikan penyesuaian prosedur, tantangan (logistik dan SDM), dan praktik baik (virtualisasi dan lokalisasi) yang dipelajari NDMO dan AHA Centre selama bencana yang tumpang tindih dengan pandemi.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun berkontribusi signifikan, studi ini memiliki keterbatasan yang membuka peluang riset lanjutan. Keterbatasan utama terletak pada sifat paparan aditif COVID-19 yang diukur. Pemodelan risiko hanya mengagregasikan paparan kesehatan ke dalam model bahaya alam , yang mungkin tidak sepenuhnya menangkap interaksi non-linear atau efek bergulir (cascading effects) yang kompleks antara bencana biologi dan bencana alam.

Secara regional, penelitian ini menyoroti kesenjangan besar dalam Resiliensi: Singapura dan Brunei Darussalam memiliki skor Kapasitas Penanggulangan (Coping Capacity) yang jauh lebih tinggi daripada skor Kerentanan dan Paparan Bahaya mereka. Kesenjangan ini menunjukkan adanya 'kelebihan kapasitas ketahanan' (resilience surplus) di beberapa AMS, namun mekanismenya belum sepenuhnya dipahami atau dimanfaatkan untuk dibagi kepada AMS lain, yang merupakan pertanyaan terbuka krusial.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berikut adalah lima arah riset eksplisit, terstruktur, dan berbasis temuan yang ditujukan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah:

  1. Riset Mendalam tentang Penggerak Inti Kerentanan Regional
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan peningkatan risiko kawasan didorong oleh peningkatan Vulnerability dan penurunan Coping Capacities sejak 2019.
    • Arah Riset: Penelitian harus berfokus pada dekomposisi indikator-indikator di bawah Vulnerability dan Coping Capacity dari ASEAN RISK untuk mengidentifikasi variabel-variabel sosio-ekonomi spesifik (misalnya, Indeks Pembangunan Manusia di tingkat sub-nasional, tata kelola pemerintahan lokal) yang paling memengaruhi penurunan kapasitas penanggulangan di AMS yang paling berisiko. Riset lanjutan ini akan memerlukan analisis regresi data panel multi-tahun untuk memastikan intervensi kebijakan yang lebih terarah dan efektif, sesuai dengan rekomendasi agar metodologi pengurangan risiko fokus pada penggerak risiko.
  2. Pengembangan Model Risiko Berjenjang (Cascading Risk) Non-Linear
    • Justifikasi Ilmiah: Pandemi meningkatkan risiko bencana rata-rata 33% melalui paparan aditif. Realitas operasional menunjukkan tantangan logistik yang tumpang tindih antara respons bencana alam dan pandemi.
    • Arah Riset: Akademisi harus bergeser dari model paparan aditif menuju pemodelan risiko berjenjang non-linear yang menguji bagaimana krisis (seperti bencana alam) di tengah ketegangan krisis lain (seperti pandemi) mengalikan dampak dan bukan hanya menjumlahkannya. Penelitian harus menggunakan simulasi berbasis agen (agent-based modeling) untuk memprediksi kegagalan rantai pasok logistik atau kelebihan kapasitas sistem kesehatan ketika bahaya ganda terjadi serentak, merumuskan protokol tanggap darurat yang resilient terhadap krisis simultan.
  3. Kajian Formulasi Kerangka Berbagi Kelebihan Kapasitas Resiliensi Regional
    • Justifikasi Ilmiah: Singapura dan Brunei Darussalam menunjukkan 'kelebihan kapasitas ketahanan' yang tinggi (Coping Capacity jauh di atas Vulnerability). Penelitian merekomendasikan eksplorasi cara berbagi resiliensi surplus ini di seluruh kawasan.
    • Arah Riset: Penelitian kebijakan harus mengkaji kerangka kerja yang layak dan berkelanjutan untuk mentransfer Coping Capacity—bukan hanya bantuan fisik. Ini termasuk analisis governance dan legal (seperti pemanfaatan ASEAN Single Window untuk memfasilitasi logistik ), transfer pengetahuan (knowledge management), dan berbagi sumber daya teknis (misalnya, sistem peringatan dini atau teknologi ICT) dari AMS yang memiliki kapasitas tinggi ke AMS yang berisiko tinggi. Studi ini harus merancang proof-of-concept operasional regional untuk menguji kelayakan model berbagi kapasitas.
  4. Integrasi AI dan Sistem Pendukung Keputusan (DSS) ke dalam Protokol Lokal
    • Justifikasi Ilmiah: Pandemi membatasi mobilitas, meningkatkan kebutuhan akan informasi real-time yang akurat. Teknologi seperti program FloodAI UNOSAT terbukti dapat memproses citra satelit dan menghasilkan peta banjir dalam waktu yang jauh lebih singkat. Namun, perlu adanya sistem yang lebih mudah diakses oleh pengambil keputusan di tingkat lokal.
    • Arah Riset: Penelitian harus menyelidiki desain dan implementasi Sistem Pendukung Keputusan (DSS) berbasis machine learning yang ramah pengguna untuk pengambil keputusan di tingkat nasional dan sub-nasional. Fokusnya harus pada integrasi teknologi ini ke dalam Standard Operating Procedure (SOP) respons bencana yang ada. Tujuan jangka panjang adalah untuk mengkatalisasi kapasitas lokal dan nasional dalam identifikasi dan pemantauan risiko.
  5. Analisis Jangka Panjang Dampak Ganda Krisis terhadap Sumber Daya Manusia NDMO
    • Justifikasi Ilmiah: Sejumlah besar NDMO melaporkan ketegangan pada sumber daya manusia dan tuntutan workload ganda akibat peran ganda dalam respons COVID-19 dan bencana.
    • Arah Riset: Penelitian psikososial dan manajemen organisasi harus dilakukan untuk mengukur dampak jangka panjang stres dan burnout pada staf manajemen bencana. Riset ini harus merumuskan model Rencana Kelangsungan Bisnis (Business Continuity Plan/BCP) untuk Sumber Daya Manusia NDMO yang berkelanjutan, termasuk kebijakan rotasi tugas, peningkatan keterampilan lintas-sektoral, dan sistem dukungan kesehatan mental. Tujuannya adalah memastikan kesiapan operasional yang terjamin dalam skenario protracted crisis di masa depan.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Studi ARMOR edisi ke-3 ini telah secara tegas memposisikan masa depan manajemen bencana ASEAN sebagai tantangan compound risks. Peningkatan risiko rata-rata 33% yang terkuantifikasi menunjukkan bahwa strategi Disaster Risk Reduction (DRR) tidak boleh lagi beroperasi dalam silo. Perspektif jangka panjang menunjukkan bahwa krisis seperti COVID-19 bukanlah yang terakhir, menuntut pendekatan yang lebih terlembagakan dan efektif dalam mengatasi risiko.

Untuk mewujudkan Visi ASEAN 2025 menjadi pemimpin global dalam manajemen bencana, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antar-institusi strategis. Ini harus melibatkan institusi ASEAN University Network (AUN) untuk riset akademik mendalam, lembaga pendanaan regional dan internasional (seperti Uni Eropa dan ADB) untuk hibah riset berorientasi solusi, dan satuan tugas operasional regional (seperti ASEAN-ERAT) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, dan terutama melibatkan NDMO di setiap AMS untuk menjamin relevansi data dan kebijakan.

Baca paper aslinya di sini

Selengkapnya
Pandemi dan Bencana Alam Bertabrakan: Mengapa Risiko ASEAN Meningkat 33%

Manajemen Risiko

Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global

Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025


🌊 Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global

Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas manajemen banjir (Flood Management/FM) di Turki—sebagai representasi negara berkembang—dan Inggris (UK)—sebagai negara maju—serta memberikan rekomendasi berbasis bukti untuk meningkatkan praktik di kedua negara. Melalui studi kualitatif mendalam, tesis doktoral ini tidak hanya membandingkan kerangka kerja kelembagaan dan operasional tetapi juga memperkenalkan serangkaian indikator baru untuk mengukur efisiensi sistem. Jalur logis temuan dimulai dengan perbandingan top-down dan berlanjut ke pengujian hipotesis di lapangan dan melalui studi kasus bencana nyata.

Jalur Logis Penemuan: Dari Hipotesis Tata Kelola ke Bukti Bencana

Riset ini dengan cermat membandingkan dua model tata kelola bencana yang kontras. Inggris, didorong oleh UU Manajemen Banjir dan Air 2010, menganut pendekatan proaktif dan terdesentralisasi (lokal), menekankan kolaborasi lintas-pemangku kepentingan, dari tingkat pusat hingga komunitas lokal. Sebaliknya, Turki dicirikan oleh pendekatan yang reaktif dan sentralistik, dengan undang-undang yang tidak definitif, menghasilkan perencanaan yang tidak efektif, sistem peringatan yang buruk, dan pemangku kepentingan yang tidak terorganisir.

Untuk menguji efektivitas klaim tata kelola ini, penelitian ini mengembangkan serangkaian Indikator Efisiensi Manajemen Banjir (FMEIs), yang dikelompokkan ke dalam tiga fase Siklus Manajemen Bencana: Kesiapsiagaan dan Perencanaan, Respons, dan Pemulihan. Kerangka kerja ini, terdiri dari 26 indikator turunan literatur, berfungsi sebagai alat ukur standar yang eksplisit untuk menilai kekuatan dan kelemahan sistem di Izmit/Kocaeli (Turki) dan Southampton/Hampshire (Inggris).

Hasil Kuantitatif Deskriptif dari Penilaian Sistem

Wawancara dengan para profesional FM di kedua negara kemudian memvalidasi kontras kualitatif ini, yang diukur secara deskriptif menggunakan kerangka FMEIs.

  • Skor FMEIs Keseluruhan: Penilaian berdasarkan wawancara menunjukkan bahwa sistem FM Inggris mencatat skor total 48 (kualitas Optimum, dalam rentang 42-54), sedangkan Turki mencatat skor total 28 (kualitas Tinggi, dalam rentang 28-41). Perbedaan deskriptif ini menunjukkan bahwa model yang menggabungkan kesiapsiagaan proaktif, perencanaan mendalam, dan keterlibatan lokal menunjukkan potensi kuat untuk ketahanan sistem yang lebih tinggi.
  • Perencanaan dan Kesiapsiagaan: Kesenjangan terbesar muncul di fase perencanaan. Mayoritas responden Inggris mengonfirmasi adanya rencana mitigasi dan respons banjir yang spesifik, kemitraan dalam pengembangannya, serta peninjauan dan penerapan berkala. Sebaliknya, mayoritas responden Turki melaporkan bahwa rencana mitigasi banjir tidak ada, dan tidak ada kemitraan untuk pengembangan atau peninjauan rencana.
  • Sistem Peringatan Dini: Terdapat perbedaan dalam teknologi. Inggris menggunakan peringatan ponsel (phone alerts), media, dan media sosial. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk sistem komunikasi yang lebih personal dan tepat sasaran. Sebaliknya, Turki belum menerapkan sistem peringatan ponsel, yang dikaitkan dengan ketiadaan peta bahaya banjir yang akurat di tingkat lokal, sehingga membatasi kemampuan untuk memperingatkan penduduk di zona risiko secara spesifik.

Dampak dari perbedaan tata kelola ini divalidasi melalui studi kasus: Banjir Marmara 2009 (Turki) dan Banjir Kendal 2015 (Inggris). Penilaian FMEIs terhadap respons bencana nyata menunjukkan bahwa manajemen banjir Kendal memperoleh skor total 43 (kualitas Optimum), sementara Marmara memperoleh skor total 28 (kualitas Tinggi). Kesenjangan terluas muncul dalam kategori perencanaan: Meskipun telah terjadi banjir sebelumnya di Marmara, kurangnya perencanaan mitigasi dan peta bahaya yang akurat memperburuk dampak bencana. Kunci efektivitas Inggris terletak pada pendekatan terpusatnya untuk perencanaan tetapi didelegasikan kepada tingkat lokal, memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang risiko di lapangan dan pemulihan yang lebih cepat.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi terpenting dari penelitian ini adalah penciptaan FMEIs. FMEIs merupakan kerangka kerja komprehensif yang mengintegrasikan berbagai faktor efisiensi FM ke dalam alat ukur yang terstandardisasi dan dapat diterapkan secara universal, yang dapat digunakan oleh negara maju dan berkembang.

Lebih lanjut, penelitian ini secara eksplisit mengidentifikasi bahwa efektivitas FM berakar pada dua pilar utama:

  1. Pergeseran ke Aksi Proaktif: Sistem yang efektif dicirikan oleh fokus pada kesiapsiagaan (preparedness)—melalui perencanaan mitigasi, pemetaan risiko, dan pembelajaran kelembagaan yang terorganisir—bukan sekadar tanggapan darurat reaktif.
  2. Pentingnya Keterlibatan Lokal: Pendekatan terdesentralisasi yang memberdayakan aktor dan komunitas lokal (model bottom-up) sangat penting untuk meningkatkan koordinasi, kecepatan respons, dan kesadaran publik.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Riset ini mengakui bahwa kurangnya akses ke peta bahaya banjir di Turki merupakan hambatan signifikan untuk merumuskan rencana mitigasi yang spesifik. Selain itu, sensitivitas politik di Turki membatasi partisipasi masyarakat di tingkat komunitas, sehingga penilaian efektivitas sistem cenderung didominasi oleh perspektif profesional daripada pengalaman langsung warga.

Keterbatasan ini membuka pertanyaan penting bagi penelitian lanjutan, seperti:

  • Bagaimana peta bahaya banjir, yang baru direncanakan selesai di Turki pada tahun 2022, dapat diintegrasikan secara efektif ke dalam kerangka kerja bottom-up di masa mendatang?
  • Apakah sistem terpusat (seperti di Turki), jika sepenuhnya dilengkapi dengan rencana, sumber daya, dan peta yang akurat, dapat melampaui efektivitas sistem yang terdesentralisasi murni, mengingat kompleksitas geografis dan demografi negara yang lebih besar?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Penelitian ini menggarisbawahi perlunya studi empiris lebih lanjut untuk memajukan manajemen risiko banjir dari temuan komparatif dan kerangka FMEIs yang baru dikembangkan.

  1. Riset Kolaboratif tentang Transisi Tata Kelola FM (Metode: Studi Kasus Intervensi):
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa pendekatan sentralistik Turki secara fundamental membatasi keterlibatan lokal, yang merupakan kunci efektivitas FM. Riset lanjutan harus berfokus pada studi kasus yang menganalisis dampak intervensi kebijakan yang bertujuan untuk mendesentralisasi tanggung jawab FM di provinsi-provinsi percontohan di Turki (misalnya, menguji efek pembentukan Lembaga Forum Ketahanan Lokal/LRF ala Inggris).
    • Tujuan: Mengukur peningkatan nyata dalam Skor Kesiapsiagaan FMEIs (khususnya indikator "Keterlibatan Masyarakat" dan "Pelatihan") sebagai fungsi dari desentralisasi yang terstruktur.
  2. Analisis Manfaat-Biaya Implementasi Peta Bahaya Banjir (Variabel: Biaya Infrastruktur vs. Skor FMEIs Respons):
    • Justifikasi Ilmiah: Peta bahaya yang tidak akurat di Turki adalah alasan utama ketidakmampuan untuk menerapkan sistem peringatan dini berbasis lokasi dan rencana mitigasi yang spesifik. Penelitian harus memodelkan rasio manfaat-biaya dari investasi penuh dalam pemetaan risiko banjir digital dan real-time di seluruh Turki, menggunakan Total Damage Prevented sebagai metrik utama.
    • Tujuan: Menentukan koefisien investasi minimum yang diperlukan dalam infrastruktur pemetaan (seperti data satelit dan phone alerts) untuk mendorong Skor Respons FMEIs Turki ke tingkat Optimum.
  3. Studi Komparatif tentang Adaptabilitas Kebijakan (Konteks: Perubahan Iklim/Frekuensi Ekstrem):
    • Justifikasi Ilmiah: Kedua negara menunjukkan kelemahan dalam adaptabilitas sistem FM mereka terhadap perubahan yang tidak terduga dan frekuensi bencana ekstrem (Banjir Kendal 2015 melebihi ambang batas pertahanan). Riset lanjutan harus menggunakan simulasi skenario perubahan iklim ekstrem untuk menguji ketahanan kerangka regulasi dan perencanaan Inggris (misalnya, UU FM 2010) dan Turki.
    • Tujuan: Mengidentifikasi ambang batas kegagalan (failure threshold) kebijakan dan merekomendasikan prosedur kontingensi kegagalan infrastruktur (seperti kegagalan tembok penahan banjir atau sistem drainase) untuk dimasukkan dalam Rencana Respons FM.
  4. Analisis Peran Asuransi dalam Ketahanan Jangka Panjang (Metode: Analisis Regresi Data Asuransi):
    • Justifikasi Ilmiah: Ketersediaan asuransi banjir non-wajib di Inggris dan asuransi yang berfokus pada gempa bumi di Turki menunjukkan kesenjangan pemulihan bencana. Penelitian harus menguji hubungan antara tingkat penetrasi asuransi banjir dan waktu pemulihan (time to recovery) ekonomi pasca-bencana.
    • Tujuan: Menganalisis data dari Turkish Catastrophe Insurance Pool (TCIP) untuk memodelkan bagaimana perluasan mandatnya secara wajib untuk mencakup risiko banjir akan berdampak positif pada Skor Pemulihan FMEIs di wilayah-wilayah berisiko tinggi.
  5. Riset Aksi tentang Pembelajaran Kelembagaan Vertikal (Metode: Protokol Peninjauan Pasca-Aksi [After-Action Review/AAR] Terstruktur):
    • Justifikasi Ilmiah: Meskipun kedua negara memiliki skema pembelajaran kelembagaan, Turki sangat kurang dalam organisasi formal, sehingga membatasi perbaikan kebijakan sistematis. Penelitian harus memperkenalkan protokol AAR pasca-banjir yang terstruktur (mirip dengan praktik militer/darurat) di AFAD (Turki) untuk memastikan temuan di lapangan ditransfer secara vertikal ke perumusan kebijakan nasional.
    • Tujuan: Menetapkan korelasi antara penerapan protokol AAR yang formal dan peningkatan skor pada indikator "Pembelajaran Kelembagaan" FMEIs, memvalidasi pentingnya proses formal atas komunikasi lisan yang informal.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan Badan Manajemen Bencana dan Keadaan Darurat (AFAD), Badan Lingkungan Inggris (EA), dan forum ketahanan lokal (LRFs) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di berbagai tingkat tata kelola.

Selengkapnya
Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global

Manajemen Risiko

Melampaui Siklus Empat Fase: Memetakan 5 Kelompok Model Manajemen Bencana dan Arah Riset Adaptif Masa Depan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025


Tinjauan Struktural Model Manajemen Bencana dan Kontribusi Masa Depannya: Sebuah Peta Jalan untuk Komunitas Akademik dan Penerima Hibah

Paragraf Pembuka: Krisis yang Terus Meningkat Membutuhkan Kerangka Kerja yang Jelas

Fenomena bencana global, yang ditandai dengan peningkatan signifikan dalam kematian, korban, dan kerugian ekonomi akibat urbanisasi, perubahan iklim, dan gangguan sosial-politik, telah menempatkan manajemen bencana sebagai disiplin ilmu yang krusial bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan. Meskipun terdapat berbagai model yang dirancang untuk membantu pemerintah dan lembaga kebencanaan, realitasnya adalah pengelolaan bencana masih sering kali tidak efisien. Studi kualitatif ini, yang dilakukan oleh Alrehaili et al. (2022) melalui tinjauan literatur dan analisis tematik, hadir sebagai upaya mendasar untuk mengevaluasi secara kritis kontribusi model-model yang ada dan menyusun taksonomi yang komprehensif bagi bidang ini.

Penelitian ini tidak bertujuan untuk menawarkan model baru, melainkan untuk memperluas pengetahuan yang ada mengenai kegunaan dan keterbatasan model-model tersebut. Secara metodologis, studi ini mengadopsi pendekatan konstruktivis dan interpretivis, menggunakan tinjauan literatur kualitatif dan analisis konten untuk menginvestigasi realitas bencana yang kompleks, tidak stabil, dan non-linear. Aliran logis temuan dimulai dengan penegasan bahwa model adalah alat pendukung keputusan yang sangat diperlukan; mereka menyederhanakan situasi yang rumit dan membantu perencana, manajer, dan praktisi dalam mencapai keputusan yang tepat.

Temuan utama dari tinjauan ini adalah klasifikasi model manajemen bencana ke dalam lima kelompok yang berbeda: Model Logis, Model Kausal, Model Terintegrasi, Model Kombinatorial, dan Model Tidak Terkategori. Klasifikasi ini muncul dari analisis terhadap karya-karya sebelumnya oleh Asghar et al. (2006) dan Nojavan et al. (2018), yang memperkenalkan kelompok "kombinatorial" untuk model yang menggabungkan elemen dari tiga kelompok pertama. Mayoritas model (seperti Model Tradisional dan Model Empat Fase Kimberly) dibangun di atas empat fase utama manajemen bencana—mitigasi, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan. Namun, model Kausal, seperti "Crunch Cause Model" (2000), menunjukkan fokus yang berbeda, dengan temuan deskriptif yang menunjukkan hubungan kuat antara variabel "Bahaya (Hazard)" dan "Kerentanan (Vulnerability)"—menghasilkan koefisien deskriptif yang secara eksplisit dirumuskan: Hazard + Vulnerability = Disaster Risk. Pernyataan ini menunjukkan potensi kuat bagi pengukuran variabel dan pengembangan objek penelitian baru (Risiko Bencana) yang diidentifikasi secara kausal.

Meskipun demikian, studi ini juga mengonfirmasi keraguan yang menyelimuti model-model ini, termasuk sifatnya yang terlalu preskriptif, pendekatan "satu ukuran untuk semua" (one-size-fits-all), ketidakmampuan untuk memprediksi bencana di masa depan secara akurat, dan adanya pemahaman yang terbatas di kalangan praktisi. Intinya adalah: model-model ini berharga, tetapi implementasinya yang salah atau pemahamannya yang buruk dapat membuatnya tidak efektif, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah dan komunitas.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi paling substansial dari studi ini adalah penyediaan taksonomi struktural yang memetakan lanskap model manajemen bencana. Dengan mengidentifikasi lima kelompok (Logis, Kausal, Terintegrasi, Kombinatorial, Tidak Terkategori), penelitian ini menyederhanakan kerumitan disiplin ilmu ini dan memberikan kerangka kerja yang jelas bagi akademisi untuk membandingkan dan mengontraskan model.

Kontribusi lainnya, yang didukung oleh Kelly (1999), adalah penegasan kembali peran vital model sebagai alat pengintegrasi yang menciptakan pemahaman bersama di antara semua pihak yang berkepentingan. Sebagai contoh, Model Kesehatan Manitoba (2002), yang merupakan Model Terintegrasi, memisahkan fase-fase manajemen bencana dengan jelas (Strategi, Penilaian Risiko, Pengelolaan Bahaya, Mitigasi, Kesiapsiagaan, Pemantauan dan Evaluasi), yang memungkinkan pengelolaan bencana secara efektif melalui hubungan yang fleksibel antarproses. Penemuan ini membuktikan bahwa ketika diterapkan dengan benar, model-model ini bersifat sangat bermanfaat dan merupakan teknik yang penting untuk memastikan manajemen bencana yang berhasil.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Keterbatasan utama yang diidentifikasi dalam tinjauan ini adalah sifat preskriptif, spesifik, dan terbatas dari banyak model, yang membuatnya rentan terhadap kritik dan dipertanyakan kegunaannya oleh pengambil keputusan dan praktisi. Desain model yang langkah demi langkah mengabaikan fitur bencana yang kompleks dan sering kali kacau, yang jarang berjalan sesuai rencana.

Keterbatasan lainnya adalah anggapan "satu ukuran untuk semua" yang diterapkan oleh beberapa model, yang mengabaikan variabel spesifik setiap bencana, seperti perbedaan budaya, tata kelola, dan ketersediaan sumber daya. Ini menimbulkan pertanyaan terbuka yang mendesak:

  • Bagaimana kita merancang Model Manajemen Bencana yang cukup adaptif dan fleksibel untuk mengakomodasi sifat non-linear, tidak stabil, dan tidak terduga dari bencana modern—terutama ketika bencana dapat memicu krisis dan bencana berantai (cascading disasters)?
  • Mengapa, meskipun Model Kombinatorial (seperti Model Komprehensif Cuny, 1998) dirancang untuk menggabungkan kekuatan dari model lain, masih ada keraguan yang meluas dan keengganan di antara para praktisi untuk menggunakannya? Pertanyaan ini secara langsung berhubungan dengan temuan bahwa para manajer memiliki pemahaman yang terbatas mengenai penerapan model, yang menunjukkan adanya kesenjangan transfer pengetahuan yang serius.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Riset lanjutan perlu secara eksplisit mengatasi kesenjangan pengetahuan dan keterbatasan model yang ditemukan dalam tinjauan ini untuk memastikan efektivitas jangka panjang disiplin ilmu manajemen bencana.

1. Pengembangan Metodologi Meta-Model Kombinatorial untuk Validasi Silang

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini mengidentifikasi Model Kombinatorial (campuran Logis, Kausal, dan Terintegrasi) sebagai upaya untuk menggabungkan keunggulan model lain dan mengatasi defisiensi. Namun, efektivitas komparatifnya belum teruji secara sistematis. Arah Riset: Riset ke depan harus berfokus pada perancangan dan validasi Metodologi Meta-Model Kombinatorial dengan tujuan untuk membangun sebuah kerangka kerja kuantitatif yang dapat menetapkan bobot optimal (optimal weighting) untuk elemen-elemen dari Model Kausal dan Terintegrasi dalam fase Logis (Mitigasi/Kesiapsiagaan). Metode/Variabel Baru: Metode simulasi berbasis agen (Agent-Based Modeling, ABM) dapat digunakan untuk menguji efisiensi Kombinatorial Model, dengan variabel koordinasi antar-pemangku kepentingan sebagai variabel independen. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengubah model menjadi alat prediksi dan perencanaan yang lebih canggih, menggantikan dogma model tunggal dengan ekosistem model yang fleksibel.

2. Membangun dan Menguji Model Manajemen Bencana Adaptif (ADMM)

Justifikasi Ilmiah: Kritik utama terhadap model adalah sifatnya yang preskriptif dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan variabel spesifik bencana, seperti variasi budaya dan sumber daya. Arah Riset: Diperlukan studi intervensi jangka panjang untuk mengembangkan dan memvalidasi Model Manajemen Bencana Adaptif (ADMM). ADMM harus mengintegrasikan mekanisme umpan balik cepat (real-time feedback) dan mengutamakan fase deteksi dan pembelajaran yang ditekankan dalam model seperti The Five-Stage Model Mitroff dan Pearson (1993). Metode/Variabel Baru: Pengujian kasus komparatif longitudinal pada bencana dengan variasi budaya dan pemerintahan yang berbeda (variabel konteks baru) untuk mengukur koefisien korelasi antara tingkat adaptabilitas model (variabel independen) dan waktu pemulihan komunitas (variabel dependen). Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini sangat penting untuk menjamin relevansi model di tengah-tengah tren global yang menunjukkan peningkatan kompleksitas dan non-linearitas bencana.

3. Analisis Kesenjangan Kognitif Praktisi terhadap Pemanfaatan Model

Justifikasi Ilmiah: Studi ini menemukan bahwa manajer dan praktisi sering kali memiliki pemahaman yang terbatas atau skeptis terhadap kegunaan model. Kesenjangan kognitif ini secara langsung menghambat implementasi model yang efektif. Arah Riset: Melakukan penelitian survei berbasis skala psikometri yang luas untuk menganalisis kesenjangan antara pengetahuan model teoritis akademisi dengan keterampilan aplikasi model praktisi. Metode/Variabel Baru: Mengembangkan Indeks Kompetensi Model Bencana (ICMB) sebagai variabel independen. Uji regresi diperlukan untuk menentukan seberapa besar peningkatan ICMB (misalnya, peningkatan pelatihan model) dapat memengaruhi penurunan kerugian pasca-bencana, yang mengarah pada peningkatan efektivitas manajemen bencana secara keseluruhan. Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan menjadi dasar bagi perumusan kurikulum pelatihan dan strategi transfer teknologi yang lebih efektif dari akademisi ke lembaga tanggap bencana.

4. Mendefinisikan Ulang dan Mengukur Ketahanan melalui Fase Pemulihan Mendalam

Justifikasi Ilmiah: Meskipun pemulihan adalah salah satu dari empat fase utama, beberapa model dianggap mengabaikan fase pra-bencana atau pasca-bencana secara memadai. Padahal, bencana merupakan ancaman signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan. Arah Riset: Fokus pada dekonstruksi mendalam fase pemulihan, mirip dengan fokus Model Contreras (2016) pada pemulihan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan Indeks Pemulihan Berkelanjutan Jangka Panjang (LSRI) yang berorientasi pada hasil pembangunan. Metode/Variabel Baru: Studi kasus komparatif (misalnya, antara bencana alam dan bencana buatan manusia) untuk mengukur koefisien metrik pemulihan infrastruktur (post-disaster infrastructure recovery metrics) sebagai variabel terikat, yang ditargetkan untuk kembali ke metrik yang lebih baik dari status pra-bencana. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengubah fokus dari sekadar kembali normal menjadi membangun kembali dengan lebih baik (Build Back Better), memberikan metrik yang jelas untuk penerima hibah yang berfokus pada hasil pembangunan.

5. Validasi Komparatif Model Terintegrasi untuk Bencana Teknologi Modern

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini menunjukkan efektivitas model manajemen bencana dalam konteks bencana buatan manusia, seperti kasus ledakan industri. Model yang tidak terkategori, seperti Model Ibrahim et al. (2003), secara spesifik berfokus pada bencana teknologi. Arah Riset: Melakukan validasi komparatif model terintegrasi dan tidak terkategori (seperti Model Sistem-Oriented Terintegrasi, 2016, yang berfokus pada respons darurat, dan Model Ibrahim et al.) dalam konteks risiko industri 4.0 (misalnya, serangan siber, kegagalan infrastruktur kritis). Metode/Variabel Baru: Menggunakan analisis kerangka kerja (framework analysis) untuk membandingkan kapasitas prediktif dan responsif model-model ini terhadap bencana teknologi kontemporer. Variabel kuncinya adalah komponen ilmu sosial, teknik, dan fisika yang terintegrasi, yang telah dimasukkan dalam Model Terintegrasi McEntire et al. (2010) . Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan memastikan bahwa kerangka kerja manajemen bencana tetap relevan di tengah pergeseran ancaman dari bahaya alam ke risiko sistemik yang didorong oleh teknologi.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Tinjauan struktural ini telah mengonfirmasi bahwa model manajemen bencana adalah alat yang penting, yang mampu menyederhanakan kompleksitas, mendukung pengambilan keputusan, dan mengintegrasikan aktivitas. Namun, potensi jangka panjang model-model ini hanya dapat terwujud jika komunitas riset secara kolektif mengatasi kelemahan preskriptif dan kesenjangan implementasi praktisi.

Arah riset ke depan harus berpindah dari identifikasi model menuju integrasi, adaptasi, dan validasi model secara kuantitatif dalam konteks yang beragam dan non-linear. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisiplin antara lembaga ilmu sosial dan tata kelola bencana (seperti pusat studi kebijakan publik), institusi teknik dan pemodelan komputasi (untuk simulasi ABM dan ADMM), dan organisasi kemanusiaan dan tanggap darurat (untuk validasi lapangan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Melampaui Siklus Empat Fase: Memetakan 5 Kelompok Model Manajemen Bencana dan Arah Riset Adaptif Masa Depan

Manajemen Risiko

Dari Obligasi Katastrofi ke Ketahanan Nasional: Membangun Resiliensi Finansial Bencana di Turki dan Asia.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 Oktober 2025


Konten Resensi Akademik

Penelitian ini digerakkan oleh kebutuhan kritis untuk mengatasi peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam yang mengakibatkan kerugian finansial signifikan, terutama di negara-negara berkembang. Premis sentral tesis ini adalah transisi paradigma dalam Manajemen Risiko Bencana (DRM) dari fokus pada mitigasi risiko bencana (DRR) menjadi penciptaan dan penguatan resiliensi di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Tesis ini berupaya menjawab pertanyaan fundamental dalam manajemen risiko bencana finansial: "siapa yang membayar kerugian?".

Jalur Logis Temuan Penelitian

Tesis ini secara metodis membangun kasus untuk resiliensi finansial melalui tiga fase utama.

Fase I: Instrumen Finansial dan Definisi Resiliensi

Penelitian ini memulai dengan mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan sistem—seperti masyarakat atau infrastruktur—untuk melawan, menyerap, beradaptasi, dan pulih secara efisien dari dampak bencana. Penulis menyoroti bahwa di bawah Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030, resiliensi telah menjadi kata kunci, yang membutuhkan pergeseran dari respons reaktif pasca-bencana menjadi prediksi dan perencanaan proaktif.

Penelusuran dilanjutkan dengan mengkategorikan instrumen keuangan yang tersedia untuk DRM. Instrumen berbasis obligasi diilustrasikan, membedakan antara Obligasi Katastrofi (CAT Bonds)—mekanisme transfer risiko untuk kerugian berfrekuensi rendah/berdampak tinggi—dengan Obligasi Resiliensi (Resilience Bonds). Obligasi Resiliensi diidentifikasi sebagai instrumen yang lebih baru yang memberikan insentif untuk investasi dalam resiliensi fisik (misalnya, tembok penahan banjir) dengan menawarkan "rabat resiliensi" (resilience rebate), yang secara efektif mengubah kerugian yang dihindari menjadi pengembalian investasi. Selain itu, Green Bonds dan Blue Bonds juga disorot sebagai sarana pendanaan untuk inisiatif ramah lingkungan dan laut.

Penulis juga mengeksplorasi dana cadangan (misalnya, Calamity Funds, Reserve Funds, Contingency Funds) dan fasilitas internasional (misalnya, GFDRR, GIIF), yang semuanya berfungsi untuk menyediakan likuiditas segera pasca-bencana, meminimalkan gangguan pada proyek pembangunan jangka panjang.

Fase II: Tinjauan Implementasi Resiliensi Global

Tesis ini menyajikan tinjauan komparatif penerapan ide-ide resiliensi di Asia, Amerika Latin, Eropa, dan Afrika.

  • Asia: Di Asia dan Pasifik—salah satu kawasan paling rentan di dunia—pendekatan holistik empat pilar (resiliensi fisik, finansial, ekologis, dan sosial-institusional) oleh Asian Development Bank (ADB) menjadi fokus utama. Kasus studi Indonesia menunjukkan dukungan teknis dari GFDRR dalam meningkatkan resiliensi banjir perkotaan.
  • Amerika Latin: Pendirian Caribbean Catastrophe Risk Insurance Facility (CCRIF) disorot sebagai contoh sukses multi-country risk pool pertama di dunia yang menggunakan mekanisme asuransi parametrik untuk menyediakan likuiditas cepat setelah bencana.
  • Eropa: Penelitian ini menyoroti peran European Investment Bank (EIB) melalui Economic Resilience Initiative (ERI) dan Climate Awareness Bonds (CAB) dalam mempromosikan investasi infrastruktur yang tangguh dan keberlanjutan.
  • Afrika: Pembentukan African Risk Capacity (ARC) oleh Uni Afrika dianalisis sebagai model mutual insurance business untuk membantu negara-negara mengatasi dampak kekeringan secara kolektif.

Fase III: Fokus pada Turki dan Kuantifikasi Risiko

Tesis ini memindahkan fokus ke konteks Turki, di mana risiko gempa, banjir, dan kebakaran hutan menjadi perhatian utama. Pemerintah Turki—melalui AFAD—telah mengadopsi tujuan untuk menciptakan "masyarakat yang tangguh terhadap bahaya". Pembentukan Turkish Catastrophe Insurance Pool (TCIP) pasca Gempa Marmara 1999 dan penerbitan Cat Bond pertama Turki (Bosphorus 1) merupakan langkah signifikan dalam transfer risiko.

Sorotan Data Kuantitatif Deskriptif:

Penelitian ini menyajikan upaya untuk memodelkan kerugian menggunakan data asuransi Turki antara tahun 2000 dan 2019, dengan variabel penjelas seperti tahun, jumlah gempa bumi, dan premi rata-rata per polis.

  • Analisis Regresi Berganda yang dilakukan pada data Turki menunjukkan bahwa model linier yang diuji tidak memiliki kecocokan yang baik. Temuan ini menunjukkan hubungan yang lemah antara variabel-variabel yang dipilih dan rata-rata kerugian, dengan Adjusted R-squared sebesar -0.0733 dan p-value F-statistik sebesar 0.6446. Nilai-nilai ini mengindikasikan bahwa model tersebut tidak dapat menjelaskan variabilitas kerugian secara efektif, menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru yang berfokus pada variabel kualitatif dan non-finansial dalam pengukuran resiliensi.
  • Perbandingan risiko kota Istanbul secara internasional menyoroti skala ancaman. Istanbul diperkirakan memiliki 6.7 juta orang yang berpotensi terkena dampak bencana alam, yang jauh lebih tinggi daripada kota-kota Eropa seperti Amsterdam-Rotterdam (4.6 juta) atau London (4.0 juta). Temuan ini memperkuat urgensi investasi resiliensi di Turki.
  • Analisis data premi asuransi OECD (2010–2018) menunjukkan bahwa rata-rata premi non-jiwa (yang mencakup risiko bencana) di Turki ($8,794) jauh lebih rendah dibandingkan dengan Asia (>$166,862) dan Eropa (>$656,402). Meskipun perbandingan ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan metodologi OECD, deviasi standar premi non-jiwa Turki yang rendah (2.178) dibandingkan Asia (52.866) dan Eropa (81.005) mengindikasikan pasar asuransi non-jiwa di Turki relatif lebih kecil atau kurang fluktuatif, menunjukkan potensi besar yang belum dimanfaatkan untuk penetrasi asuransi risiko bencana guna meningkatkan resiliensi finansial.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi tesis ini terhadap bidang manajemen risiko bencana finansial bersifat ganda. Pertama, ia berfungsi sebagai tinjauan literatur yang komprehensif, memetakan secara eksplisit evolusi instrumen pembiayaan dari CAT Bonds reaktif ke Resilience Bonds proaktif. Kedua, dengan mengintegrasikan studi kasus global dengan analisis mendalam mengenai Turki, tesis ini memberikan cetak biru untuk menilai kapasitas resiliensi suatu negara yang rentan terhadap bencana, seperti halnya Turki yang berisiko tinggi gempa bumi. Tesis ini secara implisit menyerukan kepada komunitas DRM untuk bergerak melampaui metrik kerugian murni dan memasukkan variabel resiliensi ke dalam penilaian kelayakan proyek.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Keterbatasan utama tesis ini terletak pada upaya pemodelan regresi yang tidak berhasil secara statistik. Ketidakmampuan variabel finansial makro (tahun, jumlah gempa, premi rata-rata) untuk memprediksi kerugian rata-rata di Turki menunjukkan bahwa model finansial tradisional mungkin tidak cukup untuk menangkap dinamika kompleks risiko bencana.

Ini menimbulkan pertanyaan terbuka yang penting:

  1. Bagaimana seharusnya metrik kualitatif resiliensi (misalnya, kesadaran publik, kapasitas kelembagaan AFAD, efektivitas sistem peringatan dini) diubah menjadi variabel yang dapat dimasukkan dalam model kerugian finansial yang lebih valid?
  2. Mengingat ketidakmampuan untuk memprediksi kerugian, apakah Resilience Bonds—yang mengandalkan pemodelan perbedaan kerugian yang dihindari (skenario "dengan proyek" vs. "tanpa proyek")—memiliki dasar ilmiah yang valid di negara-negara dengan kualitas data historis yang rendah seperti yang diimplikasikan oleh hasil regresi?
  3. Dalam konteks geografi dan ekonomi yang unik seperti Turki—di mana resiliensi dipengaruhi oleh ketidakstabilan ekonomi dan politik —sejauh mana model global (seperti CCRIF atau ARC) dapat diadaptasi secara efektif?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berikut adalah lima rekomendasi riset yang jelas, berbasis temuan tesis, dan berorientasi pada pengembangan ilmiah di masa depan:

  1. Mengembangkan Indeks Resiliensi Komposit untuk Pemodelan Risiko (Variabel Baru):

Justifikasi Ilmiah: Kegagalan model regresi dalam tesis ini menunjukkan bahwa kerugian bencana tidak hanya didorong oleh variabel finansial makro. Riset Lanjutan harus berfokus pada pengembangan Indeks Resiliensi Komposit yang mengintegrasikan data sosio-ekonomi (misalnya, tingkat penetrasi asuransi wajib, kesadaran publik akan bahaya ), kelembagaan (misalnya, implementasi Sendai Framework, efisiensi AFAD ), dan kualitatif. Indeks ini kemudian harus digunakan sebagai variabel penjelas untuk memprediksi kerugian di model regresi yang baru.

  1. Analisis Perbandingan Struktur Resilience Bond Berbasis Parameter Spesifik Bahaya (Metode Baru):

Justifikasi Ilmiah: Tesis ini memaparkan risiko multi-bahaya Turki (gempa, banjir, kebakaran hutan). Riset Lanjutan harus membandingkan efektivitas Resilience Bonds yang dirancang untuk risiko gempa bumi (berbasis parametrik geofisika) versus risiko kebakaran hutan (berbasis indeks cuaca/klimatologi) dalam menghasilkan resilience rebate. Metode ini harus secara eksplisit memodelkan dua skenario—dengan/tanpa mitigasi—untuk membuktikan nilai tambah finansial dari Resilience Bonds.

  1. Memetakan Hambatan Psikologis dan Institusional Terhadap Pembelian Asuransi Risiko Bencana (Konteks Baru):

Justifikasi Ilmiah: Meskipun ada kewajiban hukum untuk asuransi gempa (TCIP), tingkat kepemilikan tetap menjadi tantangan, dan kurangnya kesadaran disebut sebagai penghalang utama. Riset Lanjutan harus menggunakan metode kualitatif (misalnya, wawancara mendalam dengan pemilik rumah dan pembuat kebijakan) untuk mengidentifikasi hambatan perilaku dan institusional yang mencegah penetrasi asuransi risiko bencana di Turki. Hal ini akan menjelaskan mengapa dukungan pemerintah pasca-bencana—terlepas dari asuransi—menghambat insentif mitigasi.

  1. Studi Kelayakan Adopsi Model Risk Pooling Regional di Wilayah Timur Tengah dan Asia Tengah (Konteks Baru):

Justifikasi Ilmiah: Tesis ini menyoroti keberhasilan model risk pooling di Karibia (CCRIF) dan Afrika (ARC), yang mengurangi biaya risiko melalui diversifikasi geografis. Riset Lanjutan harus menilai kelayakan pembentukan Risk Pooling regional di wilayah di mana Turki berada (misalnya, Mediterania Timur atau Asia Tengah—menggunakan negara-negara OECD/non-OECD yang disebutkan dalam tesis seperti Bulgaria, Lebanon, Yordania, dan Iran). Studi ini harus memproyeksikan potensi pengurangan premi dan peningkatan kapasitas resiliensi finansial melalui kerangka diversifikasi risiko.

  1. Menganalisis Keterkaitan antara Krisis Ekonomi dan Investasi Resiliensi (Konteks/Variabel Baru):

Justifikasi Ilmiah: Tesis ini menggarisbawahi tantangan ekonomi Turki (inflasi, devaluasi Lira, volatilitas) yang dapat membatasi investasi resiliensi. Riset Lanjutan harus menguji hipotesis bahwa fluktuasi mata uang dan suku bunga memiliki korelasi negatif yang kuat dengan pendanaan proyek resiliensi publik-swasta. Metode yang disarankan adalah studi kasus komparatif historis (misalnya, Turki vs. negara OECD lain selama periode tekanan ekonomi) untuk mengidentifikasi mekanisme pembiayaan resiliensi yang tahan terhadap guncangan ekonomi domestik.

Potensi Jangka Panjang

Temuan saat ini menunjukkan bahwa resiliensi finansial tidak dapat dicapai hanya dengan instrumen pasar tradisional; melainkan membutuhkan pergeseran paradigma institusional dan perilaku. Jangka panjangnya, penelitian ini meletakkan dasar untuk menciptakan kerangka kerja penilaian resiliensi nasional yang dapat dioperasikan secara kuantitatif, yang pada akhirnya dapat mendorong investasi sektor swasta. Dengan memvalidasi model yang akurat, institusi global seperti World Bank dan EBRD dapat mendanai proyek resiliensi dengan lebih efisien, karena risiko yang ditanggung menjadi lebih terukur dan potensi pengembalian dari "kerugian yang dihindari" menjadi lebih jelas. Pada akhirnya, ini mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan memastikan bahwa pembangunan infrastruktur di kawasan rawan bahaya bersifat berkelanjutan dan inklusif.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi AFAD, TCIP, World Bank (melalui GFDRR), dan MDB regional lainnya untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

 

Selengkapnya
Dari Obligasi Katastrofi ke Ketahanan Nasional: Membangun Resiliensi Finansial Bencana di Turki dan Asia.

Manajemen Risiko

Sains Warga sebagai Garda Terdepan: Mengintegrasikan Persepsi Komunitas dalam Pengelolaan Risiko Banjir Dhaka.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025


Resensi Riset: Sains Warga dalam Transformasi Manajemen Risiko Banjir Perkotaan Dhaka

Penelitian ini mengulas tantangan yang dihadapi Dhaka, salah satu megacity terpadat di Asia Selatan , yang kini bergulat dengan fenomena berulang genangan air (water logging) atau banjir pluvial yang berkepanjangan. Secara historis, manajemen risiko banjir (FRM) di Dhaka didominasi oleh pendekatan struktural, seperti pembangunan tanggul dan pemodelan jaringan drainase, terutama setelah banjir katastropik seperti pada tahun 1988 dan 1998. Namun, terlepas dari upaya-upaya ini, yang melibatkan lembaga-lembaga seperti Bangladesh Water Development Board (BWDB) dan Dhaka Water Supply and Sewerage Authority (DWASA) , masalah genangan air di kawasan yang dilindungi tanggul (Dhaka Barat) dan kawasan yang rentan terhadap banjir sungai dan pluvial (Dhaka Timur) terus menjadi perhatian.

Jalur logis temuan dimulai dengan identifikasi kesenjangan kritis: pendekatan FRM yang ada belum secara memadai mengintegrasikan persepsi risiko, opini, dan pengalaman warga sebagai subjek yang paling terpapar bahaya. Penelitian sebelumnya banyak menggunakan teknik pemodelan (GIS dan RS) namun mengabaikan dimensi sosial dan partisipatif. Penelitian ini kemudian memperkenalkan konsep "sains warga" sebagai kerangka non-struktural yang menjanjikan untuk mengisi kekosongan ini. Sains warga dipandang sebagai pendekatan bottom-up yang melengkapi praktik konvensional dan berpotensi meningkatkan inovasi serta membangun ketahanan lokal.

Untuk menguji potensi ini, penelitian mengadopsi pendekatan metode campuran (mixed methods), melibatkan survei kuesioner terhadap 500 responden dari 32 wilayah administrasi (ward) yang rentan di Dhaka North City Corporation (DNCC) dan Dhaka South City Corporation (DSCC), dikombinasikan dengan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dan Wawancara Informan Kunci (KII).

Analisis Temuan Kuantitatif dan Kualitatif

Temuan awal dari survei memvalidasi parahnya masalah: 62.7% dari responden telah mengalami peristiwa banjir/genangan air lebih dari lima kali , dengan mayoritas responden (99.2%) memiliki pengalaman pribadi dengan banjir di komunitas mereka. Responden setiap tahun mengalami 1-3 hari genangan air selama musim muson, sebuah temuan yang menunjukkan hubungan kuat antara curah hujan intensif musiman dan kegagalan sistem drainase perkotaan—menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru mengenai durasi dan frekuensi banjir mikro.

Secara deskriptif, mayoritas responden mengidentifikasi peristiwa banjir/genangan air sebagai "sangat parah" (55.8%) dan "parah" (23.5%) di komunitas mereka. Terkait penyebab, pandangan warga jelas: 67.3% responden mengidentifikasi kondisi drainase yang buruk sebagai pendorong utama banjir yang meningkat, jauh melampaui yang mengidentifikasi curah hujan intensif (20.3%). Ini secara kritis menegaskan bahwa masalahnya bukan hanya hidrometeorologis, tetapi struktural dan tata kelola.

Meskipun 61.2% responden tidak familiar dengan istilah citizen science, yang menunjukkan tantangan dalam terminologi, namun yang lebih penting, 42.8% menyatakan antusiasme untuk terlibat dalam proyek terkait guna mempromosikan mitigasi. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk mobilisasi komunitas yang membutuhkan strategi komunikasi yang berfokus pada manfaat praktis, bukan hanya pada terminologi ilmiah.

Analisis lanjutan menemukan bahwa tingkat pendidikan memainkan peran signifikan dalam pemahaman risiko. Uji Chi-square menunjukkan hubungan signifikan antara tingkat pendidikan warga dan pengetahuan mereka tentang risiko banjir/genangan air. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara tingkat pendidikan tinggi dan kepemilikan pengetahuan yang memadai atau ahli—menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru mengenai desain intervensi komunikasi risiko yang bertarget.

Temuan kualitatif dari KII dan FGD memperkuat pandangan warga, dengan pemangku kepentingan utama mengutip urbanisasi yang tidak terencana, manajemen sistem drainase yang buruk, sistem pengelolaan limbah yang tidak tepat, dan peristiwa curah hujan ekstrem sebagai pendorong utama banjir. Diskusi kunci menekankan perlunya mengintegrasikan teknik pemodelan dan geospasial untuk membangun sistem Volunteer Geographic Information (VGI) sebagai alat mitigasi berbasis partisipasi.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan sains warga memiliki peran signifikan dalam mengatasi risiko banjir perkotaan di Dhaka, dengan mengintegrasikan pengetahuan berbasis pengalaman ke dalam kerangka formal yang selama ini dominan bersifat teknokratis. Temuan ini menjembatani antara pengalaman jangka panjang warga (sebagian besar tinggal di area rentan selama >20 tahun) dan kebutuhan akan solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan dengan memajukan wacana dari identifikasi masalah (banjir berulang) menuju solusi berbasis agen sosial (social-agent). Kontribusi utamanya meliputi:

  • Penyediaan Bukti Awal Partisipasi Sosial: Penelitian ini menjadi salah satu studi pionir yang secara langsung menyelidiki potensi 'sains warga' dalam konteks manajemen risiko banjir di Dhaka, sebuah konsep yang sebelumnya tidak ada dalam penelitian serupa. Ini mengubah fokus dari hanya tindakan mitigasi struktural menjadi tindakan non-struktural melalui partisipasi publik.
  • Validasi Kebutuhan Data VGI: Studi ini memberikan dukungan ilmiah, yang didasarkan pada konsensus pemangku kepentingan kunci, untuk pengembangan sistem Volunteer Geographic Information (VGI). Ini secara fundamental mengubah cara data risiko dikumpulkan—dari hanya pemantauan teknis menjadi pemetaan real-time berbasis komunitas untuk mengatasi banjir pluvial yang sulit diprediksi.
  • Koreksi Perspektif Penyebab Banjir: Dengan temuan bahwa mayoritas responden mengidentifikasi buruknya drainase (67.3%) sebagai penyebab utama, penelitian ini memberikan dasar bukti empiris bagi pembuat kebijakan untuk mengalihkan prioritas dari pertahanan terhadap sungai (struktural) ke manajemen drainase perkotaan (infrastruktural/institusional).

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kontribusinya kuat, penelitian ini memiliki keterbatasan metodologis yang membuka jalan bagi riset selanjutnya. Keterbatasan utama adalah keputusan untuk tidak memilah sampel berdasarkan status sosial-ekonomi, pendidikan, atau variabel demografi lainnya. Faktor-faktor ini, seperti yang diakui oleh para penulis, dapat secara signifikan memengaruhi persepsi dan pengalaman risiko. Dari keterbatasan ini, muncul pertanyaan terbuka mendesak untuk agenda riset akademik di masa depan:

  1. Mekanisme Insentif dan Keterlibatan Jangka Panjang: Bagaimana niat partisipatif yang tinggi (42.8% antusiasme) dapat diterjemahkan menjadi keterlibatan yang berkelanjutan, mengingat sifat proyek sains warga seringkali menghadapi tantangan dalam mempertahankan momentum relawan?
  2. Harmonisasi Data: Bagaimana tantangan kelembagaan dan teknis dalam membangun VGI dapat diatasi untuk mengintegrasikan data crowd-sourced yang bottom-up dengan sistem data hidrologi dan tata ruang pemerintah yang top-down dan sering kali terisolasi (siloed)?
  3. Strategi Komunikasi Risiko yang Bertarget: Mengingat hubungan signifikan yang ditemukan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang risiko banjir , bagaimana cara mendesain dan mengimplementasikan program komunikasi risiko yang efektif untuk segmen populasi dengan tingkat pendidikan rendah yang mungkin memiliki "sedikit pengetahuan" tentang risiko?
  4. Tantangan Tata Kelola Lintas-Sektor: Bagaimana data Sains Warga dapat dijadikan alat penegakan hukum untuk mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh pengembang perumahan, yang diidentifikasi sebagai penghalang utama mitigasi , dan bagaimana mekanisme ini dapat meningkatkan koordinasi antarlembaga yang saat ini lemah?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

1. Pengembangan dan Validasi Model VGI Fungsional untuk Prediksi Banjir Pluvial

  • Justifikasi Ilmiah: Diskusi pemangku kepentingan menekankan perlunya integrasi teknik pemodelan dan geospasial untuk membangun sistem Volunteer Geographic Information (VGI). Banjir pluvial menantang untuk dikelola karena durasi peringatan yang pendek.
  • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Penelitian selanjutnya harus berfokus pada rekayasa dan pengujian purwarupa aplikasi seluler untuk pengumpulan data real-time (kedalaman genangan, durasi, dan lokasi geospasial yang akurat). Variabel baru adalah Indeks Akurasi Geospasial Data Warga yang divalidasi silang dengan sensor formal dan Waktu Respons Peringatan (Latency) dari sistem VGI.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Mengubah rekomendasi konseptual menjadi alat operasional yang dapat digunakan oleh pemerintah kota (DNCC/DSCC) dan Flood Forecasting and Warning Centre (FFWC) untuk mengatasi banjir pluvial secara non-struktural, yang menjadi masalah utama.

2. Analisis Heterogenitas Sosial-Ekonomi dalam Niat dan Hambatan Partisipasi Sains Warga

  • Justifikasi Ilmiah: Meskipun penelitian ini menargetkan masyarakat umum, para peneliti merekomendasikan perlunya mempertimbangkan variabel sosio-demografi dalam studi mendatang untuk memperkuat hasil. Status sosial-ekonomi memengaruhi kesiapsiagaan dan persepsi risiko.
  • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Menerapkan studi kasus komparatif antar-strata (misalnya, area pemukiman kumuh vs. area perumahan formal). Metode baru: Analisis regresi logistik untuk memprediksi Niat Partisipasi Sains Warga berdasarkan variabel moderasi seperti pendapatan, tingkat kepemilikan aset, dan lama tinggal (>20 tahun ).
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Memahami siapa yang paling bersedia dan mengapa (misalnya, apakah yang paling rentan lebih termotivasi) akan mengarah pada desain program Sains Warga yang tidak hanya efektif, tetapi juga inklusif dan adil, melampaui fokus umum studi ini.

3. Studi Longitudinal tentang Persepsi Risiko dan Perubahan Perilaku Komunitas

  • Justifikasi Ilmiah: Konsep risiko Raaijmakers et al. menunjukkan interkoneksi dinamis antara Kesadaran, Kekhawatiran, dan Kesiapsiagaan. Kekhawatiran yang berkurang dari waktu ke waktu dapat menurunkan kesadaran. Penelitian ini menemukan bahwa warga memiliki tingkat kesadaran (37.8%) dan kekhawatiran sedang (37.2%).
  • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Menggunakan studi longitudinal dengan variabel intervensi (misalnya, kampanye risk communication yang intensif) untuk menguji dampak pada Indeks Kesiapsiagaan Komunitas. Variabel baru: Laju Penurunan Kekhawatiran (Worry Decay Rate) setelah peristiwa banjir.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Dalam perubahan perilaku menuju FRM yang lebih baik, motivasi adalah tahap pertama. Penelitian ini sangat penting untuk merancang komunikasi risiko yang berkelanjutan yang dapat mempertahankan motivasi dan kesiapsiagaan, terutama karena genangan air menjadi fenomena berulang yang dinormalisasi.

4. Evaluasi Dampak Sains Warga terhadap Kapasitas Kelembagaan Lintas-Sektor

  • Justifikasi Ilmiah: Tata kelola risiko banjir di Dhaka terkendala oleh mandat yang tumpang tindih dan kurangnya koordinasi di antara berbagai lembaga publik.
  • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Mengembangkan Model Tata Kelola Adaptif yang memanfaatkan data VGI sebagai masukan sentral untuk integrasi data dan keputusan antar-lembaga. Variabel baru: Indeks Kolaborasi Kelembagaan, yang mengukur efisiensi berbagi data dan tindakan yang diambil bersama (misalnya, pembersihan khal/kanal yang berfungsi ).
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Data partisipatif dapat berfungsi sebagai platform yang memaksa kerja sama antarlembaga, mentransformasi masalah koordinasi yang bersifat institusional menjadi peluang peningkatan efisiensi yang didorong oleh kebutuhan data real-time komunitas.

5. Pemodelan Pelanggaran Tata Ruang (Encroachment) Berbasis Data Sains Warga

  • Justifikasi Ilmiah: Pembangunan di dataran banjir dan penimbunan badan air telah mengurangi kapasitas retensi air, memperburuk genangan. RAJUK’s Structure Plan (2016-2035) juga mengidentifikasi bahwa kebijakan pemeliharaan Zona Aliran Banjir hanya diimplementasikan sebagian.
  • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Mengintegrasikan data VGI dari warga mengenai pelanggaran tata ruang (misalnya, lokasi penimbunan) dengan pemodelan hidrologi. Variabel baru: Koefisien Resistensi Aliran Banjir Perkotaan yang dihitung berdasarkan tingkat dan lokasi pelanggaran yang terverifikasi.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Mengubah keluhan umum tentang kegagalan penegakan hukum menjadi data geospasial yang akurat memungkinkan pihak berwenang (RAJUK) untuk memprioritaskan tindakan penegakan, menghubungkan observasi bottom-up dengan perencanaan top-down untuk keberlanjutan.

Kesimpulan

Temuan dari studi ini menggarisbawahi potensi transformatif dari sains warga untuk manajemen risiko banjir di Dhaka. Melalui integrasi pengalaman warga (yang telah menghadapi banjir lebih dari 5 kali ) dan teknologi geospasial (VGI ), Dhaka dapat beralih dari fokus struktural semata ke strategi yang lebih holistik dan adaptif. Penelitian lanjutan harus fokus pada mengatasi kesenjangan sosio-ekonomi dan kelembagaan untuk memastikan partisipasi yang inklusif dan penerimaan yang efektif dari data warga ke dalam proses pengambilan keputusan formal.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Rajdhani Unnayan Kartripakhya (RAJUK), Bangladesh Water Development Board (BWDB), dan Dhaka Water Supply and Sewerage Authority (DWASA) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama dalam hal penegakan peraturan tata ruang dan manajemen sistem drainase yang terpadu.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Sains Warga sebagai Garda Terdepan: Mengintegrasikan Persepsi Komunitas dalam Pengelolaan Risiko Banjir Dhaka.
page 1 of 11 Next Last »