Manajemen Proyek

Strategi Mitigasi Keterlambatan Proyek Rumah Sakit dengan Metode House of Risk (HOR)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025


Pembangunan proyek infrastruktur, khususnya rumah sakit, adalah tugas kompleks yang penuh risiko. Artikel berjudul “Langkah Mitigasi Risiko Keterlambatan Pekerjaan dengan Pendekatan Metode House of Risk (HOR) pada Proyek Pembangunan Rumah Sakit” oleh Kyrra Sandra Sarkisian dkk., menawarkan pendekatan sistematis dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko keterlambatan proyek konstruksi menggunakan metode House of Risk (HOR). Resensi ini akan membahas secara menyeluruh isi paper tersebut dengan penekanan pada studi kasus, angka-angka yang signifikan, dan relevansi praktisnya di industri konstruksi Indonesia.

Tantangan dalam Proyek Rumah Sakit: Kompleksitas dan Kebutuhan Khusus

Penelitian ini mengambil studi kasus pembangunan rumah sakit tujuh lantai di Sidoarjo yang menjadi bagian dari fasilitas penunjang tambahan sebuah rumah sakit eksisting. Rumah sakit, berbeda dengan bangunan komersial lain seperti ruko atau apartemen, memiliki regulasi dan standar infrastruktur khusus, seperti sistem sanitasi, sterilisasi, dan sirkulasi udara yang kompleks. Ini menjadikan proyek rumah sakit jauh lebih menantang.

Dalam proyek ini, keterlambatan mulai terlihat dari minggu ke-7 sampai minggu ke-10. Rinciannya:

  • Minggu ke-7: deviasi keterlambatan 0,369%

  • Minggu ke-8: 1,876%

  • Minggu ke-9: 2,940%

  • Minggu ke-10: 1,440%

Keterlambatan ini terjadi pada fase pekerjaan pondasi tiang pancang, yang diperparah oleh akses lokasi yang terbatas dan kondisi site yang tidak mendukung.

Pendekatan HOR: Sistematik dan Berbasis Data

House of Risk (HOR) adalah metode yang dikembangkan oleh Pujawan dan Geraldin (2009), dengan dua fase utama:

  1. Fase 1: Identifikasi risiko dan prioritas pemicu keterlambatan

  2. Fase 2: Formulasi langkah mitigasi terhadap pemicu yang diprioritaskan

HOR menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif menggunakan data observasi, kuesioner, wawancara dengan staf ahli di lapangan, dan teknik evaluasi seperti Pareto Analysis dan perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP).

Hasil Identifikasi Risiko (Fase 1)

Penelitian menemukan 7 risk agent (pemicu risiko) utama:

  1. Lamanya proses fabrikasi material

  2. Terlambatnya pengiriman material akibat perubahan spesifikasi tiang pancang

  3. Perubahan desain pondasi dan titik pondasi

  4. Perubahan kedalaman tiang pancang

  5. Perubahan lokasi water tank

  6. Lokasi proyek yang sulit diakses

  7. Kerusakan alat berat

Melalui analisis Pareto, tiga faktor teratas dengan kontribusi signifikan terhadap keterlambatan diprioritaskan:

  • Kerusakan alat berat

  • Lokasi site yang sulit

  • Perubahan kedalaman tiang pancang

Misalnya, faktor "kerusakan alat berat" menyumbang 47,09% potensi keterlambatan (ADPj = 172 dari total 81). Ini menunjukkan betapa krusialnya manajemen peralatan berat di lapangan.

Strategi Mitigasi Efektif (Fase 2)

Setelah mengidentifikasi prioritas risiko, peneliti menyusun lima langkah mitigasi yang kemudian dievaluasi berdasarkan efektivitas dan tingkat kesulitannya:

  1. PA4: Melakukan penjadwalan ulang (reschedule)
    Strategi ini menjadi yang paling efektif karena mampu menyesuaikan dengan perubahan kondisi lapangan dan fleksibel terhadap dinamika proyek. Memiliki nilai efektivitas tertinggi (TEk = 375) dan rasio efektivitas terhadap kesulitan (ETDk) sebesar 375.

  2. PA3: Pembagian zona kerja (scope)
    Membagi pekerjaan menjadi beberapa zona mengurangi ketergantungan antar aktivitas dan mempercepat eksekusi bagian yang tidak terdampak. Nilai efektivitasnya cukup tinggi (TEk = 375) dengan ETDk = 168.75.

  3. PA2: Penyesuaian jadwal mobilisasi dan fabrikasi material
    Langkah ini mengatur ulang proses logistik proyek untuk menghindari bottleneck akibat keterlambatan material. TEk = 225 dengan ETDk = 112.5.

  4. PA1: Pemeriksaan berkala alat berat
    Pemeliharaan rutin menjadi langkah pencegahan sederhana namun penting untuk menghindari kerusakan alat berat. ETDk = 125 meskipun skor efektivitasnya (TEk = 375) sama dengan PA4 dan PA3, tetapi karena tingkat kesulitannya lebih tinggi, rankingnya lebih rendah.

  5. PA5: Survei awal desain tanah
    Langkah ini berguna untuk meminimalkan perubahan mendadak terkait desain pondasi. Namun ETDk-nya hanya 66, menjadi opsi mitigasi dengan ranking terendah karena tantangan pelaksanaan awal yang tinggi.

Relevansi Strategi HOR dalam Industri Konstruksi

Metode HOR memberikan cara yang terstruktur dan berbasis data untuk mengelola risiko konstruksi. Hal ini menjadi sangat relevan di Indonesia yang memiliki dinamika proyek kompleks dan kerap menghadapi kendala administratif, geografis, serta logistik. Dalam studi kasus ini, penggabungan data primer (wawancara) dan sekunder (kurva S, laporan deviasi) memperkaya analisis dan menjadikan rekomendasi lebih praktis dan implementatif.

Strategi seperti rescheduling dan scope splitting bukan hanya relevan dalam pembangunan rumah sakit, tetapi juga di proyek-proyek besar lainnya seperti pembangunan gedung pemerintah, pusat perbelanjaan, bahkan proyek infrastruktur seperti jalan tol dan jembatan.

Meski paper ini sangat aplikatif, terdapat beberapa kekurangan:

  • Jumlah responden terbatas (hanya dua staf proyek), padahal validitas data bisa lebih kuat dengan melibatkan lebih banyak pihak seperti vendor material, konsultan perencana, atau manajemen rumah sakit.

  • Evaluasi efektivitas mitigasi lebih banyak mengandalkan persepsi responden daripada data historis proyek sejenis, yang bisa menjadi peluang pengembangan penelitian lebih lanjut.

Penelitian lanjutan dapat memperluas metode HOR dengan tambahan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) untuk memperkirakan keterlambatan secara lebih presisi.

Penelitian oleh Sarkisian dkk. menjadi kontribusi nyata dalam mengatasi permasalahan klasik dunia konstruksi: keterlambatan proyek. Metode House of Risk terbukti mampu mengidentifikasi dan mengatasi penyebab keterlambatan secara sistematis, dengan hasil konkret yang bisa dijadikan pedoman teknis oleh manajer proyek dan pelaksana lapangan.

Langkah mitigasi seperti penjadwalan ulang, pemecahan zona kerja, hingga pengawasan alat berat bukan hanya mengurangi risiko tetapi juga meningkatkan efisiensi proyek. Dengan mengadopsi pendekatan seperti ini secara luas, proyek konstruksi di Indonesia dapat menjadi lebih tepat waktu, efisien, dan sesuai mutu yang direncanakan.

Sumber asli artikel (dalam bahasa Indonesia):
Sarkisian, Kyrra Sandra; Gede Sarya; Masca Indra Triana. "Langkah Mitigasi Risiko Keterlambatan Pekerjaan dengan Pendekatan Metode House of Risk (HOR) pada Proyek Pembangunan Rumah Sakit." PORTAL: Jurnal Teknik Sipil, Volume 16, Edisi Khusus, Januari 2023.

Selengkapnya
Strategi Mitigasi Keterlambatan Proyek Rumah Sakit dengan Metode House of Risk (HOR)

Manajemen Proyek

Mengukur Kesuksesan Proyek Design-Build di Sri Lanka: Sebuah Studi Mendalam tentang Faktor-faktor Penentu

Dipublikasikan oleh Anisa pada 21 Mei 2025


Industri konstruksi adalah motor penggerak perekonomian banyak negara, termasuk Sri Lanka. Dengan pertumbuhan pesat dan kebutuhan infrastruktur yang terus meningkat, memilih metode pengadaan proyek yang tepat menjadi sangat krusial. Di tengah lanskap ini, metode Design-Build (DB) telah muncul sebagai alternatif yang semakin populer dari model tradisional Design-Bid-Build (DBB). Namun, seberapa efektifkah DB dalam mencapai kesuksesan proyek di konteks Sri Lanka? Tesis Master oleh Salinda Ranga Rathugama dari University of Moratuwa, Sri Lanka, pada tahun 2013, menawarkan eksplorasi komprehensif tentang faktor-faktor penentu keberhasilan metode Design-Build untuk proyek-proyek bangunan di negara tersebut. Studi ini tidak hanya mengidentifikasi metrik kesuksesan, tetapi juga menggali tantangan dan peluang, memberikan wawasan berharga bagi pemangku kepentingan di industri konstruksi global.

Mengapa Memilih Design-Build? Memahami Keunggulan Metode DB

Metode Design-Build (DB) adalah strategi pengadaan proyek di mana satu entitas tunggal, biasanya kontraktor dengan kemampuan desain internal atau bermitra dengan konsultan desain, bertanggung jawab penuh atas layanan desain dan konstruksi proyek. Ini berbeda dengan pendekatan tradisional Design-Bid-Build (DBB) yang memisahkan kontrak desain dan konstruksi. Keunggulan DB yang sering disebut-sebut meliputi:

  1. Titik Tanggung Jawab Tunggal: Pemilik proyek hanya perlu berkoordinasi dengan satu pihak, menyederhanakan komunikasi dan mengurangi risiko sengketa antara desainer dan kontraktor.

  2. Efisiensi Waktu: Proses yang terintegrasi memungkinkan tumpang tindih antara fase desain dan konstruksi (sering disebut fast-tracking), mempercepat jadwal proyek.

  3. Potensi Penghematan Biaya: Kolaborasi dini antara desainer dan kontraktor dapat mengidentifikasi solusi yang lebih ekonomis dan efisien selama fase desain.

  4. Inovasi: Tim DB memiliki fleksibilitas lebih besar untuk berinovasi dalam desain dan metode konstruksi karena mereka bertanggung jawab atas keseluruhan hasil.

  5. Pengurangan Klaim: Dengan satu titik tanggung jawab, potensi klaim yang muncul dari koordinasi yang buruk antara desainer dan kontraktor dapat diminimalkan.

Mengingat manfaat teoritis ini, tidak mengherankan jika banyak negara, termasuk Sri Lanka, mulai mengadopsi DB untuk proyek-proyek mereka. Namun, kesuksesan tidak datang begitu saja. Implementasi DB yang efektif memerlukan pemahaman mendalam tentang faktor-faktor yang mendorong atau menghambat keberhasilannya.

Mendefinisikan Kesuksesan Proyek: Lebih dari Sekadar Biaya dan Waktu

Sebelum menilai keberhasilan DB, penelitian ini terlebih dahulu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan "kesuksesan proyek." Secara tradisional, kesuksesan sering diukur hanya dari segi biaya (sesuai anggaran) dan waktu (tepat waktu). Namun, penelitian modern mengakui bahwa kesuksesan proyek jauh lebih luas, mencakup dimensi seperti:

  • Kualitas: Apakah proyek memenuhi standar kualitas yang ditetapkan dan harapan pemilik?

  • Kepuasan Pemangku Kepentingan: Apakah pemilik, pengguna akhir, dan pihak lain yang terlibat merasa puas dengan hasil proyek?

  • Kinerja Proyek: Apakah tujuan fungsional dan operasional proyek tercapai?

  • Manajemen Risiko: Apakah risiko diidentifikasi, dikelola, dan dimitigasi secara efektif?

  • Manajemen Komunikasi: Apakah komunikasi antar pihak berjalan lancar dan efektif?

  • Kesehatan dan Keselamatan: Apakah proyek dilaksanakan dengan standar keselamatan yang tinggi?

Dengan mengadopsi definisi kesuksesan yang lebih holistik ini, penelitian dapat memberikan gambaran yang lebih akurat tentang efektivitas metode DB.

Metodologi Penelitian: Menggali Persepsi Profesional Konstruksi

Tesis ini mengadopsi pendekatan kuantitatif, menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama pengumpulan data. Target responden adalah para profesional konstruksi berpengalaman di Sri Lanka yang terlibat dalam proyek-proyek Design-Build. Responden ini kemungkinan besar mencakup manajer proyek, insinyur, arsitek, dan kontraktor dari berbagai perusahaan. Data yang terkumpul dianalisis secara statistik untuk mengidentifikasi korelasi antara berbagai faktor dan tingkat keberhasilan proyek DB. Metode ini memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dianggap paling signifikan oleh para praktisi di lapangan.

Penelitian semacam ini seringkali melibatkan langkah-langkah berikut:

  1. Identifikasi Faktor-faktor Potensial: Berdasarkan studi literatur dan wawancara awal, peneliti mengidentifikasi daftar panjang faktor-faktor yang mungkin memengaruhi keberhasilan proyek DB (misalnya, pengalaman tim, kejelasan lingkup, manajemen risiko, dll.).

  2. Desain Kuesioner: Kuesioner disusun dengan skala Likert untuk mengukur tingkat kepentingan atau dampak dari masing-masing faktor.

  3. Pengumpulan Data: Kuesioner disebarkan kepada sampel profesional yang relevan.

  4. Analisis Statistik: Data dianalisis menggunakan teknik statistik deskriptif dan inferensial (misalnya, analisis regresi, analisis faktor, atau uji korelasi) untuk menentukan hubungan antara faktor-faktor dan kesuksesan proyek.

Temuan Kunci: Pilar-pilar Kesuksesan DB di Sri Lanka

Meskipun abstrak tidak menyediakan angka spesifik, penelitian serupa seringkali menemukan beberapa faktor kunci yang secara konsisten berkorelasi positif dengan keberhasilan proyek DB. Berdasarkan konteks dan tujuan penelitian, beberapa temuan yang mungkin signifikan meliputi:

  1. Pengalaman Tim DB: Tim yang memiliki pengalaman luas dalam proyek DB cenderung lebih sukses. Pengalaman ini mencakup pengalaman kolaborasi antara desainer dan kontraktor, serta pemahaman tentang proses DB yang terintegrasi.

  2. Kejelasan Lingkup Proyek (Awal): Meskipun DB memungkinkan fleksibilitas desain, kejelasan yang memadai tentang tujuan dan lingkup proyek pada tahap awal sangat penting. Jika pemilik tidak dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka dengan jelas, tim DB akan kesulitan dalam menyampaikan hasil yang sesuai.

  3. Komunikasi dan Kolaborasi yang Efektif: DB sangat bergantung pada komunikasi dan kolaborasi yang lancar antar anggota tim DB dan dengan pemilik. Hambatan komunikasi dapat memicu miskomunikasi dan penundaan.

  4. Manajemen Risiko yang Proaktif: Mengidentifikasi dan mengelola risiko secara proaktif sejak awal proyek adalah kunci. Ini termasuk risiko terkait desain, konstruksi, pembebasan lahan, perubahan harga material, atau kondisi lokasi yang tidak terduga.

  5. Kualitas Dokumen Kontrak: Meskipun DB dirancang untuk kesederhanaan kontrak bagi pemilik, kejelasan dan kelengkapan dokumen kontrak antara pemilik dan tim DB, serta antara anggota tim DB sendiri, tetap krusial.

  6. Ketersediaan Sumber Daya: Ketersediaan tenaga kerja terampil, material, dan peralatan yang memadai juga menjadi faktor penentu.

Penelitian ini mungkin menemukan bahwa, misalnya, faktor "Pengalaman Tim DB" memiliki koefisien korelasi tertinggi dengan "Kepuasan Pemilik" (r = 0.75), menunjukkan hubungan yang sangat kuat. Atau, "Ketidakjelasan Lingkup Awal" menjadi faktor paling signifikan yang menyebabkan pembengkakan biaya dalam proyek DB di Sri Lanka, mempengaruhi X% proyek yang disurvei. Analisis semacam itu akan memberikan bukti empiris yang kuat tentang urgensi setiap faktor.

Analisis Mendalam: Konteks Sri Lanka dan Perbandingan Regional

Temuan penelitian ini tidak hanya relevan untuk Sri Lanka tetapi juga dapat memberikan wawasan bagi negara-negara berkembang lainnya di Asia Tenggara dan Asia Selatan yang memiliki karakteristik industri konstruksi yang serupa.

  • Keterbatasan Sumber Daya: Di banyak negara berkembang, ketersediaan tenaga kerja terampil, teknologi canggih, dan akses ke material tertentu masih menjadi tantangan. Dalam konteks ini, keberhasilan DB akan sangat bergantung pada kemampuan tim DB untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada.

  • Regulasi dan Kerangka Hukum: Efektivitas DB juga dipengaruhi oleh kerangka regulasi dan hukum yang berlaku. Apakah ada undang-undang yang mendukung fleksibilitas DB? Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa? Studi ini secara implisit akan menyentuh aspek ini.

  • Budaya Industri: Budaya industri konstruksi di Sri Lanka, seperti di banyak negara Asia, mungkin memiliki karakteristik unik yang memengaruhi adopsi dan keberhasilan DB. Misalnya, penekanan pada hubungan pribadi atau preferensi untuk pendekatan tradisional mungkin menjadi penghalang.

  • Perbandingan dengan Proyek DB di Negara Lain: Hasil penelitian ini dapat dibandingkan dengan studi serupa dari negara lain. Misalnya, jika penelitian ini menemukan bahwa masalah pembebasan lahan adalah faktor kritis, bagaimana ini dibandingkan dengan temuan dari studi di Indonesia (seperti tesis Yuristanti atau Lindawati & Wibowo) yang juga menyoroti masalah lahan/utilitas sebagai risiko eksternal? Jika studi ini menunjukkan bahwa kepuasan pemilik adalah metrik kesuksesan yang sangat penting, bagaimana ini sejalan dengan pengalaman di Jepang (seperti yang dianalisis oleh Suratkoni) di mana kolaborasi jangka panjang sangat dihargai?

Dengan membandingkan temuan dengan penelitian lain, tesis ini dapat memberikan pemahaman yang lebih kaya tentang faktor-faktor universal dan kontekstual yang memengaruhi keberhasilan DB.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi

Berdasarkan temuannya, tesis ini pasti akan menyajikan rekomendasi praktis untuk meningkatkan keberhasilan proyek DB di Sri Lanka:

  1. Investasi dalam Pengembangan Kapasitas Tim DB: Perusahaan perlu berinvestasi dalam pelatihan dan pengembangan profesional yang khusus menangani proyek DB, termasuk keterampilan kolaborasi, manajemen risiko terintegrasi, dan pemahaman mendalam tentang kedua aspek desain dan konstruksi.

  2. Penguatan Fase Perencanaan Awal: Pemilik proyek perlu menginvestasikan waktu dan sumber daya yang cukup dalam mendefinisikan lingkup proyek secara jelas dan menyeluruh pada tahap awal. Ini mungkin melibatkan studi kelayakan yang lebih mendalam, survei yang lebih akurat, dan konsultasi yang lebih luas dengan calon tim DB.

  3. Penerapan Teknologi untuk Kolaborasi: Penggunaan platform digital seperti BIM (Building Information Modeling) dan Common Data Environment (CDE) dapat memfasilitasi komunikasi dan kolaborasi yang lebih efektif antar pihak. Ini membantu dalam visualisasi desain, deteksi tabrakan, dan manajemen informasi secara real-time.

  4. Pengembangan Kerangka Kontrak yang Adaptif: Meskipun kontrak DB menawarkan fleksibilitas, perlu ada standar kontrak yang jelas yang secara adil mengalokasikan risiko dan tanggung jawab, sekaligus memungkinkan inovasi dan penyelesaian masalah yang efisien.

  5. Peningkatan Manajemen Risiko Proyek: Tim DB perlu mengembangkan strategi manajemen risiko yang komprehensif, mencakup identifikasi risiko yang sistematis, penilaian, perencanaan mitigasi, dan pemantauan berkelanjutan.

Kesimpulan: Menuju Masa Depan Konstruksi yang Lebih Berhasil

Tesis Salinda Ranga Rathugama adalah kontribusi berharga bagi literatur tentang manajemen proyek Design-Build, khususnya dalam konteks negara berkembang seperti Sri Lanka. Ini menggarisbawahi bahwa kesuksesan DB bukanlah hasil otomatis dari pemilihan metode, melainkan buah dari manajemen yang cermat, kolaborasi yang kuat, dan pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor penentu.

Dengan mengidentifikasi pilar-pilar kesuksesan dan memberikan rekomendasi praktis, penelitian ini tidak hanya membantu Sri Lanka dalam meningkatkan kinerja proyek DB-nya, tetapi juga menawarkan pelajaran penting bagi negara-negara lain yang sedang dalam perjalanan transformasi konstruksi. Masa depan industri konstruksi akan semakin bergantung pada metode pengiriman proyek yang inovatif dan efisien seperti DB. Namun, efisiensi ini hanya dapat dicapai jika semua pemangku kepentingan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip keberhasilan yang telah terbukti, mengintegrasikan desain dan konstruksi tidak hanya di atas kertas, tetapi juga dalam praktik sehari-hari, untuk membangun proyek-proyek yang tidak hanya tepat waktu dan sesuai anggaran, tetapi juga berkualitas tinggi dan memuaskan semua pihak.

Sumber Artikel:

Rathugama, S. R. (2013). A Study of the Success of Design and Build Procurement Method for Building Projects in Sri Lanka. (Master's thesis, University of Moratuwa, Sri Lanka). Diakses dari https://www.lib.mrt.ac.lk/handle/123/10850

Selengkapnya
Mengukur Kesuksesan Proyek Design-Build di Sri Lanka: Sebuah Studi Mendalam tentang Faktor-faktor Penentu

Manajemen Proyek

Mitigasi Risiko dalam Proyek Pembangunan Rumah Khusus Suku Anak Dalam Studi Lapangan dari Jambi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025


Pembangunan Inklusif di Wilayah Terpencil: Mengapa Risiko Tak Bisa Diabaikan

Pembangunan rumah khusus bagi komunitas adat seperti Suku Anak Dalam (SAD) bukanlah pekerjaan konstruksi biasa. Proyek ini menyatukan urusan teknis, sosial, budaya, bahkan spiritualitas masyarakat adat. Paper karya Novi Hazriyanti, Benny Hidayat, dan Taufika Ophiyandri dalam Rang Teknik Journal edisi Juni 2020 menyoroti tantangan unik dalam proyek semacam ini di Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Merangin dan Sarolangun pada periode 2017–2018.

Keterlambatan, biaya membengkak, konflik sosial, hingga perubahan desain mendadak hanyalah sebagian dari tantangan nyata yang ditemui. Risiko-risiko ini bukan hanya bisa memperlambat pembangunan, tapi juga menghambat tujuan mulia dari proyek: memastikan masyarakat SAD hidup layak dalam rumah yang nyaman dan sesuai budaya mereka.

Latar Belakang Proyek: Kombinasi Kepentingan Sosial dan Tantangan Geografis

Pemerintah pusat melalui Satker SNVT Penyediaan Perumahan Provinsi Jambi melaksanakan proyek pembangunan rumah bagi SAD di dua kabupaten utama. Pada tahun 2017, dibangun 50 unit rumah semi permanen di Merangin dan Sarolangun. Lalu, pada 2018, proyek diperluas dengan pembangunan 23 unit rumah permanen di Merangin serta 57 unit rumah panggung di Sarolangun.

Proyek ini melibatkan komunitas yang sangat terikat dengan tanah leluhur, budaya turun-temurun, dan gaya hidup nomaden. Kondisi tersebut menciptakan tantangan besar baik dari sisi perencanaan desain, pemilihan lokasi, penyediaan material, hingga interaksi dengan masyarakat.

Metodologi Penelitian: Kombinasi Kualitatif dan Matriks Risiko

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif menggunakan wawancara dan kuesioner. Sebanyak 40 responden terlibat, terdiri dari pemilik proyek (mayoritas), kontraktor, dan konsultan supervisi. Data dianalisis menggunakan pendekatan matriks risiko AS/NZS 4360, yang menilai tingkat risiko berdasarkan kemungkinan terjadinya (likelihood) dan dampaknya (severity).

Setiap risiko kemudian dikategorikan ke dalam tingkat risiko rendah, sedang, tinggi, hingga ekstrem. Validitas data juga diuji, dengan dua variabel risiko akhirnya dikeluarkan karena tidak lolos uji statistik.

Identifikasi Risiko: 84 Variabel Risiko, 3 Tahapan Proyek

Penelitian ini berhasil mengidentifikasi 84 variabel risiko yang diklasifikasikan ke dalam tiga fase utama:

Tahap Perencanaan

Sebanyak 13 risiko ditemukan, termasuk keterlambatan perizinan, korupsi dan kolusi, kesalahan dalam estimasi biaya, perubahan jadwal pelaksanaan yang tidak terprediksi, hingga kegagalan dalam memahami kondisi sosial masyarakat SAD.

Tahap Pelaksanaan

Fase ini paling kompleks, dengan 61 risiko yang mencakup perubahan kebijakan, kondisi cuaca ekstrem, lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan, kekurangan tenaga kerja, pencurian material oleh warga lokal, ketidaksesuaian spesifikasi peralatan, dan bahkan sabotase di lapangan.

Tahap Pasca Konstruksi

Sebanyak 10 risiko muncul setelah pembangunan, seperti rumah tidak dihuni, kualitas bangunan tidak sesuai harapan, penerima bantuan ganda, serta kegagalan fungsi bangunan akibat kurangnya perawatan rutin.

Risiko Dominan: Faktor Sosial dan Teknis yang Paling Berpengaruh

Dari seluruh temuan, terdapat sepuluh risiko utama yang dinilai paling mempengaruhi keberhasilan proyek. Risiko pertama yang paling sering terjadi adalah change order, yaitu perubahan desain atau lingkup kerja setelah kontrak ditandatangani. Penyebabnya antara lain kesalahan desain awal, kondisi lapangan yang berbeda dari dokumen, serta spesifikasi material yang tidak tersedia di daerah terpencil.

Risiko kedua adalah kepercayaan masyarakat SAD terhadap tanah leluhur, yang membuat pembebasan lahan menjadi rumit. SAD tidak terbiasa dengan sistem kepemilikan formal, sehingga proses perizinan seperti IMB (Izin Mendirikan Bangunan) juga mengalami hambatan.

Risiko ketiga adalah perubahan jadwal pelaksanaan proyek. Penyesuaian desain, cuaca ekstrem, dan kesulitan mobilisasi alat berat menyebabkan banyak kegiatan mundur dari rencana awal.

Selain itu, beberapa faktor teknis seperti akses lokasi yang sulit, cuaca hujan yang memperparah kondisi jalan, serta gangguan dari warga sekitar (misalnya pencurian material karena ketidaktahuan nilai benda tersebut) juga masuk dalam daftar risiko tertinggi.

Wawancara dengan lima responden kunci mengungkap detail yang lebih dalam. Misalnya, desain rumah yang awalnya menggunakan atap andulin terpaksa diganti dengan atap multiroof berlapis pasir. Alasan pergantian bukan teknis, melainkan kultural—SAD merasa takut dengan suara bising saat hujan yang dihasilkan oleh atap andulin.

Di sisi lain, desain tangga rumah panggung juga harus disesuaikan. Aslinya hanya memiliki satu pintu, tetapi atas permintaan masyarakat lokal, ditambahkan pintu belakang agar mereka bisa "keluar-masuk tanpa gangguan roh leluhur," sebagaimana kepercayaan adat mereka.

Kesulitan lain muncul dari segi perizinan. Salah satu responden menyebutkan bahwa proses IMB terganggu karena terjadi reshuffle pejabat di tingkat kabupaten. Dokumen yang sedang diproses harus diulang dari awal karena pejabat penandatangan berubah.

Tak kalah menantang, beberapa lokasi pembangunan berada di hutan lindung Taman Nasional Bukit Dua Belas, yang menyebabkan proses land clearing tertunda lama. Bahkan, alat berat harus diangkut secara manual melewati jalur tanah yang licin dan sempit.

Strategi Mitigasi Risiko: Integrasi Teknikal dan Sosial Budaya

Untuk menjawab kompleksitas risiko tersebut, penulis menyusun serangkaian strategi mitigasi yang terstruktur. Strategi ini dibagi ke dalam empat fase utama:

Perencanaan dan Desain

Proses ini harus diawali dengan survei lokasi mendalam. Setiap desain perlu mengakomodasi kepercayaan lokal dan kebiasaan masyarakat SAD. Penggunaan material juga harus mempertimbangkan ketersediaan lokal agar tidak menyebabkan delay akibat suplai yang sulit diakses.

Desain rumah bukan hanya soal struktur, tetapi simbol budaya. Oleh karena itu, arsitektur yang ramah budaya menjadi kebutuhan primer.

Pemberdayaan Masyarakat

Sosialisasi kepada SAD sejak awal sangat penting. Mereka perlu memahami manfaat rumah tersebut, termasuk aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan. Pemberdayaan dilakukan secara partisipatif agar mereka terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan.

Melibatkan masyarakat lokal dalam pembangunan, meski dalam peran sederhana seperti angkut material, menciptakan rasa memiliki dan mengurangi potensi gangguan sosial.

Pelaksanaan dan Konstruksi

Fase ini menuntut ketelitian ekstra. Tim pengawas harus berada di lokasi lebih lama, bahkan tinggal di sana jika perlu. Koordinasi dengan pemangku kepentingan lokal, termasuk tokoh adat dan pemerintah desa, menjadi kunci kelancaran.

Selain itu, pemesanan alat berat dan material harus dilakukan lebih awal, dengan antisipasi keterlambatan karena cuaca atau akses buruk. Komunikasi lintas tim, mulai dari kontraktor, pemilik proyek, hingga pengawas lapangan, harus berjalan intensif dan rutin.

Pemeliharaan dan Evaluasi

Tahap ini sering diabaikan, padahal sangat penting. Banyak rumah yang tidak dihuni atau rusak dini karena tidak ada anggaran untuk perawatan. Oleh karena itu, perlu dialokasikan dana khusus untuk maintenance, dan warga SAD dilatih untuk melakukan perawatan ringan.

Refleksi Kritis: Mengapa Penelitian Ini Relevan?

Penelitian ini sangat kontekstual namun sekaligus universal. Di satu sisi, ia spesifik mengulas tantangan pembangunan rumah adat di komunitas SAD. Di sisi lain, temuan ini dapat diterapkan pada proyek serupa di daerah-daerah dengan karakteristik budaya kuat, seperti Papua, Kalimantan pedalaman, atau NTT.

Salah satu kekuatan utama studi ini adalah menyatukan perspektif teknis dan sosial. Pendekatan mitigasi tidak hanya fokus pada alat berat atau dokumen kontrak, tapi juga pada aspek psikososial, komunikasi, dan budaya masyarakat.

Namun demikian, tantangan implementasi tetap besar. Koordinasi lintas lembaga, keterbatasan anggaran, serta birokrasi daerah sering kali menjadi batu sandungan dalam menerapkan mitigasi risiko secara konsisten.

Penutup: Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Kunci Keberhasilan

Pembangunan rumah khusus bagi masyarakat SAD bukan hanya soal “membangun atap di atas kepala.” Ia adalah proses rekonsiliasi antara modernitas dan adat, antara kebutuhan teknis dan keluhuran budaya. Penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan proyek sangat ditentukan oleh kemampuan para pelaksana untuk beradaptasi dengan nilai lokal, memperkuat komunikasi, serta mengedepankan pendekatan partisipatif.

Di era pembangunan berkelanjutan, proyek-proyek semacam ini akan semakin banyak. Oleh karena itu, hasil studi ini patut dijadikan rujukan utama dalam penyusunan kebijakan pembangunan berbasis masyarakat adat di Indonesia.

Sumber Asli Artikel:

Hazriyanti, N., Hidayat, B., & Ophiyandri, T. (2020). Manajemen Risiko Proyek Pembangunan Rumah Khusus Suku Anak Dalam (SAD) Provinsi Jambi. Rang Teknik Journal, Vol. 3 No. 2, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. ISSN 2599-2081.

 

Selengkapnya
Mitigasi Risiko dalam Proyek Pembangunan Rumah Khusus Suku Anak Dalam Studi Lapangan dari Jambi

Manajemen Proyek

Membedah Keterlambatan dan Tantangan Kebijakan Proyek Strategis Jalan Tol Serang–Panimbang: Studi Kasus Banten

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025


Jalan Tol sebagai Urat Nadi Pertumbuhan Ekonomi Baru

Di tengah ambisi Indonesia untuk menjadi negara maju, pembangunan infrastruktur menjadi kunci utama dalam membuka akses ekonomi baru, mempercepat mobilitas, dan mengurangi ketimpangan wilayah. Salah satu proyek andalan pemerintah dalam kerangka Proyek Strategis Nasional (PSN) adalah Jalan Tol Serang–Panimbang di Provinsi Banten. Jalan tol ini bukan hanya menjanjikan kemudahan transportasi, tetapi juga menjadi penghubung vital menuju Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung, destinasi unggulan pariwisata nasional.

Namun, sebagaimana ditunjukkan dalam artikel ilmiah berjudul "Implementasi Kebijakan Proyek Strategis Nasional Jalan Tol Serang – Panimbang" karya Rina Nur Utami dkk., impian besar ini masih dibayangi oleh berbagai persoalan di lapangan. Kajian ini menyoroti realitas pahit dari kebijakan yang diharapkan mampu menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi—dari target yang meleset, keterlambatan pembangunan, hingga kerentanan sosial di tingkat komunitas.

Metodologi: Pendekatan Kualitatif Berbasis Model Van Metter dan Van Horn

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan kerangka evaluasi berdasarkan model implementasi kebijakan Donald Van Metter dan Carl Van Horn. Enam variabel utama dijadikan tolok ukur dalam menilai keberhasilan implementasi:

  1. Standar dan tujuan kebijakan
  2. Sumber daya
  3. Karakteristik organisasi pelaksana
  4. Sikap pelaksana
  5. Komunikasi antarorganisasi
  6. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik

Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, studi dokumentasi, serta observasi lapangan di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, yang berada dalam radius 5 km dari Gerbang Tol Rangkasbitung—ujung dari seksi 1 Jalan Tol Serang–Panimbang.

Gambaran Umum Proyek: Ambisi Besar, Kenyataan Tak Mudah

Jalan Tol Serang–Panimbang memiliki panjang total 83,67 km dan dibagi menjadi tiga seksi: Seksi 1 (Serang–Rangkasbitung, 26,5 km), Seksi 2 (Rangkasbitung–Cileles, 24,17 km), dan Seksi 3 (Cileles–Panimbang, 33 km). Proyek ini dikelola oleh PT Wijaya Karya Serang Panimbang, sebuah konsorsium dari tiga BUMN: PT Wijaya Karya (WIKA), PT Pembangunan Perumahan (PP), dan PT Jababeka Infrastruktur.

Meski telah ditetapkan sebagai PSN dengan berbagai kemudahan kebijakan, kenyataannya pembangunan tol ini masih menghadapi keterlambatan signifikan. Dari target integrasi penuh pada tahun 2023, kini mundur ke 2025. Hingga saat ini, hanya Seksi 1 yang telah beroperasi, sedangkan dua seksi lainnya masih dalam tahap konstruksi dan pengadaan pembiayaan.

Studi Kasus: Ketimpangan Target Lalu Lintas dan Dampaknya terhadap Konsesi

Salah satu indikator keterlambatan dan kegagalan pencapaian target adalah realisasi lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang jauh di bawah proyeksi awal. Berdasarkan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT), target LHR untuk tahun 2022 adalah 9.340 kendaraan, namun realisasi hanya 5.590 kendaraan (59,85%). Di tahun 2023, target 10.274 kendaraan hanya tercapai 5.770 kendaraan (56,16%).

Rendahnya trafik ini berdampak pada perpanjangan masa konsesi PT WIKA Serang Panimbang, dari 40 tahun menjadi 50 tahun. Ini menandakan bahwa asumsi awal proyek, khususnya dalam proyeksi pengguna dan pendapatan, belum mencerminkan realitas di lapangan.

Masalah Klasik: Legalitas Lahan dan Pendanaan

Salah satu kendala terbesar yang dihadapi proyek ini adalah pembebasan lahan. Meskipun masyarakat menerima harga ganti rugi yang ditawarkan, banyak dari mereka tidak memiliki dokumen legal atas tanahnya. Hal ini memperlambat proses pembebasan karena perlu intervensi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk penerbitan sertifikat baru.

Di sisi lain, pendanaan proyek juga menghadapi hambatan. Pemerintah telah memberikan Viability Gap Fund (VGF) untuk mendukung pembangunan seksi 1 dan 2. Namun, pendanaan untuk seksi 3 mengandalkan pinjaman luar negeri dari Tiongkok yang ternyata hanya mampu membiayai sebagian proyek. Akibatnya, penyelesaian seksi 3 yang vital bagi akses ke KEK Tanjung Lesung tertunda.

Infrastruktur Minim, Dampak Sosial Terbatas

Jalan tol yang telah beroperasi baru memiliki satu Tempat Istirahat dan Pelayanan (TIP) di arah Rangkasbitung, dengan fasilitas yang minim: hanya ada warung kecil, toilet, musala, dan tambal ban. SPBU belum tersedia, kios masih kosong, dan jumlah pengunjung sangat rendah. Hal ini memperkuat kesan bahwa proyek ini belum memberikan dampak ekonomi yang nyata bagi masyarakat sekitar.

Masyarakat yang sebelumnya berharap pada peningkatan pendapatan, terutama pedagang makanan dan minuman, justru menyatakan bahwa peningkatan pelanggan hanya terjadi saat akhir pekan atau libur panjang. Artinya, manfaat ekonomi jalan tol belum menyentuh kehidupan sehari-hari mereka secara signifikan.

Realitas Sosial: Antara Dukungan dan Kekhawatiran

Observasi lapangan menunjukkan bahwa secara umum masyarakat mendukung keberadaan jalan tol. Mereka mengapresiasi kemudahan akses ke Jakarta, Merak, dan daerah lain karena terhubung dengan jaringan Tol Trans Jawa. Bahkan muncul minat dari investor untuk membuka usaha di Rangkasbitung, yang menunjukkan sinyal positif dari sektor properti dan UMKM.

Namun, ada kekhawatiran lain. Harga lahan di sekitar Kecamatan Cibadak melonjak dari di bawah Rp2 juta menjadi Rp3 juta per meter persegi, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya urbanisasi liar dan spekulasi tanah. Di sisi lain, tarif tol yang tergolong mahal membuat masyarakat lebih memilih menggunakan KRL commuter line dari Rangkasbitung ke Jakarta. Biaya perjalanan tol mencapai Rp40 ribu per sekali jalan lebih tinggi dari tarif kereta api yang hanya sekitar Rp8.000–Rp10.000.

Kritik terhadap Implementasi: Apa yang Bisa Diperbaiki?

Meski struktur organisasi dan pelaksana proyek telah ditetapkan secara rapi, kenyataannya belum semua berjalan lancar. Pemerintah daerah Provinsi Banten sebenarnya telah aktif melakukan monitoring dan evaluasi, terutama terkait pembebasan lahan dan progress konstruksi. Namun, kendala di level teknis dan administratif tetap menjadi tantangan berat.

Beberapa kelemahan utama yang teridentifikasi antara lain:

  • Ketergantungan pada pembiayaan eksternal tanpa rencana kontingensi lokal
  • Kelemahan dalam memproyeksikan LHR secara realistis
  • Minimnya pelatihan bagi pelaksana kebijakan mengenai dokumen teknis dan mitigasi risiko
  • Fasilitas pendukung seperti TIP dan penerangan jalan yang belum memenuhi standar

Pelajaran untuk Proyek Strategis Nasional Lainnya

Dari studi kasus Serang–Panimbang ini, setidaknya ada tiga pelajaran penting yang bisa diambil untuk perencanaan dan pelaksanaan proyek strategis nasional lainnya:

  1. Validasi Data Awal Sangat Penting
    Perkiraan lalu lintas dan proyeksi dampak ekonomi harus berdasarkan studi lapangan yang lebih mendalam. Jangan hanya bergantung pada asumsi makro tanpa mempertimbangkan dinamika lokal.
  2. Integrasi Antar-Seksi Harus Direncanakan Sejak Awal
    Ketika hanya satu seksi beroperasi tanpa keterhubungan penuh, manfaat ekonomi sulit terwujud. Strategi pendanaan dan penyelesaian lahan harus disiapkan secara paralel untuk seluruh seksi.
  3. Kebijakan Tarif Harus Menimbang Kemampuan Ekonomi Lokal
    Jalan tol tidak hanya diperuntukkan bagi kendaraan barang, tapi juga masyarakat lokal. Tarif yang terlalu tinggi akan membuat pengguna beralih ke moda transportasi lain dan mengurangi manfaat jangka panjang proyek.

Kesimpulan: Infrastruktur Tidak Cukup, Perlu Kebijakan yang Adaptif

Kehadiran Jalan Tol Serang–Panimbang memang menjanjikan peningkatan konektivitas dan integrasi kawasan ekonomi baru. Namun, seperti yang disorot dalam penelitian ini, kebijakan saja tidak cukup. Harus ada penyesuaian strategi di tengah pelaksanaan agar proyek tidak hanya selesai secara fisik, tetapi juga berdampak nyata secara sosial dan ekonomi.

Implementasi kebijakan PSN harus lebih adaptif terhadap kondisi lapangan, tidak sekadar mengikuti kerangka kerja birokratis. Dengan perencanaan yang lebih responsif, komunikasi yang aktif antar pemangku kepentingan, dan strategi pembiayaan yang fleksibel, proyek jalan tol semacam ini bisa menjadi katalisator pembangunan wilayah, bukan sekadar monumen infrastruktur.

Sumber Asli Artikel

Utami, R. N., Wicaksana, H. H., Bratakusumah, D. S., & Hidayat, Y. R. (2024). Implementasi Kebijakan Proyek Strategis Nasional Jalan Tol Serang - Panimbang. Transparansi: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, Vol. 7, No. 1, Juni 2024, hlm. 64–73. ISSN 2622–0253.

 

Selengkapnya
Membedah Keterlambatan dan Tantangan Kebijakan Proyek Strategis Jalan Tol Serang–Panimbang: Studi Kasus Banten

Manajemen Proyek

Strategi Efektif Mengelola Risiko Proyek Konstruksi Perumahan: Studi Kasus PT ABC dengan Metode House of Risk

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025


Mengapa Manajemen Risiko Jadi Penentu Kesuksesan Proyek Konstruksi?

Dalam industri konstruksi, setiap proyek memiliki risiko yang tidak bisa dihindari. Mulai dari keterlambatan pengiriman material, perubahan desain di tengah pengerjaan, hingga ketidaksesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan di lapangan. Risiko-risiko ini, jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi menyebabkan pembengkakan biaya, keterlambatan waktu, bahkan kerugian finansial yang signifikan.

Artikel berjudul “Analisis Risiko Pada Proyek Konstruksi Perumahan Dengan Metode House of Risk (HOR)” oleh Siti Aisyah Maharani dkk., memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana risiko proyek perumahan dapat diidentifikasi, dianalisis, dan dimitigasi secara sistematis menggunakan pendekatan House of Risk (HOR). Penelitian ini mengambil studi kasus pada proyek PT ABC, perusahaan pengembang sekaligus kontraktor di wilayah Jakarta dan Depok.

Proyek Perumahan PT ABC: Masalah Klasik dalam Skala Modern

PT ABC kerap menghadapi sejumlah masalah dalam proyek konstruksinya, termasuk:

  • Biaya proyek yang melebihi RAB (Rencana Anggaran Biaya)
  • Keterlambatan pengiriman material
  • Perubahan desain selama pembangunan
  • Cuaca buruk yang mengganggu kegiatan konstruksi
  • Kesalahan estimasi biaya awal
  • Peralatan yang rusak atau tidak memadai

Masalah-masalah ini mengindikasikan lemahnya manajemen risiko di proyek-proyek sebelumnya. Oleh karena itu, dilakukan analisis mendalam menggunakan pendekatan HOR untuk mengidentifikasi sumber risiko utama dan menyusun strategi mitigasi yang konkret.

Metodologi: Menerapkan House of Risk (HOR) dalam Dua Tahap

Penelitian ini menggunakan metode House of Risk yang terbagi menjadi dua fase:

HOR Fase 1

Menentukan prioritas sumber risiko (risk agent) berdasarkan nilai ARP (Aggregate Risk Potential), yaitu gabungan antara frekuensi terjadinya risiko dan dampaknya terhadap proyek.

HOR Fase 2

Menentukan aksi mitigasi berdasarkan efektivitas dan kemudahan pelaksanaan, dihitung menggunakan skor ETD (Effectiveness to Difficulty Ratio).

Sampel dalam penelitian ini adalah enam responden dari total 52 orang dalam struktur proyek, dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Data diolah menggunakan Excel dan SPSS untuk validasi dan analisis lebih lanjut.

Identifikasi Risiko: Dari Sumber Hingga Kejadian

Penelitian mengidentifikasi 25 kejadian risiko (risk event) dan 25 sumber risiko (risk agent), yang mencakup berbagai aspek:

  • SDM: Pemogokan kerja, kecelakaan, tenaga kerja tidak kompeten
  • Material: Keterlambatan pengiriman, kerusakan saat pemasangan, volume tidak sesuai
  • Peralatan: Keterlambatan, kerusakan, perawatan kurang
  • Desain: Perubahan desain mendadak, kesalahan perhitungan
  • Manajemen: Kurangnya koordinasi dan pengawasan
  • Finansial: Kesalahan estimasi, cash flow tidak lancar
  • Force Majeure: Cuaca ekstrem, bencana alam

Hasil observasi menunjukkan bahwa risiko seringkali tumpang tindih dan saling mempengaruhi, sehingga analisis multi-dimensi diperlukan untuk menangani akar permasalahannya secara komprehensif.

Analisis Risiko HOR Fase 1: Menemukan Sumber Risiko Tertinggi

Berdasarkan analisis HOR Fase 1, diperoleh tujuh sumber risiko dengan nilai ARP tertinggi, yaitu:

  1. Penambahan desain di tengah konstruksi – ARP: 656
  2. Perubahan desain mendadak – ARP: 576
  3. Keterlambatan pengiriman material – ARP: 528
  4. Keterlambatan pengiriman alat dari supplier – ARP: 450
  5. Kesalahan estimasi biaya – ARP: 372
  6. Kurangnya koordinasi antar pihak – ARP: 345
  7. Kurangnya pengawasan di lapangan – ARP: 344

Hasil ini diperkuat dengan prinsip Pareto (80/20), di mana sekitar 80% kejadian risiko berasal dari 20% sumber risiko utama. Temuan ini menjadi dasar dalam perumusan strategi mitigasi yang terfokus dan efisien.

Studi Kasus: Dampak Perubahan Desain di Tengah Konstruksi

Perubahan desain menjadi salah satu risiko paling krusial dalam proyek PT ABC. Dalam salah satu proyek perumahan, klien mengajukan permintaan perubahan layout dapur dan posisi kamar mandi setelah pekerjaan struktur selesai 70%. Perubahan ini berdampak pada:

  • Keterlambatan 3 minggu karena harus menunggu revisi gambar kerja
  • Tambahan biaya Rp 150 juta untuk bongkar pasang dan pekerjaan ulang
  • Disrupti jadwal supplier material yang sudah terlanjur dijadwalkan sesuai gambar awal

Risiko ini sebenarnya bisa diminimalisasi jika terdapat prosedur baku untuk menangani permintaan perubahan desain dari klien sejak awal.

HOR Fase 2: Strategi Aksi Mitigasi yang Direkomendasikan

Dari tujuh risk agent prioritas di atas, peneliti merancang delapan strategi mitigasi dengan memperhitungkan efektivitas dan kemudahan implementasi. Strategi tersebut meliputi:

  1. Meningkatkan efektivitas komunikasi antar pihak proyek
    → Mendapat skor ETD tertinggi: 7359,75
    → Strategi ini dianggap paling penting untuk mengurangi miskomunikasi dan kesalahan di lapangan.
  2. Pengawasan terhadap penjadwalan proyek
    → Menyasar risiko keterlambatan alat/material.
  3. Sistem pengawasan dan sanksi bagi pelaksana proyek
    → Untuk mendorong disiplin kerja dan mengurangi risiko human error.
  4. Prosedur pengawasan dan sanksi yang tertulis dan terstruktur
    → Menyediakan guideline bagi pengawas dan pekerja.
  5. Checklist pelaksanaan proyek yang komprehensif
    → Menjamin kualitas dan urutan pengerjaan tidak terlewat.
  6. SOP pembuatan dan perubahan desain
    → Untuk menghindari perubahan desain mendadak tanpa justifikasi teknis.
  7. Jadwal pemesanan material dan peralatan yang lebih adaptif
    → Meminimalisasi keterlambatan dari supplier.
  8. Estimasi biaya yang adaptif dan realistis
    → Untuk menghindari kesalahan perencanaan anggaran.

Setiap strategi ini dirancang tidak hanya untuk mengatasi risiko saat ini, tetapi juga memperkuat sistem manajemen risiko perusahaan secara jangka panjang.

Nilai Tambah Penelitian: Praktis dan Relevan untuk Industri

Penelitian ini memberikan kontribusi besar, terutama bagi perusahaan pengembang dan kontraktor yang ingin menerapkan manajemen risiko yang sistematis. Nilai plus dari penelitian ini antara lain:

  • Menggunakan data nyata dari proyek yang sedang berjalan
  • Memadukan pendekatan teoritis dengan observasi lapangan
  • Memberikan output yang actionable dan implementatif

Metode House of Risk, yang sebelumnya lebih banyak digunakan di industri manufaktur dan logistik, terbukti sangat relevan jika diterapkan pada proyek konstruksi.

Komparasi dengan Penelitian Sebelumnya

Pendekatan HOR dalam proyek konstruksi juga telah digunakan dalam:

  • Proyek pembangunan jalan tol Gempol–Pasuruan (Kurniasri Dewi, 2020)
  • Proyek utilitas PDAM di Jakarta (Safrudin & Hasibuan, 2020)
  • Proyek pembangkit listrik mini hidro di Blitar (Saraswati & Negoro, 2014)

Namun, keunikan dari penelitian ini adalah fokusnya pada proyek perumahan dengan skala yang lebih kecil namun frekuensi tinggi. Risiko di proyek perumahan cenderung lebih banyak muncul dari sisi koordinasi dan perubahan desain dibandingkan proyek besar seperti infrastruktur jalan atau energi.

Rekomendasi untuk Industri Konstruksi

Dari temuan dalam artikel ini, ada beberapa poin yang bisa menjadi pedoman industri konstruksi:

  1. Bangun budaya komunikasi proaktif
    Komunikasi lintas tim harus dijadwalkan rutin dan terdokumentasi dengan baik.
  2. Siapkan standar operasional perubahan desain sejak awal proyek
    Semua pihak harus memahami batasan perubahan dan prosedurnya.
  3. Gunakan pendekatan data-driven dalam merencanakan proyek
    Hindari estimasi yang hanya berdasarkan pengalaman subjektif.
  4. Manfaatkan digitalisasi dan software project management
    Banyak risiko seperti keterlambatan dan miskomunikasi bisa dikurangi dengan teknologi yang tepat.

Kesimpulan: Mitigasi Risiko = Menjamin Keberhasilan Proyek

Risiko adalah bagian tak terpisahkan dari proyek konstruksi. Yang membedakan proyek sukses dan gagal adalah kemampuan manajemen dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menanggapi risiko secara cepat dan tepat. Penelitian oleh Siti Aisyah Maharani dkk. ini menunjukkan bahwa pendekatan sistematik seperti House of Risk bukan hanya membantu memetakan risiko, tetapi juga merancang aksi nyata yang relevan, efektif, dan bisa langsung diterapkan di lapangan.

Dengan mengintegrasikan HOR ke dalam sistem kerja proyek, perusahaan seperti PT ABC dapat memperkecil kemungkinan kerugian, mempercepat waktu penyelesaian, dan meningkatkan kepercayaan klien. Bagi industri konstruksi di Indonesia, pendekatan seperti ini patut dipertimbangkan sebagai standar operasional baru.

Sumber Asli Artikel

Siti Aisyah Maharani, Santika Sari, Muhamad As’adi, Annisa Putriana Saputro. (2022). Analisis Risiko Pada Proyek Konstruksi Perumahan Dengan Metode House of Risk (HOR) (Studi Kasus: Proyek Konstruksi Perumahan PT ABC). Journal of Integrated System, Vol. 5 No. 1, Juni 2022: hlm. 16–26. ISSN: 2714-6349.

 

Selengkapnya
Strategi Efektif Mengelola Risiko Proyek Konstruksi Perumahan: Studi Kasus PT ABC dengan Metode House of Risk

Manajemen Proyek

Meningkatkan Produktivitas Proyek Konstruksi: Peran Vital Manajemen Material dalam Proyek Gedung Bertingkat

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025


Pendahuluan: Tantangan Efisiensi dalam Dunia Konstruksi

Dalam industri konstruksi, efisiensi adalah kunci. Salah satu aspek paling kritis dalam menjaga efisiensi tersebut adalah pengelolaan material. Penelitian yang dilakukan oleh Putri Azzahra dan Rida Respati pada proyek-proyek konstruksi bertingkat di Kota Palangka Raya membongkar peran manajemen material sebagai penentu utama dalam produktivitas tenaga kerja.

Material menyumbang sekitar 50-60% dari total biaya proyek konstruksi. Dengan angka sebesar ini, kesalahan dalam perencanaan, pengadaan, hingga penyimpanan dapat menyebabkan efek domino berupa keterlambatan, pemborosan, hingga penurunan mutu. Oleh karena itu, pertanyaan penting yang diajukan oleh studi ini adalah: "Apa saja faktor dalam manajemen material yang secara signifikan memengaruhi produktivitas kerja?"

Metodologi: Kombinasi Kuantitatif dan Kualitatif

Studi ini menggabungkan pendekatan kuantitatif (melalui penyebaran kuesioner kepada 25 responden berpengalaman di proyek konstruksi) dan pendekatan kualitatif (melalui wawancara dan brainstorming). Responden berasal dari berbagai posisi strategis seperti project manager, site engineer, dan quality control.

Analisis dilakukan menggunakan regresi linear berganda dengan bantuan software SPSS 23.0 untuk menguji pengaruh tujuh variabel bebas terhadap satu variabel terikat, yaitu produktivitas kerja proyek.

Temuan Kunci: Apa yang Meningkatkan dan Menurunkan Produktivitas?

Hasil analisis statistik menghasilkan model regresi berikut:

Y = (3,684) + 0,019X1 + 0,047X2 – 0,041X3 + 0,006X4 – 0,010X5 – 0,001X6 + 0,026X7

Dengan penjabaran:

  • Perencanaan & Penjadwalan Pengadaan Material

  • Organisasi & Personil Proyek

  • Pembelian Material Sesuai Perencanaan

  • Pengiriman Material Sesuai Spesifikasi & Jadwal

  • Penyimpanan & Gudang

  • Penggunaan Material Sesuai Karakteristik

  • Pengendalian & Pengawasan
     

Variabel Positif dan Signifikan:

  • Organisasi dan Personil Proyek mencatat pengaruh paling besar (koefisien 0,047). Ini menunjukkan bahwa keberhasilan tim proyek secara langsung meningkatkan produktivitas.

  • Perencanaan Pengadaan Material dan Pengendalian Proyek juga signifikan secara statistik dan meningkatkan produktivitas.

Variabel Negatif:

  • Anehnya, pembelian material sesuai perencanaan justru berdampak negatif. Hal ini bisa diinterpretasikan sebagai efek dari perencanaan yang terlalu kaku tanpa fleksibilitas di lapangan.

  • Penyimpanan material dan penggunaan sesuai karakteristik juga menunjukkan pengaruh negatif, yang bisa disebabkan oleh sistem gudang yang tidak efisien atau ketidaksesuaian antara karakteristik material dan kondisi proyek.

Studi Kasus: Proyek di Palangka Raya

Lokasi penelitian difokuskan pada proyek Gedung Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah serta beberapa SD negeri di Palangka Raya. Proyek-proyek ini menjadi cerminan realistis bagaimana variasi manajemen material berdampak langsung terhadap progres harian dan output tenaga kerja.

Dampak Praktis:

  • Ketepatan waktu pengadaan terbukti sangat membantu kelancaran proyek.

  • Koordinasi tim proyek yang solid menghasilkan sinergi yang mempercepat penyelesaian pekerjaan.

  • Kendala gudang dan logistik menjadi sumber utama ketidakefisienan yang harus diatasi.

Kritik dan Komparasi: Perspektif Lebih Luas

Kritik:

Beberapa variabel penting seperti "pengiriman material" dan "penggunaan sesuai karakteristik" ternyata tidak signifikan. Ini bisa jadi karena dalam praktiknya, pengiriman sudah menjadi standar operasional rutin, sementara pemilihan material sangat ditentukan oleh kebijakan teknis, bukan preferensi lapangan.

Komparasi Penelitian:

Penelitian serupa oleh Suhardiyani et al. (2011) di Denpasar juga menunjukkan pentingnya integrasi antara sistem informasi logistik dan pengendalian stok dalam manajemen proyek. Sementara studi oleh Jusoh & Kasim (2016) menekankan perlunya pelatihan tim logistik agar pemahaman mereka menyeluruh, tidak hanya administratif.

Implikasi untuk Industri Konstruksi Nasional

  1. Pentingnya pelatihan SDM proyek khususnya dalam logistik material.

  2. Perlu sistem informasi manajemen material terintegrasi sejak tahap desain hingga pelaksanaan.

  3. Fleksibilitas dalam pengadaan material harus dikombinasikan dengan strategi just-in-time yang tepat.

  4. Evaluasi berkelanjutan terhadap sistem pergudangan wajib dilakukan tiap fase proyek.

Kesimpulan

Penelitian ini memperkuat pemahaman bahwa produktivitas dalam konstruksi bukan semata urusan tukang di lapangan, melainkan hasil dari manajemen logistik yang presisi dan koordinasi lintas fungsi yang rapi. Dengan kata lain, efisiensi dimulai dari rapat koordinasi hingga ke lantai kerja.

Temuan ini sangat relevan diterapkan tidak hanya pada proyek pemerintah, tetapi juga di sektor swasta yang kini makin fokus pada efisiensi biaya dan waktu.

Sumber Jurnal:
Putri Azzahra & Rida Respati. (2024). Analisa Pengaruh Manajemen Material Terhadap Produktivitas Kerja pada Proyek Konstruksi Gedung Bertingkat di Kota Palangka Raya. Media Ilmiah Teknik Sipil, Vol. 12, No. 2. Hal. 159-166.
DOI: https://doi.org/10.31294/mits.v12i2.7323

Selengkapnya
Meningkatkan Produktivitas Proyek Konstruksi: Peran Vital Manajemen Material dalam Proyek Gedung Bertingkat
page 1 of 3 Next Last »