Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Marioe Tri pada 04 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Di tengah berbagai tantangan global seperti perubahan iklim, pandemi, dan kemiskinan yang terus-menerus, peran insinyur menjadi lebih penting dari sebelumnya. Namun, buku ini berargumen bahwa pendekatan tradisional dalam dunia rekayasa tidak lagi memadai. Setengah dari populasi dunia masih hidup dengan kurang dari $5.50 per hari. Ketimpangan ini diperparah oleh pandemi COVID-19, yang berpotensi mendorong hingga setengah miliar orang kembali ke jurang kemiskinan dan menyebabkan 6.000 kematian anak tambahan setiap hari dari penyebab yang dapat dicegah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan bukan hanya masalah teknis, melainkan masalah struktural yang mendalam. Selama 30 tahun terakhir, meskipun ada kemajuan global dalam kesehatan dan kekayaan, keberhasilan ini sebagian besar terkonsentrasi di Asia Selatan dan Timur, didorong oleh pertumbuhan di India dan Cina, sementara jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem di Afrika sub-Sahara justru meningkat. Hal ini diperparah oleh fakta mengejutkan bahwa arus keluar keuangan dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya, yang disebabkan oleh pembayaran utang, laba perusahaan, dan penghindaran pajak, jauh melebihi bantuan yang diterima.
Insinyur di masa lalu dididik untuk menjadi pemecah masalah yang berorientasi pada solusi teknis. Namun, mereka sering kali tidak memiliki bekal pengetahuan dalam bidang ekonomi, kebijakan, dan tata kelola yang diperlukan untuk mengatasi kesenjangan struktural ini. Akibatnya, produk atau proyek teknis, sekuat apa pun desainnya, sering kali gagal membuat dampak yang berarti dalam sistem yang cacat. Oleh karena itu, sebuah kerangka kebijakan baru diperlukan untuk membekali para insinyur dengan perspektif yang lebih luas, menjadikan mereka aktivis dan advokat yang dapat mengatasi ketidaksetaraan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Sejak pasca-Perang Dunia II, keterlibatan insinyur dalam pembangunan global telah beralih dari proyek infrastruktur berskala besar yang didorong dari atas (
top-down) ke pendekatan skala kecil berbasis komunitas dengan "teknologi yang sesuai" (appropriate technology). Namun, pendekatan ini pun terbukti gagal secara substansial mengurangi kemiskinan selama hampir 50 tahun.
Menyajikan model Global Engineering sebagai evolusi dari pendekatan sebelumnya, yang berupaya mengatasi tantangan ini.
Dampak Positif
Peningkatan Akuntabilitas dan Efektivitas: Model-model pendanaan baru seperti pembayaran berbasis kinerja (pay-for-performance) atau development impact bonds (DIBs) menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan akuntabilitas dan skala intervensi yang efektif. Contohnya, program Bridges to Prosperity di Rwanda berhasil memobilisasi modal dan membangun jembatan penyeberangan yang menghubungkan ribuan orang. Evaluasi ekonomi dari proyek serupa di Nikaragua menunjukkan peningkatan pendapatan pasar tenaga kerja sebesar 35,8% yang dapat diatribusikan pada jembatan tersebut.
Pengambilan Keputusan Berbasis Data: Penggunaan teknologi sensor yang terhubung dengan satelit dan seluler memungkinkan pengawasan infrastruktur secara real-time. Di Rwanda, penerapan sensor pada pompa air pedesaan berhasil mengurangi interval perbaikan dari rata-rata 7 bulan menjadi hanya 26 hari, dan meningkatkan tingkat fungsionalitas dari 44% menjadi 91%. Data ini membantu para pembuat kebijakan, utilitas, dan donor untuk mengambil tindakan yang lebih cepat dan terinformasi.
Hambatan
"Tyranny of Experts": Penelitian ini mengkritik model pembangunan yang terlalu bergantung pada pendanaan dan ahli asing. Hal ini dapat memperkuat otokrasi dan menciptakan "tirani para ahli," di mana keputusan dibuat tanpa keterlibatan atau pemahaman yang memadai dari komunitas lokal.
Peluang
Inovasi Teknologi untuk Keadilan: Teknologi baru seperti penginderaan jauh (remote sensing) dan instrumentasi dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan bukti yang kuat guna memengaruhi kebijakan dan praktik.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Berdasarkan temuan dari studi ini, berikut adalah lima rekomendasi kebijakan yang dapat diadopsi untuk meningkatkan peran insinyur dalam pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Integrasi Disiplin Lintas Sektor dalam Kebijakan Pembangunan Nasional
Rekomendasi: Pemerintah perlu membentuk tim kerja antar-kementerian yang mengintegrasikan keahlian dari berbagai sektor (misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional). Tim ini harus bertugas merumuskan kebijakan pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada aspek teknis, tetapi juga mempertimbangkan dampak ekonomi, kesehatan, dan sosial.
Adopsi Teknologi Sensor dan Data Real-Time untuk Pengawasan Infrastruktur
Rekomendasi: Pemerintah harus mempromosikan dan mendukung penggunaan teknologi sensor yang terhubung dengan internet pada infrastruktur dasar seperti pompa air, jembatan, dan jaringan listrik. Data dari sensor ini harus dikumpulkan dan dianalisis secara real-time untuk memprediksi kegagalan dan mempercepat respons perbaikan.
Transisi Model Pendanaan dari Proyek ke Kinerja dan Dampak
Rekomendasi: Ubah model pendanaan pembangunan dari yang berfokus pada penyelesaian proyek menjadi model yang berfokus pada hasil dan kinerja yang terukur (outcome-based funding). Pendanaan harus dikondisikan pada pencapaian indikator-indikator dampak sosial yang telah diverifikasi.
Revisi Kurikulum Pendidikan Tinggi Teknik untuk Memasukkan Isu Pembangunan Berkelanjutan
Rekomendasi: Lembaga pendidikan tinggi, bekerja sama dengan pemerintah dan asosiasi profesional, harus merevisi kurikulum teknik agar lebih holistik. Kurikulum harus mencakup mata kuliah tentang etika rekayasa, ekonomi pembangunan, kesehatan global, dan kebijakan publik.
Mekanisme Pelaksanaan: Berikan insentif atau akreditasi khusus bagi universitas yang berhasil mengintegrasikan kurikulum lintas disiplin. Dorong mahasiswa untuk terlibat dalam praktik lapangan yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan di bawah bimbingan insinyur lokal.
Pemberdayaan Insinyur Lokal melalui Kemitraan Internasional yang Setara
Kritik dan Risiko Jika Kebijakan Tidak Diterapkan
Mengabaikan temuan ini akan memperparah masalah yang sudah ada. Jika profesi insinyur terus beroperasi secara terkotak-kotak, dengan fokus sempit pada solusi teknis, maka proyek-proyek pembangunan akan terus menjadi "tambal sulam" yang tidak efektif dalam mengatasi masalah struktural. Ketergantungan pada model pembangunan dari luar negeri tanpa pemberdayaan lokal akan berisiko menciptakan kembali "tirani ahli" yang tidak akuntabel dan tidak berkelanjutan. Akibatnya, ketidaksetaraan akan terus memburuk, infrastruktur yang dibangun tidak akan bertahan lama, dan sumber daya publik akan terbuang sia-sia.
Kesimpulan
The Global Engineers menawarkan visi baru yang krusial bagi profesi insinyur. Sudah saatnya kita bergerak melampaui paradigma lama yang hanya berorientasi pada produk dan proyek. Dengan mengadopsi kebijakan yang berani dan inovatif, pemerintah dapat memberdayakan insinyur untuk menjadi agen perubahan yang sesungguhnya. Transformasi ini akan memastikan bahwa setiap investasi infrastruktur tidak hanya menghasilkan struktur fisik, tetapi juga membangun fondasi yang kokoh untuk dunia yang lebih aman, adil, dan sejahtera bagi semua.
🔗 Sumber Paper: Thomas, E. (2020). What Is Global Engineering?. In: The Global Engineers. Sustainable Development Goals Series. Springer, Cham. Baca selengkapnya tentang kursus terkait di sini: Perencanaan Wilayah dan Kota
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 September 2025
Pembangunan yang Terhenti di Persimpangan Jalan
Industri konstruksi Afghanistan berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi, negara ini membutuhkan pembangunan masif dari infrastruktur dasar hingga fasilitas publik modern untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Di sisi lain, proyek-proyek konstruksi di Afghanistan kerap terguncang oleh tantangan besar: ketidakpastian politik, keterbatasan sumber daya manusia, dan lemahnya sistem manajemen.
Ini terjadi karena selama dua dekade terakhir, Afghanistan melakukan banyak Pembangunan, dari jalan raya yang menghubungkan kota-kota besar, jembatan penghubung desa, hingga gedung pemerintahan, rumah sakit, dan sekolah, negara ini berusaha bangkit dari keterpurukan panjang akibat perang. Namun, meski miliaran dolar telah digelontorkan baik dari pemerintah maupun lembaga donor internasional, banyak proyek yang berjalan tersendat, bahkan gagal mencapai targetnya.
Salah satu akar persoalan yang jarang dibicarakan adalah kualitas manajemen di balik proyek-proyek tersebut. Bukan hanya soal kurangnya dana atau material, melainkan keterbatasan kompetensi manajer proyek konstruksi. Penelitian berjudul “Proposed Competencies Required for Construction Project Managers in Afghanistan” yang dilakukan oleh Mohammad Najim Wahedy dan Amanullah Faqiri (2021) menegaskan bahwa di Afghanistan, keberhasilan proyek konstruksi sangat ditentukan oleh kompetensi orang-orang yang memimpin dan mengelola proyek.
Artikel ini mencoba mengurai apa yang sebenarnya dimaksud dengan kompetensi itu, mengapa ia penting dalam konteks Afghanistan, apa temuan riset terkait, dan bagaimana kompetensi tersebut bisa membentuk masa depan pembangunan di negara tersebut.
Kompleksitas Proyek dan Beban Afghanistan
Proyek konstruksi di mana pun selalu identik dengan kompleksitas. Tetapi di Afghanistan, kompleksitas itu berlipat ganda. Negara ini bukan hanya menghadapi tantangan teknis seperti keterlambatan material atau kekurangan tenaga kerja terampil, melainkan juga problem keamanan, birokrasi yang sering berubah, serta kondisi politik yang tidak stabil.
Banyak proyek jalan raya, misalnya, terpaksa dihentikan karena jalur distribusi material tidak aman. Ada pula proyek sekolah yang terhenti akibat kontraktor mundur setelah menghadapi kendala keamanan. Situasi seperti ini menuntut manajer proyek bukan hanya bisa membaca gambar teknik atau menghitung anggaran, tetapi juga mampu mengelola risiko dalam situasi penuh ketidakpastian.
Wahedy dan Faqiri menegaskan, proyek konstruksi di Afghanistan sering kali gagal bukan karena kesalahan teknis, melainkan karena lemahnya kapasitas manajemen. Proyek yang seharusnya selesai dalam dua tahun bisa molor hingga lima tahun. Anggaran yang semula dihitung 10 juta dolar melonjak menjadi 15 juta atau bahkan 20 juta dolar. Lebih parah lagi, kualitas bangunan yang dihasilkan sering tidak sesuai standar, sehingga umur infrastruktur menjadi pendek. Semua itu menunjukkan perlunya standar kompetensi yang jelas bagi manajer proyek konstruksi.
Mengapa Kompetensi Manajer Proyek Jadi Sorotan?
Banyak orang beranggapan bahwa seorang manajer proyek hanya perlu menguasai aspek teknis: tahu bagaimana membuat jadwal, membaca gambar arsitektur, atau menghitung anggaran. Namun penelitian ini memperlihatkan bahwa kompetensi jauh lebih luas daripada itu. Manajemen proyek pada dasarnya adalah seni mengubah rencana menjadi kenyataan. Namun di sektor konstruksi, proses ini tidak pernah sederhana. Ada tiga faktor utama yang membuat kompetensi manajer proyek krusial:
Bayangkan seorang manajer proyek di Kabul yang harus mengawasi pembangunan gedung pemerintah. Ia tidak hanya berurusan dengan kontraktor lokal, tetapi juga dengan insinyur asing, pemerintah kota, bahkan warga sekitar. Tanpa kemampuan komunikasi lintas budaya, negosiasi, dan kepemimpinan yang adaptif, konflik akan segera muncul. Di sinilah kompetensi memainkan peran yang menentukan. Dalam kondisi seperti itu, seorang manajer proyek bukan hanya pengawas teknis, melainkan pemimpin yang menyatukan visi dan strategi.
Tiga Pilar Kompetensi: IQ, MQ, dan EQ
Penelitian Wahedy dan Faqiri membagi kompetensi manajer proyek dalam tiga pilar utama: Intellectual Quotient (IQ), Managerial Quotient (MQ), dan Emotional Quotient (EQ).
IQ berkaitan dengan kemampuan analitis dan pengetahuan teknis. Seorang manajer proyek dituntut mampu berpikir kritis, merancang strategi, dan mengambil keputusan berdasarkan data. Dalam konteks Afghanistan, IQ diperlukan untuk membaca situasi pasar material yang sering tidak stabil. Misalnya, ketika harga semen melonjak drastis karena hambatan impor, manajer proyek harus segera mencari solusi alternatif tanpa menurunkan kualitas bangunan.
MQ atau kecerdasan manajerial lebih menekankan pada keterampilan mengatur orang dan sumber daya. Seorang manajer proyek dengan MQ tinggi mampu mengoordinasikan ratusan pekerja dengan berbagai latar belakang, memastikan setiap bagian dari proyek berjalan sesuai jadwal, dan menjaga anggaran tetap terkendali. Di Afghanistan, tantangan MQ sering terlihat ketika proyek melibatkan subkontraktor lokal yang kurang berpengalaman. Manajer proyek harus pintar membagi tugas, melakukan supervisi, dan memberikan arahan yang jelas agar hasil tetap sesuai standar.
EQ atau kecerdasan emosional, menurut penelitian, sama pentingnya dengan IQ dan MQ. EQ menentukan bagaimana seorang manajer mengendalikan emosinya sendiri sekaligus memahami emosi orang lain. Dalam proyek-proyek Afghanistan, konflik antar kontraktor, tekanan dari pemerintah lokal, hingga kekecewaan masyarakat sering kali menjadi hambatan. Seorang manajer proyek dengan EQ rendah mudah terpancing emosi, kehilangan kendali, dan akhirnya memperburuk situasi. Sebaliknya, manajer dengan EQ tinggi bisa menjadi penengah, meredakan konflik, dan menjaga semangat tim tetap tinggi meski proyek menghadapi hambatan besar.
Dengan kata lain, ketiga aspek ini saling melengkapi. IQ memberikan fondasi pengetahuan, MQ menggerakkan roda organisasi, dan EQ menjaga harmoni dalam perjalanan proyek.
Studi Kasus: Proyek yang Tertunda karena Lemahnya Kompetensi
Penelitian ini mengungkap sejumlah studi kasus yang menggambarkan bagaimana lemahnya kompetensi manajer proyek berujung pada kegagalan. Salah satu contohnya adalah pembangunan sebuah gedung pemerintahan di Kabul. Proyek yang semula direncanakan selesai dalam tiga tahun justru molor hingga lebih dari lima tahun.
Penyebabnya bukan semata-mata persoalan dana, tetapi keputusan manajer proyek yang kurang tepat. Ketika impor material tertahan di perbatasan, manajer proyek memilih menggunakan material lokal yang tidak sesuai standar. Akibatnya, konstruksi harus diulang di beberapa bagian, menambah biaya jutaan dolar. Keputusan darurat yang seharusnya menyelamatkan proyek justru memperburuk keadaan karena tidak dilandasi analisis mendalam.
Ada pula proyek pembangunan sekolah di pedesaan yang gagal total. Konflik antar subkontraktor tidak ditangani dengan baik, sehingga pekerjaan terbengkalai. Ratusan anak akhirnya harus belajar di tenda darurat. Kasus ini memperlihatkan betapa pentingnya kompetensi komunikasi, negosiasi, dan mediasi dalam tugas seorang manajer proyek.
Mengapa Afghanistan Membutuhkan Standar Kompetensi?
Di banyak negara maju, seorang manajer proyek tidak bisa begitu saja diangkat tanpa melalui proses sertifikasi. Ada standar internasional yang harus dipenuhi, seperti PMI (Project Management Institute) atau IPMA (International Project Management Association). Sertifikasi ini memastikan bahwa seorang manajer proyek benar-benar memiliki kompetensi yang dibutuhkan.
Namun di Afghanistan, mekanisme seperti itu belum berjalan optimal. Banyak manajer proyek ditunjuk berdasarkan pengalaman lapangan semata, tanpa uji kompetensi yang memadai. Akibatnya, proyek sering ditangani oleh orang-orang yang tidak siap menghadapi kompleksitas sebenarnya.
Wahedy dan Faqiri berargumen bahwa Afghanistan harus segera mengembangkan sistem sertifikasi dan pelatihan yang terstandar internasional. Dengan begitu, manajer proyek lokal tidak hanya bisa menangani proyek dalam negeri, tetapi juga bersaing di tingkat global. Langkah ini penting bukan hanya untuk kualitas proyek, tetapi juga untuk meningkatkan kredibilitas Afghanistan di mata investor dan donor internasional.
Rekomendasi Penelitian: Jalan Menuju Profesionalisme
Penelitian ini memberikan sejumlah rekomendasi konkrit. Pertama, pemerintah dan universitas perlu memperkuat pendidikan manajemen proyek dengan kurikulum yang berbasis standar global. Mata kuliah tentang komunikasi, kepemimpinan, dan resolusi konflik harus menjadi bagian utama, bukan tambahan.
Kedua, perusahaan konstruksi perlu berinvestasi dalam program pelatihan dan mentoring. Manajer proyek junior sebaiknya didampingi oleh mentor senior agar proses transfer pengetahuan berjalan. Hal ini penting mengingat banyak manajer proyek muda di Afghanistan belum memiliki pengalaman menghadapi krisis nyata di lapangan.
Ketiga, lembaga donor internasional yang membiayai proyek di Afghanistan harus ikut mendorong penerapan standar kompetensi. Mereka bisa mensyaratkan sertifikasi tertentu bagi manajer proyek, sehingga proyek yang didanai benar-benar ditangani oleh orang yang tepat.
Langkah-langkah ini, menurut penelitian, akan membantu menciptakan generasi baru manajer proyek yang lebih profesional, berdaya saing global, dan mampu memimpin pembangunan di tengah tantangan Afghanistan.
Catatan Kritis: Apa yang Belum Terjawab?
Meski penelitian ini memberikan kerangka yang jelas, ada beberapa catatan kritis. Pertama, studi ini masih terbatas pada analisis konseptual dan persepsi, belum banyak data kuantitatif yang bisa mengukur secara pasti sejauh mana kompetensi tertentu berpengaruh terhadap keberhasilan proyek.
Kedua, penelitian ini belum sepenuhnya mengakomodasi konteks lokal Afghanistan. Misalnya, bagaimana cara menyesuaikan standar internasional dengan kondisi lapangan yang penuh ketidakpastian? Bagaimana menghadapi keterbatasan dana untuk pelatihan? Pertanyaan-pertanyaan ini masih perlu kajian lanjutan.
Namun demikian, penelitian ini tetap memberi sumbangan penting sebagai pijakan awal. Ia membuka diskusi tentang pentingnya kompetensi manajer proyek, sebuah tema yang selama ini kurang mendapat perhatian di Afghanistan.
Dari Afghanistan untuk Dunia
Meskipun berfokus pada Afghanistan, temuan penelitian ini sejatinya relevan untuk banyak negara berkembang lain. Keterbatasan manajer proyek kompeten juga dialami oleh negara-negara lain di Asia, Afrika, bahkan Amerika Latin. Banyak proyek pembangunan gagal karena pemimpinnya tidak siap menghadapi kompleksitas.
Afghanistan, dengan segala tantangannya, bisa menjadi cermin global. Ia menunjukkan betapa pentingnya investasi pada sumber daya manusia, bukan hanya pada material dan dana. Tanpa manajer proyek yang kompeten, pembangunan sebesar apa pun akan mudah runtuh.
Kesimpulan: Menyusun Fondasi Masa Depan
Penelitian yang dilakukan Wahedy dan Faqiri menegaskan satu hal sederhana tetapi krusial: kompetensi manajer proyek adalah jantung dari keberhasilan pembangunan. Afghanistan tidak cukup hanya membangun gedung, jalan, atau jembatan. Negara ini harus membangun kapasitas manusia yang mampu memimpin proyek-proyek tersebut dengan standar profesional.
Jika rekomendasi penelitian ini dijalankan, dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan Afghanistan bisa memiliki generasi manajer proyek yang lebih terlatih, lebih adaptif, dan lebih siap bersaing di tingkat internasional. Hasilnya tidak hanya infrastruktur yang lebih baik, tetapi juga kepercayaan publik dan donor yang meningkat.
Dengan kata lain, kompetensi manajer proyek bukan sekadar isu teknis, melainkan fondasi bagi masa depan pembangunan Afghanistan.
Sumber Artikel:
Wahedy, M. N., & Faqiri, A. (2021). Proposed competencies required for construction project managers in Afghanistan. International Journal of Advanced Academic Studies, 3(1), 192-203.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 13 Agustus 2025
Pendahuluan
Paper ini membedah hubungan antara persepsi risiko dan perilaku keselamatan di industri konstruksi dengan pendekatan etnografis. Studi dilakukan pada proyek bernilai lebih dari £500 juta di Inggris, memeriksa bagaimana faktor psikologis, sosial, dan situasional membentuk tindakan pekerja—terutama dalam konteks risiko yang sudah dikenal namun sering diremehkan.
Kerangka analisis yang digunakan adalah psychometric paradigm, yang membantu menjelaskan bagaimana persepsi risiko dipengaruhi oleh dimensi seperti dread risk, unknown risk, manfaat pribadi, dan tingkat kontrol. Penelitian ini menawarkan pandangan kritis terhadap penyebab perilaku tidak aman, sekaligus menantang asumsi bahwa pelatihan teknis saja sudah cukup untuk meningkatkan keselamatan kerja.
Kerangka Teori
1. Dimensi Psikometrik
Psikometri persepsi risiko mengidentifikasi dua dimensi dominan:
Dread risk – risiko yang memicu rasa takut besar, sulit dikendalikan, dan berpotensi menimbulkan konsekuensi fatal.
Unknown risk – risiko yang asing atau baru, dengan tingkat ketidakpastian tinggi.
Dua dimensi ini telah terbukti berlaku lintas budaya. Namun, penulis menambahkan dua faktor yang memiliki pengaruh signifikan di konstruksi:
Manfaat pribadi (personal benefit) – semakin besar manfaat langsung, semakin tinggi toleransi terhadap risiko.
Kendali pribadi (controllability) – risiko yang dianggap dapat dikendalikan lebih mudah diterima.
2. Karakter Risiko di Konstruksi
Kebanyakan risiko di sektor konstruksi adalah:
Known – pekerja familiar dengan risiko tersebut.
Non-dread – tidak menimbulkan rasa takut mendalam.
Voluntary dan controllable – diambil secara sadar dan dianggap bisa dikendalikan.
Kombinasi ini menciptakan bias yang membuat pekerja meremehkan bahaya, bahkan saat potensi akibatnya fatal.
Metodologi
Penulis memilih etnografi sebagai pendekatan untuk mengamati langsung perilaku di lapangan. Tantangan dalam penerapannya di konstruksi meliputi:
Sifat industri yang konfrontatif.
Sulit membangun hubungan kepercayaan.
Kesulitan mereplikasi kondisi kerja.
Selama 12 bulan, peneliti menjadi moderate participant observer, mencatat 30 unsafe acts. Insiden-insiden ini kemudian dikodekan berdasarkan faktor-faktor seperti:
Tekanan waktu.
Kurangnya pelatihan.
Overconfidence.
Pencarian sensasi.
Manfaat langsung.
Pengaruh zat adiktif.
Manajemen lemah.
Hasilnya menunjukkan hampir semua kejadian dipengaruhi oleh persepsi risiko yang keliru.
Temuan Kunci
1. Semua Risiko adalah “Known” dan “Non-Dread”
Dalam 10 contoh naratif yang dianalisis secara mendalam, seluruhnya:
Sudah dikenal oleh pekerja (known).
Tidak menimbulkan rasa takut besar (non-dread).
Dilakukan secara sukarela (voluntary).
Dianggap dapat dikendalikan (controllable).
Efeknya, risiko sering dianggap sepele.
2. Kategori Faktor yang Mengubah Persepsi Risiko
Penulis membagi narasi etnografis ke dalam kategori berikut:
a. Risk Compensation
Penggunaan alat pelindung justru memicu perilaku lebih berisiko.
Contoh: Baju tahan api membuat pekerja mengambil posisi kerja yang lebih nyaman tapi lebih berbahaya, menyebabkan luka bakar.
b. Overconfidence & Trust
Kepercayaan pada keterampilan pribadi atau orang lain menurunkan kewaspadaan.
Contoh: Kapten kapal memilih jalur cepat pada malam hari, hampir bertabrakan dengan kapal tanker.
c. Thrill-Seeking
Tindakan berbahaya dilakukan demi sensasi.
Contoh: Memanjat rangka tubular daripada menggunakan tangga.
d. Inexperience
Kurangnya pengalaman membuat pekerja salah menilai bahaya.
Contoh: Banksman berdiri di belakang dump truck saat muatan diturunkan.
e. Benefit & Time Pressure
Keuntungan langsung, khususnya penghematan waktu, menjadi alasan melanggar prosedur.
Contoh: Memadatkan pekerja di area sempit untuk mempercepat pemasangan balok.
3. Analisis Psikometrik
Data yang dipetakan ke dimensi psikometrik menunjukkan:
Tidak ada risiko yang bersifat “catastrophic” secara global.
Voluntariness dan controllability yang tinggi membuat bahaya tampak lebih kecil.
Manfaat yang dirasakan hampir selalu terkait efisiensi waktu.
Kontribusi Ilmiah
Validasi Kerangka Psikometrik di Konstruksi
Menunjukkan jebakan persepsi ketika risiko dianggap known, non-dread, dan controllable.
Penggunaan Etnografi yang Efektif
Memberikan gambaran kaya tentang perilaku dan keputusan pekerja yang tidak bisa dijangkau oleh metode survei.
Penggabungan Faktor Psikologis dan Organisasional
Menjelaskan bagaimana tekanan proyek dan manfaat langsung memperkuat toleransi risiko.
Opini & Kritik Metodologi
Keterbatasan Generalisasi: Hasil penelitian terkait erat dengan konteks proyek spesifik.
Bias Observasi: Kehadiran peneliti mungkin memengaruhi perilaku subjek.
Ketiadaan Data Kuantitatif: Tidak ada ukuran numerik kontribusi faktor terhadap risiko.
Meski demikian, pendekatan naratif ini justru memperlihatkan kedalaman analisis dan kemampuan menangkap konteks yang kaya.
Implikasi Ilmiah
Pelatihan keselamatan harus mencakup aspek persepsi risiko, bukan hanya prosedur teknis.
Pengaturan target proyek harus mempertimbangkan dampaknya terhadap perilaku pekerja.
Pendekatan lintas budaya dapat diadopsi, karena pola bias persepsi ini berlaku umum.
Kesimpulan
Penelitian ini mengungkap bahwa bahaya terbesar bukan pada risiko yang asing, melainkan risiko yang sudah dikenal namun diremehkan. Ketika rasa percaya diri, manfaat langsung, dan tekanan waktu berpadu, prosedur keselamatan sering dikorbankan.
Pendekatan yang lebih efektif adalah membentuk pola pikir baru, memastikan bahwa risiko “biasa” dipandang dengan keseriusan yang sama seperti risiko “luar biasa”. Hal ini berpotensi membangun budaya keselamatan yang lebih matang, berkelanjutan, dan adaptif di industri konstruksi
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025
Musim penghujan merupakan bagian tak terhindarkan dari siklus iklim Indonesia. Namun dalam dunia konstruksi, fenomena ini tidak hanya menjadi tantangan cuaca, tetapi juga dapat menjadi penyebab gangguan serius terhadap durasi, biaya, bahkan kualitas proyek. Dalam konteks ini, penelitian Rahmadian Ade mencoba mengurai kompleksitas risiko yang dihadapi proyek pembangunan gedung di Yogyakarta saat musim hujan dan menyajikan pendekatan mitigasi yang aplikatif serta relevan bagi kontraktor dan konsultan pengawas.
Risiko Konstruksi di Tengah Hujan: Sebuah Tantangan Nyata
Sebagaimana dijelaskan dalam studi ini, proyek konstruksi di Indonesiayang mayoritas dilakukan di ruang terbuka sangat rentan terhadap gangguan akibat curah hujan. Dengan iklim Yogyakarta yang memiliki bulan basah selama 5–6 bulan per tahun, intensitas curah hujan mencapai 1500–2000 mm, dan waktu pengerjaan proyek selama 8–10 bulan, maka hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar proyek di kota ini akan bersinggungan langsung dengan cuaca ekstrem tersebut.
Genangan air di lubang galian dan area kerja. Kenaikan muka air tanah yang menyulitkan pengerjaan fondasi. Penurunan produktivitas tenaga kerja akibat hujan atau sakit. Keterlambatan pengiriman material. Kerusakan alat berat dan material yang belum terpakai. Ketidaksesuaian kualitas pekerjaan akibat curah hujan tinggi saat proses pengecoran atau pengeringan. Hal ini menimbulkan efek domino terhadap anggaran dan jadwal, dua aspek vital dalam kesuksesan sebuah proyek.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei dan wawancara terhadap 30 responden dari kalangan kontraktor dan konsultan pengawas yang pernah terlibat dalam proyek pembangunan gedung di wilayah DIY antara 2022–2023. Selain itu, penulis mengembangkan 13 variabel risiko teknis utama berdasarkan studi literatur dan validasi lapangan.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode Severity Index untuk mengukur probabilitas dan dampak risiko berdasarkan persepsi responden. Hasil SI tersebut kemudian dipetakan ke dalam Probability Impact Matrix untuk menentukan tingkat keparahan risiko (low, medium, atau high).
Hasil Penelitian: Risiko yang Paling Mencolok
Dari hasil analisis, ditemukan bahwa risiko yang paling dominan (kategori high) adalah penurunan produktivitas tenaga kerja, dengan dampak yang signifikan terhadap keterlambatan jadwal proyek antara 7–30 hari. Hujan yang terus menerus membuat pekerja tidak bisa melakukan aktivitas di lapangan atau bekerja dalam kondisi tidak optimal.
Risiko-risiko lain yang dikategorikan sebagai risiko sedang (medium) meliputi:
Terganggunya ketersediaan material akibat pengiriman yang tertunda. Kenaikan harga material akibat gangguan pasokan. Kerusakan alat berat seperti tower crane dan genset. Tenaga kerja yang jatuh sakit akibat kondisi kerja basah. Kecelakaan kerja akibat kondisi licin atau penglihatan yang terbatas. Kekurangan tenaga kerja karena ketidakhadiran. Timbulnya kemacetan di sekitar lokasi proyek. Genangan air di lubang galian fondasi dan basement. Kenaikan muka air tanah. Kualitas pekerjaan yang tidak sesuai akibat pengecoran saat hujan. Terkendalanya pekerjaan leveling akibat genangan. Dengan dominasi risiko-risiko teknis tersebut, peneliti menegaskan bahwa proyek yang dilakukan pada musim hujan di wilayah tropis seperti Yogyakarta harus memiliki strategi manajemen risiko yang matang.
Strategi Mitigasi Risiko: Bukan Hanya Prediksi, Tapi Solusi
Setelah memetakan risiko, penelitian ini memberikan respons strategis untuk mengurangi dampak risiko. Beberapa pendekatan yang disarankan meliputi:
Menghindari Risiko (Avoidance): Menjadwalkan ulang pekerjaan fondasi dan pengecoran ke bulan yang lebih kering jika memungkinkan. Mengurangi Risiko (Reduction): Melakukan pelindungan area kerja dengan terpal atau kanopi, meningkatkan sistem drainase di area proyek untuk mencegah genangan. Memindahkan Risiko (Transfer): Menyertakan klausul risiko cuaca dalam kontrak kerja, sehingga kerugian akibat penundaan dapat dibagi dengan pihak ketiga seperti asuransi atau subkontraktor. Menerima Risiko (Acceptance): Jika hujan ringan tidak bisa dihindari, perlu dilakukan penyesuaian jam kerja atau metode kerja untuk tetap menjaga produktivitas. Risk Sharing: Bekerja sama dengan pemasok lokal untuk memastikan fleksibilitas pengiriman material dalam situasi darurat. Dalam wawancara dengan beberapa kontraktor, terungkap bahwa penggunaan sistem kerja shift dan intensifikasi kegiatan internal saat hujan adalah praktik mitigasi umum. Beberapa juga menyarankan penggunaan rapid setting concrete untuk proses pengecoran saat cuaca tidak menentu.
Kontribusi Penelitian: Praktis dan Relevan
Keunggulan utama dari studi ini adalah kombinasi antara pendekatan teoretis yang komprehensif dan relevansi praktis terhadap kebutuhan lapangan. Pendekatan Severity Index yang digunakan memberikan pengukuran yang akurat berdasarkan pengalaman langsung pelaku proyek. Di sisi lain, respons risiko yang diberikan bukan sekadar teori, tapi berdasarkan wawancara dengan para pelaku konstruksi yang sudah berhadapan langsung dengan tantangan cuaca ekstrem.
Selain itu, penelitian ini juga membandingkan temuannya dengan studi sebelumnya, seperti penelitian oleh Labomang (2011), Dewi (2012), dan Handoko (2015). Dibandingkan dengan studi-studi tersebut yang fokus pada risiko secara umum atau aspek kontraktual, tesis ini unggul dalam mengelaborasi dampak musiman dengan pendekatan studi kasus konkret dan lokasi spesifik.
Implikasi Bagi Industri Konstruksi dan Pemerintah
Dari sisi praktis, temuan studi ini sangat relevan bagi: Kontraktor: Dapat digunakan sebagai panduan dalam menyusun strategi pelaksanaan proyek terutama dalam merencanakan pekerjaan kritis pada musim penghujan. Konsultan pengawas: Menjadi dasar dalam menetapkan metode kerja dan kontrol kualitas selama musim hujan. Pemerintah daerah: Dapat dijadikan acuan dalam menetapkan kebijakan penjadwalan pembangunan gedung pemerintah agar tidak menabrak bulan-bulan dengan curah hujan tinggi. Penelitian ini juga membuka ruang diskusi tentang pentingnya perencanaan berbasis iklim (climate-based planning) dalam proyek-proyek pembangunan nasional. Mengingat tren perubahan iklim yang semakin ekstrem, manajemen risiko cuaca seharusnya menjadi bagian integral dari kontrak dan perencanaan konstruksi.
Kritik dan Saran Pengembangan Penelitian
Meskipun sangat bermanfaat, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Peneliti tidak membahas secara mendalam tentang estimasi kerugian biaya yang ditimbulkan akibat risiko-risiko tersebut. Estimasi biaya tambahan akibat keterlambatan dan perbaikan kualitas akan memperkaya hasil kajian. Selain itu, pembahasan belum menyentuh potensi pemanfaatan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) atau sistem peringatan cuaca sebagai alat bantu mitigasi.
Ke depan, penelitian lanjutan dapat memperluas skala geografis, melibatkan kota-kota lain di Indonesia dengan kondisi iklim berbeda, atau menambahkan pendekatan pemodelan dinamis untuk memprediksi dampak hujan secara real-time pada jadwal proyek.
Kesimpulan
Tesis ini menyajikan kontribusi penting dalam bidang manajemen risiko konstruksi, khususnya dalam konteks iklim tropis basah seperti Yogyakarta. Melalui pendekatan empiris yang kuat dan pemetaan risiko yang terstruktur, penelitian ini menegaskan bahwa pengaruh musim penghujan terhadap proyek konstruksi bukanlah hal sepele, melainkan faktor kritis yang harus diantisipasi secara sistematis. Dengan manajemen risiko yang tepat, proyek tidak hanya bisa menyelesaikan target waktu dan biaya, tetapi juga mempertahankan kualitas di tengah tantangan cuaca yang tak terelakkan.
Sumber asli artikel: Rahmadian Ade. (2022). Analisis Risiko Pengaruh Musim Penghujan Terhadap Penyelesaian Proyek Konstruksi (Studi Kasus Proyek Bangunan Gedung di Yogyakarta). Program Magister Teknik Sipil, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025
Pembangunan proyek infrastruktur, khususnya rumah sakit, adalah tugas kompleks yang penuh risiko. Artikel berjudul “Langkah Mitigasi Risiko Keterlambatan Pekerjaan dengan Pendekatan Metode House of Risk (HOR) pada Proyek Pembangunan Rumah Sakit” oleh Kyrra Sandra Sarkisian dkk., menawarkan pendekatan sistematis dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko keterlambatan proyek konstruksi menggunakan metode House of Risk (HOR). Resensi ini akan membahas secara menyeluruh isi paper tersebut dengan penekanan pada studi kasus, angka-angka yang signifikan, dan relevansi praktisnya di industri konstruksi Indonesia.
Tantangan dalam Proyek Rumah Sakit: Kompleksitas dan Kebutuhan Khusus
Penelitian ini mengambil studi kasus pembangunan rumah sakit tujuh lantai di Sidoarjo yang menjadi bagian dari fasilitas penunjang tambahan sebuah rumah sakit eksisting. Rumah sakit, berbeda dengan bangunan komersial lain seperti ruko atau apartemen, memiliki regulasi dan standar infrastruktur khusus, seperti sistem sanitasi, sterilisasi, dan sirkulasi udara yang kompleks. Ini menjadikan proyek rumah sakit jauh lebih menantang.
Dalam proyek ini, keterlambatan mulai terlihat dari minggu ke-7 sampai minggu ke-10. Rinciannya:
Minggu ke-7: deviasi keterlambatan 0,369%
Minggu ke-8: 1,876%
Minggu ke-9: 2,940%
Minggu ke-10: 1,440%
Keterlambatan ini terjadi pada fase pekerjaan pondasi tiang pancang, yang diperparah oleh akses lokasi yang terbatas dan kondisi site yang tidak mendukung.
Pendekatan HOR: Sistematik dan Berbasis Data
House of Risk (HOR) adalah metode yang dikembangkan oleh Pujawan dan Geraldin (2009), dengan dua fase utama:
Fase 1: Identifikasi risiko dan prioritas pemicu keterlambatan
Fase 2: Formulasi langkah mitigasi terhadap pemicu yang diprioritaskan
HOR menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif menggunakan data observasi, kuesioner, wawancara dengan staf ahli di lapangan, dan teknik evaluasi seperti Pareto Analysis dan perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP).
Hasil Identifikasi Risiko (Fase 1)
Penelitian menemukan 7 risk agent (pemicu risiko) utama:
Lamanya proses fabrikasi material
Terlambatnya pengiriman material akibat perubahan spesifikasi tiang pancang
Perubahan desain pondasi dan titik pondasi
Perubahan kedalaman tiang pancang
Perubahan lokasi water tank
Lokasi proyek yang sulit diakses
Kerusakan alat berat
Melalui analisis Pareto, tiga faktor teratas dengan kontribusi signifikan terhadap keterlambatan diprioritaskan:
Kerusakan alat berat
Lokasi site yang sulit
Perubahan kedalaman tiang pancang
Misalnya, faktor "kerusakan alat berat" menyumbang 47,09% potensi keterlambatan (ADPj = 172 dari total 81). Ini menunjukkan betapa krusialnya manajemen peralatan berat di lapangan.
Strategi Mitigasi Efektif (Fase 2)
Setelah mengidentifikasi prioritas risiko, peneliti menyusun lima langkah mitigasi yang kemudian dievaluasi berdasarkan efektivitas dan tingkat kesulitannya:
PA4: Melakukan penjadwalan ulang (reschedule)
Strategi ini menjadi yang paling efektif karena mampu menyesuaikan dengan perubahan kondisi lapangan dan fleksibel terhadap dinamika proyek. Memiliki nilai efektivitas tertinggi (TEk = 375) dan rasio efektivitas terhadap kesulitan (ETDk) sebesar 375.
PA3: Pembagian zona kerja (scope)
Membagi pekerjaan menjadi beberapa zona mengurangi ketergantungan antar aktivitas dan mempercepat eksekusi bagian yang tidak terdampak. Nilai efektivitasnya cukup tinggi (TEk = 375) dengan ETDk = 168.75.
PA2: Penyesuaian jadwal mobilisasi dan fabrikasi material
Langkah ini mengatur ulang proses logistik proyek untuk menghindari bottleneck akibat keterlambatan material. TEk = 225 dengan ETDk = 112.5.
PA1: Pemeriksaan berkala alat berat
Pemeliharaan rutin menjadi langkah pencegahan sederhana namun penting untuk menghindari kerusakan alat berat. ETDk = 125 meskipun skor efektivitasnya (TEk = 375) sama dengan PA4 dan PA3, tetapi karena tingkat kesulitannya lebih tinggi, rankingnya lebih rendah.
PA5: Survei awal desain tanah
Langkah ini berguna untuk meminimalkan perubahan mendadak terkait desain pondasi. Namun ETDk-nya hanya 66, menjadi opsi mitigasi dengan ranking terendah karena tantangan pelaksanaan awal yang tinggi.
Relevansi Strategi HOR dalam Industri Konstruksi
Metode HOR memberikan cara yang terstruktur dan berbasis data untuk mengelola risiko konstruksi. Hal ini menjadi sangat relevan di Indonesia yang memiliki dinamika proyek kompleks dan kerap menghadapi kendala administratif, geografis, serta logistik. Dalam studi kasus ini, penggabungan data primer (wawancara) dan sekunder (kurva S, laporan deviasi) memperkaya analisis dan menjadikan rekomendasi lebih praktis dan implementatif.
Strategi seperti rescheduling dan scope splitting bukan hanya relevan dalam pembangunan rumah sakit, tetapi juga di proyek-proyek besar lainnya seperti pembangunan gedung pemerintah, pusat perbelanjaan, bahkan proyek infrastruktur seperti jalan tol dan jembatan.
Meski paper ini sangat aplikatif, terdapat beberapa kekurangan:
Jumlah responden terbatas (hanya dua staf proyek), padahal validitas data bisa lebih kuat dengan melibatkan lebih banyak pihak seperti vendor material, konsultan perencana, atau manajemen rumah sakit.
Evaluasi efektivitas mitigasi lebih banyak mengandalkan persepsi responden daripada data historis proyek sejenis, yang bisa menjadi peluang pengembangan penelitian lebih lanjut.
Penelitian lanjutan dapat memperluas metode HOR dengan tambahan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) untuk memperkirakan keterlambatan secara lebih presisi.
Penelitian oleh Sarkisian dkk. menjadi kontribusi nyata dalam mengatasi permasalahan klasik dunia konstruksi: keterlambatan proyek. Metode House of Risk terbukti mampu mengidentifikasi dan mengatasi penyebab keterlambatan secara sistematis, dengan hasil konkret yang bisa dijadikan pedoman teknis oleh manajer proyek dan pelaksana lapangan.
Langkah mitigasi seperti penjadwalan ulang, pemecahan zona kerja, hingga pengawasan alat berat bukan hanya mengurangi risiko tetapi juga meningkatkan efisiensi proyek. Dengan mengadopsi pendekatan seperti ini secara luas, proyek konstruksi di Indonesia dapat menjadi lebih tepat waktu, efisien, dan sesuai mutu yang direncanakan.
Sumber asli artikel (dalam bahasa Indonesia):
Sarkisian, Kyrra Sandra; Gede Sarya; Masca Indra Triana. "Langkah Mitigasi Risiko Keterlambatan Pekerjaan dengan Pendekatan Metode House of Risk (HOR) pada Proyek Pembangunan Rumah Sakit." PORTAL: Jurnal Teknik Sipil, Volume 16, Edisi Khusus, Januari 2023.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Anisa pada 21 Mei 2025
Industri konstruksi adalah motor penggerak perekonomian banyak negara, termasuk Sri Lanka. Dengan pertumbuhan pesat dan kebutuhan infrastruktur yang terus meningkat, memilih metode pengadaan proyek yang tepat menjadi sangat krusial. Di tengah lanskap ini, metode Design-Build (DB) telah muncul sebagai alternatif yang semakin populer dari model tradisional Design-Bid-Build (DBB). Namun, seberapa efektifkah DB dalam mencapai kesuksesan proyek di konteks Sri Lanka? Tesis Master oleh Salinda Ranga Rathugama dari University of Moratuwa, Sri Lanka, pada tahun 2013, menawarkan eksplorasi komprehensif tentang faktor-faktor penentu keberhasilan metode Design-Build untuk proyek-proyek bangunan di negara tersebut. Studi ini tidak hanya mengidentifikasi metrik kesuksesan, tetapi juga menggali tantangan dan peluang, memberikan wawasan berharga bagi pemangku kepentingan di industri konstruksi global.
Mengapa Memilih Design-Build? Memahami Keunggulan Metode DB
Metode Design-Build (DB) adalah strategi pengadaan proyek di mana satu entitas tunggal, biasanya kontraktor dengan kemampuan desain internal atau bermitra dengan konsultan desain, bertanggung jawab penuh atas layanan desain dan konstruksi proyek. Ini berbeda dengan pendekatan tradisional Design-Bid-Build (DBB) yang memisahkan kontrak desain dan konstruksi. Keunggulan DB yang sering disebut-sebut meliputi:
Titik Tanggung Jawab Tunggal: Pemilik proyek hanya perlu berkoordinasi dengan satu pihak, menyederhanakan komunikasi dan mengurangi risiko sengketa antara desainer dan kontraktor.
Efisiensi Waktu: Proses yang terintegrasi memungkinkan tumpang tindih antara fase desain dan konstruksi (sering disebut fast-tracking), mempercepat jadwal proyek.
Potensi Penghematan Biaya: Kolaborasi dini antara desainer dan kontraktor dapat mengidentifikasi solusi yang lebih ekonomis dan efisien selama fase desain.
Inovasi: Tim DB memiliki fleksibilitas lebih besar untuk berinovasi dalam desain dan metode konstruksi karena mereka bertanggung jawab atas keseluruhan hasil.
Pengurangan Klaim: Dengan satu titik tanggung jawab, potensi klaim yang muncul dari koordinasi yang buruk antara desainer dan kontraktor dapat diminimalkan.
Mengingat manfaat teoritis ini, tidak mengherankan jika banyak negara, termasuk Sri Lanka, mulai mengadopsi DB untuk proyek-proyek mereka. Namun, kesuksesan tidak datang begitu saja. Implementasi DB yang efektif memerlukan pemahaman mendalam tentang faktor-faktor yang mendorong atau menghambat keberhasilannya.
Mendefinisikan Kesuksesan Proyek: Lebih dari Sekadar Biaya dan Waktu
Sebelum menilai keberhasilan DB, penelitian ini terlebih dahulu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan "kesuksesan proyek." Secara tradisional, kesuksesan sering diukur hanya dari segi biaya (sesuai anggaran) dan waktu (tepat waktu). Namun, penelitian modern mengakui bahwa kesuksesan proyek jauh lebih luas, mencakup dimensi seperti:
Kualitas: Apakah proyek memenuhi standar kualitas yang ditetapkan dan harapan pemilik?
Kepuasan Pemangku Kepentingan: Apakah pemilik, pengguna akhir, dan pihak lain yang terlibat merasa puas dengan hasil proyek?
Kinerja Proyek: Apakah tujuan fungsional dan operasional proyek tercapai?
Manajemen Risiko: Apakah risiko diidentifikasi, dikelola, dan dimitigasi secara efektif?
Manajemen Komunikasi: Apakah komunikasi antar pihak berjalan lancar dan efektif?
Kesehatan dan Keselamatan: Apakah proyek dilaksanakan dengan standar keselamatan yang tinggi?
Dengan mengadopsi definisi kesuksesan yang lebih holistik ini, penelitian dapat memberikan gambaran yang lebih akurat tentang efektivitas metode DB.
Metodologi Penelitian: Menggali Persepsi Profesional Konstruksi
Tesis ini mengadopsi pendekatan kuantitatif, menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama pengumpulan data. Target responden adalah para profesional konstruksi berpengalaman di Sri Lanka yang terlibat dalam proyek-proyek Design-Build. Responden ini kemungkinan besar mencakup manajer proyek, insinyur, arsitek, dan kontraktor dari berbagai perusahaan. Data yang terkumpul dianalisis secara statistik untuk mengidentifikasi korelasi antara berbagai faktor dan tingkat keberhasilan proyek DB. Metode ini memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dianggap paling signifikan oleh para praktisi di lapangan.
Penelitian semacam ini seringkali melibatkan langkah-langkah berikut:
Identifikasi Faktor-faktor Potensial: Berdasarkan studi literatur dan wawancara awal, peneliti mengidentifikasi daftar panjang faktor-faktor yang mungkin memengaruhi keberhasilan proyek DB (misalnya, pengalaman tim, kejelasan lingkup, manajemen risiko, dll.).
Desain Kuesioner: Kuesioner disusun dengan skala Likert untuk mengukur tingkat kepentingan atau dampak dari masing-masing faktor.
Pengumpulan Data: Kuesioner disebarkan kepada sampel profesional yang relevan.
Analisis Statistik: Data dianalisis menggunakan teknik statistik deskriptif dan inferensial (misalnya, analisis regresi, analisis faktor, atau uji korelasi) untuk menentukan hubungan antara faktor-faktor dan kesuksesan proyek.
Temuan Kunci: Pilar-pilar Kesuksesan DB di Sri Lanka
Meskipun abstrak tidak menyediakan angka spesifik, penelitian serupa seringkali menemukan beberapa faktor kunci yang secara konsisten berkorelasi positif dengan keberhasilan proyek DB. Berdasarkan konteks dan tujuan penelitian, beberapa temuan yang mungkin signifikan meliputi:
Pengalaman Tim DB: Tim yang memiliki pengalaman luas dalam proyek DB cenderung lebih sukses. Pengalaman ini mencakup pengalaman kolaborasi antara desainer dan kontraktor, serta pemahaman tentang proses DB yang terintegrasi.
Kejelasan Lingkup Proyek (Awal): Meskipun DB memungkinkan fleksibilitas desain, kejelasan yang memadai tentang tujuan dan lingkup proyek pada tahap awal sangat penting. Jika pemilik tidak dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka dengan jelas, tim DB akan kesulitan dalam menyampaikan hasil yang sesuai.
Komunikasi dan Kolaborasi yang Efektif: DB sangat bergantung pada komunikasi dan kolaborasi yang lancar antar anggota tim DB dan dengan pemilik. Hambatan komunikasi dapat memicu miskomunikasi dan penundaan.
Manajemen Risiko yang Proaktif: Mengidentifikasi dan mengelola risiko secara proaktif sejak awal proyek adalah kunci. Ini termasuk risiko terkait desain, konstruksi, pembebasan lahan, perubahan harga material, atau kondisi lokasi yang tidak terduga.
Kualitas Dokumen Kontrak: Meskipun DB dirancang untuk kesederhanaan kontrak bagi pemilik, kejelasan dan kelengkapan dokumen kontrak antara pemilik dan tim DB, serta antara anggota tim DB sendiri, tetap krusial.
Ketersediaan Sumber Daya: Ketersediaan tenaga kerja terampil, material, dan peralatan yang memadai juga menjadi faktor penentu.
Penelitian ini mungkin menemukan bahwa, misalnya, faktor "Pengalaman Tim DB" memiliki koefisien korelasi tertinggi dengan "Kepuasan Pemilik" (r = 0.75), menunjukkan hubungan yang sangat kuat. Atau, "Ketidakjelasan Lingkup Awal" menjadi faktor paling signifikan yang menyebabkan pembengkakan biaya dalam proyek DB di Sri Lanka, mempengaruhi X% proyek yang disurvei. Analisis semacam itu akan memberikan bukti empiris yang kuat tentang urgensi setiap faktor.
Analisis Mendalam: Konteks Sri Lanka dan Perbandingan Regional
Temuan penelitian ini tidak hanya relevan untuk Sri Lanka tetapi juga dapat memberikan wawasan bagi negara-negara berkembang lainnya di Asia Tenggara dan Asia Selatan yang memiliki karakteristik industri konstruksi yang serupa.
Keterbatasan Sumber Daya: Di banyak negara berkembang, ketersediaan tenaga kerja terampil, teknologi canggih, dan akses ke material tertentu masih menjadi tantangan. Dalam konteks ini, keberhasilan DB akan sangat bergantung pada kemampuan tim DB untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada.
Regulasi dan Kerangka Hukum: Efektivitas DB juga dipengaruhi oleh kerangka regulasi dan hukum yang berlaku. Apakah ada undang-undang yang mendukung fleksibilitas DB? Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa? Studi ini secara implisit akan menyentuh aspek ini.
Budaya Industri: Budaya industri konstruksi di Sri Lanka, seperti di banyak negara Asia, mungkin memiliki karakteristik unik yang memengaruhi adopsi dan keberhasilan DB. Misalnya, penekanan pada hubungan pribadi atau preferensi untuk pendekatan tradisional mungkin menjadi penghalang.
Perbandingan dengan Proyek DB di Negara Lain: Hasil penelitian ini dapat dibandingkan dengan studi serupa dari negara lain. Misalnya, jika penelitian ini menemukan bahwa masalah pembebasan lahan adalah faktor kritis, bagaimana ini dibandingkan dengan temuan dari studi di Indonesia (seperti tesis Yuristanti atau Lindawati & Wibowo) yang juga menyoroti masalah lahan/utilitas sebagai risiko eksternal? Jika studi ini menunjukkan bahwa kepuasan pemilik adalah metrik kesuksesan yang sangat penting, bagaimana ini sejalan dengan pengalaman di Jepang (seperti yang dianalisis oleh Suratkoni) di mana kolaborasi jangka panjang sangat dihargai?
Dengan membandingkan temuan dengan penelitian lain, tesis ini dapat memberikan pemahaman yang lebih kaya tentang faktor-faktor universal dan kontekstual yang memengaruhi keberhasilan DB.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Berdasarkan temuannya, tesis ini pasti akan menyajikan rekomendasi praktis untuk meningkatkan keberhasilan proyek DB di Sri Lanka:
Investasi dalam Pengembangan Kapasitas Tim DB: Perusahaan perlu berinvestasi dalam pelatihan dan pengembangan profesional yang khusus menangani proyek DB, termasuk keterampilan kolaborasi, manajemen risiko terintegrasi, dan pemahaman mendalam tentang kedua aspek desain dan konstruksi.
Penguatan Fase Perencanaan Awal: Pemilik proyek perlu menginvestasikan waktu dan sumber daya yang cukup dalam mendefinisikan lingkup proyek secara jelas dan menyeluruh pada tahap awal. Ini mungkin melibatkan studi kelayakan yang lebih mendalam, survei yang lebih akurat, dan konsultasi yang lebih luas dengan calon tim DB.
Penerapan Teknologi untuk Kolaborasi: Penggunaan platform digital seperti BIM (Building Information Modeling) dan Common Data Environment (CDE) dapat memfasilitasi komunikasi dan kolaborasi yang lebih efektif antar pihak. Ini membantu dalam visualisasi desain, deteksi tabrakan, dan manajemen informasi secara real-time.
Pengembangan Kerangka Kontrak yang Adaptif: Meskipun kontrak DB menawarkan fleksibilitas, perlu ada standar kontrak yang jelas yang secara adil mengalokasikan risiko dan tanggung jawab, sekaligus memungkinkan inovasi dan penyelesaian masalah yang efisien.
Peningkatan Manajemen Risiko Proyek: Tim DB perlu mengembangkan strategi manajemen risiko yang komprehensif, mencakup identifikasi risiko yang sistematis, penilaian, perencanaan mitigasi, dan pemantauan berkelanjutan.
Kesimpulan: Menuju Masa Depan Konstruksi yang Lebih Berhasil
Tesis Salinda Ranga Rathugama adalah kontribusi berharga bagi literatur tentang manajemen proyek Design-Build, khususnya dalam konteks negara berkembang seperti Sri Lanka. Ini menggarisbawahi bahwa kesuksesan DB bukanlah hasil otomatis dari pemilihan metode, melainkan buah dari manajemen yang cermat, kolaborasi yang kuat, dan pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor penentu.
Dengan mengidentifikasi pilar-pilar kesuksesan dan memberikan rekomendasi praktis, penelitian ini tidak hanya membantu Sri Lanka dalam meningkatkan kinerja proyek DB-nya, tetapi juga menawarkan pelajaran penting bagi negara-negara lain yang sedang dalam perjalanan transformasi konstruksi. Masa depan industri konstruksi akan semakin bergantung pada metode pengiriman proyek yang inovatif dan efisien seperti DB. Namun, efisiensi ini hanya dapat dicapai jika semua pemangku kepentingan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip keberhasilan yang telah terbukti, mengintegrasikan desain dan konstruksi tidak hanya di atas kertas, tetapi juga dalam praktik sehari-hari, untuk membangun proyek-proyek yang tidak hanya tepat waktu dan sesuai anggaran, tetapi juga berkualitas tinggi dan memuaskan semua pihak.
Sumber Artikel:
Rathugama, S. R. (2013). A Study of the Success of Design and Build Procurement Method for Building Projects in Sri Lanka. (Master's thesis, University of Moratuwa, Sri Lanka). Diakses dari https://www.lib.mrt.ac.lk/handle/123/10850