Manajemen
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 06 November 2025
Studi Ini Mengubah Cara Saya Memandang Desain (Dan Rapat Tim)
Paper yang saya baca adalah "Inclusive intervention design for vulnerable road users" oleh M. Shaheen Sarker dan rekan-rekannya. Latar belakangnya suram: Bangladesh memiliki tingkat kematian pejalan kaki yang sangat tinggi, terutama pelajar dan pekerja yang bolak-balik menyeberang jalan raya setiap hari.
Sama seperti cerita JPO saya, masalahnya bukan karena kurangnya fasilitas. Otoritas jalan raya Bangladesh (RHD) sudah membangun zebra cross, jembatan penyeberangan, dan underpass. Masalahnya? Fasilitas itu tidak digunakan.
Ini memicu "budaya saling menyalahkan" yang kronis: para profesional, pejalan kaki, dan pengemudi saling menuding siapa yang salah atas kecelakaan yang terjadi.
Para peneliti ini bosan dengan perdebatan itu. Mereka memutuskan melakukan sesuatu yang radikal. Mereka tidak hanya bertanya, "Desain fasilitas apa yang terbaik?" Mereka bertanya, "Proses desain apa yang terbaik?"
Mereka menyiapkan sebuah "pertarungan tiga arah" di empat lokasi penyeberangan jalan raya yang nyata :
Grup 1: Desain Konvensional (Tim Insinyur). Para profesional ahli dari departemen jalan raya (RHD) diminta untuk membuat proposal desain perbaikan, persis seperti yang biasa mereka lakukan. Ini adalah pendekatan top-down standar.
Grup 2: Co-design (Tim Warga). Warga lokal—pelajar dan pekerja garmen yang menyeberang jalan itu setiap hari—dikumpulkan dalam lokakarya. Mereka diminta untuk merancang solusi mereka sendiri, difasilitasi oleh para profesional.
Grup 3: Co-design + COM-B (Tim Warga Super). Ini adalah kelompok warga lain yang juga melakukan co-design. Bedanya, mereka diberi "senjata rahasia": sebuah kerangka kerja psikologi sederhana bernama model "COM-B".
Setelah ketiga grup ini selesai, para peneliti mengambil ketiga cetak biru desain (dari Insinyur, Warga, dan Warga Super) dan memberikannya kepada dua panel penilai: (1) panel ahli keselamatan jalan independen, dan (2) panel pemangku kepentingan lokal (polisi, guru, manajer pabrik, aktivis).
Hasilnya? Jujur, ini yang bikin saya kaget setengah mati.
Apa yang Bikin Saya Terkejut: Data Telah Berbicara
Ini bukan soal "perasaan" atau "preferensi". Data yang dihasilkan dari studi ini brutal, kuantitatif, dan tidak ambigu.
Pendekatan top-down tradisional—yang dilakukan oleh para "ahli" yang digaji untuk melakukan pekerjaan ini—tidak hanya kalah.
Pendekatan itu dihancurkan.
Para Ahli Menilai Desain "Profesional" sebagai "Bencana"
Panel ahli (terdiri dari auditor keselamatan jalan bersertifikat, akademisi, dan spesialis transportasi) diminta menilai setiap desain menggunakan "Skor Keparahan Nielsen"—skala standar untuk mengevaluasi masalah kegunaan (usability).
Skornya berkisar dari 0 (tidak ada masalah) hingga 4 (bencana kegunaan).
Lihat hasil rata-rata ini dan coba jangan kaget :
Desain Konvensional (Insinyur): Rata-rata skor 3.0 (Site 1), 2.66 (Site 2), dan 3.0 (Site 4). Dalam skala Nielsen, skor "3" berarti "Masalah Kegunaan Besar" (Major usability problem).
Desain Co-design + COM-B (Warga Super): Rata-rata skor 0.66 (Site 1), 1.33 (Site 2), 1.0 (Site 3), dan 0.0 (Site 4).
Saya ulangi. Skor nol. Sempurna.
Ini adalah momen "pikiran meledak" bagi saya. Para profesional yang digaji, dengan semua manual desain dan pengalaman mereka, secara konsisten menghasilkan intervensi yang dinilai oleh ahli lain sebagai "masalah besar".
Sementara itu, para "amatir"—pelajar dan pekerja garmen—yang diberi kerangka kerja yang tepat, merancang solusi yang di salah satu lokasi dinilai sempurna secara kegunaan.
Ini menampar asumsi kita bahwa "ahli tahu yang terbaik".
"Akhirnya, Ini Aman dan Masuk Akal"
Bukan hanya ahli teknis. Peneliti juga bertanya kepada para pemangku kepentingan lokal—orang-orang yang harus hidup dengan solusi ini setiap hari. Mereka diminta menilai setiap desain berdasarkan dua hal: Keamanan (apakah ini akan mengurangi konflik?) dan Kepraktisan (apakah ini layak biaya dan bisa diterapkan?).
Skornya 1 (sangat buruk) hingga 5 (sangat baik).
Rata-rata Skor Keamanan :
Desain Insinyur: 2,88 (Site 1), 2,62 (Site 2)
Desain Warga Super (COM-B): 4,11 (Site 1), 4,0 (Site 2)
Rata-rata Skor Kepraktisan :
Desain Insinyur: 3,0 (Site 1), 2,75 (Site 2)
Desain Warga Super (COM-B): 3,75 (Site 1), 4,0 (Site 2)
Lagi-lagi, hasilnya telak. Para pemangku kepentingan merasa bahwa desain yang dibuat bersama warga secara signifikan jauh lebih aman dan lebih praktis (masuk akal) untuk diimplementasikan daripada desain yang datang dari "menara gading" para insinyur.
Poin-Poin Penting yang Saya Garis Bawahi
🚀 Hasilnya Gila: Desain yang dibuat bersama pengguna (Grup 1) tidak hanya lebih baik, tapi secara objektif dinilai nyaris sempurna (skor 0.0 di satu lokasi!) oleh para ahli.
🧠 Inovasinya: Co-design (melibatkan pengguna) mengalahkan Desain Konvensional (hanya ahli) dengan telak di setiap metrik.
💡 Pelajaran: Jangan pernah, pernah berasumsi Anda tahu apa yang dibutuhkan pengguna Anda, bahkan jika Anda seorang ahli. Proses desain Anda harus menyertakan pengguna akhir. Titik.
Tapi tunggu dulu. Ada satu lapisan lagi yang lebih dalam.
Kenapa Grup 3 (Warga Super) secara konsisten mengalahkan Grup 2 (Warga)? Bukankah keduanya sama-sama co-design?
Ah, di sinilah letak bahan rahasianya.
Bahan Rahasianya Bukan 'Co-Design', Tapi 'COM-B'
Oke, jadi kita sepakat: melibatkan warga (co-design) itu bagus. Tapi paper ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih halus. Di hampir setiap perbandingan, Grup 1 (Co-design + COM-B) dinilai lebih unggul daripada Grup 2 (Co-design saja).
Apa sebenarnya "senjata rahasia" COM-B itu?
COM-B adalah model perubahan perilaku yang dikembangkan oleh Susan Michie dan rekan-rekannya. Model ini luar biasa sederhana namun sangat kuat.
Model ini menyatakan bahwa untuk melakukan Behaviour (Perilaku) apa pun, seseorang memerlukan tiga hal yang saling berinteraksi:
Capability (Kemampuan): Apakah Anda secara fisik dan psikologis bisa melakukannya? (Misal: Apakah Anda tahu aturannya? Apakah Anda secara fisik mampu menaiki tangga JPO?)
Opportunity (Peluang): Apakah lingkungan fisik dan sosial mengizinkan Anda melakukannya? (Misal: Apakah jalannya terang? Apakah ada penegakan hukum? Apakah teman-teman Anda juga melakukannya?)
Motivation (Motivasi): Apakah Anda ingin melakukannya, baik secara sadar atau tidak sadar? (Misal: Apakah Anda takut? Apakah Anda melihat manfaatnya? Apakah itu terasa lebih cepat?)
Perbedaan krusialnya adalah ini:
Lokakarya co-design biasa (Grup 2) berisiko menjadi sesi "daftar keinginan" (wishlist). Lokakarya co-design + COM-B (Grup 1) berubah menjadi "sesi diagnostik".
Paper ini memberikan contoh yang sempurna di Site 2, sebuah lokasi dengan underpass dan jembatan penyeberangan.
Grup 2 (Co-design saja) mengidentifikasi masalah: "Hei, underpass ini gelap dan kotor."
Solusi mereka: "Perbaiki pencahayaan," "tambahkan tempat sampah," dan "perbaiki drainase." (Solusi yang bagus dan logis).
Grup 1 (Co-design + COM-B) tidak hanya melihat underpass yang gelap. Mereka mendiagnosis perilaku "Mengapa orang tidak mau menggunakan underpass?"
Capability: "Kami tahu ada underpass di sana." (Oke, C tidak masalah).
Opportunity (Fisik): "Tempatnya terlalu gelap." (Masalah di O).
Motivation (Reflektif): "Kami takut dirampok atau dilecehkan di sana. Tidak ada yang mengawasi." (AHA! Ini masalah utamanya di M!)
Perhatikan perbedaan solusinya. Karena mereka mengidentifikasi rasa takut (Motivasi) sebagai akar masalah, solusi Grup 1 jauh lebih kuat. Mereka tidak hanya menyarankan perbaikan lampu, tetapi juga :
"Memasang kamera CCTV untuk pemantauan dan keamanan."
"Menampilkan pesan persuasif/motivasi."
"Mengintegrasikan pesan keselamatan ke dalam rutinitas institusional (misal, di pabrik)."
Grup 2 mengobati gejalanya (gelap). Grup 1 menyembuhkan penyakitnya (rasa takut).
Itulah kekuatan COM-B. Ia memaksa Anda untuk berhenti berfokus pada "fitur" dan mulai mendiagnosis "perilaku manusia".
Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (di Tim Saya)
Di sinilah saya membawa pulang pelajaran dari jalanan Bangladesh ke kantor kita.
Saya bukan insinyur jalan raya. Anda mungkin juga bukan. Tapi kita semua berurusan dengan "Budaya Saling Menyalahkan" setiap hari.
Bayangkan skenario kantor ini: Tim IT meluncurkan software CRM baru yang canggih (Desain Konvensional). Dua bulan kemudian, Tim Sales menolak menggunakannya; mereka tetap memakai spreadsheet lama.
Blame Culture pun dimulai.
Tim IT (Desainer): "Tim Sales 'malas' dan 'menolak berubah'."
Tim Sales (Pengguna): "Tim IT membuat software 'rumit' dan 'tidak sesuai alur kerja kami'."
Studi ini memberikan cetak biru yang jelas untuk memecahkan masalah ini:
Jangan Lakukan Desain Konvensional: Jangan buat CRM itu di ruang hampa, lalu "melemparnya" ke tim Sales. (Anda akan mendapatkan skor kegunaan 3.0—alias "Masalah Besar").
Lakukan Co-design (Lebih Baik): Kumpulkan tim Sales dalam lokakarya untuk merancang bersama alur kerja CRM itu. (Ini akan jauh lebih baik).
Lakukan Co-design + COM-B (Terbaik): Beri tim Sales kerangka kerja COM-B saat lokakarya. Tanyakan:
Capability: "Fitur apa yang secara psikologis 'menakutkan' atau terlalu rumit? Apakah Anda butuh pelatihan khusus yang tidak Anda dapatkan?"
Opportunity: "Kapan Anda punya waktu fisik untuk memasukkan data? Apakah manajer Anda masih meminta laporan via spreadsheet (ini social opportunity yang buruk)? Apakah sistem lama masih bisa diakses?"
Motivation: "Apa untungnya buat Anda? Apakah ini hanya menambah pekerjaan? Bagaimana kita bisa membuat software ini terasa lebih cepat dan memuaskan daripada spreadsheet lama?"
Dengan mendiagnosis C, O, dan M, Anda akan menemukan akar masalah penolakan yang sebenarnya—yang mungkin tidak ada hubungannya dengan "tombol yang warnanya salah", tapi lebih ke "saya tidak punya waktu" (Opportunity) atau "ini tidak membantu saya mencapai target" (Motivation).
Tentu saja, memfasilitasi lokakarya semacam ini membutuhkan skill baru. Anda tidak bisa hanya melempar model COM-B ke orang dan berharap keajaiban terjadi. Ini membutuhkan keterampilan dalam fasilitasi, psikologi, dan manajemen perubahan.
Jika Anda seorang manajer atau pemimpin tim yang serius ingin berhenti dari "budaya saling menyalahkan" dan mulai membangun solusi yang benar-benar berhasil, Anda perlu meningkatkan perangkat Anda. Inilah mengapa platform seperti(https://diklatkerja.com) sangat penting. Mereka menawarkan kursus tentang manajemen proyek, kepemimpinan, dan soft skills yang Anda perlukan untuk beralih dari "mendesain untuk tim Anda" menjadi "mendesain dengan tim Anda".
Kritik Halus Saya (Karena Tidak Ada yang Sempurna)
Saya sangat menyukai paper ini, tapi sebagai peninjau yang baik, saya punya dua kritik halus.
Pertama, paper ini tidak membahas biaya secara eksplisit. Menjalankan lokakarya co-design yang mendalam dengan warga selama berhari-hari (seperti yang mereka lakukan ) jelas lebih mahal dan memakan waktu di muka daripada satu insinyur yang menggambar di kantornya.
Meskipun temuan ini membuktikan bahwa biayanya sepadan dalam jangka panjang (karena Anda membangun hal yang benar dan tidak perlu perbaikan mahal nantinya), paper ini tidak memberikan analisis biaya-manfaat (ROI) yang eksplisit. Padahal, angka itulah yang dibutuhkan oleh seorang pembuat kebijakan atau CFO untuk membenarkan perubahan anggaran.
Kedua, paper ini membuktikan bahwa COM-B adalah bahan rahasianya, tetapi agak abstrak tentang bagaimana model itu difasilitasi dalam lokakarya. Apakah itu presentasi 1 jam? Apakah mereka menggunakan lembar kerja? "Sihir"-nya ada di fasilitasi itu. Bagi seorang manajer seperti saya yang ingin meniru ini besok, saya membutuhkan "skrip lokakarya"-nya, bukan hanya nama modelnya.
Penutup: Desain adalah Percakapan, Bukan Perintah
Hal terbesar yang saya ambil dari studi ini bukanlah tentang jembatan penyeberangan. Ini tentang kerendahan hati.
Ini membawa kita kembali ke masalah awal: "Budaya Saling Menyalahkan".
Paper ini membuktikan secara empiris bahwa "Budaya Saling Menyalahkan" hanyalah gejala dari proses desain yang eksklusif (eksklusif = hanya dilakukan oleh ahli, top-down).
Paku terakhir di peti mati "desain top-down" datang dari wawancara kualitatif para peneliti dengan para pemangku kepentingan setelah eksperimen selesai.
Dengarkan apa yang mereka katakan :
"Melibatkan pengguna menghilangkan budaya menyalahkan karena mereka akan bersedia mengikuti desain [yang mereka buat sendiri]." — Perwakilan RHD (Otoritas Jalan Raya/Insinyur!)
Bahkan insinyurnya sendiri mengakuinya!
"Melibatkan semua pemangku kepentingan mengurangi budaya menyalahkan dengan menumbuhkan pemahaman akan keterbatasan semua orang." — Perwakilan Polisi
Solusinya bukanlah infrastruktur yang lebih baik, atau pengguna yang lebih patuh. Solusinya adalah Tanggung Jawab Bersama (Shared Responsibility).
Dan Anda hanya bisa mendapatkan tanggung jawab bersama melalui proses desain yang partisipatif dan inklusif.
Kita harus berhenti "mendesain untuk orang" dan mulai "mendesain dengan orang".
Baik itu merancang jalan raya di Bangladesh, aplikasi CRM di kantor Anda, atau bahkan aturan liburan tim Anda berikutnya—kuncinya adalah memulai percakapan.
Kalau kamu tertarik dengan ini, coba baca paper aslinya. Bahasanya teknis, tapi gagasannya benar-benar mengubah permainan.
Manajemen
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 03 November 2025
Pernahkah kamu punya atasan yang hari ini memuji pekerjaanmu di depan semua orang, tapi besok mengkritik setiap detail kecil dalam email pribadi? Atau seorang manajer yang bilang, "Keselamatan (atau kualitas) adalah nomor satu," tapi kemudian bertanya, "Kenapa proyek ini lambat sekali?"
Perasaan campur aduk itulah yang disebut oleh para peneliti sebagai Leader-Member Exchange (LMX) Ambivalence. Ini adalah "sikap campur aduk atau tidak pasti yang mungkin dimiliki karyawan terhadap atasan mereka," yang ditandai oleh "perasaan emosi positif dan negatif" secara bersamaan.1 Paper ini berargumen bahwa ambivalensi ini adalah "tanah subur" bagi masalah.1
Bayangkan kamu adalah seorang pekerja di lokasi konstruksi. Atasanmu, sang mandor, selalu menekankan pentingnya mengikuti prosedur keselamatan. Tapi di saat yang sama, dia juga sering mengeluh tentang tenggat waktu yang mepet. Pesan apa yang sebenarnya kamu terima? Apakah prioritasnya keselamatan, atau kecepatan?
Ketidakpastian ini menciptakan kebingungan. Ketika karyawan tidak yakin apa yang sebenarnya diinginkan atasan mereka, mereka mulai mengambil jalan pintas. Mereka mulai "menguji batas." Mereka mungkin tidak memakai sarung tangan untuk pekerjaan kecil, atau mengambil rute yang sedikit lebih cepat tapi lebih berbahaya. Paper ini menyebutnya sebagai "strategi koping defensif" untuk mengurangi rasa tidak aman yang disebabkan oleh sinyal yang campur aduk.1
Ini bukan sekadar masalah perasaan. Ini adalah kerusakan informasi sistemik. Ambivalensi kepemimpinan menciptakan "noise" dalam saluran komunikasi, membuat karyawan sulit menilai prioritas yang sesungguhnya. Bagi saya, ini adalah penemuan besar pertama: kejelasan seorang pemimpin bukanlah sekadar keterampilan komunikasi; itu adalah sumber daya keselamatan yang paling vital.
Memetakan Pilihan Manusia: Selamat Datang di Arena Permainan
Untuk memahami dinamika ini, para peneliti tidak hanya melakukan wawancara. Mereka melakukan sesuatu yang jauh lebih radikal: mereka mengubah seluruh lokasi konstruksi menjadi sebuah permainan.
Dua Sisi dalam Setiap Proyek: Atasan vs. Bawahan
Mereka menyederhanakan semua interaksi kompleks di lokasi proyek menjadi permainan dua pemain: "Atasan" (Superiors) dan "Bawahan" (Subordinates).1
Bawahan punya dua pilihan strategi: "mematuhi aturan" (compliance with rules) atau "tidak mematuhi aturan" (non-compliance with rules).
Atasan juga punya dua pilihan: "pengawasan ketat" (strict regulation) atau "kolusi" (collusion)—alias, pura-pura tidak lihat demi kelancaran proyek atau keuntungan pribadi.
Analogi yang langsung muncul di benak saya adalah hubungan antara tim penjualan dan tim hukum di sebuah perusahaan. Tim penjualan ("Bawahan") ingin segera menutup kesepakatan dan mungkin tergoda untuk sedikit "membengkokkan" aturan. Tim hukum ("Atasan") harus memutuskan: apakah mereka akan menerapkan setiap aturan dengan kaku, atau sedikit melonggar agar target pendapatan perusahaan tercapai? Ini adalah permainan yang terjadi di setiap organisasi, setiap hari.
Menghitung yang Tak Terhitung: Memberi Angka pada Rasa Bersalah dan Keserakahan
Di sinilah paper ini menjadi sangat menarik. Para peneliti mencoba mengukur faktor-faktor psikologis yang biasanya kita anggap "lunak" dan memberinya nilai matematis. Mereka memasukkan variabel-variabel seperti:
$P_1$ dan $P_2$: Keuntungan dari "menyuap" atau "mengambil jalan pintas". Ini adalah insentif keserakahan.1
$F$ dan $R$: Hukuman atau denda jika ketahuan. Ini adalah faktor rasa takut.1
$T_3$: "Kerusakan reputasi". Biaya sosial jika namamu tercoreng karena melanggar aturan.1
$r$: "Koefisien identitas moral". Ini adalah variabel favorit saya. Pada dasarnya, ini adalah angka untuk "rasa bersalah". Semakin tinggi nilai $r$, semakin buruk perasaanmu saat melakukan sesuatu yang salah.1
Tindakan mengubah konsep-konsep seperti "budaya perusahaan" dan "etika" menjadi variabel dalam sebuah persamaan adalah sebuah terobosan. Ini mengubah diskusi dari "kita perlu budaya yang lebih baik" menjadi "kita perlu meningkatkan variabel 'r' di tim kita." Tiba-tiba, investasi pada pelatihan etika atau membangun budaya kerja yang kuat bukan lagi sekadar inisiatif "lunak" bagian HR. Ini adalah strategi manajemen risiko yang terukur. Model ini menunjukkan secara matematis bahwa meningkatkan "identitas moral" ($r$) secara langsung mengurangi daya tarik finansial dari kecurangan.
Algoritma Alam untuk Menemukan Jalan Terbaik
Memodelkan masalah adalah satu hal. Menyelesaikannya adalah hal lain. Di sinilah para peneliti mengeluarkan senjata pamungkas mereka: algoritma genetika.
Meretas Evolusi untuk Menemukan Strategi Optimal
Jika teori permainan evolusioner menunjukkan bagaimana perilaku sebuah kelompok akan berkembang secara alami dari waktu ke waktu, algoritma genetika adalah cara untuk meretas proses itu dan melompat langsung ke hasil terbaik.
Bayangkan kamu mencoba menciptakan resep kue yang sempurna. Kamu bisa mencoba satu resep setiap hari, butuh bertahun-tahun. Atau, kamu bisa menggunakan algoritma genetika:
Inisialisasi: Kamu membuat 1.000 "populasi" resep kue mini, masing-masing dengan sedikit perbedaan bahan (ini adalah parameter-parameter seperti hukuman, imbalan, dll.).
Evaluasi: Kamu "mencicipi" semuanya dan memberi skor "kebugaran" (dalam kasus paper ini, fungsi kebugarannya adalah persamaan yang mendorong perilaku aman).
Seleksi & Reproduksi: Kamu membuang 500 resep terburuk. Resep-resep terbaik "bereproduksi"—parameter mereka digabungkan (crossover) untuk menciptakan 1.000 resep baru di generasi berikutnya.
Mutasi: Kamu menambahkan sedikit bahan acak ke beberapa resep baru untuk menjaga keragaman.
Ulangi proses ini 300 kali, dan kamu akan mendapatkan resep kue yang nyaris sempurna.1 Algoritma ini melakukan hal yang sama untuk menemukan alokasi sumber daya keselamatan yang paling efisien.
Simulasi Bertemu Realitas: Apa yang Mereka Temukan?
Para peneliti menerapkan model ini pada studi kasus nyata: proyek renovasi Yueyang Workers' Cultural Palace.1 Hasilnya sangat mencerahkan.
🚀 Ada Titik Kritis Psikologis: Ketika risiko keselamatan ($θ$) dianggap rendah, orang cenderung lamban untuk patuh. Tapi begitu persepsi risiko melewati ambang batas tertentu (sekitar 0.5 dalam simulasi), seluruh kelompok dengan cepat beralih ke strategi yang aman. Ini menunjukkan bahwa peringatan keselamatan yang samar-samar tidak efektif. Risiko harus dikomunikasikan secara nyata dan signifikan.1
🧠 Kekuatan Hati Nurani: Meningkatkan "identitas moral" ($r$) secara signifikan mempercepat adopsi perilaku aman. Faktanya, dalam beberapa skenario, membangun budaya yang kuat lebih efektif daripada sekadar menaikkan denda. Ini adalah bukti nyata bahwa budaya adalah alat manajemen risiko yang ampuh.1
💡 Pelajaran Utama: Optimalkan, Jangan Hanya Menghabiskan Uang. Algoritma genetika menemukan kombinasi parameter (hukuman, imbalan, biaya) yang lebih efisien untuk mencapai kondisi aman dibandingkan dengan pengaturan awal yang ditentukan secara manual.1 Ini berarti, mungkin saja ada cara yang lebih murah dan lebih efektif untuk mencapai keselamatan—jika kita bersedia berpikir seperti seorang systems engineer.
Penemuan ini mengubah cara kita memandang investasi keselamatan. Tujuannya bukan hanya menggelontorkan uang sebanyak-banyaknya untuk denda atau pengawasan. Tujuannya adalah menemukan "sweet spot"—alokasi sumber daya yang paling cerdas. Mungkin kombinasi denda sedang, ditambah investasi signifikan dalam membangun budaya (meningkatkan $r$), adalah jalur yang lebih cepat, lebih stabil, dan lebih murah menuju keselamatan. Ini membuka pintu bagi pendekatan yang lebih terukur terhadap pengembangan budaya dan kepemimpinan, seperti yang bisa dieksplorasi melalui program-program di(https://diklatkerja.com).
Pelajaran dari Lokasi Konstruksi untuk Ruang Rapat
Meskipun temuannya hebat, saya punya satu kritik halus. Model ini, dengan segala kehebatannya, adalah sebuah penyederhanaan. Mengabstraksikan semua orang di lokasi proyek menjadi "Atasan" dan "Bawahan" adalah langkah yang cerdas, tetapi mengabaikan jaringan hubungan antar rekan kerja, dinamika subkontraktor, dan tekanan eksternal lainnya.1 Para peneliti sendiri mengakui bahwa pengaturan parameter bisa jadi "terlalu ideal".1
Namun, bagi saya, nilai model ini bukanlah pada kemampuannya untuk memprediksi masa depan dengan sempurna. Nilainya adalah sebagai alat untuk berpikir. Ia memberi kita bahasa dan kerangka kerja baru untuk memahami kekuatan psikologis dan sosial tak kasat mata yang sesungguhnya mengatur kinerja dan keselamatan di tim kita.
Jadi, apa yang bisa kita, para profesional di luar industri konstruksi, pelajari dari semua ini?
Kejelasan adalah Sumber Daya. Ambivalensi kepemimpinan menciptakan risiko. Jadilah pemimpin yang pesannya konsisten, baik dalam perkataan maupun perbuatan.
Budaya adalah Variabel Matematis. Berinvestasi dalam etika dan membangun identitas tim yang kuat bukanlah hal yang "enak dibicarakan". Itu adalah tuas yang bisa Anda tarik untuk secara langsung mengurangi perilaku berisiko.
Temukan Titik Kritisnya. Perubahan kecil dan bertahap mungkin tidak ada gunanya. Identifikasi dan targetkan titik kritis psikologis yang dapat memicu perubahan perilaku skala besar di tim Anda.
Optimalkan, Jangan Hanya Menambah Anggaran. Gunakan pendekatan sistem untuk menemukan alokasi sumber daya yang paling efisien—baik itu waktu, uang, pelatihan, atau insentif—untuk membangun lingkungan kerja yang aman dan produktif.
Paper ini dimulai dengan tragedi kecelakaan kerja, tetapi berakhir dengan sebuah pesan harapan yang kuat. Ia menggeser pandangan kita tentang keselamatan dari sekadar pusat biaya yang berfokus pada pencegahan hasil buruk, menjadi sebuah investasi strategis dalam menciptakan dinamika manusia yang mengarah pada hasil yang luar biasa.
Kalau kamu tertarik dengan persimpangan antara teori permainan, psikologi, dan manajemen proyek ini, saya sangat menyarankanmu untuk membaca paper aslinya. Ini bacaan yang menantang, tapi akan mengubah caramu memandang tempat kerjamu selamanya.
Manajemen
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 22 Oktober 2025
Pernahkah Anda merasakan ini? Anda baru saja keluar dari sebuah sesi training seharian. Penuh semangat. Buku catatan Anda penuh dengan ide-ide cemerlang dan kutipan inspiratif. Anda merasa siap menaklukkan dunia, atau setidaknya, menaklukkan tumpukan pekerjaan di meja Anda dengan cara yang baru dan lebih baik. Tapi kemudian, seminggu berlalu. Lalu dua minggu. Perlahan tapi pasti, kebiasaan lama kembali merayap masuk. Buku catatan itu tergeletak di laci, dan energi transformatif dari ruang training itu terasa seperti kenangan yang jauh.
Ini bukan salah Anda. Ini juga bukan salah trainernya. Ini adalah sebuah paradoks yang saya sebut sebagai "jurang antara tahu dan melakukan" (knowing-doing gap), sebuah fenomena yang menghantui banyak ruang rapat dan program pengembangan di seluruh dunia. Kita tahu apa yang harus dilakukan, tapi entah kenapa, hal itu tidak terwujud dalam tindakan sehari-hari.
Baru-baru ini, saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian yang, meskipun topiknya sangat spesifik, ternyata menyimpan petunjuk untuk memecahkan teka-teki universal ini. Paper ini bukan tentang startup teknologi di Silicon Valley atau bank investasi di New York. Ini adalah studi tentang para pekerja di sebuah perusahaan rekayasa dan konstruksi besar di Selangor, Malaysia, bernama Eversendai Corporation Berhad. Para peneliti ingin tahu: apa yang benar-benar mendorong performa keselamatan kerja? Apakah pelatihan yang intensif? Atau ada faktor lain yang lebih tersembunyi?
Membaca paper ini terasa seperti mengikuti sebuah cerita detektif. Ada data, ada petunjuk, dan ada sebuah "Aha!" momen yang mengejutkan. Dan di dalamnya, saya menemukan jawaban yang bergema jauh melampaui lantai pabrik. Jawaban ini relevan bagi siapa saja yang memimpin tim, mengelola proyek, atau sekadar ingin menjadi lebih efektif dalam hidup.
Jadi, mari kita selami bersama. Jika training yang hebat saja tidak cukup untuk menjamin performa yang hebat, lalu apa kepingan puzzle yang hilang?
Babak Pertama: Fondasi yang Kokoh, Namun Bangunan yang Rawan
"Kami Dilatih dengan Sangat Baik" — Ketika Centang di Kotak Sudah Terpenuhi
Hal pertama yang ditemukan para peneliti di Eversendai Corporation Berhad adalah kabar baik. Ketika para pekerja ditanya tentang kualitas pelatihan keselamatan yang mereka terima, jawabannya sangat positif. Dari skala 5, tingkat pelatihan keselamatan secara keseluruhan dinilai "Tinggi", dengan skor rata-rata yang mengesankan, yaitu 3.73.
Ini bukan sekadar angka. Ini adalah cerminan dari sebuah organisasi yang serius dalam menjalankan tanggung jawabnya. Mari kita lihat lebih dalam:
Pernyataan "Pekerja mendapatkan pelatihan kesehatan dan keselamatan yang ekstensif dari organisasi" mendapat skor tertinggi, yaitu 3.85 dari 5.
Pernyataan "Pekerja dilatih dengan tepat untuk bereaksi terhadap krisis di tempat kerja" juga mendapat skor sangat tinggi, yaitu 3.84 dari 5.
Bayangkan Anda seorang koki yang baru bergabung di sebuah restoran bintang lima. Di hari pertama, Anda diberi buku resep paling tebal dan paling detail di dunia. Setiap teknik dijelaskan, setiap bahan diukur dengan presisi, setiap prosedur terdokumentasi dengan sempurna. Anda punya semua pengetahuan yang Anda butuhkan secara teori untuk menciptakan mahakarya. Inilah yang dilakukan Eversendai. Mereka telah berhasil mentransfer pengetahuan. Mereka telah mencentang semua kotak dalam daftar "pelatihan yang baik".
Namun, di sinilah letak nuansanya. Model ini, meskipun sangat penting dan fundamental, pada dasarnya adalah model kepatuhan dan instruksi. Ini adalah aliran informasi satu arah, dari atas ke bawah. Manajemen memberikan pengetahuan, dan karyawan diharapkan untuk menyerap dan mematuhinya. Karyawan diposisikan sebagai penerima informasi yang pasif.
Ini adalah fondasi yang kokoh, tidak diragukan lagi. Tanpa pengetahuan dasar, tidak akan ada performa. Tapi seperti yang akan kita lihat, fondasi saja tidak cukup untuk membangun gedung pencakar langit. Ada satu elemen penting yang hilang, sebuah elemen yang membuat seluruh struktur menjadi rapuh.
Babak Kedua: Domino yang Hilang di Tengah Rantai
Angka yang Membuat Saya Berhenti dan Berpikir Dalam
Di tengah semua data yang positif tentang pelatihan, ada satu set angka yang menonjol—dan membuat saya benar-benar berhenti sejenak. Ketika para peneliti mengukur Partisipasi Pekerja, hasilnya jauh berbeda. Tingkat partisipasi hanya dinilai "Sedang", dengan skor rata-rata 3.45.
Kontras ini saja sudah menarik. Perusahaan sangat pandai dalam "memberi tahu", tetapi tampaknya kurang pandai dalam "mendengarkan". Untuk memahami betapa dalamnya masalah ini, kita perlu melihat "barang bukti" yang paling memberatkan. Dari semua pertanyaan dalam survei, ada satu pernyataan yang mendapat skor paling rendah, sebuah angka yang menurut saya adalah inti dari seluruh cerita ini.
Pernyataan itu adalah: "Pekerja didesak untuk mengembangkan cara-cara baru untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan."
Skor rata-ratanya? Hanya 2.72 dari 5.
Mari kita proses angka ini. Skor 3.0 berarti "Netral". Skor 2.72 berada di bawah netral, lebih condong ke arah "Tidak Setuju". Ini bukan hanya berarti para pekerja merasa tidak didorong untuk berinovasi; ini berarti mereka secara aktif merasa bahwa mereka tidak didorong untuk menyumbangkan ide-ide mereka sendiri.
Buku resep yang tebal dan sempurna itu telah diberikan kepada mereka, tetapi tidak ada yang pernah bertanya, "Hei, sebagai orang yang setiap hari berada di dapur, apakah kamu punya ide bagaimana kita bisa membuat resep ini lebih baik, lebih efisien, atau lebih aman?"
Inilah jurang yang sebenarnya. Ini bukan sekadar masalah komunikasi. Ini adalah gejala dari budaya organisasi. Ketika karyawan tidak merasa didorong untuk memberikan masukan tentang sesuatu yang sangat fundamental dan personal seperti keselamatan diri mereka sendiri, kecil kemungkinannya mereka akan merasa diberdayakan untuk berinovasi di area lain—baik itu efisiensi operasional, kualitas produk, atau layanan pelanggan.
Budaya yang tercipta adalah budaya "kerjakan tugasmu", bukan "tingkatkan pekerjaan kita". Akibatnya? Performa keselamatan secara keseluruhan juga hanya berada di level "Sedang" dengan skor rata-rata 3.62. Performa mereka seolah-olah menabrak langit-langit tak terlihat yang diciptakan oleh kurangnya kepemilikan kolektif.
Mengapa "Mendengar" Lebih Kuat Daripada "Menginstruksikan"
Jika tabel di atas adalah petunjuknya, maka analisis korelasi dalam paper ini adalah pengakuannya. Para peneliti tidak hanya mengukur level masing-masing variabel; mereka juga mengukur seberapa kuat hubungan antara variabel-variabel tersebut. Hasilnya adalah "Aha!" momen yang sesungguhnya.
Dalam statistik, koefisien korelasi (dilambangkan dengan '$r$') mengukur kekuatan hubungan antara dua hal, dengan skala dari -1 hingga 1. Semakin dekat ke 1, semakin kuat hubungan positifnya.
Hubungan antara Pelatihan Keselamatan dan Performa Keselamatan memiliki skor korelasi '$r = 0.572$'. Ini adalah hubungan positif yang kuat.1 Artinya, pelatihan yang lebih baik memang cenderung menghasilkan performa yang lebih baik. Ini masuk akal.
Namun, hubungan antara Partisipasi Pekerja dan Performa Keselamatan memiliki skor korelasi '$r = 0.672$'. Ini adalah hubungan positif yang lebih kuat lagi.1
Pesan dari data ini sangat jelas dan tak terbantahkan: Meskipun memberi instruksi itu penting, melibatkan orang secara aktif ternyata memiliki dampak yang lebih besar pada hasil akhir. Mendengarkan lebih kuat daripada sekadar berbicara.
Paper ini menyebutkan sebuah teori klasik bernama Teori Domino Heinrich, yang menganalogikan kecelakaan kerja seperti serangkaian domino yang jatuh berurutan.1 Pelatihan yang baik adalah seperti memastikan semua domino tersusun rapi dan para pekerja tahu cara kerjanya. Tapi partisipasi? Partisipasi adalah ketika seorang pekerja melihat susunan itu dan berkata kepada rekannya, "Tunggu sebentar, saya lihat ada cara yang lebih baik untuk menyusun ini agar tidak ada yang jatuh." Partisipasi adalah intervensi manusia yang proaktif, yang mengubah rantai peristiwa dari potensi bencana menjadi kesuksesan yang terkendali.
Tanpa partisipasi, yang Anda miliki hanyalah sederet domino yang terinformasi dengan baik, menunggu untuk jatuh.
Babak Ketiga: Menerjemahkan Riset Menjadi Aksi Nyata Hari Ini
Baiklah, kita sudah membedah masalahnya. Kita tahu bahwa partisipasi adalah kunci yang hilang. Sekarang, pertanyaan terpenting: apa yang bisa kita lakukan dengan pengetahuan ini? Bagaimana kita bisa menerapkan wawasan dari sebuah pabrik di Malaysia ke dalam pekerjaan kita besok pagi?
Tiga Wawasan yang Bisa Anda Terapkan Besok Pagi
Berikut adalah tiga pelajaran praktis yang saya tarik dari studi ini, yang saya yakini relevan untuk tim mana pun, di industri apa pun.
🚀 Hasilnya Bukan Penjumlahan, Tapi Perkalian
Pelajaran terbesar dari data ini bukanlah memilih antara partisipasi atau pelatihan. Keduanya penting. Namun, hubungan keduanya bukanlah penjumlahan, melainkan perkalian. Coba pikirkan: Pelatihan Tinggi (skor 3.73) dikalikan Partisipasi Sedang (skor 3.45) menghasilkan Performa Sedang (skor 3.62). Apa yang terjadi jika partisipasi juga tinggi? Hasilnya tidak akan naik sedikit, tapi akan melompat secara eksponensial. Bagi seorang pemimpin, ini berarti aktivitas dengan daya ungkit tertinggi (highest-leverage activity) bukanlah mengadakan satu sesi training lagi, melainkan berfokus untuk menaikkan skor partisipasi. Tanyakan pada diri Anda: "Apa satu hal yang bisa saya lakukan minggu ini untuk membuat tim saya merasa lebih didengar?"
🧠 Inovasinya Adalah Pergeseran dari Monolog ke Dialog
Ingat skor 2.72 yang menyedihkan itu? Itu adalah bendera merah untuk budaya monolog. Inovasi yang paling dibutuhkan bukanlah teknologi baru atau prosedur yang lebih rumit, melainkan pergeseran budaya yang fundamental. Dari model siaran ("Ini aturannya, patuhi.") ke model jaringan ("Apa yang kita semua pelajari? Bagaimana kita bisa menjadi lebih baik bersama?"). Ini berarti menciptakan saluran formal dan informal untuk umpan balik. Ini berarti seorang manajer secara eksplisit dan konsisten bertanya: "Apa yang kamu lihat dari posisimu yang tidak saya lihat?" dan "Apa ide gilamu untuk membuat ini 10% lebih baik?" Membangun budaya dialog yang tulus ini adalah sebuah keahlian kepemimpinan yang mendalam. Ini bukan sekadar memasang kotak saran. Jika Anda ingin serius mengasah kemampuan untuk memfasilitasi tim yang partisipatif, program seperti (https://www.diklatkerja.com/course/manajemen-tim-efektif/) bisa menjadi panduan terstruktur yang sangat berharga.
💡 Pelajaran: Ciptakan Ruang, Bukan Hanya Aturan
Aturan dan prosedur menciptakan kepatuhan. Ruang yang aman (psychological safety) menciptakan keterlibatan. Bagi para manajer, pelajaran dari studi ini adalah untuk secara sadar dan aktif menciptakan ruang di mana orang merasa aman untuk menyuarakan ide, mengajukan pertanyaan bodoh, mengakui kesalahan, dan menantang status quo dengan hormat. Bagi karyawan, pelajarannya adalah memiliki keberanian untuk melangkah ke dalam ruang itu. Seringkali, manajemen tidak mendengar bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena tidak ada yang berbicara. Dan seringkali, karyawan tidak berbicara bukan karena mereka tidak punya ide, tetapi karena mereka tidak yakin apakah ide mereka akan diterima atau justru menjadi bumerang. Seseorang harus memulai lebih dulu.
Refleksi Akhir: Sebuah Kritik Halus dan Pertanyaan untuk Kita
Apa yang Tidak Diceritakan oleh Paper Ini
Sebelum kita menyimpulkan, penting untuk bersikap adil. Saya sangat mengapresiasi studi ini karena kejelasan dan kekuatan pesan utamanya. Ia memberikan konfirmasi berbasis data yang elegan untuk sesuatu yang mungkin dirasakan oleh banyak pemimpin secara intuitif.
Namun, seperti semua penelitian, studi ini memiliki keterbatasan, dan para penulisnya pun mengakuinya.1 Pertama, data ini didasarkan pada persepsi. Para pekerja melaporkan bagaimana perasaan mereka tentang pelatihan dan partisipasi. Apakah persepsi ini selalu cocok dengan kenyataan, misalnya, dengan data angka kecelakaan yang sebenarnya? Mungkin, tapi kita tidak bisa 100% yakin.
Kedua, ini adalah potret dari satu perusahaan, dalam satu industri, di satu negara. Meskipun pelajarannya terasa universal, kita harus berhati-hati untuk tidak menggeneralisasikannya secara berlebihan. Ini adalah petunjuk yang sangat kuat, bukan hukum universal.
Tapi ada satu lapisan lagi yang saya temukan ketika melihat data demografi responden, sebuah lapisan yang tidak dibahas oleh paper ini tetapi bisa memberikan konteks yang sangat kaya.
Ternyata, tenaga kerja di sana cukup unik. Sebanyak 59.0% adalah pekerja non-Malaysia, dan mayoritas besar (73.7%) baru bekerja di perusahaan itu selama 1 hingga 5 tahun.1
Sekarang, coba kita pikirkan implikasinya. Sebuah tim yang sebagian besar terdiri dari pekerja asing yang relatif baru mungkin menghadapi tantangan tersembunyi dalam hal partisipasi. Mungkin ada kendala bahasa. Mungkin ada perbedaan budaya dalam cara berkomunikasi dengan atasan (misalnya, budaya yang lebih menghormati otoritas dan enggan untuk menantang). Mungkin ada rasa tidak aman terkait pekerjaan yang membuat mereka ragu untuk "membuat masalah" dengan menyarankan perbaikan.
Jadi, "jurang partisipasi" ini mungkin bukan hanya karena manajemen gagal bertanya. Bisa jadi, ini juga merupakan hasil dari hambatan sistemik yang membuat karyawan merasa tidak aman atau tidak nyaman untuk menjawab, bahkan jika ditanya. Ini menambah nuansa yang mendalam pada analisis kita dan menjadi pengingat penting bagi siapa pun yang memimpin tim yang beragam: menciptakan ruang untuk partisipasi berarti memahami dan membongkar hambatan-hambatan yang tidak terlihat ini.
Penutup: Sekarang Giliran Anda Menggerakkan Domino Berikutnya
Jika ada satu hal yang bisa kita bawa pulang dari studi di Eversendai Corporation Berhad, itu adalah ini: Pelatihan memberi tim Anda sebuah peta. Ia menunjukkan jalan, bahaya, dan tujuan. Itu sangat penting.
Tetapi hanya partisipasi yang memungkinkan tim Anda untuk ikut menulis perjalanan itu. Partisipasi memungkinkan mereka menemukan jalan pintas yang tidak ada di peta, melihat bahaya sebelum muncul, dan bahkan mendefinisikan kembali tujuan menjadi sesuatu yang lebih besar. Potensi sejati sebuah tim tidak terbuka melalui instruksi, tetapi melalui kepemilikan.
Jadi, saya ingin meninggalkan Anda dengan sebuah pertanyaan. Lihatlah tim Anda, lingkungan kerja Anda, atau bahkan diri Anda sendiri. Inisiatif brilian apa, ide sederhana apa, atau kekhawatiran penting apa yang selama ini hanya tersimpan di kepala, menunggu sebuah undangan untuk disuarakan?
Mungkin hari ini adalah saatnya Anda yang memulai dialog itu. Mungkin Anda yang akan menggerakkan domino berikutnya.
Kalau kamu tertarik dengan detail metodologi dan data lengkapnya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.
Manajemen
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 21 Oktober 2025
Bukan Sekadar Angka, Tapi Wajah di Balik Helm Proyek
Sebelum kita masuk ke hasil yang mengejutkan, mari kita lihat dulu 'laboratorium' tempat penelitian ini berlangsung. Ini bukan simulasi komputer, melainkan proyek nyata: pembangunan tujuh gedung kuliah baru di Universitas Malikussaleh, Aceh. Skalanya besar, melibatkan total 600 pekerja yang dibagi menjadi 250 pekerja lokal dan 350 pekerja non-lokal. Ini adalah panggung yang sempurna untuk melihat dinamika kedua kelompok dalam kondisi nyata.
Para peneliti tidak hanya menghitung bata yang terpasang. Mereka juga mengumpulkan data tentang siapa para pekerja ini. Dan potret yang muncul sangat menarik. Lupakan gambaran pekerja amatir atau pemula. Bayangkan seorang pria, usianya mungkin sekitar 40 tahun (mayoritas berusia 36-45 tahun). Ia kemungkinan besar lulusan SMA (62,50%). Dan ini bukan proyek pertamanya; ia punya pengalaman segudang, terutama dalam membangun gedung (91,07%).
Ini poin yang sangat penting. Perbandingan yang dilakukan bukan antara amatir dan profesional. Ini adalah pertarungan antara dua kelompok profesional berpengalaman yang hanya dibedakan oleh asal mereka. Fakta ini membuat hasil penelitian menjadi jauh lebih kuat, karena kita bisa menyingkirkan variabel "kurang pengalaman" atau "terlalu muda". Apa pun perbedaan produktivitas yang ditemukan, itu pasti berasal dari sesuatu yang lebih dalam dan lebih menarik daripada sekadar kompetensi dasar.
Hasil yang Memutarbalikkan Logika: Siapa Unggul di Mana?
Di sinilah segalanya menjadi sangat menarik. Para peneliti mengamati tiga jenis pekerjaan kunci: memasang dinding bata, memplester dinding, dan memasang keramik lantai. Awalnya, ceritanya tampak berjalan sesuai salah satu stereotip.
Tembok dan Plesteran: Kemenangan Mengejutkan Tim Pendatang
Saat para peneliti mengamati pekerjaan mendasar—membangun struktur—hasilnya jelas. Untuk pekerjaan memasang dinding bata, tim non-lokal bekerja 34,57% lebih cepat.
Angka 34,57% mungkin terdengar abstrak. Mari kita buat nyata. Bayangkan jika dalam waktu yang sama tim lokal bisa membangun tiga dinding, tim non-lokal sudah hampir menyelesaikan dinding keempat mereka. Dalam skala proyek pembangunan tujuh gedung, ini adalah perbedaan efisiensi yang masif. Pola yang sama, meski tidak sedramatis itu, berlanjut pada pekerjaan plesteran, di mana tim non-lokal unggul 7,20%.
Sampai di sini, mudah sekali untuk menyimpulkan: "Oke, jelas. Pekerja pendatang lebih produktif." Kasus ditutup. Tapi jika kita berhenti di sini, kita akan melewatkan bagian paling penting dari cerita ini.
Sentuhan Akhir: Plot Twist dari Tim Lokal
Ketika tiba saatnya memasang keramik lantai—pekerjaan yang butuh ketelitian, kesabaran, dan sentuhan akhir—situasinya berbalik 180 derajat. Tim lokal ternyata 16,48% lebih cepat daripada rekan-rekan mereka yang non-lokal.
Tiba-tiba, narasi sederhana "pendatang lebih baik" hancur berkeping-keping. Ini bukan lagi cerita tentang siapa yang lebih baik secara umum. Ini adalah cerita tentang siapa yang lebih baik dalam hal apa. Gambaran hitam-putih yang kita miliki di awal kini menjadi penuh warna dan nuansa.
Mitos 'Lebih Rajin' yang Akhirnya Terbantahkan
Pikiran pertama yang mungkin muncul adalah: "Apakah tim non-lokal lebih rajin saat mengerjakan dinding, dan tim lokal lebih rajin saat memasang keramik?" Ini adalah pertanyaan yang wajar, dan untungnya, para peneliti punya data untuk menjawabnya.
Mereka mengukur sesuatu yang disebut Rasio Pemanfaatan Tenaga Kerja atau Labor Utilization Ratio (LUR). Dalam bahasa manusiawi, ini pada dasarnya adalah 'tingkat kesibukan'—berapa persen waktu mereka yang benar-benar dihabiskan untuk bekerja efektif atau berkontribusi pada pekerjaan. Jika satu kelompok punya LUR jauh lebih tinggi, berarti mereka memang bekerja lebih keras.
Dan hasilnya? LUR untuk pekerja lokal adalah 25,5%, sedangkan untuk pekerja non-lokal adalah 25,8%. Perbedaannya hanya 0,3%! Ini adalah temuan yang paling krusial. Artinya, kedua kelompok sama-sama 'sibuk'. Mereka bekerja sama kerasnya. Perbedaan produktivitas yang dramatis itu tidak datang dari usaha, tapi dari efisiensi pada tugas-tugas tertentu.
🚀 Hasilnya luar biasa: Pekerja non-lokal 34,57% lebih cepat pasang bata, tapi pekerja lokal 16,48% lebih unggul pasang keramik.
🧠 Inovasinya: Penelitian ini membuktikan bahwa "produktivitas" bukanlah satu ukuran tunggal. Ia sangat bergantung pada jenis tugasnya.
💡 Pelajaran: Jangan terjebak asumsi "siapa lebih rajin". Fokus pada "siapa lebih efisien di tugas apa".
Pelajaran untuk Kita Semua: Dari Proyek Konstruksi hingga Meja Kantor Anda
Mungkin Anda berpikir, "Ini menarik, tapi saya bukan mandor proyek. Apa relevansinya untuk saya?" Relevansinya sangat besar. Prinsip di balik temuan ini bersifat universal dan bisa mengubah cara Anda memimpin tim, mendelegasikan tugas, dan bahkan melihat karier Anda sendiri.
Kekuatan Spesialisasi di Atas Stereotip
Apa yang kita saksikan di proyek Aceh ini bukanlah kompetisi, melainkan demonstrasi kekuatan spesialisasi yang tidak disengaja. Paper ini tidak menjelaskan 'mengapa', tapi kita bisa berhipotesis. Mungkin saja para pekerja non-lokal sering dipekerjakan untuk proyek-proyek besar yang fokus pada kecepatan pembangunan struktur, sehingga mereka mengasah efisiensi di area itu. Sebaliknya, pekerja lokal mungkin lebih sering menangani renovasi atau proyek skala kecil yang membutuhkan keahlian finishing yang presisi.
Sekarang, lihat tim Anda. Apakah Anda menugaskan pekerjaan berdasarkan jabatan atau berdasarkan keahlian tersembunyi? Apakah si 'analis data' di tim Anda sebenarnya adalah komunikator terbaik yang seharusnya mempresentasikan temuan, bukan hanya mengolah angka? Apakah si 'penulis konten' punya bakat luar biasa dalam mengorganisir proyek yang selama ini terpendam?
Pelajaran dari studi ini jelas: manajemen yang efektif adalah tentang mencocokkan tugas dengan bakat yang sesungguhnya, bukan dengan label atau stereotip.
Mengelola Tim dengan Data, Bukan Perasaan
Tanpa data observasi yang cermat, seorang mandor proyek mungkin akan menyimpulkan berdasarkan 'perasaan'. Ia mungkin akan berkata, "Tim pendatang lebih gesit," tanpa menyadari bahwa ia kehilangan efisiensi 16% di setiap meter persegi pemasangan keramik. Perasaan bisa menipu, tapi angka tidak.
Melihat data konkret seperti ini menegaskan betapa pentingnya manajemen proyek yang objektif, sebuah keahlian yang menjadi fokus utama dalam banyak program pengembangan profesional. Kemampuan untuk mengukur, menganalisis, dan bertindak berdasarkan data, bukan asumsi, adalah yang membedakan manajer baik dari manajer hebat. Ini adalah inti dari apa yang diajarkan dalam kursus-kursus manajemen modern, seperti yang ditawarkan di(https://www.diklatkerja.com).
Anda tidak perlu menjadi peneliti untuk menerapkan ini. Mulailah mengumpulkan "data" Anda sendiri. Bisa jadi sesederhana mengamati atau bahkan bertanya langsung pada tim Anda: "Di tugas mana kamu merasa paling mengalir? Pekerjaan apa yang membuat waktu terasa cepat berlalu?" Jawaban mereka adalah data paling berharga yang bisa Anda miliki.
Refleksi dan Kritik Halus: Apa yang Belum Terjawab?
Harus diakui, kekuatan penelitian ini terletak pada ketelitian metodologinya. Para peneliti tidak hanya mengamati dan mencatat. Mereka menggunakan model statistik canggih bernama Structural Equation Modeling (SEM) dengan software AMOS dan melakukan serangkaian uji untuk memastikan model mereka 'Good Fit' dengan data. Ini memberikan bobot ilmiah yang kuat pada temuan mereka.
Namun, di sinilah letak keindahan sekaligus keterbatasannya. Paper ini dengan brilian menjawab pertanyaan 'Apa' dan 'Seberapa banyak', tapi menyisakan pertanyaan besar: 'Mengapa?'
Mengapa pekerja non-lokal lebih cepat memasang bata? Apakah karena metode pelatihan yang berbeda? Pengalaman dari jenis proyek yang berbeda di daerah asal mereka? Adakah faktor budaya kerja? Data kuantitatif tidak bisa menjawab ini. Kita kehilangan cerita, wawancara, dan kutipan langsung dari para pekerja yang bisa memberikan 'daging' pada 'tulang' data ini.
Selain itu, meskipun temuan utamanya hebat, cara analisisnya dengan istilah seperti 'CMIN/DF' sebesar 3,076 atau 'RMSEA' sebesar 0,255 agak terlalu abstrak untuk manajer di lapangan. Inilah mengapa menerjemahkan temuan akademis seperti ini ke dalam bahasa yang lebih manusiawi menjadi sangat penting.
Kesimpulan: Berhenti Bertanya 'Siapa', Mulai Bertanya 'Untuk Apa'
Jika ada satu hal yang bisa kita bawa pulang dari tumpukan bata dan keramik di Aceh, itu adalah ini: kita sering kali mengajukan pertanyaan yang salah. Kita terobsesi dengan pertanyaan "Siapa pekerja terbaik?"
Studi dari Universitas Malikussaleh ini mengajarkan kita untuk berhenti dan mulai mengajukan pertanyaan yang jauh lebih kuat: "Siapa pekerja terbaik untuk tugas ini?"
Di tim Anda, di perusahaan Anda, pergeseran pertanyaan sederhana ini bisa menjadi kunci untuk membuka tingkat produktivitas dan kepuasan kerja yang belum pernah Anda bayangkan. Ini adalah tentang melihat manusia bukan sebagai sumber daya yang seragam, tetapi sebagai individu dengan puncak keahlian yang unik.
Lain kali Anda akan membagi tugas, berhentilah sejenak. Pikirkan bukan hanya tentang siapa yang 'seharusnya' mengerjakan itu sesuai jabatannya, tapi tentang siapa yang punya bakat, efisiensi, dan mungkin 'rasa mengalir' yang tersembunyi untuk itu. Anda mungkin akan terkejut dengan hasilnya.
Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan. Kalau Anda tertarik dengan detail metodologi dan data lengkapnya, saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca paper aslinya.
Manajemen
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025
Kecelakaan yang Nyaris Terjadi dan Sebuah Pertanyaan yang Mengusik
Beberapa minggu lalu, saya berjalan melewati sebuah proyek konstruksi gedung tinggi di pusat kota. Di tengah bisingnya mesin dan teriakan para pekerja, mata saya tertuju pada satu orang yang sedang bekerja di lantai entah keberapa, tampak seperti titik kecil di antara kerangka baja. Seketika, perut saya terasa mulas. Saya membayangkan betapa tipisnya batas antara rutinitas kerja dan sebuah tragedi. Ia memakai helm, tentu saja. Mungkin juga rompi dan sepatu pengaman. Tapi apakah itu cukup?
Momen itu memicu sebuah pertanyaan yang mengusik saya: Di luar semua peralatan dan prosedur standar (APD), apa yang sebenarnya membuat sebuah tempat kerja—terutama yang berisiko tinggi seperti konstruksi—benar-benar aman? Apakah sekadar tumpukan aturan yang tebal, atau ada sesuatu yang lebih dalam, lebih manusiawi, yang sering kita lewatkan?
Rasa penasaran ini membawa saya pada sebuah "peta harta karun" yang tak terduga: sebuah jurnal ilmiah berjudul Redefining Organizational Safety and Health in the Construction Industry Context: A Scale Development Approach. Jangan biarkan judulnya yang rumit membuat Anda gentar. Di balik jargon statistik dan metodologi yang padat, tersembunyi jawaban yang mengejutkan, elegan, dan sangat relevan bagi siapa pun yang peduli tentang bagaimana kita bekerja dan hidup bersama dengan lebih baik. Saya memutuskan untuk membedahnya, dan apa yang saya temukan mengubah cara saya memandang keselamatan selamanya.
Di Balik Layar: Bagaimana Para Peneliti Membongkar "DNA" Keselamatan
Para peneliti di Filipina ini berangkat dari sebuah keprihatinan yang sama. Industri konstruksi di sana, seperti di banyak negara berkembang, adalah motor ekonomi tetapi juga ladang kecelakaan kerja yang subur. Mereka tidak puas dengan jawaban standar. Mereka ingin tahu, apa "DNA" dari sebuah organisasi yang benar-benar aman?
Untuk menemukannya, mereka melakukan sesuatu yang brilian. Bayangkan jika Anda bisa melakukan "pemindaian MRI" pada sebuah perusahaan untuk melihat kesehatan budaya keselamatannya. Itulah yang pada dasarnya mereka lakukan. Mereka tidak hanya bertanya "apakah Anda mengikuti aturan?", melainkan menggali lebih dalam dengan pendekatan metode campuran yang canggih.
Pertama, mereka menyebar kuesioner mendetail kepada 300 profesional di industri konstruksi, mencakup 31 kemungkinan faktor yang memengaruhi keselamatan. Kemudian, dengan alat statistik canggih bernama Exploratory Factor Analysis (EFA), mereka menyaring semua jawaban itu. Anggap saja EFA ini seperti mesin yang memisahkan bijih emas dari bebatuan. Tujuannya adalah menemukan kelompok-kelompok inti—faktor-faktor tersembunyi—yang paling berpengaruh.
Setelah menemukan "emas"-nya, mereka tidak berhenti di situ. Mereka mengujinya lagi pada kelompok responden yang berbeda menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) untuk memastikan temuan itu bukan kebetulan. Ini seperti memastikan resep kue yang Anda temukan benar-benar berhasil jika dimasak oleh orang lain.
Yang paling penting untuk kita pahami adalah ini: tujuan akhir mereka bukan sekadar membuat daftar "hal-hal yang baik untuk dilakukan". Judul penelitian ini mengandung frasa kunci: "A Scale Development Approach". Artinya, mereka menciptakan sebuah alat diagnostik yang tervalidasi. Sebuah skala yang bisa digunakan perusahaan mana pun untuk mengukur kesehatan budaya keselamatannya secara objektif. Ini adalah pergeseran paradigma. Dari melihat keselamatan sebagai soal kepatuhan terhadap aturan, menjadi keselamatan sebagai kesehatan organisasional yang dapat diukur, didiagnosis, dan disembuhkan.
Jadi, apa yang ditemukan oleh "pemindaian MRI" ini? Ternyata, fondasi sebuah gedung keselamatan yang kokoh ditopang oleh empat pilar tersembunyi.
Empat Pilar Tersembunyi yang Menopang Gedung Keselamatan
Dari 31 variabel yang mereka uji, analisis EFA mengkristalkannya menjadi empat faktor utama. Inilah empat pilar yang, menurut data, menjadi penentu utama apakah sebuah lingkungan kerja itu aman atau hanya berpura-pura aman.
Pilar #1: Komitmen Itu Aksi, Bukan Sekadar Poster di Dinding
Faktor pertama yang paling kuat adalah "Organizational Commitment to Safety and Health" atau Komitmen Organisasi. Ini mungkin terdengar klise, tapi data menunjukkan detail yang spesifik. Ini bukan soal memasang poster "Safety First" di lobi. Ini adalah "jiwa" dari sistem keselamatan.
Menurut penelitian, komitmen ini terwujud dalam beberapa hal nyata: promosi aktif tentang pentingnya keselamatan, kebijakan yang jelas dan ditegakkan, serta tingkat moral dan keterlibatan karyawan yang tinggi. Hasil wawancara kualitatif memperkuat ini, menyoroti tema-tema seperti "mengintegrasikan keselamatan ke dalam nilai-nilai inti perusahaan," "keterlibatan aktif para pemimpin," dan "transparansi".
Analogi terbaiknya adalah perbedaan antara orang yang punya kartu keanggotaan gym (poster di dinding) dan orang yang benar-benar berkeringat di sana setiap pagi (aksi nyata). Komitmen sejati terlihat dari anggaran yang benar-benar dialokasikan untuk keselamatan, waktu para manajer senior yang dihabiskan untuk meninjau langsung ke lapangan, dan apakah suara seorang pekerja junior yang melaporkan potensi bahaya benar-benar didengar dan ditindaklanjuti. Tanpa pilar ini, tiga pilar lainnya akan rapuh.
Pilar #2: Dorongan dari Luar yang Ternyata Punya Dua Sisi
Pilar kedua adalah "External Influences on Safety Performance" atau Pengaruh Eksternal. Ini adalah kekuatan-kekuatan dari luar organisasi yang ikut membentuk perilaku di dalam. Data menunjukkan beberapa pendorong yang menarik: tekanan dari pelanggan yang menuntut standar keselamatan tinggi, adanya dukungan dan otoritas yang memadai untuk menegakkan aturan, dan—ini yang paling mengejutkan saya—"ketakutan akan hukuman" (fear of punishment).
Temuan ini menciptakan sebuah ketegangan yang menarik. Di satu sisi, kesimpulan utama penelitian ini (yang akan kita bahas nanti) menekankan bahwa faktor internal berbasis kepercayaan adalah yang paling utama. Namun, di sisi lain, data secara valid menunjukkan bahwa "cambuk" berupa rasa takut akan sanksi ternyata masih menjadi pendorong yang efektif.
Ini menunjukkan sebuah realitas yang sangat manusiawi dan pragmatis. Budaya keselamatan yang ideal mungkin tidak murni digerakkan oleh motivasi positif. Ia adalah sebuah perpaduan antara motivasi intrinsik ("Saya ingin pulang dengan selamat untuk keluarga saya") dan tekanan ekstrinsik ("Saya tidak ingin kehilangan pekerjaan atau didenda"). Mungkin sistem terbaik bukanlah yang hanya mengandalkan inspirasi, tetapi yang menyeimbangkannya dengan konsekuensi yang jelas dan adil.
Pilar #3: Bukan Soal Siapa yang Paling Keras, Tapi Siapa yang Paling Cerdas
Selanjutnya adalah "Competence of People Implementing Safety" atau Kompetensi Pelaksana Keselamatan. Pilar ini menegaskan bahwa keselamatan bukanlah sekadar soal kepatuhan buta, melainkan sebuah keahlian yang perlu terus-menerus dilatih dan dikembangkan.
Faktor ini mencakup tiga elemen kunci: pelatihan keselamatan (OSH) yang efektif, kompetensi manajer dalam mengelola keselamatan, dan adanya inisiatif untuk perbaikan berkelanjutan. Wawancara dengan para pekerja juga menyoroti pentingnya "transfer pengetahuan" dan penggunaan "metrik kinerja" untuk melacak kemajuan.
Menganggap keselamatan hanya soal mengikuti aturan itu seperti berpikir bahwa memasak hanya soal membaca resep. Siapa pun bisa membaca resep, tapi hanya koki yang kompeten yang memahami mengapa di balik setiap langkah—kapan harus menaikkan api, mengapa garam ditambahkan di awal, bukan di akhir. Begitu pula dengan keselamatan. Pekerja dan manajer yang kompeten tidak hanya hafal aturannya, tapi mereka memahami prinsip di baliknya, mampu mengidentifikasi risiko baru secara proaktif, dan terus mencari cara yang lebih cerdas dan lebih aman untuk bekerja.
Pilar #4: Rahasia Terbesar Ada di Arus Informasi yang Lancar
Pilar terakhir adalah "Effective Communication and Reporting for Safety" atau Komunikasi dan Pelaporan yang Efektif. Jika sebuah perusahaan adalah tubuh manusia, maka pilar ini adalah sistem sarafnya.
Data menunjukkan tiga komponen penting di sini: adanya komunikasi yang efektif tentang isu keselamatan, kejelasan dalam sistem pelaporan (tidak ada ketidakpastian atau keraguan untuk melapor), dan nilai dari adanya sertifikasi audit eksternal sebagai bentuk validasi. Para pekerja dalam wawancara juga menyebutkan penggunaan praktis "teknologi seluler" dan "pertemuan harian" untuk menjaga arus informasi tetap lancar, sambil mengakui tantangan besar dalam berkomunikasi dengan tenaga kerja multikultural.
Bayangkan sistem saraf kita. Jika ada rasa sakit (potensi bahaya) di ujung jari kaki (proyek lapangan), sinyal itu harus sampai ke otak (manajemen) dengan cepat, jelas, dan tanpa hambatan agar tubuh bisa bereaksi—menarik kaki atau mencari pertolongan. Jika sistem saraf ini terganggu, jika para pekerja takut melapor atau laporannya diabaikan, maka bencana tinggal menunggu waktu. Tubuh itu tidak akan tahu bahwa ia sedang dalam bahaya sampai semuanya terlambat.
Momen "Aha!" - Satu Hal yang Mengubah Cara Saya Melihat Keselamatan
Setelah membedah keempat pilar ini, saya sampai pada kesimpulan utama penelitian, momen "Aha!" yang sesungguhnya. Saat para peneliti membandingkan kekuatan keempat faktor tersebut, hasilnya sangat jelas dan tegas.
Analisis komparatif dari semua data kuantitatif dan kualitatif mengungkapkan bahwa faktor internal memiliki pengaruh terbesar pada sistem keselamatan kerja, diikuti oleh faktor teknis (kompetensi) dan eksternal. Dengan kata lain, apa yang terjadi di dalam hati dan pikiran organisasi—komitmen, budaya, kepercayaan—jauh lebih kuat pengaruhnya daripada tekanan atau aturan dari luar. Budaya mengalahkan segalanya.
Ini adalah temuan yang luar biasa kuat. Ini memberitahu kita bahwa semua checklist, regulasi pemerintah, dan ancaman denda tidak akan ada artinya jika fondasi internal perusahaan itu rapuh.
🚀 Hasilnya luar biasa: Faktor internal seperti komitmen pimpinan dan keterlibatan karyawan terbukti jauh lebih kuat pengaruhnya daripada tekanan eksternal atau sekadar aturan teknis.
🧠 Inovasinya: Penelitian ini membuktikan secara data apa yang mungkin kita rasakan secara intuisi: keselamatan sejati lahir dari dalam, bukan dipaksakan dari luar.
💡 Pelajaran: Jangan terjebak pada checklist dan regulasi. Bangun dulu budaya kepercayaan dan kepedulian, maka kepatuhan akan mengikuti secara alami.
Tentu saja, tidak ada penelitian yang sempurna. Meski temuannya hebat, saya merasa cara analisanya agak terlalu abstrak untuk seorang manajer lapangan. Paper ini sangat kuat dalam membuktikan apa yang penting, tapi bisa lebih dalam lagi menggali bagaimana cara praktis membangun budaya itu, terutama di lingkungan yang mungkin sudah skeptis atau resisten. Ini adalah alat diagnosis yang brilian, tapi belum menjadi panduan pengobatan yang lengkap.
Tiga Langkah Praktis yang Bisa Kamu Terapkan Besok Pagi
Jadi, bagaimana kita menerjemahkan temuan akademis ini menjadi tindakan nyata? Baik Anda seorang CEO, manajer tim, atau anggota tim, ada beberapa hal yang bisa kita mulai lakukan besok pagi, terinspirasi dari rekomendasi penelitian ini.
Lakukan "Check-Up Budaya," Bukan Cuma "Inspeksi Helm". Terinspirasi dari gagasan bahwa penelitian ini menciptakan alat diagnostik, ubah fokus pertanyaan Anda. Alih-alih hanya bertanya, "Apakah semua orang memakai APD?", mulailah ajukan pertanyaan yang lebih dalam saat rapat tim: "Apakah ada yang merasa ragu untuk melaporkan insiden nyaris celaka karena takut disalahkan?" atau "Dalam sebulan terakhir, adakah ide tentang cara kerja yang lebih aman dari tim kita yang sudah diterapkan?" Jawaban jujur atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah "tes darah" bagi budaya keselamatan Anda.
Jadikan Keselamatan Sebagai Keahlian, Bukan Beban. Pilar ketiga menyoroti pentingnya kompetensi, terutama pada level manajer. Seorang manajer yang hebat tahu cara mengubah diskusi keselamatan dari "aturan membosankan yang harus dipatuhi" menjadi "cara cerdas kita bekerja untuk mencapai hasil terbaik". Ini adalah keterampilan kepemimpinan yang perlu dilatih, bukan bakat bawaan. Jika Anda seorang manajer yang ingin meningkatkan kemampuan ini, mengikuti kursus tentang(https://diklatkerja.com) bisa menjadi langkah pertama yang sangat berharga untuk membangun kompetensi tersebut.
Perbaiki "Sistem Saraf" Komunikasi Timmu. Pilar keempat adalah tentang arus informasi. Mulailah dari hal kecil. Adakan "safety moment" selama 5 menit setiap pagi sebelum mulai bekerja, di mana siapa pun bisa berbagi potensi bahaya yang mereka lihat. Buat grup WhatsApp khusus untuk melaporkan masalah keselamatan secara real-time, lengkap dengan foto. Yang terpenting: setiap laporan, sekecil apa pun, harus ditanggapi dengan cepat. Tunjukkan bahwa laporan itu didengar dan dihargai. Ini membangun kepercayaan bahwa "sistem saraf" organisasi Anda benar-benar berfungsi.
Keselamatan Adalah Percakapan, Mari Kita Mulai
Membedah jurnal ini membawa saya kembali ke gambaran pekerja di ketinggian itu. Keselamatannya tidak hanya bergantung pada tali pengaman yang ia kenakan, tetapi pada jaringan tak kasat mata dari komitmen, kompetensi, dan komunikasi yang dibangun oleh perusahaannya.
Penelitian ini secara fundamental membingkai ulang keselamatan—bukan sebagai masalah teknis tentang peralatan dan prosedur, tetapi sebagai masalah manusiawi tentang budaya, kepercayaan, dan percakapan. Keselamatan bukanlah sebuah dokumen yang disimpan di laci, melainkan percakapan yang hidup dan terus berlangsung setiap hari.
Temuan ini bergema kuat bagi saya, tapi saya ingin mendengar dari Anda. Apa pengalaman Anda? Di tempat kerja Anda, apakah keselamatan terasa seperti sebuah nilai yang dianut bersama, atau sekadar daftar aturan yang harus dicentang? Bagikan cerita Anda di kolom komentar.
Kalau Anda tertarik untuk menyelami data dan analisisnya lebih dalam, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.