Bukan Cuma Helm & Rompi: Riset Ini Ungkap Rahasia Keselamatan Kerja yang Sebenarnya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

14 Oktober 2025, 13.53

Bukan Cuma Helm & Rompi: Riset Ini Ungkap Rahasia Keselamatan Kerja yang Sebenarnya

Kecelakaan yang Nyaris Terjadi dan Sebuah Pertanyaan yang Mengusik

Beberapa minggu lalu, saya berjalan melewati sebuah proyek konstruksi gedung tinggi di pusat kota. Di tengah bisingnya mesin dan teriakan para pekerja, mata saya tertuju pada satu orang yang sedang bekerja di lantai entah keberapa, tampak seperti titik kecil di antara kerangka baja. Seketika, perut saya terasa mulas. Saya membayangkan betapa tipisnya batas antara rutinitas kerja dan sebuah tragedi. Ia memakai helm, tentu saja. Mungkin juga rompi dan sepatu pengaman. Tapi apakah itu cukup?

Momen itu memicu sebuah pertanyaan yang mengusik saya: Di luar semua peralatan dan prosedur standar (APD), apa yang sebenarnya membuat sebuah tempat kerja—terutama yang berisiko tinggi seperti konstruksi—benar-benar aman? Apakah sekadar tumpukan aturan yang tebal, atau ada sesuatu yang lebih dalam, lebih manusiawi, yang sering kita lewatkan?

Rasa penasaran ini membawa saya pada sebuah "peta harta karun" yang tak terduga: sebuah jurnal ilmiah berjudul Redefining Organizational Safety and Health in the Construction Industry Context: A Scale Development Approach. Jangan biarkan judulnya yang rumit membuat Anda gentar. Di balik jargon statistik dan metodologi yang padat, tersembunyi jawaban yang mengejutkan, elegan, dan sangat relevan bagi siapa pun yang peduli tentang bagaimana kita bekerja dan hidup bersama dengan lebih baik. Saya memutuskan untuk membedahnya, dan apa yang saya temukan mengubah cara saya memandang keselamatan selamanya.  

Di Balik Layar: Bagaimana Para Peneliti Membongkar "DNA" Keselamatan

Para peneliti di Filipina ini berangkat dari sebuah keprihatinan yang sama. Industri konstruksi di sana, seperti di banyak negara berkembang, adalah motor ekonomi tetapi juga ladang kecelakaan kerja yang subur. Mereka tidak puas dengan jawaban standar. Mereka ingin tahu, apa "DNA" dari sebuah organisasi yang benar-benar aman?  

Untuk menemukannya, mereka melakukan sesuatu yang brilian. Bayangkan jika Anda bisa melakukan "pemindaian MRI" pada sebuah perusahaan untuk melihat kesehatan budaya keselamatannya. Itulah yang pada dasarnya mereka lakukan. Mereka tidak hanya bertanya "apakah Anda mengikuti aturan?", melainkan menggali lebih dalam dengan pendekatan metode campuran yang canggih.  

Pertama, mereka menyebar kuesioner mendetail kepada 300 profesional di industri konstruksi, mencakup 31 kemungkinan faktor yang memengaruhi keselamatan. Kemudian, dengan alat statistik canggih bernama Exploratory Factor Analysis (EFA), mereka menyaring semua jawaban itu. Anggap saja EFA ini seperti mesin yang memisahkan bijih emas dari bebatuan. Tujuannya adalah menemukan kelompok-kelompok inti—faktor-faktor tersembunyi—yang paling berpengaruh.  

Setelah menemukan "emas"-nya, mereka tidak berhenti di situ. Mereka mengujinya lagi pada kelompok responden yang berbeda menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) untuk memastikan temuan itu bukan kebetulan. Ini seperti memastikan resep kue yang Anda temukan benar-benar berhasil jika dimasak oleh orang lain.  

Yang paling penting untuk kita pahami adalah ini: tujuan akhir mereka bukan sekadar membuat daftar "hal-hal yang baik untuk dilakukan". Judul penelitian ini mengandung frasa kunci: "A Scale Development Approach". Artinya, mereka menciptakan sebuah alat diagnostik yang tervalidasi. Sebuah skala yang bisa digunakan perusahaan mana pun untuk mengukur kesehatan budaya keselamatannya secara objektif. Ini adalah pergeseran paradigma. Dari melihat keselamatan sebagai soal kepatuhan terhadap aturan, menjadi keselamatan sebagai kesehatan organisasional yang dapat diukur, didiagnosis, dan disembuhkan.  

Jadi, apa yang ditemukan oleh "pemindaian MRI" ini? Ternyata, fondasi sebuah gedung keselamatan yang kokoh ditopang oleh empat pilar tersembunyi.

Empat Pilar Tersembunyi yang Menopang Gedung Keselamatan

Dari 31 variabel yang mereka uji, analisis EFA mengkristalkannya menjadi empat faktor utama. Inilah empat pilar yang, menurut data, menjadi penentu utama apakah sebuah lingkungan kerja itu aman atau hanya berpura-pura aman.  

Pilar #1: Komitmen Itu Aksi, Bukan Sekadar Poster di Dinding

Faktor pertama yang paling kuat adalah "Organizational Commitment to Safety and Health" atau Komitmen Organisasi. Ini mungkin terdengar klise, tapi data menunjukkan detail yang spesifik. Ini bukan soal memasang poster "Safety First" di lobi. Ini adalah "jiwa" dari sistem keselamatan.  

Menurut penelitian, komitmen ini terwujud dalam beberapa hal nyata: promosi aktif tentang pentingnya keselamatan, kebijakan yang jelas dan ditegakkan, serta tingkat moral dan keterlibatan karyawan yang tinggi. Hasil wawancara kualitatif memperkuat ini, menyoroti tema-tema seperti "mengintegrasikan keselamatan ke dalam nilai-nilai inti perusahaan," "keterlibatan aktif para pemimpin," dan "transparansi".  

Analogi terbaiknya adalah perbedaan antara orang yang punya kartu keanggotaan gym (poster di dinding) dan orang yang benar-benar berkeringat di sana setiap pagi (aksi nyata). Komitmen sejati terlihat dari anggaran yang benar-benar dialokasikan untuk keselamatan, waktu para manajer senior yang dihabiskan untuk meninjau langsung ke lapangan, dan apakah suara seorang pekerja junior yang melaporkan potensi bahaya benar-benar didengar dan ditindaklanjuti. Tanpa pilar ini, tiga pilar lainnya akan rapuh.

Pilar #2: Dorongan dari Luar yang Ternyata Punya Dua Sisi

Pilar kedua adalah "External Influences on Safety Performance" atau Pengaruh Eksternal. Ini adalah kekuatan-kekuatan dari luar organisasi yang ikut membentuk perilaku di dalam. Data menunjukkan beberapa pendorong yang menarik: tekanan dari pelanggan yang menuntut standar keselamatan tinggi, adanya dukungan dan otoritas yang memadai untuk menegakkan aturan, dan—ini yang paling mengejutkan saya—"ketakutan akan hukuman" (fear of punishment).  

Temuan ini menciptakan sebuah ketegangan yang menarik. Di satu sisi, kesimpulan utama penelitian ini (yang akan kita bahas nanti) menekankan bahwa faktor internal berbasis kepercayaan adalah yang paling utama. Namun, di sisi lain, data secara valid menunjukkan bahwa "cambuk" berupa rasa takut akan sanksi ternyata masih menjadi pendorong yang efektif.  

Ini menunjukkan sebuah realitas yang sangat manusiawi dan pragmatis. Budaya keselamatan yang ideal mungkin tidak murni digerakkan oleh motivasi positif. Ia adalah sebuah perpaduan antara motivasi intrinsik ("Saya ingin pulang dengan selamat untuk keluarga saya") dan tekanan ekstrinsik ("Saya tidak ingin kehilangan pekerjaan atau didenda"). Mungkin sistem terbaik bukanlah yang hanya mengandalkan inspirasi, tetapi yang menyeimbangkannya dengan konsekuensi yang jelas dan adil.

Pilar #3: Bukan Soal Siapa yang Paling Keras, Tapi Siapa yang Paling Cerdas

Selanjutnya adalah "Competence of People Implementing Safety" atau Kompetensi Pelaksana Keselamatan. Pilar ini menegaskan bahwa keselamatan bukanlah sekadar soal kepatuhan buta, melainkan sebuah keahlian yang perlu terus-menerus dilatih dan dikembangkan.  

Faktor ini mencakup tiga elemen kunci: pelatihan keselamatan (OSH) yang efektif, kompetensi manajer dalam mengelola keselamatan, dan adanya inisiatif untuk perbaikan berkelanjutan. Wawancara dengan para pekerja juga menyoroti pentingnya "transfer pengetahuan" dan penggunaan "metrik kinerja" untuk melacak kemajuan.  

Menganggap keselamatan hanya soal mengikuti aturan itu seperti berpikir bahwa memasak hanya soal membaca resep. Siapa pun bisa membaca resep, tapi hanya koki yang kompeten yang memahami mengapa di balik setiap langkah—kapan harus menaikkan api, mengapa garam ditambahkan di awal, bukan di akhir. Begitu pula dengan keselamatan. Pekerja dan manajer yang kompeten tidak hanya hafal aturannya, tapi mereka memahami prinsip di baliknya, mampu mengidentifikasi risiko baru secara proaktif, dan terus mencari cara yang lebih cerdas dan lebih aman untuk bekerja.

Pilar #4: Rahasia Terbesar Ada di Arus Informasi yang Lancar

Pilar terakhir adalah "Effective Communication and Reporting for Safety" atau Komunikasi dan Pelaporan yang Efektif. Jika sebuah perusahaan adalah tubuh manusia, maka pilar ini adalah sistem sarafnya.  

Data menunjukkan tiga komponen penting di sini: adanya komunikasi yang efektif tentang isu keselamatan, kejelasan dalam sistem pelaporan (tidak ada ketidakpastian atau keraguan untuk melapor), dan nilai dari adanya sertifikasi audit eksternal sebagai bentuk validasi. Para pekerja dalam wawancara juga menyebutkan penggunaan praktis "teknologi seluler" dan "pertemuan harian" untuk menjaga arus informasi tetap lancar, sambil mengakui tantangan besar dalam berkomunikasi dengan tenaga kerja multikultural.  

Bayangkan sistem saraf kita. Jika ada rasa sakit (potensi bahaya) di ujung jari kaki (proyek lapangan), sinyal itu harus sampai ke otak (manajemen) dengan cepat, jelas, dan tanpa hambatan agar tubuh bisa bereaksi—menarik kaki atau mencari pertolongan. Jika sistem saraf ini terganggu, jika para pekerja takut melapor atau laporannya diabaikan, maka bencana tinggal menunggu waktu. Tubuh itu tidak akan tahu bahwa ia sedang dalam bahaya sampai semuanya terlambat.

Momen "Aha!" - Satu Hal yang Mengubah Cara Saya Melihat Keselamatan

Setelah membedah keempat pilar ini, saya sampai pada kesimpulan utama penelitian, momen "Aha!" yang sesungguhnya. Saat para peneliti membandingkan kekuatan keempat faktor tersebut, hasilnya sangat jelas dan tegas.

Analisis komparatif dari semua data kuantitatif dan kualitatif mengungkapkan bahwa faktor internal memiliki pengaruh terbesar pada sistem keselamatan kerja, diikuti oleh faktor teknis (kompetensi) dan eksternal. Dengan kata lain, apa yang terjadi di dalam hati dan pikiran organisasi—komitmen, budaya, kepercayaan—jauh lebih kuat pengaruhnya daripada tekanan atau aturan dari luar. Budaya mengalahkan segalanya.  

Ini adalah temuan yang luar biasa kuat. Ini memberitahu kita bahwa semua checklist, regulasi pemerintah, dan ancaman denda tidak akan ada artinya jika fondasi internal perusahaan itu rapuh.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Faktor internal seperti komitmen pimpinan dan keterlibatan karyawan terbukti jauh lebih kuat pengaruhnya daripada tekanan eksternal atau sekadar aturan teknis.

  • 🧠 Inovasinya: Penelitian ini membuktikan secara data apa yang mungkin kita rasakan secara intuisi: keselamatan sejati lahir dari dalam, bukan dipaksakan dari luar.

  • 💡 Pelajaran: Jangan terjebak pada checklist dan regulasi. Bangun dulu budaya kepercayaan dan kepedulian, maka kepatuhan akan mengikuti secara alami.

Tentu saja, tidak ada penelitian yang sempurna. Meski temuannya hebat, saya merasa cara analisanya agak terlalu abstrak untuk seorang manajer lapangan. Paper ini sangat kuat dalam membuktikan apa yang penting, tapi bisa lebih dalam lagi menggali bagaimana cara praktis membangun budaya itu, terutama di lingkungan yang mungkin sudah skeptis atau resisten. Ini adalah alat diagnosis yang brilian, tapi belum menjadi panduan pengobatan yang lengkap.

Tiga Langkah Praktis yang Bisa Kamu Terapkan Besok Pagi

Jadi, bagaimana kita menerjemahkan temuan akademis ini menjadi tindakan nyata? Baik Anda seorang CEO, manajer tim, atau anggota tim, ada beberapa hal yang bisa kita mulai lakukan besok pagi, terinspirasi dari rekomendasi penelitian ini.  

  1. Lakukan "Check-Up Budaya," Bukan Cuma "Inspeksi Helm". Terinspirasi dari gagasan bahwa penelitian ini menciptakan alat diagnostik, ubah fokus pertanyaan Anda. Alih-alih hanya bertanya, "Apakah semua orang memakai APD?", mulailah ajukan pertanyaan yang lebih dalam saat rapat tim: "Apakah ada yang merasa ragu untuk melaporkan insiden nyaris celaka karena takut disalahkan?" atau "Dalam sebulan terakhir, adakah ide tentang cara kerja yang lebih aman dari tim kita yang sudah diterapkan?" Jawaban jujur atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah "tes darah" bagi budaya keselamatan Anda.

  2. Jadikan Keselamatan Sebagai Keahlian, Bukan Beban. Pilar ketiga menyoroti pentingnya kompetensi, terutama pada level manajer. Seorang manajer yang hebat tahu cara mengubah diskusi keselamatan dari "aturan membosankan yang harus dipatuhi" menjadi "cara cerdas kita bekerja untuk mencapai hasil terbaik". Ini adalah keterampilan kepemimpinan yang perlu dilatih, bukan bakat bawaan. Jika Anda seorang manajer yang ingin meningkatkan kemampuan ini, mengikuti kursus tentang(https://diklatkerja.com) bisa menjadi langkah pertama yang sangat berharga untuk membangun kompetensi tersebut.

  3. Perbaiki "Sistem Saraf" Komunikasi Timmu. Pilar keempat adalah tentang arus informasi. Mulailah dari hal kecil. Adakan "safety moment" selama 5 menit setiap pagi sebelum mulai bekerja, di mana siapa pun bisa berbagi potensi bahaya yang mereka lihat. Buat grup WhatsApp khusus untuk melaporkan masalah keselamatan secara real-time, lengkap dengan foto. Yang terpenting: setiap laporan, sekecil apa pun, harus ditanggapi dengan cepat. Tunjukkan bahwa laporan itu didengar dan dihargai. Ini membangun kepercayaan bahwa "sistem saraf" organisasi Anda benar-benar berfungsi.

Keselamatan Adalah Percakapan, Mari Kita Mulai

Membedah jurnal ini membawa saya kembali ke gambaran pekerja di ketinggian itu. Keselamatannya tidak hanya bergantung pada tali pengaman yang ia kenakan, tetapi pada jaringan tak kasat mata dari komitmen, kompetensi, dan komunikasi yang dibangun oleh perusahaannya.

Penelitian ini secara fundamental membingkai ulang keselamatan—bukan sebagai masalah teknis tentang peralatan dan prosedur, tetapi sebagai masalah manusiawi tentang budaya, kepercayaan, dan percakapan. Keselamatan bukanlah sebuah dokumen yang disimpan di laci, melainkan percakapan yang hidup dan terus berlangsung setiap hari.

Temuan ini bergema kuat bagi saya, tapi saya ingin mendengar dari Anda. Apa pengalaman Anda? Di tempat kerja Anda, apakah keselamatan terasa seperti sebuah nilai yang dianut bersama, atau sekadar daftar aturan yang harus dicentang? Bagikan cerita Anda di kolom komentar.

Kalau Anda tertarik untuk menyelami data dan analisisnya lebih dalam, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.46827/ejmms.v9i1.1739)