Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Budaya dan Korupsi: Mengapa Persepsi Tidak Bisa Dipisahkan dari Nilai Kolektif
Dalam dunia yang saling terhubung ini, korupsi bukan hanya masalah hukum dan ekonomi—tetapi juga refleksi dari budaya masyarakat. Studi oleh Wm. Dennis Huber berjudul Culture and Corruption: Using Hofstede’s Cultural Dimensions to Explain Perceptions of Corruption meneliti bagaimana lima dimensi budaya nasional ala Hofstede memengaruhi Corruption Perception Index (CPI) dari 47 negara. Hasilnya mengejutkan: 65% variasi dalam persepsi korupsi dapat dijelaskan oleh budaya nasional, terutama oleh nilai individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, dan maskulinitas.
Memahami Dimensi Budaya Hofstede yang Relevan dengan Korupsi
1. Individualisme vs Kolektivisme (IDV)
Negara-negara dengan skor tinggi dalam individualisme seperti AS dan Inggris memiliki CPI yang lebih tinggi (lebih bersih). Hal ini karena budaya individualistik lebih menekankan tanggung jawab pribadi dan sistem meritokrasi.
2. Jarak Kekuasaan (PD)
Skor tinggi pada dimensi ini berarti ketimpangan kekuasaan dianggap wajar. Negara seperti Guatemala (PD 95) atau Malaysia (PD 104) memiliki CPI rendah—menandakan korupsi dianggap sebagai bagian dari struktur sosial.
3. Penghindaran Ketidakpastian (UA)
Negara dengan skor tinggi cenderung kaku terhadap hukum namun justru menciptakan peluang korupsi melalui regulasi yang kompleks dan birokrasi tertutup. Contohnya Jepang (UA 92) atau Guatemala (UA 101).
4. Maskulinitas (MAS)
Budaya yang sangat kompetitif dan berorientasi prestasi, seperti Jepang (MAS 95), cenderung mengorbankan etika demi tujuan jangka pendek.
5. Orientasi Jangka Panjang (LTO)
Menariknya, dimensi ini tidak signifikan secara statistik dalam menjelaskan CPI. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai jangka panjang tidak selalu berkorelasi dengan integritas administratif.
Studi Kasus dan Data: Hubungan Antara Budaya dan CPI
1. Swedia vs Venezuela
Swedia (IDV 71, PD 31, CPI 9.5) memiliki masyarakat yang terbuka, demokratis, dan mendukung kesetaraan.
Venezuela (IDV 12, PD 81, CPI 2.3) menunjukkan kebalikannya: kekuasaan terpusat, kolektivisme tinggi, dan kepercayaan rendah terhadap sistem hukum.
2. AS dan Kanada vs Nigeria dan Indonesia
AS (IDV 91, CPI 7.5), Kanada (IDV 80, CPI 9.2) jauh lebih bersih dibanding Nigeria (IDV 20, CPI 1.9) atau Indonesia (IDV 14, CPI 2.0).
Hal ini menegaskan bahwa kultur individualistik dan institusi yang mendukung meritokrasi menghasilkan sistem yang lebih bersih.
3. Jepang: Efisiensi vs Ketertutupan
Meskipun dikenal efisien, Jepang (UA 92, MAS 95, CPI 5.8) memiliki persepsi korupsi yang relatif sedang. Ketertarikan pada hierarki dan kontrol ketat menciptakan zona abu-abu yang sulit diawasi.
Hasil Statistik yang Kuat dan Valid
Regresi 1 (Tanpa LTO)
Model menjelaskan 65% variasi CPI (Adjusted R² = 0.65)
Rumus regresi:
CPI = 8.871 + 0.043(IDV) - 0.040(PD) - 0.017(UA) - 0.033(MAS)
Interpretasi:
Regresi 2 (Dengan LTO)
Model menjelaskan 66.8% variasi CPI, namun hanya PD dan UA yang signifikan.
Rumus regresi:
CPI = 13.925 - 0.101(PD) - 0.036(UA)
Artinya, jarak kekuasaan dan ketidakpastian adalah prediktor paling kuat dari persepsi korupsi lintas budaya.
Implikasi Strategis untuk Dunia Bisnis dan Pemerintahan
1. Manajemen Strategis Internasional
Investor dapat menggunakan indeks budaya ini untuk memprediksi risiko korupsi sebelum ekspansi ke negara tertentu.
2. Audit dan Keuangan
Audit internal dan eksternal sebaiknya mempertimbangkan faktor budaya sebagai indikator kerentanan organisasi terhadap suap dan manipulasi data.
3. Desain Kebijakan Publik
Negara dengan PD tinggi harus difokuskan pada reformasi tata kelola, edukasi etika publik, dan transparansi birokrasi.
Kritik dan Batasan Studi
Meskipun hasilnya signifikan secara statistik, studi ini memiliki keterbatasan:
Refleksi: Melawan Korupsi Lewat Transformasi Budaya?
Penelitian ini menegaskan bahwa persepsi terhadap korupsi sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya. Negara dengan budaya yang permisif terhadap ketimpangan kekuasaan, penghindaran risiko, dan nilai-nilai kompetisi maskulin, cenderung lebih permisif terhadap korupsi.
Namun mengubah budaya bukan perkara sederhana. Ia membutuhkan pendekatan jangka panjang, edukasi nilai integritas sejak dini, dan reformasi struktural di berbagai sektor.
Kesimpulan: Menggunakan Budaya untuk Mengukur Risiko Korupsi
Artikel ini memperlihatkan bahwa analisis budaya bukan hanya teori sosial, melainkan bisa dijadikan alat prediksi praktis dalam manajemen risiko global. Ketika CPI dapat dijelaskan hingga 65% oleh dimensi budaya, maka memahami budaya menjadi bagian dari upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.
Sebagaimana budaya bisa menumbuhkan toleransi terhadap korupsi, maka transformasi budaya adalah kunci untuk membasminya secara sistemik. Ini bukan pekerjaan satu malam, tetapi pekerjaan lintas generasi.
Sumber: Huber, W. D. (2001). Culture and Corruption: Using Hofstede’s Cultural Dimensions to Explain Perceptions of Corruption. SSRN Electronic Journal.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Bantuan kemanusiaan semestinya menjadi simbol kebaikan, integritas, dan empati global. Namun, ketika arus dana mencapai angka USD 156 miliar per tahun, sektor ini justru menjadi lahan subur bagi korupsi. Dalam tesis Malika Aït-Mohamed Parent, mantan petinggi Palang Merah Internasional, korupsi dalam ruang kemanusiaan dibedah dengan pendekatan lapangan, studi kasus nyata, dan wawancara terhadap 269 pelaku kemanusiaan lintas benua.
Konteks Masalah
Selama ini, isu korupsi kerap diabaikan dalam perdebatan formal di sektor kemanusiaan, bahkan oleh institusi besar seperti PBB, Bank Dunia, hingga SDGs 2030. Dalam dokumen Millennium Development Goals (MDGs), kata "korupsi" tak muncul sekalipun. Bahkan dalam World Humanitarian Summit 2016, isu ini nyaris tak disinggung secara serius.
Hipotesis Utama
Apakah korupsi di sektor kemanusiaan terjadi karena:
Jawaban terhadap pertanyaan ini menjadi dasar eksplorasi selama dua tahun penelitian intensif.
Metodologi
Penulis menggunakan kombinasi:
Temuan Utama
1. Pemahaman Minim soal Korupsi
Mayoritas pelaku kemanusiaan memahami korupsi hanya sebatas “sikap buruk” seperti keserakahan atau kebohongan, bukan sebagai skema sistemik. Hampir tidak ada yang menyebutkan sanksi hukum, mekanisme kontrol internal, atau skenario konkret.
Temuan #1: Ada "budaya niat baik" yang ironisnya menjadi penghambat kesadaran risiko korupsi.
2. Komitmen Transparansi Bersifat Deklaratif
Organisasi sering menyatakan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas, tapi minim penerapan konkret. Banyak laporan audit internal tidak dipublikasikan, dan kontrol internal justru diperlemah oleh beban birokrasi.
Temuan #4: Komitmen saja tidak cukup tanpa sistem, aturan, dan sanksi yang ditegakkan.
3. Transparansi Dapat Berbalik Kontraproduktif
Donor negara justru merasa cemas ketika organisasi terlalu transparan. Beberapa bahkan meminta agar tidak dikirimi laporan tertulis agar tak terbebani kewajiban hukum.
Temuan #8: Donor menginginkan transparansi, tapi tidak selalu siap menghadapinya.
4. Celah antara Kantor Pusat dan Lapangan
Kebijakan dibuat dari pusat, tapi implementasi di lapangan sering tidak memahami risiko dan tanggung jawab anti-korupsi. Peneliti menyebut ini sebagai celah yang "dikenali dan dimanfaatkan aktor korup."
Temuan #13: Perbedaan budaya kerja dan pemahaman risiko memperparah praktik korupsi lapangan.
5. Studi Kasus Nyata
Beberapa studi kasus yang diperiksa meliputi:
Rekomendasi Strategis
1. Bangun Budaya Kepatuhan, Bukan Sekadar Tata Nilai
Organisasi harus beralih dari retorika nilai (value-based) ke praktik konkret (rule-based). Dibutuhkan sistem anti-korupsi yang aktif, bukan pasif.
2. Tingkatkan Kompetensi Pelaku Kemanusiaan
Pelatihan mengenai deteksi penipuan, etika distribusi bantuan, dan sistem pelaporan wajib diberikan secara menyeluruh dan reguler.
3. Gunakan Teknologi untuk Transparansi
Implementasi real-time tracking dana, distribusi digital, dan pelaporan daring dapat menekan ruang manipulasi.
4. Wujudkan Perlindungan Whistleblower
Kasus Anders Kompass dari PBB yang dipecat karena mengungkap pelecehan seksual oleh pasukan perdamaian menjadi contoh pentingnya perlindungan terhadap pelapor.
Analisis dan Opini
Artikel ini sangat bernilai karena membuka ruang diskusi serius mengenai bahaya laten korupsi di sektor yang selama ini dianggap "kebal dosa." Peneliti berhasil memadukan pengalaman empiris, suara pelaku lapangan, dan analisis literatur global. Namun, tesis ini dapat diperkuat dengan pendekatan komparatif dari negara yang berhasil menciptakan sistem anti-korupsi di sektor sosial, seperti Norwegia atau Rwanda.
Tesis ini juga menegaskan bahwa dalam dunia kemanusiaan, korupsi bukan semata persoalan uang, tetapi tentang hilangnya kepercayaan publik, nyawa, dan martabat kemanusiaan.
Kesimpulan
Korupsi di sektor kemanusiaan bukan hanya kenyataan pahit, tapi juga ancaman nyata terhadap keselamatan dan keberlanjutan bantuan global. Penelitian ini menekankan pentingnya transformasi budaya organisasi, komitmen kolektif, dan sistem yang berjalan dari pusat hingga akar rumput. Dalam dunia yang serba darurat, compliance bukan pilihan—tapi kebutuhan mendesak.
Sumber:
Aït-Mohamed Parent, M. (2016). Corruption Prevention and Control in the Humanitarian Space: Paving the Way from Naivety to Compliance. Master’s Thesis, International Anti-Corruption Academy.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Korupsi adalah penghambat utama pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, terutama di negara-negara berkembang seperti Afghanistan. Artikel ini mengulas dampak langsung korupsi terhadap kinerja komunitas bisnis, khususnya pada sektor konstruksi di Kabul. Penelitian ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya persoalan etika, tetapi juga hambatan serius terhadap kelangsungan dan produktivitas sektor swasta.
Metodologi Penelitian
Penelitian menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif. Sebanyak 52 kuesioner dibagikan kepada perusahaan konstruksi besar dan menengah di Kabul, dengan 40 kuesioner valid digunakan untuk analisis. Pengolahan data dilakukan menggunakan model Fractional Logistic Regression melalui perangkat lunak Stata.
Temuan Utama
1. Dampak Korupsi terhadap Kinerja Bisnis
2. Penyebab Korupsi
Faktor penyebab utama korupsi yang teridentifikasi meliputi:
3. Biaya Sosial & Ekonomi Korupsi
4. Upaya dan Tindakan Pencegahan
Penulis merekomendasikan beberapa langkah mitigatif:
Studi Kasus: Sektor Konstruksi Kabul
Dari 40 responden yang valid:
Analisis dan Opini
Artikel ini menunjukkan bagaimana korupsi menjadi penghambat sistemik bagi sektor privat, khususnya perusahaan konstruksi yang sangat bergantung pada interaksi dengan lembaga pemerintah. Peneliti juga berhasil menempatkan konteks lokal (Afghanistan) ke dalam narasi global melalui kutipan data dari UNODC, World Bank, dan Transparency International.
Namun, artikel ini masih bisa diperkaya dengan membandingkan pengalaman negara lain yang berhasil mengatasi korupsi di sektor yang sama, seperti Rwanda atau Estonia. Kekuatan artikel terletak pada kombinasi statistik yang solid dan penguatan argumen berbasis studi lapangan, meskipun pemetaan aktor (aktor bisnis vs pejabat publik) masih dapat didalami lebih lanjut.
Kesimpulan
Korupsi berdampak luas terhadap kinerja komunitas bisnis, terutama sektor konstruksi yang padat interaksi dengan otoritas publik. Solusi tidak cukup dari reformasi hukum semata, tetapi harus melibatkan:
Sumber Asli : Mansoor, M. R. (2019). The Impact of Corruption on Business Community Performance (A Case Study of Construction Businesses in Kabul). Master’s Thesis, American University of Afghanistan.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Dalam era globalisasi dan intensitas perdagangan internasional yang terus meningkat, pemberantasan suap lintas negara menjadi salah satu fokus utama komunitas internasional. Laporan “Implementing the OECD Anti-Bribery Convention in Italy: Phase 4 Report” (OECD, 2022) menyoroti secara mendalam bagaimana Italia menghadapi tantangan dan meraih kemajuan dalam implementasi Konvensi OECD Anti-Suap. Artikel ini akan mengulas secara menyeluruh laporan tersebut, lengkap dengan data, studi kasus, dan analisis kritis.
Latar Belakang Evaluasi
Sejak bergabung dengan Konvensi OECD Anti-Suap pada 1997, Italia telah menjalani serangkaian evaluasi oleh Working Group on Bribery (WGB). Phase 4 dari evaluasi ini, yang diadopsi pada 13 Oktober 2022, menekankan pada aspek penegakan hukum, deteksi, dan tanggung jawab korporasi.
Temuan Utama dan Prestasi Italia
Laporan ini mencatat beberapa pencapaian penting yang menjadi dasar optimisme:
Tantangan dan Kelemahan
Meski demikian, laporan OECD menyoroti berbagai tantangan serius yang masih dihadapi Italia, antara lain:
Contoh nyata dari kelemahan ini terlihat dari 7 kasus yang disidangkan pasca-2013: hanya 1 vonis berhasil, sedangkan 5 kasus sepenuhnya dibatalkan dan 1 kasus sebagian dibatalkan (OECD, 2022, hlm. 7).
Upaya Perbaikan dan Rekomendasi
OECD memberikan sejumlah rekomendasi kunci yang menjadi prioritas pembenahan Italia:
Studi Kasus Penting: Italia vs Suap Asing
Laporan Phase 4 ini menyertakan ringkasan kasus-kasus yang dituntaskan sejak evaluasi Phase 3. Salah satunya, kasus yang melibatkan perusahaan Italia besar dengan skema suap pejabat asing melalui perantara, yang akhirnya diselesaikan lewat patteggiamento—dengan hukuman yang dinilai terlalu ringan (OECD, 2022, hlm. 93–97).
Selain itu, laporan memaparkan bagaimana deteksi kasus suap asing di Italia sebagian besar bukan hasil inisiatif domestik, melainkan informasi dari luar (28% dari otoritas asing, 10% dari media) (OECD, 2022, hlm. 12). Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan monitoring oleh otoritas Italia sendiri.
Kritik dan Komentar Tambahan
Secara kritis, laporan ini menilai bahwa Italia perlu mengubah paradigma: dari sekadar merespons tuduhan suap asing menjadi proaktif mendeteksi dan menuntaskan. Italia sudah memiliki infrastruktur hukum yang kuat, tetapi belum optimal dijalankan.
Misalnya, UU Pelindungan Pelapor sudah ada, namun belum menyentuh sektor swasta secara komprehensif (OECD, 2022, hlm. 15). Hal ini ironis, mengingat sektor swasta sering menjadi pintu masuk praktik suap lintas negara.
Hubungan dengan Tren Global
Artikel ini juga menyoroti relevansi laporan OECD ini dengan tren global:
Kesimpulan dan Implikasi
Italia telah menunjukkan komitmen signifikan dalam melaksanakan Konvensi OECD Anti-Suap, tetapi harus segera memperkuat beberapa celah kritis agar mampu menuntaskan suap lintas negara secara efektif.
Evaluasi ini bukan hanya soal “tugas rumah” Italia, tetapi juga cermin bagi negara lain: bahwa keseriusan menuntaskan suap asing menjadi parameter integritas global, sekaligus daya saing ekonomi jangka panjang.
Bagi para pelaku bisnis, laporan ini menjadi peringatan sekaligus peta jalan: kepatuhan bukan lagi opsi, tapi syarat bertahan di pasar global. Bagi pemerintah dan penegak hukum, laporan ini menegaskan bahwa sinergi, pelaporan sukarela, dan edukasi publik menjadi kunci menekan angka suap lintas negara.
Sumber : OECD. (2022). Implementing the OECD Anti-Bribery Convention in Italy: Phase 4 Report. Organisation for Economic Co-operation and Development.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Pertumbuhan kota-kota besar di Afrika membawa peluang dan tantangan bagi sektor konstruksi, terutama di negara seperti Uganda. Studi Cultural Aspects of Construction Project Management Practices – a Ugandan Perspective oleh Erik Nikkanen Almén dan Sahand Kohnechian (2014) menjadi jendela penting untuk memahami bagaimana praktik manajemen proyek di Uganda dipengaruhi oleh aspek budaya, sejarah, dan dinamika sosial. Artikel ini bukan hanya merangkum temuan dari lapangan, tetapi juga menghubungkannya dengan teori manajemen proyek Barat, peran budaya lokal, dan potensi adaptasi untuk masa depan.
Latar Belakang dan Konteks
Uganda adalah salah satu negara Afrika yang mengalami urbanisasi cepat. Pada 2009, hampir 40% dari populasi satu miliar orang tinggal di kawasan urban. Diproyeksikan, pada 2050, 60% dari dua miliar penduduk Afrika akan tinggal di kota-kota. Kampala, ibu kota Uganda, menjadi salah satu kota dengan pertumbuhan tercepat di Afrika. Hal ini membuka peluang besar bagi sektor konstruksi, yang kini menjadi pemberi kerja terbesar kedua di Uganda setelah pertanian.
Namun, industri konstruksi di Uganda masih muda dan menghadapi tantangan signifikan, termasuk kualitas pekerjaan yang bervariasi, kurangnya kompetensi teknis, dan tingginya korupsi. Penelitian ini dilakukan melalui studi lapangan selama dua bulan di Kampala, melibatkan wawancara mendalam dengan kontraktor, konsultan, dan pejabat pemerintah.
Metodologi dan Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif eksploratif dengan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara dan data sekunder dari literatur. Kerangka teori utama yang digunakan meliputi:
Temuan lapangan kemudian dibandingkan dengan standar manajemen proyek Barat (PMBOK, IPMA, dll.) untuk melihat kesenjangan dan potensi adaptasi.
Temuan Utama
1. Peran Budaya Kolektivisme dan Patronase
Budaya kolektivisme yang kuat di Uganda menciptakan dinamika berbeda dalam manajemen proyek. Hubungan personal, clan, dan komunitas sering lebih diutamakan daripada kinerja teknis. Misalnya, keputusan staf atau kontraktor sering dipengaruhi oleh hubungan sosial daripada kompetensi profesional. Hal ini berdampak pada kualitas proyek dan efisiensi waktu.
2. Manajemen Proyek: Adaptasi dan Tantangan
3. Korupsi dan Konflik Kepentingan
Korupsi menjadi hambatan utama, bahkan diakui oleh para manajer proyek. Biaya proyek sering membengkak di tahap perencanaan karena suap, menyisakan anggaran minim untuk konstruksi. Hal ini juga terkait dengan kepemimpinan negara yang masih rapuh.
4. Kelemahan Keterampilan Teknis
Kurangnya pelatihan formal di sektor konstruksi menyebabkan manajemen proyek di Uganda sering mengandalkan pengalaman individu, bukan standar profesional. Hal ini diperparah oleh keengganan klien untuk membayar mahal demi kualitas.
Analisis Kritis dan Studi Angka
Perbandingan dengan Standar Barat
Penelitian ini menegaskan bahwa standar manajemen proyek Barat—yang mengandalkan komunikasi terbuka, dokumentasi kuat, dan perencanaan detail—tidak sepenuhnya cocok di Uganda. Budaya kolektivisme, peran patronase, dan realitas ekonomi (misalnya tekanan profit cepat) membutuhkan adaptasi lebih besar.
Namun, beberapa pendekatan Barat terbukti bermanfaat:
Rekomendasi Kebijakan dan Inovasi
Penelitian ini menyarankan beberapa langkah konkret:
Kritik dan Implikasi Lebih Luas
Penelitian ini memang terbatas pada Kampala dan beberapa perusahaan saja. Namun, temuan ini penting karena menunjukkan bagaimana budaya lokal bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi membangun loyalitas, di sisi lain menghambat inovasi. Hal ini menjadi pembelajaran penting bagi negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia, dalam merancang standar manajemen proyek yang lebih inklusif dan realistis.
Kesimpulan
Artikel ini menunjukkan bahwa manajemen proyek konstruksi di Uganda berkembang pesat, tetapi masih sangat dipengaruhi oleh budaya kolektivisme, tekanan biaya, dan korupsi. Adaptasi teori manajemen proyek Barat harus dilakukan secara kontekstual, bukan copy-paste. Peningkatan pendidikan dan kolaborasi lintas budaya menjadi kunci untuk memperbaiki mutu proyek dan mendorong inovasi di sektor konstruksi Uganda.
Sumber : Almén, E. N., & Kohnechian, S. (2014). Cultural aspects of Construction Project Management practices – a Ugandan perspective. Master’s thesis, Department of Real Estate and Construction Management, Royal Institute of Technology, Stockholm.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Korupsi dalam sektor konstruksi telah menjadi momok besar di banyak negara berkembang, termasuk Malawi. Penelitian Procurement and Corruption Nexus in Construction Industry in Malawi: A Governance Enquiry oleh A. Chikuni, yang diterbitkan dalam Journal of Public Administration and Development Alternatives (2024), memberikan gambaran komprehensif tentang bagaimana praktik korupsi dalam proyek infrastruktur besar di Malawi diperkuat oleh kerangka tata kelola yang lemah dan budaya politik patronase.
Studi ini mengungkap keterkaitan erat antara pengadaan dan korupsi, serta bagaimana kelemahan dalam tata kelola memperburuk kerentanan terhadap praktik ilegal. Berdasarkan teori Public Choice dan Governance Theory, temuan ini bukan hanya relevan bagi Malawi, tetapi juga menjadi cermin bagi banyak negara berkembang yang menghadapi masalah serupa.
Kerangka Teoritis:
Penelitian ini menggunakan teori Public Choice (PCT) yang menyoroti bagaimana kepentingan pribadi dan “legal plunder” (perampokan legal) memotivasi perilaku korup dalam pengadaan publik (Rose-Ackerman, 2015). PCT menjelaskan bagaimana pejabat publik dan kontraktor saling menguntungkan secara ilegal, menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik.
Selain itu, Governance Theory dan Institutional Design membantu menjelaskan bagaimana kerangka hukum dan pengawasan yang lemah memperburuk korupsi. Hal ini mencerminkan temuan global (Khan et al., 2023; Mungiu-Pippidi, 2023) yang menyebutkan lemahnya tata kelola sebagai akar korupsi dalam pengadaan proyek konstruksi.
Metodologi:
Penelitian ini bersifat kualitatif dan menggunakan metode wawancara semi-terstruktur dengan 41 responden yang terdiri dari pejabat pemerintah, kontraktor, LSM, donor, akademisi, dan media. Selain itu, tiga studi kasus proyek konstruksi besar menjadi fokus, yaitu:
Analisis data dilakukan dengan NVivo untuk wawancara dan manual untuk data studi kasus, dengan pendekatan induktif yang fleksibel.
Hasil Temuan Utama:
Analisis Studi Kasus:
Studi Angka dan Data:
Diskusi dan Implikasi:
Penelitian ini menunjukkan bahwa perbaikan tata kelola dan desain kelembagaan lebih penting daripada sekadar menambahkan lembaga pengawasan baru. Temuan ini sejalan dengan Broken Window Theory yang menjelaskan bagaimana tindakan ilegal kecil yang diabaikan justru membuka jalan bagi kejahatan yang lebih besar.
Selain itu, dominasi kontraktor asing yang disubsidi memperlemah daya saing lokal, meningkatkan ketergantungan, dan pada akhirnya mengancam kedaulatan ekonomi Malawi. Hal ini mencerminkan pola global state capitalism yang perlu diantisipasi.
Rekomendasi Kebijakan:
Kritik dan Kelemahan Studi:
Studi ini memiliki fokus lokal di Malawi dan menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga temuan tidak bisa digeneralisasi sepenuhnya ke konteks lain. Namun, data mendalam dari tiga studi kasus menambah nilai analisis dan memunculkan pola-pola yang bisa dijadikan pembelajaran.
Kesimpulan:
Penelitian ini secara komprehensif menegaskan bahwa korupsi dalam sektor konstruksi Malawi bukan hanya soal “niat buruk” individu, tetapi lebih pada kombinasi budaya patronase, kelemahan institusi, dan desain tata kelola yang belum matang. Untuk negara berkembang lainnya, studi ini menjadi pelajaran penting bahwa penguatan tata kelola harus fokus pada efek nyata, bukan hanya kerangka hukum di atas kertas.
Dengan demikian, membangun sektor konstruksi yang bersih dan transparan di Malawi membutuhkan transformasi budaya, penguatan kapasitas teknis, dan kolaborasi inklusif lintas sektor. Hanya dengan cara itu, sektor konstruksi bisa benar-benar menjadi penggerak pembangunan ekonomi, bukan lubang hitam korupsi.
Sumber : Chikuni, A. (2024). Procurement and Corruption Nexus in Construction Industry in Malawi: A Governance Enquiry. Journal of Public Administration and Development Alternatives, 9(3), 1–20.