Korupsi Pengadaan Konstruksi di Malawi: Tantangan, Praktik, dan Solusi Tata Kelola

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

18 Juni 2025, 09.15

pexels.com

Pendahuluan
Korupsi dalam sektor konstruksi telah menjadi momok besar di banyak negara berkembang, termasuk Malawi. Penelitian Procurement and Corruption Nexus in Construction Industry in Malawi: A Governance Enquiry oleh A. Chikuni, yang diterbitkan dalam Journal of Public Administration and Development Alternatives (2024), memberikan gambaran komprehensif tentang bagaimana praktik korupsi dalam proyek infrastruktur besar di Malawi diperkuat oleh kerangka tata kelola yang lemah dan budaya politik patronase.

Studi ini mengungkap keterkaitan erat antara pengadaan dan korupsi, serta bagaimana kelemahan dalam tata kelola memperburuk kerentanan terhadap praktik ilegal. Berdasarkan teori Public Choice dan Governance Theory, temuan ini bukan hanya relevan bagi Malawi, tetapi juga menjadi cermin bagi banyak negara berkembang yang menghadapi masalah serupa.

Kerangka Teoritis:
Penelitian ini menggunakan teori Public Choice (PCT) yang menyoroti bagaimana kepentingan pribadi dan “legal plunder” (perampokan legal) memotivasi perilaku korup dalam pengadaan publik (Rose-Ackerman, 2015). PCT menjelaskan bagaimana pejabat publik dan kontraktor saling menguntungkan secara ilegal, menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik.

Selain itu, Governance Theory dan Institutional Design membantu menjelaskan bagaimana kerangka hukum dan pengawasan yang lemah memperburuk korupsi. Hal ini mencerminkan temuan global (Khan et al., 2023; Mungiu-Pippidi, 2023) yang menyebutkan lemahnya tata kelola sebagai akar korupsi dalam pengadaan proyek konstruksi.

Metodologi:
Penelitian ini bersifat kualitatif dan menggunakan metode wawancara semi-terstruktur dengan 41 responden yang terdiri dari pejabat pemerintah, kontraktor, LSM, donor, akademisi, dan media. Selain itu, tiga studi kasus proyek konstruksi besar menjadi fokus, yaitu:

  1. Shire Valley Transformation Program (SVTP)
  2. Marka-Bangula Rail Rehabilitation Project (MBRRP)
  3. M1 Road Rehabilitation Project (MRRP)

Analisis data dilakukan dengan NVivo untuk wawancara dan manual untuk data studi kasus, dengan pendekatan induktif yang fleksibel.

Hasil Temuan Utama:

  1. Normalisasi Korupsi dan Hambatan Budaya
    Korupsi di Malawi sudah menjadi “hal biasa”. Seorang kontraktor di Blantyre menyebut, “Kalau tak mau menyogok, siap-siap tutup usaha.” Patronase dan nepotisme sangat kuat, terutama dalam proyek yang didanai pemerintah domestik. Praktik ini diperkuat oleh budaya politik yang menekankan kesetiaan dan hubungan pribadi, bukan kinerja.
  2. Kelemahan Tata Kelola dan Pengawasan
    Meskipun Malawi memiliki kerangka hukum dan lembaga anti-korupsi (seperti ACB), efektivitasnya rendah. Berbagai lembaga pengawas justru memperumit koordinasi, memicu “regulatory capture” (penyanderaan regulasi). Sebagai contoh, ACB sendiri tidak memiliki insinyur teknis untuk memverifikasi proposal proyek, padahal aspek teknis inilah yang sering menjadi celah korupsi.
  3. Faktor Pengambilan Keputusan
    Keputusan dalam proyek konstruksi lebih banyak dipengaruhi oleh motif politik daripada pertimbangan profesional. Studi kasus Balaka District menunjukkan bagaimana pejabat lokal tanpa kewenangan resmi malah dipilih sebagai pengawas proyek karena kedekatan politik.
  4. Pengaruh Kontraktor Asing dan Praktik Subsidi
    Kehadiran kontraktor asing, khususnya perusahaan-perusahaan BUMN Tiongkok yang disubsidi, menciptakan persaingan tidak sehat. Harga rendah yang mereka tawarkan memicu “race to the bottom” yang justru memperbesar peluang praktik curang seperti suap dan kolusi.

Analisis Studi Kasus:

  • SVTP (Shire Valley Transformation Program)
    SVTP memiliki kerangka tata kelola yang relatif baik, termasuk Project Steering Committee (PSC) dan komunikasi yang terbuka. Namun, PSC masih rentan intervensi politik karena beranggotakan sekretaris utama pemerintah. Tidak adanya Code of Ethics formal juga menjadi titik lemah.
  • MBRRP (Marka-Bangula Rail Rehabilitation Project)
    MBRRP menunjukkan tata kelola yang buruk. Tidak adanya PSC menyebabkan alokasi sumber daya yang salah dan manipulasi politik. Proyek ini juga gagal memenuhi standar OECD dan menghadapi risiko korupsi yang tinggi.
  • MRRP (M1 Road Rehabilitation Project)
    MRRP menggunakan Project Implementation Unit (PIU), bukan PSC. Hal ini membuat akuntabilitas lemah. Kurangnya keterlibatan masyarakat dan rendahnya transparansi mendorong korupsi dan kinerja proyek yang buruk.

Studi Angka dan Data:

  • Kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB Malawi hanya 0,2%, jauh di bawah rata-rata Sub-Sahara Afrika 10,7% (Chagunda, 2021).
  • Proyek-proyek infrastruktur besar di Malawi menyumbang 30% dari anggaran nasional, tetapi menjadi sumber utama korupsi (National Audit Office, 2022).
  • Laporan IMF (2018) mencatat pejabat lebih sering melanggar regulasi pada proyek yang didanai domestik dibanding donor.
  • Pengeluaran global akibat korupsi di sektor konstruksi mencapai $3,2 triliun per tahun (Gomani & Srivastava, 2021).

Diskusi dan Implikasi:

Penelitian ini menunjukkan bahwa perbaikan tata kelola dan desain kelembagaan lebih penting daripada sekadar menambahkan lembaga pengawasan baru. Temuan ini sejalan dengan Broken Window Theory yang menjelaskan bagaimana tindakan ilegal kecil yang diabaikan justru membuka jalan bagi kejahatan yang lebih besar.

Selain itu, dominasi kontraktor asing yang disubsidi memperlemah daya saing lokal, meningkatkan ketergantungan, dan pada akhirnya mengancam kedaulatan ekonomi Malawi. Hal ini mencerminkan pola global state capitalism yang perlu diantisipasi.

Rekomendasi Kebijakan:

  • Menerapkan Comprehensive Procurement Governance Framework (CPGF) yang memadukan prinsip tata kelola perusahaan, transparansi, audit independen, dan perlindungan pelapor.
  • Memperkuat kolaborasi antara kontraktor asing dan lokal melalui kerangka joint venture yang adil.
  • Meningkatkan kapasitas SDM pengadaan dengan pelatihan teknis dan etika, termasuk untuk lembaga-lembaga seperti ACB.
  • Memastikan keterlibatan LSM dan masyarakat dalam pengawasan, seperti yang sukses dilakukan di negara-negara lain (misalnya Korea Selatan).
  • Mengintegrasikan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Code of Ethics dalam setiap proyek konstruksi untuk mendorong akuntabilitas jangka panjang.

Kritik dan Kelemahan Studi:

Studi ini memiliki fokus lokal di Malawi dan menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga temuan tidak bisa digeneralisasi sepenuhnya ke konteks lain. Namun, data mendalam dari tiga studi kasus menambah nilai analisis dan memunculkan pola-pola yang bisa dijadikan pembelajaran.

Kesimpulan:

Penelitian ini secara komprehensif menegaskan bahwa korupsi dalam sektor konstruksi Malawi bukan hanya soal “niat buruk” individu, tetapi lebih pada kombinasi budaya patronase, kelemahan institusi, dan desain tata kelola yang belum matang. Untuk negara berkembang lainnya, studi ini menjadi pelajaran penting bahwa penguatan tata kelola harus fokus pada efek nyata, bukan hanya kerangka hukum di atas kertas.

Dengan demikian, membangun sektor konstruksi yang bersih dan transparan di Malawi membutuhkan transformasi budaya, penguatan kapasitas teknis, dan kolaborasi inklusif lintas sektor. Hanya dengan cara itu, sektor konstruksi bisa benar-benar menjadi penggerak pembangunan ekonomi, bukan lubang hitam korupsi.

Sumber : Chikuni, A. (2024). Procurement and Corruption Nexus in Construction Industry in Malawi: A Governance Enquiry. Journal of Public Administration and Development Alternatives, 9(3), 1–20.