Pendahuluan
Bantuan kemanusiaan semestinya menjadi simbol kebaikan, integritas, dan empati global. Namun, ketika arus dana mencapai angka USD 156 miliar per tahun, sektor ini justru menjadi lahan subur bagi korupsi. Dalam tesis Malika Aït-Mohamed Parent, mantan petinggi Palang Merah Internasional, korupsi dalam ruang kemanusiaan dibedah dengan pendekatan lapangan, studi kasus nyata, dan wawancara terhadap 269 pelaku kemanusiaan lintas benua.
Konteks Masalah
Selama ini, isu korupsi kerap diabaikan dalam perdebatan formal di sektor kemanusiaan, bahkan oleh institusi besar seperti PBB, Bank Dunia, hingga SDGs 2030. Dalam dokumen Millennium Development Goals (MDGs), kata "korupsi" tak muncul sekalipun. Bahkan dalam World Humanitarian Summit 2016, isu ini nyaris tak disinggung secara serius.
Hipotesis Utama
Apakah korupsi di sektor kemanusiaan terjadi karena:
- Ketidaktahuan (ignorance)
- Ketidakmampuan (incompetence)
- Konspirasi terorganisir (conspiracy)?
Jawaban terhadap pertanyaan ini menjadi dasar eksplorasi selama dua tahun penelitian intensif.
Metodologi
Penulis menggunakan kombinasi:
- Wawancara mendalam terhadap 21 aktor senior kemanusiaan dari 17 negara.
- Diskusi kelompok terarah (focus group) dengan 227 peserta lintas level dan region.
- Konsultasi personal terhadap 21 orang tambahan.
- Kajian pustaka terhadap 156 publikasi internasional.
- Studi kasus lapangan seperti investigasi di Afrika Barat.
Temuan Utama
1. Pemahaman Minim soal Korupsi
Mayoritas pelaku kemanusiaan memahami korupsi hanya sebatas “sikap buruk” seperti keserakahan atau kebohongan, bukan sebagai skema sistemik. Hampir tidak ada yang menyebutkan sanksi hukum, mekanisme kontrol internal, atau skenario konkret.
Temuan #1: Ada "budaya niat baik" yang ironisnya menjadi penghambat kesadaran risiko korupsi.
2. Komitmen Transparansi Bersifat Deklaratif
Organisasi sering menyatakan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas, tapi minim penerapan konkret. Banyak laporan audit internal tidak dipublikasikan, dan kontrol internal justru diperlemah oleh beban birokrasi.
Temuan #4: Komitmen saja tidak cukup tanpa sistem, aturan, dan sanksi yang ditegakkan.
3. Transparansi Dapat Berbalik Kontraproduktif
Donor negara justru merasa cemas ketika organisasi terlalu transparan. Beberapa bahkan meminta agar tidak dikirimi laporan tertulis agar tak terbebani kewajiban hukum.
Temuan #8: Donor menginginkan transparansi, tapi tidak selalu siap menghadapinya.
4. Celah antara Kantor Pusat dan Lapangan
Kebijakan dibuat dari pusat, tapi implementasi di lapangan sering tidak memahami risiko dan tanggung jawab anti-korupsi. Peneliti menyebut ini sebagai celah yang "dikenali dan dimanfaatkan aktor korup."
Temuan #13: Perbedaan budaya kerja dan pemahaman risiko memperparah praktik korupsi lapangan.
5. Studi Kasus Nyata
Beberapa studi kasus yang diperiksa meliputi:
- Kamp pengungsi di Herat, Afghanistan (2001–2003): Ditemukan praktik penyaluran bantuan yang tidak adil dan manipulasi data penerima.
- Krisis Ebola di Afrika Barat (2015): Dana bantuan sebesar USD 5 juta tidak terpantau penggunaannya.
- Operasi di Liberia (2003–2006): Terjadi manipulasi kontrak dan nepotisme dalam penyaluran logistik.
Rekomendasi Strategis
1. Bangun Budaya Kepatuhan, Bukan Sekadar Tata Nilai
Organisasi harus beralih dari retorika nilai (value-based) ke praktik konkret (rule-based). Dibutuhkan sistem anti-korupsi yang aktif, bukan pasif.
2. Tingkatkan Kompetensi Pelaku Kemanusiaan
Pelatihan mengenai deteksi penipuan, etika distribusi bantuan, dan sistem pelaporan wajib diberikan secara menyeluruh dan reguler.
3. Gunakan Teknologi untuk Transparansi
Implementasi real-time tracking dana, distribusi digital, dan pelaporan daring dapat menekan ruang manipulasi.
4. Wujudkan Perlindungan Whistleblower
Kasus Anders Kompass dari PBB yang dipecat karena mengungkap pelecehan seksual oleh pasukan perdamaian menjadi contoh pentingnya perlindungan terhadap pelapor.
Analisis dan Opini
Artikel ini sangat bernilai karena membuka ruang diskusi serius mengenai bahaya laten korupsi di sektor yang selama ini dianggap "kebal dosa." Peneliti berhasil memadukan pengalaman empiris, suara pelaku lapangan, dan analisis literatur global. Namun, tesis ini dapat diperkuat dengan pendekatan komparatif dari negara yang berhasil menciptakan sistem anti-korupsi di sektor sosial, seperti Norwegia atau Rwanda.
Tesis ini juga menegaskan bahwa dalam dunia kemanusiaan, korupsi bukan semata persoalan uang, tetapi tentang hilangnya kepercayaan publik, nyawa, dan martabat kemanusiaan.
Kesimpulan
Korupsi di sektor kemanusiaan bukan hanya kenyataan pahit, tapi juga ancaman nyata terhadap keselamatan dan keberlanjutan bantuan global. Penelitian ini menekankan pentingnya transformasi budaya organisasi, komitmen kolektif, dan sistem yang berjalan dari pusat hingga akar rumput. Dalam dunia yang serba darurat, compliance bukan pilihan—tapi kebutuhan mendesak.
Sumber:
Aït-Mohamed Parent, M. (2016). Corruption Prevention and Control in the Humanitarian Space: Paving the Way from Naivety to Compliance. Master’s Thesis, International Anti-Corruption Academy.