Keselamatan Jalan

Kapsul Waktu Tahun 2010: Mengapa Kita Masih Mati di Jalan yang Jawabannya Sudah Kita Ketahui

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025


Saya Menemukan 'Harta Karun' Berdebu: Sebuah Laporan yang Mengubah Cara Saya Melihat Jalanan

Beberapa hari lalu, saya tidak sengaja menemukan sebuah dokumen digital yang berdebu. Ini bukan PDF biasa. Ini adalah white paper setebal 55 halaman dari 16 Juli 2010 , berjudul "Safer Vulnerable Road Users." Dokumen ini adalah bagian dari inisiatif nasional AS yang ambisius, "Toward Zero Deaths" (Menuju Nol Kematian).   

Premis dari "Toward Zero Deaths" (TZD) sangat radikal, bahkan hingga hari ini: gagasan bahwa bahkan satu kematian pun tidak dapat diterima. Ini adalah pergeseran filosofi total. Selama puluhan tahun, para insinyur lalu lintas berfokus pada "mengurangi kecelakaan" atau "mengatur" tingkat kematian yang dapat diterima. TZD berkata, "Tidak. Targetnya adalah nol."   

Lalu, siapa "Pengguna Jalan Rentan" (Vulnerable Road Users atau VRU) ini? Paper ini membaginya menjadi empat kelompok: Pejalan Kaki, Pesepeda, Pengguna Lanjut Usia, dan Pengendara Motor.   

Saat membacanya, saya langsung sadar ini bukan tentang "mereka". Ini adalah tentang "kita". Kita semua adalah pejalan kaki saat kita melangkah keluar dari mobil. Sebagian dari kita adalah pesepeda di akhir pekan. Dan jika kita cukup beruntung, kita semua suatu hari nanti akan menjadi "Pengguna Lanjut Usia." Laporan ini bukan tentang empat kelompok demografis; ini tentang kemanusiaan yang berinteraksi dengan sistem yang dirancang dengan buruk.

Inilah hal yang paling mengejutkan: Membaca dokumen tahun 2010 ini  terasa sangat relevan. Solusi yang mereka usulkan lebih dari satu dekade lalu adalah hal-hal yang masih kita perjuangkan di rapat dewan kota hari ini.   

Ini membawa saya pada pertanyaan yang meresahkan. Jika kita sudah tahu jawabannya sejak lama, mengapa jalanan kita masih membunuh begitu banyak dari kita? Mengapa, menurut data paper ini, hampir 16.000 pejalan kaki, pesepeda, lansia, dan pengendara motor tewas setiap tahun?   

Laporan ini bukan kapsul waktu. Ini adalah cermin. Dan apa yang ditunjukkannya tidaklah cantik.

Pejalan Kaki: Mengapa 4.800 Kematian Tahunan Adalah Statistik yang Kita Abaikan

Mari kita mulai dengan yang paling dasar. Berjalan kaki.

Paper ini mencatat sekitar 4.800 kematian pejalan kaki setiap tahun, yang merupakan 11% dari total kematian di jalan raya.   

Coba kita manusiakan data itu. 4.800 orang. Itu setara dengan satu pesawat jet penumpang besar yang jatuh dari langit setiap bulan, dan semua penumpangnya tewas. Bedanya, korban kali ini adalah orang-orang yang sedang berjalan ke warung, menjemput anak, atau berolahraga. Jika itu terjadi di industri penerbangan, seluruh armada akan di-grounded. Tapi di jalan raya, kita hanya menyebutnya "kecelakaan" dan terus berjalan.

Ironisnya, paper ini juga mencatat bahwa sementara jumlah kematian menurun sedikit, jumlah perjalanan kaki meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 1990 dan 2009. Semakin banyak orang berjalan, tetapi kita gagal melindungi mereka.   

Musuh Terbesar Anda Bukan Ponsel (Tapi Fisika dan Kegelapan)

Kita sering menyalahkan pejalan kaki yang menatap ponsel. Tapi data dalam paper ini menceritakan kisah yang berbeda. Musuh terbesar pejalan kaki jauh lebih mendasar.

1. Kegelapan: Sekitar dua pertiga dari semua kematian pejalan kaki terjadi pada malam hari atau dalam kondisi cahaya redup.   

2. Fisika (Kecepatan): Ini adalah bagian yang paling mengerikan bagi saya. Paper ini mengutip sebuah studi di Inggris  yang membedah hubungan antara kecepatan kendaraan dan kelangsungan hidup manusia. Hasilnya sangat jelas:   

  • Tertabrak kendaraan yang melaju 40 mph (64 km/jam): Probabilitas kematian 85%.

  • Tertabrak kendaraan yang melaju 30 mph (48 km/jam): Probabilitas kematian 55%.

  • Tertabrak kendaraan yang melaju 20 mph (32 km/jam): Probabilitas kematian 5%.

Bacalah itu lagi. Perbedaan antara jalan yang dirancang untuk 40 mph dan 20 mph adalah perbedaan antara hampir pasti mati (85%) dan hampir pasti hidup (5%).

Bayangkan jika Anda adalah seorang manajer. Anda tahu bahwa jika Anda menetapkan deadline pada hari Rabu, 85% tim Anda akan gagal total. Tetapi jika Anda memindahkannya ke hari Jumat, hanya 5% yang akan gagal. Anda akan memindahkannya ke hari Jumat, bukan?

Kematian ini bukanlah "kecelakaan". Itu adalah hasil yang dapat diprediksi dari desain teknik. Jalan arteri perkotaan kita, yang dirancang untuk lalu lintas 40+ mph, secara statistik menjamin kematian pejalan kaki.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Solusi yang Sudah Ada Sejak 2010

Bagian terbaik dari paper ini adalah ia tidak hanya mengeluh. Ia menawarkan 8 strategi yang jelas. Dan yang mengejutkan saya adalah betapa sederhananya solusi-solusi itu.   

Strategi 2, misalnya, pada dasarnya adalah apa yang sekarang kita sebut "Complete Streets". Paper ini  secara eksplisit menyerukan agar kebutuhan pejalan kaki (termasuk penyandang disabilitas) menjadi standar, bagian integral dari semua proyek jalan raya, bukan sebagai tambahan jika ada sisa anggaran.   

Strategi 3 menyerukan perbaikan teknik seperti refuge islands (pulau perlindungan di tengah jalan multi-lajur). Mengapa? Karena jalan arteri dengan lima lajur tanpa median adalah jebakan maut. Paper ini juga mendukung program seperti Safe Routes to School (Rute Aman ke Sekolah).   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Menurunkan kecepatan dari 40 mph ke 20 mph mengurangi risiko kematian sebesar 94% (turun dari 85% ke 5%).   

  • 🧠 Inovasinya: Berhenti menyalahkan pejalan kaki karena "berpakaian gelap" di malam hari, dan mulailah memperbaiki desain jalan yang berbahaya dan pencahayaan yang buruk.   

  • 💡 Pelajaran: Jalan yang aman untuk anak-anak adalah jalan yang aman untuk semua orang.

Dilema Dua Roda: Terlalu Cepat untuk Trotoar, Terlalu Rentan untuk Jalan Raya

Sekarang mari kita bicara tentang dua kelompok yang terjebak di tengah-tengah: pesepeda dan pengendara motor.

Inilah data paling mengejutkan yang saya temukan di seluruh laporan. Siapa yang menurut Anda lebih banyak tewas di jalan raya: pejalan kaki atau pengendara motor?

Saya salah besar.

  • Pejalan Kaki: ~4.800 kematian per tahun.   

  • Pengendara Motor: ~5.200 kematian per tahun.   

Paper ini  dengan jelas menyatakan bahwa jumlah kematian pengendara motor kini melebihi jumlah kematian pejalan kaki. Ini benar-benar mengubah cara saya memandang hierarki risiko di jalan raya.   

Tragedi Pengendara Motor: 5.200 Nyawa dan Kebutaan Institusional

Data pengendara motor sangat suram. Mereka mewakili 13% dari semua kematian di jalan raya, padahal mereka hanya 3% dari kendaraan terdaftar.   

Mengapa angka ini begitu tinggi? Paper ini  menyoroti kegagalan sistemik yang brutal.   

1. Kegagalan Infrastruktur: Jalan raya tidak didesain untuk mereka. Paper ini  menunjukkan bahwa pagar pembatas (guardrails) dan tiang rambu yang dirancang untuk "menyelamatkan" penumpang mobil, justru berfungsi sebagai benda mematikan yang menghancurkan bagi pengendara motor yang terpental.   

2. Kegagalan Data: Mereka secara harfiah tidak terlihat dalam data. Paper ini  menjelaskan bahwa metode pengumpulan data VMT (Vehicle Miles Traveled) sering kali "memfilter" atau gagal menghitung sepeda motor. Jika Anda tidak menghitungnya, mereka tidak ada. Jika mereka tidak ada, Anda tidak merancang untuk mereka. Jika Anda tidak merancang untuk mereka, mereka mati.   

Solusinya? Paper ini  sangat jelas: Strategi 4 adalah "Mandatory Helmet Use" (UU Helm Wajib) untuk semua pengendara di semua negara bagian. Paper ini juga merekomendasikan teknologi seperti rem ABS canggih.   

Opini pribadi saya: Ini tahun 2010. Lebih dari satu dekade kemudian, ini masih menjadi perdebatan politik yang panas, seolah-seolah data tidak ada. Paper ini  menyatakan helm terbukti sebagai cara paling efektif untuk mencegah cedera kepala serius dan kematian. Fakta bahwa kita masih memperdebatkannya adalah sebuah kegilaan kolektif.   

Paradoks Pesepeda: Semakin Bugar, Namun Semakin Tua Usia Korbannya

Kabar baiknya, jumlah kematian pesepeda jauh lebih sedikit, "hanya" sekitar 700 kematian per tahun. Tapi ada tren aneh di baliknya.   

Ini bukan lagi hanya masalah anak-anak. Usia rata-rata pesepeda yang tewas meningkat dari 32 tahun (pada 1998) menjadi 41 tahun (pada 2008). Ini adalah orang dewasa, komuter, dan pehobi yang terbunuh.   

Dan inilah dua statistik yang membuat saya terdiam:

  • Pada tahun 2008, 91% pesepeda yang tewas dilaporkan tidak memakai helm.   

  • Pada tahun 2008, 23% pesepeda yang tewas (berusia 16 tahun ke atas) memiliki kadar alkohol dalam darah (BAC) 0,08 atau lebih tinggi—melebihi batas legal untuk mengemudi.   

Saya pikir solusinya sederhana: "Pakai helm dan jangan bersepeda sambil mabuk."

Tapi paper ini  jauh lebih cerdas. Strategi yang paling ditekankan bukanlah menyalahkan korban. Strategi 5 adalah tentang mendidik pengemudi mobil tentang cara berbagi jalan. Strategi 3 adalah tentang rekayasa jalan, seperti menggunakan bike boxes (area tunggu khusus sepeda di depan mobil saat lampu merah) dan sharrows (penanda jalur bersama). Ini adalah pengakuan bahwa keselamatan pesepeda tidak hanya bergantung pada pesepeda, tetapi pada sistem di sekitar mereka.   

Realitas yang Sulit Diterima: Saat Orang yang Kita Sayang Tak Seharusnya Lagi Mengemudi

Ini adalah bagian yang paling sulit. Ini personal.

Kita semua pernah mengalaminya—duduk di kursi penumpang sementara orang tua, kakek, atau nenek kita yang sudah lanjut usia mengemudi. Kita menahan napas di setiap persimpangan, kaki kita secara refleks "mengerem" lantai mobil.

Data mengkonfirmasi ketakutan kita. Paper ini  mencatat lebih dari 5.000 pengemudi berusia 70+ tewas setiap tahun. Dan masalah ini akan meledak. Paper ini  memproyeksikan bahwa pada tahun 2030, 25% dari semua pengemudi di jalan raya akan berusia 65 tahun ke atas.   

Opini Saya: Ide Paling Brilian dalam Paper Ini

Jadi, apa yang kita lakukan? Kita semua tahu ada pengemudi lansia yang berbahaya. Tetapi mencabut SIM mereka di negara yang bergantung pada mobil terasa seperti hukuman mati sosial.

Solusi yang jelas (dan buruk) adalah menguji ulang setiap orang pada usia 70 tahun. Tapi itu diskriminatif berdasarkan usia (ageist) dan tidak efektif. Seorang 80 tahun yang bugar mungkin pengemudi yang jauh lebih aman daripada seorang 60 tahun yang baru pulih dari stroke.

Di sinilah letak ide paling brilian dalam paper ini. Para penulis merekomendasikan agar kita berhenti fokus pada usia kronologis dan mulai fokus pada penurunan fungsional.   

Strategi 1 mereka  menyerukan "skrining yang ditingkatkan" untuk semua orang saat perpanjangan SIM, yang menguji tiga hal inti:   

  1. Fungsi Kognitif (pemrosesan, memori kerja)

  2. Fungsi Visual (bukan hanya ketajaman, tapi juga sensitivitas kontras)

  3. Fungsi Motorik (kekuatan, rentang gerak)

Mengapa ini brilian? Karena ini adil. Ini berbasis data. Ini menghilangkan stigma "pengemudi tua" dan menggantinya dengan "pengemudi dengan gangguan fungsional"—yang bisa terjadi pada usia berapa pun. Dan yang terpenting, ini menawarkan intervensi dan rehabilitasi , bukan hanya hukuman.   

Bahaya Tersembunyi di Lemari Obat

Risikonya bukan hanya tentang penyakit (demensia, katarak), tapi tentang perawatan itu sendiri. Paper ini  memiliki bagian yang menakutkan tentang polypharmacy—penggunaan beberapa obat sekaligus.   

Tabel 4  menunjukkan korelasi yang jelas: semakin tua pengemudi, semakin banyak obat "Potentially Driver Impairing" (PDI) yang mereka minum, dan semakin tinggi keterlibatan mereka dalam kecelakaan. Pengemudi berusia 70+ yang terlibat kecelakaan, rata-rata, sedang dalam pengaruh 1,66 obat PDI.   

Ini adalah pengingat yang kuat bagi kita semua untuk bertanya kepada dokter: "Apakah obat ini memengaruhi kemampuan saya mengemudi?" Ini adalah masalah(https://diklatkerja.com/course/dasar-dasar-manajemen-risiko/) pribadi yang kita semua abaikan.   

Opini Saya: Kita Membaca Ini di. Apa yang Sebenarnya Berubah?

Inilah inti dari semuanya. Saya baru saja membedah dokumen berusia lebih dari satu dekade. Dan rekomendasinya terasa segar, mendesak, dan... sangat familiar.   

Meski temuannya hebat, cara analisanya... sejujurnya, sangat jelas. Sangat jelas sehingga memalukan bahwa kita di masih memperdebatkan "Complete Streets"  seolah-olah itu ide radikal. Kita masih terjebak dalam perang budaya tentang helm  padahal data sudah final. Kita masih ragu untuk menguji kemampuan fungsional pengemudi  karena takut "menyinggung" perasaan orang.   

Kematian ini dapat dicegah. Ini adalah kegagalan desain. Ini adalah tanggung jawab para profesional yang merancang, membangun, dan mengelola sistem kita.

Bagi Anda yang bekerja di bidang ini, ini bukan lagi hanya pekerjaan teknis; ini adalah keharusan moral. Jika Anda seorang insinyur atau perencana, meningkatkan keahlian Anda dalam Keselamatan Infrastruktur Jalan  atau menerapkan(https://www.diklatkerja.com/course/penerapan-sistem-manajemen-keselamatan-konstruksi-untuk-mencegah-kegagalan-bangunan/)  adalah langkah awal yang fundamental.   

Kita tidak bisa menunggu satu dekade lagi untuk membaca laporan lain yang memberi tahu kita hal yang sama persis.

Menuju Nol Kematian Bukan Mimpi, Tapi Pilihan Desain

Visi "Toward Zero Deaths"  bukanlah utopia yang naif. Ini adalah target teknik. Ini adalah pengakuan bahwa jika kecepatan 20 mph menyelamatkan nyawa , maka kita harus memilih untuk mendesain jalan 20 mph. Jika helm menyelamatkan nyawa , kita harus memilih untuk mewajibkannya.   

Kematian di jalan raya bukanlah takdir. Itu adalah pilihan desain yang kita, sebagai masyarakat, terus buat setiap hari.

Saya tahu ini adalah bacaan panjang, dan jika Anda sudah sampai sejauh ini, Anda peduli. Kalau kamu tertarik dengan ini, coba baca paper aslinya (link di bawah). Ini teknis, tapi wawasannya—bahkan dari tahun 2010—sangat membuka mata.

Selengkapnya
Kapsul Waktu Tahun 2010: Mengapa Kita Masih Mati di Jalan yang Jawabannya Sudah Kita Ketahui

Keselamatan Jalan

Ada yang Salah di Persimpangan Itu. Sebuah Studi Mengubah Cara Saya Melihat Jalanan Sepi.

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025


Ada semacam kedamaian palsu saat berkendara di jalan pedesaan yang sepi. Anda tahu perasaan itu: jendela terbuka, angin sepoi-sepoi, tidak ada lalu lintas yang terlihat bermil-mil. Rasanya aman. Rasanya tenang. Ini adalah ilusi yang nyaman yang kita semua nikmati.

Sebuah paper penelitian yang saya baca minggu ini menghancurkan ilusi itu berkeping-keping.

Paper itu berjudul "A Study of Fatal Pedestrian Crashes at Rural Low Volume Road Intersections in Southwest China". Judul yang kering, saya tahu. Tetapi isinya jauh dari itu. Ini bukan tentang kekacauan lalu lintas kota yang padat yang biasa kita lihat di berita. Ini tentang bahaya tersembunyi di persimpangan jalan pedesaan yang tampak sepi—jenis tempat di mana, secara global, 92% kematian lalu lintas terjadi, di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.   

Para peneliti—Xie, Nikitas, dan Liu—tidak hanya mengambil data statistik dan membuat grafik yang membosankan. Mereka melakukan sesuatu yang jauh lebih dalam. Mereka mengambil 28 kasus kecelakaan fatal pejalan kaki, yang terjadi antara 2005 dan 2010 di delapan jalan pedesaan di Tiongkok Barat Daya, dan pada dasarnya melakukan "autopsi psikologis" pada setiap kecelakaan tersebut.   

Bayangkan jika Anda menganalisis setiap kesalahan besar di tempat kerja. Pendekatan yang malas adalah dengan mengatakan, "Yah, Budi mengklik tombol yang salah. Kesalahan Budi." Pendekatan yang mendalam adalah bertanya: Mengapa Budi mengklik tombol itu? Apakah labelnya membingungkan? Apakah dia kurang tidur karena jam kerja yang gila? Apakah dia tidak pernah dilatih dengan benar tentang software itu?

Itulah yang dilakukan para peneliti ini. Mereka menggunakan metode yang disebut DREAM (Driving Reliability and Error Analysis Method). DREAM adalah cara sistematis untuk mengklasifikasikan mengapa kecelakaan terjadi. Metode ini tidak berhenti pada "pengemudi mengebut." Ia terus menggali lebih dalam.   

  • Pengemudi mengebut (A2.1 Speed: too high). Mengapa?   

  • Karena dia salah menilai situasi (C2 Misjudgement of situation). Mengapa?   

  • Karena dia melewatkan pengamatan (B1 Missed observation). Mengapa?   

  • Karena rambu-rambu di persimpangan itu sangat buruk (Q1 Inadequate information design) dan dia tidak pernah dilatih dengan benar (N4 Inadequate training).   

Metode DREAM ini adalah kunci mengapa studi ini begitu kuat meskipun jumlah sampelnya kecil (hanya 28 kecelakaan). Para peneliti sendiri mengakui bahwa fokus mereka adalah pada "kualitas daripada kuantitas". Ini bukan statistik; ini adalah pendongengan forensik. Dan cerita yang mereka ungkapkan sangat mengerikan.   

Mimpi Buruk di Balik Data: Angka-Angka yang Membuat Saya Berhenti Sejenak

Sebelum kita masuk ke "mengapa", kita perlu memahami "apa". Dan data mentahnya saja sudah cukup untuk membuat Anda merinding. Ini adalah beberapa statistik dari 28 kecelakaan fatal yang dianalisis, yang terus terngiang di kepala saya :   

  • 75% pejalan kaki tewas di persimpangan T (T-intersections). Awalnya ini mengejutkan saya. Persimpangan T seharusnya sederhana. Tetapi paper ini menjelaskan bahwa di daerah pedesaan Tiongkok, ini seringkali bukan persimpangan resmi. Mereka adalah "jalan cabang dan bahkan pintu rumah" yang langsung terhubung ke jalan raya tanpa peringatan. Ini adalah resep untuk bencana.   

  • 82% persimpangan tidak memiliki fasilitas pejalan kaki. Saya ulangi: delapan dari sepuluh persimpangan tidak memiliki apa-apa. Nol zebra cross. Nol rambu peringatan pejalan kaki. Nol perlindungan.   

  • 50% kecelakaan terjadi pada malam hari atau dalam kondisi cahaya redup. Dan inilah bagian terburuknya, yang membuat saya ternganga: Tidak ada (0%) dari persimpangan yang diteliti yang memiliki lampu penerangan jalan. Pejalan kaki menyeberang dalam kegelapan total di persimpangan tak bertanda.   

  • 61% kendaraan melebihi batas kecepatan. Ini adalah bahan bakar yang menyulut api.   

Jika Anda menggabungkan fakta-fakta ini, itu bukan hanya sekumpulan angka. Itu menceritakan sebuah kisah.

  • 🚀 Lingkungan yang Dirancang untuk Kematian: Pengemudi yang ngebut (61%) + kegelapan total (50% kecelakaan, 0% lampu) + persimpangan tak bertanda (82% tanpa fasilitas).

  • 🧠 Kesimpulan yang Tak Terelakkan: Kematian ini bukanlah "kecelakaan" dalam arti sesuatu yang acak dan tidak bisa dihindari. Mereka adalah hasil yang dapat diprediksi dari sistem yang dirancang dengan kelalaian total.

  • 💡 Pelajaran: Kita tidak bisa hanya menyalahkan "kesalahan pengemudi" ketika kita merancang lingkungan yang membuat kesalahan itu hampir pasti terjadi.

Empat Penjahat yang Sebenarnya (Dan Ini Bukan Sekadar "Kesalahan Manusia")

Inilah inti dari paper ini. Analisis DREAM mereka mengelompokkan semua faktor penyebab ini menjadi empat tema utama yang menghancurkan. Ini adalah empat pilar kegagalan yang menopang 28 kematian tersebut:   

  1. Desain Infrastruktur Keselamatan yang Kurang.

  2. Pendidikan Keselamatan Pejalan Kaki yang Kurang.

  3. Pelatihan Pengemudi yang Tidak Memadai.

  4. Penegakan Hukum Lalu Lintas yang Tidak Cukup.

Mari kita bedah satu per satu, karena di sinilah pelajarannya menjadi sangat jelas dan dapat ditindaklanjuti.

Penjahat #1: Desain Jalan yang "Malas"

Ini adalah "Deficient intersection safety infrastructure".   

Bayangkan seorang desainer UI web menempatkan tombol 'Hapus Akun Anda Secara Permanen' tepat di sebelah tombol 'Login', tanpa label atau kotak konfirmasi. Itulah tingkat desain 'malas' yang kita bicarakan di sini.

Faktor DREAM "Q1 Inadequate information design" (desain informasi yang tidak memadai) adalah penyebab utama yang muncul di setiap pola kecelakaan. Ini berarti rambu-rambu, marka jalan, dan panduan visual untuk memperingatkan pengemudi atau pejalan kaki tidak ada, atau sangat membingungkan.   

Tetapi paper ini tidak hanya mengeluh. Mereka menawarkan solusi cerdas, dan yang terpenting, solusi realistis. Mereka tahu bahwa "sumber daya untuk investasi... terbatas" di daerah pedesaan. Jadi, mereka tidak menyarankan jalan layang multi-juta dolar. Mereka menyarankan intervensi "traffic calming" (penenangan lalu lintas) yang berbiaya rendah dan terbukti :   

  • Polisi Tidur (Speed Bumps): Murah, mudah dipasang, dan sangat efektif untuk memaksa kendaraan melambat.   

  • Bundaran (Roundabouts): Secara fisik memaksa pengemudi untuk mengurangi kecepatan saat mendekati, memasuki, dan bergerak di dalam persimpangan.   

  • Lampu Jalan: Solusi yang paling jelas di dunia, mengingat 50% kecelakaan terjadi dalam kegelapan total.   

Penjahat #2: Saat Pejalan Kaki Tidak Pernah Diajari Cara Menyeberang

Ini adalah "Lack of pedestrian safety education".   

Analisis DREAM menemukan faktor "M1 Inadequate transmission from other road users" (transmisi [niat] yang tidak memadai dari pengguna jalan lain) sebagai penyebab utama. Dalam bahasa manusiawi? Pejalan kaki "menyeberang jalan tanpa melihat dulu" untuk mencari kendaraan. Mereka tidak melakukan kontak mata, tidak memberi isyarat. Mereka hanya berjalan ke jalan raya.   

Dan inilah data yang paling tragis: lebih dari separuh (56%) dari mereka yang tewas adalah anak-anak (di bawah 15 tahun) atau lansia (di atas 65 tahun). Kelompok paling rentan yang membayar harga tertinggi.   

Di sinilah paper ini benar-benar bersinar bagi saya. Solusinya tidak umum. Mereka sangat kontekstual dan spesifik secara budaya. Para peneliti tidak menyarankan kampanye TikTok yang gemerlap. Mereka menyarankan "cara yang tidak konvensional" :   

  • Menggunakan "pengeras suara dari stasiun radio desa" untuk menyiarkan program keselamatan lalu lintas harian pada waktu-waktu tertentu.

  • Membuat "kader desa" (aparat desa setempat) bertanggung jawab untuk mempublikasikan informasi keselamatan lalu lintas.

  • Menerapkan solusi sederhana seperti membagikan bahan reflektif untuk "tongkat pejalan lansia dan tas anak-anak" agar mereka lebih terlihat dalam gelap.   

Ini jenius. Ini adalah solusi berbiaya rendah yang menjangkau tepat target audiens (seperti lansia di rumah) yang tidak akan pernah melihat iklan layanan masyarakat di TV.

Penjahat #3: Sekolah Mengemudi "Abal-Abal"

Ini adalah "Inadequate driver training". Dan bagian ini, terus terang, membuat saya marah.   

Faktor-faktor DREAM seperti "N4 Inadequate training" (pelatihan tidak memadai) dan "F6 Insufficient skills/knowledge" (keterampilan/pengetahuan tidak cukup) adalah akar penyebab yang masif.   

Tetapi paper ini tidak berhenti di situ. Ia menggali mengapa pelatihannya tidak memadai. Ini bukan hanya karena kurikulumnya sulit. Ini karena sistemnya korup. Para peneliti dengan jujur menulis bahwa :   

  • "banyak sekolah mengemudi memotong waktu pelatihan" untuk menghemat uang.

  • Beberapa sekolah "membantu orang berbuat curang dalam ujian atau menjual surat izin mengemudi."

  • Ada "sejumlah sekolah mengemudi ilegal" yang beroperasi di daerah pedesaan ini.

Ini mengubah segalanya. Fakta bahwa 61% pengemudi mengebut  bukan hanya pilihan individu yang buruk; itu adalah gejala dari sistem yang secara aktif meluluskan pengemudi yang tidak terampil, tidak berpengetahuan, dan mungkin ilegal ke jalan. Masalahnya tidak dimulai di jalan; itu dimulai di "sekolah mengemudi" itu.   

Membaca bagian ini membuat saya merinding. Ini adalah kegagalan sistemik. Jika fondasi pelatihannya saja sudah korup, bagaimana kita bisa mengharapkan perilaku yang aman di jalan?

Ini mengingatkan saya pada pentingnya pelatihan berkualitas di semua aspek kehidupan. Di dunia profesional, mengambil jalan pintas dalam pelatihan bisa sama berbahayanya bagi karier Anda. Untungnya, untuk [mengembangkan keterampilan profesional Anda], ada platform seperti **** yang menyediakan fondasi yang kokoh dan sah, tidak seperti sekolah mengemudi 'abal-abal' yang dibahas di sini.

Penjahat #4: Polisi yang Tidak Terlihat

Yang terakhir adalah "Insufficient traffic law enforcement".   

Jika 61% pengemudi mengebut dan banyak yang mengemudi tanpa SIM , itu menyiratkan satu hal: tidak ada yang mengawasi.   

Tetapi sekali lagi, paper ini menggali lebih dalam. Ini bukan karena polisinya malas. Ini karena "sumber daya polisi yang terbatas". Dan mereka memberikan statistik yang paling mencengangkan di seluruh paper:   

"tidak jarang bahwa hanya tiga atau empat polisi lalu lintas lokal mengawasi sebanyak empat atau lima kota... yang mungkin memiliki total populasi 0,3 juta".   

Itu adalah situasi yang mustahil. Itu bukan "penegakan hukum yang lemah"; itu adalah "penegakan hukum yang non-eksisten".

Sekali lagi, para peneliti menawarkan solusi pragmatis. Karena menambah jumlah polisi itu mahal dan lambat, mereka menyarankan :   

  • Sewa "petugas lalu lintas" (traffic wardens)—petugas sipil yang lebih murah untuk membantu menegakkan hukum.

  • Gunakan "penegakan hukum dengan kamera" (camera enforcement) di persimpangan yang paling rawan kecelakaan.

Ini adalah tema yang berulang: Jika sumber daya manusia (polisi, guru) terbatas, kita harus mengandalkan teknologi (kamera) dan struktur komunitas (kader desa, petugas lalu lintas) untuk mengisi kesenjangan tersebut.

Kritik Halus Saya: Apakah 28 Kematian Cukup?

Saya harus jujur, sebagai seorang jurnalis, hal pertama yang saya lihat adalah "N=28". Hanya 28 kecelakaan.   

Meskipun temuannya hebat, cara analisanya yang didasarkan pada 28 kasus awalnya membuat saya skeptis. Bisakah kita benar-benar menarik kesimpulan besar tentang infrastruktur, pendidikan, dan korupsi seluruh wilayah dari data sekecil itu?   

Namun, di sinilah saya menghargai kejujuran peneliti. Mereka adalah yang pertama mengakui ini di bagian "Batasan Studi". Mereka menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan data kecelakaan yang terperinci seperti ini dari kepolisian di Tiongkok.   

Lebih penting lagi, mereka berargumen bahwa metode DREAM yang mereka gunakan berfokus pada "kualitas daripada kuantitas". Dan setelah membaca analisis mereka, saya setuju.   

Mereka tidak mencoba memetakan seluruh Tiongkok. Mereka melakukan "autopsi" mendalam pada 28 tragedi untuk memberi kita 4 pelajaran yang sangat kuat. Dan dalam hal itu, mereka berhasil dengan cemerlang.

Yang Paling Mengubah Pikiran Saya (Dan Apa yang Bisa Kita Terapkan)

Setelah membaca paper ini, pelajaran terbesar bagi saya bukanlah "menyetirlah dengan aman" atau "lihat kiri-kanan." Pelajaran terbesarnya adalah: Keselamatan bukanlah kebetulan. Keselamatan adalah hasil dari desain.

Ke-28 kematian ini bukanlah "kecelakaan" dalam arti takdir acak atau nasib buruk. Mereka adalah insiden—kegagalan yang dapat diprediksi yang disebabkan oleh sistem yang rusak dalam empat cara yang jelas: desain infrastruktur, pendidikan, pelatihan, dan penegakan.

Jalan-jalan pedesaan ini, seperti yang digambarkan dalam paper ini, seperti software yang dirilis ke publik dalam versi beta, tanpa quality assurance. Para penggunanya—pejalan kaki dan pengemudi—dibiarkan menemukan bug fatalnya sendiri. Dan mereka membayarnya dengan nyawa.

Ini hanya goresan di permukaan dari apa yang saya gali. Jika Anda seorang analis, perencana kota, insinyur, atau hanya seseorang yang tertarik pada bagaimana "analisis akar masalah" yang sebenarnya bekerja dalam praktik, saya sangat merekomendasikan Anda membaca paper aslinya.

Ini padat, teknis, tetapi wawasannya sepadan.

(https://doi.org/10.1080/15389588.2017.1387654)

Selengkapnya
Ada yang Salah di Persimpangan Itu. Sebuah Studi Mengubah Cara Saya Melihat Jalanan Sepi.
page 1 of 1