Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 16 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Pedoman Registrasi ACPE menegaskan pentingnya sertifikasi dan pengakuan profesional lintas negara ASEAN melalui mekanisme Mutual Recognition Arrangement (MRA). Dengan adanya sistem registrasi daring, insinyur Indonesia tidak hanya mendapatkan pengakuan nasional, tetapi juga kesempatan bekerja dan berkolaborasi di tingkat regional ASEAN.
Bagi kebijakan publik, hal ini berarti peningkatan daya saing SDM teknik Indonesia. Dengan pengakuan ACPE, mobilitas tenaga kerja insinyur semakin terbuka, proyek lintas negara dapat dijalankan lebih efektif, serta standar keahlian profesional dapat diselaraskan dengan kebutuhan global. Hal ini sejalan dengan Peningkatan Kualitas Insinyur Melalui Sertifikasi Insinyur Profesional yang menegaskan sertifikasi sebagai jaminan kompetensi dan keselamatan publik.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak positif registrasi ACPE adalah meningkatnya kualitas dan kredibilitas insinyur Indonesia di pasar ASEAN. Insinyur yang tersertifikasi dapat lebih mudah berpartisipasi dalam proyek infrastruktur regional, meningkatkan transfer pengetahuan, serta memperkuat reputasi Indonesia dalam forum internasional.
Namun, hambatan tetap ada. Proses sertifikasi membutuhkan bukti kompetensi, pengalaman kerja, dan pemenuhan standar yang tidak semua insinyur Indonesia siap penuhi. Sosialisasi yang masih terbatas dan rendahnya kesadaran tentang manfaat ACPE juga menjadi kendala utama.
Peluang strategis terbuka luas jika pemerintah, perguruan tinggi, dan asosiasi profesi dapat bersinergi. Integrasi standar ACPE dalam kurikulum pendidikan teknik, program pelatihan berkelanjutan, dan penyederhanaan registrasi daring dapat memperluas jumlah insinyur Indonesia yang berdaya saing global. Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia dengan Best Practices Global juga menunjukkan pentingnya menutup gap antara standar lokal dan global agar ACPE lebih diakui.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis
Integrasi ACPE dalam Kebijakan Nasional SDM Teknik
Masukkan ACPE sebagai standar rujukan dalam pengembangan kompetensi insinyur nasional.
Sosialisasi dan Edukasi Publik
Perlu ada program kampanye nasional untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya registrasi ACPE bagi insinyur muda.
Insentif bagi Insinyur yang Tersertifikasi ACPE
Berikan penghargaan atau akses prioritas untuk proyek strategis nasional bagi insinyur bersertifikat ACPE.
Kolaborasi Perguruan Tinggi dan Asosiasi Profesi
Kampus teknik perlu memasukkan pemahaman tentang ACPE sejak dini agar lulusan siap menghadapi standar internasional.
Digitalisasi dan Penyederhanaan Proses Registrasi
Tingkatkan efektivitas sistem registrasi daring agar lebih transparan, cepat, dan mudah diakses oleh seluruh calon pendaftar.
Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius
Tanpa dukungan kebijakan publik, jumlah insinyur Indonesia yang terdaftar sebagai ACPE akan minim. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya partisipasi dalam proyek lintas negara, menurunnya daya saing SDM teknik nasional, serta semakin lebarnya kesenjangan dengan negara tetangga yang lebih proaktif.
Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia
Registrasi ACPE bukan sekadar formalitas, melainkan investasi strategis untuk meningkatkan mobilitas, kredibilitas, dan daya saing insinyur Indonesia di ASEAN. Dengan kebijakan publik yang mendukung sosialisasi, pelatihan, serta digitalisasi registrasi, Indonesia bisa memperluas kontribusinya dalam proyek infrastruktur regional dan memperkuat posisinya di kancah internasional.
Sejalan dengan itu, kursus seperti Pengendalian Kualitas Pekerjaan Konstruksi dapat menjadi pelengkap penting dalam membangun keahlian teknis dan standar mutu bagi insinyur profesional.
Sumber
Kementerian PUPR. Pedoman Registrasi ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE) Secara Daring.
ASEAN Mutual Recognition Arrangement (MRA) on Engineering Services.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 September 2025
Pendahuluan – Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Disertasi Ann-Louise Howard (2022), “I Didn’t Know it was a Thing Either: Women Engineers’ Experience of Suffering in the Workplace”, menyingkap realitas pahit yang dialami perempuan insinyur di berbagai konteks kerja. Suffering bukanlah peristiwa tunggal, melainkan akumulasi dari pengalaman diskriminatif, mikroagresi sehari-hari, dan tekanan struktural yang menjadikan profesi teknik terasa asing bagi perempuan. Fenomena ini berdampak pada berkurangnya jumlah perempuan dalam jalur pendidikan dan profesi teknik, yang dikenal sebagai “leaky pipeline.”
Persoalan ini bukan sekadar isu individu, tetapi merupakan masalah kebijakan publik. Kehilangan potensi perempuan dalam dunia teknik berarti kehilangan kontribusi signifikan bagi pembangunan infrastruktur dan industri nasional. Oleh sebab itu, riset Howard harus dipandang sebagai landasan strategis untuk mendorong reformasi kebijakan yang lebih inklusif. Untuk memahami konteks sosial-gender yang lebih luas, pembaca dapat menelusuri artikel Warisan, Gender, dan Perubahan Sosial (Studi Antargenerasi di dalam Masyarakat Pedesaan Bali) yang membahas perubahan norma gender dari generasi ke generasi.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Temuan penelitian menunjukkan bahwa dampak sosial dari suffering sangat besar, terutama pada aspek kesehatan mental, kesejahteraan, dan partisipasi perempuan dalam profesi teknik. Banyak perempuan insinyur yang akhirnya meninggalkan dunia kerja karena merasa terisolasi, mengalami burnout, atau kehilangan motivasi akibat diskriminasi yang berulang. Hal ini memicu kurangnya representasi perempuan dalam jabatan tinggi dan mengurangi hadirnya figur panutan bagi generasi muda.
Hambatan struktural menjadi faktor utama yang memperparah kondisi ini. Budaya kerja yang didominasi maskulinitas mengukuhkan standar bahwa “engineer sejati adalah laki-laki,” sehingga membuat perempuan sulit diterima setara. Mekanisme pelaporan diskriminasi yang ada seringkali tidak efektif dan justru menghadirkan risiko balasan bagi korban.
Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang besar untuk perubahan. Penerapan kebijakan gender mainstreaming dapat menjadi jembatan untuk mengubah budaya organisasi. Integrasi perspektif kesetaraan dalam asosiasi profesi serta penguatan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan menjadi ruang yang bisa dioptimalkan. DiklatKerja, melalui artikel seperti “Langkah Signifikan UMN Bersama Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III dalam Menciptakan Lingkungan Akademik yang Aman di Perguruan Tinggi”, menunjukkan bagaimana pembekalan tentang kesetaraan gender dan pelibatan pelajar dalam peran aktif bisa menjadi contoh nyata perubahan budaya akademik.
Rekomendasi Kebijakan Publik
Regulasi Anti-Mikroagresi di Dunia Teknik
Howard menekankan bahwa penderitaan perempuan insinyur sering kali terjadi melalui mekanisme mikroagresi, seperti komentar merendahkan atau pengabaian kontribusi. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun pedoman nasional anti-mikroagresi yang berlaku bagi seluruh perusahaan teknik. Regulasi ini tidak hanya berbentuk aturan tertulis, tetapi juga diwujudkan melalui pelatihan wajib dan survei evaluasi anonim yang mengukur kondisi nyata di lapangan.
Program Mentoring Nasional bagi Perempuan Engineer
Riset menunjukkan bahwa banyak perempuan insinyur merasa berjuang sendirian tanpa dukungan profesional yang memadai. Kebijakan yang dapat ditempuh adalah membentuk program mentoring nasional yang menghubungkan perempuan muda dengan insinyur senior. Kolaborasi dengan universitas dan asosiasi profesi akan memperkuat keberlanjutan program ini. Sebagai pembanding dan inspirasi, artikel Apa itu Insinyur Pertanian dan Mengapa Mereka Penting? menyinggung bahwa masih ada ruang untuk pertumbuhan karier perempuan teknik, yang bisa didorong lewat dukungan akademik dan pelatihan .
Audit Budaya Organisasi
Budaya kerja yang eksklusif telah lama menjadi hambatan. Oleh karena itu, kebijakan audit budaya organisasi perlu diterapkan. Audit ini bersifat independen, dilakukan secara berkala, dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka. Melalui audit, perusahaan akan diminta untuk mempertanggungjawabkan kondisi internal terkait representasi gender, pengalaman diskriminasi, hingga akses promosi. Transparansi menjadi kunci agar publik dapat menilai keseriusan organisasi dalam mewujudkan tempat kerja inklusif.
Skema Dukungan Psikososial di Industri Teknik
Penderitaan yang dialami perempuan insinyur tidak hanya berwujud diskriminasi, tetapi juga berdampak pada kondisi psikologis. Untuk itu, kebijakan publik harus mendorong setiap perusahaan menyediakan layanan konseling internal atau bekerja sama dengan penyedia layanan eksternal. Pemerintah dapat memberikan insentif, misalnya pengurangan pajak, bagi perusahaan yang memenuhi standar “Tempat Kerja Inklusif.” Dengan begitu, kesehatan mental pekerja teknik dapat lebih terjamin.
Reformasi Pendidikan Teknik untuk Kesetaraan Gender
Howard juga menekankan bahwa budaya maskulin terbentuk sejak di bangku kuliah. Oleh karena itu, kurikulum teknik harus direformasi agar memuat modul mengenai gender, etika, dan profesi. Universitas tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga membentuk kesadaran tentang kesetaraan. Kolaborasi dengan platform pembelajaran seperti DiklatKerja dapat memperluas akses mahasiswa terhadap materi inklusif yang relevan.
Kritik dan Potensi Kegagalan
Kebijakan yang hanya bersifat simbolik tanpa mekanisme implementasi nyata akan gagal mencapai tujuan. Misalnya, pelatihan anti-diskriminasi yang sekadar formalitas tanpa evaluasi mendalam hanya akan menjadi seremonial. Program mentoring yang tidak didukung dengan pendanaan berkelanjutan berisiko berhenti di tengah jalan. Audit organisasi yang bersifat tertutup juga akan kehilangan nilai transparansi. Tanpa indikator yang jelas dan terukur, seperti persentase perempuan insinyur yang bertahan dalam profesi setelah lima tahun, sulit mengukur apakah kebijakan benar-benar berhasil.
Kesimpulan: Peta Jalan Kebijakan
Riset Ann-Louise Howard menegaskan bahwa penderitaan perempuan insinyur adalah masalah struktural yang membutuhkan intervensi kebijakan. Pemerintah harus mampu mengubah hasil riset ini menjadi peta jalan nasional, sementara asosiasi profesi wajib mengintegrasikan temuan ke dalam kode etik dan standar sertifikasi. Pendidikan tinggi juga harus mengambil peran utama dalam membentuk budaya teknik yang lebih inklusif. Dengan langkah-langkah kebijakan ini dijalankan — regulasi anti-mikroagresi; program mentoring; audit budaya organisasi; dukungan psikososial; dan reformasi pendidikan teknik — profesi teknik akan menjadi ruang yang lebih adil, produktif, dan berkelanjutan.
Sumber
Howard, A. L. (2022). I Didn’t Know it was a Thing Either: Women Engineers’ Experience of Suffering in the Workplace. Doctoral Dissertation, The University of Waikato. https://hdl.handle.net/10289/15032
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 11 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Perpres No. 16 Tahun 2018 (jo. No. 12/2021) mewajibkan sertifikasi kompetensi untuk ASN pengadaan paling lambat akhir 2023. Artikel ini menunjukkan bahwa meski banyak ASN telah memiliki sertifikat dasar, kualitas kompetensi mereka belum memadai untuk menangani pengadaan yang kompleks dan berskala besar. Risiko yang muncul? Gagal tender, keterlambatan proyek, hingga potensi penyalahgunaan anggaran.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif dari ASN Bersertifikasi Lanjutan
Efisiensi biaya dan waktu proyek meningkat.
Transparansi dan akuntabilitas pengadaan terjaga.
Hasil pengadaan lebih sesuai kebutuhan publik.
Hambatan yang Dihadapi
Kompetensi teknis ASN masih terbatas.
Anggaran pelatihan dan sertifikasi terbatas.
Perbedaan interpretasi regulasi di berbagai instansi.
Peluang Strategis
Percepatan pelatihan ASN melalui e-learning.
Terbukanya akses pelatihan melalui kursus seperti "Dasar-Dasar Penyusunan HPS Jasa Konstruksi". Materi tersebut relevan untuk membekali ASN dengan kemampuan kritis dalam penyusunan HPS (Harga Perkiraan Sendiri)—angka dasar dalam pengadaan barang/jasa.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis
Wajibkan ASN Pengadaan Mengikuti Sertifikasi Tingkat Lanjutan
Sertifikasi yang lebih mendalam wajib dimiliki pegawai KPA/PPK pengadaan.
Sediakan Program Pelatihan Digital Gratis
Pemda dapat bekerja sama dengan Diklatkerja untuk menyediakan pelatihan dan sertifikasi berbasis teknologi.
Sisihkan Anggaran Khusus Pelatihan ASN Daerah
Biaya pelatihan dan sertifikasi harus menjadi prioritas dalam APBD setiap daerah.
Integrasi Kompetensi dengan Sistem E-Procurement
ASN harus memahami digitalisasi sistem pengadaan untuk memastikan proses yang lebih transparan, efisien, dan akuntabel.
Lakukan Audit Kompetensi Berkala
Pemda menyelenggarakan evaluasi kompetensi ASN pengadaan agar pelatihan berdampak nyata dan berkelanjutan.
Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius
Tanpa regulasi dan pelatihan yang memadai, risiko kegagalan pengadaan meningkat, korupsi lebih mudah terjadi, dan pelaksanaan proyek publik bisa melambat—semua merugikan masyarakat luas.
Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia
Kompetensi ASN dalam pengadaan adalah fondasi tata kelola pemerintah daerah yang efisien dan tepercaya. Melalui pelatihan lanjutan, subsidi biaya, dan penerapan teknologi, pemerintah dapat memastikan bahwa setiap pengadaan membangun kepercayaan publik serta mendatangkan hasil pembangunan yang nyata dan berkualitas.
Sumber
Nasridal Patria (2021). Kompetensi Pengadaan Barang/Jasa bagi Aparatur Sipil Negara pada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (jo. Perpres No. 12 Tahun 2021).
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 September 2025
Pendahuluan
Peran insinyur dalam memajukan peradaban dan pembangunan suatu bangsa tidak dapat diremehkan. Di Indonesia, profesi insinyur merupakan pilar vital dalam mewujudkan infrastruktur, teknologi, dan industri yang tangguh. Buku "Insinyur Indonesia", hasil kolaborasi dari 13 penulis, menyajikan gambaran komprehensif tentang tantangan dan peluang yang dihadapi profesi ini di Tanah Air. Dengan menganalisis beragam aspek, mulai dari pendidikan, sertifikasi, hingga praktik di lapangan, buku ini menawarkan wawasan penting yang dapat menjadi landasan bagi perumusan kebijakan publik yang lebih efektif. Resensi ini akan mengolah temuan-temuan kunci dari studi tersebut menjadi rekomendasi kebijakan yang konkret dan dapat diimplementasikan oleh pemangku kepentingan di pemerintahan.
Mengapa Peran Insinyur Indonesia Penting untuk Kebijakan?
Buku "Insinyur Indonesia" secara eksplisit menunjukkan bahwa insinyur bukan hanya sekadar teknisi, melainkan agen perubahan yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masyarakat. Salah satu temuan terpenting adalah bahwa kemajuan suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas insinyurnya. Sebagai contoh, Indonesia hanya mampu menghasilkan sekitar 100 ribu insinyur per tahun, jumlah yang jauh tertinggal dibandingkan Tiongkok (1,5 juta) dan India (1,2 juta). Padahal, kebutuhan SDM insinyur di sektor konstruksi saja sangat besar. Kesenjangan kuantitas ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan kebijakan yang mendorong minat dan pendidikan di bidang keinsinyuran.
Di sisi lain, buku ini juga menyoroti perlunya pemerintah untuk menstandardisasi kompetensi insinyur melalui regulasi. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2019. Regulasi ini menjadi landasan hukum untuk meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan perlindungan bagi insinyur dan pengguna jasa keinsinyuran. Dengan demikian, kebijakan publik yang proaktif dalam menegakkan aturan-aturan ini sangat krusial untuk menjamin kualitas dan keselamatan dalam setiap proyek pembangunan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, Peluang
Penerapan akuntabilitas di lapangan tidaklah tanpa tantangan. Buku ini mengidentifikasi salah satu hambatan terbesar adalah masih rendahnya jumlah insinyur Indonesia yang memiliki sertifikasi Mutual Recognition Arrangement (MRA). Sertifikasi ini merupakan persyaratan penting untuk bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dan tanpa itu, insinyur asing berpotensi menguasai proyek-proyek di Indonesia.
Namun, di tengah hambatan tersebut, terdapat peluang besar. Buku ini secara khusus menguraikan peran sentral Persatuan Insinyur Indonesia (PII) sebagai wadah profesi yang bertugas membina dan mengembangkan kompetensi insinyur. PII memiliki Kode Etik Insinyur Indonesia yang disebut Catur Karsa Sapta Dharma sebagai panduan perilaku profesional. Hal ini dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk memperkuat kolaborasi dengan PII dalam menegakkan standar etika dan integritas. PII juga bertanggung jawab untuk melaksanakan Program Profesi Insinyur (PS-PPI) bersama perguruan tinggi dan industri, yang sangat penting untuk menciptakan insinyur yang kompeten dan siap kerja.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis (dengan alasannya)
Berdasarkan analisis mendalam dari buku "Insinyur Indonesia," berikut adalah lima rekomendasi kebijakan praktis yang dapat segera dipertimbangkan oleh pemerintah:
Mengintegrasikan Sistem Sertifikasi ke dalam Regulasi Proyek Pemerintah
Alasan: Terdapat masalah dualisme sertifikasi antara STRI (Surat Tanda Registrasi Insinyur) dan SKA/SKK (Sertifikat Keahlian Kerja), yang membuat banyak insinyur memilih sertifikasi yang dianggap lebih praktis, bukan yang sesuai standar profesi.
Mekanisme Pelaksanaan: Pemerintah harus menetapkan STRI sebagai persyaratan utama untuk semua insinyur yang terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur publik. Langkah ini akan memastikan bahwa insinyur yang bekerja memiliki kompetensi yang telah diakui oleh PII sebagai organisasi profesi resmi, sekaligus memperkuat peran PII.
Mewajibkan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) untuk Registrasi Insinyur
Alasan: Kompetensi insinyur harus selalu diperbarui seiring perkembangan teknologi. Buku ini menekankan pentingnya continuous development program (CPD) yang setara dengan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) untuk memastikan insinyur Indonesia mampu bersaing secara global.
Mekanisme Pelaksanaan: Pemerintah dapat bekerja sama dengan PII untuk menetapkan PKB sebagai syarat wajib perpanjangan Surat Tanda Registrasi Insinyur setiap 5 tahun. PII dapat menyelenggarakan pelatihan dan kegiatan yang relevan, seperti yang dijelaskan dalam artikel ini: Etika Profesi Insinyur dan Manajemen Proyek.
Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas SDM Insinyur secara Terpadu
Alasan: Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam hal jumlah dan kualitas insinyur, dengan produksi lulusan yang jauh di bawah negara-negara tetangga.
Mekanisme Pelaksanaan: Pemerintah melalui Kemendikbudristek harus menyusun target yang realistis untuk meningkatkan jumlah lulusan teknik yang kompeten. Strategi ini harus terintegrasi dengan kebutuhan industri, seperti yang dicontohkan oleh program Politeknik khusus PU yang bertujuan memenuhi kebutuhan SDM di sektor konstruksi. Program ini dapat direplikasi di sektor lain.
Memperkuat Peran PII dalam Penegakan Kode Etik dan Advokasi Hukum
Alasan: Insinyur membutuhkan perlindungan hukum dan panduan etika yang kuat untuk menjalankan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab.
Mekanisme Pelaksanaan: Pemerintah dapat memberikan wewenang yang lebih kuat kepada PII, termasuk Majelis Kehormatan Etik, untuk menegakkan Kode Etik Insinyur Indonesia. PII juga harus didukung untuk memberikan layanan advokasi hukum bagi insinyur yang menghadapi masalah dalam praktik profesional mereka.
Mendorong Partisipasi Insinyur dalam Perumusan Kebijakan Publik
Alasan: Buku ini menunjukkan pentingnya "rekayasa kebijakan" (policy engineering) sebagai salah satu pilar pembangunan, yang harus melibatkan insinyur sebagai ahli teknis.
Mekanisme Pelaksanaan: Pemerintah dapat membentuk tim ahli yang terdiri dari insinyur profesional dari berbagai disiplin ilmu, yang berafiliasi dengan PII, untuk memberikan masukan teknis dalam setiap perumusan kebijakan pembangunan nasional. Hal ini akan memastikan kebijakan yang dibuat tidak hanya aspiratif tetapi juga realistis dan layak secara teknis.
Kesimpulan
Buku "Insinyur Indonesia" adalah sebuah seruan untuk tindakan. Temuan dan analisisnya menunjukkan bahwa masa depan pembangunan Indonesia sangat bergantung pada bagaimana pemerintah memposisikan dan mendukung profesi insinyur. Dengan mengimplementasikan rekomendasi kebijakan ini, Indonesia dapat menciptakan ekosistem yang kondusif bagi insinyur untuk berinovasi, berkontribusi secara optimal, dan menjadi pilar utama dalam mewujudkan visi pembangunan bangsa yang berkelanjutan.
Sumber
Buku: "Insinyur Indonesia" (Penulis: Mahyuddin Mahyuddin, dkk.)
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 09 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Artikel dalam BRPELS Journal Winter 2021–22 menyoroti tiga isu kebijakan penting:
Penggunaan gelar “Engineer” oleh individu yang tidak memiliki lisensi, menimbulkan konflik antara kebebasan berpendapat (First Amendment) dengan kebutuhan perlindungan publik.
Revisi Building Code yang mengklasifikasikan bangunan 5 lantai ke atas sebagai significant structures, sehingga wajib dirancang atau diawasi oleh Structural Engineer berlisensi.
Regulasi praktik on-site wastewater engineering, untuk mempertegas standar kompetensi dan lisensi.
Isu-isu ini menunjukkan betapa pentingnya kebijakan publik yang menyeimbangkan kebebasan individu, kebutuhan pasar kerja, dan keselamatan publik.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif dari Regulasi Profesi
Melindungi keselamatan publik dengan memastikan hanya tenaga ahli berlisensi yang menangani proyek berisiko tinggi.
Meningkatkan kredibilitas profesi insinyur di mata masyarakat.
Menyediakan kejelasan hukum dalam penggunaan gelar profesional.
Hambatan
Perdebatan hukum: pembatasan penggunaan gelar bisa dianggap melanggar kebebasan berekspresi.
Resistensi dari sebagian pelaku industri yang merasa aturan baru membatasi fleksibilitas.
Biaya lisensi & sertifikasi dianggap beban bagi sebagian profesional.
Peluang Strategis
Regulasi yang jelas bisa mendorong standardisasi global dalam praktik keinsinyuran.
Penerapan building code berbasis risiko mendukung ketahanan infrastruktur terhadap bencana.
Pendidikan berkelanjutan bagi insinyur dapat difasilitasi melalui kursus daring, seperti artikel Diklatkerja tentang Integrasi BIM dalam Pendidikan Vokasi Teknik Konstruksi, yang menekankan pentingnya keterkaitan standar profesi dengan teknologi digital.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis
Pertegas Aturan Penggunaan Gelar “Engineer”
Hanya individu berlisensi yang boleh menggunakan gelar resmi dalam dokumen, kontrak, atau promosi publik.
Klasifikasi Risiko Bangunan
Semua bangunan 5 lantai ke atas wajib berada di bawah pengawasan Structural Engineer berlisensi.
Standarisasi Nasional Lisensi & Sertifikasi
Harmonisasi regulasi lintas negara bagian/provinsi untuk mempermudah mobilitas insinyur.
Regulasi Wastewater Engineering yang Jelas
Atur kompetensi minimum, lisensi, serta pengawasan agar instalasi tidak mengancam kesehatan publik.
Program Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan
Dorong insinyur mengikuti pelatihan berkelanjutan berbasis teknologi, sejalan dengan kebutuhan era digital dan industri 4.0.
Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius
Keselamatan publik terancam jika bangunan besar dikerjakan oleh tenaga tanpa lisensi.
Kebingungan hukum dalam penggunaan gelar “engineer” dapat menurunkan kepercayaan publik.
Standar profesi melemah jika sertifikasi dan lisensi tidak ditegakkan secara konsisten.
Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia
Meskipun konteks artikel ini diambil dari kasus internasional, pelajarannya sangat relevan untuk Indonesia:
Pemerintah perlu mempertegas regulasi profesi insinyur melalui UU Keinsinyuran dan peraturan turunannya.
Standar bangunan harus menempatkan keselamatan publik di atas pertimbangan biaya.
Regulasi sanitasi dan infrastruktur hijau harus dipadukan dengan kebijakan SDM yang berbasis kompetensi.
Dengan kebijakan yang kuat, profesi insinyur tidak hanya menjaga keselamatan publik, tetapi juga menjadi motor pembangunan berkelanjutan.
Sumber
BRPELS Journal Winter 2021–22
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 08 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Transformasi menuju mobilitas listrik bukan sekadar tren teknologi, melainkan kebutuhan strategis dalam menghadapi krisis iklim, urbanisasi cepat, serta ketergantungan pada bahan bakar fosil. Artikel Driving to the Future: Electric Mobility in the Philippines menekankan peran Electric Vehicle Industry Development Act (EVIDA, RA 11697) sebagai pijakan hukum. Undang-undang ini menunjukkan komitmen pemerintah Filipina dalam membangun ekosistem kendaraan listrik (EV), mengurangi emisi gas rumah kaca, dan memperkuat daya saing industri nasional di kancah global.
Bagi pembuat kebijakan, isu ini bersifat multidimensional: melibatkan lingkungan (reduksi emisi), ekonomi (industri baru dan lapangan kerja), sosial (akses transportasi hijau yang lebih murah), serta administratif (koordinasi lintas kementerian dan sektor swasta).
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Sosial dan Lingkungan
Penggunaan EV dapat memangkas polusi udara perkotaan, meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
Transportasi lebih senyap menurunkan polusi suara, memberi kenyamanan di kota-kota besar.
Dampak Ekonomi
Industri EV membuka peluang investasi manufaktur, distribusi, dan layanan purna jual.
UMKM berpotensi masuk ke pasar perawatan baterai, penyediaan suku cadang, hingga konversi kendaraan konvensional.
Hambatan
Infrastruktur charging masih minim, terutama di luar ibu kota.
Harga EV relatif tinggi dibanding kendaraan konvensional.
Kapasitas riset lokal di bidang baterai dan sistem pengisian daya masih terbatas.
Peluang
EVIDA memfasilitasi Comprehensive Roadmap for EV Industry (CREVI) yang bisa jadi arah pembangunan hingga 2040.
Kolaborasi dengan universitas dan swasta bisa mempercepat inovasi.
Potensi integrasi EV dengan energi terbarukan (PLTS atap, smart grid) mendukung agenda transisi energi nasional.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis
Perluasan Infrastruktur Pengisian Daya Nasional
Pemerintah perlu menetapkan target pembangunan stasiun pengisian daya di setiap kota besar dan jalur utama antarprovinsi. Skema public-private partnership (PPP) bisa mempercepat realisasi tanpa membebani APBN.
Subsidi dan Insentif Fiskal yang Tepat Sasaran
Subsidi sebaiknya diarahkan bukan hanya untuk pembelian EV baru, tetapi juga untuk konversi kendaraan berbahan bakar minyak ke listrik, sehingga manfaatnya dirasakan oleh masyarakat menengah-bawah.
Dukungan terhadap Industri Lokal
CREVI harus dipadukan dengan program industrial upgrading agar Filipina tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga produsen. Misalnya, investasi di pabrik baterai, riset daur ulang baterai, dan produksi komponen EV lokal.
Integrasi EV dengan Energi Terbarukan
Kebijakan mendorong integrasi EV dengan sumber energi hijau, seperti panel surya rumah tangga atau microgrid berbasis energi terbarukan. Upaya ini relevan dengan Energy and Cost Efficiency in Industry, yang menekankan bagaimana industri bisa lebih hemat energi sekaligus ramah lingkungan.
Program Edukasi dan Pelatihan Nasional
Pemerintah perlu meluncurkan pelatihan tenaga kerja EV (teknisi, perakit baterai, insinyur charging station). Langkah ini tidak hanya menyiapkan SDM, tapi juga menjamin keberlanjutan sektor industri baru. Program ini juga relevan dengan Perencanaan Transportasi: Membentuk Masa Depan Mobilitas yang Berkelanjutan, karena membekali pemangku kepentingan dengan wawasan kebijakan transportasi hijau yang komprehensif.
Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius
Tanpa arah kebijakan publik yang kuat, EVIDA berpotensi hanya menjadi undang-undang simbolis. Filipina bisa terjebak sebagai konsumen EV impor tanpa kemandirian industri. Infrastruktur terbatas dapat menimbulkan kesenjangan akses: EV hanya untuk kelas menengah-atas, bukan solusi massal. Selain itu, tanpa kebijakan integrasi dengan energi terbarukan, penggunaan EV justru bisa meningkatkan konsumsi listrik berbasis fosil—bertolak belakang dengan tujuan dekarbonisasi.
Penutup: Relevansi Strategis untuk Filipina
Artikel ini menegaskan bahwa mobilitas listrik adalah agenda nasional yang menyentuh isu pembangunan berkelanjutan, kesehatan masyarakat, dan daya saing global. EVIDA dan CREVI sudah memberi arah, tetapi implementasi membutuhkan keberanian politik, koordinasi antar-lembaga, serta kolaborasi publik-swasta.
Dengan lima langkah kebijakan publik yang realistis, Filipina tidak hanya bisa mengejar ketertinggalan, tapi juga memposisikan diri sebagai pemimpin regional dalam teknologi transportasi hijau.
Sumber
Institute of Integrated Electrical Engineers of the Philippines, The Electrical Engineer, April/August 2024 Issue.