Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Analisis Kritis Peran Teknologi Digital dalam Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 03 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Perkembangan teknologi digital dewasa ini berlangsung sangat pesat dan memberikan manfaat besar dalam menyederhanakan dan meningkatkan efisiensi proses konstruksi. Di Indonesia, sektor konstruksi menyumbang sekitar 6,45% PDB nasional dan mempekerjakan hingga 7–8% tenaga kerja. Namun demikian, tingkat kecelakaan kerja di industri konstruksi masih tinggi; misalnya pada 2021 tercatat lebih dari 234.000 kasus kecelakaan dengan 6.552 kematian. Faktor utama penyebab kecelakaan adalah faktor manusia (seperti perilaku tidak aman, pengalaman kerja, usia, tingkat pendidikan) diikuti oleh faktor lingkungan dan peralatan. Kondisi ini menegaskan perlunya inovasi keselamatan (K3) yang lebih baik.

Berbagai teknologi digital diidentifikasi dapat membantu mitigasi risiko tersebut. Misalnya virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) memungkinkan simulasi situasi berbahaya untuk pelatihan keselamatan, sementara teknologi pengenalan citra seperti convolutional neural network (CNN) dapat mengidentifikasi kelengkapan alat pelindung diri (APD) pekerja secara otomatis. Penggunaan drone (pesawat nirawak) memungkinkan pengawasan proyek dari udara, serta building information modeling (BIM) mendukung integrasi data keselamatan sepanjang siklus proyek. Di samping itu, teknologi wearable dan sensor berbasis Internet of Things (IoT) mampu memantau kondisi fisiologis pekerja atau kualitas lingkungan kerja secara real time.

Regulasi juga mendukung penggunaan teknologi dalam K3 konstruksi. Peraturan Menteri PUPR No.10/2021 menetapkan pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) yang menuntut pemenuhan aspek Keamanan Keteknikan, Keselamatan & Kesehatan Kerja, Keselamatan Publik, dan Keselamatan Lingkungan (Standar K4). Implementasi SMKK bertujuan menjamin integritas struktur bangunan, kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, keselamatan publik serta kelestarian lingkungan. Dengan latar belakang itu, kajian ini menelusuri bagaimana perkembangan teknologi digital dapat membantu memenuhi substansi SMKK dalam praktik konstruksi di Indonesia.

Metodologi dan Kebaruan

Kajian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Para penulis mengumpulkan dan mengolah data sekunder berupa literatur terkait proyek konstruksi Indonesia (jurnal ilmiah, prosiding, buku, dan situs resmi). Penelitian deskriptif dipahami sebagai metode yang menggambarkan fenomena atau kondisi terkini secara objektif. Data yang diperoleh berupa fakta ataupun data numerik kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengidentifikasi pola pemanfaatan teknologi digital dalam keselamatan konstruksi.

Kebaruan studi ini terletak pada pemetaan komprehensif pengembangan teknologi digital dalam konstelasi SMKK di Indonesia. Penelitian ini merangkum berbagai inovasi — mulai dari VR, AR, CNN, BIM, drone, hingga perangkat wearable dan sensor IoT — dalam konteks empat substansi SMKK. Dengan mengacu pada standar Permen PUPR No.10/2021 dan Peraturan Pemerintah terkait K3 konstruksi, studi ini menyajikan kerangka kerja sistematis untuk mengevaluasi aspek-aspek mana saja dari keselamatan konstruksi yang sudah terakomodasi oleh inovasi digital. Tinjauan ini menjadi penting karena belum banyak literatur yang membahas teknologi digital secara holistik untuk keselamatan konstruksi Indonesia dengan kerangka SMKK.

Secara spesifik, penulis menerapkan proses kuantifikasi temuan literatur. Sebagai contoh, penelitian-penelitian terkait teknologi untuk setiap kategori SMKK dihitung jumlahnya, lalu dikelompokkan dalam tabel klasifikasi. Pendekatan ini memungkinkan pemetaan gambaran umum penggunaan teknologi tertentu pada berbagai aspek keselamatan. Selain itu, studi ini membuka diskusi kritis tentang celah penelitian yang ada (keterbatasan empiris) dan potensi pengembangan selanjutnya. Dengan demikian, inovasi kajian ini bukan hanya pada kompilasi literatur, tetapi juga pada kerangka analisis yang mengaitkan teknologi dengan kerangka regulasi nasional.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Hasil kajian mengidentifikasi beragam teknologi yang sudah banyak dibahas dalam literatur keselamatan konstruksi di Indonesia, sekaligus menyoroti bagian-bagian substansi SMKK mana saja yang telah terlayani. Temuan utama dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: teknologi visualisasi, teknologi wearable dan sensor, serta tingkat keterpenuhan substansi SMKK. Setiap kelompok ditekankan dengan konteks penggunaannya dalam industri konstruksi nasional.

Teknologi Visual

Teknologi visual atau visualisasi terbukti dominan dikaji dalam keselamatan konstruksi. Beberapa temuan utamanya adalah:

  • Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR): VR/AR banyak digunakan sebagai media pelatihan K3 konstruksi. Misalnya, simulasi VR mampu mengidentifikasi bahaya lokasi kerja, membekali pekerja dengan pelatihan alat berat secara aman dan efisien. AR juga diaplikasikan untuk mengenalkan pekerja baru pada alat kerja dan rambu K3 di lapangan. Sekitar 75% teknologi yang diteliti dalam studi ini berkaitan dengan VR/AR, mencerminkan dominasi keduanya dalam upaya visualisasi keselamatan. Meski begitu, penggunaan VR/AR sebagian besar masih terbatas pada tahap perencanaan (pre-construction) dan pelatihan simulasi; implementasinya pada fase konstruksi aktif cenderung berupa presentasi informasi pasif, belum banyak berinteraksi secara dinamis dengan kondisi lapangan.
  • Pengenalan Citra (CNN dan YOLO): Teknologi convolutional neural network (CNN) telah diterapkan untuk pengawasan otomatis. Contohnya, CNN dapat mengenali citra APD (seperti helm), dengan studi menunjukkan deteksi penggunaan helm kerja rata-rata 9,44 detik per orang. CNN sering digabung dengan algoritma seperti YOLO (You Only Look Once) dan ANN (Artificial Neural Network) untuk meningkatkan akurasi deteksi bahaya visual. Teknologi ini digunakan secara luas untuk memantau kepatuhan K3 pekerja dalam waktu nyata, dan juga dapat terintegrasi dengan BIM dalam analisis hazard (misalnya mengidentifikasi area berisiko tinggi melalui model BIM).
  • Drone (Unmanned Aerial Vehicle): Penggunaan drone untuk pemantauan lapangan sangat diakui dalam literatur. Drone memungkinkan inspeksi dari udara yang detail, membantu pengawasan penggunaan APD, kondisi material, dan area kerja berbahaya tanpa risiko langsung kepada pekerja. Misalnya, studi menemukan drone berpotensi meminimalisir kecelakaan kerja melalui patroli keamanan lingkungan proyek. Namun, di Indonesia studi tentang pemanfaatan drone untuk keselamatan konstruksi masih sangat terbatas – disebut hanya satu studi kasus terkait drone pada proyek konstruksi lokal.
  • Building Information Modeling (BIM): Sebagai platform pemodelan informasi, BIM berperan mengintegrasikan data keselamatan konstruksi secara menyeluruh dari tahap desain hingga operasional. Dengan BIM, data berkaitan K3 (misalnya atribut struktur atau fasilitas keselamatan) tersimpan dalam model yang dapat diakses lintas fase proyek, sehingga mempercepat identifikasi risiko saat desain dan perencanaan. Studi menunjukkan BIM yang dikombinasikan dengan sensor-sensor dapat memberikan wawasan deteksi potensi bahaya (misalnya titik rendah, lubang tersembunyi) pada lokasi konstruksi. Namun, penerapan BIM khusus untuk keselamatan konstruksi di Indonesia masih terbatas; literature hanya menemukan sedikit penelitian kasus terkait penggunaan BIM untuk aspek keselamatan SMKK.

Teknologi Wearable dan Sensor-Based

Kelompok teknologi kedua berfokus pada perangkat yang dikenakan oleh pekerja atau sensor lingkungan untuk memantau kondisi kesehatan dan potensi bahaya:

  • Teknologi Wearable: Perangkat wearable mencakup alat yang dikenakan di tubuh pekerja (misalnya rompi ber-sensor, kacamata pintar) untuk merekam data fisiologis dan lokasi pekerja secara real-time. Wearable ini dapat terintegrasi dengan sistem BIM dan IoT, misalnya mendeteksi kelelahan melalui detak jantung atau gerakan tubuh yang diukur sensor. Meskipun potensialnya besar (memperbolehkan pengawasan individu dengan presisi tinggi), adopsi wearable di industri konstruksi Indonesia masih sangat terbatas. Studi terdahulu menyebutkan sedikitnya penelitian lokal tentang wearable dalam K3 konstruksi. Beberapa tantangannya meliputi keengganan pekerja atau perusahaan mengadopsi alat baru, serta hambatan teknis seperti kebutuhan baterai, kenyamanan, dan keamanan data.
  • Teknologi Berbasis Sensor (Sensor-Based): Selain yang dipakai langsung oleh pekerja, banyak teknologi sensor independen diaplikasikan. Misalnya sensor lingkungan (gas, asap, suhu, kelembapan) yang dipasang di lokasi kerja untuk deteksi dini bahaya kimia atau kebakaran. Sistem Physiological Status Monitoring (PSM) yang memanfaatkan sensor elektronik mengukur detak jantung, laju pernapasan, dan postur tubuh operator untuk mendeteksi kelelahan. Hasil pemantauan PSM sering berupa grafik pola kerja fisik, yang dapat memicu peringatan saat tanda-tanda stress fisik tampak meningkat pada waktu tertentu. Sensor IoT ini meningkatkan efektivitas manajemen K3 karena mampu mengumpulkan data secara terus-menerus (real time) dengan keakuratan tinggi. Sayangnya, implementasi sensor-sensor canggih ini pada praktik konstruksi di Indonesia masih sedikit dilaporkan dalam literatur; ke depan, integrasi sistem sensor dalam dunia konstruksi berpotensi besar untuk meningkatkan respons preventif terhadap risiko.
  • Media Animasi (Motion Graphic 2D): Selain perangkat keras fisik, studi juga menyoroti peran media visual beranimasi dua dimensi sebagai alat komunikasi K3. Animasi 2D yang menggabungkan ilustrasi visual dan teks dinilai efektif menyampaikan pesan keselamatan kepada pekerja dan publik, karena sifatnya yang menarik dan mudah diakses. Media semacam ini melengkapi teknologi lain dengan cara penyampaian informasi yang kreatif, meski belum bersifat interaktif seperti VR/AR.

Secara keseluruhan, temuan mengindikasikan bahwa teknologi wearable dan sensor menawarkan pendekatan pemantauan K3 yang bersifat real-time dan personal. Namun, gap empiris masih besar: literatur menyebutkan hanya sedikit inovasi wearable yang benar-benar diterapkan dalam proyek konstruksi Indonesia dan masih banyak kendala adopsi. Kebutuhan akan riset lanjut, termasuk studi lapangan uji coba, sangat nyata agar manfaat teknologi ini dapat benar-benar dirasakan di lapangan.

Keterpenuhan terhadap Substansi SMKK

Analisis data menunjukkan adanya ketimpangan dalam cakupan aspek SMKK. Hasil pemetaan literatur mengindikasikan 16 penelitian yang membahas aspek keselamatan keteknikan konstruksi (misalnya bangunan, peralatan, material), 28 penelitian untuk aspek keselamatan dan kesehatan kerja (meliputi pemilik/pemberi kerja dan tenaga kerja konstruksi), 10 penelitian pada aspek keselamatan publik (masyarakat di sekitar proyek), dan 12 pada aspek keselamatan lingkungan (lingkungan kerja maupun alam). Dengan kata lain, penelitian-penelitian yang ada telah mencakup empat pilar SMKK tersebut, namun tidak merata.

Studi ini menemukan hanya lima penelitian yang secara holistik mengaitkan implementasi teknologi dengan pemenuhan sistem manajemen keselamatan (SMKK) secara menyeluruh. Artinya, sebagian besar kajian hanya fokus pada teknologi tertentu untuk aspek spesifik K3. Tabel 1 yang disusun penulis menggambarkan keterkaitan antara jenis teknologi digital dan substansi SMKK. Misalnya, CNN (pengenalan citra) dominan pada aspek bangunan dan tenaga kerja (dengan enam studi), BIM mengerucut pada aspek pemilik/pemberi kerja (empat studi), sedangkan drone banyak terkait dengan keselamatan lingkungan (empat studi). Virtual reality dan augmented reality muncul di berbagai aspek (teknik bangunan, pemilik, masyarakat sekitar) meski tiap kajian cenderung satu-dua aspek saja. Sebaliknya, beberapa substansi seperti pengaruh projek pada “masyarakat terpapar” dan “lingkungan terdampak proyek” masih sedikit mendapatkan perhatian, bahkan dalam tabel terdeteksi sangat minim studi terkait.

Temuan ini kontekstual: walaupun teknologi digital telah banyak diadopsi untuk menunjang keselamatan konstruksi, pemanfaatannya belum sepenuhnya berorientasi pada semua standar SMKK. Banyak studi terpusat pada pelatihan dan pengawasan (keselamatan kerja) serta integrasi data (keselamatan teknik), sementara aspek publik dan lingkungan masih menjadi peluang riset yang belum digarap optimal. Dengan demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa implementasi teknologi digital di Indonesia baru memenuhi sebagian substansi SMKK, dan ada kebutuhan memperluas fokus penelitian agar seluruh aspek SMKK terpenuhi dalam praktik keselamatan konstruksi nasional.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

   Pendekatan penelitian ini bersifat kajian literatur deskriptif, sehingga ada beberapa keterbatasan yang perlu dicermati:

  • Keterbatasan Metodologi Deskriptif: Analisis hanya berdasarkan studi terdahulu dan data sekunder. Metode deskriptif tidak melibatkan pengumpulan data primer di lapangan, sehingga tidak memverifikasi secara empiris efektivitas atau penerapan nyata teknologi. Hasilnya lebih berupa gambaran umum pola penelitian daripada kinerja terukur teknologi.
  • Keterbatasan Data: Sumber data dibatasi pada publikasi yang tersedia (jurnal, prosiding, situs resmi). Ada kemungkinan informasi penting dari laporan industri, studi kasus korporat, atau penelitian yang belum dipublikasikan terlewatkan. Selain itu, tidak dijelaskan secara rinci proses pemilihan literatur, sehingga bias seleksi (misalnya preferensi pada literatur berbahasa Inggris/Indonesia) mungkin terjadi.
  • Generalitas dan Umum: Pengolahan data yang dikatakan “kuantitatif” sebagian besar berupa penghitunganan studi per kategori (tabel klasifikasi). Meskipun bermanfaat untuk pemetaan, metode ini menyederhanakan kompleksitas studi. Contohnya, kualitas atau konteks penelitian tidak dihitung; semua studi dianggap setara. Hal ini membatasi kemampuan untuk menyimpulkan imbas atau relevansi ilmiah lebih mendalam.
  • Kekosongan Empiris: Kajian tidak mengevaluasi dampak teknologi terhadap penurunan kecelakaan secara kuantitatif. Sebagai literatur review, studi ini juga tidak menguji keberterimaan pengguna (penerima manfaat) atau kendala praktis implementasi, sehingga masih abstrak. Data primer dari proyek-proyek konstruksi Indonesia sendiri sangat minim, sehingga gambaran riset ini mungkin hanya cerminan minat akademis, bukan kenyataan lapangan.

Dengan demikian, walaupun kajian ini komprehensif dalam ruang lingkup literatur, pembaca perlu menyadari bahwa temuan yang disajikan lebih bersifat indikatif. Analisisnya memberikan kerangka konseptual dan klasifikasi awal, namun belum mencakup validasi lapangan atau analisis statistik yang solid. Kritik kritis diarahkan pada perlunya verifikasi empiris, metode perbandingan yang lebih mendalam, dan penajaman fokus pada efektivitas nyata teknologi di proyek konstruksi Indonesia.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Berdasarkan hasil dan keterbatasan di atas, ada sejumlah arahan penelitian dan implikasi akademik yang dapat digarisbawahi:

  • Eksplorasi Wilayah Riset Kurang Terjamah: Penelitian lebih lanjut perlu menyoroti aspek-aspek SMKK yang kurang mendapat perhatian, seperti keselamatan masyarakat sekitar proyek dan lingkungan alam terbangun. Misalnya, studi potensi teknologi IoT untuk mitigasi dampak polusi konstruksi di masyarakat sekitarnya.
  • Evaluasi Lapangan dan Uji Coba Teknologi: Penting dilakukan studi empiris berupa eksperimen atau studi kasus penerapan teknologi di proyek nyata. Misalnya, meneliti sejauh mana penggunaan VR/AR dalam pelatihan dapat mengurangi kecelakaan kerja, atau uji integrasi sistem wearable-sensor pada pekerja konstruksi lokal. Data lapangan akan menguatkan temuan literatur dengan bukti konkret.
  • Pengembangan Metodologi Kuantitatif: Kedepannya, peneliti dapat mengembangkan metrik keberhasilan yang lebih kuantitatif. Contohnya, mengukur tingkat penerimaan teknologi oleh pekerja (technology acceptance), atau membangun model statistik untuk menilai pengaruh teknologi tertentu terhadap penurunan kasus kecelakaan. Pendekatan big data dan kecerdasan buatan juga bisa diterapkan untuk analisis risiko konstruksi berdasarkan data sensor.
  • Integrasi Sistematis Teknologi dan Standar: Studi bisa mengembangkan kerangka integrasi antara SMKK dan inovasi digital. Misalnya merancang model manajemen risiko yang menggabungkan data BIM, wearable, dan sensor real-time sebagai referensi untuk standar SMKK. Penelitian interdisipliner yang melibatkan insinyur, ilmuwan komputer, dan ahli keselamatan dapat merumuskan pedoman baru berbasis data.
  • Kebijakan dan Standarisasi: Implikasi ilmiah lainnya adalah perlunya rekomendasi kebijakan. Misalnya, peneliti dapat mengusulkan standar teknis bagi perangkat wearable atau protokol interoperabilitas IoT di proyek konstruksi. Rekomendasi ini mendukung pembuat kebijakan untuk membangun lingkungan regulasi yang memfasilitasi penerapan teknologi K3.
  • Kolaborasi Industri-Akademik: Masa depan riset keselamatan konstruksi digital membutuhkan kolaborasi aktif dengan industri. Penelitian berbasis proyek nyata (action research) dan platform uji coba di lapangan menjadi penting agar inovasi teknologi tidak hanya teoritis, tetapi juga aplikatif dan berkelanjutan.

Secara keseluruhan, kajian ini membuka jalan bagi berbagai kajian berikutnya yang menekankan aspek inovasi teknologi, evaluasi empiris, dan pengembangan kerangka kerja implementasi. Implikasi ilmiahnya adalah memperkuat fondasi penelitian K3 konstruksi digital di Indonesia, sekaligus mendorong integrasi antara teknologi canggih dan manajemen keselamatan yang berbasis regulasi.

Refleksi Akhir

Temuan kajian ini relevan dengan dinamika keselamatan konstruksi nasional. Resensi menunjukkan bahwa Indonesia tengah mengikuti tren global dalam pengaplikasian teknologi digital untuk keselamatan kerja. Penggunaan VR, AR, BIM, drone, serta wearable menunjukkan bahwa industri mulai menyadari manfaat teknologi canggih dalam mencegah kecelakaan dan meningkatkan produktivitas. Namun, masih ada kesenjangan implementasi. Sebagai contoh, meskipun teknologi sensor dan wearable menawarkan pengawasan real-time, pemanfaatannya dalam praktik lokal masih minim. Hal ini mengindikasikan perlunya adopsi yang lebih serius, baik dari segi investasi perusahaan maupun dukungan kebijakan pemerintah.

Dalam konteks regulasi, hasil kajian memberi sinyal bahwa implementasi SMKK di lapangan dapat lebih optimal dengan memanfaatkan kemajuan teknologi ini. Regulator dan praktisi konstruksi dapat memetakan prioritas: misalnya, memperkuat penggunaan VR/AR di pelatihan K3 sesuai regulasi, atau memanfaatkan drone dan sensor untuk aspek keselamatan lingkungan yang kini tergolong lemah. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi yang efektif akan sangat terbantu bila didukung oleh infrastruktur digital yang memadai. Oleh karena itu, penemuan ini menegaskan pentingnya kolaborasi antara penyusun kebijakan, akademisi, dan pelaku industri untuk mengintegrasikan inovasi teknologi dalam praktik K3 nasional.

Pada akhirnya, resensi ini menegaskan bahwa era digital membuka peluang besar bagi peningkatan keselamatan konstruksi di Indonesia. Meskipun kebijakan dan komitmen perusahaan mulai menuntut standar SMKK yang ketat, sinergi dengan teknologi informasi mutlak diperlukan untuk merealisasikannya. Penelitian lebih lanjut dan penerapan nyata di lapangan akan menentukan sejauh mana potensial teknologi tersebut terwujud menjadi penurunan kecelakaan kerja yang signifikan. Dengan perhatian bersama, perkembangan teknologi digital bisa menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan konstruksi yang lebih aman, sehat, dan berkelanjutan bagi Indonesia.

📚 Sumber:

Faisal, U. F., & Fansuri, I. (2023). Perkembangan Teknologi Digital terhadap Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia. CESD Journal, 6(2), 35–45. Universitas Trisakti. https://doi.org/10.25105/cesd.v6i2.18811

Selengkapnya
Analisis Kritis Peran Teknologi Digital dalam Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Mengungkap Kelemahan Sistem K3 di Industri Galangan Kapal Kecil: Evaluasi SMK3 Berdasarkan PP No. 50 Tahun 2012

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Industri galangan kapal merupakan salah satu sektor vital dalam mendukung transportasi laut dan logistik nasional. Namun, tingkat risiko kecelakaan kerja di sektor ini juga sangat tinggi, baik dari segi mekanis, kimia, maupun lingkungan kerja yang ekstrem. Seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja (K3), pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2012 sebagai kerangka dasar sistem manajemen K3 (SMK3). Artikel ini meresensi secara kritis hasil penelitian oleh Hugo Nainggolan dan Hendra yang dipublikasikan dalam Jurnal Kesehatan Tambusai, berjudul “Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Industri Galangan Kapal Kecil di Indonesia.”

Penelitian ini menyoroti efektivitas penerapan SMK3 di PT. X, sebuah industri galangan kapal kecil di Semarang, serta mengukur sejauh mana perusahaan mematuhi 64 kriteria SMK3 tingkat awal sesuai PP No. 50 Tahun 2012. Dengan pendekatan mixed-method, penelitian ini memberikan gambaran mendalam mengenai implementasi nyata SMK3, tantangan yang dihadapi, serta potensi perbaikannya.

Metodologi Evaluasi: Gabungan Kuantitatif dan Kualitatif

Studi ini dilakukan dari bulan September hingga Oktober 2023, menggunakan metode observasi, dokumentasi, dan wawancara kepada delapan informan kunci yang bekerja di berbagai divisi perusahaan. Data kuantitatif diperoleh melalui instrumen audit 64 kriteria SMK3 tingkat awal, sedangkan data kualitatif digali melalui wawancara semi-terstruktur dan observasi langsung.

Instrumen audit ini mencakup delapan elemen utama SMK3, yaitu: pembangunan dan pemeliharaan komitmen K3, pembuatan rencana K3, pengendalian dokumen, pengendalian desain dan kontrak, pengendalian produk, standar pemantauan dan pelaporan, keamanan kerja, serta peninjauan dan peningkatan kinerja. Setiap elemen dianalisis berdasarkan tingkat kesesuaian dan ketidaksesuaian penerapan di lapangan.

Hasil Audit: Ketidaksesuaian Mencapai 78,12%

Temuan utama penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian implementasi SMK3 di PT. X hanya sebesar 21,88%. Sisanya, 78,12% dinyatakan tidak sesuai, dengan rincian sebagai berikut: 51% merupakan temuan mayor, 45% temuan minor, dan 4% temuan kritikal.

Beberapa kelemahan paling mencolok ditemukan pada elemen pengendalian dokumen, pengendalian kontrak, dan keamanan kerja. Sebagai contoh, untuk elemen pengendalian dokumen, perusahaan belum memiliki sistem identifikasi yang memadai terhadap dokumen K3 seperti prosedur kerja, status kondisi peralatan, dan sertifikasi pekerja. Tidak adanya sistem pemutakhiran rutin menyebabkan informasi menjadi usang, berpotensi meningkatkan risiko kecelakaan kerja.

Studi Kasus: Ketimpangan Prosedur IBPR dan APD

PT. X memang telah menyusun dokumen Identifikasi Bahaya dan Pengendalian Risiko (IBPR) sejak 2016 untuk seluruh departemen. Namun, pelaksanaannya masih belum merata. Sebagai contoh, meskipun IBPR telah dibuat, tidak semua pekerja memiliki lisensi atau pelatihan K3 yang sah. Dalam pekerjaan berisiko tinggi seperti pengelasan, penggunaan crane, dan pengerjaan di ruang terbatas, tidak terdapat ijin kerja khusus (working permit). Hal ini menunjukkan bahwa penyusunan dokumen tidak diikuti oleh pengendalian implementatif di lapangan.

Masalah lain adalah penyediaan alat pelindung diri (APD). PT. X belum menyesuaikan ketersediaan APD dengan jumlah dan jenis pekerjaan yang dilakukan. Selain itu, tidak ada sistem pencatatan APD secara sistematis, yang memperbesar kemungkinan ketidaksesuaian antara kebutuhan dan pemenuhan perlindungan dasar terhadap risiko kerja.

Analisis Perbandingan: Indonesia dan Internasional

Menariknya, dalam kajian literatur yang disertakan penulis, beberapa negara lain telah menerapkan pendekatan berbeda namun lebih maju dalam mengelola SMK3 di industri galangan kapal. Di Azerbaijan, misalnya, industri ini telah sepenuhnya mengadopsi ISO 45001 sebagai standar K3 nasional. Di Turki, penilaian risiko dilakukan dengan metode dua tahap berbasis Spherical Fuzzy Set (SFSs) dan Analytic Hierarchy Process (AHP). Sementara di Malaysia, studi oleh Othman et al. (2018) menunjukkan bahwa galangan kelas C dan D sudah mulai mengintegrasikan SMK3 ke dalam manajemen harian perusahaan.

Dibandingkan dengan praktik-praktik tersebut, penerapan di PT. X tertinggal dalam beberapa aspek mendasar, seperti pelibatan personil kompeten, pengembangan SOP untuk pekerjaan berisiko, hingga pelatihan khusus untuk operator alat berat dan pekerja teknis.

Rekomendasi Strategis: Jalan Menuju Peningkatan Kinerja SMK3

Peneliti menyampaikan sejumlah rekomendasi strategis yang layak diterapkan untuk meningkatkan kualitas penerapan SMK3 di PT. X. Di antaranya:

  • Mengembangkan prosedur pembelian bahan kimia yang dilengkapi dengan Safety Data Sheet (SDS) dan kontrol penggunaan APD secara ketat.
  • Mengintegrasikan pelatihan dan sertifikasi K3 sebagai syarat wajib sebelum penempatan pekerja di bidang teknis dan berisiko tinggi.
  • Menyusun Standard Operating Procedure (SOP) untuk pekerjaan seperti pengelasan, pengoperasian crane, dan pengerjaan di confined space.
  • Menerapkan komunikasi digital dan visual melalui papan pengumuman dan sistem digital untuk menyebarkan informasi K3 kepada pekerja, pelanggan, dan pemasok.
  • Melibatkan Ahli K3 Umum dalam setiap tahap identifikasi bahaya pada kontrak kerja dan proses perencanaan desain.

Kesimpulan: Urgensi Transformasi Budaya Keselamatan di Galangan Kapal

Studi ini menyoroti bahwa rendahnya tingkat kesesuaian implementasi SMK3 di PT. X merupakan cerminan dari lemahnya internalisasi budaya keselamatan di industri galangan kapal kecil. Tingginya angka ketidaksesuaian (78,12%) bukan hanya menjadi alarm bagi manajemen PT. X, tetapi juga peringatan bagi industri sejenis di seluruh Indonesia.

Upaya transformasi tidak cukup hanya dengan dokumen formal seperti IBPR, tetapi harus diikuti oleh implementasi prosedural yang konkret, pengawasan reguler, serta pelibatan semua pihak—terutama manajemen dan pekerja garis depan. Pendekatan holistik berbasis regulasi nasional dan benchmark internasional seperti ISO 45001 dapat menjadi rujukan efektif dalam membangun sistem K3 yang berkelanjutan.

Jika diterapkan secara serius, hasil dari studi ini dapat menjadi katalisator bagi industri galangan kapal untuk naik kelas dalam hal keselamatan dan produktivitas. Pada akhirnya, transformasi SMK3 yang efektif bukan sekadar tanggung jawab hukum, tetapi juga investasi jangka panjang dalam keberlanjutan usaha dan kesejahteraan pekerja.

Sumber Artikel Asli:
Nainggolan, H. & Hendra. (2023). Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Industri Galangan Kapal Kecil di Indonesia. Jurnal Kesehatan Tambusai, Volume 4, No. 4.

 

Selengkapnya
Mengungkap Kelemahan Sistem K3 di Industri Galangan Kapal Kecil: Evaluasi SMK3 Berdasarkan PP No. 50 Tahun 2012

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Struktur Atas Gedung: Solusi, Tantangan, dan Implikasi Praktis

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025


Pendahuluan: Kenapa Risiko K3 di Struktur Atas Menjadi Fokus Utama?

Pekerjaan struktur atas dalam proyek konstruksi gedung dikenal memiliki tingkat bahaya tinggi. Risiko seperti jatuh dari ketinggian, tertimpa material berat, hingga kerusakan alat berat dapat berdampak langsung pada keselamatan nyawa pekerja. Artikel karya La Ode Asrul R. dan tim menyoroti urgensi penerapan manajemen risiko K3 secara sistematis dalam tahapan ini, dengan studi kasus pada proyek gedung di Kota Kendari.

Dalam konteks industri konstruksi Indonesia yang terus bertumbuh, aspek keselamatan kerja tak bisa lagi dipandang sebagai formalitas. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa lebih dari 30% kecelakaan kerja pada sektor konstruksi terjadi akibat kelalaian dalam pengelolaan risiko K3. Ini memperkuat pentingnya penelitian ini sebagai referensi implementatif.

Metodologi: Penilaian Risiko Menggunakan Metode Semi-Kuantitatif

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, dengan data diperoleh melalui:

  • Observasi langsung di lapangan,

  • Wawancara dengan tenaga kerja proyek,

  • Kuesioner skala 1–5 terhadap 30 responden yang terdiri dari mandor, pengawas, dan pekerja lapangan.

Data ini kemudian diolah menggunakan metode matriks risiko semi-kuantitatif berdasarkan kombinasi tingkat kemungkinan dan dampak, untuk menentukan tingkat risiko secara objektif.

Temuan Utama: Risiko Kritis yang Mendominasi

Jenis Risiko Tinggi Berdasarkan Hasil Skoring

Berdasarkan perhitungan Risk Assessment Matrix, ditemukan 7 risiko utama dengan nilai risiko tinggi. 

Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas risiko di pekerjaan struktur atas berkaitan langsung dengan aktivitas fisik di ketinggian dan interaksi dengan alat berat.

Studi Kasus Tambahan: Tren Umum Kecelakaan di Struktur Atas

Dalam konteks global, laporan dari International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa 1 dari 6 kecelakaan fatal di industri konstruksi disebabkan oleh jatuh dari ketinggian. Di Indonesia sendiri, kasus seperti insiden runtuhnya scaffolding di proyek tol layang Jakarta–Cikampek (2019) menjadi pengingat akan lemahnya implementasi prosedur keselamatan di pekerjaan struktur atas.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi

Rencana Penanganan Risiko

Penulis menawarkan beberapa tindakan mitigasi terhadap risiko tinggi tersebut, seperti:

  • Penggunaan full body harness dan pengaman jatuh standar SNI,

  • Pelatihan berkala mengenai penggunaan alat berat dan APD,

  • Pengecekan alat bantu kerja seperti scaffolding secara rutin,

  • Pemasangan rambu keselamatan dan peringatan zona bahaya.
     

Rekomendasi ini sejajar dengan standar internasional seperti OSHA (Occupational Safety and Health Administration), yang menyarankan sistem proteksi berlapis di area kerja ketinggian.

Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian

Kelebihan

  • Pendekatan semi-kuantitatif memudahkan identifikasi prioritas risiko tanpa kehilangan konteks nyata di lapangan.

  • Penelitian ini bersifat aplikatif dan mudah direplikasi untuk proyek konstruksi lain.

Keterbatasan

  • Fokus hanya pada struktur atas membatasi generalisasi untuk keseluruhan proyek gedung.

  • Belum menjangkau aspek psikologis dan perilaku pekerja terhadap kepatuhan terhadap prosedur K3.

Nilai Tambah dan Opini Kritis

Studi ini menyumbangkan pemahaman mendalam terhadap manajemen risiko K3 di sektor konstruksi, terutama pada pekerjaan yang paling berisiko. Namun, untuk implementasi optimal, dibutuhkan:

  1. Keterlibatan manajemen puncak dalam mendukung kebijakan K3,

  2. Digitalisasi sistem K3, seperti penggunaan aplikasi pelaporan risiko secara real-time,

  3. Sanksi tegas terhadap pelanggaran SOP keselamatan,

  4. Penerapan safety leadership agar budaya K3 tidak sekadar formalitas administratif.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini sejalan dengan temuan Mustaqim & Pane (2021) yang menyebut bahwa produktivitas tenaga kerja menurun seiring dengan meningkatnya risiko keselamatan yang tak tertangani. Selain itu, riset Fadli Djafri et al. (2023) juga menekankan pentingnya identifikasi risiko secara awal di tahap perencanaan sebagai langkah preventif.

Kaitkan dengan Tantangan Industri Konstruksi Saat Ini

Dalam era transformasi digital dan revolusi industri 4.0, sektor konstruksi masih menghadapi tantangan klasik: kurangnya tenaga kerja terlatih, lemahnya kontrol lapangan, dan resistensi terhadap prosedur keselamatan.

Penerapan manajemen risiko berbasis data seperti dalam penelitian ini menjadi solusi menjanjikan. Kombinasi pengetahuan teknis dan kepatuhan etis menjadi fondasi masa depan proyek konstruksi yang aman dan berkelanjutan.

Penutup: Jalan Panjang Mewujudkan Zero Accident

Artikel ini menyampaikan pesan penting: bahwa risiko bukan untuk dihindari, tetapi untuk dikelola secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendekatan metodologis yang kuat dan rekomendasi yang aplikatif, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi kontraktor, pengawas, maupun regulator dalam membangun budaya keselamatan yang kuat di proyek-proyek konstruksi Indonesia.

Sumber Referensi

La Ode Asrul R., Rosdiana Rahim, dan Abdul Rahman. (2023). Analisa Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada Proyek Pekerjaan Struktur Atas Gedung. Jurnal Teknik Sipil Universitas Halu Oleo. https://ojs.uho.ac.id/index.php/JTS
ILO. (2023). Construction: A hazardous work. https://www.ilo.org

Selengkapnya
Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Struktur Atas Gedung: Solusi, Tantangan, dan Implikasi Praktis
« First Previous page 2 of 2