Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Evaluasi Nasional Implementasi K3 di Proyek Konstruksi: Apa Saja Hambatannya dan Bagaimana Mengatasinya?

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 14 Mei 2025


Evaluasi Implementasi K3 di Proyek Konstruksi: Refleksi Nasional dan Strategi Perbaikan

Mengapa K3 dalam Proyek Konstruksi Masih Jadi Tantangan di Indonesia?

Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam proyek konstruksi di Indonesia telah lama menjadi fokus regulasi nasional, namun implementasinya belum sepenuhnya efektif. Hal ini tercermin dari data Kementerian Ketenagakerjaan dan pengakuan dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), yang menempatkan konstruksi sebagai salah satu sektor dengan risiko kematian tertinggi di dunia.

Artikel oleh Nurul Octaviyanti Ginting dan Abdurrazzaq Hasibuan ini menyajikan kajian literatur sistematis terhadap 20 studi terkait penerapan manajemen K3, dengan seleksi akhir pada 10 artikel paling relevan, untuk menjawab dua pertanyaan mendasar:

  • Bagaimana penerapan K3 pada proyek konstruksi saat ini?
  • Apa saja faktor penghambat yang menghambat penerapan tersebut?

Metodologi: Kajian Literatur Sistematis

Penelitian ini dilakukan melalui pencarian literatur di Google Scholar, kemudian diseleksi dan dianalisis berdasarkan relevansi dengan penerapan manajemen K3. Dari 20 artikel awal, penulis memilih 10 artikel dengan kedalaman pembahasan paling sesuai, mencakup proyek infrastruktur, apartemen, gedung universitas, perumahan, hingga revitalisasi depo kontainer.

Temuan Kunci: Penerapan Sudah Cukup Baik, Tapi Belum Merata

Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan K3 secara umum telah dilakukan dengan baik, terutama di proyek-proyek berskala besar atau dikelola oleh perusahaan dengan sistem manajemen yang mapan.

Contoh pencapaian penerapan K3:

  • Proyek Tol Jakarta–Cikampek II Elevated: 98,04% kriteria SMK3 tercapai.
  • Proyek Gedung Universitas Muhammadiyah Purwokerto: Penerapan sesuai SOP sebesar 86,28%.
  • Revitalisasi Depo Kontainer PT. BGR Palembang: Ketersediaan APD 87,5%, pelaksanaan SMK3 74,01%.
  • Proyek Apartemen Kyo Society Surabaya: Anggaran K3 mencapai lebih dari Rp1,8 miliar, menunjukkan komitmen serius.

Meski demikian, pelaksanaan di proyek skala kecil masih memprihatinkan. Penelitian oleh Zulkarnain et al. (2023) menunjukkan bahwa hanya 3 dari 5 proyek berskala kecil yang memiliki penerapan K3 yang layak.

Faktor-Faktor Penghambat Penerapan K3

Berdasarkan sintesis literatur, penulis mengidentifikasi lima faktor utama yang menjadi hambatan penerapan K3 di proyek konstruksi:

  1. Kurangnya Pengetahuan tentang K3
    Banyak pekerja tidak memahami fungsi APD atau prosedur keselamatan, terutama yang berasal dari pendidikan rendah dan belum mendapat pelatihan formal.
  2. Minimnya Pelatihan K3
    Pelatihan hanya dilakukan sekali saat awal proyek. Tidak ada pelatihan lanjutan, simulasi kecelakaan, atau refreshment rutin.
  3. Keterbatasan Anggaran
    Proyek dengan anggaran ketat kerap memangkas biaya K3. Padahal, K3 harus dianggap sebagai investasi, bukan beban.
  4. Faktor Lingkungan
    Cuaca buruk, medan kerja berat, dan infrastruktur sementara yang minim menyebabkan banyak potensi bahaya tidak terkontrol.
  5. Rendahnya Kesadaran Pekerja
    Banyak pekerja merasa APD menghambat gerak kerja atau menganggapnya “tidak penting” selama tidak ada kecelakaan sebelumnya.

Studi Kasus: Rangkuman Proyek Nyata di Indonesia

Artikel ini mengumpulkan beberapa studi kasus penting yang memperkaya pemahaman praktis implementasi K3:

  • Proyek Infrastruktur di Bali (Putra & Dharma, 2023): Skor implementasi hanya 71%, dengan aspek yang lemah pada penyediaan APD seperti safety gloves dan rambu peringatan.
  • Proyek Gedung Kyo Society (Nazilah et al., 2023): Kendala utama bukan teknis, tapi non-teknis seperti resistensi budaya terhadap penerapan SOP K3.
  • Tol Cibitung–Cilincing (Sitohang & Magdalena, 2020): Bukti kuat bahwa implementasi K3 berkorelasi langsung dengan pencapaian Zero Accident, jika dikelola optimal.

Rekomendasi Strategis untuk Penerapan K3 yang Lebih Efektif

Berdasarkan temuan tersebut, berikut rekomendasi yang perlu diterapkan lintas proyek:

  1. Integrasi Pelatihan Berkelanjutan dan Interaktif
    Pelatihan tidak boleh berhenti di awal proyek. Gunakan pendekatan mikrolearning, video interaktif, dan simulasi lapangan.
  2. Alokasi Anggaran Khusus dan Terpisah
    K3 harus dipisahkan dari pos biaya umum dan dilindungi dari pemotongan saat terjadi efisiensi anggaran.
  3. Audit Internal dan Eksternal Berkala
    Evaluasi rutin dari pihak independen untuk mengukur efektivitas sistem manajemen K3 yang sedang berjalan.
  4. Sistem Insentif dan Disinsentif
    Pekerja yang patuh diberi bonus atau penghargaan; pelanggar diberikan peringatan hingga sanksi administratif.
  5. Kampanye Kesadaran K3 yang Berkelanjutan
    Gunakan poster, digital signage, atau briefing harian yang memperkuat mindset bahwa K3 adalah bagian dari profesionalisme.

Kesimpulan: Saatnya Bangun Budaya K3, Bukan Sekadar Prosedur

Penelitian ini menggarisbawahi bahwa meskipun implementasi K3 di proyek konstruksi telah berjalan cukup baik, banyak pekerjaan rumah yang tersisa, terutama di sisi pekerja, edukasi, dan budaya perusahaan.

Keselamatan kerja bukan hanya tanggung jawab pengawas atau manajemen, tetapi merupakan ekosistem kolektif yang melibatkan seluruh pihak: dari manajer proyek hingga tukang batu. Dengan peningkatan pelatihan, kesadaran, dan sistem evaluasi, maka harapan untuk mewujudkan proyek konstruksi tanpa kecelakaan akan menjadi lebih nyata.

Sumber : Ginting, N. O., & Hasibuan, A. (2024). Implementasi Penerapan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan (K3) Pada Proyek Konstruksi di Indonesia. Gudang Jurnal Multidisiplin Ilmu, 2(7), 6–9.

Selengkapnya
Evaluasi Nasional Implementasi K3 di Proyek Konstruksi: Apa Saja Hambatannya dan Bagaimana Mengatasinya?

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Penerapan K3 di Proyek Jalan Nasional Parapat–Ajibata: Evaluasi Kesadaran APD dan Strategi Pencegahan Risiko Lapangan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 14 Mei 2025


Dalam proyek infrastruktur jalan nasional, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah pondasi utama keberlanjutan. Di tengah kejar target mutu, biaya, dan waktu, sering kali keselamatan pekerja menjadi aspek yang terpinggirkan. Penelitian Mei Brilian Harefa, Asri Afriliany Surbakti, dan Irfan Efendi dari Universitas Quality Berastagi ini mengulas penerapan K3 di Proyek Jalan Nasional Parapat–Ajibata, sebuah proyek vital di wilayah Sumatera Utara yang berdekatan dengan kawasan wisata Danau Toba.

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi tingkat penerapan alat pelindung diri (APD) dan strategi pencegahan risiko di lapangan melalui pendekatan kualitatif berbasis wawancara dan observasi langsung, dengan acuan regulasi seperti Permenaker No. 5 Tahun 2018, PP No. 50 Tahun 2012, serta Permen PU No. 05 Tahun 2014.

Metodologi dan Ruang Lingkup Studi

Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dengan data primer dari wawancara terhadap kepala tim kerja dan pekerja konstruksi, serta checklist penggunaan APD dan sarana pencegahan bahaya. Analisis dilakukan secara univariat, fokus pada tiga elemen: penggunaan APD, pelaksanaan kerja, dan strategi pencegahan risiko.

Studi Kasus: Evaluasi Penerapan K3 di Proyek Jalan Nasional Parapat–Ajibata

Lokasi proyek ini sangat strategis, berada di jalur padat lalu lintas dengan medan kerja yang kompleks. Oleh karena itu, penerapan K3 menjadi krusial demi mencegah kecelakaan dan menjaga produktivitas.

Penggunaan APD oleh Pekerja

Dari 17 pekerja yang diamati, data pemakaian APD menunjukkan:

  • 100% menggunakan sepatu keselamatan
  • 88,23% menggunakan helm
  • 82,35% menggunakan rompi schotlite
  • 76,47% menggunakan sarung tangan
  • 70,58% menggunakan masker
  • 58,82% menggunakan kacamata pelindung

Meski sebagian besar telah mematuhi penggunaan APD, pemakaian kacamata dan masker masih rendah, padahal ini vital pada kondisi kerja berdebu atau berisiko percikan material.

Analisis Strategi Pencegahan Bahaya di Lokasi Proyek

Peneliti mencatat lima langkah utama yang dilakukan oleh kontraktor sebagai bagian dari sistem pencegahan risiko kerja, yaitu:

  1. Pemasangan rambu peringatan bahaya
    Rambu dipasang di titik-titik strategis karena proyek sangat dekat dengan lalu lintas padat kendaraan. Ini menjadi pengingat visual bagi pekerja dan pengguna jalan.
  2. Penyediaan alat pelindung diri yang memadai
    Perusahaan menunjukkan komitmen dengan menyediakan APD lengkap, meskipun pemakaian oleh pekerja masih belum merata.
  3. Instruksi kerja sebelum memulai aktivitas harian
    Setiap pagi, tim K3 memberikan pengarahan terkait prosedur keselamatan dan penggunaan APD. Ini menjadi langkah efektif dalam membentuk budaya kerja yang aman.
  4. Pengelolaan lokasi kerja yang baik
    Penempatan peralatan dan pengaturan ruang kerja yang ergonomis meningkatkan kenyamanan dan menekan potensi kecelakaan akibat kondisi sempit atau tumpang tindih aktivitas.
  5. Pemeriksaan alat kerja sebelum digunakan
    Seluruh alat berat dan peralatan manual diperiksa rutin setiap hari. Alat yang tidak layak pakai segera diganti atau diperbaiki.

Namun, ditemukan satu kekurangan penting: tidak tersedianya fasilitas P3K. Ini menjadi catatan kritis karena keberadaan P3K adalah standar minimum yang wajib dipenuhi sesuai regulasi nasional.

Keselarasan dengan Standar ISO dan Peraturan Nasional

Proyek ini menyatakan kepatuhan terhadap standar sistem manajemen internasional, yaitu:

  • ISO 9001:2015 (Manajemen Mutu)
  • ISO 14001:2015 (Manajemen Lingkungan)
  • ISO 45001:2018 (Manajemen K3)

Selain itu, penerapan sistem K3 merujuk pada Permen PU No. 05 Tahun 2014, yang meliputi:

  • Kebijakan K3 tertulis dan ditandatangani pimpinan proyek
  • Perencanaan risiko berbasis skala proyek
  • Pengendalian operasional
  • Pemeriksaan dan evaluasi berkala
  • Tinjauan ulang dan perbaikan berkelanjutan

Kebijakan tersebut menunjukkan adanya komitmen formal perusahaan dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat, sekaligus menjamin keberlangsungan proyek secara profesional.

Tinjauan Kritis dan Rekomendasi Praktis

Hal yang sudah berjalan baik:

  • Tingkat kepatuhan penggunaan APD cukup tinggi, khususnya untuk APD vital seperti helm dan sepatu.
  • Sosialisasi harian dan pengawasan aktif oleh tim K3 sudah menjadi kebiasaan kerja positif.
  • Kondisi alat dan lokasi kerja terpantau baik, menunjukkan standar teknis dipegang teguh.

Hal yang masih perlu ditingkatkan:

  • Kepatuhan penggunaan masker dan kacamata masih rendah meski sudah tersedia.
  • Fasilitas P3K belum tersedia di lapangan, padahal ini mutlak dibutuhkan dalam kondisi darurat.
  • Tidak disebutkan adanya audit internal atau eksternal berkala, yang padahal menjadi bagian penting dari siklus peningkatan mutu dalam manajemen K3.

Rekomendasi utama:

  • Adakan pelatihan periodik dan simulasi kondisi darurat agar pekerja tanggap terhadap insiden.
  • Lengkapi lokasi dengan fasilitas P3K permanen di setiap zona kerja.
  • Perkuat dokumentasi sistematis terhadap insiden dan near miss sebagai bahan evaluasi rutin.
  • Dorong pendekatan berbasis reward dan punishment terhadap kedisiplinan K3 di lapangan.

Kesimpulan: K3 Bukan Sekadar Kewajiban, Tapi Investasi Keselamatan

Penelitian ini menegaskan bahwa penerapan K3 di Proyek Jalan Nasional Parapat–Ajibata tergolong sangat baik, terutama dalam hal penggunaan APD dan strategi pencegahan. Namun, masih ada ruang perbaikan, terutama terkait penyediaan fasilitas medis dasar seperti P3K dan kepatuhan penggunaan APD pelengkap.

Dengan penguatan di aspek-aspek tersebut, proyek serupa di masa mendatang tidak hanya akan berjalan aman dan lancar, tapi juga meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja secara berkelanjutan.

Sumber : Harefa, M. B., Surbakti, A. A., & Efendi, I. (2022). Kajian Penerapan K3 Pada Proyek Jalan Nasional Parapat–Ajibata. Jurnal Multidisiplin Madani (MUDIMA), 2(8), 3380–3383.

Selengkapnya
Penerapan K3 di Proyek Jalan Nasional Parapat–Ajibata: Evaluasi Kesadaran APD dan Strategi Pencegahan Risiko Lapangan

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Menakar Efektivitas Penerapan K3 pada Proyek Pabrik di Cikarang: Studi Lapangan Pekerjaan Beton, Baja, dan Bata

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 14 Mei 2025


Latar Belakang: Konstruksi dan Tantangan K3 di Lapangan

Industri konstruksi dikenal sebagai sektor dengan risiko kecelakaan kerja tinggi. Proyek-proyek besar seperti pembangunan pabrik di kawasan industri kerap melibatkan pekerjaan berat, ketinggian, dan alat berat, yang menjadikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sebagai elemen krusial. Dalam studi Wahidin, Soedarmin Soenyoto, dan Azharie Hasan, dilakukan evaluasi penerapan K3 pada proyek New SFB (Standard Factory Building) yang dibangun oleh PT. Dwi Tunggal Surya Jaya di Kawasan Industri JABABEKA III, Cikarang.

Penelitian ini berfokus pada tiga jenis pekerjaan utama—beton, baja, dan bata—melalui pendekatan deskriptif kuantitatif dengan observasi dan wawancara sebagai metode utama. Tujuan utamanya adalah mengetahui sejauh mana prinsip K3 benar-benar diterapkan dan apa saja penyebab kecelakaan yang masih terjadi.

Metode Penelitian dan Objek Kajian

Penelitian melibatkan 30 responden (30% dari total tenaga kerja) yang sedang mengerjakan tiga jenis pekerjaan konstruksi. Data dikumpulkan dari observasi terstruktur, wawancara langsung dengan pekerja, pengawas, hingga Project Manager, serta dokumentasi proyek.

Karakteristik Responden

  • 80% responden adalah pekerja langsung.
  • 40% lulusan SMA, dengan sisa tersebar dari SD hingga S1.
  • 37% telah bekerja 3 tahun, menunjukkan pengalaman kerja yang cukup.
  • 100% responden telah mengikuti pelatihan K3, menandakan dukungan perusahaan dalam edukasi keselamatan.

Temuan Utama: Tingkat Penerapan K3 di Lapangan

Penelitian membagi hasil ke dalam tiga kelompok pekerjaan: beton, rangka baja, dan bata. Berikut ringkasan penerapan K3:

  • Pekerjaan rangka baja: 81,48% (kategori “pada umumnya”)
  • Pekerjaan beton: 78,81%
  • Pekerjaan bata: 74,43%

Penerapan K3 secara keseluruhan masih di bawah 85%, artinya belum memenuhi syarat untuk memperoleh sertifikat dan bendera emas menurut Permenaker No. PER.05/MEN/1996.

Analisis Per Pekerjaan: Rincian Kasus dan Angka

1. Pekerjaan Beton

  • 30% pekerja pernah mengalami kecelakaan, jenis terbanyak adalah terkena material adukan (44%) dan benda tajam (33%).
  • Akibat kecelakaan: 56% luka ringan, 44% harus cuti sementara.
  • Penyebab utama: 78% karena tidak memakai APD.

Penerapan terbaik adalah pada proses pengecoran (83,33%), sedangkan aspek pembesian hanya mencapai 75%.

2. Pekerjaan Baja

  • 30% pekerja juga pernah mengalami kecelakaan, dominan terkena benda tajam (67%).
  • 78% mengalami luka ringan, penyebab utamanya juga tidak memakai APD.

Kinerja terbaik tercatat pada proses penyambungan baja dengan besi tulangan (83,33%).

3. Pekerjaan Bata

  • 20% pekerja mengalami kecelakaan, terutama karena terkena material bata (50%).
  • Semua kasus menghasilkan luka ringan tanpa korban serius.
  • Penerapan terbaik ditemukan pada pengangkatan bata ke tempat pemasangan (80%).

Penerapan Regulasi dan Tindakan Pencegahan

Perusahaan sudah menerapkan banyak elemen K3, antara lain:

  • Penyediaan APD lengkap: helm, sepatu, sarung tangan, masker, kacamata.
  • Rambu-rambu K3, spanduk peringatan, dan petunjuk kerja.
  • Fasilitas P3K lengkap, seperti alkohol, perban, obat antiseptik, tempat istirahat.
  • Pelatihan K3 dilakukan untuk semua pekerja, dan 100% responden mengaku pernah mengikutinya.

Namun, 63% pekerja menggunakan APD secara konsisten, dan 37% hanya sesekali, dengan alasan utama: “tidak nyaman saat bekerja.”

Evaluasi Upaya Preventif dan Kuratif

Upaya preventif perusahaan:

  • Sosialisasi prosedur keselamatan.
  • Pemeriksaan alat sebelum digunakan.
  • Pemagaran proyek dan rambu kerja.

Upaya kuratif:

  • Pemberian P3K ringan.
  • Pengiriman ke rumah sakit bila diperlukan.
  • Cuti pemulihan pasca-kecelakaan.

Langkah-langkah ini sudah sesuai dengan standar ISO 45001:2018 tentang manajemen K3.

Kritik dan Rekomendasi

Kelebihan:

  • Komitmen perusahaan tinggi dalam menyediakan fasilitas dan pelatihan.
  • Mayoritas kecelakaan yang terjadi bersifat ringan, menunjukkan keberhasilan mitigasi awal.

Kekurangan:

  • APD masih dianggap “mengganggu” oleh sebagian pekerja.
  • Tidak ada hukuman atau sanksi bagi pekerja yang tidak menggunakan APD.
  • Kesadaran pribadi belum terbentuk kuat, meskipun pelatihan sudah diberikan.

Rekomendasi:

  1. Desain ulang APD agar ergonomis dan nyaman, agar pemakaian lebih konsisten.
  2. Terapkan sistem reward and punishment berbasis kepatuhan K3.
  3. Tingkatkan supervisi langsung di lapangan, terutama pada pekerjaan yang menggunakan alat berat atau berisiko tinggi.
  4. Lakukan audit K3 berkala oleh pihak eksternal untuk validasi implementasi.
  5. Integrasikan digital checklist dan pelaporan otomatis K3 untuk efisiensi dan dokumentasi real-time.

Kesimpulan: Budaya K3 Harus Terus Diperkuat

Studi ini membuktikan bahwa perusahaan konstruksi dapat mencapai penerapan K3 yang baik, tetapi belum optimal tanpa kesadaran individu. Meskipun sistem dan fasilitas telah tersedia, tingkat pemanfaatan dan kedisiplinan penggunaannya masih belum merata.

Penerapan K3 bukan hanya soal kepatuhan terhadap regulasi, melainkan investasi jangka panjang terhadap keselamatan kerja, produktivitas proyek, dan reputasi perusahaan.

Sumber : Wahidin, W., Soenyoto, S., & Hasan, A. (2014). Penerapan K3 pada Pelaksanaan Proyek New SFB di Cikarang yang Dilaksanakan PT. Dwi Tunggal Surya Jaya. Jurnal BENTANG, 2(2), 1–33.

Selengkapnya
Menakar Efektivitas Penerapan K3 pada Proyek Pabrik di Cikarang: Studi Lapangan Pekerjaan Beton, Baja, dan Bata

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Mitigasi Risiko K3 pada Proyek Jalan: Strategi Efektif Cegah Tabrakan, Longsor, dan Bekisting Roboh

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 14 Mei 2025


Pendahuluan: Proyek Jalan dan Ancaman Nyata Keselamatan Kerja

Proyek konstruksi jalan dikenal sebagai jenis pekerjaan dengan risiko keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang tinggi. Berdasarkan data nasional, sekitar 30% kecelakaan kerja di Indonesia terjadi di lokasi proyek. Fakta tersebut menjadi indikator bahwa penerapan K3 belum optimal, meski telah ada regulasi seperti PP No. 50 Tahun 2012 dan Permen PUPR No. 05/PRT/M/2014 yang mewajibkan penerapan sistem manajemen K3 di sektor konstruksi.

Penelitian Riza Susanti (2022) dalam Jurnal Bangunan mengevaluasi secara kuantitatif berbagai risiko K3 yang sering muncul dalam proyek jalan, khususnya dari perspektif biaya, mutu, dan waktu pelaksanaan proyek. Fokus utama kajian ini adalah mengidentifikasi risiko-risiko dominan dan menyusun strategi mitigasi yang dapat langsung diimplementasikan oleh para stakeholder proyek jalan.

Metodologi Penelitian: Mengukur Risiko secara Nyata

Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan data yang dikumpulkan melalui wawancara dan kuesioner terhadap 50 responden dari kalangan kontraktor besar di Indonesia. Penilaian risiko dilakukan dengan pendekatan probabilitas-dampak terhadap tiga indikator proyek utama: biaya, mutu, dan waktu. Tingkat risiko diklasifikasikan ke dalam kategori rendah, moderat, dan tinggi berdasarkan nilai gabungan dampak dan probabilitas dari setiap skenario risiko.

Hasil Identifikasi: Enam Kategori Risiko K3 Dominan dalam Proyek Jalan

Penelitian ini berhasil mengidentifikasi enam kategori besar risiko K3 yang sering muncul dalam proyek jalan:

  1. Risiko Lokasi Kerja
    Termasuk risiko pekerja sakit, kebakaran, kebanjiran, tersandung benda tajam, dan tabrakan/tertabrak.
  2. Risiko Jalan Akses
    Seperti excavator terguling, truk rusak atau terperosok, dan tim survei tertimpa longsoran.
  3. Risiko Galian
    Melibatkan potensi longsoran galian, kontak dengan utilitas aktif (listrik/pipa gas), dan pekerja masuk lubang.
  4. Risiko Pekerjaan Timbunan Tanah
    Seperti jalan berdebu atau licin, dan terserempet alat berat.
  5. Risiko Pekerjaan Struktur
    Meliputi bekisting roboh, kejatuhan benda dari atas, hingga terpapar mesin pemotong logam.
  6. Risiko Pekerjaan Clearing & Striping
    Seperti tertimpa pohon, terjatuh ke lubang galian, hingga terpapar debu tinggi.

Tiga Risiko Paling Tinggi dan Strategi Mitigasinya

Berdasarkan analisis terhadap 50 lebih sub-risiko yang ditelusuri dalam keenam kategori di atas, peneliti mengidentifikasi tiga risiko utama dengan nilai risiko tinggi yang berpotensi besar mengganggu proyek:

1. Risiko Tabrakan/Tertabrak

  • Probabilitas: 0,7
  • Dampak terhadap biaya: 0,4
  • Kategori risiko: Tinggi
  • Strategi mitigasi:
    • Pasang rambu peringatan dan pembatas jalur kerja
    • Sediakan pemadam kebakaran sebagai antisipasi skenario terburuk

2. Risiko Longsoran Galian

  • Probabilitas: 0,5
  • Dampak terhadap biaya: 0,6
  • Kategori risiko: Tinggi
  • Strategi mitigasi:
    • Galian dibuat bertingkat tinggi (terasering)
    • Pemasangan turap atau dinding penahan tanah permanen

3. Risiko Bekisting Roboh

  • Probabilitas: 0,5
  • Dampak terhadap mutu dan waktu: tinggi
  • Kategori risiko: Tinggi
  • Strategi mitigasi:
    • Gambar kerja (shop drawing) dan perhitungan kekuatan struktur wajib ada
    • Lengkapi pemasangan dengan cross bracing, alas dudukan yang kuat, dan lakukan inspeksi intensif sebelum pengecoran

Ketiganya tergolong dalam risiko utama karena berdampak signifikan terhadap ketiga aspek utama proyek: biaya, mutu, dan waktu.

Penyebab Dominan: Unsafe Condition dan Unsafe Action

Dua dari tiga risiko tertinggi berasal dari kategori unsafe condition, yakni kondisi lingkungan proyek yang tidak aman. Faktor lainnya adalah unsafe action, seperti kelalaian dalam pemasangan bekisting yang tidak sesuai prosedur. Studi ini memperkuat temuan dari Soetjipto et al. (2021) yang menyatakan bahwa unsafe condition mendominasi penyebab kecelakaan kerja di proyek konstruksi.

Studi Pendukung: Contoh Risiko Nyata di Proyek Jalan Nasional

Penelitian ini juga mencatat kasus nyata seperti:

  • Proyek Jalan Tol Paket V Tinalun–Lemah Ireng Semarang–Bawen, yang sempat terdampak akibat longsoran galian dan menyebabkan keterlambatan konstruksi serta kenaikan biaya operasional.

Hal ini memperjelas bahwa tanpa mitigasi, risiko K3 dapat dengan cepat berubah menjadi krisis proyek.

Kesimpulan dan Implikasi Praktis

Kesimpulan utama dari studi ini adalah bahwa risiko K3 pada proyek jalan tidak bisa dihindari, tapi dapat dikendalikan. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi enam kelompok risiko, dengan tiga di antaranya masuk dalam prioritas mitigasi: tabrakan, longsoran galian, dan bekisting roboh.

Penerapan strategi yang terukur, pengawasan ketat di lapangan, dan edukasi berkelanjutan kepada pekerja menjadi kunci utama mencegah dampak buruk dari risiko-risiko tersebut. Terlebih dalam proyek jalan yang sering kali bersinggungan langsung dengan pengguna jalan umum dan alat berat yang terus bergerak.

Dengan memanfaatkan hasil penelitian ini, stakeholder proyek—baik kontraktor, manajemen proyek, maupun pengawas—dapat:

  • Menyusun SOP keselamatan berbasis risiko aktual
  • Menargetkan pengawasan ketat pada titik rawan
  • Menyediakan peralatan mitigasi yang sesuai sejak awal proyek

Dengan kesadaran dan manajemen risiko yang baik, proyek jalan dapat diselesaikan tanpa mengorbankan keselamatan para pekerja.

Sumber artikel : Susanti, R. (2022). Identifikasi dan Penanganan Risiko K3 pada Proyek Jalan. Jurnal Bangunan, 27(2), 55–68.

Selengkapnya
Mitigasi Risiko K3 pada Proyek Jalan: Strategi Efektif Cegah Tabrakan, Longsor, dan Bekisting Roboh

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Penerapan SMK3 pada Proyek Tol Jakarta–Cikampek II Elevated: Strategi Menekan Risiko di Ketinggian

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 09 Mei 2025


Latar Belakang: Konstruksi dan Risiko di Ketinggian

Industri konstruksi menempati posisi rawan dalam hal keselamatan kerja, terlebih pada proyek yang melibatkan pekerjaan di ketinggian. Berdasarkan data dari BPJS Ketenagakerjaan, Indonesia mencatat 157.313 kecelakaan kerja pada 2018, dengan hampir 32% di antaranya terjadi di sektor konstruksi. Proyek Jalan Tol Jakarta–Cikampek II Elevated milik PT. X menjadi studi penting karena sifatnya yang berisiko tinggi: pekerjaan dilakukan di atas dua jalur tol aktif dan melibatkan lebih dari 2.000 pekerja.

Penelitian oleh Triana Srisantyorini dan Rika Safitriana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta mengevaluasi implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) berdasarkan PP No. 50 Tahun 2012, menggunakan pendekatan mix method (kualitatif dan kuantitatif). Fokus evaluasi mencakup lima prinsip utama: komitmen, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan tinjauan ulang SMK3.

Studi Kasus: Proyek Jakarta–Cikampek II Elevated

Proyek tol ini memiliki panjang 36,84 km jalur utama dan 6,30 km on/off ramp, mencakup ruas dari Cikunir hingga Karawang Barat. Beberapa insiden fatal pernah terjadi pada proyek-proyek lain yang dijalankan perusahaan ini, seperti:

  • 22 September 2017: jatuhnya girder, menyebabkan 1 meninggal dan 2 luka-luka.
  • 29 Oktober 2017: insiden serupa menewaskan 1 pekerja, melukai 3 lainnya.
  • 2 Februari 2018: longsor dinding terowongan di proyek bandara, 1 meninggal.
  • 20 Februari 2018: jatuhnya bracket bekisting menyebabkan 7 luka-luka.

Rangkaian insiden ini menunjukkan pentingnya penerapan sistem SMK3 secara ketat dan berkelanjutan.

Capaian SMK3: Angka-angka dari Lapangan

Berdasarkan checklist yang disusun menurut PP No. 50/2012, proyek ini mencatat penerapan SMK3 sebesar 98,04% (163 dari 166 kriteria). Berikut rincian pencapaiannya:

  • Komitmen dan kebijakan K3: 98,07%
  • Perencanaan K3: 100% pada dokumentasi, 93,75% pada kontrol desain
  • Pelaksanaan K3: 100% untuk dokumen dan pengendalian produk, 96,95% pada keamanan kerja
  • Pemantauan dan evaluasi: 98,53% pemantauan, 94,44% pelaporan
  • Tinjauan ulang: 100% data, 91,66% audit SMK3

Semua indikator menunjukkan kategori “baik” hingga “sangat baik”, menjadikan proyek ini contoh sukses dalam penerapan SMK3 pada pekerjaan konstruksi berisiko tinggi.

Faktor Penentu Keberhasilan Implementasi SMK3

1. Komitmen Manajemen dan Edukasi Karyawan
Proyek ini memiliki komitmen tertulis berupa spanduk yang ditandatangani seluruh pekerja, menargetkan zero accident. Edukasi dilakukan berulang kali agar pekerja tidak sekadar patuh secara formal, tapi juga memiliki budaya sadar risiko.

2. Perencanaan K3 yang Komprehensif
Penyusunan Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan (RK3L) dilakukan sebelum proyek berjalan. Metode identifikasi bahaya dan HIRADC diterapkan untuk mengendalikan risiko secara teknis.

3. Pengawasan dan Prosedur Inspeksi Terintegrasi
Tiap elemen pelaksanaan dipantau harian, mingguan, dan bulanan. Ketidaksesuaian langsung ditindaklanjuti, dan pelaporan internal dilakukan hingga ke pusat.

4. Pelatihan dan Sertifikasi SDM K3
Seluruh pekerja wajib mengikuti pelatihan sesuai bidang tugas, termasuk pelatihan APAR, simulasi kebakaran, prosedur P3K, dan pelatihan pengenalan risiko kerja untuk kontraktor.

5. Tindak Lanjut Hasil Audit dan Monitoring
Temuan lapangan seperti pelanggaran pemakaian APD atau kurangnya SOP langsung dievaluasi dalam rapat mingguan oleh P2K3, dengan tenggat penyelesaian maksimal satu minggu.

Catatan Kritis: Kecelakaan Masih Terjadi

Meski capaian nyaris sempurna, proyek ini tetap mencatat 4 kasus kecelakaan ringan (terjatuh, luka akibat alat) dan 2 kematian pekerja. Ini menandakan bahwa bahkan penerapan SMK3 tingkat lanjut masih memerlukan penguatan pada aspek kedisiplinan individu dan pengawasan real-time.

Rekomendasi untuk Proyek Serupa

  1. Penerapan teknologi digital K3, seperti dashboard monitoring live dan QR-code untuk ceklis APD.
  2. Audit eksternal rutin dari lembaga independen agar tidak terjadi bias dalam evaluasi internal.
  3. Kampanye internal bertema keselamatan hidup, bukan hanya kepatuhan kerja.
  4. Insentif berbasis kinerja K3 untuk mendorong kesadaran pekerja dari dalam diri.
  5. Perluasan edukasi ke pihak kontraktor dan subkontraktor yang seringkali luput dari kontrol langsung.

Pembanding dan Relevansi Global

Dalam konteks global, capaian 98,04% sangat kompetitif. Namun bila dibandingkan dengan proyek serupa di negara-negara Skandinavia atau Jepang yang telah menerapkan K3 berbasis sensor dan IoT, proyek ini masih berbasis pendekatan manual. Ada peluang besar bagi proyek infrastruktur Indonesia untuk mengejar kemajuan lewat digitalisasi K3 dan automasi inspeksi keselamatan.

Kesimpulan

Penerapan SMK3 di proyek Tol Jakarta–Cikampek II Elevated berhasil mencapai tingkat “memuaskan”, dengan skor hampir sempurna dalam seluruh elemen evaluasi. Penerapan ini menunjukkan bahwa sistem keselamatan tidak hanya menjadi pelengkap proyek, tapi elemen kunci yang menjamin kelangsungan operasional, produktivitas, dan perlindungan nyawa pekerja.

Meskipun insiden tetap terjadi, implementasi sistematis berbasis regulasi menunjukkan hasil yang nyata. Ke depan, proyek serupa harus mengedepankan pembentukan budaya keselamatan yang berkelanjutan dan menyeluruh, bukan hanya sekadar kepatuhan prosedural.

Sumber : Srisantyorini, T., & Safitriana, R. (2020). Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek 2 Elevated. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 16(2), 151–163.

Selengkapnya
Penerapan SMK3 pada Proyek Tol Jakarta–Cikampek II Elevated: Strategi Menekan Risiko di Ketinggian

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Evaluasi Strategis Penerapan K3 Berbasis ISO 45001 di Proyek Pembangunan Pasar Singamandawa Bali

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 09 Mei 2025


Konstruksi dan Risiko Kecelakaan: Kenyataan yang Tak Terelakkan

Sektor konstruksi menyumbang angka kecelakaan kerja tertinggi di dunia, termasuk Indonesia. Proyek berskala besar hingga revitalisasi pasar rakyat seperti Pasar Singamandawa Tahap I di Kintamani, Bali, tetap menyimpan potensi bahaya yang serius. Artikel karya I Kadek Bayu Widiantara, Ida Ayu Putu Sri Mahapatni, dan I Made Harta Wijaya ini mengevaluasi penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) sesuai ISO 45001:2018, dalam konteks proyek pembangunan pasar tersebut.

Penelitian ini tak hanya menyentuh pemenuhan regulasi, tetapi juga menggunakan pendekatan PDCA (Plan-Do-Check-Action) serta model evaluasi Countenance Stake, mengintegrasikan data kualitatif dan kuantitatif dari wawancara, observasi, dan kuesioner terhadap 35 responden yang terdiri dari manajer proyek, staf K3, pengawas, hingga pekerja lapangan.

Studi Kasus: Proyek Pasar Singamandawa Kintamani

Pasar Singamandawa dibangun untuk memperbaiki fasilitas publik dan mendukung kegiatan ekonomi masyarakat sekitar Kintamani. Namun, seperti banyak proyek konstruksi lainnya, penerapan K3 masih menghadapi kendala utama, seperti:

  • Rendahnya penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) karena dianggap menghambat gerak.
  • Kurangnya kesadaran bahwa K3 adalah pelindung utama pekerja, bukan hanya formalitas perusahaan.
  • Belum optimalnya dokumentasi dan pencatatan kejadian insiden kerja.

Evaluasi Tiga Tahapan Kunci Penerapan K3

Penelitian ini membagi evaluasi dalam tiga dimensi utama, yaitu:

1. Antecedents (Masukan)

Evaluasi pada tahap perencanaan dan kebijakan K3 memperlihatkan hasil sangat sesuai menurut persepsi:

  • Staff (rata-rata skor: 40,00)
  • Pekerja (rata-rata skor: 41,08)

Faktor kunci keberhasilan tahap ini meliputi:

  • Adanya komitmen manajemen tertulis dalam bentuk kebijakan K3.
  • Struktur organisasi K3 yang aktif, lengkap dengan papan informasi dan sistem pelaporan internal.
  • Pengalokasian dana K3 yang jelas dalam anggaran proyek.

2. Tracedents (Proses)

Penilaian dilakukan pada dua aspek besar: perencanaan dan pelaksanaan K3.

  • Perencanaan K3 (identifikasi bahaya):
    • Staff: 34,09
    • Pekerja: 34,63
  • Pelaksanaan K3 (komunikasi, pengawasan, kesiapsiagaan):
    • Staff: 45,64
    • Pekerja: 46,00

Indikator pelaksanaan sangat sesuai karena:

  • Identifikasi bahaya dilakukan sejak awal proyek dan didokumentasikan dengan baik.
  • Tersedia APAR, rambu evakuasi, air bersih, MCK, dan fasilitas P3K lengkap.
  • Komunikasi rutin antara manajemen dan pekerja untuk pelaporan kondisi berbahaya.

3. Output (Keluaran)

Evaluasi tahap akhir difokuskan pada pemantauan, evaluasi, dan perbaikan sistem K3.

  • Staff: 18,82
  • Pekerja: 18,96

Hal ini mencakup:

  • Pelaporan kecelakaan kerja sudah berjalan namun masih perlu perbaikan dalam pendokumentasian.
  • Sarana dan prasarana kerja diperiksa dan diperbaiki secara berkala.
  • Audit internal dilakukan, namun belum sepenuhnya terdokumentasi secara sistematis.

Pendekatan ISO 45001:2018 dan PDCA

Proyek ini mengadopsi ISO 45001:2018 sebagai acuan utama. Standar ini menggabungkan aspek hukum, manajemen mutu, dan prinsip risiko dalam satu sistem terpadu. Pendekatan PDCA digunakan sebagai kerangka kerja:

  • Plan: Pembentukan P2K3 dan penetapan kebijakan K3.
  • Do: Implementasi program kerja seperti pelatihan dan pengendalian bahaya.
  • Check: Audit dan inspeksi lapangan (safety patrol).
  • Act: Evaluasi dan tindakan korektif berdasarkan hasil audit.

Kelebihan dan Kekurangan Implementasi di Lapangan

Yang Sudah Berjalan Baik:

  • Komitmen manajemen tertuang dalam struktur dan anggaran.
  • APD tersedia lengkap dan sosialisasi terus dilakukan.
  • Kegiatan pengawasan dan identifikasi bahaya rutin dilakukan.

Yang Masih Perlu Ditingkatkan:

  • Kesadaran pekerja untuk memakai APD secara konsisten.
  • Dokumentasi pelaporan insiden dan evaluasi internal belum optimal.
  • Integrasi sistem pelaporan berbasis digital belum diterapkan.

Rekomendasi Strategis untuk Proyek Selanjutnya

  1. Digitalisasi sistem pelaporan dan evaluasi K3 untuk meningkatkan transparansi dan pelacakan progres.
  2. Pelatihan berjenjang untuk seluruh pekerja, termasuk sesi khusus untuk pemahaman risiko kerja.
  3. Penguatan audit internal dengan dokumentasi lengkap dan rekomendasi perbaikan nyata.
  4. Pemberian insentif berbasis kinerja K3 untuk memotivasi pekerja.
  5. Pemasangan lebih banyak media visual edukatif K3 seperti infografik dan signage dinamis.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Hasil evaluasi proyek Singamandawa konsisten dengan studi oleh Kani et al. (2013) dan Kemala (2017), yang menegaskan pentingnya integrasi sistem K3 dalam setiap tahapan proyek konstruksi. Dibandingkan dengan proyek konstruksi di Bitung dan Badung, proyek Singamandawa tergolong berhasil dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan, meski masih tertinggal dalam dokumentasi dan evaluasi berkelanjutan.

Kesimpulan: K3 Adalah Budaya, Bukan Sekadar Regulasi

Evaluasi implementasi K3 di proyek Pasar Singamandawa Tahap I menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi berdasarkan standar ISO 45001:2018. Rata-rata penilaian dari seluruh responden menempatkan proyek ini dalam kategori “sangat sesuai”, yang berarti telah memenuhi standar internasional dalam aspek keselamatan kerja.

Namun demikian, keberhasilan tidak cukup hanya dari kepatuhan terhadap prosedur. Kesadaran dan budaya keselamatan harus terus dibangun dari bawah ke atas, melalui pendidikan, evaluasi berkelanjutan, dan teknologi pendukung. Tanpa itu, semua regulasi hanya menjadi teks tanpa makna.

Proyek ini menunjukkan bahwa dengan komitmen, koordinasi, dan evaluasi yang tepat, penerapan K3 bisa menjadi motor penggerak produktivitas sekaligus pelindung nyawa manusia di balik beton dan baja.

Sumber : Widiantara, I. K. B., Mahapatni, I. A. P. S., & Wijaya, I. M. H. (2024). Evaluasi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Proyek Pembangunan Pasar Singamandawa Tahap I. Jurnal Widya Teknik, 19(2), 54–59.

Selengkapnya
Evaluasi Strategis Penerapan K3 Berbasis ISO 45001 di Proyek Pembangunan Pasar Singamandawa Bali
« First Previous page 10 of 11 Next Last »