K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025
Dalam proyek infrastruktur jalan nasional, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah pondasi utama keberlanjutan. Di tengah kejar target mutu, biaya, dan waktu, sering kali keselamatan pekerja menjadi aspek yang terpinggirkan. Penelitian Mei Brilian Harefa, Asri Afriliany Surbakti, dan Irfan Efendi dari Universitas Quality Berastagi ini mengulas penerapan K3 di Proyek Jalan Nasional Parapat–Ajibata, sebuah proyek vital di wilayah Sumatera Utara yang berdekatan dengan kawasan wisata Danau Toba.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi tingkat penerapan alat pelindung diri (APD) dan strategi pencegahan risiko di lapangan melalui pendekatan kualitatif berbasis wawancara dan observasi langsung, dengan acuan regulasi seperti Permenaker No. 5 Tahun 2018, PP No. 50 Tahun 2012, serta Permen PU No. 05 Tahun 2014.
Metodologi dan Ruang Lingkup Studi
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dengan data primer dari wawancara terhadap kepala tim kerja dan pekerja konstruksi, serta checklist penggunaan APD dan sarana pencegahan bahaya. Analisis dilakukan secara univariat, fokus pada tiga elemen: penggunaan APD, pelaksanaan kerja, dan strategi pencegahan risiko.
Studi Kasus: Evaluasi Penerapan K3 di Proyek Jalan Nasional Parapat–Ajibata
Lokasi proyek ini sangat strategis, berada di jalur padat lalu lintas dengan medan kerja yang kompleks. Oleh karena itu, penerapan K3 menjadi krusial demi mencegah kecelakaan dan menjaga produktivitas.
Penggunaan APD oleh Pekerja
Dari 17 pekerja yang diamati, data pemakaian APD menunjukkan:
Meski sebagian besar telah mematuhi penggunaan APD, pemakaian kacamata dan masker masih rendah, padahal ini vital pada kondisi kerja berdebu atau berisiko percikan material.
Analisis Strategi Pencegahan Bahaya di Lokasi Proyek
Peneliti mencatat lima langkah utama yang dilakukan oleh kontraktor sebagai bagian dari sistem pencegahan risiko kerja, yaitu:
Namun, ditemukan satu kekurangan penting: tidak tersedianya fasilitas P3K. Ini menjadi catatan kritis karena keberadaan P3K adalah standar minimum yang wajib dipenuhi sesuai regulasi nasional.
Keselarasan dengan Standar ISO dan Peraturan Nasional
Proyek ini menyatakan kepatuhan terhadap standar sistem manajemen internasional, yaitu:
Selain itu, penerapan sistem K3 merujuk pada Permen PU No. 05 Tahun 2014, yang meliputi:
Kebijakan tersebut menunjukkan adanya komitmen formal perusahaan dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat, sekaligus menjamin keberlangsungan proyek secara profesional.
Tinjauan Kritis dan Rekomendasi Praktis
Hal yang sudah berjalan baik:
Hal yang masih perlu ditingkatkan:
Rekomendasi utama:
Kesimpulan: K3 Bukan Sekadar Kewajiban, Tapi Investasi Keselamatan
Penelitian ini menegaskan bahwa penerapan K3 di Proyek Jalan Nasional Parapat–Ajibata tergolong sangat baik, terutama dalam hal penggunaan APD dan strategi pencegahan. Namun, masih ada ruang perbaikan, terutama terkait penyediaan fasilitas medis dasar seperti P3K dan kepatuhan penggunaan APD pelengkap.
Dengan penguatan di aspek-aspek tersebut, proyek serupa di masa mendatang tidak hanya akan berjalan aman dan lancar, tapi juga meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja secara berkelanjutan.
Sumber : Harefa, M. B., Surbakti, A. A., & Efendi, I. (2022). Kajian Penerapan K3 Pada Proyek Jalan Nasional Parapat–Ajibata. Jurnal Multidisiplin Madani (MUDIMA), 2(8), 3380–3383.
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025
Evaluasi Implementasi K3 di Proyek Konstruksi: Refleksi Nasional dan Strategi Perbaikan
Mengapa K3 dalam Proyek Konstruksi Masih Jadi Tantangan di Indonesia?
Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam proyek konstruksi di Indonesia telah lama menjadi fokus regulasi nasional, namun implementasinya belum sepenuhnya efektif. Hal ini tercermin dari data Kementerian Ketenagakerjaan dan pengakuan dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), yang menempatkan konstruksi sebagai salah satu sektor dengan risiko kematian tertinggi di dunia.
Artikel oleh Nurul Octaviyanti Ginting dan Abdurrazzaq Hasibuan ini menyajikan kajian literatur sistematis terhadap 20 studi terkait penerapan manajemen K3, dengan seleksi akhir pada 10 artikel paling relevan, untuk menjawab dua pertanyaan mendasar:
Metodologi: Kajian Literatur Sistematis
Penelitian ini dilakukan melalui pencarian literatur di Google Scholar, kemudian diseleksi dan dianalisis berdasarkan relevansi dengan penerapan manajemen K3. Dari 20 artikel awal, penulis memilih 10 artikel dengan kedalaman pembahasan paling sesuai, mencakup proyek infrastruktur, apartemen, gedung universitas, perumahan, hingga revitalisasi depo kontainer.
Temuan Kunci: Penerapan Sudah Cukup Baik, Tapi Belum Merata
Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan K3 secara umum telah dilakukan dengan baik, terutama di proyek-proyek berskala besar atau dikelola oleh perusahaan dengan sistem manajemen yang mapan.
Contoh pencapaian penerapan K3:
Meski demikian, pelaksanaan di proyek skala kecil masih memprihatinkan. Penelitian oleh Zulkarnain et al. (2023) menunjukkan bahwa hanya 3 dari 5 proyek berskala kecil yang memiliki penerapan K3 yang layak.
Faktor-Faktor Penghambat Penerapan K3
Berdasarkan sintesis literatur, penulis mengidentifikasi lima faktor utama yang menjadi hambatan penerapan K3 di proyek konstruksi:
Studi Kasus: Rangkuman Proyek Nyata di Indonesia
Artikel ini mengumpulkan beberapa studi kasus penting yang memperkaya pemahaman praktis implementasi K3:
Rekomendasi Strategis untuk Penerapan K3 yang Lebih Efektif
Berdasarkan temuan tersebut, berikut rekomendasi yang perlu diterapkan lintas proyek:
Kesimpulan: Saatnya Bangun Budaya K3, Bukan Sekadar Prosedur
Penelitian ini menggarisbawahi bahwa meskipun implementasi K3 di proyek konstruksi telah berjalan cukup baik, banyak pekerjaan rumah yang tersisa, terutama di sisi pekerja, edukasi, dan budaya perusahaan.
Keselamatan kerja bukan hanya tanggung jawab pengawas atau manajemen, tetapi merupakan ekosistem kolektif yang melibatkan seluruh pihak: dari manajer proyek hingga tukang batu. Dengan peningkatan pelatihan, kesadaran, dan sistem evaluasi, maka harapan untuk mewujudkan proyek konstruksi tanpa kecelakaan akan menjadi lebih nyata.
Sumber : Ginting, N. O., & Hasibuan, A. (2024). Implementasi Penerapan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan (K3) Pada Proyek Konstruksi di Indonesia. Gudang Jurnal Multidisiplin Ilmu, 2(7), 6–9.
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025
Green Construction sebagai Strategi Efektif Keselamatan Kerja: Studi Kritis dan Evaluatif di Proyek Bandung Technoplex
Green Construction: Lebih dari Sekadar Ramah Lingkungan
Green construction bukan sekadar tren untuk bangunan ramah lingkungan, tapi juga menyentuh aspek vital dalam konstruksi: keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Dalam konteks proyek pembangunan apartemen Bandung Technoplex, penelitian oleh Frida Muthia Madinah, Dewi Yustiarini, dan Rochany Natawidjana membuktikan bahwa green construction mampu memberi kontribusi nyata terhadap peningkatan keselamatan tenaga kerja di lapangan.
Penelitian ini berfokus pada tiga pertanyaan utama:
Metodologi: Evaluasi Statistik Berbasis Kuantitatif
Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif melalui dua tahap kuesioner kepada enam tenaga ahli proyek. Tahap pertama digunakan untuk validasi variabel, sementara tahap kedua mengevaluasi frekuensi dan dampak penerapan green construction terhadap aspek K3. Analisis data dilakukan menggunakan uji normalitas, homogenitas, regresi linier, dan korelasi Pearson, dengan hasil signifikan menunjukkan keterkaitan erat antara penerapan green construction dan peningkatan keselamatan kerja.
Faktor-Faktor K3 yang Berhubungan Langsung dengan Green Construction
Dari hasil analisis, peneliti mengidentifikasi tujuh faktor K3 yang paling erat berhubungan dengan prinsip green construction:
Faktor-faktor tersebut menunjang lingkungan kerja yang sehat dan produktif, serta meminimalisasi risiko kecelakaan kerja, khususnya akibat kelalaian atau kondisi kerja tidak ergonomis.
Penerapan Green Construction oleh Tenaga Kerja
Proyek ini telah memiliki SOP green construction yang dijalankan secara operasional. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa tenaga kerja mampu melaksanakan prinsip-prinsip green construction dengan baik, seperti:
Hal ini membuktikan bahwa penerapan SOP yang jelas dan edukasi yang tepat mendorong pelaksanaan green construction secara aktif di lapangan.
Dampak Penerapan Green Construction terhadap K3: Bukti Statistik
Penelitian menunjukkan bahwa:
Data ini menjadi bukti bahwa green construction bukan hanya konsep ramah lingkungan, tetapi strategi manajemen risiko yang berdampak langsung pada keselamatan kerja.
Aspek Green Construction yang Diterapkan di Proyek
Beberapa indikator penting yang berhasil diterapkan dalam proyek meliputi:
Fasilitas dan praktik ini membuat proyek tidak hanya aman secara struktural, tetapi juga nyaman dan sehat bagi pekerja, dengan kualitas udara dan sirkulasi yang terjaga.
Tantangan dan Catatan Kritis
Meskipun hasilnya positif, terdapat beberapa catatan penting:
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan: Green Construction sebagai Jalan Menuju Proyek Aman dan Berkelanjutan
Penelitian ini membuktikan bahwa green construction tidak hanya meningkatkan performa lingkungan proyek, tetapi juga memberikan dampak besar terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Ketika SOP dilaksanakan, pelatihan berjalan, dan indikator dipenuhi, maka risiko kerja dapat ditekan secara signifikan.
Dengan kontribusi sebesar 95,29% terhadap peningkatan K3, green construction layak dipertimbangkan sebagai pendekatan wajib dalam setiap proyek konstruksi—bukan hanya proyek gedung ramah lingkungan, tetapi semua bentuk infrastruktur yang mengutamakan keamanan, efisiensi, dan keberlanjutan.
Sumber : Madinah, F. M., Yustiarini, D., & Natawidjana, R. (2017). Pengaruh Penerapan Green Construction terhadap Tingkat Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jurnal Karkasa, 3(1), 1–8.
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025
Pendahuluan: K3 sebagai Pilar Utama Industri Konstruksi
Industri konstruksi di Indonesia dikenal sebagai salah satu sektor dengan tingkat risiko kecelakaan kerja paling tinggi. Kompleksitas proyek, kondisi lapangan yang dinamis, serta dominasi tenaga kerja berpendidikan rendah menjadikan penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sangat krusial. Studi pada proyek Sahid Jogja Lifestyle City di Sleman memberikan gambaran nyata mengenai tantangan dan upaya optimalisasi K3 di lapangan, sekaligus menjadi cerminan problematika umum sektor konstruksi nasional.
Metodologi Studi Kasus
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan subjek utama 7 orang kunci: HSE Coordinator, dua Chief Safety, operator crane, dan tiga pekerja lapangan. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumen SOP serta kebijakan perusahaan. Fokus utama penelitian adalah menilai implementasi K3 berdasarkan variabel pencegahan bahaya, sosialisasi, ketersediaan dan pemakaian alat pelindung diri (APD), serta kepatuhan terhadap Standar Prosedur Operasional (SOP)1.
Temuan Utama: Praktik Baik dan Tantangan Substansial
1. Pencegahan Bahaya: Sistematis, Namun Fleksibilitas Diperlukan
Pencegahan bahaya di proyek ini mengacu pada SOP yang mengedepankan Hazard Identification Analysis Control (HIAC) dan Job Safety Analysis (JSA). Setiap pekerjaan diawali dengan identifikasi risiko bersama Project Manager, Site Manager, Mandor, dan HSE Coordinator. JSA menjadi dokumen hidup yang dievaluasi dan disesuaikan dengan dinamika lapangan. Target utama adalah “Zero Accident”, namun dalam praktiknya, adaptasi terhadap situasi nyata sering kali diperlukan. Hal ini menunjukkan bahwa meski sistem sudah baik, fleksibilitas dan evaluasi berkelanjutan tetap dibutuhkan agar SOP benar-benar efektif di lapangan1.
2. Sosialisasi K3: Rutin, Tapi Efektivitas Perlu Peningkatan
Program sosialisasi K3 dilakukan melalui training internal bulanan dan safety induction mingguan (setiap Selasa dan Jumat). Materi meliputi risiko kerja dan penggunaan APD. Namun, tingkat pemahaman dan kepatuhan pekerja terhadap materi yang disampaikan masih menjadi tantangan. Banyak pekerja masih menganggap K3 sebagai formalitas, bukan kebutuhan mendasar. Ini terlihat dari masih seringnya pelanggaran penggunaan APD di lapangan1.
3. Ketersediaan dan Pemakaian APD: Masalah Anggaran dan Budaya Kerja
Ketersediaan APD di proyek Sahid Jogja Lifestyle City hanya mencapai 30% dari jumlah pekerja sebagai cadangan, sementara idealnya 60%. Hal ini dipengaruhi keterbatasan anggaran dan kebijakan manajemen. Di sisi lain, pemakaian APD juga belum optimal. Banyak pekerja menggunakan helm untuk keperluan lain, seperti tempat paku, atau bahkan tidak mengenakan APD sama sekali. Sanksi dan peringatan sudah diterapkan, namun efektivitasnya masih terbatas karena budaya kerja yang belum sepenuhnya mengutamakan keselamatan1.
4. Standar Prosedur Operasional: Lengkap, Implementasi Belum Maksimal
SOP di proyek ini sudah memuat aturan detail, mulai dari kewajiban penggunaan APD, safety induction, hingga prosedur kerja berisiko tinggi yang harus disertai izin khusus. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala klasik: persepsi pekerja yang menganggap K3 sebagai beban, pengawasan yang kurang tegas, dan toleransi terhadap pelanggaran. Program safety talk dan housekeeping day rutin dilakukan, tetapi perubahan perilaku pekerja masih berjalan lambat1.
Studi Kasus & Data Lapangan
Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini menegaskan bahwa kelemahan utama penerapan K3 di proyek konstruksi bukan pada sistem atau SOP, melainkan pada perilaku dan budaya kerja pekerja. Temuan ini sejalan dengan hasil riset lain di sektor konstruksi Indonesia, yang menyebutkan bahwa faktor manusia-pengetahuan, persepsi, dan sikap pekerja-menjadi penghambat utama implementasi K3 (Srijayanti dkk, 2013; Suardi, 2005). Sertifikasi dan dokumen resmi sudah lengkap, namun tanpa perubahan perilaku, angka kecelakaan tetap tinggi.
Dibandingkan dengan proyek-proyek di negara maju, Indonesia masih tertinggal dalam hal penegakan disiplin dan reward-punishment system. Di Jepang dan Eropa, pelanggaran K3 langsung berujung pada sanksi berat, bahkan pemecatan. Di Sahid Jogja Lifestyle City, sanksi memang sudah ada, tetapi penerapannya masih kompromistis.
Solusi dan Rekomendasi: Mengubah Budaya, Bukan Hanya Sistem
1. Edukasi Berkelanjutan: Program pelatihan harus lebih interaktif dan kontekstual, melibatkan simulasi kecelakaan nyata agar pekerja memahami risiko secara emosional, bukan sekadar formalitas.
2. Pengawasan Lebih Ketat: Supervisi harian dengan dokumentasi pelanggaran dan evaluasi mingguan harus menjadi standar. Setiap pelanggaran harus langsung mendapat sanksi tegas tanpa kompromi.
3. Insentif dan Sanksi Seimbang: Penerapan reward bagi pekerja yang patuh dan punishment bagi pelanggar harus konsisten. Penghargaan seperti bonus atau penghormatan di depan rekan kerja terbukti efektif di beberapa proyek luar negeri.
4. Ketersediaan APD yang Memadai: Manajemen harus mengalokasikan anggaran lebih besar untuk APD, minimal 60% dari jumlah pekerja sesuai kebutuhan ideal.
5. Transformasi Budaya Kerja: K3 harus menjadi bagian dari identitas pekerja, bukan sekadar kewajiban. Kampanye internal, slogan, dan role model dari manajemen puncak sangat penting untuk membentuk mindset baru.
Relevansi dengan Tren Industri dan Tantangan Masa Depan
Di era pembangunan infrastruktur masif, tuntutan terhadap standar K3 semakin tinggi. Proyek-proyek besar seperti Sahid Jogja Lifestyle City menjadi barometer keberhasilan penerapan K3 di Indonesia. Dengan meningkatnya tekanan dari investor dan pemerintah, perusahaan konstruksi harus beradaptasi dengan standar global, baik dari sisi sistem maupun perilaku pekerja.
Transformasi digital juga mulai masuk ke sektor K3, misalnya penggunaan aplikasi monitoring dan pelaporan insiden secara real-time. Proyek-proyek masa depan harus mengadopsi teknologi ini untuk meningkatkan pengawasan dan transparansi.
Kesimpulan
Penerapan K3 di proyek Sahid Jogja Lifestyle City secara umum sudah baik dari sisi sistem dan SOP, namun masih terdapat kekurangan signifikan pada aspek perilaku pekerja dan ketersediaan APD. Perubahan budaya kerja, edukasi berkelanjutan, dan pengawasan tegas menjadi kunci utama untuk mencapai target “Zero Accident”. Studi ini menjadi peringatan sekaligus inspirasi bagi seluruh pelaku industri konstruksi di Indonesia agar tidak hanya mengedepankan sistem, tetapi juga membangun budaya keselamatan yang kuat dan berkelanjutan.
Sumber artikel: Sidik, F., & Hariyono, W. (2014). Analisis Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Pada Proyek Konstruksi Sahid Jogja Lifestyle City di Kabupaten Sleman. Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta.
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025
Pendahuluan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi isu kritis di industri konstruksi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Artikel ini menganalisis studi kasus proyek Pembangunan Rumah Susun Lanjutan Provinsi Sumatera Utara I Medan, yang mengungkap rendahnya kesadaran pekerja terhadap K3 dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Berdasarkan data kuisioner dan observasi lapangan, penelitian ini menyoroti paradigma pekerja yang menganggap APD bukan prioritas, serta minimnya komitmen perusahaan dalam menerapkan program K3.
Temuan Utama
1. Rendahnya Kesadaran Pekerja
70% pekerja merasa tidak nyaman menggunakan APD seperti helm, sepatu boots, atau masker.
60% menganggap APD bukan kebutuhan dasar, dan lebih memilih bekerja "apa adanya" (Saragi & Sinaga, 2021).
Hanya 30% pekerja yang memahami jaminan K3 dari perusahaan.
2. Peran Perusahaan yang Lemah
Perusahaan cenderung memprioritaskan efisiensi biaya daripada keselamatan, dengan hanya 40% menyediakan pelatihan K3.
Pengawasan pemerintah dinilai tidak maksimal, sehingga sanksi pelanggaran K3 jarang diterapkan.
3. Fasilitas K3 yang Tidak Memadai
Meski 85% proyek menyediakan APD, hanya 50% pekerja yang konsisten menggunakannya.
Pemeriksaan kesehatan berkala hanya dilakukan oleh 20% perusahaan (Tabel 1, hasil kuisioner).
Studi Kasus & Angka Kecelakaan Kerja
Data Nasional: Hingga 2015, tercatat 110.285 kasus kecelakaan kerja di Indonesia, dengan 1,8% mengakibatkan cacat permanen (BPS, 2021).
Proyek Rumah Susun Medan:
Kendala & Solusi
Dari Sisi Pekerja:
Dari Sisi Perusahaan:
Kritik & Rekomendasi
Kritik: Penelitian ini belum menyertakan analisis biayamanfaat penerapan K3, yang bisa memperkuat argumen ekonomis.
Rekomendasi:
Kesimpulan
Tantangan utama K3 di proyek konstruksi berasal dari budaya kerja dan kurangnya komitmen perusahaan. Perlu pendekatan holistik, mulai dari edukasi hingga regulasi ketat, untuk menekan angka kecelakaan kerja.
Sumber : Saragi, T. E., & Sinaga, R. E. (2021). Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Proyek Pembangunan Rumah Susun Lanjutan Provinsi Sumatera Utara I Medan. CONSTRUCT: Jurnal Teknik Sipil, 1(1), 4148.
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025
Pendahuluan: Pentingnya SMKK di Industri Konstruksi
Industri konstruksi di Indonesia masih menjadi salah satu sektor dengan tingkat kecelakaan kerja tertinggi. Rendahnya kesadaran terhadap pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan kecenderungan menganggap K3 sebagai beban biaya, bukan investasi, menjadi penyebab utama tingginya angka kecelakaan. Dalam konteks inilah, Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) menjadi sangat vital untuk diterapkan secara konsisten dan menyeluruh, mengingat proyek-proyek konstruksi sering kali melibatkan banyak pekerja, penggunaan alat berat, dan risiko yang kompleks51.
Latar Belakang Studi Kasus
Studi ini mengulas implementasi SMKK pada proyek Renovasi dan Perluasan Gedung Kantor Pengadilan Negeri Sungguminasa Kelas 1A. Proyek ini dijalankan oleh PT. ASA Nusantara Konstruksi, dengan nilai kontrak tahap 1 dan 2 sebesar Rp 32,32 miliar dan melibatkan lebih dari 100 pekerja setiap hari. Dengan skala dan kompleksitas pekerjaan yang tinggi, proyek ini dikategorikan sebagai proyek dengan risiko kecelakaan kerja yang signifikan, sehingga penerapan SMKK menjadi keharusan mutlak51.
Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan dengan pendekatan survei, wawancara, observasi lapangan, dan audit internal. Data primer dikumpulkan melalui observasi langsung, wawancara, dan audit berdasarkan kriteria SMKK yang mengacu pada PP No. 50 Tahun 2012, PP No. 14 Tahun 2021, serta Permen PUPR No. 10 Tahun 2021. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, laporan proyek, dan penelitian terkait sebelumnya. Audit SMKK dilakukan dengan menggunakan 166 sub-elemen kriteria yang harus dipenuhi dalam kategori tingkat lanjutan51.
Hasil Audit dan Temuan Utama
Audit SMKK pada proyek ini memberikan gambaran yang cukup komprehensif mengenai tingkat kepatuhan terhadap standar keselamatan konstruksi:
Faktor Penghambat Penerapan SMKK
Walaupun tingkat penerapan sudah memuaskan, penelitian menemukan beberapa faktor yang masih menghambat pemenuhan SMKK secara optimal:
Studi Kasus dan Data Lapangan
Proyek ini menjadi contoh nyata bagaimana SMKK diimplementasikan di lapangan:
Tinjauan Komparatif dan Kritik
Jika dibandingkan dengan penelitian lain, capaian 89,76% ini sudah relatif baik. Namun, angka kecelakaan kerja di sektor konstruksi Indonesia secara nasional masih tinggi. Data BPJamsostek menunjukkan pada 2021 terdapat 234.270 kasus kecelakaan kerja di Indonesia, naik 5,65% dari tahun sebelumnya. Di Sulawesi Selatan, pada 2020 tercatat 397 kecelakaan kerja berat dengan 24% berakibat fatal. Mayoritas (73%) kecelakaan disebabkan oleh perilaku tidak aman, seperti mengabaikan APD dan prosedur K351.
Penelitian-penelitian sebelumnya juga menyoroti masalah serupa: perilaku pekerja dan budaya keselamatan masih menjadi tantangan utama. Banyak perusahaan hanya fokus pada pemenuhan dokumen dan audit, namun belum sepenuhnya membangun budaya K3 yang kuat di lapangan. Hal ini sejalan dengan temuan pada proyek Sungguminasa, di mana aspek pelatihan dan pendokumentasian masih menjadi titik lemah.
Solusi dan Rekomendasi Perbaikan
Penulis menawarkan beberapa solusi konkret untuk meningkatkan penerapan SMKK:
Relevansi dengan Tren Industri dan Tantangan Masa Depan
Di tengah meningkatnya tuntutan terhadap standar keselamatan global dan digitalisasi sektor konstruksi, penerapan SMKK yang berkelanjutan menjadi keharusan. Banyak perusahaan kini mulai mengadopsi teknologi digital untuk monitoring K3 secara real-time, seperti aplikasi pelaporan insiden dan audit digital. Proyek Sungguminasa dapat menjadi pelopor dalam mengadopsi inovasi ini, sehingga tidak hanya memenuhi standar nasional, tetapi juga siap bersaing di tingkat internasional.
Selain itu, perubahan budaya dan perilaku pekerja harus menjadi prioritas utama. Investasi pada pelatihan, reward-punishment system, serta keterlibatan aktif manajemen dalam setiap aspek K3 terbukti efektif di negara-negara maju. Di Indonesia, hal ini masih menjadi tantangan, namun harus mulai diterapkan secara konsisten.
Opini dan Nilai Tambah
Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam pemetaan implementasi SMKK di proyek konstruksi Indonesia. Nilai pencapaian 89,76% adalah bukti bahwa komitmen perusahaan sudah cukup tinggi, namun masih ada ruang perbaikan terutama pada aspek soft skill, pelatihan, dan dokumentasi. Jika perusahaan mampu menutup celah ini, bukan tidak mungkin target zero accident bisa tercapai.
Dari sisi industri, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi proyek-proyek lain, baik di sektor pemerintah maupun swasta. Penerapan SMKK yang konsisten dan berkelanjutan akan meningkatkan citra perusahaan, produktivitas, dan kualitas hasil konstruksi.
Kesimpulan
Implementasi SMKK pada proyek Renovasi dan Perluasan Gedung Kantor Pengadilan Negeri Sungguminasa Kelas 1A sudah mencapai tingkat memuaskan (89,76%), namun masih perlu perbaikan pada aspek dokumentasi, pelatihan, dan pendokumentasian perubahan di lapangan. Faktor penghambat utama adalah kurangnya dokumen prosedur khusus, minimnya pelatihan, dan budaya kerja yang belum sepenuhnya mengutamakan K3. Rekomendasi utama adalah penguatan sistem dokumentasi, pelatihan rutin, dan adopsi teknologi digital untuk mendukung penerapan SMKK yang lebih efektif.
Dengan memperbaiki aspek-aspek tersebut, perusahaan tidak hanya memenuhi regulasi nasional, tetapi juga meningkatkan daya saing di era konstruksi modern yang menuntut standar keselamatan tinggi dan budaya kerja yang profesional.
Sumber : Putra, W. D., & Saraswati, R. A. (2023). Analisis Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) (Studi Kasus Pembangunan Gedung Kantor Pengadilan Negeri Sungguminasa Kelas 1a). Journal on Education, 5(3), 7528-7538.