Industri Kontruksi

Mendefinisikan Ulang Kesuksesan Proyek: Validasi Empiris Model Integrasi 3D di Industri Konstruksi Australia

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 14 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah masalah fundamental dan persisten dalam manajemen proyek: kurangnya konsensus mengenai apa yang sebenarnya merupakan keberhasilan pengiriman proyek. Meskipun banyak model dan kerangka kerja telah dikembangkan, pengukuran kesuksesan proyek tetap menjadi tantangan besar bagi para profesional dan akademisi, terutama di industri konstruksi Australia yang ditandai dengan tingkat kegagalan yang tinggi. Kemampuan untuk mengevaluasi kesuksesan proyek secara sistematis dan andal merupakan kunci untuk mengembangkan mekanisme manajemen yang lebih efisien dan meningkatkan kinerja secara keseluruhan.  

Untuk mengisi kesenjangan pengetahuan ini, tesis ini bertujuan untuk memvalidasi sebuah model kesuksesan pengiriman proyek yang sistematis, yaitu Model Integrasi 3D, secara spesifik untuk industri konstruksi Australia. Hipotesis yang mendasari karya ini adalah bahwa Model Integrasi 3D dapat memberikan ukuran kesuksesan yang akurat dan efektif, terlepas dari ukuran, lokasi, atau waktu proyek. Dengan berfokus pada tiga Indikator Kinerja Utama (KPI) inti—  

nilai, kecepatan, dan dampak—model ini diusulkan sebagai alat yang dapat secara dramatis meningkatkan probabilitas keberhasilan proyek.  

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metodologi penelitian campuran (mixed-method) yang kuat, yang dilaksanakan melalui strategi studi multi-kasus. Pendekatan ini memungkinkan pengujian model dalam konteks dunia nyata yang beragam dan kompleks.  

Proses metodologisnya melibatkan dua cabang utama. Pertama, Model Integrasi 3D diterapkan pada 40 proyek konstruksi di seluruh Australia untuk menghitung skor Project Delivery Success (PDS) yang objektif untuk setiap proyek. Kedua, untuk memvalidasi hasil dari model tersebut, teknik triangulasi digunakan. Sebuah survei kuesioner disebarkan kepada para manajer senior dari organisasi yang berkolaborasi, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ke-40 proyek tersebut. Pengalaman dan penilaian mereka menghasilkan skor Performance Assessment Review (PAR) yang bersifat lebih subjektif. Sebagai lapisan validasi akhir, peringkat proyek yang dihasilkan disetujui oleh direktur organisasi yang berkolaborasi.  

Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada penciptaan teori baru dari awal, melainkan pada validasi empiris skala besar dari sebuah model yang menjanjikan. Dengan menguji Model Integrasi 3D pada portofolio proyek yang substansial dan membandingkannya dengan penilaian ahli, penelitian ini secara efektif menjembatani kesenjangan antara konsep teoretis dan aplikasi praktis, memberikan bukti konkret atas keandalan model tersebut.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis data yang cermat menghasilkan serangkaian temuan yang secara kuat mendukung hipotesis penelitian.

  1. Validitas Model Integrasi 3D: Temuan utama dan paling signifikan adalah adanya korelasi yang kuat antara skor PDS (yang dihitung secara objektif menggunakan model) dengan skor PAR (yang didasarkan pada penilaian pengalaman manajer senior). Hal ini secara meyakinkan menunjukkan bahwa Model Integrasi 3D adalah alat yang akurat dan efektif untuk mengevaluasi kinerja organisasi di berbagai proyek konstruksi, terlepas dari variasi dalam ukuran, lokasi, dan waktu.  

  2. Fokus pada KPI Inti: Penelitian ini menegaskan kembali bahwa tiga Indikator Kinerja Utama yang menjadi inti dari Model Integrasi 3D—yaitu nilai, kecepatan, dan dampak—merupakan bidang-bidang krusial yang harus menjadi fokus utama para manajer proyek untuk mencapai hasil yang lebih baik.  

  3. Aplikasi sebagai Alat Pemantauan Progresif: Salah satu temuan yang paling berimplikasi praktis adalah bahwa skor PDS dapat digunakan pada tahap-tahap interim selama siklus hidup proyek. Ini memposisikan PDS sebagai alat pemantauan dinamis yang dapat memastikan bahwa pengambilan keputusan selaras dengan ekspektasi kesuksesan, dan secara efektif dapat menggantikan penggunaan analisis nilai hasil tradisional (  

    Earned Value Analysis - EVA).  

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Meskipun metodologinya kuat, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu diakui. Pertama, seluruh 40 studi kasus berasal dari satu organisasi yang berkolaborasi, yang dapat membatasi generalisasi temuan ke seluruh industri konstruksi Australia. Kedua, meskipun triangulasi dengan skor PAR memperkuat validitas, skor PAR itu sendiri masih didasarkan pada persepsi subjektif manajer, yang mungkin memiliki bias inheren. Tesis ini juga menyinggung adanya isu terkait keyakinan data (data confidence) dan dampak kompleksitas proyek, yang menunjukkan bahwa dalam praktik, penerapan model ini masih memerlukan penilaian kontekstual yang cermat.  

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat signifikan. Ia menawarkan kepada industri konstruksi sebuah alat yang telah tervalidasi secara empiris untuk mengukur dan membandingkan kesuksesan proyek secara lebih objektif, serta berfungsi sebagai sistem peringatan dini selama pelaksanaan proyek.

Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalan. Ada kebutuhan untuk mereplikasi studi ini dengan melibatkan beberapa organisasi untuk meningkatkan generalisasi temuan. Selain itu, penelitian lebih lanjut dapat mengeksplorasi penerapan Model Integrasi 3D di sektor industri lain di luar konstruksi untuk menguji klaim universalitasnya. Terakhir, investigasi lebih lanjut mengenai bagaimana skor PDS dapat diintegrasikan secara formal ke dalam sistem manajemen proyek dan kerangka kerja pengambilan keputusan organisasi akan menjadi kontribusi yang berharga.

Sumber

Ghanbaripour, A. (2020). Improving the project delivery success of Australian construction project management practice. Doctoral Thesis, Bond University.

Selengkapnya
Mendefinisikan Ulang Kesuksesan Proyek: Validasi Empiris Model Integrasi 3D di Industri Konstruksi Australia

Industri Kontruksi

Penelitian Ini Mengungkap Seberapa Jauh BREEAM Mampu Menjawab Target ESG di Konstruksi dan Ini yang Perlu Anda Ketahui!”

Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025


Pada era di mana klaim 'bangunan hijau' dapat menentukan akses modal dan reputasi perusahaan, kebutuhan untuk menilai sejauh mana sertifikasi bangunan benar-benar mencerminkan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) menjadi mendesak. Skema BREEAM UK New Construction sering dipandang sebagai standar emas untuk menilai performa lingkungan dan kenyamanan pengguna. Namun, ketenaran bukanlah bukti kecukupan. Penelitian yang diulas di sini menyajikan analisis sistematik terhadap distribusi bobot dalam BREEAM, menanyakan apakah fokus penilaian tersebut selaras dengan tuntutan ESG yang semakin kompleks. Dengan mengurai bobot kategori dan kredensial yang diberikan pada tiap aspek, studi ini membuka jendela bagi pembaca untuk melihat: apa yang benar-benar diukur, apa yang mendapat prioritas, dan apa yang diabaikan.

Pendekatan penelitian bersifat ilmiah sekaligus pragmatis—bukan sekadar daftar nilai, tetapi pembacaan terhadap cerita di balik angka. Alih-alih menerima skor sebagai akhir dari sebuah narasi keberlanjutan, penulis menelusuri hubungan antara indikator teknis (misalnya efisiensi energi, pengelolaan limbah, kualitas udara dalam ruangan) dan indikator institusional yang lebih abstrak namun krusial (seperti transparansi rantai pasok, kebijakan anti-korupsi, dan perencanaan legacy). Hasil awalnya mengejutkan: distribusi bobot memperlihatkan kecenderungan kuat ke aspek lingkungan dan wellbeing pengguna, sementara governance—yang berfungsi sebagai pengawal integritas jangka panjang—mendapat porsi relatif kecil.

Hal ini penting karena governance bukan sekadar label birokratis; ia adalah rangka yang memastikan data yang dilaporkan dapat dipercaya, intervensi ramah lingkungan dapat dipelihara, dan manfaat sosial benar-benar mengakar. Ketika governance terpinggirkan, risiko greenwashing meningkat—proyek terlihat memenuhi standar di atas kertas tetapi praktik di lapangan tidak mencerminkan klaim tersebut. Demikian pula, ketika aspek pendidikan, transfer keterampilan, dan legacy planning tidak mendapat perhatian memadai, komunitas lokal berisiko tidak menikmati manfaat jangka panjang dari investasi infrastruktur.

Pendahuluan ini juga menempatkan BREEAM dalam konteks keputusan investasi. Untuk investor institusional yang mengandalkan sertifikasi sebagai penilaian risiko non-finansial, kesenjangan dalam penilaian governance merupakan sinyal peringatan. Bagi pengembang, temuan ini menawarkan peta jalan perbaikan: mengejar poin BREEAM tetap relevan, tetapi mengintegrasikan praktik tata kelola dan program sosial yang kuat akan memberi nilai tambah nyata dan mengurangi risiko reputasi.

Penelitian ini penting bukan hanya untuk akademisi—dampaknya langsung menyentuh kebijakan publik, strategi investasi, dan praktik konstruksi di lapangan. Ketika sebuah sertifikasi menjadi rujukan utama, regulasi dan insentif fiskal sering disusun berdasar standar itu; kelalaian dalam menilai governance dapat menghasilkan kebijakan yang nampak progresif namun rentan dieksploitasi. Pada bagian selanjutnya, pembaca akan menemukan uraian rinci tentang bagaimana bobot tiap kategori didistribusikan, contoh konkret kredit yang menonjol, serta analisis risiko yang muncul ketika aspek-aspek kritis dikesampingkan. Resensi ini akan berusaha menjaga keseimbangan antara pengakuan atas kontribusi BREEAM—terutama pada isu lingkungan dan wellbeing—dan kritik konstruktif yang menuntut perluasan fokus ke governance dan legacy.

Inti cerita: apa yang mengejutkan peneliti?

Studi dokumen ini menemukan pola yang jelas dan tajam:

  • BREEAM sangat tertumpu pada aspek lingkungan — 54,13% dari bobot penilaian diarahkan pada isu lingkungan.
  • Aspek sosial juga cukup besar — 43,16% bobot menyentuh isu sosial (wellbeing, kesehatan & keselamatan paling dominan).
  • Tata kelola (governance) relatif terabaikan — hanya 14,8% bobot dan beberapa elemen kunci governance sama sekali tidak tercakup.

 

Secara naratif: peneliti terkejut bahwa sebuah alat yang dipakai luas sebagai bukti komitmen keberlanjutan masih meninggalkan inti tata kelola yang sering menjadi penentu apakah inisiatif hijau benar-benar berkelanjutan dan transparan.

Mengapa temuan ini bisa mengubah dunia?

Bayangkan perusahaan pengembang yang memasang “label BREEAM” sebagai jaminan keberlanjutan pada portofolio propertinya. Jika penilaian lebih menitikberatkan pada pengurangan emisi dan efisiensi energi sementara mengabaikan rantai pasok, anti-korupsi, dan transfer keterampilan, investor dan publik bisa keliru menilai. Akibatnya:

  • Keputusan investasi dapat terdistorsi (investor mengira risiko tata kelola teratasi padahal belum).
  • Program keberlanjutan menjadi fragmen (lingkungan baik, tetapi warisan sosial dan praktik etis tidak terjamin).
  • Potensi manfaat jangka panjang (mis. penyerapan tenaga kerja lokal, transfer keterampilan, dan pengurangan korupsi) tidak terjadi.

Singkatnya: BREEAM sekarang memberi nilai pada “apa yang mudah diukur” — energi, transport, material — tetapi mengabaikan elemen yang sulit diukur namun krusial untuk kelangsungan dan legitimasi proyek.

Fakta menarik (dalam bullet — ringkas & bisa dikutip)

  • Bobot kategori BREEAM New Construction (fully fitted): Management, Health & Wellbeing, Energy, Transport, Water, Materials, Waste, Land use & ecology, Pollution, Innovation (total 100%).
  • 54,13% dari bobot assessment mendukung target lingkungan — contohnya pengurangan gas rumah kaca (20,53%), penggunaan energi terbarukan (8,25%), dan pengendalian polusi (8%).
  • 43,16% bobot dikaitkan dengan isu sosial; dari semua tema sosial, wellbeing menempati 22,13% (visual, udara dalam ruangan, kenyamanan termal, akustik).
  • 14,8% bobot terkait governance, dan banyak aspek governance penting tidak dicakup: strategi & kebijakan organisasi, pencegahan korupsi, pendidikan & keterampilan, legacy planning, dan emergency response planning.
  • Beberapa kredit assessment bersifat multidimensional — mis. Man 01 (project brief & design) membantu wellbeing, inklusi, dan keterlibatan pemangku kepentingan sekaligus.

 

Apa arti angka-angka itu dalam bahasa sehari-hari?

Jika 54,13% dari perhatian penilaian ditempatkan pada lingkungan, bayangkan baterai smartphone yang naik dari 20% ke 74% — artinya, BREEAM sangat fokus untuk "mengisi ulang" performa lingkungan proyek. Namun, tata kelola hanya mendapatkan porsi kecil — seperti memberi pengisi daya cadangan kecil yang mungkin tidak cukup saat terjadi masalah besar.

Analisis kritis: apa yang kurang dan mengapa itu berbahaya

  1. Governance tertinggal
    • Tidak ada penilaian eksplisit pada anti-korupsi, kebijakan etika, atau pengawasan rantai pasok secara menyeluruh.
    • Risiko: tanpa governance kuat, hasil lingkungan dan sosial rentan “greenwashing” — proyek terlihat hijau di dokumen, tetapi praktik di lapangan tidak transparan.
  2. Kekurangan pada isu pendidikan, keterampilan, dan legacy planning
    • BREEAM tidak meminta bukti transfer keterampilan kepada tenaga kerja lokal atau rencana legacy (bagaimana infrastruktur memberi manfaat jangka panjang).
    • Risiko: pembangunan yang tidak meninggalkan dampak positif berkelanjutan bagi komunitas.
  3. Ruang darurat dan kesiapsiagaan minim
    • Tidak ada kredit yang secara jelas mengukur kemampuan respons darurat atau akses layanan darurat.
    • Risiko: pada situasi bencana, proyek yang “hijau” mungkin rentan.
  4. Ketimpangan antara apa yang terukur dan apa yang penting
    • Hal yang mudah diukur (emisi, efisiensi) mendapat bobot besar; hal yang penting tetapi kompleks (etika, transparansi) mendapat sedikit atau nol.

Rekomendasi realistis berdasarkan temuan paper

  • Masukkan kredit governance eksplisit: audit rantai pasok, kebijakan anti-korupsi, dan transparansi keuangan sebagai bagian penilaian.
  • Kembangkan indikator EDI (equality, diversity, inclusion): mis. rasio keterwakilan kelompok minoritas, gender, dan program keterampilan lokal.
  • Tambahkan kriteria legacy & pendidikan: dokumentasi transfer keterampilan, program magang, kunjungan edukasi.
  • Buat modul emergency response: jarak ke layanan darurat, waktu respons, dan prosedur keselamatan konstruksi.

Peneliti menyarankan agar revisi BREEAM berikutnya mengadopsi kredit-kredit tersebut agar kerangka menjadi “one-stop shop” bagi perusahaan konstruksi yang ingin men-deliver ESG secara utuh.

 

Opini ringan tapi realistis

BREEAM telah berperan besar dalam memajukan standar lingkungan bangunan—itu fakta. Namun, mengandalkan BREEAM sebagai pengganti penuh laporan ESG adalah pendekatan yang setengah matang. Tanpa menambal lubang governance dan sosial yang diidentifikasi, label BREEAM berisiko menjadi alat pemasaran lebih dari instrumen transformasi. Jika revisi datang, skema ini bisa berubah dari “label teknis” menjadi “peta jalan perubahan” yang sesungguhnya.

Siapa yang paling terdampak?

  • Investor institusional: bisa keliru menilai risiko non-keuangan.
  • Developer & kontraktor: perlu memikirkan ulang strategi sertifikasi agar tidak hanya mengejar poin.
  • Komunitas lokal: berpotensi kehilangan manfaat jangka panjang (keterampilan, legacy) jika aspek sosial tidak dikuatkan.
  • Pembuat kebijakan: harus berhati-hati mengacu pada sertifikasi sebagai bukti terpenuhinya ESG tanpa verifikasi governance.

Kesimpulan & dampak nyata (penutup sesuai instruksi)

Adewumi et al. menunjukkan: BREEAM New Construction efektif sebagai alat untuk menunjukkan komitmen terhadap isu lingkungan dan kesejahteraan pengguna, tetapi kurang memadai bila tujuan Anda adalah membuktikan capaian ESG yang utuh — terutama untuk aspek governance yang sangat menentukan kredibilitas dan keberlanjutan jangka panjang. Jika rekomendasi paper diadopsi—menambahkan kredit governance, EDI, legacy planning, dan emergency response—maka skema ini berpotensi menjadi platform tunggal yang dapat meningkatkan transparansi, mengurangi risiko reputasi, dan menurunkan biaya operasional proyek.

Jika diterapkan secara sistematis (misalnya mengadopsi revisi yang direkomendasikan pada portofolio pengembang besar dalam lima tahun), temuan ini bisa mengurangi biaya operasional dan risiko finansial terkait tata kelola hingga signifikan — sekaligus menurunkan emisi dan meningkatkan manfaat sosial bagi komunitas setempat

 

Sumber Artikel:

Adewumi, A. S., Opoku, A., & Dangana, Z. (2024). Sustainability assessment frameworks for delivering environmental, social, and governance (ESG) targets: a case of building research establishment environmental assessment method (BREEAM) UK new construction. Corporate Social Responsibility and Environmental Management31(5), 3779-3791.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Seberapa Jauh BREEAM Mampu Menjawab Target ESG di Konstruksi dan Ini yang Perlu Anda Ketahui!”

Industri Kontruksi

Employment and Human Development for Foreign Civil Engineers in Japanese Construction Industries

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 09 September 2025


Mengapa Temuan Ini Relevan untuk Kebijakan?

Artikel karya Shinji Asai dan Takashi Goso (2025) membedah isu krusial tentang ketenagakerjaan dan pengembangan insinyur sipil asing di industri konstruksi Jepang. Jepang menghadapi krisis tenaga kerja akibat populasi menua, penurunan jumlah insinyur muda, serta sistem subkontraktor berlapis yang memperlebar kesenjangan upah dan peluang karier.

Untuk mengatasi kekurangan, Jepang merekrut insinyur asing melalui jalur technical intern trainee, specific skilled worker, dan T/H/I (technical/humanities/international business) workers. Namun, penelitian ini menemukan bahwa keberlanjutan kerja insinyur asing terganjal oleh:

  • Hambatan bahasa Jepang untuk sertifikasi resmi dan komunikasi di proyek.

  • Ketimpangan upah & benefit antar lapisan kontraktor.

  • Integrasi sosial terbatas, khususnya bagi lulusan universitas luar negeri.

  • Gap ekspektasi karier antara insinyur asing (lebih suka kontrak berbasis pekerjaan) dan perusahaan Jepang (cenderung mendorong loyalitas jangka panjang).

Melalui wawancara insinyur asing dan manajer Jepang, artikel ini menyoroti bahwa faktor kepuasan non-finansial—seperti counseling, kesempatan membawa keluarga, serta kejelasan jalur karier—sering lebih menentukan dari sekadar gaji.

Dampak, Hambatan, dan Peluang: Analisis Kebijakan

Dampak Sosial

Kehadiran insinyur asing membantu menjaga kelangsungan proyek infrastruktur di Jepang, tetapi integrasi budaya dan hambatan bahasa menimbulkan kerentanan sosial, terutama dalam komunikasi keselamatan di lapangan.

Dampak Ekonomi

Rekrutmen insinyur asing mendukung strategi ekspansi infrastruktur Jepang ke luar negeri. Namun, tanpa kebijakan pengembangan kapasitas dan karier, ketergantungan jangka panjang bisa berbalik menjadi risiko turnover tinggi.

Dampak Administratif

Regulasi lisensi dan sertifikasi Jepang menuntut standar tinggi. Keterbatasan akses bahasa bagi insinyur asing membuat mereka sulit naik ke posisi strategis. Situasi ini menciptakan ketidakselarasan antara kebutuhan tenaga ahli dan aturan administratif.

Hambatan

  • Tingginya syarat bahasa Jepang untuk ujian sertifikasi.

  • Subkontraktor berlapis memperlebar kesenjangan upah.

  • Minimnya dukungan psikososial bagi pekerja asing.

Peluang

  • Insinyur asing dapat menjadi motor ekspansi ODA Jepang.

  • Teknologi digital & AI membuka peluang training jarak jauh (bahasa, sertifikasi, manajemen proyek).

  • Jejaring internasional memberi nilai tambah dalam proyek lintas negara.

5 Rekomendasi Kebijakan Publik untuk Indonesia

1. Reformasi Sistem Sertifikasi Insinyur

Indonesia perlu memperkuat sertifikasi profesi insinyur dengan fleksibilitas bahasa Inggris sebagai alternatif pada ujian internasional. Hal ini akan menarik talenta asing sekaligus memperkuat daya saing lokal.

2. Skema Perlindungan dan Integrasi Sosial

Seperti Jepang, Indonesia juga berpotensi menarik insinyur asing di era pembangunan masif. Oleh karena itu, penting menyiapkan program integrasi sosial (counseling, pelatihan bahasa Indonesia, izin keluarga menyertai) agar keberlanjutan kerja lebih terjamin.

3. Transparansi Remunerasi di Sektor Konstruksi

Untuk mencegah kesenjangan upah antar kontraktor, pemerintah dapat menetapkan standar remunerasi minimum bagi insinyur lokal maupun asing, mengacu pada tingkat pengalaman dan sertifikasi.

4. Dukungan Pelatihan Berkelanjutan (Continuing Professional Development)

Indonesia bisa mencontoh Jepang dalam memperkuat pelatihan OFFJT, tetapi dengan memanfaatkan kursus online. Misalnya, kursus Overview of Construction Management dapat menjadi platform peningkatan kapasitas.

5. Kolaborasi Regional untuk Ekspansi Infrastruktur

Mengacu pada strategi “CORE JAPAN”, Indonesia dapat mendorong kemitraan perusahaan konstruksi lokal dengan asing dalam proyek regional ASEAN, dengan syarat transfer pengetahuan dan pengembangan kapasitas insinyur lokal.

Kritik terhadap Kebijakan

Jika kebijakan hanya berfokus pada rekrutmen tanpa memperhatikan faktor non-finansial (bahasa, integrasi sosial, counseling, jalur karier), maka insinyur asing cenderung bertahan sebentar. Hal ini bukan hanya merugikan perusahaan, tetapi juga berpotensi memperburuk krisis tenaga kerja jangka panjang.

Penutup: Pelajaran untuk Indonesia

Artikel ini menunjukkan bahwa ketahanan SDM teknik tidak bisa hanya bergantung pada gaji atau perekrutan masif. Indonesia harus memadukan kebijakan sertifikasi fleksibel, perlindungan sosial, serta pengembangan kapasitas berkelanjutan. Dengan langkah tersebut, pembangunan infrastruktur tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga mampu menciptakan daya saing regional.

Sumber:
Employment and Human Development for Foreign Civil Engineers in Japanese Construction Industries – Engineering Journal (2025)

Selengkapnya
Employment and Human Development for Foreign Civil Engineers in Japanese Construction Industries

Industri Kontruksi

Masa Depan Konstruksi: Mengurai Krisis Tenaga Kerja dan Jalan Menuju Transformasi

Dipublikasikan oleh Hansel pada 09 September 2025


Industri konstruksi selalu menjadi barometer pembangunan suatu bangsa. Dari gedung pencakar langit, jaringan transportasi, hingga perumahan rakyat, konstruksi adalah wajah nyata dari pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik megahnya infrastruktur yang berdiri, terdapat persoalan mendasar yang mulai menggerogoti fondasi sektor ini: kekurangan tenaga kerja terampil.

Studi terbaru yang dibahas dalam jurnal akademik mengangkat persoalan ini dengan fokus pada bagaimana krisis tenaga kerja bukan hanya soal jumlah pekerja, tetapi juga menyangkut keterampilan, sistem pelatihan, serta mekanisme manajemen mutu yang ada di lapangan. Temuan-temuan dalam riset ini mengejutkan sekaligus membuka mata: banyak proyek konstruksi yang tertunda, membengkak biayanya, bahkan menurun kualitasnya akibat tenaga kerja yang tidak cukup terlatih.

Apa yang membuat riset ini mencengangkan adalah cara ia mengungkap paradoks besar. Di satu sisi, lapangan proyek penuh dengan pekerja berpengalaman. Namun di sisi lain, secara formal, mereka kerap dipandang “tidak memenuhi syarat” karena tidak punya sertifikat resmi. Dengan kata lain, keterampilan nyata mereka tidak diakui dalam sistem formal. Akibatnya, banyak dari mereka tetap terjebak dalam pekerjaan berupah rendah, meski berkontribusi besar terhadap pembangunan.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu negara, melainkan menggambarkan wajah global. Di Indonesia, misalnya, fenomena serupa bisa ditemui di proyek-proyek infrastruktur besar: tenaga kerja lapangan mendominasi, tetapi hanya sebagian kecil yang memiliki pelatihan vokasi atau sertifikasi keahlian resmi. Pertanyaan penting pun muncul: bagaimana industri bisa membangun masa depan jika fondasi keterampilannya sendiri goyah?

Laporan ini tidak hanya berbicara dalam angka, tetapi juga dalam kisah nyata di lapangan dari pekerja yang kehilangan kesempatan karena tidak memiliki sertifikat, hingga kontraktor yang terpaksa mengorbankan mutu demi mengejar tenggat waktu.

Akar Masalah: Mengapa Tenaga Terampil Menjadi Barang Langka?

Penelitian menunjukkan bahwa ada tiga penyebab utama krisis tenaga kerja konstruksi: perubahan demografi, minimnya pelatihan, dan lemahnya sistem pengakuan keterampilan.

Pertama, soal demografi. Sebagian besar pekerja konstruksi saat ini berusia di atas 40 tahun. Mereka memang kaya pengalaman, tetapi sebentar lagi mendekati usia pensiun. Generasi muda kurang tertarik masuk ke dunia konstruksi karena profesi ini dianggap berat, kotor, dan kurang bergengsi dibandingkan pekerjaan di sektor teknologi atau jasa modern. Implikasinya jelas: regenerasi tenaga kerja berjalan lambat. Jika tren ini terus berlangsung, dalam satu dekade ke depan sektor konstruksi bisa kekurangan pekerja secara besar-besaran.

Kedua, soal pelatihan. Sistem pendidikan vokasi di banyak negara berkembang masih terbatas. Kursus dan pusat pelatihan formal jumlahnya sedikit, biayanya mahal, dan aksesnya sulit bagi pekerja di daerah. Banyak pekerja akhirnya belajar secara otodidak di lapangan. Mereka bisa mahir memasang bata, mengoperasikan alat, atau membaca gambar sederhana, tetapi tidak pernah mengikuti pelatihan standar. Akibatnya, ketika proyek membutuhkan tenaga bersertifikat, mereka dianggap “tidak memenuhi syarat”.

Ketiga, soal pengakuan. Inilah titik paling krusial. Banyak pekerja yang sudah 10–20 tahun berkecimpung di dunia konstruksi, tetapi tetap dipandang tidak resmi karena tidak memiliki sertifikat. Riset menyoroti program Recognition of Prior Learning (RPL) yang sebenarnya bisa menjadi solusi, karena memungkinkan pekerja berpengalaman mendapatkan sertifikasi tanpa harus melalui pelatihan panjang dari nol. Namun, implementasinya sering terkendala biaya, sosialisasi, dan persepsi bahwa sertifikasi hanyalah “formalitas kertas”.

Dampak Nyata: Biaya Membengkak, Mutu Menurun

Salah satu hal yang paling ditekankan dalam penelitian adalah bagaimana kekurangan tenaga terampil berimplikasi langsung pada proyek konstruksi.

  • Keterlambatan Proyek: Banyak proyek konstruksi yang seharusnya selesai tepat waktu, akhirnya molor berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun karena tidak ada cukup tenaga ahli untuk menyelesaikan pekerjaan khusus.
  • Biaya Membengkak: Kesalahan teknis akibat tenaga kerja kurang terlatih memicu pekerjaan ulang (rework). Akibatnya, biaya bisa naik hingga 20 persen lebih tinggi dari anggaran awal. Analogi mudahnya: seperti ketika Anda harus membongkar dinding rumah yang sudah dicat karena ternyata campuran semen tidak sesuai, lalu membangunnya kembali dari nol.
  • Penurunan Mutu: Ketika tenaga ahli terbatas, proyek lebih fokus mengejar target waktu daripada menjaga kualitas detail. Hasil akhirnya bisa berbeda jauh dari yang direncanakan.
  • Risiko Keselamatan: Data penelitian menunjukkan insiden kecelakaan kerja meningkat di proyek yang melibatkan pekerja tanpa pelatihan formal. Bukan hanya pekerja yang terancam, tetapi juga masyarakat pengguna bangunan di masa depan.

Dengan kata lain, krisis keterampilan ini menggerogoti tiga hal sekaligus: efisiensi, keamanan, dan reputasi industri konstruksi.

Studi Kasus: VETA–RPL di Tanzania

Salah satu temuan menarik dalam penelitian ini adalah kajian terhadap program Recognition of Prior Learning (RPL)yang digagas oleh Vocational Education and Training Authority (VETA) di Tanzania.

Program ini dirancang untuk memberikan sertifikasi formal kepada tenaga kerja konstruksi yang sudah berpengalaman, meskipun mereka tidak pernah mengikuti pendidikan vokasi resmi. Tujuannya sederhana: mengakui keterampilan nyata yang dimiliki pekerja agar mereka bisa bersaing di pasar kerja dan mendapatkan upah yang layak.

Namun, implementasi program ini menghadapi banyak hambatan. Pertama, biaya sertifikasi dianggap terlalu tinggi bagi sebagian besar pekerja. Kedua, informasi tentang program RPL tidak tersebar luas, sehingga hanya sedikit pekerja yang tahu dan mendaftar. Ketiga, persepsi masyarakat bahwa sertifikasi tidak terlalu penting membuat minat rendah.

Akibatnya, potensi besar dari program RPL ini tidak sepenuhnya tercapai. Pekerja tetap terjebak di sektor informal, sementara industri terus berteriak kekurangan tenaga ahli bersertifikat. Fenomena ini mencerminkan jurang besar antara kebutuhan industri dan kebijakan pelatihan formal. Kegagalan ini mencerminkan masalah struktural: negara membutuhkan tenaga ahli, pekerja punya keterampilan, tetapi sistem formal gagal mempertemukan keduanya.

Relevansi untuk Indonesia: Cermin yang Sama

Jika menoleh ke Indonesia, situasi yang digambarkan penelitian ini terdengar sangat familiar. Banyak proyek infrastruktur besar di Indonesia melibatkan ribuan pekerja lapangan, namun hanya sebagian kecil yang memiliki sertifikat keahlian. Sistem pelatihan vokasi memang ada, tetapi belum merata dan sering tidak menjangkau daerah.

Contoh nyata bisa dilihat pada pembangunan jalan tol dan proyek perumahan rakyat. Banyak pekerja yang sudah mahir secara praktik, tetapi tidak bisa naik posisi atau mendapat upah lebih tinggi karena status mereka “tidak bersertifikat”. Akibatnya, produktivitas terhambat dan kesenjangan pendapatan semakin lebar.

Jika Indonesia tidak segera memperkuat sistem pengakuan keterampilan seperti RPL, maka krisis yang sama bisa semakin parah di masa depan, terutama dengan ambisi pembangunan infrastruktur yang terus digenjot pemerintah.

 

Mengapa Temuan Ini Penting Hari Ini?

Yang mengejutkan dari riset ini bukan hanya soal banyaknya pekerja yang tidak tersertifikasi, tetapi bagaimana sistem formal justru menyingkirkan mereka dari kesempatan yang lebih baik. Padahal, secara nyata, mereka lah yang selama ini menopang industri konstruksi.

Penelitian juga menggarisbawahi bahwa meski program pelatihan ada, seringkali desainnya tidak sesuai kebutuhan. Banyak kursus yang bersifat teoretis, sementara pekerja butuh keterampilan praktis. Akibatnya, lulusan pelatihan pun belum tentu siap kerja. Isu ini penting karena berkaitan langsung dengan masa depan pembangunan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Jika tenaga kerja terampil semakin langka, maka:

  1. Proyek Infrastruktur Strategis: Jalan tol, bendungan, pelabuhan, dan bandara berpotensi molor penyelesaiannya.
  2. Ekonomi Biaya Tinggi: Biaya konstruksi yang membengkak akan memengaruhi daya saing nasional.
  3. Keselamatan Publik: Bangunan dengan mutu rendah bisa membahayakan masyarakat.
  4. Peluang Kerja Hilang: Generasi muda kehilangan kesempatan berkarier di sektor konstruksi.

Fakta bahwa pengalaman panjang seorang pekerja bisa dianggap tidak sah karena “hanya kurang kertas” adalah ironi besar yang menunjukkan lemahnya jembatan antara praktik dan kebijakan.

 

Jalan Keluar: Apa yang Bisa Dilakukan?

Penelitian memberikan sejumlah rekomendasi yang realistis:

  • Memperluas Akses Pelatihan: Pemerintah harus membuka lebih banyak pusat pelatihan dengan biaya terjangkau.
  • Mengoptimalkan RPL: Program pengakuan keterampilan harus didesain lebih fleksibel, murah, dan mudah diakses.
  • Kolaborasi dengan Industri: Perusahaan konstruksi harus dilibatkan dalam pembiayaan dan penyusunan kurikulum agar pelatihan sesuai dengan kebutuhan nyata proyek.
  • Kampanye Kesadaran: Mengubah persepsi pekerja dan masyarakat bahwa sertifikasi bukan sekadar formalitas, melainkan tiket menuju karier dan kesejahteraan lebih baik.

·

Kritik dan Catatan Realistis

Meski solusi sudah dipetakan, studi ini juga menyadari keterbatasan. Pertama, penelitian masih fokus pada konteks perkotaan, sehingga gambaran kondisi pedesaan mungkin berbeda. Kedua, program RPL membutuhkan biaya besar dan kesiapan institusi, sesuatu yang sering menjadi kendala di negara berkembang.

Namun, para peneliti menegaskan bahwa menunda perubahan hanya akan memperbesar masalah. Dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, kebutuhan tenaga terampil akan melonjak tajam seiring pertumbuhan infrastruktur. Jika sistem pelatihan dan pengakuan keterampilan tidak segera dibenahi, industri konstruksi bisa menghadapi krisis yang lebih serius.

Penutup: Masa Depan Konstruksi Bergantung pada Tenaga Terampil

Artikel ini memperlihatkan dengan jelas bahwa tenaga kerja terampil adalah fondasi dari industri konstruksi. Tanpa mereka, proyek bisa terbengkalai, biaya membengkak, dan mutu menurun. Riset ini mengajarkan satu hal penting: konstruksi bukan hanya tentang material dan desain, tetapi tentang manusia yang membangunnya. Tanpa tenaga kerja terampil, semua rencana megah bisa runtuh di tengah jalan.

Jika rekomendasi penelitian ini diterapkan, dampak nyata bisa segera dirasakan. Dalam waktu lima tahun, negara bisa mengurangi pembengkakan biaya proyek hingga 20 persen, meningkatkan mutu pekerjaan, serta membuka lapangan kerja baru bagi generasi muda.

Krisis tenaga kerja konstruksi memang nyata, tetapi bukan tanpa jalan keluar. Dengan pengakuan, pelatihan, dan dukungan kebijakan yang tepat, industri ini bisa tetap menjadi motor pembangunan ekonomi yang andal.

Sumber Artikel:

Masgode, M. B., Hidayat, A., Laksmi, I. A. C. V., Triatmika, I. N. A., Puspayana, I. P. A. I., Iskandar, A. A., ... & Gusty, S. (2024). Dinamika Industri Konstruksi di Indonesia. Tohar Media.

Selengkapnya
Masa Depan Konstruksi: Mengurai Krisis Tenaga Kerja dan Jalan Menuju Transformasi

Industri Kontruksi

5 Kebijakan Strategis untuk Pembaruan SKKNI Quantity Surveyor agar Kompetitif di Era Global

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 08 September 2025


Pendahuluan

Industri konstruksi Indonesia tumbuh pesat, dengan jumlah perusahaan yang meningkat dari 155.833 pada 2018 menjadi 203.403 pada 2021. Pertumbuhan ini menuntut tenaga kerja yang kompeten dan adaptif terhadap perubahan teknologi. Salah satu profesi strategis adalah Quantity Surveyor (QS), yang berperan dalam pengendalian biaya, manajemen kontrak, dan efisiensi proyek konstruksi.

Di Indonesia, kompetensi QS diatur dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang diterbitkan melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor KEP.06/MEN/I/2011. Sayangnya, sejak diterbitkan lebih dari satu dekade lalu, SKKNI QS belum pernah diperbarui. Kondisi ini berisiko membuat QS Indonesia tertinggal dibandingkan standar global, terutama dalam penguasaan teknologi modern seperti Building Information Modelling (BIM), keberlanjutan, dan manajemen risiko.

Penelitian oleh Hansen et al. (2023) menekankan bahwa pembaruan SKKNI QS bukan hanya kebutuhan teknis, tetapi juga kebijakan strategis nasional. Artikel ini mengulas temuan riset tersebut dan menyajikan lima rekomendasi kebijakan publik agar Indonesia dapat melahirkan QS yang profesional, adaptif, dan siap bersaing di pasar global.

Mengapa Pembaruan SKKNI QS Mendesak Dilakukan?

SKKNI adalah fondasi legal dan teknis untuk merancang pelatihan, melakukan sertifikasi, dan menetapkan kualifikasi profesi. Tanpa pembaruan, ada sejumlah risiko:

  • Keterlambatan dalam adaptasi teknologi → QS tidak menguasai teknologi modern seperti BIM, manajemen data, dan analitik digital.

  • Kompetensi tidak relevan → kebutuhan industri konstruksi global menuntut keterampilan baru yang belum tercantum dalam SKKNI lama.

  • Kesulitan bersaing di pasar global → QS Indonesia tertinggal dibandingkan negara seperti Inggris, Malaysia, dan Singapura yang telah memperbarui standar mereka.

  • Efisiensi dan produktivitas rendah → tanpa keahlian terkini, QS tidak mampu memberikan solusi hemat biaya dan berkelanjutan.

Penelitian ini mengidentifikasi bahwa SKKNI QS saat ini hanya memuat 18 unit kompetensi, sementara hasil analisis terhadap standar internasional mengusulkan 33 unit kompetensi yang mencakup keterampilan wajib, inti, dan khusus.

Dampak Jika SKKNI QS Tidak Diperbarui

Jika tidak dilakukan pembaruan segera, beberapa dampak serius dapat terjadi:

  • Tertinggal dalam inovasi → QS Indonesia tidak siap menghadapi era digitalisasi dan otomasi konstruksi.

  • Rendahnya kepercayaan global → perusahaan multinasional enggan mempercayakan proyek pada QS lokal.

  • Ketidakselarasan dengan UU Ketenagakerjaan dan Permenaker Nomor 3 Tahun 2016 → terkait tata cara penetapan SKKNI.

  • Stagnasi kualitas tenaga kerja → menghambat daya saing sektor konstruksi nasional.

5 Rekomendasi Kebijakan Publik untuk Pembaruan SKKNI QS

1. Revisi Regulasi SKKNI QS Secara Berkala

Mengapa penting?
SKKNI QS diterbitkan lebih dari 12 tahun lalu dan belum disesuaikan dengan perkembangan teknologi.

Langkah implementasi:

  • Pemerintah melalui Kemenaker wajib melakukan pembaruan setiap lima tahun.

  • Integrasi unit kompetensi baru seperti BIM, manajemen data, keberlanjutan, dan perencanaan bisnis.

  • Penyusunan dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan IQSI, akademisi, dan pelaku industri.

2. Integrasi Teknologi Digital dalam Standar Kompetensi

Mengapa penting?
Era Konstruksi 4.0 menuntut QS menguasai teknologi digital untuk manajemen proyek yang efisien.

Langkah implementasi:

  • Penetapan kompetensi wajib BIM, manajemen risiko berbasis data, dan literasi teknologi informasi.

  • Pengembangan modul pelatihan berbasis simulasi digital.

  • Kolaborasi dengan asosiasi teknologi dan universitas teknik.

Untuk mendukung penguasaan BIM, kursus seperti Building Information Modeling for Architecture and Building Design dapat menjadi pilihan yang tepat. Kursus ini membahas konsep BIM dan proses implementasinya, serta memahami alur kerja BIM mulai dari tahap awal hingga menghasilkan gambar kerja, visualisasi, dan perhitungan volume dan quantity pada model.

3. Skema Sertifikasi Nasional Berbasis Kompetensi Global

Mengapa penting?
QS Indonesia harus mampu bersaing dengan standar internasional seperti RICS (UK) dan RISM (Malaysia).

Langkah implementasi:

  • Sinkronisasi SKKNI QS dengan kerangka ASEAN MRA (Mutual Recognition Arrangement).

  • Pemberian sertifikasi berlapis (nasional dan ASEAN) untuk mempermudah mobilitas tenaga kerja.

  • Penerapan ujian sertifikasi berbasis proyek nyata dan teknologi digital.

4. Insentif dan Dukungan Pemerintah untuk Lembaga Pelatihan

Mengapa penting?
Tanpa dukungan finansial, pembaruan standar tidak efektif karena pelatihan tidak terjangkau oleh QS.

Langkah implementasi:

  • Subsidi pelatihan kompetensi baru melalui program vokasi.

  • Pengurangan pajak bagi perusahaan yang membiayai sertifikasi QS.

  • Pendanaan riset terkait kompetensi baru seperti keberlanjutan dan teknologi informasi.

5. Pembentukan Pusat Riset dan Inovasi Kompetensi Konstruksi

Mengapa penting?
Perubahan kompetensi harus berbasis penelitian berkelanjutan agar tidak usang.

Langkah implementasi:

  • Membentuk National Competency Innovation Center untuk memantau tren global.

  • Mengintegrasikan riset akademik, industri, dan asosiasi profesi.

  • Menyediakan database kompetensi terbaru untuk perencanaan kebijakan.

Implementasi: Peran Pemerintah dan Industri

Keberhasilan pembaruan SKKNI QS bergantung pada kolaborasi multi-stakeholder:

  • Kemenaker → mengatur regulasi dan sertifikasi.

  • IQSI (Ikatan Quantity Surveyor Indonesia) → memastikan kesesuaian standar dengan praktik profesional.

  • Lembaga Pelatihan → menyediakan kurikulum berbasis unit kompetensi terbaru.

  • Perusahaan Konstruksi → mendukung implementasi di lapangan melalui skema pembiayaan dan insentif.

  • Perguruan Tinggi → menyiapkan kurikulum pendidikan yang sesuai SKKNI terbaru.

Kesimpulan

Pembaruan SKKNI Quantity Surveyor adalah kebijakan strategis untuk menjamin kualitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia di sektor konstruksi. Dengan menambahkan 33 unit kompetensi baru yang meliputi teknologi digital, keberlanjutan, manajemen risiko, dan literasi data, QS Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan global. Implementasi kebijakan ini memerlukan regulasi adaptif, dukungan finansial, dan kolaborasi aktif antara pemerintah, asosiasi profesi, dan industri.

Sumber

  • Seng Hansen, Susy Fatena Rostiyanti, Al Fajra (2023). Tinjauan dan Rekomendasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Quantity Surveyor (SKKNI QS). Jurnal Ilmiah Desain & Konstruksi, Vol. 22 No. 2. E-Journal Gunadarma

  • BPS (2022). Statistik Konstruksi 2021 – Data peningkatan jumlah perusahaan konstruksi.

Selengkapnya
5 Kebijakan Strategis untuk Pembaruan SKKNI Quantity Surveyor agar Kompetitif di Era Global

Industri Kontruksi

Menuju Manajemen Konstruksi yang Lebih Aman: 5 Rekomendasi Kebijakan Publik dari Implementasi Safety Leading Indicators

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 04 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Industri konstruksi, baik di Inggris maupun secara global, masih menghadapi tingkat kecelakaan kerja dan fatalitas yang tinggi. Data menunjukkan bahwa tingkat fatalitas pekerja konstruksi tiga kali lebih tinggi dibanding rata-rata industri lain. Selain risiko kesehatan pekerja, kerugian finansial akibat kecelakaan diperkirakan mencapai lebih dari £1,2 miliar per tahun di Inggris.

Penelitian Xu dkk. (2022) menegaskan bahwa pendekatan reaktif berbasis lagging indicators (misalnya, jumlah kecelakaan yang sudah terjadi) tidak lagi cukup. Yang dibutuhkan adalah pendekatan proaktif melalui safety leading indicators (SLI), yaitu indikator yang dapat mendeteksi potensi risiko lebih awal sehingga tindakan pencegahan bisa dilakukan.

Dengan mengadopsi SLI, pemerintah dan pemangku kebijakan dapat mendorong transformasi budaya keselamatan di sektor konstruksi: dari sekadar mematuhi regulasi, menuju pembangunan kapasitas organisasi yang berkelanjutan. Bagi pembaca yang ingin memperdalam praktik penerapan sistem keselamatan, dapat mengikuti Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi untuk Mencegah Kegagalan Bangunan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, Peluang

Penelitian ini menunjukkan bahwa ada 17 safety leading indicators penting, dengan yang paling krusial adalah:

  • Komitmen organisasi (khususnya keterlibatan manajemen senior).

  • Keterlibatan klien, desainer, dan kontraktor dalam siklus proyek.

  • Pelatihan & orientasi pekerja.

  • Iklim keselamatan (safety climate).

  • Kompetensi tenaga kerja.

Namun, terdapat hambatan implementasi di tiga level:

  1. Operasional → perusahaan cenderung memilih indikator yang mudah diukur (jumlah inspeksi, jumlah rapat keselamatan), tetapi kurang fokus pada kualitas praktik.

  2. Organisasional → lemahnya organizational learning; pembelajaran keselamatan sering hanya berlaku di satu proyek, tidak menyebar lintas organisasi.

  3. Strategis → model bisnis konstruksi yang transaksional menekan biaya, membuat investasi jangka panjang dalam budaya keselamatan kurang mendapat prioritas.

Peluangnya adalah: jika pemerintah dan regulator membuat kebijakan yang mewajibkan penggunaan SLI secara terstruktur, maka perubahan paradigma bisa lebih cepat tercapai.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Integrasi SLI ke dalam Regulasi Nasional Keselamatan Konstruksi

    • Pemerintah perlu memperbarui regulasi agar tidak hanya menilai kecelakaan yang terjadi (lagging indicators), tetapi juga mewajibkan perusahaan melaporkan leading indicators.

    • Mekanisme ini bisa diadopsi dalam standar kontrak publik, misalnya mensyaratkan laporan SLI pada tender proyek pemerintah.

  2. Penguatan Kewajiban Keterlibatan Multi-Stakeholder

    • Kebijakan harus mewajibkan keterlibatan klien, desainer, kontraktor, dan subkontraktor sejak tahap perencanaan proyek.

    • Proses front-end investment (investasi awal) harus diarahkan untuk membangun budaya keselamatan lintas rantai pasok.

  3. Insentif dan Sanksi untuk Komitmen Organisasi

    • Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal atau pengakuan resmi bagi perusahaan yang konsisten menunjukkan komitmen tinggi pada SLI.

    • Sebaliknya, perusahaan yang hanya berorientasi kepatuhan minimum perlu dikenakan penalti administratif atau pembatasan akses tender publik.

  4. Pembangunan Sistem Pembelajaran Keselamatan Nasional (Safety Learning System)

    • Dibentuk pusat data nasional yang mengumpulkan, menganalisis, dan menyebarkan praktik terbaik berbasis SLI.

    • Sistem ini harus memfasilitasi knowledge sharing antar proyek, bukan hanya pelaporan insiden.

  5. Peningkatan Kompetensi melalui Program Nasional Pelatihan dan Sertifikasi

    • Wajibkan sertifikasi kompetensi keselamatan bagi pekerja, mandor, hingga manajer proyek.

    • Program pelatihan harus berfokus pada pencegahan, bukan hanya penanganan pasca-insiden.

    • Kolaborasi dengan lembaga pendidikan tinggi dan politeknik dapat memperkuat integrasi SLI dalam kurikulum teknik sipil dan manajemen konstruksi.

Kritik: Risiko Jika Kebijakan Tidak Diadopsi

Tanpa perubahan kebijakan, industri konstruksi akan tetap berada pada “plateau keselamatan” seperti 15 tahun terakhir: angka kecelakaan tinggi, biaya sosial-ekonomi besar, dan reputasi industri menurun. Selain itu, praktik tick-box compliance (sekadar memenuhi syarat di atas kertas) akan terus mendominasi, sehingga transformasi budaya keselamatan tidak tercapai.

Kesimpulan Strategis

Artikel ini menegaskan bahwa SLI bukan sekadar alat ukur teknis, tetapi instrumen transformasi budaya dan organisasi. Pemerintah memiliki peran sentral untuk mendorong perubahan, melalui regulasi, insentif, sistem pembelajaran nasional, dan penguatan kompetensi.

Jika rekomendasi ini diimplementasikan, bukan hanya angka kecelakaan yang turun, tetapi juga tercipta industri konstruksi yang lebih produktif, berdaya saing, dan berkelanjutan.

📌 Sumber asli: Xu, J., Cheung, C., Manu, P., Ejohwomu, O., & Too, J. (2022). Implementing safety leading indicators in construction: Toward a proactive approach to safety management. Safety Science, 105929. https://doi.org/10.1016/j.ssci.2022.105929

Selengkapnya
Menuju Manajemen Konstruksi yang Lebih Aman: 5 Rekomendasi Kebijakan Publik dari Implementasi Safety Leading Indicators
« First Previous page 3 of 12 Next Last »