Industri Beresiko

Manajemen Risiko Proyek Konstruksi Gedung: Studi Kasus Universitas Negeri Gorontalo dan Refleksi Praktik Nasional

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 05 Mei 2025


Pendahuluan: Pentingnya Manajemen Risiko dalam Dunia Konstruksi

Industri konstruksi merupakan salah satu sektor dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi. Dari perubahan cuaca ekstrem, keterlambatan pasokan material, hingga fluktuasi harga bahan bangunan, semuanya dapat menghambat jalannya proyek. Dalam konteks ini, manajemen risiko tidak lagi menjadi pilihan, melainkan keharusan. Artikel ini secara cermat menyelidiki bagaimana penerapan manajemen risiko dalam proyek pembangunan Gedung Kuliah Terpadu Universitas Negeri Gorontalo (UNG) bisa menjadi contoh nyata sekaligus pelajaran berharga bagi sektor konstruksi nasional.

Metodologi dan Konteks Penelitian

Objek Studi

Penelitian ini berfokus pada proyek pembangunan Gedung Kuliah Terpadu UNG, dengan pendekatan studi kasus yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, kuesioner, dan observasi lapangan, yang kemudian dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif dan matriks risiko (probabilitas × dampak).

Teknik Analisis Risiko

Peneliti menggunakan skala likert 1–5 untuk mengukur probabilitas dan dampak setiap risiko. Dari hasil tersebut dibuatlah pemetaan risiko berdasarkan level signifikansinya, yaitu:

  • Risiko rendah (hijau)

  • Risiko sedang (kuning)

  • Risiko tinggi (merah)

Temuan Utama: Sumber Risiko Terbesar di Lapangan

1. Risiko pada Tahap Perencanaan

Pada tahap awal proyek, risiko paling krusial berasal dari ketidaksesuaian antara desain awal dan kondisi aktual di lapangan. Risiko ini mendapat skor signifikansi tinggi sebesar 16, menandakan urgensi untuk mitigasi sejak awal proyek.

2. Risiko pada Tahap Pelaksanaan

Faktor utama yang memicu keterlambatan dan kerugian biaya antara lain:

  • Keterlambatan pasokan material: skor risiko 12

  • Kesalahan pelaksanaan pekerjaan: skor risiko 15

  • Kurangnya tenaga kerja terampil: skor risiko 9

Analisis ini menunjukkan bahwa sebagian besar masalah berasal dari koordinasi dan kontrol mutu.

3. Risiko Lingkungan dan Force Majeure

Risiko eksternal seperti cuaca buruk, gempa bumi, atau pandemi COVID-19 dikategorikan dalam risiko menengah, namun tetap perlu rencana kontinjensi.

Studi Kasus: Gedung Kuliah Terpadu UNG

Kondisi Proyek

  • Nilai kontrak: ± Rp27 miliar

  • Waktu pelaksanaan: 240 hari kalender

  • Lingkup pekerjaan: struktur bangunan bertingkat tiga, arsitektur, mekanikal elektrikal, dan utilitas

Selama pelaksanaan, proyek mengalami penyesuaian desain dan pengadaan ulang material karena fluktuasi harga, yang menimbulkan deviasi biaya hingga ±7% dari RAB awal.

Implementasi Manajemen Risiko

Pihak pelaksana melakukan beberapa strategi mitigasi:

  • Penyesuaian jadwal kerja dan penambahan shift

  • Pengawasan ketat pada kualitas pelaksanaan lapangan

  • Negosiasi ulang dengan pemasok untuk efisiensi pengadaan
     

Analisis Tambahan: Pembelajaran dari Lapangan

Data dan Fakta

Berdasarkan hasil kuisioner, risiko dengan probabilitas dan dampak tertinggi adalah:

  • Ketidaksesuaian antara desain dan realisasi lapangan (skor 16)

  • Kesalahan pelaksanaan (skor 15)

  • Keterlambatan material (skor 12)

Artinya, masalah internal dalam perencanaan dan eksekusi berkontribusi lebih besar dibandingkan faktor eksternal seperti cuaca.

Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian oleh Goh dan Abdul-Rahman (2013) di Malaysia juga mengungkapkan bahwa kesalahan desain merupakan penyumbang utama kegagalan proyek. Hal ini menandakan bahwa masalah tersebut bersifat sistemik dan tidak terbatas pada konteks lokal.

 

Refleksi terhadap Industri Konstruksi Nasional

Tren Nasional

Indonesia saat ini tengah mendorong pembangunan infrastruktur besar-besaran, termasuk proyek Ibu Kota Negara (IKN). Namun, masih banyak proyek yang mengalami deviasi waktu dan biaya. Berdasarkan data BPS (2023), 34% proyek konstruksi di Indonesia terlambat dari jadwal.

Jika pendekatan manajemen risiko seperti yang diterapkan dalam proyek UNG bisa diadopsi lebih luas, potensi efisiensi bisa meningkat secara signifikan.

Penerapan Teknologi

Salah satu rekomendasi strategis adalah penerapan Building Information Modeling (BIM) untuk mengintegrasikan perencanaan-desain-konstruksi dalam satu platform. Teknologi ini terbukti mampu meminimalkan risiko desain yang tidak sesuai dengan realita lapangan.

Kritik dan Evaluasi

Kelebihan Artikel

  • Pendekatan kuantitatif dengan skor risiko sangat aplikatif

  • Relevan untuk diterapkan dalam konteks proyek lain yang berskala menengah

  • Menyediakan data konkret sebagai dasar pengambilan keputusan

Keterbatasan

  • Belum menyertakan variabel risiko finansial dan hukum secara mendalam

  • Tidak mengeksplorasi peran stakeholder secara menyeluruh (misalnya pemilik proyek dan konsultan pengawas)

  • Belum membandingkan efektivitas strategi mitigasi antar proyek sejenis

Kesimpulan dan Rekomendasi

Penelitian ini menegaskan bahwa manajemen risiko bukan hanya teori, tetapi fondasi penting dalam pelaksanaan proyek konstruksi yang efektif. Ketidaksesuaian desain, kesalahan pelaksanaan, dan keterlambatan pasokan adalah tiga risiko utama yang perlu diwaspadai. Untuk meminimalkan dampaknya, penerapan perencanaan matang, penggunaan teknologi BIM, dan peningkatan kompetensi SDM menjadi kunci keberhasilan.

Rekomendasi praktis:

  • Lakukan audit risiko berkala di semua tahap proyek

  • Bentuk tim manajemen risiko sejak awal proyek

  • Terapkan kontrak berbasis kinerja (performance-based contract)

Sumber Artikel

Djafri, F., Bonto, I., & Darmawansyah. (2019). Manajemen Risiko pada Proyek Konstruksi Gedung Studi Kasus: Proyek Pembangunan Gedung Kuliah Terpadu Universitas Negeri Gorontalo. Jurnal Rekayasa Sipil dan Perencanaan, 20(2), 140–149. Artikel ini dapat diakses di https://ejurnalunsam.id/index.php/JSIPIL/article/view/1783

Selengkapnya
Manajemen Risiko Proyek Konstruksi Gedung: Studi Kasus Universitas Negeri Gorontalo dan Refleksi Praktik Nasional

Industri Beresiko

Meningkatkan Keselamatan Pekerja dalam Ruang Terbatas dan Operasi Hot Work

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Maret 2025


Industri berisiko tinggi seperti minyak dan gas, manufaktur, serta konstruksi menghadapi tantangan besar dalam keselamatan pekerja, terutama dalam pekerjaan di ruang terbatas dan operasi hot work.

Ruang terbatas sering kali memiliki ventilasi yang buruk dan berisiko tinggi terhadap akumulasi gas beracun seperti hidrogen sulfida (H₂S) dan karbon monoksida (CO). Selain itu, risiko kekurangan oksigen dapat menyebabkan sesak napas mendadak bagi pekerja. Studi yang dikutip dalam paper ini mencatat bahwa 60% kematian dalam ruang terbatas terjadi pada pekerja penyelamat yang kurang persiapan.

Hot work, seperti pengelasan dan pemotongan logam, menimbulkan risiko kebakaran dan ledakan, terutama di area dengan bahan mudah terbakar. Menurut penelitian ini, kecelakaan akibat hot work menyumbang 25% dari semua insiden kebakaran industri di sektor minyak dan gas. Salah satu studi kasus yang dianalisis adalah ledakan di kilang minyak Texas City yang menewaskan 15 pekerja dan melukai lebih dari 170 orang. Penyebab utama insiden ini adalah kegagalan dalam menerapkan standar keselamatan hot work, termasuk kurangnya ventilasi dan pengawasan terhadap gas yang mudah terbakar.

Di pabrik kimia DuPont, empat pekerja meninggal akibat terpapar metil merkaptan dalam ruang terbatas. Investigasi mengungkapkan bahwa kegagalan dalam mendeteksi gas beracun dan kurangnya sistem evakuasi darurat menjadi faktor utama dalam kecelakaan tersebut.

Berbagai regulasi keselamatan yang relevan, termasuk:

  • OSHA 29 CFR 1910.146 (Standar ruang terbatas di industri)
  • OSHA 29 CFR 1910.252 (Standar keselamatan hot work)
  • ISO 45001:2018 (Standar manajemen keselamatan kerja internasional)

Sebelum pekerja memasuki ruang terbatas atau melakukan hot work, perusahaan harus menerapkan sistem penilaian risiko yang mencakup:

  • Pengukuran atmosfer untuk mendeteksi gas beracun dan kadar oksigen.
  • Evaluasi kemungkinan kebakaran atau ledakan.
  • Penggunaan izin kerja untuk memastikan langkah-langkah keselamatan sudah diterapkan.

Pentingnya pelatihan berkala dan sertifikasi bagi pekerja. Pelatihan harus mencakup penggunaan alat pelindung diri (APD), teknik penyelamatan darurat, serta simulasi situasi berbahaya. Adopsi teknologi seperti detektor gas otomatis, sistem pemantauan jarak jauh, dan drone inspeksi dapat meningkatkan keselamatan kerja. Paper ini mencatat bahwa implementasi teknologi ini dapat mengurangi kecelakaan hingga 40% dalam tiga tahun.

Prosedur darurat harus mencakup:

  • Tim penyelamat yang terlatih khusus untuk ruang terbatas.
  • Peralatan penyelamatan seperti tali pengaman dan alat bantu pernapasan.
  • Komunikasi darurat untuk memastikan respons cepat jika terjadi kecelakaan.

Pencegahan kecelakaan di ruang terbatas dan hot work membutuhkan kombinasi regulasi yang ketat, pelatihan pekerja, serta pemanfaatan teknologi keselamatan. Dengan menerapkan praktik terbaik yang dijelaskan, industri dapat secara signifikan mengurangi angka kecelakaan kerja dan melindungi nyawa pekerja.

Sumber Artikel: Oluwaseyi Ayotunde Akano, Enobong Hanson, Chukwuebuka Nwakile, Andrew Emuobosa Esiri. Improving Worker Safety in Confined Space Entry and Hot Work Operations: Best Practices for High-Risk Industries. Global Journal of Advanced Research and Reviews, 2024, 02(02), 031–039.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Selengkapnya
Meningkatkan Keselamatan Pekerja dalam Ruang Terbatas dan Operasi Hot Work
page 1 of 1