Industri 4.0
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 20 Maret 2025
Pengantar: Di Persimpangan Jalan antara Tradisi dan Inovasi
Industri manufaktur global saat ini tengah berada dalam fase perubahan besar yang dikenal sebagai Revolusi Industri 4.0. Di era ini, teknologi seperti Internet of Things (IoT), big data, artificial intelligence (AI), dan sistem siber-fisik (cyber-physical systems) mulai mendominasi lanskap produksi. Namun, di tengah kemajuan tersebut, kualitas engineering atau rekayasa kualitas justru menghadapi tantangan serius. Istilah "quality engineering" mengalami penurunan pencarian di Google selama lebih dari satu dekade terakhir. Fenomena ini mengindikasikan adanya kebutuhan mendesak untuk mereformasi pendekatan lama menuju sesuatu yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman.
Dalam konteks itulah, Tu Feng, mahasiswa program Industrial and Systems Engineering dari The Ohio State University, melalui tesisnya berjudul “Review of Quality Engineering Technologies in the Context of Industry 4.0”, mencoba menjawab tantangan tersebut. Penelitian ini tidak hanya membedah perkembangan Quality Engineering, tetapi juga menawarkan pandangan baru tentang bagaimana disiplin ini harus beradaptasi di era Industri 4.0 melalui konsep Quality 4.0.
Penelitian ini dapat diakses di repository The Ohio State University dan menjadi referensi penting bagi siapa pun yang ingin memahami arah baru dalam pengelolaan kualitas industri.
Apa Itu Quality 4.0? Definisi, Tujuan, dan Relevansinya
Quality 4.0 adalah evolusi dari konsep quality engineering tradisional yang fokus pada inspeksi akhir dan pengurangan variasi, menjadi pendekatan yang berbasis teknologi cerdas dan integrasi data. Jika sebelumnya kualitas diukur dari performa produk akhir, Quality 4.0 membawa kualitas ke dalam proses secara keseluruhan, sejak desain hingga pengiriman. Pendekatan ini memanfaatkan teknologi seperti machine learning, IoT, blockchain, dan augmented reality untuk memonitor, menganalisis, dan meningkatkan proses produksi secara real-time.
American Society for Quality (ASQ) mendefinisikan Quality 4.0 sebagai penerapan teknologi digital untuk memperkuat proses kualitas. Hal ini termasuk kemampuan untuk mendiagnosa masalah produksi secara otomatis dan melakukan perbaikan sistem tanpa intervensi manusia, sesuatu yang sulit diwujudkan di era quality engineering tradisional.
Mengapa Quality 4.0 Muncul? Latar Belakang dan Urgensinya
Menurut Tu Feng, kebutuhan akan Quality 4.0 didorong oleh tiga faktor utama. Pertama, meningkatnya kompleksitas produk dan proses manufaktur. Kedua, tingginya tuntutan konsumen terhadap kualitas dan kecepatan produksi. Ketiga, revolusi teknologi yang menghadirkan peluang baru, seperti analitik big data dan otomatisasi berbasis AI.
Fakta menarik lainnya adalah bahwa meskipun konsep Industry 4.0 telah berkembang sejak awal tahun 2010-an, penelitian yang menghubungkan Quality Engineering dengan teknologi terbaru ini masih relatif sedikit. Sebagian besar studi tetap berfokus pada pendekatan lama, sementara teknologi di lini produksi telah bertransformasi secara signifikan.
Empat Pilar Utama dalam Quality 4.0
Dalam penelitiannya, Tu Feng mengidentifikasi empat area kunci yang menjadi landasan utama Quality 4.0.
1. Digitalisasi Sistem dan Koreksi Mandiri
Di era Quality 4.0, sistem produksi tidak lagi hanya mengandalkan inspeksi manual, tetapi mampu mendeteksi dan mengoreksi kesalahan secara otomatis. Hal ini memungkinkan terciptanya mesin yang belajar dari data historis dan mampu membuat keputusan korektif secara real-time. Namun, meskipun teknologi seperti reinforcement learning menjanjikan, aplikasinya dalam pengurangan variasi kualitas produk masih sangat terbatas.
Contoh nyata dari konsep ini dapat ditemukan dalam penerapan predictive maintenance pada pabrik otomotif. Mesin-mesin produksi dapat mendeteksi tanda-tanda awal kegagalan komponen, lalu melakukan penyesuaian otomatis untuk mencegah kerusakan sebelum terjadi.
2. Pergeseran Peran: Dari Operator Menjadi Perancang Proses
Peran manusia dalam Quality 4.0 bergeser dari sekadar operator yang menjalankan mesin menjadi desainer sistem yang merancang alur kerja dan pengambilan keputusan berbasis data. Desain antarmuka manusia-mesin (Human-Machine Interface/HMI) dan pengembangan dashboard yang intuitif menjadi krusial. Dashboard IIoT seperti Siemens Mindsphere atau PTC Thingworx membantu manajer produksi memantau proses secara real-time dan membuat keputusan cepat berbasis data.
Namun, transformasi ini juga menghadirkan tantangan. Desainer sistem harus mempertimbangkan pengalaman pengguna (user experience/UX) agar dashboard tersebut benar-benar memberikan informasi yang mudah dipahami dan diandalkan oleh operator.
3. Mesin Otonom dan Pengelolaan Diri Sendiri
Salah satu karakteristik utama pabrik pintar adalah mesin yang mampu mengelola dirinya sendiri. Mesin ini tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga mampu menganalisis dan merespons perubahan kondisi produksi tanpa campur tangan manusia. Namun, penelitian yang secara khusus mengevaluasi hubungan antara kemampuan mesin otonom dan standar kualitas seperti CpK (Process Capability Index) masih terbatas.
Sebagai gambaran, robot industri di pabrik mobil telah mampu mempertahankan tingkat CpK di atas 3.0, menunjukkan stabilitas proses yang tinggi. Tetapi, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa sistem otonom ini juga mempertimbangkan aspek kualitas produk secara keseluruhan, bukan hanya efisiensi produksi.
4. Integrasi Kinerja Manusia dengan Tujuan Bisnis
Quality 4.0 tidak hanya fokus pada efisiensi mesin, tetapi juga integrasi kinerja manusia dengan tujuan strategis perusahaan. Penggunaan dashboard yang menampilkan metrik performa secara real-time memudahkan pengambilan keputusan berbasis data. Namun, peningkatan interaksi manusia dan mesin ini juga menuntut perhatian serius pada isu keamanan siber dan kepercayaan terhadap otomatisasi.
Dalam praktiknya, hal ini terlihat dalam implementasi Total Quality Management (TQM) berbasis sistem digital yang menghubungkan setiap tahap produksi dengan strategi bisnis secara keseluruhan.
Studi Kasus Implementasi Quality 4.0 di Industri
Sejumlah perusahaan manufaktur besar telah mengadopsi konsep Quality 4.0 dan membuktikan efektivitasnya.
Di sektor otomotif, Toyota menggunakan digital twin untuk menciptakan simulasi proses produksi secara real-time. Implementasi ini meningkatkan efisiensi produksi sebesar 15% dan menurunkan waktu henti mesin hingga 20%.
Siemens, perusahaan teknologi asal Jerman, menerapkan Mindsphere untuk mengintegrasikan data produksi dari berbagai pabrik mereka di seluruh dunia. Hasilnya, mereka mampu mengurangi limbah produksi hingga 30%, sekaligus meningkatkan visibilitas rantai pasok secara global.
Di sektor makanan dan minuman, Nestlé mengandalkan big data dan machine learning untuk memantau kualitas produk di berbagai pabrik. Sistem ini tidak hanya membantu mendeteksi cacat lebih awal, tetapi juga mempercepat pengambilan keputusan tanpa harus menunggu laporan manual.
Tantangan yang Dihadapi Quality 4.0
Meskipun menjanjikan, Quality 4.0 tidak lepas dari tantangan.
Pertama, masih ada kesenjangan antara teori dan praktik. Mayoritas penelitian Quality 4.0 berasal dari akademisi, sementara kontribusi praktisi industri masih terbatas. Hal ini berpotensi menciptakan solusi yang tidak sepenuhnya aplikatif di dunia nyata.
Kedua, adopsi teknologi tinggi seperti AI dan big data memerlukan investasi besar, yang mungkin sulit dijangkau oleh perusahaan kecil dan menengah (UKM). Padahal, UKM adalah pilar penting dalam ekosistem manufaktur global.
Ketiga, keamanan data dan privasi menjadi isu krusial. Integrasi sistem IIoT membuka celah baru bagi serangan siber yang dapat merusak sistem kualitas secara keseluruhan.
Saran Pengembangan dan Masa Depan Quality 4.0
Agar Quality 4.0 dapat diadopsi secara luas, perlu ada pendekatan yang lebih inklusif. Beberapa langkah strategis yang disarankan antara lain:
Kesimpulan: Quality 4.0 adalah Masa Depan yang Tak Terelakkan
Tu Feng, melalui tesisnya, menunjukkan bahwa Quality Engineering tengah berada di persimpangan penting. Industri tidak lagi bisa bertahan dengan pendekatan konvensional seperti Lean Six Sigma semata. Era Quality 4.0 telah tiba, di mana teknologi cerdas dan integrasi data menjadi tulang punggung dalam memastikan kualitas produk dan proses.
Di masa depan, peran quality engineer akan semakin kompleks. Mereka bukan hanya penjaga mutu di lini produksi, tetapi juga arsitek sistem pintar yang menghubungkan teknologi dengan tujuan bisnis perusahaan. Kunci suksesnya adalah kesiapan untuk beradaptasi dengan perubahan dan keberanian untuk memimpin transformasi.
Industri 4.0
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 20 Maret 2025
Pendahuluan: Pentingnya Pengendalian Proses Statistik (SPC) di Era Industri 4.0
Dalam dunia manufaktur dan jasa saat ini, pengendalian kualitas tidak lagi menjadi sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan esensial. Konsumen menuntut produk yang bebas cacat dan layanan yang konsisten. Salah satu pendekatan yang telah terbukti efektif sejak dekade 1920-an adalah Statistical Process Control (SPC). Pendekatan ini diperkenalkan oleh Walter A. Shewhart, yang dikenal sebagai pelopor dalam penerapan metode statistik untuk kontrol kualitas produksi.
Paper karya Arun Kumar Sinha dan Richa Vatsa, berjudul "Control Charts and Capability Analysis for Statistical Process Control", memberikan panduan komprehensif mengenai penerapan control charts dan capability analysis dalam konteks SPC. Penelitian mereka tidak hanya relevan di sektor industri maju, tetapi juga sangat aplikatif bagi negara berkembang yang tengah berupaya meningkatkan daya saing industri mereka.
Memahami SPC: Apa Itu dan Mengapa Penting?
SPC adalah metode berbasis data untuk memantau dan mengontrol proses produksi. Fokus utama dari SPC adalah membedakan common cause variation (variasi alami yang selalu ada dalam proses) dari special cause variation (variasi yang diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu di luar standar proses).
Tanpa kontrol yang baik, proses produksi rentan menghasilkan produk cacat atau tidak konsisten. Di sinilah SPC berperan sebagai sistem peringatan dini. Jika diterapkan dengan benar, SPC membantu perusahaan:
Jenis Data dan Control Charts: Memilih yang Tepat untuk Proses Produksi
Dalam analisis SPC, data produksi biasanya dibagi menjadi dua kategori utama:
Control Charts untuk Data Variabel
Paper ini menjelaskan bahwa untuk memantau rata-rata proses, digunakan X-bar charts, sedangkan untuk memantau variasi proses, digunakan R charts. Dalam penerapannya:
Contoh yang diangkat dalam paper adalah pengiriman bagasi di sebuah hotel. Pengukuran dilakukan untuk memantau waktu pengiriman bagasi ke kamar tamu. Hasil analisis menunjukkan bahwa proses ini stabil karena semua data berada dalam batas kendali.
Control Charts untuk Data Atribut
Untuk data seperti proporsi produk cacat, digunakan p-chart, sementara jumlah cacat per unit dipantau dengan c-chart. Dalam studi kasus di paper, analisis p-chart digunakan untuk mengontrol kualitas kaleng film, dengan hasil bahwa proses produksi kaleng tersebut dalam kondisi stabil.
Studi Kasus: Meningkatkan Layanan Pengiriman Bagasi Hotel dengan SPC
Latar Belakang Kasus
Sebuah hotel mewah ingin memastikan bahwa 99% pengiriman bagasi ke kamar tamu selesai dalam waktu 14 menit setelah check-in. Data diambil selama 28 hari, dengan pengambilan 5 sampel per hari pada shift malam.
Analisis Data
Capability Analysis
Proses pengiriman dievaluasi apakah mampu memenuhi target 99% pengiriman tepat waktu. Hasilnya:
Interpretasi
Proses pengiriman bagasi hotel tersebut tidak hanya stabil, tetapi juga mampu memenuhi standar kualitas yang ditetapkan. Ini contoh konkret bagaimana SPC membantu sektor jasa, bukan hanya manufaktur.
Capability Analysis: Mengukur Seberapa Baik Proses Memenuhi Spesifikasi
Salah satu kontribusi besar paper ini adalah pembahasan tentang Capability Analysis, yaitu metode untuk mengukur kemampuan proses dalam memenuhi spesifikasi pelanggan.
Key Metrics dalam Capability Analysis
Dalam contoh hotel tadi, nilai CPU = 1,01 menunjukkan bahwa proses lebih dari 3 sigma di atas rata-rata. Dengan kata lain, sangat jarang ada pengiriman bagasi yang terlambat.
Manfaat Penerapan SPC di Negara Berkembang: Potensi dan Realita
Mengapa Negara Berkembang Butuh SPC?
Penulis menyoroti bahwa negara-negara berkembang seperti India, Ethiopia, dan Zimbabwe punya sumber daya alam melimpah dan tenaga kerja murah. Namun, kualitas produk mereka sering diragukan karena kurangnya kontrol kualitas yang sistematis.
SPC menjadi solusi karena:
Contoh Nyata Penerapan SPC di Negara Berkembang
Apa yang Bisa Dipelajari dari Jepang?
Penulis juga mengingatkan bahwa Jepang bangkit dari kehancuran Perang Dunia II lewat pendekatan kualitas berbasis SPC, berkat tokoh seperti W. Edwards Deming. Negara-negara berkembang bisa mengikuti jejak Jepang dengan komitmen kuat pada kualitas dan pelatihan SDM.
Kritik dan Analisis Tambahan: Apa yang Kurang dari Studi Ini?
Kurangnya Pendekatan Digital
Sebagian besar ilustrasi dalam paper masih berbasis metode manual atau semi-manual. Padahal, tren industri global saat ini sudah mengarah pada SPC berbasis digital yang terintegrasi dengan Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI).
Keterbatasan Data Studi Kasus
Beberapa studi kasus, seperti dari Zimbabwe dan India, tidak dilengkapi data rinci dalam paper ini. Hal ini menyulitkan pembaca untuk melakukan validasi atau perbandingan langsung.
Perbandingan dengan Six Sigma
SPC memang fokus pada kontrol proses, tetapi integrasi dengan metodologi Six Sigma akan memberikan perbaikan proses berbasis data yang lebih mendalam. Misalnya, analisis akar penyebab (root cause analysis) dan penghapusan variabilitas proses secara berkelanjutan.
📄 Sumber Paper: Proceedings 63rd ISI World Statistics Congress (2021).
📌 DOI atau Tautan Resmi: [Belum tersedia di paper]
📚 Penelitian ini dapat diakses di forum ilmiah ISI World Statistics Congress.
Industri 4.0
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 20 Maret 2025
Pendahuluan: Mengapa SPC Masih Relevan di Era Industri 4.0?
Di tengah gempuran teknologi baru seperti Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), dan Big Data, banyak yang bertanya—apakah metode konvensional seperti Statistical Process Control (SPC) masih relevan? Jawabannya justru semakin tegas: YA. Dalam paper berjudul The Usage of Statistical Process Control (SPC) in Industry 4.0 Conditions oleh Radosław Wolniak dan Wies Grebski, dijelaskan bahwa integrasi SPC dalam ekosistem Industri 4.0 bukan hanya mempertahankan relevansinya, melainkan juga memperkuat perannya dalam menjaga kualitas dan efisiensi produksi.
Apa Itu SPC dan Kenapa Masih Digunakan?
Statistical Process Control (SPC) adalah pendekatan berbasis statistik yang digunakan untuk mengontrol proses produksi dan memastikan kualitas tetap stabil. Konsep dasarnya, yang diperkenalkan oleh Walter A. Shewhart pada 1924, menekankan pada deteksi common cause (variasi alami) dan special cause (variasi yang memerlukan intervensi) dalam sebuah proses.
SPC selama ini banyak digunakan di sektor manufaktur tradisional. Namun, kini ia menemukan nafas baru di era Industri 4.0, dengan kemampuan integrasi pada sistem digital yang lebih kompleks. Artinya, SPC yang dulunya bersifat reaktif kini mampu bertransformasi menjadi alat proaktif berkat dukungan teknologi seperti IoT dan AI.
Integrasi SPC dalam Ekosistem Industri 4.0 dan Quality 4.0
Apa Itu Industri 4.0 dan Quality 4.0?
Dalam konteks ini, SPC diadopsi untuk memantau proses produksi secara real-time, mengidentifikasi anomali secara cepat, dan memberikan peringatan dini sebelum cacat produksi terjadi.
Cara Kerja SPC di Era Industri 4.0
Real-Time Monitoring dan IoT
SPC tradisional membutuhkan pengambilan data berkala. Di era Industri 4.0, sensor-sensor IoT memungkinkan pengambilan data secara kontinu dan real-time. Hasilnya? Anomali produksi dapat dideteksi detik itu juga, bukan menunggu batch berikutnya.
Contoh nyata: Dalam industri otomotif, sensor IoT di lini perakitan mesin dapat mendeteksi getaran abnormal pada baut mesin. Dengan SPC, data tersebut langsung dianalisis dan memberi sinyal kepada operator sebelum baut benar-benar longgar dan menciptakan produk cacat.
Prediksi Kualitas dengan AI dan Machine Learning
SPC kini memanfaatkan analitik prediktif. Algoritma AI dapat mengenali pola dari data produksi sebelumnya, lalu memprediksi kapan dan di mana potensi kegagalan kualitas akan muncul.
Dalam industri elektronik, misalnya, AI yang dikombinasikan dengan SPC mampu memprediksi waktu optimal perawatan mesin soldering, mencegah solder cacat yang sebelumnya hanya bisa diidentifikasi setelah inspeksi visual.
Manfaat Utama SPC dalam Industri 4.0
Wolniak dan Grebski menggarisbawahi berbagai keuntungan yang didapat industri dari integrasi SPC dalam era digital ini, antara lain:
Tantangan dalam Implementasi SPC di Industri 4.0
1. Keamanan Data
Konektivitas digital meningkatkan risiko kebocoran data. Perusahaan harus memperkuat sistem keamanan siber untuk melindungi data produksi yang sensitif.
2. Kompleksitas Teknologi
Integrasi sistem lama dengan teknologi baru membutuhkan biaya besar dan waktu panjang. Banyak perusahaan masih berjuang menyesuaikan legacy system mereka.
3. Kekurangan Tenaga Kerja Terampil
Implementasi SPC berbasis AI dan IoT membutuhkan tenaga kerja yang paham statistik, data science, dan cybersecurity. Gap ini masih menjadi tantangan besar, terutama di negara berkembang.
4. Biaya Awal Tinggi
Sensor, perangkat IoT, software analitik, dan pelatihan SDM membutuhkan investasi awal yang signifikan.
Studi Kasus Implementasi SPC di Industri Modern
Sektor Manufaktur Otomotif di Jepang
Perusahaan seperti Toyota telah mengadopsi SPC berbasis IoT secara masif. Sistem Andon mereka, misalnya, terintegrasi dengan SPC berbasis data real-time untuk mendeteksi cacat produksi di lini perakitan. Hasilnya, defect rate mereka turun hingga kurang dari 1%, sekaligus mempertahankan reputasi sebagai produsen mobil berkualitas tinggi.
Industri Farmasi Eropa
Dalam produksi vaksin, kontrol kualitas berbasis SPC memungkinkan pengawasan suhu dan pH reaktor secara real-time. Proses produksi biofarmasi yang dulunya mengandalkan pengujian pasca-produksi kini bisa mengurangi batch rejection sebesar 15% hanya dalam 6 bulan.
Bagaimana SPC Membantu Negara Berkembang?
Wolniak dan Grebski menyoroti bahwa SPC berbasis teknologi dapat mendorong efisiensi produksi di negara-negara berkembang. Dengan tenaga kerja murah dan sumber daya alam melimpah, negara-negara seperti Indonesia, India, dan Vietnam dapat mengadopsi SPC berbasis teknologi untuk:
Di Indonesia sendiri, beberapa perusahaan tekstil di Jawa Barat mulai menerapkan SPC berbasis software untuk mengurangi reject rate produk jadi. Hal ini berdampak langsung pada penurunan biaya produksi hingga 10%.
Opini dan Nilai Tambah: Apakah SPC Masa Depan Industri 5.0?
Dari Quality 4.0 Menuju Quality 5.0
Jika Quality 4.0 fokus pada data dan teknologi, maka Quality 5.0 diyakini akan mengedepankan kolaborasi manusia dan mesin. SPC akan tetap relevan, namun akan membutuhkan pendekatan yang lebih personal, dengan mempertimbangkan kecerdasan emosional manusia dalam pengambilan keputusan kualitas.
Integrasi Blockchain untuk Traceability
Wolniak dan Grebski menyebutkan potensi blockchain dalam meningkatkan transparansi dan jejak digital pada SPC. Dengan blockchain, informasi kualitas tidak bisa dimanipulasi, memperkuat kepercayaan di seluruh rantai pasok.
Rekomendasi Praktis Implementasi SPC di Era Industri 4.0
Kesimpulan: SPC Adalah Pilar Kualitas di Era Digital
Paper Wolniak dan Grebski membuktikan bahwa SPC tetap menjadi pilar utama dalam manajemen kualitas, bahkan di era yang didominasi oleh teknologi canggih. Integrasi SPC dengan Industri 4.0 dan Quality 4.0 menciptakan sistem produksi yang lebih tangkas, efisien, dan mampu memenuhi tuntutan kualitas yang semakin tinggi.
🔧 Kata Kunci Sukses: Real-time monitoring, AI prediction, collaborative quality management, dan data-driven decision making.
📖 Sumber paper:
Wolniak, R., & Grebski, W. (2023). The Usage of Statistical Process Control (SPC) in Industry 4.0 Conditions. Scientific Papers of Silesian University of Technology, Organization and Management Series No. 190.
🔗 DOI: 10.29119/1641-3466.2023.190.18
Industri 4.0
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025
PT. Jababeka Tbk melalui salah satu anak usahanya, yaitu PT. Jababeka Infrastruktur dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan SDM Industri Kementerian Perindustrian melaksanakan penandatanganan perjanjian kerja sama mengenai pengembangan sumber daya manusia industri terkait industri 4.0, dilansir dari Liputan6.com, Jakarta.
Pada perjanjian itu menjadi dasar untuk pihak-pihak dalam rangka akselerasi transformasi industri 4.0.
“Saya sangat senang serta bahagia sebab baru 8 bulan PIDI (Pusat Inovasi Digital Industri Indonesia) 4.0 beroperasi, kami telah memiliki 29 mitra industri dan universitas," ujar Kepala BPSDMI Kemenperin Arus Gunawan pada keterangan tertulis di Jakarta, Rabu(13/7/2022).
"Saya harapkan semua mitra PIDI 4.0 bisa berkontribusi untuk Making Indonesia 4.0 dan saya menunggu kegiatan Hackathon (kegiatan pengembangan proyek software dan hardware) yang akan dilaksanakan Jababeka dengan PIDI 4.0," ujar dia.
Pendatanganan perjanjian ini adalah salah satu rangkaian acara dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan SDM Industri Kementerian Perindustrian di Bali yang didatangi oleh beberapa perusahaan yang tergabung pada Ekosistem PIDI 4.0, di antaranya PT. Telekomunikasi Selular, PT. Ericsson Indonesia PT. Schneider Indonesia, dan sebagainya.
“Kegiatan ini kita adakan di Balai Diklat Industri (BDI) Denpasar agar para mitra dapat melihat serta terpacu untuk memberikan ide-ide kerjasama berkaitan dengan pengembangan Satelit PIDI 4.0 di Bali. BDI Denpasar mempunyai fokus pada pengembangan SDM Industri di bidang animasi dan digital content," ujar Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan SDM Industri Kemenperin, Wisnu.
PT. Jababeka Infrastruktur melalui Fablab Jababeka selaku Satelit PIDI 4.0 ini mempunyai peran penting, yakni agar bisa melaksanakan kolaborasi dengan Pusat Pendidikan dan Pelatihan SDM Industri Kementerian Perindustrian untuk mengembangkan sumber daya manusia industri dan melaksanakan transformasi industri 4.0 di Indonesia.
Untuk informasi, PT. Jababeka Infrastruktur adalah satu-satunya perusahaan kawasan industri yang diundang pada kegiatan tersebut.
Fablab Jababeka merupakan salah satu fasilitas yang berlokasi di Kawasan Industri Jababeka, ditujukan sebagai pusat inovasi, pengembangan kompetensi dan purwarupa berbagai produk yang berkaitan implementasi Industri 4.0 dan wujud nyata dari komitmen PT. Jababeka Tbk dengan tujuan untuk menunjang program pemerintah Making Indonesia 4.0 dan secara khusus untuk melaksanakan percepatan industri 4.0 di Kawasan Industri Jababeka-Cikarang.
Pada momen ini, Agung Wicaksono selaku Managing Director PT. Jababeka Infrastruktur menandatangani perjanjian tersebut serta melangsungkan pemaparan materi tentang kegiatan yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini sebagai langkah awal implementasi perjanjian, yakni Hackathon melalui kerja sama dengan PT. Bisa Artifisial Indonesia.
“Kegiatan Hackathon ini sejalan dengan salah satu dari 10 prioritas nasional making indonesia 4.0, yakni peningkatan kualitas sumber daya manusia," ujar Agung.
Dalam kegiatan Hackathon ini, setiap tim peserta harus menyampaikan proposal yang berisi suatu ide atas solusi terhadap suatu permasalahan nyata yang tengah dialami oleh beberapa perusahaan manufaktur yang beroperasi di Kawasan Industri Jababeka.
Seluruh ide dari tim peserta akan diseleksi sehingga hanya akan terpilih 5-10 proposal ide terbaik dan bagi tim peserta yang produknya sudah memperoleh traction akan diberikan dukungan seperti pendirian badan usaha berbentuk perseroan terbatas (PT), pengurusan hak kekayaan intelektual, serta memiliki peluang agar memperoleh pendanaan dari venture capital.
Hasil dari kegiatan Hackathon ini akan diimplementasikan pada sektor industri untuk dapat memberikan dampak yang nyata terhadap making Indonesia 4.0.
Disadur dari sumber liputan6.com